Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Miastenia Gravis yang berarti kelemahan otot yang serius adalah satusatunya penyakit neuromuskular yang menggabungkan kelelahan cepat otot volunter dan waktu penyembuhan yang lama( penyembuhan dapat butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). Dahulu, angka kematian mencapai 90%. Angka kematian menurun derastis sejak tersedia pengobatan dan unit perwatan pernapasan. Sindrom klinis pertama kali dijelaskan pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis (MG) dibedakan dari kelemahan otot akibat palsi bulbaris sebenarnya. Pada tahun 1920an, seorang dokter yang menderita MG merakan perbaikan setelah meminum efedrin unutk mengatasi kejang perut saat menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934, dokter lain dari Inggris ( Mary Walker) memperhatikan kemiripaN gejala pada MG dan keracunan kurare. Dia menggunakan fisostigmin antagonis kurare untuk mengobati MG dan mengamati perbaikan yang terjadi. Prevalensi MG diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000 kasus terjadi di Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Puncak kedua walaupun lebih rendah dari pada yang pertama, terjadi pada laki-laki tua usis dalam dekade tujuhpuluhan atau delapan puluhan. Kematian umumnya disebabkan oleh insufisiensi pernapasan, walaupun dengan perkembangan dalam perawatan intensive pernapasan, komplikasi ini lebih dapat ditangani. Remisi spontan dapat timbul pada 10% hingga 20% pasien dan dapat disebabkan oleh timektomi elektif pada pasien terntentu. Perempuan muda yang berada pada stadium dini poenyakit ini ( 5 tahun pertama setelah awitan) dan yang tidak merespon terapi obat dengan baik sebagian besar mendapat keuntungan dari prosedur ini.

1.2

Tujuan

1.2.1 Mengetahui definisi miastenia gravis 1.2.2 Mengetahui etiologi miastenia gravis 1.2.3 Mengetahui patofisiologi miastenia gravis 1.2.4 Mengetahui manifestasi klinis miaatenia gravis 1.2.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis 1.2.6 Mengetahui komplikasi miastenia gravis 1.2.7 Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis 1.2.8 Mengetahui prognosis miastenia gravis 1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan 2.1.1 Sel sel Saraf: Ada dua tipe pada sistem persarafan yaitu sel neuroglia dan neuron. Sel Neuroglia Sel neuroglia memberikan makanan, perlindungan dan dukungan struktur dari neuron-neuron..Ada empat tipe sel neuroglia, yaitu.: a. Astrosites Sel ini berfungsi memberikan makanan, menyimpan informasi, mempertahankan electric potential neural dan membantu

melindungi blood brain barrier yang mengelilingi kapiler-kapiler sistem saraf pusat. b. Oligodendroglia Sel ini berbentuk selubung mielin yang melingkari akson dalam sistem saraf pusat c. Mikroglia Mikroglia berfungsi mengangkat mikroba dan sel-sel debris dari sistem saraf pusat. Proses ini disebut dengan pagositosis d. Sel epidermal Sel sel ini membatasi sistem ventrikel fleksus koroid dan kanalis sentralis dari medulla spinalis. Neuron Neuron mempunyai kemampuan menghantarkan rangsanagan saraf dan beraksi terhadap rangsanagn. Masing-masing neuron terdiri badan sel, satu akson dan satu atau beberapa dendrit. 2.1.2 Komponen badan sel neuron Badan sel dari neuron dikelilingi oleh suatu membran sel yang berisi sitoplasma. Dalam badan sel terdapat nukleus yang banyak mengandung

banyak doexyribonucleic acid (DNA). Di dalam nukleus terdapat nukleolus yang mengandung ribonucleic acid (RNA). Juga di dalam sel ada mitokondria yang memberikan energi untuk sel. Badan golgi menyimpan bahan-bahan sekresi, mensintesakarbohidrat dan membentuk bahan-bahan digestif

