Anda di halaman 1dari 33

0

SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi Laporan Kasus


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman


PERDARAHAN UTERI DISFUNGSIONAL









Disusun Oleh:

FITRIA RIMADHANTY S
1210029047



Pembimbing:
dr. I. G. A. A. Sri M. Montessori , Sp.OG



Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada
SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi
Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Mulawarman
2014
1


LEMBAR PENGESAHAN




PERDARAHAN UTERI DISFUNGSIONAL

Laporan Kasus

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik
pada SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi

Disusun oleh:
Fitria Rimadhanty S
NIM: 1210029047


Dipresentasikan pada 2014




Pembimbing




dr. I. G. A. A. Sri M. Montessori , Sp.OG






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
2

UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama
masa hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau
perdarahan. Masalah ini dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan
klimakterik.
Haid yang tidak teratur pada masa 3-5 tahun setelah menars dan
pramenopause (3-5 tahun menjelang menopause) merupakan keadaan
yang lazim dijumpai. Tetapi pada masa reproduksi (umur 20-40 tahun),
haid yang tidak teratur bukan merupakan keadaan yang lazim, karena
selalu dihubungkan dengan keadaan abnormal.
Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan
perdarahan uterus disfungsional ini secara menyeluruh. Kebanyakan
penulis memperkirakan kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu
10% dari kunjungan ginekologik. Di RSCM/ FKUI pada tahun 1989
ditenukan 39% kasus perdarahan uterus disfungsional dari kunjungan
poliklinik endokronologi dan reproduksi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam menegakan suatu
perdarahan uterus disfungsional diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang tepat sehingga penanganan perdarahan
uterus disfungsional dapat tertangani secara tepat.






3

BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang Mawar RSUD A.W.
Syahranie Samarinda pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 17.00, diperoleh data
sebagai berikut :

2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny. H
Umur : 49 Tahun
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : Pegawai Negri Sipil
Suku : Banjar
Alamat : Jl. Gunung Ungai

Identitas Suami Pasien
Nama : Tn S
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : Swasta
Suku : Banjar
Alamat : Jl. Gunung Ungai

2.2 Keluhan Utama : Perdarahan dari kemaluan
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh keluar darah dari
kemaluan sejak 1 minggu yang lalu.
Darah yang keluar berupa plek-plek
selama 3 hari terakhir. Sebelumnya,
perdarahan yang keluar cukup banyak
sehingga pasien sempat mengganti
4

pembalut sebanyak 8 kali dalam sehari.
Selain itu, pasien mengeluh adanya
nyeri di perut bawah. Nyeri yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk, nyeri
yang dirasakan semakin bertambah
seiring berjalan waktu. Seminggu
sebelum keluhan muncul, pasien sempat
mengalami perdaraan lewat jalan lahir
selama 2 bulan berturut-turut. Darah
yang keluar berupa plek-plek merah.
Pasien sempat berobat ke dokter, namun
tidak kunjung ada perubahan. Buang air
besar dan buang air kecil pasien lancar
dan tidak bermasalah.
Sebelumnya, pada bulan Januari, pasien
sempat disuntik satu kali saat sedang
menjalani ibadah umrah. Setelah
disuntik, pasien tidak ada menstruasi
hingga bulan Maret 2014, dimana
menstruasi yang muncul, berlangsung
sampai dua bulan.
Riwayat Penyakit Dahulu : 4 tahun yang lalu, pasien sempat
didiagnosis memiliki kista ovarium dan
dianjurkan oleh dokter untuk menjalani
operasi, namun pasien menolak. Selain
itu, pasien sempat didiagnosis memiliki
mioma uteri pada bulan Desember
2014. Namun pasien kembali menolak
saat dianjurkan untuk menjalani
tindakan operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada satupun pihak keluarga yang
memiliki keluhan serupa
5


Riwayat Menstruasi :
- Menarche usia 14 tahun
- Siklus teratur setiap 28 hari
- Lama haid 7 hari, dalam sehari mengganti pembaluit 2-3 kali , jika
haid terkadang pasien merasakan nyeri.

Riwayat Perkawinan:
Perkawinan yang pertama, lama menikah 6 tahun. Baru saja bercerai
dengan suaminya pada bulan Februari 2014.

Riwayat Kehamilan , Persalinan dan Nifas
N
o
Tahu
n
Partu
s
Tempa
t
Partus
Umur
kehamila
n
Jenis
Persalina
n
Penolong
Persalina
n
Jenis
Kelami
n
Anak/
BB
Keadaa
n Anak
Sekaran
g

Tidak
ada


Kontrasepsi:
Pasien tidak memiliki riwayat menggunakan kontrasepsi.

