Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR PENYAKIT UKDI

Oleh: NURUL HUSNA NIM: 0907101050039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH TAHUN 2013

PERDARAHAN SUBARAKNOID Gol Penyakit SKDI : 3B


NURUL HUSNA 0907101050039

Definisi Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral major. Pasien yang mampu bertahan dari pendarahan subarachoid kadang mengalami adhesi arachnoid, obstruksi aliran cairan cerebrospinal dan hidrocepalus. Cedera intrkarnial yang lain kadang juga dapat terjadi. Perdarahan subarachnoid, dapat diidentifikasi pada CT-scan sebagai jaringan dengan densitas tinggi (40 90 Hu). Menggantikan cairan serebrospinal di interhemisfer atau fissura silvii, sulcus cerebral atau sisterna basalis. Jika pendarahan subarachnoid luas maka bentuk arah infundibulum atau cabang arteri karotis pada sisterna nampak sebagai filing deffect pada darah intrasisternal yang hiperdens. Meskipun pemeriksaan CT-scan sangat akurat untuk mendeteksi pendarahan subarachnoid yang baru untuk mengetahui adanya darah

disubarachnoid di interhemisferik falxcerebri yang relatif memiliki densitas dan sulit dideteksi. Pendarahan subarachnoid biasanya meluas sampai pada sulcus paramedian, mengakibatkan penampakan densitas dan irreguler, setelah beberapa hari pemeriksaan CT subarachnoid disekitar Scan biasanya menunjukkan pembersihan falxcerebri, sebaliknya pendarahan darah

subdural

interhemisferik secara tipikal terlihat sebagai bentuk baji, tepi halus, zona densitas tinggi (Burgerner, 1964). Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan indikasi untuk pemeriksaan angiografi. Aneurisma kongenital

biasanya berlokasi pada circulus willisi dan pseudoaneurisma berlokasi pada pembuluh darah yang dapat merengang akibat pergeseran otak misalnya arteri cerebral anterior dibawah falkcerebri (Burgerner, 1968). Etiologi Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessel, gangguan pembuluh darah pada sumsum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor (Harsono, 1997). Insidensi Insiden subarachnoid hemoragik dibedakan atas:(8) Pendarahan subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh gangguan peredaran darahotak (GPDO) Usia : insidennya 62% pendarahan subarachnoid timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala.

Patofisiologi Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan

hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarachnoid (Sitorus, 2004). Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa

pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular (Harsono, 1997). Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya sma pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf serebral atau kerusakan arterivenous. Dalam hal ini, perdarahan asli arteri (Sitorus, 2004). Diagnosis A. Gambaran Klinis -Gejala prodromal : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit kepala. Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar, sedikit delir sampai koma.

-Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada. Fundus okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah

pendarahan. Sering terdapat pedarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior, atau arteri karotis interna

-Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi. -Gangguan fungsi saraf otonom : demam setelah 24 jam, demam ringan karena rangsangan mening, dan demam tinggi bila pada hipotalamus. Begitu pun muntah,berkeringat,menggigil, hipotalamus Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan melena dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan ada perubahan pada EKG. B. Gambaran Radiologi. 1. CT SCAN dan takikardi, adanya hubungan dengan

Pemeriksaan ct scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa intracranial. Pada pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah (densitas tinggi) dalam ventrikel atau dalam ruang subarachnoid. 2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya terlihat pada T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai intermediate untuk pengcahayaan sinyal tinggi dengan proton atau gambar FLAIR. CT pada umunya lebih baik daripada MRI dalam mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Control perdarahan subarachnoid : hasil tahapan control perdarahan subarachnoid kadang-kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal rendah (Copstead, 2005). Penatalaksanaan Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase didalam otak untuk mengurangi tekanan.Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali (Copstead, 2005). Komplikasi -Cerebral Vasospasme -Hidrosefalus (Sitorus, 2004). Prognosis Perdarahan subaraknoid akibat aneurisma memiliki angka mortalitas sangat tinggi, 30-40% pasien meninggal pada hari-hari pertama. Terdapat risiko perdarahan ulang yang signifikan, terutama pada 6 minggu pertama, dan perdarahan kedua dapat lebih berat (Harsono, 2007).

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2007. Subarachnoid Hemorrhage. www.emedicine.com. Accessed January,11.2007. Burgerner, A. F.1964. Differencial Diagnosis in Magnetic Resonance Imaging. Stuttgart.New York. Burgerner, A. F. 1996. Differential Diagnosis in Computed Tomography. George Thieme Verlag. Thieme Medical Publishers, Inc. New York. Copstead, Lee-Ellen dan Banasik, J. 2005. Pathophysiology. 3rd ed. Elsevier Inc. Saunders. New York. Harsono.1997. Buku Ajar Neurology Klinis. Bandung : Perhimpunan Dokter Spesialis saraf Indonesia Gajah Mada University Press. Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Fakultas Kedokteran Gajah Mada. Gajah Mada University Press. Sitorus, S. M. 2004. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Medan : Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

ENSEFALOPATI HIPERTENSI

Gol Penyakit SKDI : 3B


NURUL HUSNA 0907101050039

Definisi Hipertensi ensefalopati adalah kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila tekanan darah diturunkan (Kaplan, 1986). Ensefalopati hipertensi adalah sindrom klinik akut reversibel yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan darah secara mendadak sehingga melampaui batas autoregulasi otak. HE dapat terjadi pada normotensi yang tekanan darahnya mendadak naik menjadi 160/100 mmHg. Sebaliknya mungkin belum terjadi pada penderita hipertensi kronik meskipun tekanan arteri rata-rata mencapai 200 atau 225 mmHg (Sugianto, 2007)

