Pembimbing: dr. I. G. A. A. Sri M. Montessori , Sp.OG
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman 2014 1
LEMBAR PENGESAHAN
PERDARAHAN UTERI DISFUNGSIONAL
Laporan Kasus
Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik pada SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi
Disusun oleh: Fitria Rimadhanty S NIM: 1210029047
Dipresentasikan pada 2014
Pembimbing
dr. I. G. A. A. Sri M. Montessori , Sp.OG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN 2
UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik. Haid yang tidak teratur pada masa 3-5 tahun setelah menars dan pramenopause (3-5 tahun menjelang menopause) merupakan keadaan yang lazim dijumpai. Tetapi pada masa reproduksi (umur 20-40 tahun), haid yang tidak teratur bukan merupakan keadaan yang lazim, karena selalu dihubungkan dengan keadaan abnormal. Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan perdarahan uterus disfungsional ini secara menyeluruh. Kebanyakan penulis memperkirakan kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu 10% dari kunjungan ginekologik. Di RSCM/ FKUI pada tahun 1989 ditenukan 39% kasus perdarahan uterus disfungsional dari kunjungan poliklinik endokronologi dan reproduksi. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam menegakan suatu perdarahan uterus disfungsional diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat sehingga penanganan perdarahan uterus disfungsional dapat tertangani secara tepat.
3
BAB II LAPORAN KASUS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang Mawar RSUD A.W. Syahranie Samarinda pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 17.00, diperoleh data sebagai berikut :
2.1 Identitas Identitas Pasien Nama : Ny. H Umur : 49 Tahun Pendidikan Terakhir : S1 Pekerjaan : Pegawai Negri Sipil Suku : Banjar Alamat : Jl. Gunung Ungai
Identitas Suami Pasien Nama : Tn S Umur : 52 tahun Agama : Islam Pendidikan Terakhir : S1 Pekerjaan : Swasta Suku : Banjar Alamat : Jl. Gunung Ungai
2.2 Keluhan Utama : Perdarahan dari kemaluan Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan sejak 1 minggu yang lalu. Darah yang keluar berupa plek-plek selama 3 hari terakhir. Sebelumnya, perdarahan yang keluar cukup banyak sehingga pasien sempat mengganti 4
pembalut sebanyak 8 kali dalam sehari. Selain itu, pasien mengeluh adanya nyeri di perut bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk, nyeri yang dirasakan semakin bertambah seiring berjalan waktu. Seminggu sebelum keluhan muncul, pasien sempat mengalami perdaraan lewat jalan lahir selama 2 bulan berturut-turut. Darah yang keluar berupa plek-plek merah. Pasien sempat berobat ke dokter, namun tidak kunjung ada perubahan. Buang air besar dan buang air kecil pasien lancar dan tidak bermasalah. Sebelumnya, pada bulan Januari, pasien sempat disuntik satu kali saat sedang menjalani ibadah umrah. Setelah disuntik, pasien tidak ada menstruasi hingga bulan Maret 2014, dimana menstruasi yang muncul, berlangsung sampai dua bulan. Riwayat Penyakit Dahulu : 4 tahun yang lalu, pasien sempat didiagnosis memiliki kista ovarium dan dianjurkan oleh dokter untuk menjalani operasi, namun pasien menolak. Selain itu, pasien sempat didiagnosis memiliki mioma uteri pada bulan Desember 2014. Namun pasien kembali menolak saat dianjurkan untuk menjalani tindakan operasi. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada satupun pihak keluarga yang memiliki keluhan serupa 5
Riwayat Menstruasi : - Menarche usia 14 tahun - Siklus teratur setiap 28 hari - Lama haid 7 hari, dalam sehari mengganti pembaluit 2-3 kali , jika haid terkadang pasien merasakan nyeri.
Riwayat Perkawinan: Perkawinan yang pertama, lama menikah 6 tahun. Baru saja bercerai dengan suaminya pada bulan Februari 2014.
Riwayat Kehamilan , Persalinan dan Nifas N o Tahu n Partu s Tempa t Partus Umur kehamila n Jenis Persalina n Penolong Persalina n Jenis Kelami n Anak/ BB Keadaa n Anak Sekaran g
Tidak ada
Kontrasepsi: Pasien tidak memiliki riwayat menggunakan kontrasepsi.
B Pemeriksaan fisik: 1. Berat badan 63 kg, tinggi badan 158 cm 2. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang 3. Kesadaran : Composmentis, GCS : E4V5M6 4. Tanda vital: Tekanan darah : 130/90 mmHg Frekuensi nadi : 88 x/menit, kuat angkat, reguler Frekuensi napas : 20x/menit, reguler Suhu : 36,7C 6
5. Status generalis: Kepala : normochepali Mata : konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-) Telinga/hidung/tenggorokan : tidak ditemukan kelainan Leher : Pembesaran KGB (-) Thorax: Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) Abdomen : hepar: pembesaran (-), limpa: pembesaran (-), nyeri tekan abdomen kuadran bawah (+) massa (-) Ekstremitas : Atas : akral hangat Bawah: akral hangat edema tungkai (-/-), varices (-/-) 6. Pemeriksaan Ginekologi Pemeriksaan Inspekulo : Rambut pubis (-) Labia : lesi pada permukaan (-) pembengkakan (-) Genitalia eksterna normal, pembesaran kelenjar bartholin (- ) Meatus uretra eksterna normal, secret (-) Vagina bersih, lesi (-) edema (-) secret (-) darah (+) tidak aktif Porsio halus, lesi pada serviks (-), edema (-) Pemeriksaan Bimanual : Tidak Dilakukan
C. Pemeriksaan Penunjang : 1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal Jenis Pemeriksaan 12 Mei 2014 Pemeriksaan Darah Lengkap 7
BT 3 CT 9 Pemeriksaan Kimia Darah Glukosa puasa 123 mg/dl Ureum 22,0 mg/dl Creatinin 0,5 mg/dl Natrium 139 mmol/dl Kalium 3.8 mmol/dl Klorida 105 mmol/dl Pemeriksaan Serologi HBs Ag Negatif 112 Negatif 13 Mei 2014 Pemeriksaan Darah Lengkap Hb 11,6 gr/dl Hct 34 % WBC 10.100 /mm 3 PLT 625.000 / mm 3
2. USG Ginekologi tanggal 7 Mei 2014 : 8
3. Foto Thoraks Postero-anterior tanggal 8 Mei 2014 :
Interpretasi Hasil Foto Thoraks : Kesan normal Interpretasi Hasil USG Ginekologi : - Uterus : Antefleksi, endometrium menebal, massa (-) - Adneksa : normal, massa kista (-) Kesan : Penebalan endometrium
9
D. Diagnosis Diagnosis Kerja Sementara : Perdarahan Uterus Disfungsional
E. Penatalaksanaan Dilatasi dan Kuretase a/i Perdarahan uterus disfungsional pada tanggal 13 Mei 2014 Persiapan Sebelum Operasi 1. Informed concent 2. Menjelaskan pada klien tentang penyakit yang diderita 3. Menerangkan kepada pasien tentang tindakan operasi yang dilakukan : garis besar prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan 4. Pasien dipuasakan 5. Cek darah, dan darah harus tersedia dan sudah dilakukan crossmatching.
Laporan Oprersi tanggal 13 Mei 2014 LAPORAN OPERASI Bangsal : Mawar Nomor : 68.58.03 Nama : Ny. H Umur : 49 tahun Nama Ahli Bedah : dr., Sp. OG Nama Anestesi : dr., Sp. AN Pembedahan Besar (Elektif) Jenis Anestesi : General Anestesi Nama Operasi Dilatasi dan kuretase Diagnosa Pre Operatif Perdarahan Uterus Disfungsional Diagnosa Post Operatif Perdarahan Uterus Disfungsional Tanggal : 13/05/2014 Jam Mulai : 09.30 Jam Selesai : 10.00 Jaringan hasil kerok dikirim untuk pemeriksaan PA 1. Siapkan informed concent 2. Pasien disiapkan diatas meja operasi dalam posisi supine , lalu dilakukan 10
tidakan general anestesi 3. Memposisikan pasien dalam posisi supinasi-litotomi 4. Desinfeksi area tindakan (vulva, supra pubik, paha) 5. Memasukkan spekulum 6. Mengosongkan vesika urinaria dengan kateter foley 7. Desinfeksi vagina dan porsio dengan betadine 8. Menjepit porsio di arah jam 11 dengan tenaculum 9. Memasukkan sonde dan dapat uterus dengan arah antefleksi 10. Dilakukan kuretase dan pengambilan sampel jaringan endometrium 11. Desinfeksi daerah tindakan 12. Operasi selesai
Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi : Makroskopis : diterima jaringan coklat, tidak beraturan, rapuh, berat 1 gram Mikroskopis : sediaan jaringan terlihat kelenjar-kelenjar endometrium yang dilapisi sel-sel silindris bentuk tubulus sederhana (fase proliferasi) diantara stroma yang seluler oedematous (fase sekresi) dan area perdarahan.
Follow Up di Ruang Nifas Tanggal Follow up Rencana tindakan dan Penatalaksanaan 12/05/2014 10.00 Menerima pasien baru dari Poliklinik Kandungan dan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik : TD 130/80 mmHg, N : 88x /i kuat angkat, regular, RR 20 x/i , T : 36,7 o C Diagnosa : Perdarahan Uterus Disfungsional
Rencana tindakan : Dilatasi dan kuretase
dr. Sp.OG melakukan 1. Informed concent 2. Penjelasan penyakit 3. Tindakan yang dilakukan 4. Pasien dipuasakan mulai jam 12 malam Captopril 3x25 mg 11.00 Lapor dr. SpOG - Tranfusi darah s/d Hb> 10 mg/dl (1 prc) - Besok pagi lapor tanda-tanda vital dan hasil lab terbaru 13/05/2014 06.00
07.30 09.30 Keluhan : tidak ada keluhan Tanda Vital : TD 130/90 mmHg, N : 82x /i kuat angkat, regular, RR 18 x/i , T : 36,3 o C Konjungtiva anemis (-/-) Abdomen : nyeri (-) BU (+) N Buang air kecil : tidak ada keluhan Buang air besar : sudah pagi ini Pasien diantar ke ruang OK IBS Pasien kembali ke ruangan Tanda Vital : TD 130/90 mmHg, N : 82x /i kuat angkat, regular, RR 18 x/i , T : 36,3 o C
Terapi post operatif : Cefadroxil 3x500 mg Kalnex tab 3x500 mg Asam mefenamat tab 3x500 Metilergometrin 3x1 tab 12
Captopril 3x25 mg
14 /05/2014
Keluhan : tidak ada keluhan Tanda Vital : TD 130/80 mmHg, N : 80x /i kuat angkat, regular, RR 18 x/i , T : 36,6C Konjungtiva anemis (-/-) Abdomen : nyeri (-) BU (+) N Buang air kecil : melalui selang kateter uretra (UT : 240 cc/ 4 jam= 1,04 cc/menit) Buang air besar : belum BAB Diagnosa : Post dilatase-kuretase Hari ke-1 a/I perdarahan uterus disfungsional Aff Infus Cefadroxil 3x500 mg Kalnex tab 3x500 mg Asam mefenamat tab 3x500 Metilergometrin 3x1 tab Captopril 3x25 mg
15/05/2014 Keluhan : tidak ada keluhan Tanda Vital : TD 120/80 mmHg, N : 80x /i kuat angkat, regular, RR 18 x/i , T : 36,6C Konjungtiva anemis (-/-) Abdomen : nyeri (-) BU (+) N Buang air kecil : dalam batas normal Buang air besar : belum BAB Diagnosa : Post dilatase-kuretase Hari ke-2 a/I perdarahan uterus disfungsional Pasien boleh pulang Asam mefenamat 3 x 500 mg/p.o Cefadroxil 3 x500 mg/p.o SF 1x1
13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Adalah perdarahan abnormal dari uterus baik dalam jumlah, frekuensi maupun lamanya, yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai wujud klinis gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus- hipofisis-ovarium, endometrium tanpa kelainan organik alat reproduksi, seperti radang, tumor, keganasan, kehamilan atau gangguan sistemik lain. Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan- kelainan ovulasi, siklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi seperti table 3.1. Tabel 3.1. Latar belakang kelainaan perdarahan uterus disfungsional (PUD) dan bentuk kelainannya. Dasar kelainan Bentuk klinis Ovulasi PUD ovulatorik PUD anovulatorik Siklus Metroragia Polimenorea Oligomenorea Amenorea Jumlah perdarahan Menoragia Perdarahan bercak prahaid Perdarahan bercak paskahaid Anemia PUD ringan PUD sedang PUD berat 14
Tiga kategori yang berhubungan dengan PUD yaitu estrogen breakthrogh bleeding, estrogen wthdrawal bleeding dan progestin breakthrough bleeding. Estrogen breakthrough bleeding timbul bila estrogen berlebihan menstimulasi endometrium untuk berproliferasi. Dengan progesteron yang kurang endometrium lepas dengan interval yang irreguler dan menyebabkan vasokonstriksi tidak adekuat dan menyebabkan perdarahan. Bila kadar estrogen tinggi maka perubahan yang terjadi berlangsung lama dan dalam jumlah banyak. Estrogen withdrawal bleeding disebabkan kadar estrogen yang tiba-tiba rendah misal setelah ooforektomi bilateral, penghentian terapi estrogen eksogen atau sebelum ovulasi pada siklus menstruasi yang normal. Hal ini biasanya dapat sembuh dengan sendirinya dan cenderung tidak timbul bila kadar estrogen tetap rendah. Perdarahan yang terjadi relatif sedikit. Progestin breakthrough bleeding timbul bila rasio progesteron/estrogen tinggi seperti pada pemberian kontrasepsi yang mengandung progesteron. Endometrium menjadi atrofi dan ulserasi oleh karena kekurangan estrogen dan menyebabkan perdarahan irreguler. Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik. Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi progesterone dan kelebihan progesterone akibat tidak 15
terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak ber lawan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah menars. Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus disfungsional akut.
3.2 Patofisiologi Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam bentuk akut dan kronis. Sedangkan secara kausal perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik, anovulatorik maupun pada keadaan dengan folikel persisten. a. Pada siklus ovulatorik, perdarahan dapat dibedakan menjadi: Perdarahan pada pertengahan siklus - Perdarahan yang terjadi sedikit dan singkat - Penyebabnya karena rendahnya kadar estrogen Perdarahan akibat gangguan pelepasan endometrium - Biasanya terjadi banyak, memanjang - Penyebabnya adanya korpus luteum persisten, kadar estrogen rendah sedang progesteron terus terbentuk. Perdarahan bercak, pra haid dan pasca haid - Hal ini disebabkan insufisiensi korpus luteum sedangkan pasca haid disebabkan oleh karena defisiensi estrogen sehingga regenerasi endometrium terganggu. 16
b. Pada siklus anovulatorik, dasar perdarahan pada keadaan ini adalah tidak adanya ovulasi karena tidak terbentuk korpus luteum yang disebabkan oleh defisiensi progesteron dan kelebihan estrogen. Perdarahan yang terjadi dapat normal, sedikit atau banyak dengan siklus yang teratur atau tidak teratur. c. Perdarahan uterus disfungsional pada keadaan folikel persisten sering dijumpai pada masa perimenopause dimana terjadi hiperplasi endometrium oleh karena pengaruh estrogen baik jenis adenomatosa maupun atipik. Mula-mula haid biasa kemudian terjadi perdarahan bercak yang selanjutnya dan diikuti perdarahan yang makin banyak terus-menerus dan disertai gumpalan.
3.3 Diagnosis Diagnosa PUD secara umum ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Hal yang pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan adanya kelainan - kelainan organic, sistemik, imunologi, keganasan dan kehamilan. 1. Anamnesis Riwayat penyakit perlu diketahui usia menarche. Siklus haid setelah menarche, lama dan jumlah darah haid, serta latar belakang kehidupan keluarga dan latar belakang kepribadian 2. Pemeriksaan i. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan adanya sebab lain yang dapat menimbulkan PUD. Perlu dinilai adanya hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis seperti petekie. ii. Pemeriksaan ginekologik Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan adanya kelainan organik seperti perlukaan genitalia, erosi/radang atau polip serviks, mioma uteri, dll. Pada wanita usia pubertas biasanya umumnya tidak diperlukan 17
kerokan. Pada wanita premenopause perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya keganasan. iii. Pemeriksaan penunjang Kelainan organik yang kecil pada genitalia interna seringkali sulit dinilai apalagi pada wanita yang belum menikah, penilaian yang dilakukan per rectal lebih sulit.Untuk itu dianjurkan penggunaan alat bantu diagnostic, seperti : 1. Biopsy endometrium (pada wanita yang sudah menikah) 2. Laboratorium darah dan fungsi hemostasis 3. Ultrasonografi (USG) 4. Tera radioimunologik (TRI) atau radio imuno assay
Diagnosis anovulasi Penetapan ada atau tidaknya ovulasi cukup berperan pada penentuan jenis PUD Tabel 3.2 Karakteristik siklus menstruasi ovulasi dan anovulasi Ovulatory cycles Anovulatory cycles - Regular cycle length - Presence of premenstrual symptoms - Dysmenorrhea - Breast tenderness - Change in cervical mucus - Mittleschmertz - Biphasic temperature curve - Positive result from use of luteinizing - Hormone predictor hit - Unpredictable cycle length - Unpredictable bleeding pattern - Frequent spotting - Infrequent heavy bleeding - Monophasic temperature curve
18
3.4 Penatalaksanaan Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: 1. Umur, status pernikahan, fertilitas. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars, reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak. 2. Berat, jenis dan lama perdarahan. Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau tidak. 3. Kelainan dasar dan prognosisnya. Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.
Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah: 1. Memperbaiki keadaan umum. 2. Menghentikan perdarahan. 3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi. Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi. 4.Menghilangkan ancaman keganasan.
Lima prinsip dasar penatalaksanaan PUD : 1. Singkirkan dahulu kelainan organic/darah 19
2. Bila terjadi perdarahan banyak /keadaan umum wanita jelek /anemia, hentikan perdarahan segera dengan injeksi estrogen atau dengan progesterone, kemudian tranfusi. 3. Perdarahan yang tidak sampai mengganggu keadaan umum pasien, pengobatannya cukup dengan estrogen dan atau progesterone oral saja. 4. Setelah perdarahan dapat dihentikan /gangguan haid dapat diatasi, maka tindakan selanjutnya adalah mengatur siklus haid penderita tersebut tiga bulan berturut turut 5. Setelah tiga bulan pengaturan siklus haid, keadaan kembali seperti semula maka harus dicari penyebab lain ( analisis hormonal)
Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Perbaikan keadaan umum Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk, pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah. 2. Penghentian perdarahan Pemakaian hormon steroid seks. a. Estrogen : Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu: a. Penyembuhan luka (healing effect) b. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah c. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin 20
d. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses fibrinolisis. b. Progestin Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara lain adalah noretisteron, MPA, megestrol asetat, didrogesteron dan linestrenol. Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih rinci terhadap pemakaian progestin ini akan diberikan pada bagian tersendiri . c. Androgen Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17- -etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi. d. Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin. Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE 2 dan PgE 2
meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan. e. Pemakaian antifibrinolitik 21
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease palsmin. Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).
Pengobatan operatif Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan. Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan 22
hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontrindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi. Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase.
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi. Siklus ovulatorik. Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan progesterone dan estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.
Siklus anovulatorik. Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan progesterone. Oleh karena itu pengobatan untuk 23
mengembalikan fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian progesterone, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.
Penggunaan Progestin untuk Pengobatan Perdarahan Uterus Disfungsional Kronis Pengobatan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan hormon progesterone didasarkan pada gejala klinis dan patofisiologinya. Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik maksud pemberian progesteron selain untuk menghentikan perdarahan, juga adalah untuk mengembalikan panjang siklus haid kebatas normal. Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik. Bentuk klinis perdarahan uterus disfungsional ovulatorik adalah oligomenorea dan polimenorea. Pada oligomenorea dasar dari terjadinya perdarahan ini adalah fase proliferasi yang memanjang atau fase sekresi yang memanjang. Pada fase proliferasi yang memanjang diberikan progesterone selama 10 hari, mulai hari ke 15 hingga hari ke 25 siklus haid. Sedangkan pada fase sekresi yang memanjang progesterone diberikan mulai hari ke 17 sampai hari ke 25. Perdarahan uterus disfungsional karena kelainan korpus luteum. Kelainan korpus luteum dapat berupa insufisiensi korpus luteum atau korpus luteum persisten (memanjang). Bentuk klinis pada insufisiensi korpus luteum adalah bercak prahaid dan polimenorea. Kedua kelainan ini diobati dengan progestron mulai hari ke 17 hingga hari ke 26. Korpus luteum persisten akan 24