Retikulum endoplasma berfungis sebagai sistem transport dalam sel. Badan nissel tersusun dari retikulum endoplasma dan ribosom mensintesa protein. 2.1.3 Struktur akson dan dendrit Struktur dendrit mengandung badan nissel, banyak cabang-

cabangnya, jangkauannya pendek. Akson merupakan tanagan yang lain, jangkauannyapanjang bercabang pada bagian paling akhir dan kurang mengandungbadan nissel. Pembungkus mielin mengelilingio akson, biasanya pada serabut-serabut neuron yang lebih lebar. Komposisinya terdiri dari lipid dan dibentuk oleh sel-sel schwan, sarung mielin sebagai insulator untuk konduksi rangsangan. Disekitar sarung mielin pada lapisan luar disebut neurolemma, dimana diperlukan untuk regenerasi akson. Segmen dari sarung mielin diputus dengan ruang yang disebut node of ranvier. 2.1.4 Konduksi dan Rangsangan Saraf a. Potensial membran istirahat Pada keadaan dimana neuron istirahat dan tidak

menghantarkan rangsangan disebut potensial membran istirahat. Ada muatan listrik positif yang keluar dari membran sel sebagai akibat dari konsentrasi yang lebih besar ion-ion natrium (Na) dan ion-ion clorida (Cl) pada ruang intertisial. Didalam sel terdapat listrik muatan negatif dengan konsentrasi tinggi dari ion-ion kalium (K) dan bahan-bahan protein organik.

b. Potensial aksi neuron Penggunaan stimulus yang cukup menyebabkan konduksi dari suatu rangsangan, sehingga terjadi perubahan premeabilitas

membran sel untuk ion-ion tertentu. Natrium masuk sel dan kalium pergi menuju keruang interstisial. Pertukaran dan muatan positif dan muatan negatif ini disebut deplorisasi. Potensial aksi dihantarkan sepanjang neuron dari satu neuron ke neuron selanjutnya. Perubaha kmenbali ke istirahat atau polarisasi disebut repolarisasi.

c. Konduksi saltatori Pada serabut-serabut mielin terjadi loncatan potensial akson dari satu node of ranvier ke node ranvier selanjutnya disebut konduksi saltatori. Konduksi saltatori akan meningkatkan kecepatan

rangsangan dengan hemat energi.

d. Neurontransmitters Ada dua tipe neurotransmitter yaitu eksitasi dan inhibisi. Ada beberapa transmitter eksitasi, yaitu asetikolin adalah yang paling umum, lainnya adalah norepinephrine, dopamin, dan setoin.

Transmitter inhibisi terdiri dari glycine dan gamma aminobutyric acid.

e. Eksitasi dan inhibisi membran postsinap Pelepasan suatu transmitter eksitasi menyebabkan

depolarisasi membran postinap dan mengakibatkan pengiriman rangsangan. Suatu transmitter inhibisi pada tangan yang lain menyebabkan membran postinap menjadi kurang permeabel terhadap ion-ion natrium. Akibatnya menjadi keadaan hiperpolarisasi yang membuat lebih stabil dan kurang peka terhadap rangsangan.

f.

Membuat tidak aktifnya neurotransmitter. Enzim-enzim yang dapat memecah belah atau membuat tidak aktifnya neurotransmitter pada bagian dari memnbran postinap atau celah sikap. Beberapa enzim-enzim meliputi cholinesterase,

monoamine oxsidase (MAO), dan catechol omethyltransferase (COMT). Model yang adalah lain mebuat menjadi tidak yang aktifnya mana

neurotransmitter

reutake

mechanism

memperbolehkan neuro transmitter ditarik kembali menuju bagian terminal presinap.