B Pemeriksaan fisik:
1. Berat badan 63 kg, tinggi badan 158 cm
2. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
3. Kesadaran : Composmentis, GCS : E4V5M6
4. Tanda vital:
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x/menit, kuat angkat, reguler
Frekuensi napas : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,7C
6

5. Status generalis:
Kepala : normochepali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-)
Telinga/hidung/tenggorokan : tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop
(-)
Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : hepar: pembesaran (-), limpa: pembesaran
(-), nyeri tekan abdomen kuadran bawah
(+) massa (-)
Ekstremitas : Atas : akral hangat
Bawah: akral hangat edema tungkai (-/-),
varices (-/-)
6. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan Inspekulo :
Rambut pubis (-)
Labia : lesi pada permukaan (-) pembengkakan (-)
Genitalia eksterna normal, pembesaran kelenjar bartholin (-
)
Meatus uretra eksterna normal, secret (-)
Vagina bersih, lesi (-) edema (-) secret (-) darah (+) tidak
aktif
Porsio halus, lesi pada serviks (-), edema (-)
Pemeriksaan Bimanual : Tidak Dilakukan

C. Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Jenis Pemeriksaan
12 Mei 2014 Pemeriksaan Darah Lengkap
7

Hb 9,3 gr/dl
Hct 28 %
WBC 11.600 /mm
3
PLT 665.000 / mm
3

BT 3
CT 9
Pemeriksaan Kimia Darah
Glukosa puasa 123 mg/dl
Ureum 22,0 mg/dl
Creatinin 0,5 mg/dl
Natrium 139 mmol/dl
Kalium 3.8 mmol/dl
Klorida 105 mmol/dl
Pemeriksaan Serologi
HBs Ag Negatif
112 Negatif
13 Mei 2014 Pemeriksaan Darah Lengkap
Hb 11,6 gr/dl
Hct 34 %
WBC 10.100 /mm
3
PLT 625.000 / mm
3



2. USG Ginekologi tanggal 7 Mei 2014 :
8



3. Foto Thoraks Postero-anterior tanggal 8 Mei 2014 :

Interpretasi Hasil Foto
Thoraks :
Kesan normal
Interpretasi Hasil USG
Ginekologi :
- Uterus : Antefleksi,
endometrium menebal, massa
(-)
- Adneksa : normal, massa kista
(-)
Kesan : Penebalan
endometrium

9


D. Diagnosis
Diagnosis Kerja Sementara : Perdarahan Uterus Disfungsional

E. Penatalaksanaan
Dilatasi dan Kuretase a/i Perdarahan uterus disfungsional pada tanggal 13
Mei 2014
Persiapan Sebelum Operasi
1. Informed concent
2. Menjelaskan pada klien tentang penyakit yang diderita
3. Menerangkan kepada pasien tentang tindakan operasi yang dilakukan :
garis besar prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan
4. Pasien dipuasakan
5. Cek darah, dan darah harus tersedia dan sudah dilakukan
crossmatching.

Laporan Oprersi tanggal 13 Mei 2014
LAPORAN OPERASI
Bangsal : Mawar Nomor : 68.58.03
Nama : Ny. H Umur : 49 tahun
Nama Ahli Bedah : dr., Sp. OG
Nama Anestesi : dr., Sp. AN
Pembedahan Besar
(Elektif)
Jenis Anestesi :
General Anestesi
Nama Operasi
Dilatasi dan kuretase
Diagnosa Pre Operatif
Perdarahan Uterus
Disfungsional
Diagnosa Post Operatif
Perdarahan Uterus
Disfungsional
Tanggal : 13/05/2014 Jam Mulai : 09.30
Jam Selesai : 10.00
Jaringan hasil kerok
dikirim untuk
pemeriksaan PA
1. Siapkan informed concent
2. Pasien disiapkan diatas meja operasi dalam posisi supine , lalu dilakukan
10

tidakan general anestesi
3. Memposisikan pasien dalam posisi supinasi-litotomi
4. Desinfeksi area tindakan (vulva, supra pubik, paha)
5. Memasukkan spekulum
6. Mengosongkan vesika urinaria dengan kateter foley
7. Desinfeksi vagina dan porsio dengan betadine
8. Menjepit porsio di arah jam 11 dengan tenaculum
9. Memasukkan sonde dan dapat uterus dengan arah antefleksi
10. Dilakukan kuretase dan pengambilan sampel jaringan endometrium
11. Desinfeksi daerah tindakan
12. Operasi selesai


Terapi Post Operatif
1. Cefadroxil 3x500 mg
2. Kalnex tab 3x500 mg
3. Asam mefenamat tab 3x500
4. Metilergometrin 3x1 tab

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi :
Makroskopis : diterima jaringan coklat, tidak beraturan, rapuh, berat 1 gram
Mikroskopis : sediaan jaringan terlihat kelenjar-kelenjar endometrium yang
dilapisi sel-sel silindris bentuk tubulus sederhana (fase proliferasi) diantara stroma
yang seluler oedematous (fase sekresi) dan area perdarahan.

