Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang menular melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti. DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai Negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Achmadi, 2010).
Prevalensi demam berdarah dengue di dunia menurut WHO selama 50 tahun
terakhir sebesar 500.000 kasus per 100 juta penduduk tiap tahunnya. Tahun 2011,
prevalensi demam berdarah dengue Indonesia sebanyak 49.868 kasus dengan insidence
rates 21 per 100.000 penduduk ( Depkes RI, 2007). Periode Tribulan I (Januari-Maret
2012) jumlah kasus DBD di Jatim menurun dibanding periode yang sama pada tahun
2011. Penurunan itu sebanyak 8persen atau dari 2.310 kasus menurun menjadi 2.118
kasus, sebaliknya angka kematian (CFR) meningkat sebanyak 19 persen atau dari 1,34
persen menjadi 1,61 persen. Jumlah kematian juga terjadi peningkatan dari 31 orang
meningkat menjadi 34 orang (Dinkes Jatim, 2012).
Prevalensi demam berdarah dengue Sidoarjo tahun 2011 sebanyak 124 kasus
dengan angka kematian 1 kasus (0,81persen) angka ini menurun pada 2012 dengan
kasus sebanyak 101 kasus (Dinkes Sidoarjo, 2012). Prevalensi demam berdarah dengue
Kedungsolo sebanyak 19 kasus dari tahun 2013 dimana jumlah penderita laki-laki 9
orang, perempuan 10 orang prevalensinya sebesar 0,05%. Insiden tertinggi terdapat di
dusun simo desa Kusambi sebanyak 7 kasus, dengan prevalensi sebesar 14% (Data
Puskesmas Kedungsolo,2013).
Program pengendalian

penyakit

DBD

dititik

beratkan

pada program

pemberantasan nyamuk penularnya (Aedes Aegypti), seperti program 3M Plus yaitu


menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air, menanam
atau menimbun barang bekas yang dapat menampung air hujan, dan mengolesi lotion
anti nyamuk. Namun, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program 3M

Plus menyebabkan kasus DBD masih tetap ditemukan di masyarakat khususnya di


Kelurahan Kedungsolo. Selain itu, lingkungan (environment) sosial yaitu pengetahuan
masyarakat dan jumantik juga sangat berpengaruh terhadap prevalensi DBD.
Pemberantasan nyamuk Demam Berdarah akan lebih efektif jika dilakukan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas disemua desa
non endemis sekaligus memberikan abate pada penampungan air yang ada jentiknya.
Peran serta mayarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk digerakkan lebih giat
melalui penyuluhan. Angka bebas jentik di Kabupaten Sidoarjo masih di bawah standar,
dimana standar angka bebas jentik Indonesia di atas 95 persen. Sedangkan, angka bebas
jentik Kelurahan Kedungsolo pada tahun 2012 sebesar 91,91 persen. Dari jumlah total
rumah yang didata sebanyak 14.640 rumah didapatkan jentik sebanyak 1183 jentik
dengan jumlah penduduk 34.635 orang (Data Puskesmas Kedungsolo, 2013).
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka disusunlah rumusan
masalah sebagai berikut.
1) Adakah hubungan pengetahuan dan pelaksanaan program 3M Plus masyarakat
dan prevalensi DBD di wilayah kerja para jumantik Puskesmas Kedungsolo ?
2) Adakah hubungan antara perilaku (pengetahuan dan tindakan / praktek) tentang
DBD, Program 3M Plus, deteksi jentik oleh jumatik dan prevalensi DBD di
wilayah kerja para jumantik Puskesmas Kedungsolo ?
I.3 Tujuan Penelitian
1.3.2
1.

Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pengetahuan dan pelaksanaan program 3M Plus
masyarakat dan prevalensi DBD di wilayah kerja para jumantik Puskesmas
Kedungsolo.

2.

Menganalisis hubungan antara perilaku (pengetahuan & tindakan / praktek)


tentang DBD, Program 3M Plus, deteksi jentik oleh jumatik dan prevalensi DBD
di wilayah kerja para jumantik Puskesmas Kedungsolo.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi karakteristik para Jumantik Puskesmas Kedungsolo.
2. Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan dan tindakan) tentang DBD, Program
3M Plus dan tugas para Jumantik.
3. Mengetahui pengetahuan masyarakat tentang program 3M Plus di area kerja
para Jumantik.
4. Mengidentifikasi pelaksanaan Program 3M Plus oleh masyarakat di area kerja
para Jumantik.
5. Mengidentifikasi Angka Bebas Jentik di rumah masyarakat di area kerja para
Jumantik.
6. Mengetahui prevalensi DBD di wilayah kerja di area kerja para Jumantik
Puskesmas Kedungsolo.
7. Menganalisis hubungan prevalensi DBD dengan pengetahuan masyarakat
tentang Program 3M Plus di area kerja para Jumantik Puskesmas Kedungsolo.
8. Menganalisis hubungan pelaksanaan Program 3M Plus masyarakat dengan
prevalensi DBD di area kerja para Jumantik Puskesmas Kedungsolo.
9. Menganalisis hubungan Pogram 3M Plus dan host index di area kerja para
Jumantik Puskesmas Kedungsolo.
I.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1) Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD yaitu cara
penularan, gejala penyakit, ciri nyamuk penyebab, penanganan awal, dan
Angka Bebas Jentik.
b. Dapat digunakan sebagai informasi dan memberikan motivasi kepada
masyarakat untuk melaksanaan pencegahan DBD melalui program 3M
Plus.
2) Peneliti
a. Sebagai salah satu kewajiban dalam melaksanakan penerapan praktek kerja
lapangan Ilmu Kedokteran Komunitas.
b. Menambah referensi pengetahuan kesehatan bidang masyarakat, khususnya
bidang kesehatan lingkungan.
3) Instansi terkait

a. Sebagai bahan masukan bagi dinas kesehatan Kabupaten Sidoarjo,


khususnya puskesmas Kedungsolo dalam melakukan intervensi pencegahan
penyakit DBD dengan program 3M Plus.
b. Sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut khususnya yang berkaitan
dengan pencegahan penyakit DBD dengan program 3M Plus.
c. Sebagai indikator penilaian kualitas kerja Jumantik, dan meningkatkan
motivasi jumantik untuk mendorong peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan program 3M plus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Pengertian DBD
4

Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi
virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B
Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den4(Achmadi,2010).
Teori klasik metode diagnostik membagi Infeksi Virus Dengue (lazim disebut
virus Demam Berdarah) menjadi 2 kategori umum, yaitu (WHO, 1999; Depkes, 2005)
Asymptomatic dengue infection or dengue without symptoms and the symptomatic
dengue. Sedangkan infeksi virus Dengue dengan gejala (the symptomatic dengue) di
bagi menjadi 3 kelompok yaitu: (a). Demam Dengue tanpa gejala spesifik (b) Demam
Dengue dengan demam ditambah 2 gejala spesifik yakni pendarahan dan tanpa
pendarahan (c) Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan atau tanpa shock
syndrome(WHO, 1999).