2.1.5

Saraf perifer a. Saraf kranial Saraf olfactori (N 1) (Sensorik) Saraf ini tanggap terhadap sensasi penciuman, kemudian

meneruskan ke hidung dan terus ke lobus frontal. Saraf Optik ( N II ) (Sensorik) 5

Saraf ini respon terhadap penglihatan. Saraf optik ini meneruskan rangsang dari retina menuju lobus oksipital. Saraf Oculomotrik (N III) (Motorik dan Otonom) Saraf ini mempengaruhi empat dari enam otot pergerakan bola mata, mengangkat kelopak mata, dan kontriksi pupil. Saraf Troklear (N IV) (Motorik) Saraf troklear mengontrol otot bola mata untuk menggerakkan mata ke bawah dan keluar. Saraf Trigeminal (N V) (Motorik dan Sensorik) Saraf ini menerima sensasi nyeri, temperature dan sentuhan dari muka, kulit kepala, nasal, dan rongga mulut. Saraf ini juga mengontrol otot untuk mengunyah dan refleks kornea. Saraf Abdusen (N VI) (Motorik) Saraf ini mengontrol otot untuk menggerakkan bola mata kearah luar. Saraf Facial (N VII) (Sensorik dan Motorik) Saraf facial mempengaruhi otot ekspresi muka. Juga tanggap terhadap sensasi rasa (pengecap) pada 2/3 lidah bagian anterior. Saraf Akustik (N VIII) (Sensorik) Saraf akustik mempunyai dua cabang, yaitu cabang koklear responsif untuk pendengaran dan cabang vestibular untuk

keseimbangan. Saraf Glosofaringeal (N IX) (Sensorik, Motorik, dan Otonom) Saraf ini menerima sensasi dari faring dan sensasi dari rasa pada 1/3 posterior lidah. Saraf ini juga mengontrol sekresi dari saliva dan dengan saraf Vagus berperan dalam menelan. Saraf ini juga responsif untuk reflek gag. Saraf Vagus (N X) (Sensorik, Motorik dan Otonom) Saraf Vagus ini mempengaruhi organ-organ dalam ruang torak dan abdominal. Saraf ini juga responsif terhadap sensasi pada tenggorokan dan laring. Saraf vagus ini juga berperan dalam menelan dan produksi suara. Saraf Akssesori (N XI) (Motorik) Saraf akssesori responsif terhadap kemampuan dalam mengangkat bahu dan rotasi kepala. Saraf Hipoglossal (N XII) (Motorik)

Saraf ini mengatur pergerakan lidah yang diperlukan untuk berbicara dan menelan. b. Saraf Spinal Akar-akar saraf dorsal Akar-akar saraf dorsal dari sraf spinal membawa impuls sensori (Aferen) dari berbagai macam reseptor menuju medulla spinalis. Segmen-segmen kulit dipengaruhi oleh akar-akar saraf dorsal yang disebut Dermatome. Impils-impuls dihantarkan melalui akar-akar saraf dorsal menuju ganglia dorsal, dimana badan-badan sel sensorik terdapat disana. Akar-akar saraf Ventral Akar-akar saraf Ventral dari saraf spinal adalah penghantar impuls motorik (eferen) dari medulla spinalis menuju ke otot-otot kelenjarkelenjar tubuh. Fleksus Ada 4 fleksus utama. Fleksus servikal terdiri dari 4 saraf servikal pertama. Fleksus servikal mempengaruhi bagian belakang kepala, leher dan bahu, dan memberikan rangsangan pada saraf frenik. Fleksus brak-hial yang terdiri dari 4 saraf serfikal yang terakhir dan sraf torakal pertama yang merangsang bagian ekstremitas atas. Fleksus Lumbal tersusun atas 4 saraf lumbal pertama dan juga meliputi kedua belas saraf torakal. Fleksus ini mempengaruhi bagian-bagian bawah tubuh dan ekstremiotas bawah, serata merangsang saraf femoral. Fleksus sakral terdiri dari dua saraf lumbal terakhir dan 3 saraf sakral pertama. Fleksus merangsang ekstremitas bawah dan memberikan rangsangan kepada sraf skiatik. Lengkung reflek. Reflek sederhana, seperti pada lutut mewakili sirkuit saraf sederhana di medulla spinalis dan tidak mempengaruhi pusat otak yang lebih tinggi. Tiga lengkung reflek saraf mempengaruhi reseptor sensorik, neuronsensori, interneuron (gabungan dari neuron ) dalam medulla spinalis dan neuron motorik. Reseptor sensorik mendeteksi