Kesimpulan : Cavum uteri, kerokan
Irreguler shedding

11


Follow Up di Ruang Nifas
Tanggal Follow up
Rencana tindakan dan
Penatalaksanaan
12/05/2014
10.00
Menerima pasien baru dari Poliklinik Kandungan
dan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik :
TD 130/80 mmHg, N : 88x /i kuat angkat, regular,
RR 20 x/i , T
:
36,7
o
C
Diagnosa : Perdarahan Uterus Disfungsional

Rencana tindakan :
Dilatasi dan kuretase

dr. Sp.OG melakukan
1. Informed concent
2. Penjelasan penyakit
3. Tindakan yang
dilakukan
4. Pasien dipuasakan
mulai jam 12 malam
Captopril 3x25 mg
11.00 Lapor dr. SpOG
- Tranfusi darah s/d Hb> 10 mg/dl (1 prc)
- Besok pagi lapor tanda-tanda vital dan hasil
lab terbaru
13/05/2014
06.00






07.30
09.30
Keluhan : tidak ada keluhan
Tanda Vital :
TD 130/90 mmHg, N : 82x /i kuat angkat, regular,
RR 18 x/i , T
:
36,3
o
C
Konjungtiva anemis (-/-)
Abdomen : nyeri (-) BU (+) N
Buang air kecil : tidak ada keluhan
Buang air besar : sudah pagi ini
Pasien diantar ke ruang OK IBS
Pasien kembali ke ruangan
Tanda Vital :
TD 130/90 mmHg, N : 82x /i kuat angkat, regular,
RR 18 x/i , T
:
36,3
o
C










Terapi post operatif :
Cefadroxil 3x500 mg
Kalnex tab 3x500 mg
Asam mefenamat tab
3x500
Metilergometrin 3x1
tab
12

Captopril 3x25 mg

14 /05/2014

Keluhan : tidak ada keluhan
Tanda Vital :
TD 130/80 mmHg, N : 80x /i kuat angkat, regular,
RR 18 x/i , T
:
36,6C
Konjungtiva anemis (-/-)
Abdomen : nyeri (-) BU (+) N
Buang air kecil : melalui selang kateter uretra
(UT : 240 cc/ 4 jam= 1,04 cc/menit)
Buang air besar : belum BAB
Diagnosa : Post dilatase-kuretase Hari ke-1 a/I
perdarahan uterus disfungsional
Aff Infus
Cefadroxil 3x500 mg
Kalnex tab 3x500 mg
Asam mefenamat tab
3x500
Metilergometrin 3x1
tab
Captopril 3x25 mg

15/05/2014 Keluhan : tidak ada keluhan
Tanda Vital :
TD 120/80 mmHg, N : 80x /i kuat angkat, regular,
RR 18 x/i , T
:
36,6C
Konjungtiva anemis (-/-)
Abdomen : nyeri (-) BU (+) N
Buang air kecil : dalam batas normal
Buang air besar : belum BAB
Diagnosa : Post dilatase-kuretase Hari ke-2 a/I
perdarahan uterus disfungsional
Pasien boleh pulang
Asam mefenamat 3 x
500 mg/p.o
Cefadroxil 3 x500
mg/p.o
SF 1x1






13


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Adalah perdarahan abnormal dari uterus baik dalam jumlah,
frekuensi maupun lamanya, yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai
wujud klinis gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-
hipofisis-ovarium, endometrium tanpa kelainan organik alat reproduksi,
seperti radang, tumor, keganasan, kehamilan atau gangguan sistemik lain.
Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-
kelainan ovulasi, siklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang
ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus
disfungsional dapat dibagi seperti table 3.1.
Tabel 3.1. Latar belakang kelainaan perdarahan uterus disfungsional
(PUD) dan bentuk kelainannya.
Dasar kelainan Bentuk klinis
Ovulasi PUD ovulatorik
PUD anovulatorik
Siklus Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Amenorea
Jumlah perdarahan Menoragia
Perdarahan bercak prahaid
Perdarahan bercak paskahaid
Anemia PUD ringan
PUD sedang
PUD berat
14


Tiga kategori yang berhubungan dengan PUD yaitu estrogen
breakthrogh bleeding, estrogen wthdrawal bleeding dan progestin
breakthrough bleeding.
Estrogen breakthrough bleeding timbul bila estrogen berlebihan
menstimulasi endometrium untuk berproliferasi. Dengan
progesteron yang kurang endometrium lepas dengan interval yang
irreguler dan menyebabkan vasokonstriksi tidak adekuat dan
menyebabkan perdarahan. Bila kadar estrogen tinggi maka
perubahan yang terjadi berlangsung lama dan dalam jumlah
banyak.
Estrogen withdrawal bleeding disebabkan kadar estrogen yang
tiba-tiba rendah misal setelah ooforektomi bilateral, penghentian
terapi estrogen eksogen atau sebelum ovulasi pada siklus
menstruasi yang normal. Hal ini biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya dan cenderung tidak timbul bila kadar estrogen tetap
rendah. Perdarahan yang terjadi relatif sedikit.
Progestin breakthrough bleeding timbul bila rasio
progesteron/estrogen tinggi seperti pada pemberian kontrasepsi
yang mengandung progesteron. Endometrium menjadi atrofi dan
ulserasi oleh karena kekurangan estrogen dan menyebabkan
perdarahan irreguler.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan
abnormal terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah
ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek
atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum. Perdarahan
uterus disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul
sebagai perdarahan reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik
perdarahan abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya
adalah defisiensi progesterone dan kelebihan progesterone akibat tidak
15

terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan
demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak ber lawan. Hampir
80% siklus mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan akan
menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah menars.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per
darahan pada satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan
memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera. Sedangkan
perdarahan uterus disfungsional kronis jika perdarahan pada satu saat
kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak hilang dalam 2
siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap
siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian
perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus
disfungsional akut.

3.2 Patofisiologi
Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional
dibedakan dalam bentuk akut dan kronis. Sedangkan secara kausal
perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik,
anovulatorik maupun pada keadaan dengan folikel persisten.
a. Pada siklus ovulatorik, perdarahan dapat dibedakan menjadi:
Perdarahan pada pertengahan siklus
- Perdarahan yang terjadi sedikit dan singkat
- Penyebabnya karena rendahnya kadar estrogen
Perdarahan akibat gangguan pelepasan endometrium
- Biasanya terjadi banyak, memanjang
- Penyebabnya adanya korpus luteum persisten, kadar estrogen
rendah sedang progesteron terus terbentuk.
Perdarahan bercak, pra haid dan pasca haid
- Hal ini disebabkan insufisiensi korpus luteum sedangkan pasca
haid disebabkan oleh karena defisiensi estrogen sehingga
regenerasi endometrium terganggu.
16

b. Pada siklus anovulatorik, dasar perdarahan pada keadaan ini adalah
tidak adanya ovulasi karena tidak terbentuk korpus luteum yang
disebabkan oleh defisiensi progesteron dan kelebihan estrogen.
Perdarahan yang terjadi dapat normal, sedikit atau banyak dengan
siklus yang teratur atau tidak teratur.
c. Perdarahan uterus disfungsional pada keadaan folikel persisten
sering dijumpai pada masa perimenopause dimana terjadi hiperplasi
endometrium oleh karena pengaruh estrogen baik jenis adenomatosa
maupun atipik. Mula-mula haid biasa kemudian terjadi perdarahan
bercak yang selanjutnya dan diikuti perdarahan yang makin banyak
terus-menerus dan disertai gumpalan.

3.3 Diagnosis
Diagnosa PUD secara umum ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Hal yang pertama yang
penting dilakukan adalah menyingkirkan adanya kelainan - kelainan
organic, sistemik, imunologi, keganasan dan kehamilan.
1. Anamnesis
Riwayat penyakit perlu diketahui usia menarche. Siklus haid setelah
menarche, lama dan jumlah darah haid, serta latar belakang
kehidupan keluarga dan latar belakang kepribadian
2. Pemeriksaan
i. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan
adanya sebab lain yang dapat menimbulkan PUD. Perlu
dinilai adanya hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis
seperti petekie.
ii. Pemeriksaan ginekologik
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan
adanya kelainan organik seperti perlukaan genitalia,
erosi/radang atau polip serviks, mioma uteri, dll. Pada
wanita usia pubertas biasanya umumnya tidak diperlukan
17

kerokan. Pada wanita premenopause perlu dilakukan untuk
memastikan ada tidaknya keganasan.
iii. Pemeriksaan penunjang
Kelainan organik yang kecil pada genitalia interna
seringkali sulit dinilai apalagi pada wanita yang belum
menikah, penilaian yang dilakukan per rectal lebih
sulit.Untuk itu dianjurkan penggunaan alat bantu
diagnostic, seperti :
1. Biopsy endometrium (pada wanita yang sudah
menikah)
2. Laboratorium darah dan fungsi hemostasis
3. Ultrasonografi (USG)
4. Tera radioimunologik (TRI) atau radio imuno assay

Diagnosis anovulasi
Penetapan ada atau tidaknya ovulasi cukup berperan pada penentuan jenis
PUD
Tabel 3.2 Karakteristik siklus menstruasi ovulasi dan anovulasi
Ovulatory cycles Anovulatory cycles
- Regular cycle length
- Presence of premenstrual symptoms
- Dysmenorrhea
- Breast tenderness
- Change in cervical mucus
- Mittleschmertz
- Biphasic temperature curve
- Positive result from use of luteinizing
- Hormone predictor hit
- Unpredictable cycle length
- Unpredictable bleeding pattern
- Frequent spotting
- Infrequent heavy bleeding
- Monophasic temperature curve


18

3.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum
perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Umur, status pernikahan, fertilitas.
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada
tingkatan perimenars, reproduksi dan perimenopause.
Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita
yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang
ingin anak.
2. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan
tindakan mendesak atau tidak.
3. Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak
awal telah dipikirkan jika dasar kelainan dan prognosis
telah diketahui sejak dini.

Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional
adalah:
1. Memperbaiki keadaan umum.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi. Yang meliputi: pengembalian
siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik
menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan
untuk pemicuan ovulasi.
4.Menghilangkan ancaman keganasan.

Lima prinsip dasar penatalaksanaan PUD :
1. Singkirkan dahulu kelainan organic/darah
19

2. Bila terjadi perdarahan banyak /keadaan umum wanita jelek /anemia,
hentikan perdarahan segera dengan injeksi estrogen atau dengan
progesterone, kemudian tranfusi.
3. Perdarahan yang tidak sampai mengganggu keadaan umum pasien,
pengobatannya cukup dengan estrogen dan atau progesterone oral saja.
4. Setelah perdarahan dapat dihentikan /gangguan haid dapat diatasi, maka
tindakan
selanjutnya adalah mengatur siklus haid penderita tersebut tiga bulan
berturut turut
5. Setelah tiga bulan pengaturan siklus haid, keadaan kembali seperti semula
maka harus dicari penyebab lain ( analisis hormonal)

Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perbaikan keadaan umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang
buruk, pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang
terjadi harus segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan
uterus disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi
dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan
transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan
Pemakaian hormon steroid seks.
a. Estrogen : Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk
menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu:
a. Penyembuhan luka (healing effect)
b. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh
darah
c. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan
prostaglandin
20

d. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta
menghambat proses fibrinolisis.
b. Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat
menghentikan perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara lain
adalah noretisteron, MPA, megestrol asetat, didrogesteron dan
linestrenol.
Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam
dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan
dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan
didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta
linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih
rinci terhadap pemakaian progestin ini akan diberikan pada bagian
tersendiri .
c. Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan
estrogen dan progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain
adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan
suatu turunan 17- -etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah
200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian
jangka panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.
d. Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada
vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE
2
dan PgE
2

meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis
prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk
pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan
uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan
naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari
terbukti mampu mengurangi perdarahan.
e. Pemakaian antifibrinolitik
21

Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada
perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas
fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi
penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah
plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease
palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi
plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula.
Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat
(dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).

Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser
dan histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari
jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan
pokok dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk
diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini
berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut.
Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah
nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut
berhasil dihentikan pada 40-60% kasus.
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus
disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah
masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu
kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali
diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan
kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada
perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal
menghentikan perdarahan.
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium
diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan
22

hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang
permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontrindikasi
pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari
histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi.
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus
disfungsional harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada
penderita muda tindakan ini merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada
penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus
dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang.
Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional
dengan gambaran histologis endometrium hiperflasia atipik dan kegagalan
pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase.

3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,
pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana
sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
Siklus ovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis tampil
sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan
siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan
siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau
etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15.
Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi
progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17
hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan progesterone dan
estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan
kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.

Siklus anovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar
kelainan kekurangan progesterone. Oleh karena itu pengobatan untuk
23

mengembalikan fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian
progesterone, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-20
mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron
dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan
dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai hari hari ke 16-25 siklus haid.
Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika gagal setelah
pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan
ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur
dengan penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral
selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.

Penggunaan Progestin untuk Pengobatan Perdarahan Uterus Disfungsional
Kronis
Pengobatan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan hormon
progesterone didasarkan pada gejala klinis dan patofisiologinya. Pada
perdarahan uterus disfungsional anovulatorik maksud pemberian
progesteron selain untuk menghentikan perdarahan, juga adalah untuk
mengembalikan panjang siklus haid kebatas normal.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik. Bentuk klinis
perdarahan uterus disfungsional ovulatorik adalah oligomenorea dan
polimenorea. Pada oligomenorea dasar dari terjadinya perdarahan ini
adalah fase proliferasi yang memanjang atau fase sekresi yang
memanjang. Pada fase proliferasi yang memanjang diberikan progesterone
selama 10 hari, mulai hari ke 15 hingga hari ke 25 siklus haid. Sedangkan
pada fase sekresi yang memanjang progesterone diberikan mulai hari ke
17 sampai hari ke 25.
Perdarahan uterus disfungsional karena kelainan korpus luteum.
Kelainan korpus luteum dapat berupa insufisiensi korpus luteum atau
korpus luteum persisten (memanjang).
Bentuk klinis pada insufisiensi korpus luteum adalah bercak
prahaid dan polimenorea. Kedua kelainan ini diobati dengan progestron
mulai hari ke 17 hingga hari ke 26. Korpus luteum persisten akan
24