Gambar 2.1Manifestasi Klinis dari DBDINIGagaaaGAgggssgaggggggg


Semua penderita, baik dengan atau tanpa gejala, baik dengan pendarahan
maupun tanpa pendarahan, semuanya mengandung virus dalam tubuhnya dan siap
menularkan penyakit dan menjadi fokus sebuah KLB. Setiap kasus infeksi virus dengue
dengan atau tanpa gejala, dengan atau tanpa pendarahan adalah berbahaya karena dapat

menularkan kepada masyarakat disekitarnya atau lazim dikenal sebagai population at


risk (Achmadi, 2008).
Konsep Manajemen Demam Dengue (lazim dikenal sebagai DBD) yang
berbasis pada masyarakat. Konsep ini menggabungkan pengendalian penyakit pada
sumbernya yakni penderita awal yang memiliki potensi sebagai sumber penularan,
pengendalian pada nyamuk yakni pengendalian sarang nyamuk, serta penyuluhan
masyarakat untuk mendukung gerakan brantas (secara) tuntas penyakit Demam
Berdarah(Achmadi, 2008).
Secara filosofis upaya pencarian dan pengobatan penderita penyakit menular
adalah upaya preventif dan promotif. Kegiatan pencarian kasus secara dini dengan
pengobatan yang tepat dan dini (early diagnostic dan prompt treatment- dengan obat
yang tepat dan tidak resisten) disertai pengawasan minum obat, maka ini merupakan
upaya pencegahan agar tidak terjadi eskalasi atau KLB penyakit menular tertentu
(Achmadi, 2005; Achmadi, 2008).
Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang memiliki
presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan luaran (outcome) yang tidak
dapat diramalkan(Achmadi, 2008).
Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun
2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu panduan WHO
1997(WHO,1997). Penyempurnaan ini dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada
hal-hal yang kurang sesuai dengan panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adanya
redefinisi kasus terutama untuk kasus infeksi dengue berat (Rigou,2006). Keberatan lain
dari panduan WHO 1997 adalah karena penyusunannya banyak mengambil rujukan
pada kasus infeksi dengue di Thailand,yang walaupun sangat berharga, tetapi tidak
dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain yang memiliki perbedaan-perbedaan
(Deen dkk,2007). Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke empat
kriteria WHO 1997 yang dipersyaratkan, namun terjadi syok (Cao,2004). Sehingga
disepakatilah panduan terbaru WHO tahun 2009.
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah:
1. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs)
2. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs)
3. Dengue berat (severe Dengue)(WHO,2009)

II. 2 Gejala DBD


Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan
fase pemulihan.
a. Pada fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal(WHO,2009).
TULISAN TERKAIT TOPIK
b. Fase kritis
Terjadi pada hari 3 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului
oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok(WHO,2009).
c. Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik
stabil dan diuresis membaik(WHO,2009)

Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan:
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara
progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok
(takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill
7

time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit
atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
2. Adanya perdarahan yang signifikan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang
hebat atau bertambah, ikterik)
5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati/ensefalitis,
kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya(WHO,2009).

II.3 Diagnosis DBD


Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita infeksi dengue. Riwayat
penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe demam, jumlah asupan
per oral, adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya gangguan kesadaran, output
urin, juga adanya orang lain di lingkungan kerja, rumah yang sakit serupa(WHO,2009).
Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan kesadaran penderita, status
hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok dapat dikenal lebih dini, adalah
takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi pleura, apakah ada hepatomegali/asites/kelainan
abdomen lainnya, cari adanya ruam atau ptekie atau tanda perdarahan lainnya, bila
tanda perdarahan spontan tidak ditemukan maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji
torniket ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %(WHO,2009).

Gambar2.2 Perjalanan penyakit dengue

II. 4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematokrit
dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih) menunjukkan adanya
kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil yang
rendah(WHO,2009).Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium,
yaitu

isolasi

virus,

deteksi

antibodi

dan

deteksi

antigen

atau

RNA

virus(Vorndam,1997;Yungbluth,2007). Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat


terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam, meningkat sampai minggu ke-3
kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat terdeteksi hingga hari ke-60 sampai
hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi
sekunder. Pada infeksi primer, Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke -14
dengan titer yang rendah (<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat
terdeteksi pada hari ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan seumur
hidup (Shu,2004;Gusman,2002).
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue (Ag
NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan pemeriksaan
serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam darah pada hari
pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah, praktis dan tidak
memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l yang spesifik terdapat
pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue sudah dapat ditegakkan lebih
dini(Yungbluth,2007;Telles,2005).
Pada sampel darah penderita infeksi dengue di Guyana menunjukkan Ag NS-l
dapat terdeteksi mulai hari ke-0 (onset demam) hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang
cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS -l sebesar 88,7%
dan 91 % sedangkan spesifisitas mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan
isolasi virus dan RT-PCR dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue(Dussart dkk
,2002). Penelitian lainnya di Singapura pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa
memberikan sensitivitas sampai 93,3 % (Kumarasamy,2007).
II. 5 Pencegahan DBD

KLB DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan
pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan berkesinambungan.
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun
1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik
oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M
plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik
(ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat
dicegah atau dikurangi(Achmadi,2010).
Tabel di bawah memperlihatkan pencapaian target indikator program
Pengendalian Penyakit DBD (P2DBD) selama tiga tahun terakhir pada tahun 2007
sampai tahun 2009. Angka Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%). AI per
100.000 penduduk juga belum mencapai target. Begitu pula dengan persentase kejadian
yang ditangani sesuai standar, pada tahun 2007 belum mencapai target (80%), namun
pada tahun 2008 dan 2009 tidak terdapat data pencapaian. Sedangkan untuk AK sudah
mencapai target (<1%). Indikator pencapaian program P2DBD tahun 2007-2009 dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Indikator Program P2DBD dan Pencapaian Target 2007-2009

II. 6 Penatalaksanaan DBD

10

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengu, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi ssuportir yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganna kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,
terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka
dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna(Suhendro,2009).
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria (Suhendro,2009):
1. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.
2. Praktis dalam pelaksanaannya.
3. Memeprtimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori(Suhendro,2009) :
1. Protokol 1 (Gambar 2.3)
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok.

2. Protokol 2 (Gambar 2.4)


Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
3. Protokol 3 (Gambar 2.5)
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%.
4. Protokol 4 (Gambar 2.6)
Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD dewasa.
5. Protokol 5 ( Gambar 2.7)

11

Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa.

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok

Gambar 2.3 Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di
UnitGawat darurat
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik
dallam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit
Gawat Darurat.

12

b. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.


c. Hb. Ht meningkatkan dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat (Suhendro,2009).
d.
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Gambar 2.4 Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa diruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanapa perdarahan spontan dan masih dan tanapa
syok maka di ruang maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan
jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}
Contoh volume rumutan untuk BB 55 kg : 1500 + {20 X (55-20)} = 2200 ml/ setelah
pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :

13

a. Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht Trombo dilakukan
tiap 12 jam.
b. Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit < 100.000 maka penatalaksanaan
DBD dengan peningkatan Ht > 20% (Suhendro,2009).

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%

14

Gambar 2.5 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisi cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infuse cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/ kg/ jam. Pasien

kemudian

dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan
tanda-tanda hemaktorit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin
meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml / kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan

15

nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infuse menjadi 10 ml / kgBB / jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan dikurangi menjadi 5 ml / kg BB / jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infuse dinaikkan menjadi 15 ml / kgBB /
jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom
syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi
seperti terapi pemberian cairan awal (Suhendro,2009).
Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan Pada DBD Dewasa

Gambar 2.6 Penatalaksanaan perdarahanspontan pada DBD dewasa


Perdarahan spontan dan masih pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan
hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering
16

mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostatis harus segera
dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Transfuse komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10 g/dl. Transfuse trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan massif dengan jumlah trombosit < 100.000 / mm3 disertai atau tanpa KID
(Suhendro,2009).
Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Gambar 2.7 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dengan sindrom syok dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian
sindrom syok dengeue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tempat
ranjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan

17

pertolongan . pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya


kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang
tidak adekuat (Suhendro,2009).
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaanpemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin (Suhendro,2009).
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml / kgBB /
jam. Bila dalam waktu 60 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml / kgBB / jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah
terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infuse terus diberikan maka
keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi (Suhendro,2009).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemanatauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta
jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml / khBB / jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemanatauan perjalanan
penyakit (Suhendro,2009).

18

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml / kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10 ml / kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan
(Suhendro,2009).
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifatsifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml / kgBB
(maksimal 1-1,5 / hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor (Suhendro,2009).

II. 7 Program 3M
Pencegahan DBD dapat di mulai dengan menggalakkan gerakan 3M demam berdarah.
Gerakan ini terdiri dari 3 langkah utama pencegahan demam berdarah, yaitu:
1.

Menutup
Gerakan menutup rapat tempat penampungan air.

2.

Menguras
Menguras berarti secara rutin mengganti tempat-tempat air, misalnya vas bunga
atau tempat minum burung. Menguras dan mengganti dengan air yang baru juga
membatasi berkembangnya nyamuk penyebab DBD.

19

3.

Menimbun
Salah satu sumber penyebaran nyamuk penyebab DBD adalah kaleng-kaleng
atau wadah kosong yang berisi air. Gerakan menimbun berarti mengubur kaleng
atau wadah kosong tersebut ke dalam tanah. Tujuannya agar nyamuk tidak
menemukan tempat untuk bertelur (Sukowati,2010).

Gerakan 3M Plus
Sebenarnya gerakan 3M demam berdarah juga perlu di kombinasi dengan pencegahan
lainnya. Karena dinamakan 3M Plus
1.

Memelihara ikan pemakan jentik di kolam. Ini dimaksudkan agar kolam bebas

2.
3.

dari nyamuk sumber penyebab demam berdarah.


Menyebarkan bubuk abate pada tempat penampungan air.
Memasang kasa nyamuk di rumah, agar nyamuk tidak dapat leluasa masuk ke

4.
5.

rumah.
Menggunakan kelambu pada waktu tidur.
Menggunakan obat oles pencegah nyamuk atau menyemprot nyamuk kimia.
Sebenarnya cara ini kurang di anjurkan karena efek bahan kimia yang bersifat

6.
7.

racun.
Melakukan pemeriksaan jentik berkala.
Melakukan fogging (pengasapan) jika dalam jarak tertentu ditemukan kasus
DBD.

Gerakan 3M demam berdarah dan gerakan 3M Plus seyogyanya selalu di galakkan


untuk mencegah penularan penyakit demam berdarah (Sukowati,2010).
II.8 Health Promotion
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit
DB/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya
terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian
vektornya. Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah endemis
tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu memutus rantai
penularan. Hal ini disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu kepada

20

data/informasi tentang vektor, disamping itu masih mengandalkan kepada penggunaan


insektisida dengan cara penyemprotan dan larvasidasi(Sukowati,2010).
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh
program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu(Sukowati,2010):
A. Manajemen lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi
bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan
mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan
baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan
lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah keberhasilan
manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan Panama serta Kota Purwokerto
dalam pengendalian sumber nyamuk(Sukowati,2010).
B. Pengendalian Biologis.
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi
untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan
terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok
bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda)(Sukowati,2010).
1. Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk
pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah didapat
dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia
ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan
kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentikyang terbukti efektif dan telah
digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang.
Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian larva Ae.aegypti, namun sampai sekarang
belum digunakan oleh masyarakat secara luas dan berkesinambungan. Dari pengamatan
penulis, pemanfaatan ikan pemakan jentik harus difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan
pembinaan dari sektor terkait, karena masyarakat Indonesia belum mampu mandiri
sehingga masih harus mendapatkan dukungan penyuluhan agar mampu melindungi

21

dirinya dan keluarga dari penularan DBD. Jenis predator lainnya yang dalam penelitian
terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau
cyclops, jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini
mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara
lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar
Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva
DD/DBD masih harus diuji coba lebih rinci di tingkat operasional(Sukowati,2010).
2. Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk
larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor adalah kelompok bakteri. Dua
spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva
adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS).
Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam
saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh
negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus
dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah
melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana
spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi(Sukowati,2010).
C. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor
DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan.
Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan
akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangidampak negatif terhadap
lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka
tertentu akan menimbulkan resistensi vektor(Sukowati,2010).

D. Partisipasi Masyarakat

22

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan,


kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu,
kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang
melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M
plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah
menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita
sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga
belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya. Mengingat kenyataan tersebut, maka
penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan
olehmasyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan,
maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran
dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll.
Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam memutus rantai penularan
bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam program pemberdayaan peran serta
masyarakat. Untuk meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan pengendalian, maka
perlu peningkatan dan pembenahan sistem surveilans penyakit dan vektor dari tingkat
Puskesmas, Kabupaten Kota, Provinsi dan pusat(Sukowati,2010).
E. Perlindungan Individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan
secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan pakaian yang
mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa mengurangi
kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk
di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidurdan kasa anti nyamuk.
Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar,
vaporize mats (VP), dan repellent oles anti nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada
10 tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai
insecticidetreated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan
nyamuk(Sukowati,2010).

BAB III
KERANGKA KONSEP
23

2.

PJB

III.1 Kerangka Konsep

PKHostkaeri

Berdasarkan teori epidemiologi: Environment-Agent-Host, maka disusunlah


kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Environment

Ag

Fisik :
Host Index

3. Petugas YANKES :
HE/KIE
c. Sikap
Abate

Indoor :
Pakaian banyak di gantung,
Pencahayaan
Ventilasi
Kelembaban
Outdoor :
Kelembapan
Kecepatan angin
Tumbuhan perdu
Air yang mengggenang

Sosial :
Masyarakat :
Pengetahuan3M Plus
Praktek 3M Plus

Jumantik :
Pengetahuan tentang DBD dan 3 M Plus
Praktek Deteksi Jentik di tempat
penampungan
air
Keterangan
:
: Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

24

Penyakit DBD secara epidemiologis terjadi karena adanya hubungan antara tiga
faktor yaitu environmet, agent, dan host. Dilihat dari kerangka konsep di atas hubungan
ke tiga faktor saling berkaitan satu sama lain untuk menurunkan prevalensi DBD.
Environment sendiri terdiri dari lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan fisik meliputi
lingkungan indoor berupa banyaknya pakaian yang digantung, pencahayaan, ventilasi
dan kelembapan. Lingkungan outdoor berupa kelembapan, kecepatan angin, banyaknya
tumbuhan perdu, air yang menggenang, dan host index. Faktor ini sangat mempengaruhi
siklus hidup nyamuk dan tingginya angka jentik nyamuk.
Faktor sosial terdiri dari 3 yaitu masyarakat, jumantik, dan petugas kesehatan
dimana masyarakat sendiri yang kita amati berupa pengetahuan, dan praktek dalam
pelaksanaan 3M plus, jumantik sendiri kita amati tingkat pengetahuannya tentang DBD
dan program 3M Plusdan praktek deteksi jentik di tempat penampungan air, sedngkan
petugas kesehatan yang kita amati dari health education dan pemberian abate. Dari
agent yang kita amati yaitu angka bebas jentik (ABJ) dan pengamatan jentik berkala
(PJB). Dimana untuk menekan faktor agent tersebut dilakukan pemberantasan sarang
nyamuk melalui program 3M plus (menguras, menutup, mengubur, mengoleskan lotion
nyamuk), sehingga faktor host yang meliputi prevalensi DBD dapat diturunkan.

BAB IV
25

METODE PENELITIAN
IV.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan observasional analitik, dimana metode
cross sectional digunakan sebagai rancangan penelitian.
IV. 2 Populasi dan Sampel
A. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah warga Dusun Simo, Desa Kesambi, Kelurahan
Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Daerah
tersebut digunakan sebagai objek penelitian karena angka kasus terbanyak terdapat
didaerah tersebut sebanyak 7 kasus dari 19 kasus di Puskesmas Kedungsolo dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 50 kepala keluarga.

B. Metode Penentuan Sampel


Sampel penelitian adalah warga masyarakat dan para Jumantik Dusun Simo, Desa
Kesambi. Warga masyarakat yang digunakan sebagai sampel dipilih dengan kriteria
inklusi sebagai berikut.
1. Dewasa baik Laki-laki maupun Perempuan
2. Bersedia ikut sebagai responden dalam penelitian
3. Warga bertempat tinggal di daerah tersebut
4. Prevalensi DB di Dusun Simo sebesar 14 % = 0,14
Besar sampel ditentukan dengan rumus (Glover dan Mitchell, 2002)
n = 4pq/2
n= n/(1 + n/N)
Keterangan:
n = besar sampel awal yang diteliti
p = 0,14
q = 1- 0,14 = 0,86
= tingkat kemaknaan (0,1)
n = besar sampel sebenarnya
N = besar populasi
Sehingga dari rumus tersebut kami peroleh sampel
n = ( 4 x 0,14 x 0,86 ) / 0,12 = 48,16
n = 48,16 / ( 1 + (48,16 / 50 )) = 24,53 = 25

26

Berdasarkan rumus tersebut di atas maka besar sampel penelitian ini adalah 25.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling
yaitu pengambilan sampel secara acak, dengan melompati setiap dua rumah. Adapun
jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 Kepala Keluarga dari besar
populasi sebanyak 50 Kepala Keluarga.
IV. 3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kedungsolo pada bulan Juni
2013. Jadwal pelaksanaan kegiatan tercantum pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.1. Jadwal Kegiatan Proposal Penelitian
Tanggal
03 Juni 2013 04 Juni 2013
05 07 Juni 2013 08 10 Juni 2013 11 13 Juni 2013 -

IV. 4

Kegiatan
Persiapan dengan penulisan proposal
Pengajuan izin lokasi
Persiapan alat kuisioner
Persiapan lapangan
Pelaksanaan
Penulisan laporan

Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan terikat.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuandan praktek masyarakat tentang
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui program 3M plus, pengetahuan dan
pelaksanaan deteksi jentik di tempat penampungan air oleh para Jumantik,dan Host
Index.Variabel terikat adalah prevalensi DBD.
IV. 5

Definisi Operasional Variabel

Tabel 4.2. Definisi Operasional Variabel


No

Variabel

Definisi

Alat Ukur

Skor: Kategori: Kode

Skala
ukur

27

1.

Pengetahuan

Yang termasuk di dalamnya:

Masyarakat

a. Program 3M plus

dalam

b. Tujuan program 3M

pelaksanaan
program

Kuisioner

Skor 1- 6: mengetahui: 1

Nominal

Skor 0: tidak mengetahui: 2

plus
3M

c. Program Plus dalam

plus

3M plus
d. Tempat yang harus
dikuras
e. Tempat yang harus
ditutup
f.

Barang yang harus


dikubur

Praktek

a. Yang sudah dilakukan dalam

masyarakat

Kuisioner

program 3M Plus

Skor 1-4:melaksanakan:1

Nominal

Skor 0:Tidak melaksanakan:2

dalam program b.Yang sudah dilakukan dalam

2.

3M Plus

program plus dari 3M Plus

Perilaku

Total skor dari pengetahuan

Jumantik

tentang DBD , 3M Plus dan

tentang

DBD,

3M Plus, dan

Kuisioner

Skor 0-2 :Kurang


Skor 3-5 : Sedang
Skor 6-8: Baik

Ordinal

Kuisioner

Skor 1 -3 : ya : 1
Skor 0 : tidak : 2

Nominal

tindakan Jumantik praktek


deteksi jentik

Deteksi Jentik :
Pengetahuan
tentang DBD
dan 3M plus

1. DBD :
a. Agent
b. Vektor
c. Ciri vektor
d. Gejala
e. Pencegahan
f. Obat
pembunuh
jentik

28

2. 3M plus :

Kuisioner

Skor 1 -3 : ya : 1
Skor 0 : tidak : 2

Nominal

Kuisioner

Skor 1-2 : rutin : 1


Skor 0 : tidak rutin: 2

Nominal

Pengamata

Skor 1: Ada jentik :1

Nominal

ditemukan (positif) jentik di

n langsung

Skor0: Tidak ada jentik : 2

bak penampungan air, dibagi

(observatio

a. Program 3M plus
b. Tujuan 3M plus
c. Program Plus dalam
3M plus
d. Tempat yang harus
dikuras
e. Tempat yang harus
ditutup
f. Barang yang harus
dikubur
Deteksi jentik

a. Ada kader
pemeriksaan
berkala

dalam
jentik

b. Berapa
kali
pemeriksaan jentik
dilakukan oleh kader
tsb.
3.

Host Index

Jumlah

rumah

yang

rumah yang diperiksa.


n list)
Jumlah rumah yang tidak
Pengamata
Skor 1 : Ada jentik :1
ditemukan(negatiff) jentik di n langsung
Desa Kesambi Dusun Skor
Simo0 : Tidak ada jentik : 2
bak penampungan air, dibagi
(observatio
rumah yang diperiksa
n list)

4.

ABJ

5.

Prevalensi DBD

Data sekunder dari catatan

Catatan

Skor 1 : Ada : 1

puskesmas

lapangan

Skor 0 : Tidak ada: 2

tentang

pasien

positif DBD dari bulan


Jumlah Penduduk 350 orang, 50 Kepala Keluarga
Prevalensi DBD
Januari-Mei 2013

Nominal

Nominal

Jumantik
(2 Orang)

IV.6Prosedur Penelitian / Pengumpulan dan Pengolahan Data


A. Langkah dan teknik pengumpulan data/ prosedur

Prilaku

Pengetahuan dalam Pelaksanaan


Praktek
Program
dalam 3M
Program
Plus 3M Plus

Pengetahuan
Deteksi
Jentik tentang DBD dan Program

Data Rekam Medis diamana terdapat 7 Kasus DBD dari total 19 kasus DBD
29

Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian

B. Jenis, Sumber, Cara dan Alat Pengumpulan Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Sumber data primer dalam penelitian yaitu responden, dan jumantik. Sumber data
sekunder berasal dari rekam medis. Cara pengumpulan data primer dilakukan secara
acak dimana metode ini kita lakukan dengan mengunjungi setiap rumah responden
dimana antara rumah yang satu dan rumah berikutnya melompati 2 rumah dengan
membagikan kuisioner. Untuk jumantik kita langsung datang ke rumah dengan
membawa kuisioner. Dan juga melakukan pengamatan langsung ada tidaknya jentik di
rumah tersebut. Data sekunder didapat dengan mencatat rekam medis yang ada di
bagian pelayanan Puskesmas Kedungsolo pada penderita yang positif DBD dari bulan
Januari Mei 2013.

30

C. Analisis Data
Penelitian ini akan melihat hubungan antara peran serta

masyarakat dalam

melaksanakan program 3M Plus dengan prevalensi DBD. Sesuai dengan definisi


operasional variabel seperti yang tersaji pada Bab IV, data pada penelitian ini tersaji
dalam bentuk data nominal dan ordinal. Alat analisis (uji hipotesis asosiatif) statistik
parametrik yang lazim digunakan adalah Spearman Rank Correlation yang tersedia
dalam SPSS. Hubungan antar varibel dilihat dari koefisien korelasi ( r ).
Nilai positif menunjukkan hubungan searah (X naik maka Y naik) dan nilai
negatif menunjukkan hubungan terbalik (X naik maka Y turun).
Menurut Sugiyono (2007) pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien
korelasi sebagai berikut:
0,00

- 0,199

= sangat rendah

0,20

- 0,399

= rendah

0,40

- 0,599

= sedang

0,60

- 0,799

= kuat

0,80

- 1,000

= sangat kuat

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

V.1.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Dusun Simo, Dusun ini terletak di Desa Kesambi,

Kelurahan Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa


timur.Jumlah penduduk dusun ini adalah 350 orang terdiri dari 50 kepala keluarga, ratarata besar keluarga (family size) 7 orang per keluarga.
Gambaran umum responden di lokasi penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 5.1 Responden Dusun Simo Berdasarkan Tingkat Pendidikan

31

Tingkat
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
S1
Total

Jumlah
Responden
6
7
6
3
3
25

Persentase
24%
28%
24%
12%
12%
100%

Berdasarkan hasil kuisioner tentang Hubungan Peran serta Masyarakat dalam


Melaksanakan Program 3M Plus dengan Prevalensi Demam Berdarah Dengue di
Wilayah Puskesmas Kedungsolo Tahun 2013 diperoleh tingkat pendidikan responden
yang melaksanakan program 3M Plus dibagi menjadi 5 kategori yaitu S1 sebanyak
12%, SMA 12%, SMP 24%, SD 28%, tidak sekolah 24%. Dari data tersebut pendidikan
responden di Dusun Simo Desa Kesambi masih rendah.

V.2 HASIL PENELITIAN


A. Karakteristik Para Jumantik Puskesmas Kedungsolo
Tabel 5.2 Karakteristik jumantik di Desa Kesambi
Jumantik
Karakteristik
Jenis Kelamin
Umur
Pendidikan
Status Marital
Pekerjaan

Perempuan
37 tahun
SMP
Menikah
Tidak Bekerja

Perempuan
44 tahun
SMA
Menikah
Pedagang

32

B. Perilaku (pengetahuan dan tindakan) tentang DBD, Program 3M Plus dan


deteksi jentik oleh Jumantik
Tabel 5.3 Prilaku tentang DBD,Program 3M Plus dan tugas para jumantik
Jumantik
Prilaku
Pengetahuan DBD
Pengetahuan Program 3M Plus
Praktek 3M Plus
Deteksi Jentik

Baik
Baik
Baik
Rutin

Baik
Baik
Baik
Rutin

Berdasarkan hasil kuisioner dari responden, sebanyak 25 responden, 15


responden menjawab praktek deteksi jentik di tempat penampungan air dilakukan secara
rutin, 10 responden menjawab praktek deteksi jentik di tempat penampungan air
dilakukan secara tidak rutin.

C. Pengetahuan masyarakat tentang program 3M Plus di area kerja para


Jumantik.
Tabel 5.4 Pengetahuan masyarakat tentang program 3M Plus
Skor
0
1-6
Total

Jumlah Orang
2
23
25

Persentase
8%
92%
100%

Keterangan
Tidak mengetahui Program 3M Plus
Mengetahui Program 3M Plus
-

D. Pelaksanaan Program 3M Plus oleh masyarakat di area kerja para Jumantik.


Tabel 5.5 Pelaksanaan masyarakat tentang program 3M Plus
Skor
0
1-4

Jumlah Orang
4
21

Presentase
16 %
84%

Keterangan
Tidak melakukan Program 3M Plus
Melakukan Program 3M Plus

33

Total

25

100%

E. Angka Bebas Jentik di rumah masyarakat di area kerja para Jumantik.


Keterangan:
Jumlah total rumah yang diteliti : 25rumah
Jumlah rumah Positif jentik : 10 rumah
Jumlah rumah negatif jentik = Jumla total rumah - Jumlah rumah Positif jentik
= 25 rumah - 10 rumah
= 15 rumah
ABJ = Jumlah rumah negatif jentik/ jumlah total rumah x 100%
= 15 / 25 x 100%
= 60%
Angka Bebas Jentik di Dusun Simo, Desa Kesambi, Kelurahan Kedungsolo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa timur sebanyak 60 % yang
diperoleh dari cara penghitungan membagi jumlah rumah dengan jentik negatif dengan
jumlah rumah yang diperiksa dikalikan dengan 100%. Dimana jumlah rumah Kepala
Keluarga yang diamati sebanyak 25 rumah, yang positif jentik 10 rumah, sedangkan
yang negatif jentik 15 rumah.

F. Prevalensi DBD di wilayah kerja di area kerja para Jumantik Puskesmas


Kedungsolo.
Prevalensi DBD di Desa Kesambi, Kelurahan Kedungsolo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa timur sebanyak 7 kasus selama tahun 2013 dari 19
kasus atau prevalensi sebesar 14% kasus yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Kedungsolo.

34

G. Analisis hubungan prevalensi DBD dengan pengetahuan 3M Plus masyarakat


di area kerja para Jumantik Puskesmas Kedungsolo
Dari hasil analisis korelasi sederhana (r) didapat korelasi antara pengetahuan 3M
Plus masyarakat dan prevalensi DBD adalah sebesar -0,010. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan yang lemah antara pengetahuan masyarakat dan prevalensi
DBD. Sedangkan arah hubungan adalah negatif, yang berarti semakin tinggi
pengetahuan masyarakat, maka semakin rendah prevalensi DBD di daerah tersebut.
Uji signifikansi hasil korelasi penelitian ini dapat dilihat dengan uji-t. Signifikansi
didapat dengan membandingkan antara nilai signifikan pada hasil analisis korelasi
dengan taraf nyata 5% ( = 0,05). Uji-t pada hasil analisis tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut.

a) Hipotesis
Ho :

Tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan masyarakat dan


prevalensi DBD di Dusun Simo Desa Kesambi

Ha :

Ada hubungan signifikan antara pengetahuan masyarakat dan


prevalensi DBD di Dusun Simo Desa Kesambi

b) Tingkat signifikansi
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi = 5%.
Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam
mengambil keputusan untuk menolak hipotesis yang benar sebanyakbanyaknya 5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian)
c) Kriteria Pengujian

35

Ho diterima jika Signifikansi 0,05


Ho ditolak jika Signifikansi < 0,05
d) Pengambilan Keputusan
Nilai signifikansi 0,961 > 0,05, maka Ho diterima.
e) Kesimpulan
Oleh karena nilai Signifikansi 0,961 > 0,05 maka Ho diterima. Hal ini
berarti tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan masyarakat dan
prevalensi DBD di Dusun Simo Desa Kesambi.
H. Analisis hubungan pelaksanaan 3M plus masyarakat dengan prevalensi DBD
di area kerja para Jumantik Puskesmas Kedungsolo
Dari hasil analisis korelasi sederhana (r) didapat korelasi antara pelaksanaan 3M
plus masyarakat dan prevalensi DBD adalah sebesar -1,000. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara pelaksanaan 3M plus dan prevalensi
DBD. Sedangkan arah hubungan adalah negatif, yang berarti semakin baik tinggi
kesadaran masyarakat untuk melakukan 3M Plus, maka semakin rendah prevalensi
DBD di daerah tersebut.
Uji signifikansi hasil korelasi penelitian ini dapat dilihat dengan uji-t. Signifikansi
didapat dengan membandingkan antara nilai signifikan pada hasil analisis korelasi
dengan taraf nyata 5% ( = 0,05). Uji-t pada hasil analisis tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut.
a) Hipotesis
Ho :

Tidak ada hubungan signifikan antara pelaksanaan 3M plus dan


prevalensi DBD di Dusun Simo Desa Kesambi

36

Ha :

Ada hubungan signifikan antara pelaksanaan 3M plus dan


prevalensi DBD di Dusun Simo Desa Kesambi

b) Tingkat signifikansi
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi = 5%.
Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam
mengambil keputusan untuk menolak hipotesa yang benar sebanyakbanyaknya 5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian)
c) Kriteria Pengujian
Ho diterima jika Signifikansi 0,05
Ho ditolak jika Signifikansi < 0,05
d) Pengambilan Keputusan
Nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak.
e) Kesimpulan
Oleh karena nilai Signifikansi 0,00 < 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti
terdapat hubungan signifikan antara pelaksanaan 3M plus dan prevalensi DBD
di Dusun Simo Desa Kesambi.

I. Analisis hubungan Pogram 3M Plus dan host index di area kerja para
Jumantik Puskesmas Kedungsolo.
Dari hasil analisis korelasi sederhana (r) didapat korelasi antara Pogram 3M Plus
dan host indeks adalah sebesar -0,851. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan
yang sangat kuat antara 3M Plus dan host indeks . Sedangkan arah hubungan adalah

37

negatif, yang berarti semakin baik tinggi kesadaran masyarakat untuk melakukan 3M
Plus, maka semakin rendah host indeks di daerah tersebut.
Uji signifikansi hasil korelasi penelitian ini dapat dilihat dengan uji-t. Signifikansi
didapat dengan membandingkan antara nilai signifikan pada hasil analisis korelasi
dengan taraf nyata 5% ( = 0,05). Uji-t pada hasil analisis tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut.
f) Hipotesis
Ho :

Tidak ada hubungan signifikan antara 3M Plus dan host indeks di


Dusun Simo Desa Kesambi

Ha :

Ada hubungan signifikan antara 3M Plus dan host indeks di Dusun


Simo Desa Kesambi

g) Tingkat signifikansi
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi = 5%.
Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam
mengambil keputusan untuk menolak hipotesa yang benar sebanyakbanyaknya 5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian)
h) Kriteria Pengujian
Ho diterima jika Signifikansi 0,05
Ho ditolak jika Signifikansi < 0,05
i) Pengambilan Keputusan
Nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak.
j)

Kesimpulan

38

Oleh karena nilai Signifikansi 0,00 < 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti
terdapat hubungan signifikan antara 3M Plus dan host indeks di Dusun Simo
Desa Kesambi

BAB VI
PEMBAHASAN
1. Karakteristik jumantik di Desa Kesambi terdiri dari 2 kader dimana keduanya
wanita, dengan umur berkisar 37- 45 tahun, tingkat pendidikan SMP dan SMA,
keduanya sudah menikah, salah satu tidak bekerja dan yang satu bekarja sebagai
pedagang
2. Berdasarkan hasil kuisioner dari responden, sebanyak 25 responden pengetahuan
jumantik tentang DBD, Program 3M Plus dan tindakan 3M Plus sudah baik, Dari
responden yang sama didapatkan 15 responden menjawab praktek deteksi jentik di

39

tempat penampungan air dilakukan secara rutin, 10 responden menjawab praktek


deteksi jentik di tempat penampungan air dilakukan secara tidak rutin.
3. Berdasarkan hasil kuisioner dari 25 responden, sebanyak 2 responden (8%) tidak
mengetahui tentang Program 3M Plus dan 23 responden (92%) mengetahui tentang
Program 3M Plus.
4. Berdasarkan hasil kuisioner dari 25 responden, sebanyak 4 responden (16%) tidak
melaksanakan Program 3M Plus dan 21 responden (84%) melaksanakan Program
3M Plus.
5. Angka Bebas Jentik di Dusun Simo, Desa Kesambi, Kelurahan Kedungsolo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa timur sebanyak 60 % yang
diperoleh dari cara penghitungan membagi jumlah rumah dengan jentik negatif
dengan jumlah rumah yang diperiksa dikalikan dengan 100%. Dimana jumlah
rumah Kepala Keluarga yang diamati sebanyak 25 rumah, yang positif jentik 10
rumah, sedangkan yang negatif jentik 15 rumah. Pengamatan jentik dilakukan
dengan mengamati bak penampungan air yang ada di rumah tersebut. Angka bebas
jentik ini sebagai indikator dari tinggi rendahnya prevalensi DBD pada penelitian
ini.
6. Prevalensi DBD di Desa Kesambi, Kelurahan Kedungsolo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa timur sebanyak 7 kasus selama tahun 2013 dari
19 kasus atau prevalensi sebesar 14 % kasus yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Kedungsolo.
7. Hubungan prevalensi DBD dengan pengetahuan masyarakat terjadi hubungan yang
rendah antara pengetahuan masyarakat dan prevalensi DBD. Hal ini berarti tidak ada
hubungan signifikan antara pengetahuan masyarakat dan prevalensi DBD di Dusun
Simo Desa Kesambi.
8. Hubungan pelaksanaan Program 3M Plus masyarakat dengan prevalensi DBD di
area kerja para Jumantik terjadi hubungan yang sangat kuat antara pelaksanaan
Program 3M Plus dan prevalensi DBD. Hal ini berarti ada hubungan signifikan
antara Program 3M Plus dan prevalensi DBD di Simo Desa Kesambi.
9. Hubungan Pogram 3M Plus dan host index di area kerja para Jumantik terjadi
hubungan yang sangat kuat antara Program 3M Plus dan host index.Hal ini berarti
terdapat hubungan signifikan antara Program 3M Plus dan host index di Dusun
Simo Desa Kesambi.

40

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan ternyata pengetahuan, praktek


3M Plus oleh masyarakat dan perilaku (pengetahuan & tindakan / praktek) tentang
DBD, program 3M Plus dan tugas para jumatik berpengaruh tidak signifikan
terhadap prevalensi DBD, tapi dari faktor Program 3M Plus yang berpengaruh
sangat kuat terhadap prevalensi DBD. Program 3M Plus juga berpengaruh sangat
kuat terhadap ada tidaknya host index.
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi
kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan.
Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak

masyarakat mau dan

mampu melakukan 3 M plus dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer


dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun
karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan
latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya.
Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang PSN dalam metode
pengendalian

DBD

masih

sangat

dibutuhkan

oleh

masyarakat

secara

berkesinambungan. Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam


memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam program
pemberdayaan peran serta masyarakat. Untuk meningkatkan sistem kewaspadaan
dini dan pengendalian, maka perlu peningkatan dan pembenahan sistem surveilans
penyakit dari tingkat Puskesmas, Kabupaten Kota, Provinsi dan pusat (Sukowati,
2010).

41

BAB VII
PENUTUP

VII. 1 KESIMPULAN
a) Karakteristik jumantik di Desa Kesambi terdiri dari 2 kader dimana keduanya
wanita, dengan umur berkisar 37- 45 tahun, tingkat pendidikan SMP dan SMA,
keduanya sudah menikah, salah satu tidak bekerja dan yang satu bekarja sebagai
pedagang. Dimana pengetahuan keduanya tentang DBD tergolong baik.
b) Pengetahuan jumantik tentang DBD, Program 3M Plus dan tindakan 3M Plus
sudah baik. Praktek deteksi jentik di tempat penampungan air dilakukan secara
rutin oleh jumantik.
c) Dari hasil penelitian lebih banyak responden yang mengetahui tentang Program
3M Plus yaitu sebanyak 92% .

42

d) Dari hasil penelitian lebih banyak responden yang melaksanakan Program 3M


Plus yaitu sebanyak 84 %.
e) Angka Bebas Jentik di Dusun Simo, Desa Kesambi sebanyak 60 %.
f) Prevalensi DBD di Dusun Simo, Desa Kesambi sebesar 14%.
g) Tidak ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dan prevalensi DBD di
Dusun Simo Desa Kesambi.
h) Ada hubungan antara pelaksanaan program 3M Plus dan prevalensi DBD di
Dusun Simo Desa Kesambi.
i) Ada hubungan antara program 3M Plus dan host index di Dusun Simo Desa
Kesambi.

VII. 2 SARAN
a) Saran Untuk Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan sebaiknya tetap meningkatkan upaya program kesehatan seperti
pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik berkala dan penyuluhan
kesehatan sehingga kasus demam berdarah dapat menurun terutama di daerah
yang padat penduduk dan endemis demam berdarah. Tetap memperhatikan
kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk dan
perlu dilakukan upaya-upaya lintas sektor yang dapat meingkatkan tingkat
kepedulian dan partispasi masyarakat tersebut.
b) Saran Untuk Puskesmas
Puskesmas tetap meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja kader Jumantik di
tiap desa. Sehingga pelaksanaan program 3M Plus menjadi lebih aktif dan dapat
menurunkan jumlah kasus DBD.
c) Saran Untuk Masyarakat

43

Perlu dilakukan pendekatan khusus terhadap kelompok masyarakat dan


dilakukan penyuluhan khusus di beberapa dusun tentang pelaksanaan program
3M Plus untuk meningkatan kepedulian dan partisipasinya dalam pemberantasan
sarang nyamuk melalui pelaksanaan program tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

AchmadiU.F.,2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah; penerbit Kompas, Jakarta.


Achmadi U.F.,2008, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah: Penerbit UI Press, Jakarta
Achmadi, U.F, 2010, Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Buletin Jendela
Epidemiologi, Jakarta
Achmadi U.F 2010. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Buletin Jendela
Epidemiologi Volume 2, Agustus 2010
Cao Xuan TP, Ngo TN, Kneen R, Pham TTT, Chu VT, Nguyen TTN, Tran TT et al.,
2004, Clinical diagnosis and assessment of severity of confirmed dengue infections in
Vietnamese children: is the World Health Organization classification system helpful. A,
J Trop Med Hyg;70(2):172-179.
Deen JL, Harris E, Wills B, Balmaseda A, Hammond SN, Rocha C, Nguyen MD et al.,
2006, The WHO dengue classification and case definitios: time for a reassessment.
Lancet 368:170-173

44

Data Puskesmas Kedungsolo, 2013, Data DBD Prevalensi tahun 2013 dan Angka Bebas
Jentik
Depkes Departemen Kesehatan, Republic of Indonesia, 2005,
Managing Dengue Cases; official document;Jakarta.
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, 2007,
Indonesia

Guidelines for

Prevalensi DBD di Indonesia,

Dinas Kesehatan Jatim, 2012, Prevalensi DBD di Jawa Timur


Dinas Kesehatan Sidoarjo 2012, Prevalensi DBD di Sidoarjo
Dussart P, Labeau B, Lagathu G, Louis P, Nunes M., 2006, Evaluation of an enzyme
immunoassay for detection of dengue virus NS-l antigen in human serum. Clin Vaccine
Immunol vol.13; p 1185-9.
Guzman MG, Kouri MG., 2002, Dengue: An Update. Lancet Infect. Dis. 2: 25-42.
Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, Wahab AHA, Chem YK, Mohamad M and Chua
KB., 2007, Evaluating the sensitivity of a commercial dengue NS1-antigen capture
Elisa for early diagnosis of acute dengue infection. Singapore med J 48(7): 669-673.
Nainggolan F.,2007, Epidemiology and Clinical Pathogenesis of Dengue in Indonesia;
presented at Seminar on Management ofDengue Outbreaks; University of Indonesia;
Jakarta; November 22
Rigou-Perez JG., 2006, Severe dengue : the need for new cases definitions. Lancet
Infect Dis 6: 296-302.
Shu PY, Huang JR., 2004, Current advances in dengue diagnosis. Clin Diagn Lab
Immunol. 11(4):642-50.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. CV.Alfabeta. Bandung.
Suhendro dkk., 2009. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Interna Publishing. Jakarta Pusat
Sukowato, Supratman, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue, dan
Pengendaliannya di Indonesia. Puslitbang Ekologi dan status kesehatan, Kementrian
Kesehatan,Buletin Jendela Epidemiologi, Jakarta
Telles F, Prazeres D, Lima-Fillho J., 2005, Trends in Dengue diagnosis. Rev. Med.
Virology. 15(5);287-302.
Vorndam V, Kuno G., 1997, Laboratory diagnosis of Dengue virus infections. In
Dengue and Dengue Hemorrhagic fever. CAB International, NY..

45

WHO,1999, Guideline of treatment of Dengue Fever / Dengue Hemorrhagic Fever in


Small Hospitals. New Delhi.
World Health Organization, 1997, Dengue Haemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment,
prevention and control. 2nd edition. Geneva.
World Health Organization., 2009, Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. New edition. Geneva.
Yungbluth M, 2007, Costello M. Viral Infections. In: Henry JB (ed). Clinical Diagnosis
and Management by Laboratory Methods. 21thedition. W.B. Saunders Company,
Philadelphia.:1045-71.

LAMPIRAN
Correlations

Spearman's rho

Pengetahuan Masyarakat Correlation Coefficient


Sig. (2-tailed)
N
Penderita DBD
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

Pengetahuan
Masyarakat
1,000
.
25
-,010
,961
25

Penderita
DBD
-,010
,961
25
1,000
.
25

46

Correlations

Spearman's rho

3M PLUS

Penderita DBD

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

3M PLUS
1,000
.
19
-1,000**
,000
19

Penderita
DBD
-1,000**
,000
19
1,000
.
19

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


Correlations
Spearman's rho

3M Plus

Host Indeks

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

3M Plus
Host Indeks
1,000
-,851**
.
,000
25
25
-,851**
1,000
,000
.
25
25

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

47

Anda mungkin juga menyukai

  • Nlloln
    Nlloln
    Dokumen8 halaman
    Nlloln
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • Zvhukn
    Zvhukn
    Dokumen6 halaman
    Zvhukn
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • SHBSND
    SHBSND
    Dokumen6 halaman
    SHBSND
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • HVHK
    HVHK
    Dokumen6 halaman
    HVHK
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • SKSKSKSK
    SKSKSKSK
    Dokumen7 halaman
    SKSKSKSK
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • Sushsh
    Sushsh
    Dokumen1 halaman
    Sushsh
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • PWPK PA
    PWPK PA
    Dokumen2 halaman
    PWPK PA
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • SBSVSVSV
    SBSVSVSV
    Dokumen42 halaman
    SBSVSVSV
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • DSDSDSSF
    DSDSDSSF
    Dokumen6 halaman
    DSDSDSSF
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • DSDSDSDDF
    DSDSDSDDF
    Dokumen7 halaman
    DSDSDSDDF
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • Sfdgeger
    Sfdgeger
    Dokumen5 halaman
    Sfdgeger
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • Fdfeferfg
    Fdfeferfg
    Dokumen6 halaman
    Fdfeferfg
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • Dswdsds
    Dswdsds
    Dokumen8 halaman
    Dswdsds
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • DSDSQD
    DSDSQD
    Dokumen7 halaman
    DSDSQD
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • Dsdsds
    Dsdsds
    Dokumen6 halaman
    Dsdsds
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • SBW 1 Jumat 9-7-21 Respiratory Distress Ec Susp Pneumonia DD SNAD
    SBW 1 Jumat 9-7-21 Respiratory Distress Ec Susp Pneumonia DD SNAD
    Dokumen8 halaman
    SBW 1 Jumat 9-7-21 Respiratory Distress Ec Susp Pneumonia DD SNAD
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat
  • SBW 5 Jumat 9.7.21 HMD Grade II Ed Ce Feli
    SBW 5 Jumat 9.7.21 HMD Grade II Ed Ce Feli
    Dokumen8 halaman
    SBW 5 Jumat 9.7.21 HMD Grade II Ed Ce Feli
    PutuIantaParamaSiwi
    Belum ada peringkat