rangsangan yang akan menuju Medulla spinalis melalui neuron sensori. Aktivitas interneuron ini akan menimbulkan aktivitas motor neuron untuk menimbulkan suatu respon motorik seperti gerkan menari dari sumber nyeri. Pada dua lengkung reflek neuron, sinap

neuron sensorik secara langsung berhubungan dengan neuron motorik pada medulla spinalis, salah satunya adalah reflek lutut. c. Sistem Saraf Otonom Sistem saraf simpatis Sistem saraf simpatis terdiri dari suatu rantai dari ganglia (kelompok dari badan-badan sel) dan sraf pada salah satu bagian dari medulla spinalis. Rantai meluas dari bagian servikal terus menuju ke daerah lumbal, dimana preganglion neuron berasal di torakal dan segmen-segmen lumbal atas dari medulla spinalis. Sistem ini menunjukkan sebagai bagian torakollumbal.

Neurotransmitter dari neuron preganglion, yang mana berakhir pada ganglia simpatis acetylcoline, selanjutnya serabut-serabut preganglion cholinergic. Neuron postganglion berasal dari ganglia simpatis dan berakhir pada jaringan otot yang tidak sadar (otot polos) atau jaringan glandular. Neuron-neuron postganglion neurotransmitter adalah norepinephrine, hingga serabut-serabut adrenergic. Selama stres, bagian adrenergic berperan sebagai unit total untuk menghasilkan suatu respon yang benar. Sistem saraf parasimpatis Serabut-serabut preganglion dari sistem ini meninggalkan batang otak melalui saraf cranial III, VII, IX, X dan keluar dari medulla spinalis melalui segmen sakral kedua, ketiga dan keempat. Selanjutnya pembagian bagian ini juga disebut bagian

kraniosakral. Serabut-serabut preganglion panjang dan neuron postganglion terletak organ yang dipengaruhinya. Keduanya baik itu pre dan postganglion neuron melepaskan acetycoline, membuat serabut-serabu cholinergic. Sebab aceyicoline dengan cepat di nonaktifkan oleh cholinesterase. Respon parasimpatis cenderung menjadi singkat.

2.2

Defenisi Miastenia Gravis


Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi

neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002). Miastenia gravis (MG) ialah penyakit kronik Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis dlah gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang(volunter). Miastenia grafis merupakan kelemahan otot yang parah dan satusatunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antar cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal) Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.

2.3

Etiologi
Kelainan primer pada MG dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction,yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada MG tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada MG terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.

2.4

Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi : a. Kelompok I: Miastenia okular Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian b. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan Awitan( onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah. c. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah d. Kelompok III: Miastenia berat fulminan akut Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi e. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk. 2.4.2 Bentuk varian miastenia gravis, antara lain: a. Miastenia neonates Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta b. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia) Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa 10

c.

Miastenia congenital Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif

d.

Miastenia familial Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa

e.

Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome) Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan Gambaran dengan kliniknya karsinoma berbeda bronkus dengan (small-cell miastenia carsinoma). gravis. Pada

umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering. f. Miastenia gravis antibodi-negatif Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi g. Miastenia gravis terinduksi penisilamin D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan. h. Botulisme Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. 11

Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.4.3

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe : a. Oeular miastenia terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian b. Mild generalized myiasthenia Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik Moderate generalized myasthenia.

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan c. Severe generalized myasthenia : Acute fulmating myasthenia Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot

pernafasan, progesi penyakit biasanya komlit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurangmemuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma Late severe myasthenia Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau

mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek d. Myasthenia crisis Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan: pekerjaan fisik yang berlebihan emosi infeksi melahirkan anak 12

progresif dari penyakit obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya streptomisin, neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan muscle relaxan Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena hilangnya kalium

2.5

Manifestasi Klinik
1) Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan) 2) Ptosis Diplobia Otot mimik

Kelemahan otot bulbar Otot-otot lidah


Suara nasal, regurgitasi nasal Kesulitan dalam mengunyah Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka

Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk dan tercekik saat minum

Otot-otot leher

Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor

3) 4)

Kelemahan otot anggota gerak Kelemahan otot pernafasan Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2 hipoventilasi menyebabkan kedaruratan neuromuskular Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas Atas.