menimbulkan bentuk klinik oligomenorea, seperti juga pada
oligomenorea yang lain, disini juga diberikan progesterone mulai hari ke
15 hingga hari ke 25.
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Perdarahan uterus
disfungsional kronik anovulatorik menampilkan gejala oligomenorea dan
metroragia. Disini oligomenorea diatasi dengan pemberian progesterone
mulai hari ke 15 sampai hari ke 25. Metroragia diatasi dengan
progesterone mulai hari ke 16 sampai hari ke 25.
Semua pengobatan tersebut diatas diberikan dalam 3 siklus.
Perdarahan lucut akan terjadi sekitar 2-3 hari paska penghentian obat.
Keadaan yang sering menyertai pengobatan progesterone ini adalah
terjadinya perdarahan bercak, yang diakibatkan oleh nisbah estrogen dan
progesterone yang berubah. Hal tersebut dapat diatasi dengan peningkatan
dosis atau pemberian gabungan estrogen dan progesterone dalam bentuk
kontrasepsi oral.
Pada perdarahan uterus disfungsional kronis dengan bentuk
perdarahan bercak prahaid dan paskahaid, pemberian progesterone
terkadang masih menimbulkan perdarahan bercak. Keadaan ini tidak dapat
dikatakan sebagai dampak pengobatan progesterone sebelum dilakukan
pemeriksaan estrogen dan progesterone serum. Jika nisbah
estrogen/progesterone menunjukkan nilai yang berbeda dari keadan
sebelumnya, perdarahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh
pengaruh pengobatan progesterone.
Perdarahan uterus disfungsional kronis adalah perdarahan
abnormal dari uterus tanpa disertai kelainan organik, melainkan semata-
mata sebagai perwujudan dari kelainan fungsional dan terjadi secara
berulang. Berbeda dengan perdarahan disfungsional akut yang cepat
mendapatkan penanganan karena sifat gawat daruratnya, maka perdarahan
uterus disfungsional kronis ini seringkali kurang atau tidak mendapat
penanganan secara seksama. Padahal kalau dilihat dampaknya, keadaan ini
justru memerlukan penanganan yang cepat, tepat, terarah dan sungguh-
sungguh.
25




BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. H usia 49 tahun datang ke Ruang Mawar Rumah Sakit A.W.
Syahranie Samarinda tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WITA dengan keluhan
utama keluar darah dari kemaluan. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis perdarahan uterus
disfungsional.
Diagnosis perdarahan uterus disfungsional didasarkan pada hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis perdarahan
uterus disfungsional yang tepat sangat penting untuk menentukan penanganan
selanjutnya

4.1 Anamnesis
Kasus Teori
Pasien usia 49 tahun, tidak
memiliki anak
Pasien mengeluh keluar darah dari
kemaluan sejak 1 minggu yang
lalu. Darah yang keluar berupa
plek-plek selama 3 hari terakhir.
Pasien mengeluh adanya nyeri di
perut bawah. Nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk-tusuk, nyeri yang
dirasakan semakin bertambah
seiring berjalan waktu.
Seminggu sebelum keluhan
muncul, pasien sempat mengalami
Perdarahan uterus disfungsional
sering muncul pada usia setelah
menarche atau masa pramenopause
Perdarahan uterus disfungsional
adalah perdarahan yang terjadi
dalam masa antara 2 haid.
Perdarahan yang keluar bisa
disebabkan oleh peluruhan dinding
endometrium yang pada sebagian
wanita bisa menimbulkan keluhan
nyeri
Tidak ada kelainan pada buang air
besar dan buang air kecil.
26

perdarahan lewat jalan lahir selama
2 bulan berturut-turut. Darah yang
keluar berupa plek-plek merah.
Buang air besar dan buang air kecil
pasien lancar dan tidak bermasalah.
Sempat disuntik satu kali saat
sedang menjalani ibadah umrah.
Setelah disuntik, pasien tidak ada
menstruasi hingga bulan Maret
2014.
4 tahun yang lalu, pasien sempat
didiagnosis memiliki kista ovarium
dan dianjurkan oleh dokter untuk
menjalani operasi, namun pasien
menolak.
Selain itu, pasien sempat
didiagnosis memiliki mioma uteri
pada bulan Desember 2014.
Bercerai pada bulan Februari 2014
Pembesaran kista pada wanita bisa
disebabkan hormone yang tidak
seimbang. Namun kondisi ini bisa
hilang dengan sendirinya.
Stress
Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yaitu Pasien usia
49 tahun, tidak memiliki anak. Pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan sejak
1 minggu yang lalu. Darah yang keluar berupa plek-plek selama 3 hari terakhir.
Pasien mengeluh adanya nyeri di perut bawah. Nyeri yang dirasakan seperti
ditusuk-tusuk, nyeri yang dirasakan semakin bertambah seiring berjalan waktu.
Seminggu sebelum keluhan muncul, pasien sempat mengalami perdarahan lewat
jalan lahir selama 2 bulan berturut-turut. Darah yang keluar berupa plek-plek
merah. Buang air besar dan buang air kecil pasien lancar dan tidak bermasalah.
Sempat disuntik satu kali saat sedang menjalani ibadah umrah. Setelah disuntik,
pasien tidak ada menstruasi hingga bulan Maret 2014. 4 tahun yang lalu, pasien
sempat didiagnosis memiliki kista ovarium dan dianjurkan oleh dokter untuk
menjalani operasi, namun pasien menolak. Selain itu, pasien sempat didiagnosis
memiliki mioma uteri pada bulan Desember 2014.
27