Etiologi Ensefalopati hipertensi dapat merupakan komplikasi dari berbagai penyakit antara lain penyakit ginjal kronis, stenosis arteri renalis, glomerulonefritis akut, toxemia akut, pheokromositoma, sindrom cushing, serta penggunaan obat seperti aminophyline, phenylephrine. Ensefalopati hipertensi lebih sering ditemukan pada orang dengan riwayat hipertensi esensial lama (Sugianto, 2007)

Epidemiologi Ensefalopati hipertensi banyak ditemukan pada usia pertengahan dengan riwayat hipertensi essensial sebelumnya. Menurut penelitian di USA, sebanyak 60 juta orang yang menderita hipertensi, kurang dari 1 % mengidap hipertensi emergensi. Mortalitas dan morbiditas dari penderita ensefalopati hipertensi bergantung pada tingkat keparahan yang dialami. Selain itu, diteliti bahwa insiden hipertensi essensial pada orang kulit putih sebanyak 20-30%, sedangkan pada orang kulit hitam sebanyak 80%. Sehingga orang kulit hitam lebih beresiko untuk menderita ensefalopati hipertensi. (Sugianto, 2007)

Insidensi Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita (6,10,11,13). Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi (6,10). Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini (Alpert dan Rippe, 1980). Patofisiologi Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati yaitu : 1. Teori Over Autoregulation Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark. 2. Teori Breakthrough of Cerebral Autoregulation bila TD mencapai threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole. Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas

tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya oedema otak (Kaplan, 1986).

Gambaran Klinis -Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan : Riwayat hipertensi : lama dan beratnya. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya. Usia : sering pada usia 40 60 tahun. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ). Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ). Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ). Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi. -Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu : 1. Pemeriksaan yang segera seperti : a. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD. b. urine : Urinelisa dan kultur urine. c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi. d. Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana). 2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama) :

a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography (kasus tertentu), biopsi renald (kasus tertentu). b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan. c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid (VMA). Pengobatan -Dasar-dasar penanggulangan krisis HT : Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan ?. Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri ( TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring efek samping obat. -Penanggulangan Hipertensi Emergensi : Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. - tentukan penyebab krisis hipertensi - singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT - tentukan adanya kerusakan organ sasaran Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.

- penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat. - Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta. - TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

-Pemakaian Obat-Obat Untuk Krisis Hipertensi Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous. Secara i.v mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi. 2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of action 3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i.v Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi. 3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus. Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll. 4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam, i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll. 5. Enalapriat : merupakan vasodilator golongan ACE inhibitor. Onset on action 15 60 menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v. 6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 20 mg secar i.v bolus atau i.m.

Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit. 7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action : 1 5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering. 8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10 menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai. 9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestinal, withdrawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa tak terduga dan khasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal. 10.Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya dihindari adalah sbb : 1. Hipertensi ensenpalopati : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide. Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine. 2. Cerebral infark : Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol, Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine. 3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid : Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol,. Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine. 4. Miokard iskemi, miokrad infark : Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loopdiuretuk. Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil. 5. Oedema paru akut : Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik. Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol. Aorta disseksi : Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist, Labetalol. Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil 6. Eklampsi : Aanjuran : Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist, sodium nitroprusside. Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist 7. Renal insufisiensi akut : Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan. 8. Mikroaangiopati hemolitik anemia : Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist. Hindarkan : B-antagonist.

Diagnosis Banding Diagnosis banding ensefalopati hipertensi antara lain: a. Stroke iskemik atau hemoragik b. Stroke trombotik akut c. Perdarahan intracranial d. Encephalitis e. Hipertensi intracranial f. Lesi massa SSP g. Kondisi lain yang terjadi bersamaan dengan peningkatan tekanan darah atau yang memiliki gejala serupa Prognosis Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Mio Card (1%), diseksi aorta (1%). Prognose menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplanta ginjal.

DAFTAR PUSTAKA Alpert, J. S. and Rippe, J.M. 1980. Hypertensive Crisis in manual of Cardiovascular Diagnosis and Therapy. Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-60. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831. Angeli, P. 1991. Comparison of sublingual Captopril and Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies. Arch, Intren. Med, 151 : 678-82. Bertel, O. 1983. Nifedipine in Hypertensive Emergencies. BrMmmed J, 286; 1921. Calhoun, D.A. 1990. Treatmenet of Hypertensive Crisis. New Engl J Med, 323 : 1177-83. Gifford, R.W. 1991. Management of Hypertensivi Crisis. JAMA SEA,266; 39-45. Gonzale, D.G. 1988. New Approaches for the treatment of Hypertensive Urgencies and Emergencies. Cheast, I, 193-5. Haynes, R.B. 1991. Sublingual Captopril and Nifedipine on Hipertensive Emergencies. ACP Journal Clib, 45. Houston, M.C. 1989. Pathoplysiology Clinical Aspects and tereatment. Dis, 32, 99-148. Kaplan, N.M. 1986. Clinical Hypertention. 4 Ed. William & Elkins, Baltimore, 2273-89. Langton, D. 1990. Refractory Hypertantion and Hypertensive Emergencies in Hypertention Management. Mc Leman & Petty Pty Limited, Australia, 169-75. Sugiyanto, E. Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular .Cermin Dunia Kedokteran, No. 157, 2007: 173-79. Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_157_Neurologi.pdf [diakses 5 April 2013]
th

Anda mungkin juga menyukai