DBD
DBD
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang menular melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti. DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai Negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Achmadi, 2010).
Prevalensi demam berdarah dengue di dunia menurut WHO selama 50 tahun
terakhir sebesar 500.000 kasus per 100 juta penduduk tiap tahunnya. Tahun 2011,
prevalensi demam berdarah dengue Indonesia sebanyak 49.868 kasus dengan insidence
rates 21 per 100.000 penduduk ( Depkes RI, 2007). Periode Tribulan I (Januari-Maret
2012) jumlah kasus DBD di Jatim menurun dibanding periode yang sama pada tahun
2011. Penurunan itu sebanyak 8persen atau dari 2.310 kasus menurun menjadi 2.118
kasus, sebaliknya angka kematian (CFR) meningkat sebanyak 19 persen atau dari 1,34
persen menjadi 1,61 persen. Jumlah kematian juga terjadi peningkatan dari 31 orang
meningkat menjadi 34 orang (Dinkes Jatim, 2012).
Prevalensi demam berdarah dengue Sidoarjo tahun 2011 sebanyak 124 kasus
dengan angka kematian 1 kasus (0,81persen) angka ini menurun pada 2012 dengan
kasus sebanyak 101 kasus (Dinkes Sidoarjo, 2012). Prevalensi demam berdarah dengue
Kedungsolo sebanyak 19 kasus dari tahun 2013 dimana jumlah penderita laki-laki 9
orang, perempuan 10 orang prevalensinya sebesar 0,05%. Insiden tertinggi terdapat di
dusun simo desa Kusambi sebanyak 7 kasus, dengan prevalensi sebesar 14% (Data
Puskesmas Kedungsolo,2013).
Program pengendalian
penyakit
DBD
dititik
beratkan
pada program
Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pengetahuan dan pelaksanaan program 3M Plus
masyarakat dan prevalensi DBD di wilayah kerja para jumantik Puskesmas
Kedungsolo.
2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Pengertian DBD
4
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi
virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B
Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den4(Achmadi,2010).
Teori klasik metode diagnostik membagi Infeksi Virus Dengue (lazim disebut
virus Demam Berdarah) menjadi 2 kategori umum, yaitu (WHO, 1999; Depkes, 2005)
Asymptomatic dengue infection or dengue without symptoms and the symptomatic
dengue. Sedangkan infeksi virus Dengue dengan gejala (the symptomatic dengue) di
bagi menjadi 3 kelompok yaitu: (a). Demam Dengue tanpa gejala spesifik (b) Demam
Dengue dengan demam ditambah 2 gejala spesifik yakni pendarahan dan tanpa
pendarahan (c) Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan atau tanpa shock
syndrome(WHO, 1999).
Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan:
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara
progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok
(takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill
7
time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit
atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
2. Adanya perdarahan yang signifikan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang
hebat atau bertambah, ikterik)
5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati/ensefalitis,
kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya(WHO,2009).
isolasi
virus,
deteksi
antibodi
dan
deteksi
antigen
atau
RNA
KLB DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan
pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan berkesinambungan.
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun
1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik
oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M
plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik
(ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat
dicegah atau dikurangi(Achmadi,2010).
Tabel di bawah memperlihatkan pencapaian target indikator program
Pengendalian Penyakit DBD (P2DBD) selama tiga tahun terakhir pada tahun 2007
sampai tahun 2009. Angka Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%). AI per
100.000 penduduk juga belum mencapai target. Begitu pula dengan persentase kejadian
yang ditangani sesuai standar, pada tahun 2007 belum mencapai target (80%), namun
pada tahun 2008 dan 2009 tidak terdapat data pencapaian. Sedangkan untuk AK sudah
mencapai target (<1%). Indikator pencapaian program P2DBD tahun 2007-2009 dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
10
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengu, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi ssuportir yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganna kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,
terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka
dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna(Suhendro,2009).
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria (Suhendro,2009):
1. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.
2. Praktis dalam pelaksanaannya.
3. Memeprtimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori(Suhendro,2009) :
1. Protokol 1 (Gambar 2.3)
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok.