Secara teori, perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu
dalam kehidupan menstrual seorang wanita, namun hal ini paling sering terdapat
pada masa pubertas dan pada masa pramenopause. Pada masa pubertas sesudah
menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya
proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembentukan Releasing
factor dan hormone gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa
pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancer.
Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita penderita dengan
penyakit metabolic, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang
menahun, tumor ovarium dan sebagainya. Akan tetapi, disamping itu, terdapat
banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakit tersebut.
Dalam hal ini stress yang dihadapi dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar.
Hal ini bisa dikaitkan dengan pasien, dimana pada 2 bulan terkahir pasien baru
saja bercerai dengan suami pasien.
Pada pasien, diketahui pernah mendapatkan suntikan sebelum umrah, dan
setelahnya pasien tidak mengalami haid. Suntikan ini dicurigai merupakan obat
depo-provera. Depo-provera adalah 6-alfa-medroksiprogesteron yang digunakan
untuk tujuan kontrasepsi parenteral, yang mempunyai efek progestin yang kuat
dan sangat efektif. Efek samping dalam pemberian obat ini selain digunakan
sebagai obat kontrasepsi adalah kondisi amenore dan perdarahan tidak teratur. Hal
ini bisa dikaitkan dengan kondisi pasien , dimana setelah pasien disuntikan, pasien
langsung mengeluh tidak adanya haid selama 2 bulan.

4.2 Pemeriksaan Fisik
Kasus Teori
- Nyeri tekan abdomen kuadaran
bawah (+)
- pemeriksaan ginekologi :
- Inspekulo :dalam batas normal
- pemeriksaan bimanual : tidak
dilakukan
- Tidak ditemukan adanya sebab
perdarahan organic, seperti kelainan
pada serviks uteri, ovarium.
- Diperlukannya pemeriksaan fisik
bimanual untuk mengetahui ada
tidaknya kelainan struktur pada uterus
dan organ disekitarnya.
28

Pada kasus, pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada abdomen
kuadran kanan bawah. Hasil pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Jika
dihubungkan dengan teori bahwa nyeri tekan abdomen tersebut bisadiakibatkan
kontraksi uterus yang berlebihan.
Pada pemeriksaan ginekologik perlu diperhatikan adanya kelainan organic
( penyakit, ulkus, tumor, kehamilan terganggu), yang menyebabkan perdarahan
abnormal. Salah satunya dengan melakukan pemeriksaan inspekulo dan
pemeriksaan bimanual. Pada pasien, telah dilakukan pemeriksaan inspekulo.
Namun tidak dilakukannya pemeriksaan bimanual pada pasien menyebabkan
tidak dapat menyingkirkan adanya kelainan organ rongga pelvis, terutama uterus,
yang akan mempermudah tenaga klinis dalam pengarahan pemeriksaan penunjang
untuk penegakan diagnosis.

4.3 Pemeriksaan Penunjang
Kasus Teori
Pemeriksaan darah lengkap
dalam batas normal
Pemeriksaan kimia darah
lengkap dalam batas normal
Pemeriksaan USG Ginekologi :
Penebalan endometrium
Pemeriksaan Foto Thorax PA
:Kesan norma
Pemeriksaan Patologi Anatomi :
Cavum uteri, kerokan, Irreguler
shedding
Ultrasonografi Ginekologi : tidak
ditemukannya kelainan struktur
organ
Foto Roentgen
Pemeriksaan Patologi Anatomi
berupa biopsy kerokan jaringan
dilakukan pada wanita
pramenopause untuk
memastikan ada tidaknya tumor
ganas.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium pada pasien ini didapatkan hasil
dalam batas normal. Berdasarkan pemeriksaan USG ginekologi didapatkan
adanya penebalan endometrium pada pasien. Berdasarkan literature, penebalan
endometrium atau hyperplasia endometrium bisa disebabkan karena stimulasi
estrogen yang berlebihan dan terus menerus. Namun pada perdarahan uterus
disfungsional dapat ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium,
29

yaitu endometrium atrofik, hiperplastik, proliferative dan sekretoris, dengan
endometrium jenis nonsekresi merupakan yang terbesar.
Pada hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil berupa irreguler
shedding (gangguan pelepasam endometrium saat haid). Salah satu penyebab
irreguler shedding adalah korpus luteum persisten. Biasanya pada pemeriksaan
patologi anatomi akan ditemukan jaringan endometrium dalam tipe sekresi
disamping tipe nonsekresi. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab perdarahan
pada pasien disebakan oleh perdarahan tipe ovulatoar.