menimbulkan bentuk klinik oligomenorea, seperti juga pada oligomenorea yang lain, disini juga diberikan progesterone mulai hari ke 15 hingga hari ke 25. Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Perdarahan uterus disfungsional kronik anovulatorik menampilkan gejala oligomenorea dan metroragia. Disini oligomenorea diatasi dengan pemberian progesterone mulai hari ke 15 sampai hari ke 25. Metroragia diatasi dengan progesterone mulai hari ke 16 sampai hari ke 25. Semua pengobatan tersebut diatas diberikan dalam 3 siklus. Perdarahan lucut akan terjadi sekitar 2-3 hari paska penghentian obat. Keadaan yang sering menyertai pengobatan progesterone ini adalah terjadinya perdarahan bercak, yang diakibatkan oleh nisbah estrogen dan progesterone yang berubah. Hal tersebut dapat diatasi dengan peningkatan dosis atau pemberian gabungan estrogen dan progesterone dalam bentuk kontrasepsi oral. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis dengan bentuk perdarahan bercak prahaid dan paskahaid, pemberian progesterone terkadang masih menimbulkan perdarahan bercak. Keadaan ini tidak dapat dikatakan sebagai dampak pengobatan progesterone sebelum dilakukan pemeriksaan estrogen dan progesterone serum. Jika nisbah estrogen/progesterone menunjukkan nilai yang berbeda dari keadan sebelumnya, perdarahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh pengaruh pengobatan progesterone. Perdarahan uterus disfungsional kronis adalah perdarahan abnormal dari uterus tanpa disertai kelainan organik, melainkan semata- mata sebagai perwujudan dari kelainan fungsional dan terjadi secara berulang. Berbeda dengan perdarahan disfungsional akut yang cepat mendapatkan penanganan karena sifat gawat daruratnya, maka perdarahan uterus disfungsional kronis ini seringkali kurang atau tidak mendapat penanganan secara seksama. Padahal kalau dilihat dampaknya, keadaan ini justru memerlukan penanganan yang cepat, tepat, terarah dan sungguh- sungguh. 25
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien Ny. H usia 49 tahun datang ke Ruang Mawar Rumah Sakit A.W. Syahranie Samarinda tanggal 12 Mei 2014 pukul 10.00 WITA dengan keluhan utama keluar darah dari kemaluan. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis perdarahan uterus disfungsional. Diagnosis perdarahan uterus disfungsional didasarkan pada hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis perdarahan uterus disfungsional yang tepat sangat penting untuk menentukan penanganan selanjutnya
4.1 Anamnesis Kasus Teori Pasien usia 49 tahun, tidak memiliki anak Pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan sejak 1 minggu yang lalu. Darah yang keluar berupa plek-plek selama 3 hari terakhir. Pasien mengeluh adanya nyeri di perut bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk, nyeri yang dirasakan semakin bertambah seiring berjalan waktu. Seminggu sebelum keluhan muncul, pasien sempat mengalami Perdarahan uterus disfungsional sering muncul pada usia setelah menarche atau masa pramenopause Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 haid. Perdarahan yang keluar bisa disebabkan oleh peluruhan dinding endometrium yang pada sebagian wanita bisa menimbulkan keluhan nyeri Tidak ada kelainan pada buang air besar dan buang air kecil. 26
perdarahan lewat jalan lahir selama 2 bulan berturut-turut. Darah yang keluar berupa plek-plek merah. Buang air besar dan buang air kecil pasien lancar dan tidak bermasalah. Sempat disuntik satu kali saat sedang menjalani ibadah umrah. Setelah disuntik, pasien tidak ada menstruasi hingga bulan Maret 2014. 4 tahun yang lalu, pasien sempat didiagnosis memiliki kista ovarium dan dianjurkan oleh dokter untuk menjalani operasi, namun pasien menolak. Selain itu, pasien sempat didiagnosis memiliki mioma uteri pada bulan Desember 2014. Bercerai pada bulan Februari 2014 Pembesaran kista pada wanita bisa disebabkan hormone yang tidak seimbang. Namun kondisi ini bisa hilang dengan sendirinya. Stress Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yaitu Pasien usia 49 tahun, tidak memiliki anak. Pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan sejak 1 minggu yang lalu. Darah yang keluar berupa plek-plek selama 3 hari terakhir. Pasien mengeluh adanya nyeri di perut bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk, nyeri yang dirasakan semakin bertambah seiring berjalan waktu. Seminggu sebelum keluhan muncul, pasien sempat mengalami perdarahan lewat jalan lahir selama 2 bulan berturut-turut. Darah yang keluar berupa plek-plek merah. Buang air besar dan buang air kecil pasien lancar dan tidak bermasalah. Sempat disuntik satu kali saat sedang menjalani ibadah umrah. Setelah disuntik, pasien tidak ada menstruasi hingga bulan Maret 2014. 4 tahun yang lalu, pasien sempat didiagnosis memiliki kista ovarium dan dianjurkan oleh dokter untuk menjalani operasi, namun pasien menolak. Selain itu, pasien sempat didiagnosis memiliki mioma uteri pada bulan Desember 2014. 27