11
Gambar 2.3 Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di
UnitGawat darurat
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik
dallam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit
Gawat Darurat.
12
Gambar 2.4 Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa diruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanapa perdarahan spontan dan masih dan tanapa
syok maka di ruang maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan
jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}
Contoh volume rumutan untuk BB 55 kg : 1500 + {20 X (55-20)} = 2200 ml/ setelah
pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
13
a. Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht Trombo dilakukan
tiap 12 jam.
b. Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit < 100.000 maka penatalaksanaan
DBD dengan peningkatan Ht > 20% (Suhendro,2009).
14
kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan
tanda-tanda hemaktorit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin
meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml / kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
15
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infuse menjadi 10 ml / kgBB / jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan dikurangi menjadi 5 ml / kg BB / jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infuse dinaikkan menjadi 15 ml / kgBB /
jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom
syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi
seperti terapi pemberian cairan awal (Suhendro,2009).
Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan Pada DBD Dewasa
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostatis harus segera
dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Transfuse komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10 g/dl. Transfuse trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan massif dengan jumlah trombosit < 100.000 / mm3 disertai atau tanpa KID
(Suhendro,2009).
Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
17
18
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml / kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10 ml / kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan
(Suhendro,2009).
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifatsifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml / kgBB
(maksimal 1-1,5 / hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor (Suhendro,2009).
II. 7 Program 3M
Pencegahan DBD dapat di mulai dengan menggalakkan gerakan 3M demam berdarah.
Gerakan ini terdiri dari 3 langkah utama pencegahan demam berdarah, yaitu:
1.
Menutup
Gerakan menutup rapat tempat penampungan air.
2.
Menguras
Menguras berarti secara rutin mengganti tempat-tempat air, misalnya vas bunga
atau tempat minum burung. Menguras dan mengganti dengan air yang baru juga
membatasi berkembangnya nyamuk penyebab DBD.
19
3.
Menimbun
Salah satu sumber penyebaran nyamuk penyebab DBD adalah kaleng-kaleng
atau wadah kosong yang berisi air. Gerakan menimbun berarti mengubur kaleng
atau wadah kosong tersebut ke dalam tanah. Tujuannya agar nyamuk tidak
menemukan tempat untuk bertelur (Sukowati,2010).
Gerakan 3M Plus
Sebenarnya gerakan 3M demam berdarah juga perlu di kombinasi dengan pencegahan
lainnya. Karena dinamakan 3M Plus
1.
Memelihara ikan pemakan jentik di kolam. Ini dimaksudkan agar kolam bebas
2.
3.
4.
5.
rumah.
Menggunakan kelambu pada waktu tidur.
Menggunakan obat oles pencegah nyamuk atau menyemprot nyamuk kimia.
Sebenarnya cara ini kurang di anjurkan karena efek bahan kimia yang bersifat
6.
7.
racun.
Melakukan pemeriksaan jentik berkala.
Melakukan fogging (pengasapan) jika dalam jarak tertentu ditemukan kasus
DBD.
20
21
dirinya dan keluarga dari penularan DBD. Jenis predator lainnya yang dalam penelitian
terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau
cyclops, jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini
mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara
lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar
Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva
DD/DBD masih harus diuji coba lebih rinci di tingkat operasional(Sukowati,2010).
2. Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk
larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor adalah kelompok bakteri. Dua
spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva
adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS).
Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam
saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh
negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus
dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah
melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana
spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi(Sukowati,2010).
C. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor
DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan.
Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan
akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangidampak negatif terhadap
lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka
tertentu akan menimbulkan resistensi vektor(Sukowati,2010).
D. Partisipasi Masyarakat
22
BAB III
KERANGKA KONSEP
23
2.
PJB
PKHostkaeri
Ag
Fisik :
Host Index
3. Petugas YANKES :
HE/KIE
c. Sikap
Abate
Indoor :
Pakaian banyak di gantung,
Pencahayaan
Ventilasi
Kelembaban
Outdoor :
Kelembapan
Kecepatan angin
Tumbuhan perdu
Air yang mengggenang
Sosial :
Masyarakat :
Pengetahuan3M Plus
Praktek 3M Plus
Jumantik :
Pengetahuan tentang DBD dan 3 M Plus
Praktek Deteksi Jentik di tempat
penampungan
air
Keterangan
:
: Diteliti
: Tidak diteliti
24
Penyakit DBD secara epidemiologis terjadi karena adanya hubungan antara tiga
faktor yaitu environmet, agent, dan host. Dilihat dari kerangka konsep di atas hubungan
ke tiga faktor saling berkaitan satu sama lain untuk menurunkan prevalensi DBD.
Environment sendiri terdiri dari lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan fisik meliputi
lingkungan indoor berupa banyaknya pakaian yang digantung, pencahayaan, ventilasi
dan kelembapan. Lingkungan outdoor berupa kelembapan, kecepatan angin, banyaknya
tumbuhan perdu, air yang menggenang, dan host index. Faktor ini sangat mempengaruhi
siklus hidup nyamuk dan tingginya angka jentik nyamuk.
Faktor sosial terdiri dari 3 yaitu masyarakat, jumantik, dan petugas kesehatan
dimana masyarakat sendiri yang kita amati berupa pengetahuan, dan praktek dalam
pelaksanaan 3M plus, jumantik sendiri kita amati tingkat pengetahuannya tentang DBD
dan program 3M Plusdan praktek deteksi jentik di tempat penampungan air, sedngkan
petugas kesehatan yang kita amati dari health education dan pemberian abate. Dari
agent yang kita amati yaitu angka bebas jentik (ABJ) dan pengamatan jentik berkala
(PJB). Dimana untuk menekan faktor agent tersebut dilakukan pemberantasan sarang
nyamuk melalui program 3M plus (menguras, menutup, mengubur, mengoleskan lotion
nyamuk), sehingga faktor host yang meliputi prevalensi DBD dapat diturunkan.
BAB IV
25
METODE PENELITIAN
IV.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan observasional analitik, dimana metode
cross sectional digunakan sebagai rancangan penelitian.
IV. 2 Populasi dan Sampel
A. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah warga Dusun Simo, Desa Kesambi, Kelurahan
Kedungsolo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Daerah
tersebut digunakan sebagai objek penelitian karena angka kasus terbanyak terdapat
didaerah tersebut sebanyak 7 kasus dari 19 kasus di Puskesmas Kedungsolo dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 50 kepala keluarga.
26
Berdasarkan rumus tersebut di atas maka besar sampel penelitian ini adalah 25.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling
yaitu pengambilan sampel secara acak, dengan melompati setiap dua rumah. Adapun
jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 Kepala Keluarga dari besar
populasi sebanyak 50 Kepala Keluarga.
IV. 3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kedungsolo pada bulan Juni
2013. Jadwal pelaksanaan kegiatan tercantum pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.1. Jadwal Kegiatan Proposal Penelitian
Tanggal
03 Juni 2013 04 Juni 2013
05 07 Juni 2013 08 10 Juni 2013 11 13 Juni 2013 -
IV. 4
Kegiatan
Persiapan dengan penulisan proposal
Pengajuan izin lokasi
Persiapan alat kuisioner
Persiapan lapangan
Pelaksanaan
Penulisan laporan
Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan terikat.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuandan praktek masyarakat tentang
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui program 3M plus, pengetahuan dan
pelaksanaan deteksi jentik di tempat penampungan air oleh para Jumantik,dan Host
Index.Variabel terikat adalah prevalensi DBD.
IV. 5
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Skala
ukur
27
1.
Pengetahuan
Masyarakat
a. Program 3M plus
dalam
b. Tujuan program 3M
pelaksanaan
program
Kuisioner
Skor 1- 6: mengetahui: 1
Nominal
plus
3M
plus
3M plus
d. Tempat yang harus
dikuras
e. Tempat yang harus
ditutup
f.
Praktek
masyarakat
Kuisioner
program 3M Plus
Skor 1-4:melaksanakan:1
Nominal
2.
3M Plus
Perilaku
Jumantik
tentang
DBD,
3M Plus, dan
Kuisioner
Ordinal
Kuisioner
Skor 1 -3 : ya : 1
Skor 0 : tidak : 2
Nominal
Deteksi Jentik :
Pengetahuan
tentang DBD
dan 3M plus
1. DBD :
a. Agent
b. Vektor
c. Ciri vektor
d. Gejala
e. Pencegahan
f. Obat
pembunuh
jentik
28
2. 3M plus :
Kuisioner
Skor 1 -3 : ya : 1
Skor 0 : tidak : 2
Nominal
Kuisioner
Nominal
Pengamata
Nominal
n langsung
(observatio
a. Program 3M plus
b. Tujuan 3M plus
c. Program Plus dalam
3M plus
d. Tempat yang harus
dikuras
e. Tempat yang harus
ditutup
f. Barang yang harus
dikubur
Deteksi jentik
a. Ada kader
pemeriksaan
berkala
dalam
jentik
b. Berapa
kali
pemeriksaan jentik
dilakukan oleh kader
tsb.
3.
Host Index
Jumlah
rumah
yang
4.
ABJ
5.
Prevalensi DBD
Catatan
Skor 1 : Ada : 1
puskesmas
lapangan
tentang
pasien
Nominal
Nominal
Jumantik
(2 Orang)
Prilaku
Pengetahuan
Deteksi
Jentik tentang DBD dan Program
Data Rekam Medis diamana terdapat 7 Kasus DBD dari total 19 kasus DBD
29
30
C. Analisis Data
Penelitian ini akan melihat hubungan antara peran serta
masyarakat dalam
- 0,199
= sangat rendah
0,20
- 0,399
= rendah
0,40
- 0,599
= sedang
0,60
- 0,799
= kuat
0,80
- 1,000
= sangat kuat
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
V.1.
31
Tingkat
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
S1
Total
Jumlah
Responden
6
7
6
3
3
25
Persentase
24%
28%
24%
12%
12%
100%
Perempuan
37 tahun
SMP
Menikah
Tidak Bekerja
Perempuan
44 tahun
SMA
Menikah
Pedagang
32
Baik
Baik
Baik
Rutin
Baik
Baik
Baik
Rutin
Jumlah Orang
2
23
25
Persentase
8%
92%
100%
Keterangan
Tidak mengetahui Program 3M Plus
Mengetahui Program 3M Plus
-
Jumlah Orang
4
21
Presentase
16 %
84%
Keterangan
Tidak melakukan Program 3M Plus
Melakukan Program 3M Plus
33
Total
25
100%
34
a) Hipotesis
Ho :
Ha :
b) Tingkat signifikansi
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi = 5%.
Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam
mengambil keputusan untuk menolak hipotesis yang benar sebanyakbanyaknya 5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian)
c) Kriteria Pengujian
35
36
Ha :
b) Tingkat signifikansi
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi = 5%.
Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam
mengambil keputusan untuk menolak hipotesa yang benar sebanyakbanyaknya 5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian)
c) Kriteria Pengujian
Ho diterima jika Signifikansi 0,05
Ho ditolak jika Signifikansi < 0,05
d) Pengambilan Keputusan
Nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak.
e) Kesimpulan
Oleh karena nilai Signifikansi 0,00 < 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti
terdapat hubungan signifikan antara pelaksanaan 3M plus dan prevalensi DBD
di Dusun Simo Desa Kesambi.
I. Analisis hubungan Pogram 3M Plus dan host index di area kerja para
Jumantik Puskesmas Kedungsolo.
Dari hasil analisis korelasi sederhana (r) didapat korelasi antara Pogram 3M Plus
dan host indeks adalah sebesar -0,851. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan
yang sangat kuat antara 3M Plus dan host indeks . Sedangkan arah hubungan adalah
37
negatif, yang berarti semakin baik tinggi kesadaran masyarakat untuk melakukan 3M
Plus, maka semakin rendah host indeks di daerah tersebut.
Uji signifikansi hasil korelasi penelitian ini dapat dilihat dengan uji-t. Signifikansi
didapat dengan membandingkan antara nilai signifikan pada hasil analisis korelasi
dengan taraf nyata 5% ( = 0,05). Uji-t pada hasil analisis tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut.
f) Hipotesis
Ho :
Ha :
g) Tingkat signifikansi
Pengujian menggunakan uji dua sisi dengan tingkat signifikansi = 5%.
Tingkat signifikansi dalam hal ini berarti kita mengambil risiko salah dalam
mengambil keputusan untuk menolak hipotesa yang benar sebanyakbanyaknya 5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian)
h) Kriteria Pengujian
Ho diterima jika Signifikansi 0,05
Ho ditolak jika Signifikansi < 0,05
i) Pengambilan Keputusan
Nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka Ho ditolak.
j)
Kesimpulan
38
Oleh karena nilai Signifikansi 0,00 < 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti
terdapat hubungan signifikan antara 3M Plus dan host indeks di Dusun Simo
Desa Kesambi
BAB VI
PEMBAHASAN
1. Karakteristik jumantik di Desa Kesambi terdiri dari 2 kader dimana keduanya
wanita, dengan umur berkisar 37- 45 tahun, tingkat pendidikan SMP dan SMA,
keduanya sudah menikah, salah satu tidak bekerja dan yang satu bekarja sebagai
pedagang
2. Berdasarkan hasil kuisioner dari responden, sebanyak 25 responden pengetahuan
jumantik tentang DBD, Program 3M Plus dan tindakan 3M Plus sudah baik, Dari
responden yang sama didapatkan 15 responden menjawab praktek deteksi jentik di
39
40
DBD
masih
sangat
dibutuhkan
oleh
masyarakat
secara
41
BAB VII
PENUTUP
VII. 1 KESIMPULAN
a) Karakteristik jumantik di Desa Kesambi terdiri dari 2 kader dimana keduanya
wanita, dengan umur berkisar 37- 45 tahun, tingkat pendidikan SMP dan SMA,
keduanya sudah menikah, salah satu tidak bekerja dan yang satu bekarja sebagai
pedagang. Dimana pengetahuan keduanya tentang DBD tergolong baik.
b) Pengetahuan jumantik tentang DBD, Program 3M Plus dan tindakan 3M Plus
sudah baik. Praktek deteksi jentik di tempat penampungan air dilakukan secara
rutin oleh jumantik.
c) Dari hasil penelitian lebih banyak responden yang mengetahui tentang Program
3M Plus yaitu sebanyak 92% .
42
VII. 2 SARAN
a) Saran Untuk Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan sebaiknya tetap meningkatkan upaya program kesehatan seperti
pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik berkala dan penyuluhan
kesehatan sehingga kasus demam berdarah dapat menurun terutama di daerah
yang padat penduduk dan endemis demam berdarah. Tetap memperhatikan
kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk dan
perlu dilakukan upaya-upaya lintas sektor yang dapat meingkatkan tingkat
kepedulian dan partispasi masyarakat tersebut.
b) Saran Untuk Puskesmas
Puskesmas tetap meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja kader Jumantik di
tiap desa. Sehingga pelaksanaan program 3M Plus menjadi lebih aktif dan dapat
menurunkan jumlah kasus DBD.
c) Saran Untuk Masyarakat
43
DAFTAR PUSTAKA
44
Data Puskesmas Kedungsolo, 2013, Data DBD Prevalensi tahun 2013 dan Angka Bebas
Jentik
Depkes Departemen Kesehatan, Republic of Indonesia, 2005,
Managing Dengue Cases; official document;Jakarta.
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, 2007,
Indonesia
Guidelines for
45
LAMPIRAN
Correlations
Spearman's rho
Pengetahuan
Masyarakat
1,000
.
25
-,010
,961
25
Penderita
DBD
-,010
,961
25
1,000
.
25
46
Correlations
Spearman's rho
3M PLUS
Penderita DBD
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
3M PLUS
1,000
.
19
-1,000**
,000
19
Penderita
DBD
-1,000**
,000
19
1,000
.
19
3M Plus
Host Indeks
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
3M Plus
Host Indeks
1,000
-,851**
.
,000
25
25
-,851**
1,000
,000
.
25
25
47