4.4 Diagnosis
Kasus Teori
Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan pada
pasien Ny. H maka dapat didiagnosis
sebagai perdarahan uterus
disfungsional, berupa perdarahan tipe
ovulatoar dikarenakan persistensi
korpus luteum sehingga menyebabkan
irregular shedding atau pelepasan
endometrium yang tidak teratur.
Diagnosis dapat ditegakkan bila telah
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada
perdarahan yang disebabkan adanya
kondisi irregular shedding atau
pelepasan endometrium tidak teratur
yang menghasilkan kondisi perdarahan
yang lama.

4.5 Penatalaksanaan
Kasus Teori
1. Dilatase kuretase
2. Dilakukan pula pemeriksaan patologi
anatomi pada jaringan yang diangkat
sewaktu operasi
Terapi Post Operatif
1. Cefadroxil 3x500 mg
2. Kalnex tab 3x500 mg
3. Asam mefenamat tab 3x500
Pada wanita dewasa dan
terutama dalam masa
premenopause dengan
perdarahan tidak teratur mutlak
diperlukan kerokan atau tindakan
dilatase kuretase untuk
menentukan ada tidaknya tumor
ganas.
30

4. Metilergometrin 3x1 tab
Obat Pulang :
Asam mefenamat 3 x 500 mg/p.o
Cefadroxil 3 x500 mg/p.o
SF 1x1

Terapi hormonal
Pada pasien ini dilakukan tindakan dilatasi kuretase, dimana merupakan
terapi paling baik terutama pada pasien wanita yang bukan dalam masa pubertas.
Pemberian obat pada pasien dengan perdarahan uterus disfungsional tipe
ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan
perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid.
Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25
mg/hari atau etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15.
Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron
asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke
26. Beberapa literatur menggunakan progesterone dan estrogen pada polimenorea
dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5
hingga hari ke 25 siklus haid.
Pada pasien dengan irregular shedding dikarenakan korpus luteum
persisten, korpus luteum persisten akan menimbulkan bentuk klinik
oligomenorea, seperti juga pada oligomenorea yang lain, disini juga diberikan
progesterone mulai hari ke 15 hingga hari ke 25, sehingga ada baiknya terdapat
terapi hormonal pada pasien dengan progesterone baik medroksi progestron asetat
atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari.


31

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. H yang berusia 49 tahun
yang datang ke rumah sakit A.W. Syahranie Samarinda dengan keluhan keluar
darah dari kemaluan sejak 1 minggu terakhir. Setelah melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis sebagai
perdarahan uterus disfungsional. Pada pasien ini dilakukan tindakan operatif yakni
tindakan dilatase kuretase atas indikasi perdarahan uterus disfungsional. Hasil dari
pemeriksaan patologi anatomi pada pasien tersebut adalah irregular
sheddingdimana salah satu penyebab irreguler shedding adalah korpus luteum
persisten. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab perdarahan pada pasien
disebakan oleh perdarahan tipe ovulatoar.
Diagnosis akhir pada pasien ini adalah perdarahan uterus disfungsional
tipe ovulatoar, brupa irregular shedding atau pelepasan endometrium yang tidak
teratur. Secara umum penegakan diagnosis pada pasien tersebut sudah tepat dan
sesuai dengan teori yang ada. Pada penatalaksanaan, terdapat kekurangan berupa
tidak adanya terapi hormonal pada pasien. Pemberian hormonal tambahan berupa
progesterone dapat dianjurkan pemberiannya dan diikuti dengan follow up pada
pasien dalam penyeimbangan hormone untuk siklus haid.

5.2 Usulan
Pada kasus, terdapat beberapa kekurangan yang menurut penulis perlu
diperhatikan yaitu pemeriksaan ginekologi bimanual dapat pemeriksaan awal
yang dapat membantu dalam pengarahan pemeriksaan lanjutan pada pasien, serta
penatalaksanaan dengan pemberian terapi hormonal yang disesuaikan dengan
penyebab perdarahan uterus disfungsional.




32

DAFTAR PUSTAKA


Kadarusman Y, Jacoeb TZ, Baziad A. Perdarahan uterus disfungsional kronis
pada masa reproduksi : Aspek patofisiologi dan pengobatan dengan
progesterone. Majalah Obstet Ginekol Indones 1993; 19:67-88.
Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7 ed.,
Vol. II). (H. Hartanto, N. Darmaniah, & N. Wulandari, Eds.) Jakarta:
EGC.
Wiknjosastro, H. (2008). Ilmu Kandungan (2 ed.). Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H. (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan BIna Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai