TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Faring merupakan tabung/pipa fibromuskular yang mengerucut membentuk
saluran nafas dan saluran pencernaan bagian atas. Secara anatomis, faring
dibedakan
menjadi
tiga
bagian
yaitu
nasofaring,
orofaring,
dan
hipofaring/laringofaring.1,2
Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring, sehingga sering juga disebut
epifaring, terletak di antara basis cranial dan palatum molle, membuka ke arah
depan hidung melalui koana posterior, menghubungkan rongga hidung dan
orofaring.1,2,3 Diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-masing sekitar 3 cm,
diameter depan-belakang sekitar 2-3 cm.1
Bagian atas nasofaring dibentuk oleh bassiphenoid dan basiocciput. Dinding
posterior dibentuk oleh arkus atlas yang dilapisi otot-otot dan fascia prevertebral.
Dasar nasofaring dibentuk oleh palatum molle anterior dan ismus orofaring.
Dinding anterior dibentuk oleh ostium posterior nasal atau choanae dan margin
posterior septum nasalis. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba
eustakius, orifisium ini dibatasi oleh torus tubarius pada bagian posterior. Ke arah
postero-superior dari torus tubarius terdapat Fossa Rosenmuller yang merupakan
lokasi tersering KNF.1,2,4,5
Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke
kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar
limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase KNF), kemudian
masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi: rantai
kelenjar limfe jugularis interna, rantai kelenjar limfe nervi asesorius (terletak
dalam segitiga posterior leher), rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis
koli (di fosa supraklavikular).1
B. Karsinoma Nasofaring
B.1. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang terjadi pada lapisan epitel
di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang bervariasi
dan sering tampak pada fossa Rosenmuller.6
b. Faktor Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen
pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
c. Faktor Makanan
Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan
yang
merupakan
makanan
kegemaran
penduduk
Cina
Selatan
kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini
didasarkan atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan
tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam
jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur dan buah
segar.
Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250
pasien KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata
mengkonsumsi ikan asin semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan
makan ikan yang diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan
Cina yang beremigrasi ke Negara lain seperti Malaysia Timur
(Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga
didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina
Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi.
Beberapa
penelitian
juga
mendapatkan
bahwa
makanan
yang
d. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF
adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa
(kemenyan), obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara
zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada
industri mempunyai hubungan yang kuat dengan pasien KNF. Kebiasaan
merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko
menderita KNF. Sedangkan peminum alkohol tidak dijumpai ada
Sumbatan hidung
atau
atropi
otot-otot
trapezius,
B.5. Diagnosis
Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditegakkan dengan:
a. Anamnesis
Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium
dini keluhan sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor
ini. Keluhan tersebut biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau
keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit mudah timbul
dan sering ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, gejala kelainan
saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang sangat berat.12
b. Pemeriksaan Nasofaring
Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah buta.
Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa
Rosenmuller, biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius.
Pemeriksaan nasofaring secara konvensional dengan menggunakan kaca
rinoskopi posterior. Pemeriksaan yang lebih sempurna adalah dengan
menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku.6
c. Serologi
Virus Epstein Barr diduga sebagai salah satu faktor yang berperan dalam
timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan
serologis ini. Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini
paling menyokong adalah immunoglobulin A (lgA) terhadap virus
Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik untuk kapsul virus
(viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA). IgA
EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi tetapi tingkat
spesifitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA
EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya kurang tetapi lebih spesifik dan
titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring
stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator
karsinoma nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi pada penderita
karsinoma nasofaring tipe WHO-2 (non keratinizing carcinoma) dan tipe
WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan pada tipe WHO-1
(Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan atau pun kalau ada dalam
titer yang rendah.10
d. Biopsi nasofaring
Obat anastesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring.
Melalui tuntunan rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter,
daerah yang dicurigai diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga
dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku dengan cunam yang
terdapat dalam perangkat ini. Eksplorasi nasofaring bisa juga dilakukan
dengan anastesi umum.8
e. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita
karsinoma bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di
daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu
dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran
tumor ke jaringan sekitarnya.
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah CT scan nasofaring. Pada
karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat
dideteksi dengan CT scan. pemeriksaan ini dapat mengetahui
penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas.
Magnetic
Resonance
Imaging
(MRI)
merupakan
suatu
sarana
B.6. Histopatologi
Menurut WHO terdapat 3 bentuk histopatologi Karsinoma Nasofaring yaitu11
WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi
B.7. Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara
UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai
berikut :
T
perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga
nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0: Tidak ada pembesaran kelenjar
N1: Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat
digerakkan
N2: Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral/bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3: Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau
bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh
M0: Tidak ada metastase jauh
M1: Terdapat metastase jauh.
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III
: T3 N0 M0T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV
: T4 N0,N1 M0
B.8. Tatalaksana
Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan
radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan
memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi
adalah sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut (stadium III dan
IV), bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek.
Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi
untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh. Keberhasilan terapi
sangat dipengaruhi oleh stadium. Prognosis KNF stadium lanjut biasanya
buruk dengan angka harapan hidup 5 tahun hanya 25-30% pada regimen
tunggal radioterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima
oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut.
Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak
diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup
penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari
tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita.
Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit
tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.8
Stadium I
: radioterapi
Kontraindikasi kemoterapi:
a. Kontraindikasi absolut: mendekati meninggal (stadium terminal), hamil
(trimester I), septikemia, koma.
b. Kontraindikasi relatif : bayi di bawah 3 bulan, usia lanjut ( terutama bila
tumor tumbuh lambat atau kurang sensitif terhadap kemoterapi), keadaan
umum buruk, gangguan organ tertentu seperti ginjal, hati, jantung,
sumsum tulang, metastase ke otak, resisten terhadap obat anti kanker
yang diberikan.
B.9. Prognosis
Prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium
lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk
stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV.9