Secara teori, perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang wanita, namun hal ini paling sering terdapat pada masa pubertas dan pada masa pramenopause. Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembentukan Releasing factor dan hormone gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancer. Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita penderita dengan penyakit metabolic, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor ovarium dan sebagainya. Akan tetapi, disamping itu, terdapat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakit tersebut. Dalam hal ini stress yang dihadapi dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar. Hal ini bisa dikaitkan dengan pasien, dimana pada 2 bulan terkahir pasien baru saja bercerai dengan suami pasien. Pada pasien, diketahui pernah mendapatkan suntikan sebelum umrah, dan setelahnya pasien tidak mengalami haid. Suntikan ini dicurigai merupakan obat depo-provera. Depo-provera adalah 6-alfa-medroksiprogesteron yang digunakan untuk tujuan kontrasepsi parenteral, yang mempunyai efek progestin yang kuat dan sangat efektif. Efek samping dalam pemberian obat ini selain digunakan sebagai obat kontrasepsi adalah kondisi amenore dan perdarahan tidak teratur. Hal ini bisa dikaitkan dengan kondisi pasien , dimana setelah pasien disuntikan, pasien langsung mengeluh tidak adanya haid selama 2 bulan.
4.2 Pemeriksaan Fisik Kasus Teori - Nyeri tekan abdomen kuadaran bawah (+) - pemeriksaan ginekologi : - Inspekulo :dalam batas normal - pemeriksaan bimanual : tidak dilakukan - Tidak ditemukan adanya sebab perdarahan organic, seperti kelainan pada serviks uteri, ovarium. - Diperlukannya pemeriksaan fisik bimanual untuk mengetahui ada tidaknya kelainan struktur pada uterus dan organ disekitarnya. 28
Pada kasus, pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan bawah. Hasil pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Jika dihubungkan dengan teori bahwa nyeri tekan abdomen tersebut bisadiakibatkan kontraksi uterus yang berlebihan. Pada pemeriksaan ginekologik perlu diperhatikan adanya kelainan organic ( penyakit, ulkus, tumor, kehamilan terganggu), yang menyebabkan perdarahan abnormal. Salah satunya dengan melakukan pemeriksaan inspekulo dan pemeriksaan bimanual. Pada pasien, telah dilakukan pemeriksaan inspekulo. Namun tidak dilakukannya pemeriksaan bimanual pada pasien menyebabkan tidak dapat menyingkirkan adanya kelainan organ rongga pelvis, terutama uterus, yang akan mempermudah tenaga klinis dalam pengarahan pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis.
4.3 Pemeriksaan Penunjang Kasus Teori Pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal Pemeriksaan kimia darah lengkap dalam batas normal Pemeriksaan USG Ginekologi : Penebalan endometrium Pemeriksaan Foto Thorax PA :Kesan norma Pemeriksaan Patologi Anatomi : Cavum uteri, kerokan, Irreguler shedding Ultrasonografi Ginekologi : tidak ditemukannya kelainan struktur organ Foto Roentgen Pemeriksaan Patologi Anatomi berupa biopsy kerokan jaringan dilakukan pada wanita pramenopause untuk memastikan ada tidaknya tumor ganas. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium pada pasien ini didapatkan hasil dalam batas normal. Berdasarkan pemeriksaan USG ginekologi didapatkan adanya penebalan endometrium pada pasien. Berdasarkan literature, penebalan endometrium atau hyperplasia endometrium bisa disebabkan karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan terus menerus. Namun pada perdarahan uterus disfungsional dapat ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium, 29
yaitu endometrium atrofik, hiperplastik, proliferative dan sekretoris, dengan endometrium jenis nonsekresi merupakan yang terbesar. Pada hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil berupa irreguler shedding (gangguan pelepasam endometrium saat haid). Salah satu penyebab irreguler shedding adalah korpus luteum persisten. Biasanya pada pemeriksaan patologi anatomi akan ditemukan jaringan endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab perdarahan pada pasien disebakan oleh perdarahan tipe ovulatoar.
4.4 Diagnosis Kasus Teori Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien Ny. H maka dapat didiagnosis sebagai perdarahan uterus disfungsional, berupa perdarahan tipe ovulatoar dikarenakan persistensi korpus luteum sehingga menyebabkan irregular shedding atau pelepasan endometrium yang tidak teratur. Diagnosis dapat ditegakkan bila telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada perdarahan yang disebabkan adanya kondisi irregular shedding atau pelepasan endometrium tidak teratur yang menghasilkan kondisi perdarahan yang lama.
4.5 Penatalaksanaan Kasus Teori 1. Dilatase kuretase 2. Dilakukan pula pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan yang diangkat sewaktu operasi Terapi Post Operatif 1. Cefadroxil 3x500 mg 2. Kalnex tab 3x500 mg 3. Asam mefenamat tab 3x500 Pada wanita dewasa dan terutama dalam masa premenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan atau tindakan dilatase kuretase untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas. 30
4. Metilergometrin 3x1 tab Obat Pulang : Asam mefenamat 3 x 500 mg/p.o Cefadroxil 3 x500 mg/p.o SF 1x1
Terapi hormonal Pada pasien ini dilakukan tindakan dilatasi kuretase, dimana merupakan terapi paling baik terutama pada pasien wanita yang bukan dalam masa pubertas. Pemberian obat pada pasien dengan perdarahan uterus disfungsional tipe ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa literatur menggunakan progesterone dan estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid. Pada pasien dengan irregular shedding dikarenakan korpus luteum persisten, korpus luteum persisten akan menimbulkan bentuk klinik oligomenorea, seperti juga pada oligomenorea yang lain, disini juga diberikan progesterone mulai hari ke 15 hingga hari ke 25, sehingga ada baiknya terdapat terapi hormonal pada pasien dengan progesterone baik medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari.
31
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. H yang berusia 49 tahun yang datang ke rumah sakit A.W. Syahranie Samarinda dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 1 minggu terakhir. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis sebagai perdarahan uterus disfungsional. Pada pasien ini dilakukan tindakan operatif yakni tindakan dilatase kuretase atas indikasi perdarahan uterus disfungsional. Hasil dari pemeriksaan patologi anatomi pada pasien tersebut adalah irregular sheddingdimana salah satu penyebab irreguler shedding adalah korpus luteum persisten. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab perdarahan pada pasien disebakan oleh perdarahan tipe ovulatoar. Diagnosis akhir pada pasien ini adalah perdarahan uterus disfungsional tipe ovulatoar, brupa irregular shedding atau pelepasan endometrium yang tidak teratur. Secara umum penegakan diagnosis pada pasien tersebut sudah tepat dan sesuai dengan teori yang ada. Pada penatalaksanaan, terdapat kekurangan berupa tidak adanya terapi hormonal pada pasien. Pemberian hormonal tambahan berupa progesterone dapat dianjurkan pemberiannya dan diikuti dengan follow up pada pasien dalam penyeimbangan hormone untuk siklus haid.
5.2 Usulan Pada kasus, terdapat beberapa kekurangan yang menurut penulis perlu diperhatikan yaitu pemeriksaan ginekologi bimanual dapat pemeriksaan awal yang dapat membantu dalam pengarahan pemeriksaan lanjutan pada pasien, serta penatalaksanaan dengan pemberian terapi hormonal yang disesuaikan dengan penyebab perdarahan uterus disfungsional.
32
DAFTAR PUSTAKA
Kadarusman Y, Jacoeb TZ, Baziad A. Perdarahan uterus disfungsional kronis pada masa reproduksi : Aspek patofisiologi dan pengobatan dengan progesterone. Majalah Obstet Ginekol Indones 1993; 19:67-88. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7 ed., Vol. II). (H. Hartanto, N. Darmaniah, & N. Wulandari, Eds.) Jakarta: EGC. Wiknjosastro, H. (2008). Ilmu Kandungan (2 ed.). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Wiknjosastro, H. (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan BIna Pustaka Sarwono Prawirohardjo.