2.6

Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuro muscular. Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-

13

masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut otot di persarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular. Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri atas akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmiter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari membran membran post sinaps ( post functional membrane ) atu lempeng akhir motorik serabut otot. Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah- celah subneular ) yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps memiliki reseptor reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada membran post sinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinerase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran pra sinaps dan post sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi. Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

14

Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak ditemukan dalam serum penderita miestenia gravis. Akibat dari kerusakan reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal merupakan faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat dari miastenia gravis. Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten(price dan Wilson 1995). Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan

neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.

15

16

17

2.7

Komplikasi :
a) Gagal nafas b) Disfagia c) Krisis miastenik d) Krisis cholinergic e) Komplikasi sekunder dari terapi obat Penggunaan steroid yang lama :

Osteoporosis, katarak, hiperglikemi Gastritis, penyakit peptic ulcer Pneumocystis carinii

2.8

Pemeriksaan Diagnostik
a) Test serum anti bodi receptor Ach yang positif b) Test tensilon / injeksi edrofonium, akan menunjukkan positif bila 30 menit setelah injeksi edrofonium kekuatan otot klien meningkat / normal, namun setelah reaksi obat habis kelemahan otot terjadi lagi c) Test elektro fisiologis, menunjukkan penurunan respon saraf d) CT Scan, menunjukkan adanya hiperplasia yang dianggap respon autoimun

2.9

Penatalaksanaan
a) Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan. b) Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh

asetilkolin di taut neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap hari untuk mencegah keletihan dan kolaps otot. c) Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun. d) Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan

pernapasan jika perlu. e) Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda

sampaikadar toksik obatb diatasi. f) Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun diatasi secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua gangguan tersebut.

18

2.10

Prognosis
a) Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31% b) MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4% c) 40% hanya gejala okuler

19

2.11

Konsep Asuhan Keperawatan 2.11.1 Pengkajian a. Biodata : Nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, dan lain-lain. b.Riwayat keperawatan : Kelemahan otot ( meningkat dengan pengerahan tenaga, membaik bila istirahat, tiba tiba cepat lelah) ; kesulitan menelan dan mengunyah; dislopia ; tumor kelenjar timus. c.Pengkajian Pola Gordon 1) Pola Nutrisi dan Metabolik DS : pasien mengatakan pasien merasa lemah, tidak kuat mengunyah dan menelan DO : Pasien tampak lemas, nampak pasien susah menelan makanan yang diberikan 2) Pola aktivitas dan latihan DS : Pasien mengatakan bahwa dia merasa lemas dan lelah sehingga tidak mampu untuk melakukan aktivitas DO : Pasien tampak dibantu makan, mandi , BAK, BAB. 3) Pola tidur dan istirahat DS : Pasien mengatakan susah bergerak miring kanan dan ke kiri DO : pasien tampak tidur terlentang di tempat tidur d.Pemeriksaan fisik : Kelemahan motorik pada lengan dan tungkai; kesulitan senyum, mengunyah, menelan ; berbicara lambat, disartrik;ptosis; gangguan keseimbangan ; status pernafasan. e.Psikososial : Usia ; jenis kelamin ; pekerjaan ; peran dan tanggung jawab yang bisa dilakukan; penerimaan terhadap kondisi ; koping yang biasa digunakan ; status ekonomi dan penghasilan. f.Pengetahuan klien dan keluarga : Pemahaman tentang penyakit, komplikasi, prognosa dan pengobatan ; kemampuan membaca dan belajar. g.Pemeriksaan fisik : Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin 20

dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masingmasisng klien, maka prognosisnya sulit ditentukan.

B1 (breathing) Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan B2 (blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk

memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaikya status pernapasan,Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi B3(brain) Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik B4 (bladder) Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine,ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih. B5 (bowel) Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena ketidakmampuan menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot

21

menelan.pemeriksaan lainnya berhubungan dengan diafragma dan peristaltic usus turun. B6 (bone)

kelemahan otot

Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan. Tingkat kesadaran Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik

Fungsi serebral Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik yang mengalami perubhan seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi. Pemeriksaan syaraf cranial Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya oftalmoglegia (dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari

pseudointernuklear oftalmoglegia akibat gangguan motorik pada saraf VI Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah. SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik lidah/triple-furrowed lidah Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah

22

Sistem motorik Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.

Pemeriksaan refleks Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal. Sistem sensorik Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.

2.11.2 Diagnosa a. b. c. Hambatan mobilitas fisik b/d menurunnya otot-otot neuromuskular Ketidakefektifan pola napas b/d kelemahan otot-otot pernafasan Ketidakseimbangan nurisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesukaran mengunyah dan menelan d. Gangguan citra diri b/d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

2.11.3 Intervensi Diagnosa 1 : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

menurunnya otot-otot neuromuskular Tujuan Kriteria : Tidak adanya keterbatasan ruang gerak : - Klien mudah mobilisasi - Otot-otot tidak kaku - Mempertahankan integritas kulit

Intervensi : 1. Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5 R/ : menentukan perkembangan / munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya rasa nyaman 2. Beri posisi yang memberikan rasa nyaman 23

R/ : menurunkan kelelahan dan meningkatkan relaksasi 3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal R/ : mempertahankan ekstremitas dalam posisi fisiologis, mencegah kehilangan fungsi sendi 4. Lakukan latihan tentang gerak grafis R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi

Diagnosa 2 : Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernafasan Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif

Kriteria

: Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal

Bunyi nafas terdengar jelas

Intervensi : 1. Kaji Kemampuan ventilasi R/ : Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal, kapasitas vital, kekuatan

inspirasi),dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah pauparu, sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik. 2. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan,laporkansetiap perubahan yang terjadi R/ : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dankedalaman pernapasan,

kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien. 3. Baringkan klien dalamposisi yang nyamandalam posisi duduk R/ : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga

ekspansi paru bisa maksimal 4. Observasi tanda-tanda vital (nadi,RR) R/ : Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya

penurunan fungsi paru 24

Diagnosa 3 ; Ketidakseimbangan nurisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesukaran mengunyah dan menelan

Tujuan : - Klien tidak kekurangan nutrisi - Klien dapat mengunyah dan menular Kriteria : - BB tidak turun - 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x sehari Intervensi : 1.Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga klien harus terlindungi dari aspirasi

2. Timbang berat badan sesuai indikasi R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi 3.Tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat selang NG R/ : menurunkan resiko regurgitasi dan waktu terjadinya aspirasi 4. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering (3x sehari, 1 porsi) dengan teratur R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan Diagnosa 4 : Gangguan citra diri b/d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal Tujuan : Citra diri klien meningkat Kriteria hasil :

Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi

Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

25

Intervensi : 1. Kaji perubahan darigangguan persepsi danhubungan dengan derajat ketidakmampuan R/ : Menentukan bantuan individual dalammenyusun rencana

perawatan ataupemilihan intervensi 2. Identifikasi arti dari Kehilangan atau disfungsi pada klien R/ : Beberapa klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi secara efektifdengan sedikit penyesuaian diri, sedangkanyang lain mempunyai kesulitanmembandingkan mengenal dan mengatur kekurangan. 3. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan R/ : Membantu meningkatkan perasaan hargadiri dan mengontrol

lebih dari satu areakehidupan 4. Anjurkan orang yang Terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya R/ : Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembanganharga diri serta mempengaruhi prosesrehabilitasi 5. Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi. R/ : Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk

perkembangan perasaan

26

27

BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan Myasthenia Gravis ( MG ) adalah penyakit kelemahan otot grave dengan karateristik remisi dan eksarbasi . MG merupakan penyakit kronis, neuromuskular, autoimun yang bisa menurunkan jumlah dan aktivitas reseptor Acethylcholine (ACH) pada Neuromuscular junction. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-kanak.

28

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika : Jakarta. TIM. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan gangguan sistem Persarafan. Trans Info Media : Jakarta.

http://wariortaktil.blogspot.com/2012/03/konsep-dan-askep-miasteniagravis.html

29

Anda mungkin juga menyukai