Anda di halaman 1dari 64

Bab

TEKNOLOGI PEMBAKARAN
Tujuan pembakaran bahan bakar baik di kiln maupun di kalsiner adalah untuk
mengubah panas latent yang dimiliki bahan bakar menjadi panas hasil pembakaran yang
langsung dapat digunakan untuk mengubah atau mereaksikan material baku menjadi
klinker. Selain itu proses pembakaran tidak cukup hanya bertujuan menghasilkan sejumlah
energi atau kalor yang dapat segera dimanfaatkan oleh bahan baku, tetapi masih diperlukan
untuk menghasilkan temperatur gas hasil pembakaran yang tinggi agar proses perubahan
dari material baku menjadi klinker dapat berjalan dengan baik serta menghasilkan klinker
dengan kualitas baik. Di kiln, temperatur gas di atas 1400 oC sangat diperlukan untuk proses
klinkerisasi.
Pada sub bab berikut akan dibahas secara singkat mengenai beberapa hal penting
yang erat kaitannya dengan bahan bakar dan proses pembakaran ini antara lain jenis bahan
bakar dan sifat-sifatnya, proses pembakaran dan api, jenis burner dan karakteristiknya,
perpindahan panas, kaitan parameter pembakaran dengan proses kimia pembentukan
klinker dan lain-lain.

8.1. Jenis-jenis Bahan Bakar


Secara umum, berdasarkan wujudnya, bahan bakar dapat diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) jenis yaitu bahan bakar padat, cair dan gas. Contoh bahan bakar padat adalah batu
bara, arang, kayu, pet coke, dan lain-lain. Untuk bahan bakar cair misalnya IDO, minyak
solar, bensin, minyak tanah, bahan bakar sintetik, dan lain-lainnya. Sedangkan yang ujudnya
gas antara lain LPG, gas alam, dan lainnya. Dalam diskusi selanjutnya kita batasi lingkup
bahasan yang kita kaji terutama untuk bahan bakar yang banyak digunakan di pabrik semen
di Indonesia.
8.1.1. Batu-bara
Batubara diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan pada sifat-sifat dan
umur terbentuknya antara lain lignit, bituminous, anthracite, dan lain-lain. Beberapa sifat

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 1

yang membedakan antara beberapa jenis batubara tersebut antara lain diperlihatkan pada
tabel 8.1.
Tabel 8.1: Sifat-sifat beberapa jenis batubara
Parameter

Satuan

Jenis batubara
Bituminous
5 - 10
10 - 40
1-3
10 - 20
70

Total moisture
Volatile matter
Air terikat
Ash (debu)
Komposisi Kimia: C

%
%
%
%
%

Lignite
40 -50
40 50
10 25
5 25
56

%
Kkal/kg

19
5120

3
6625

2
7100

Net
Udara untuk pembakaran

Kg/kg

4820
7,1

6310
9,2

6900
9,9

(Combustion Air)
Combustion Gas (0% Oks)

Nm3/kg
Nm3/kg

5,5
6

7,1
7,4

7,8
7,8

N+O
Nilai Kalor: Gross

Anthracite
0 -3
5
1
5 - 10
78

Klasifikasi di atas didasarkan pada umur terbentuknya batubara mulai dari yang termuda
dengan kadar volatile yang tinggi, berumur menengah seperti bituminous hingga yang paling
tua yaitu anthracite dengan kadar volatile yang rendah. Kandungan volatile ini mempunyai
pola kecenderungan yang sama dengan kadar air. Dengan umur batubara yang lebih tua
maka kandungan airnya akan semakin sedikit dan unsur padatan lainnya semakin kompak.
Namun untuk kandungan ash (debu) dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa kadarnya
bukan merupakan fungsi dari umur batubara. Oleh sebab itu kandungan debu perlu
diketahui melalui uji laboratorium. Dari tabel 8.1 tersebut terlihat bahwa semakin tua umur
batubara kadar elemen yang berbentuk gas seperti hidrogen, nitrogen, dan oksigen
mengecil dan sebaliknya kadar karbonnya akan meningkat. Apabila dibandingkan dengan
bahan bakar minyak dan gas, kadar hidrogen pada batubara relatif lebih rendah (hanya
berkisar antara 2 5% H), sehingga gas hasil pembakarannya akan mengandung uap air
yang lebih sedikit dan perbedaan antara gross dan net heating value adalah kecil (berkisar
antara 200 300 kkal/kg). Nilai kalor batubara sangat tergantung pada kandungan air dan
debu. Akan tetapi kadar volatile juga berpengaruh secara kompleks pada nilai kalor ini.
Karena rangkaian hidrokarbon pada batubara menghasilkan nilai kalor yang lebih tinggi
dibanding karbon bebas, maka pada umumnya untuk batubara dengan umur menengah
hingga tua kenaikan kadar volatile akan meningkatkan nilai kalornya. Namun untuk lignite
yang memiliki kadar gas tinggi, hal sebaliknya justru yang diperoleh karena proporsi unsur
nitrogen dan oksigen dalam volatile matter meningkat , dan seperti kita ketahui bahwa

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 2

kedua unsur ini tidak menghasilkan kalor pada proses pembakaran bahkan justru
menurunkan temperatur adiabatiknya.
Kadar belerang dalam batubara bervariasi tergantung pada asal tambang batubara
tersebut. Beberapa tempat mengandung kadar sulphur rendah, namun di lain tempat bisa
tinggi. Kandungan sulphur ini sangat berpengaruh pada operasi pembakaran di kiln,
mengingat sifat-sifatnya yang kurang menguntungkan antara lain dapat mempengaruhi
fluiditas rawmix dan lainnya. Oleh karena itu biasanya diinginkan batubara dengan kadar
belerang yang rendah untuk operasi kiln kita.
Untuk mengetahui beberapa sifat penting yang dimiliki oleh bahan bakar padat,
khususnya batubara, perlu dilakukan beberapa pengujian laboratorium antara lain:
a. Proximate analysis untuk menentukan kadar volatile matter, moisture (total dan
hygroscopic) dan debu (ash)
b. Ultimate analysis untuk menentukan kadar karbon, hidrogen, belerang, nitrogen, dan
oksigen. Dari hasil ultimate test ini akan dapat diperkirakan nilai kalor (heating value)
dari bahan bakar.
c. Analisis kimia untuk menentukan element apa saja yang terkandung didalam ash (debu).
Apabila elemen dan kadarnya dapat diketahui akan lebih meningkatkan presisi kita
dalam melakukan raw mix desain (akan dibahas dalam bab lain).
d. Analisis fisika untuk menentukan nilai kalor gross yang diikuti dengan perhitungan
nilaikalor netto berdasarkan kadar air yang ada di dalam bahan bakar serta H2O yang
akan dihasilkan dalam proses pembakaran.
e. Test lainnya yang biasanya dilakukan antara lain untuk mengetahui indeks kekerasan
yang berguna pada untuk proses grinding bahan bakar, indeks abrasi untuk keperluan
perkiraan material peralatan grinding dan transport serta perkiraan keausannya, serta
kehalusan butir hasil coal mill untuk keperluan kemudahan bahan bakar tersebut saat
dibakar.
Untuk memperoleh proses pembakaran yang baik dan api yang cocok dengan proses
pembentukan klinker di dalam kiln, kehalusan butir batubara merupakan parameter yang
penting. Pada umumnya untuk batubara dengan kadar volatile rendah, semakin lembut
ukuran butir proses pembakaran akan berjalan lebih cepat. Namun untuk batubara dengan
kadar volatile tinggi, sebaiknya ukuran butir dibuat lebih kasar untuk mengatur laju keluarnya
gas dari padatan sehingga tidak terlalu membahayakan proses pembakaran dan dapat
dikontrol dengan lebih baik. Jika keluarnya gas dari padatan terlalu cepat, percampurannya
dengan udara akan menyulitkan pengaturan proses pembakaran seperti terjadi pada proses
pembakaran bahan bakar gas. Hubungan antara kehalusan butir serta kadar air yang

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 3

disarankan dengan kemudahan proses pembakaran diberikan pada gambar 8.1 dan gambar
8.2.

Gambar 8.1 Kehalusan butir batubara yang direkomendasikan

Gambar 8.2 Kadar air butir batubara yang direkomendasikan


8.1.2. Bahan bakar minyak
Bahan bakar minyak masih banyak digunakan di pabrik semen di Indonesia walaupun
bukan merupakan bahan bakar utama. Pada umumnya bahan bakar minyak digunakan saat
heating up karena sifatnya yang mudah dibakar dan kestabilan apinya walaupun proses
pembakaran berlangsung pada kondisi lingkungan yang masih dingin atau pada kondisi
dimana terdapat problem dengan batubara. Banyak sekali jenis bahan bakar minyak ini,

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 4

misalnya IDO, HFO, dan lain-lain. Contoh beberapa sifat yang dimiliki oleh bahan bakar
minyak diberikan pada tabel 8.2.
Tabel 8.2: Sifat-sifat beberapa jenis bahan bakar minyak
Parameter

Satuan

Jenis minyak
LFO
86,2

Komposisi Kimia: C

Gas oil
86,3

12,8

12,4

11,8

%
Kg/liter

0,9
0,88

1,4
0,905

2,1
0,96

Kkal/kg/K
o
C
o
C
Kkal/kg

0,87
0,485
2160
50
10875

0,895
0,48
2120
50
10550

0,95
0,465
2120
49
10375

Kg/kg

10200
14,4

9900
14,2

9750
14,0

Nm3/kg
Nm3/kg

11,1
11,8

11,0
11,68

10,8
11,51

S
Specific Gravity : 0oC
15oC
Panas Spesifik
Temp. Api teoritis
Dew Point
Nilai Kalor: Gross
Net
Combustion Air
Combustion Gas (0% Oks)

HFO
86,1

Kadar belerang bahan bakar minyak tergantung pada asal sumber minyak tersebut. Kadar
belerang ini bisa mencapai sekitar 4,5%. Sifat specific gravity penting untuk minyak ini
karena terkorelasi dengan nilai kalor bahan bakar. Pada umumnya semakin tinggi nilai
specific gravity semakin rendah nilai kalornya.
8.1.3. Bahan Bakar Gas
Bahan bakar gas, diperoleh dari berbagai sumber dalam bentuk gas. Yang umum
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari diperoleh dari dalam bumi dalam ujud gas alam
atau gas dari minyak bumi (LPG). Gas alam merupakan bahan bakar yang baik sekali untuk
proses produksi semen karena memerlukan instalasi yang tidak rumit dan mudah dikontrol
kaena biasanya memiliki komposisi kimia yang relatif stabil serta bersih. Problem utama
dalam pembakaran bahan bakar gas adalah ledakan (explosion) sehingga memerlukan
penanganan khusus untuk keamanan instalasinya. Hasil analisis komposisi kimia gas alam
secara umum diberikan pada tabel 8.3.

Tabel 8.3: Sifat-sifat beberapa jenis Gas alam


Parameter
Komposisi Kimia : CH4

Satuan
%

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

Groningen
81,76

8- 5

Asal Gas Alam


Saharan
86,5

Laut Utara
91,8

C2H6

2,73

9,42

3,5

C3H8

0,38

2,63

0,8

C4H10

0,13

1,06

0,3

> C5

%
Kkal/kg

0,16
8400

0,09
10780

0,33
9700

Net
Combustion Air

Kg/kg

7580
10,91

9750
13,96

8760
12,6

Combustion Gas (0% Oks)

Nm3/kg
Nm3/Nm3

8,44
9,2

10,8
11,52

9,75
10,6

Nilai Kalor: Gross

Dari tabel 8.3 tersebut, tampak bahwa kadar CH4 merupakan tertinggi dan metana
merupakan komponen utama gas alam dengan kadar 80% - 95%. Biasanya dalam gas alam
ini tercampur nitrogen yang tidak menghasilkan kalor pada proses pembakaran.
Perlu dicatat bahwa pada umumnya kandungan belerang pada gas alam sangat rendah.
Selain itu volume gas hasil pembakaran relatif tinggi karena kandungan hidrogen yang
tinggi, sehingga panas terbuang bersama exhaust gas lebih tinggi dibanding hasil
pembakaran bahan bakar lainnya. Titik nyala gas alam cukup tinggi yaitu sekitar 600oC,
sehingga memerlukan perlakuan khusus bila digunakan untuk heating up kiln karena
temperatur dinding kiln belum tinggi sehingga radiasi dari dinding untuk memanaskan bahan
bakar dan udara belum cukup. Pada umumnya kiln dengan bahan bakar gas memiliki
konsumsi panas spesifik yang relatif rendah dibanding dengan kiln berbahan bakar selain
gas karena untuk bahan bakar gas ini udara primer dapat dijaga pada prosentase yang
rendah sehingga panas rekuperasi pada cooler tinggi. Walaupun demikian udara primer
tetap diperlukan khususnya untuk mendinginkan burner. Biasanya tekanan gas yang datang
ke pabrik kita cukup tinggi sehingga perlu diturunkan sebelum dibakar. Pada umumnya
tekanan gas alam cukup untk menghasilkan momentum percampuran dengan udara. Di
indonesia tidak banyak pabrik yang memanfaatkan gas alam sebagai bahan bakar
utamannya. Hal ini barangkali lebih dikarenakan oleh harganya yang relatif mahal dibanding
batubara selain tidak semua sumber gas alam berdekatan dengan lokasi pabrik.

8.1.4. Bahan Bakar Alternatif


Yang dimaksud dengan bahan bakar alternatif di sini adalah bahan bakar yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar alternatif di pabrik semen untuk mengurangi konsumsi
bahan bakar utama dalam rangka program penghematan energi. Beberapa contoh bahan
bakar alternatif ini antara lain pet coke, karet, kayu, sekam padi dan kertas. Bahan bakar
alternatif ini banyak digunakan oleh pabrik semen di luar negeri, mengingat harga bahan

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 6

bakar utama seperti minyak, gas dan batubara barangkali mahal di sana. Beberapa sifat
bahan bakar alternatif ini diberikan pada tabel 8.4.
Tabel 8.4 Sifat-sifat beberapa jenis bahan bakar alternatif
Parameter

Satuan

Jenis bahan bakar alternatif


Karet
Kayu
66,8
47,2

Pet Coke
87,6

3,8

5,7

6,5

5,8

5,1

1,2

0,2

1,5

0,4

0,3

1,2

0,1

45,4

44,3

H2O

0,6

0,8

Ash

%
Kkal/kg

0,2
8440

25,0
7400

1,0
4700

6,0
4040

8240

7090

4360

3730

Komposisi Kimia:

Nilai Kalor: Gross


Net

Kertas
43,4

8.2. Teori Proses Pembakaran Bahan Bakar


Jika suatu bahan bakar berdasarkan ultimate analysis mengandung komposisi berat
masing-masing A% Carbon, B% Hydrogen, C% Nitrogen, D% Sulfur, E% Oxigen, maka
bahan bakar tersebut dapat dituliskan rumus kimianya berdasarkan perbandingan molar dari
setiap elemennya sebagai CxHyNzSpOq dimana x = A/12, y = B/1, z = C/14, p = D/32, q =
E/16. Dari elemen-elemen yang terkandung dalam bahan bakar tersebut, hanya C, H dan S
yang apabila terbakar akan menghasilkan panas. Uraian reaksi pembakaran ketiga elemen
tersebut adalah sebagai berikut:
C

O2

CO

CO2

8133 kkal/kg

0,5 O2

CO

3450 kkal/kg

0,5 O2

CO2

5683 kkal/kg

H2

0,5 O2

H2O

3450 kkal/kg

O2

SO2

2248 kkal/kg

SO2

0,5 O2

SO3

2200 kkal/kg

Oksigen yang dibutuhkan dalam proses pembakaran diambil dari udara, baik udara primer
(yang ikut bersama-sama dengan mengalirnya bahan bakar ke ruang bakar) dan udara
sekunder (diambil dari udara pendinginan klinker di cooler). Kebutuhan oksigen minimal
agar seluruh bahan bakar dapat bereaksi secara sempurna dapat dievaluasi berdasarkan
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 7

reaksi di atas. Karena dari bahan bakar sendiri telah memiliki oksigen, dalam perhitungan
biasanya diasumsikan bahwa oksigen yang terkandung dalam bahan bakar ini selalu
bereaksi denganunsur lain yang membutuhkannya, baru kekurangannya diambil dari udara
primer dan sekunder. Karena udara di atmosfer mengandung 23% Oksigen dalam berat dan
sekitar 77% Nitrogen (perbandingan massa) maka dapat dihitung perbandingan mol-nya
sebagai berikut:
Untuk 100 kg udara terdiri dari 23,3 kg O 2 dan 76,7 kg N2. Apabila berat molekul
oksigen adalah 32kg/kmol dan untuk nitrogen adalah 28 kg/kmol, maka dalam 100 kg udara
tersebut terdapat 23,3/32 kmol O2 = 0,7281 kmol O2 dan 76,7/28 kmol N2 = 2,7393 kmol N2.
Jadi perbandingan molar antara oksigen dan nitrogen dalam 100 kg udara adalah = 0,7281 :
2,7393 atau 1 : 3,762. Oleh sebab itu untuk selanjutnya setiap kmol udara ditulis sebagai
berikut (1 O2 + 3,762 N2).
Perhitungan kebutuhan udara minimal untuk proses pembakaran bahan bakar
secara sempurna yang diambil dari udara primer dan sekunder dapat dihitung dari reaksi
kimia berikut:
CxHyNzSpOq + () (O2 + 3,762 N2) xCO2 + y/2 H2O + p SO2 + (3,762 + z/2) N2

(1)

dimana = (x + y/4 + p q/2) adalah mol udara yang dibutuhkan dan komposisi gas hasil
pembakarannya terdiri dari CO2, H2O, SO2 dan N2.
Di dalam pabrik semen kerap kali konfigurasi pabrik berbeda antara satu dengan
lainnya. Konfigurasi lama dengan hanya mengandalkan satu string suspension preheater
tentu berbeda dengan konfigurasi baru dengan dua string suspension preheater dan
calciner, karena proses pembakarannyapun berbeda. Dengan demikian kadang kita
bertanya berapa kebutuhan udara pembakaran yang baik untuk calsiner dan berapa untuk
kiln? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut diperlukan analisis berikut:
Udara yang dibutuhkan untuk pembakaran diklasifikasikan menjadi dua macam,
yaitu udara pembakaran teoritik dan udara pembakaran aktual. Udara pembakaran teoritik
didefinisikan sebagai udara minimum yang dibutuhkan untuk pembakaran bahan bakar
secara sempurna. Untuk menghitung kebutuhan udara teoritik di kiln (Lmink) dan di Calciner
atau PC duct (Lmind), harus dihitung terlebih dulu besarnya oksigen minimum pembakaran
di masing-masing tempat pembakaran tersebut. Berikut ini akan diberikan contoh
perhitungan kelebihan udara pembakaran di masing-masing tempat terjadinya proses
pembakaran dengan asumsi bahan bakarnya terdiri dari dua jenis yaitu batubara dan
IDOatauHFO yang biasa kita jumpai di pabrik semen. Oksigen minimum untuk membakar

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 8

satu kilogram bahan bakar yang terdiri dari coal dan IDO, Omincoal dan Ominido dalam
satuan (Nm3/kg bahan bakar) dirumuskan :
Omincoal = ((22.4 / 12) * C + (22.4 / 4) * H + (22.4 / 32) * S
- (22.4 / 32) * O) / 100

(6)

Ominido = ((22.4 / 12) * C1 + (22.4 / 4) * H1 + (22.4 / 32) * S1


- (22.4 / 32) * O1) / 100

(7)

Oksigen minimum yang diperlukan di kiln (Omink) dan Calciner atau PC duct (Omind)
masing - masing adalah :
Omink = Omincoal * Mbbkiln + Ominido * Moilk

(8)

Omind = Omincoal * Mbbduct + Ominido * Moild

(9)

Dimana bila Mbbkiln dan Moilk merupakan laju batubara dan minyak yang dibakar di kiln
untuk setiap kg klinker yang dihasilkan, maka satuan Omink dan Omind adalah (Nm3/kg
klinker). Dengan demikian, udara minimum yang diperlukan di kiln dan PC duct adalah :
Lmink = 4.762 * Omink (Nm3/kg klinker)

(10)

Lmind = 4.762 * Omind (Nm3/kg klinker)

(11)

Udara pembakaran aktual didefinisikan sebagai jumlah udara hasil pengukuran pada
masukan di main burner (Mudprikiln) dan di PC duct burner (Mudpriduct).
8.3. Kelebihan Udara Pembakaran (Excess Air)
Udara yang diperlukan untuk pembakaran pasti mengandung udara berlebih (Excess
Air). Excess air merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan suplay bahan
bakar dan kebutuhan udara pembakaran serta untuk perhitungan energi gas hasil
pembakaran bahan bakar baik di kiln maupun di preheater. Kelebihan udara pembakaran di
kiln dituliskan dengan Excesskiln, kelebihan udara pembakaran di preheater dituliskan
dengan Excessd, dan kelebihan udara pembakaran total di kiln dan preheater dituliskan
dengan Excesstot.
8.4. Nyala Api dan Temperatur Api
Api merupakan campuran gas-gas hasil pembakaran yang panas atau bertemperatur
tinggi. Temperatur gas yang tinggi diperoleh dari kalor yang dihasilkan oleh pembakaran
bahan

bakar. Kalor

tersebut

dipergunakan

untuk

meningkatkan

temperatur

atau

memanaskan gas-gas hasil pembakaran sehingga temperaturnya menjadi tinggi. Apabila


dianggap tidak ada panas yang hilang kecuali hanya untuk memanaskan produk
pembakaran serta jumlah udara yang dibutuhkan pas atau sama dengan kebutuhan udara
stoikiometriknya, maka temperatur akhir gas-gas hasil pembakaran merupakan temperatur
adiabatik atau temperatur teoritik. Secara teoritik tempertur adiabatik ini dapat dihitung

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8- 9

berdasarkan persamaan kekekalan energi. Temperatur api tergantung pada panas spasifik
bahan bakar, komposisi bahan bakar serta temperatur udara yang dipergunakan untuk
proses pembakaran. Semakin tinggi temperatur udara yang dipergunakan untuk
pembakaran semakin tinggi pula temperatur teoritik api yang dihasilkan. Namun demikian
temperatur udara ini tidak dapat secara langsung ditambahkan begitu saja bila kita ingin
memperkirakan temperatur api teoritik antara memakai udara bertemperatur dingin dengan
udara bertemperatur tinggi, karena pada temperatur yang lebih tinggi CO2 dan airakan
berdisosiasi dengan derajad disosiasi yang lebih tinggi dan selama proses disosiasi akan
menyerap panas. Oleh karena kompleksnya proses pembakaran, barangkali akan lebih
sederhana bila diterangkan urutan proses pembakaran bahan bakar hingga diperoleh
temperatur gas produk pembakaran yang tinggi. Urutan proses pembakaran tersebut antara
lain:
a. Pemanasan bahan bakar di ruang bakar (misalnya burning zone di kiln).
Pemanasan ini terjadi karena temperatur bahan bakar dan udara primer yang
keluar dari burner tip lebih rendah dibanding lingkungannya dimana dia
disemprotkan. Jadi pemanasan ini terjadi dengan mekanisme radiasi dan
konveksi dari ruang bakar ke bahan bakar. Sumber panas untuk pemanasan
bahan bakar berasal dari tiga tempat yaitu dinding ruang bakar (secara radiasi),
api yang sudah terbentuk sebelumnya (secara radiasi), dan temperatur udara
sekunder. Perpindahan panas ini diteruskan dari permukaan bahan bakar yang
biasannya untuk batubara tertutup oleh abu menuju ke bagian bahan bakar yang
akan bereaksi secara konduksi. Apabila ukuran butir bahan bakar semakin kecil,
pada umumnya proses perpindahan panas ini berlangsung semakin cepat.
Perpindahan panas atau pemanasan ini berlangsung terus hingga temperatur
bahan bakar mencapai temperatur nyalanya dimana reaksi pembakaran mulai
terjadi.
b. Reaksi

kimia

pembakaran.

Setelah

temperatur

bahan

bakar

mencapai

temperaturnyalanya, unsur yang dapat terbakar akan mulai terbakar karena


bertemu dengan oksigen yang berada di udara sekitar bahan bakar. Reaksi ini
terjadi khususnya untuk C, H2, dan S degan oksigen O2 dan membentuk CO2,
CO, H2O, dan SO2 sambil terbentuk kalor yang dipergunakan untuk
meningkatkan gas hasil pembakaran.
c. Proses selanjutnya adalah keluarnya gas produk pembakaran dari tempat
terjadinya reaksi menuju permukaan luar dan bercampur dengan gas yang sudah
ada diskitar bahan bakar. Proses difusi ini berbeda antara satu jenis bahan bakar

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 10

dengan bahan bakar yang lain dan kandungan abunya juga mempengaruhi
karena biasanya abu akan menutup permukaan bahan bakar.
d. Proses terakhir adalah adanya perubahan komposisi gas produk pembakaran
akibat adanya proses disosiasi dan mekanisme reaksi lainnya yang sangat
kompleks termasuk reaksi terbentuknya NOx.
Perlu dicatat bahwa nilai temperatur nyala dari batubara berkisar antara 450 hingga 600 oC,
untuk bahan bakar minyak berkisar antara 300 550 oC, dan untuk bahan bakar gas sekitar
600 hingga 700oC. Sedangkan temperatur api toritik untuk batubara sekitar 2150 oC,
sedangkan untuk bahan bakar minyak dan gas berkisar pada 2120 oC dan 2050oC. Karena
tingginya temperatur api erat kaitannya dengan panjang gelombang sinar nyalanya, maka
adanya distribusi temperatur api akan mengakibatkan adanya pula bentuk api. Bentuk api ini
perlu diperhatikan dalam operasi kiln karena erat kaitannya dengan kualitas klinker yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh reaksi klinkerisasi yang sangat erat kaitannya dengan
temperatur sekitar dimana reaksi tersebut berlangsung. Bentuk nyala api dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
a.

Temperatur udara pembakaran yang erat kaitannya dengan rekuperasi panas di cooler
karena biasanya udara pembakaran sekunder diambil dari cooler.

b.

Jumlah kelebihan udara yang dipergunakan dalam proses pembakaran. Jumlah udara
berlebih yang terlalu sedikit akan mengakibatkan bentuk nyala api panjang karena
lamanya untuk mencapai reaksi sempurna.

c.

Laju pencampuran antara bahan bakar dan udara pembakaran. Parameter ini juga
mempengaruhi laju pembakaran itu sendiri. Semakin baik proses pencampuran antara
bahan bakar dan udara semakin meningkat pula laju pembakarannya.

d.

Tipe burner yang dipergunakan.

e.

Jenis dan kualitas bahan bakar yang akan dibakar.

Untuk memenuhi beberapa hal di atas agar bentuk nyala api di dalam kiln baik , perlu
kiranya dilakukan kontrol pembakaran antara lain:
a.

Memilih batubara berkualitas baik misalnya kadar abu rendah, kadar belerang rendah,
volatile matter cukup (tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah), dan lain-lain.

b.

Memperkaya udara primer sampai batas tertentu

c.

Meningkatkan pencampuran dengan cara memperbaiki turbulensi aliran dengan


mengatur burner tip.

d.

Menjaga perbandingan antara bahan bakar dan udara yang ideal dengan cara
mengontrol kadar oksigen di inlet kiln.

e.

Menaikkan temperatur udara primer dan sekunder.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 11

Selain hal-hal di atas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaruh batubara terhadap
klinker dan coating yang antara lain terkait dengan komposisi abu, suasana di burning zone,
dan bentuk nyala. Berikut ini penjelasannya :
a. Pengaruh abu:
Abu bersifat asam yang cukup ekstrem jika dibandingkan dengan klinker. Oleh karena itu
abu harus dianalisis agar kita dapat merancang komposisi rawmix yang sesuai untuk
mengimbangi sifat abu. Abu terlalu asam yang tidak diimbangi akan menyebabkan fasa
cair klinker memiliki kekentalan tinggi sehingga berpengaruh negatip terhadap proses
pembakaran sendiri.
b. Suasana burning zone:
Sebaiknya diusahakan agar suasana di burning zone dalam kondisi oksidasi, artinya
pada keadaan normal kandungan oksigen di inlet kiln berkisar 1 3 % dan CO sekitar
0,01%. Jika kandungan oksigen terlalu rendah maka kadar CO akan meningkat karena
pembakaran menjadi kurang sempurna. Isamping itu akan kehilangan panas karena nilai
kalor berkurang sehingga beberapa akibat dapat timbul seperti:
1. Temperatur nyala turun
2. Daerah transisi bergeser ke depan menuju burning zone, sehingga memungkinkan
raw meal masuk ke daerah burning zone dan untuk beberapa saat coating akan drop
karena adanya perubahan panas. Liter weight klinker turun dan kiln menjadi dusty,
akhirnya banyak debu yangkembali ke kiln dari cooler sehingga menganggu kondisi
burning zone.
c. Bentuk nyala:
Bentuk nyala erat kaitannya dengan temperatur api sehingga akan berpengaruh
terhadap perpindahan panas radiasi ke raw meal yang akhirnya berpengaruh terhadap
kualitas klinker.

Tolok ukur yang biasanya dipakai dalam operasi pembakaran antara lain:
1. Konsumsi panas normal
2. Produksi klinker sesuai yang diharapkan
3. Distribusi temperatur shell kiln yang mencerminkan distribusi gas dan material di
dalamnya dalam kondisi optimum.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 12

8.5.

Proses di Unit Coal Mill

Unit coal mill dirancang sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan terhadap peraturanperaturan terakhir mengenai konstruksi, layout dan fasilitas operasi penanganan batubara.
Unit coal mill dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap utama, yaitu:
a. Tahap pengeringan batubara
b. Tahap penggilingan batubara
c. Tahap penyimpanan batubara
Berikut ini penjelasan dan ketiga tahap tersebut.
a.

Tahap Pengeringan Batubara


Kadar air di dalam batubara bervariasi dalam rentang yang sangat lebar sesuai

dengan jenis batubara yang digunakan. Pengeringan batubara dimaksudkan untuk


memudahkan prosedur pada saat proses penggilingan, transpor, dan penyimpanan
batubara. Selain itu, kadar air yang berlebihan di dalam batubara akan meningkatkan jumlah
gas yang keluar dari kiln. Hal ini akan menambah beban kerja kiln fan sehingga kiln output
akan berkurang. Proses pengeringan ini paling baik dilaksanakan bersamaan dengan
proses penggilingan.
Secara umum kadar air di dalam batubara ada 2 (dua) macam, yaitu:
a)

Kadar air tak-terikat (free moisture), dimana air yang terkandung di dalam batubara
menguap pada temperatur ambient.

b) Kadar air terikat (hygroscopic atau inherent water), dimana air yang terkandung di
dalam batubara menguap dengan pemanasan pada temperatur 30 - 105 0C.
Pengeringan yang berlebihan akan mempercepat proses oksidasi batubara sehingga
meningkatkan resiko terjadinya pembakaran spontan pada batubara selama proses transpor
dan penyimpanan di silo/bin. Selama penghalusan, air tak-terikat akan menguap di dalam
mill sedang air terikat sebagian tetap tertinggal.
Temperatur aliran keluar coal mill biasanya berkisar antara 60-70 0C dan kadang-kadang
mencapai 800C. Temperatur aliran keluar coal mill dijaga pada temperatur 15-250C lebih
tinggi dari titik embunnya (dew point) untuk mencegah terjadinya kondensasi atau
pengembunan air di dalam duct dan filter. Titik embun pada aliran keluar coal mill berkisar
antara 50-60

C. Nilai titik embun ini merupakan fungsi dari kadar air batubara,

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 13

perbandingan jumlah udara pengering terhadap batubara yang dikeringkan, dan temperatur
udara pengering, pada temperatur aliran batubara masuk dan keluar coal mill yang sudah
ditentukan.
Udara atau gas pengering yang biasa digunakan adalah udara panas dari kiln dan cooler.
Temperatur udara pengering yang digunakan tidak boleh lebih dan 350 0C karena akan
menghasilkan konsumsi panas spesifik yang lebih tinggi untuk proses pengeringan
batubara.
Kadar air maksimum batubara yang akan dikeringkan adalah 15%, sedangkan kadar air
sisa hasil pengeringan harus berkisar antara 1-1,5%. Kenaikan kadar air akan menyebabkan
kapasitas penggilingan di tahap selanjutnya akan menurun.dan konsumsi energi spesifik
penggilingan akan meningkat.
b.

Tahap Penggilingan Batubara


Proses penggilingan batubara bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan kontak

batubara sehingga dapat mempermudah proses pembakaran di dalam kiln.


Konsumsi energi spesifik untuk proses penggilingan batubara pada suatu jenis coal
mill tertentu tergantung pada tingkat kehalusan batubara yang dibutuhkan dan grindability
batubara umpan.
Tingkat kehalusan batubara yang direkomendasikan untuk pembakaran di dalam kiln
tergantung pada kandungan gas dan zat terbang (volatile matter) di dalam batubara.
Semakin tinggi kandungan gas dan zat terbang di dalam batubara maka tingkat kehalusan
batubara harus diturunkan. Hal ini disebakan oleh semakin mudahnya gas dan zat terbang
lepas dan bercampur dengan udara luar selama proses transpor dan penyimpanan jika
batubara yang memiliki kandungan gas dan zat terbang tinggi tersebut digiling sampai
tingkat kehalusan yang tinggi. Tingkat kehalusan batubara yang disyaratkan ekivalen
dengan residu 1,5 - 2% pada ukuran 200 mesh dan kurang Iebih 15% residu pada ukuran
88 . Tingkat kehalusan ini akan menentukan kinerja dari kiln, dimana semakin halus
batubara yang diumpankan ke kiln maka ukuran kiln yang digunakan akan semakin pendek.
Grindability batubara umumnya ditunjukkan oleh suatu harga yang dinamakan Hardgrove
Index (HGI). Semakin tinggi Hardgrove Index suatu batubara, maka grindability batubara
tersebut semakin tinggi atau batubara tersebut semakin mudah digiling atau dihancurkan.
Nilai Hardgrove Index bervariasi sesuai dengan jenis batubara yang digunakan. Nilai tipikal
Hardgrove Index berkisar antara 40-65.
c. Tahap Penyimpanan Batubara

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 14

Kualitas batubara yang digunakan menunjukkan tingkat fluktuatif yang tinggi. Dengan
demikian tahap penyimpanan ini juga harus berfungsi sebagai blending batubara. Proses
blending ini dilakukan dengan cara penyusunan stockpile (tumpukan) seperti pada proses
prehomogenisasi raw material.
Masalah utama pada penyusunan stockpile batubara adalah terjadinya pembakaran
spontan (lihat penjelasan selanjutnya). Pembakaran spontan didorong oleh kecenderungan
batubara menyerap oksigen di udara. Kecenderungan ini semakin tinggi untuk batubara
yang memiliki kadar air tinggi, kandungan oksigen tinggi, dan kandungan zat terbang tinggi.
Waktu penyimpanan stockpile yang telah disusun disesuaikan dengan tingkat kebutuhan
batubara di dalam unit kiln. Untuk waktu penyimpanan jangka panjang, hal-hal yang perlu
diperhatikan dan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a)

Tempat penyimpanan harus kering, bersih, dan dengan drainase yang bagus.

b)

Tempat penyimpanan harus dibersihkan dan bahan-bahan mudah terbakar, seperti


kayu, kain berminyak, dan lain-lain.

c)

Penyusunan dilakukan secara bertahap dengan menebar batubara secara merata


sampai ketebalan 0,5 m laIu dipadatkan membentuk suatu lapisan sebelum disusun
lapisan baru di atas Iapisan sebelumnya.

d) Jika memungkinkan, batubara yang berukuran sangat halus dipisahkan dari stockpile
untuk mencegah terjadinya disipasi sejumlah kecil panas dari batubara halus tersebut.
e) Temperatur tumpukan batubara harus diukur secara berkala. Temperatur kritisnya
adalah di atas 500C. Pembakaran spontan akan terjadi pada temperatur 70 0C. Jika
sudah mencapai 700C, batubara harus dipencar untuk didinginkan dan disiram dengan
air atau bisa juga ditambah dengan batubara yang dingin. Penyiraman air tanpa
memencar batubara meningkatkan resiko kebakaran spontan khususnya pada batubara
dengan kandungan sulfur tinggi. Selama operasi silo dijaga agar selalu penuh untuk
mencegah agar batubara tidak jatuh terlalu tinggi serta mengurangi volume udara.

8.5.1. Jenis-jenis Coal Mill


a. Ball Mill

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 15

Jenis mill ini dirancang untuk melakukan proses pengeringan dan penggilingan sbatubara
ecara bersamaan. Umpan batubara masuk ke dalam kompartemen pengering bersamasama dengan gas panas. Batubara hasil pengeringan masuk ke dalam kompartemen
penggilingan, yang terdiri dari satu atau dua kompartemen. Ball mill umumnya dirancang
sebagai fully air swept mill, sehingga semua material bersama-sama dengan gas atau udara
dialirkan melalui satu saluran menuju ke separator.
Partikel batubara yang masih kasar dipisahkan dari partikel halusnya di dalam separator.
Partikel kasar ini dikembalikan lagi ke dalam ball mill melalui inlet ball mill. Hal ini dilakukan
selain untuk meningkatkan efisiensi penggilingan juga untuk menurunkan temperatur
partikel yang kasar sehingga mengurangi resiko terjadinya penyalaan di dalam inlet mill.
b. Vertical Roller Mill
Penggilingan batubara berlangsung di antara meja berputar (rotating table) dan tiga buah
roller penggiling (grinding roller). Batubara diumpankan ke tengah rotating table dan dengan
gaya sentrifugal lewat di antara roller dan table, kemudian setelah hancur tergiling, partikel
batubara menuju ujung table dan terbawa aliran udara atau gas panas yang mengalir dari
bagian bawah vertical roller mill.
Aliran udara yang membawa partikel batubara tersebut mengalir ke atas menuju classifier.
Partikel batubara yang masih kasar dikembalikan Iagi ke meja berputar untuk digiling
kembali sedangkan partikel yang halus keluar melalui outlet bersama-sama dengan udara
panasnya.
8.5.2. Kondisi Pembakaran Spontan
Jika menggunakan batubara, pada kondisi tertentu ada kemungkinan terjadi
pembakaran spontan selama transportasi, penyimpanan dan penggunaannya. Pembakaran
spontan bisa berupa kebakaran terbuka atau berupa ledakan. Kondisi ini bisa dicegah
dengan

beberapa

tindakan

pencegahan

bergantung

pada

sifat

batubara,

cara

penyimpanannya, dan proses di mana batubara tersebut digunakan.


Batubara melepaskan zat terbang yang bereaksi kimia dengan udara atmosfir membentuk
gas yang mudah terbakar. Reaksi tersebut akan menimbulkan panas pada daerah sekitar
permukaan batubara. Jika panas tersebut tidak terbuang maka akan terserap oleh batubara,
dan pada saat panasnya telah cukup tinggi maka batubara tersebut akan terbakar secara
spontan. Pembakaran spontan mulai sebagai api kecil (incandescent fire), tetapi jika udara
atmosfir yang mengandung oksigen kontak dengan bara tersebut maka akan terjadi
kebakaran terbuka.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 16

Pembakaran spontan terjadi setelah kenaikan temperatur selang beberapa waktu. Waktu
yang memungkinkan kenaikan temperatur ini harus dijaga sesingkat mungkin. Waktu
penyimpanan batubara harus dikurangi sekecil mungkin sehingga panas dapat dilepaskan
ke lingkungan sekitar dengan mudah jika batubara selalu bergerak.
Panas dari sekitarnya harus dihindari agar tidak menambah kenaikan temperatur. Udara
atmosfir harus dibatasi kontaknya dengan batubara. Rongga udara bisa diganti dari udara
atmosfir dengan CO2 atau gas inert yang lain.
Kondisi berikut mempengaruhi resiko terjadinya pembakaran spontan, antara lain:
a. Kandungan volatile matter.
Batubara dengan volatile matter tinggi akan mudah terbakar spontan. Kandungan volatile
matter bergantung pada jenis batubara, yaitu:
Anthracite

< 15 %

tidak terbakar spontan

Bituminous

15 - 40 %

terbakar

spontan

setelah

jangka

waktu

lama
Lignitic

> 40 %

mudah terbakar spontan

b.Ukuran bongkahan batubara.


Bongkahan batubara yang besar akan Iebih sulit untuk terbakar spontan daripada batubara
halus karena Iuas permukaannya yang Iebih kecil. Bongkahan batubara dengan ukuran
sama Iebih mudah terbakar dibandingkan dengan batubara yang berukuran bermacammacam. Tumpukan batubara dengan ukuran besar memungkinkan masuknya udara ke
dalam tumpukan dan menyebabkan pembakaran spontan pada abu batubara yang
terbentuk karena gesekan mekanis antar batubara selama transportasi.
c.Temperatur dan Kandungan Air Tumpukan Batubara.
Kenaikan temperatur akan menaikkan resiko terjadinya pembakaran spontan. Kenaikan
temperatur 10 0C akan mengurangi waktu reaksi sampai 50 %. Temperatur di atas 50 0C
merupakan temperatur kritis. Pembakaran spontan nampaknya mulai terjadi pada 70 0C.
Pembakaran spontan akan menjadi kebakaran terbuka pada temperatur:
150 0C
0

pada brown batubara (lignite)

200 C

pada hard batubara (gas batubara)

250 0C

pada coke dan petroleum coke

300 0C

pada anthracite

(temperatur berlaku pada campuran bongkahan batubara ukuran kecil dan besar)

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 17

Jika temperatur naik di atas 700C batubara harus dipencar untuk pendinginan dan disiram
dengan air. Batubara dingin bisa ditambahkan dan batubara tersebut harus segera dipakai
dengan perhatian khusus. Penyiraman air tanpa memencar batubara memperbesar resiko
terbakar spontan, khususnya pada batubara dengan kandungan sulfur tinggi. Kandungan
pyrites lebih mudah beroksidasi dan sulfur yang mempunyai titik nyala yang Iebih rendah
dan pada batubara akan dilepaskan karenanya.
d.Tinggi tumpukan batubara.
Selama penyimpanan tanpa pemadatan untuk Iebih dari dua minggu, tinggi tumpukan
disesuaikan dengan jenis batubara, yaitu:
Kandungan gas rendah

tinggi sebarang

Gas : 15 - 40 %

maksimum 8 meter

Gas > 40 %

maksimum 6 meter

e. Pemadatan
Pemadatan pada tumpukan batubara mengurangi resiko terbakar spontan karena
pemadatan mengurangi kemungkinan sirkulasi udara/oksidasi. Penekanan juga mengurangi
kantong udara dalam tumpukan. Batubara yang akan disimpan lama harus dipadatkan.
f. Komposisi Kimia
Batubara dengan kandungan sulfur tinggi lebih cepat beroksidasi (terbakar spontan)
dibandingkan dengan yang kandungan sulfurnya rendah.
8.5.3. Proses Kebakaran dan Ledakan di dalam Coal Mill
Kebakaran dan ledakan dapat terjadi di dalam coal mill jika ketiga kondisi berikut tercapai:
1.

Konsentrasi debu batubara di dalam campuran gas berada di dalam rentang terjadinya
ledakan

Rentang konsentrasi debu batubara yang dapat menimbulkan Iedakan berkisar antara 150
(batas bawah ledakan) -1500 (batas atas Iedakan) gr/Nm3, tergantung pada kandungan gas
dan tingkat kehalusan batubara. Tingkat kehalusan debu batubara yang masuk dalam
rentang tersebut ekivalen dengan residu 10-15% pada ukuran mesh 88 (=170 mesh sieve).
Konsentrasi debu batubara di atas batas atas Iedakan merupakan konsentrasi efektif yang
sering digunakan dalam unit coal mill.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 18

2.

Kandungan oksigen di dalam campuran gas cukup untuk menimbulkan ledakan

Kandungan oksigen maksimum adalah 14% di dalam coal mill. Kenaikan kandungan
oksigen akan menyebabkan rentang ledakan seperti disebut sebelumnya akan semakin
lebar sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya ledakan. Selain itu kenaikan
kandungan oksigen akan meningkatkan temperatur nyala campuran gas.
3. Tercukupinya energi termal yang dapat menyebabkan terjadinya ledakan
Energi termal yang dapat menyebabkan terjadinya ledakan adalah:

Penyalaan-sendiri (self ignition) batubara

Pemanasan batubara secara berlebih oleh gas pengering

Pemanasan bagian-bagian mesin dan alat secara berlebih

8.5.4. Parameter Operasi dan Pengendalian Coal Mill


Pada prinsipnya pengendalian coal mill ini sama dengan raw mill. Parameter operasi yang
perlu dikendalikan :
a. Kadar Oksigen
Parameter ini harus dikontrol karena dapat menyebabkan ledakan seperti yang telah
dijelaskan di atas.
b. Kadar CO
Parameter ini berkaitan dengan kadar oksigen, karena gas CO akan bereaksi dengan
oksigen disertai dengan pelepasan panas yang cukup tinggi. Pelepasan panas ini yang
dapat menyebabkan ledakan spontan.
c.

Temperatur
Temperatur di bagian dalam mill diukur untuk mengatur kadar air batu bara dalam mill.
Pengendalian terhadap parameter temperatur sangat penting karena berkaitan dengan
karakteristik batu bara yang mudah terbakar secara spontan. Pembakaran spontan
akan terjadi pada temperatur 70 0C.

d.

Pressure Mill
Pengontrolan tekanan di inlet dan outlet mill digunakan untuk menjamin adanya aliran
gas dan material di dalam mill. Jika beda tekanan antara inlet dan outlet menjadi tinggi,
hal ini mengindikasikan adanya penyumbatan di dalam mill. Penyumbatan tersebut

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 19

dapat mengakibatkan kenaikan temperatur di dalam mill sehingga suatu saat bisa
menyebabkan ledakan spontan.
e.

Kehalusan Produk
Seperti yang sudah dijelaskan di unit kiln dan proses penggilingan batu bara, bahwa
kehalusan batu bara akan mempengaruhi turbulensi butiran dan udara primer sehingga
akan menghasilkan flame yang baik maka kehalusan batu bara merupakan parameter
yang harus dikontrol. Pengontrolan kehalusan ini dapat dilakukan dengan mengatur
kecepatan putaran blade pada classifier, semakin cepat putarannya maka partikel yang
diperoleh semakin halus. Demikian sebaliknya.

8.5.5. Teknologi Burner


Api yang terbentuk di dalam kiln misalnya, sangat tergantung salah satunya pada
tipe burner yang digunakan dan pencampuran antara bahan bakar, udara primer dan udara
sekunder karena dalam teori api dalam kiln digolongkan pada diffusi. Diffusi nyala api artinya
adalah bahwa antara bahan bakar dan udara pembakaran, khususnya udara sekunder,
dimasukkan ke ruang bakar secara terpisah. Pencampuran antara bahan bakar, udara
primer dan udara sekunder dihasilkan oleh adanya energi kinetik masing-masing saat
memasuki ruang bakar. Namun di dalam praktek hanya energi kinetik dari udara primer
yang dapat diatur, sedangkan lainnya mengikuti atau sangat sedikit variasi pengaturannya.
Energi kinetik biasanya dirumuskan berdasarkan momentum yaitu:
Momentum = Lp x V

( dalam satuan %xm/s)

(34)

Dimana Lp adalah % udara primer dan V adalah kecepatan pada burner nozle (m/s).
Pengalaman FL Smidth mengatakan biasanya untuk memperoleh api optimum diperlukan
momentum sebesar 1400 (% x m/s). Namun pada kenyataannya nilai momentum ini
memiliki batasan praktis karena jumlah udara primer terbatas mengingat agar selalu dicapai
pemanfaatan energi semaksimal mungkin. Kecepatan pada nozzle merupakan fungsi dari
tekanan blower yang ada. Dengan demikian pemilihan dan penyetelan burner bukanlah hal
yang mudah. Beberapa persyaratan burner antara lain:
1. Cocok dengan konsumsi udara primer yang diperlukan dengan memakai bahan bakar
yang diinginkan (tipe dan kualitas bahan bakar).
2. Kalau mungkin serendah mungkin konsumsi udara primer yang diperlukan untuk
menjaga optimumnya pemakaian bahan bakar secara keseluruhan.
3. Mudah dan tersedia kemungkinan yang banyak untuk menyetel agar diperoleh
kemudahan mengontrol api.
4. Cocok dengan instalasi blower/fan serta instalasi lainnya yang ada.
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 20

5. Memungkinkan membakar bahan bakar kombinasi atau dapat menampung variasi


kualitas bahan bakar yang cukup lebar.
6. Memenuhi atau cocok dengan fasilitas start up yang dimiliki.
Namun demikian operasi pembakaran dengan burner yang telah dipilih dengan persyaratan
tersebut di atas masih sangat bergantung pada kinerja cooler kita serta sirkulasi debu di
sekitar burner. Khusus untuk pembakaran di kiln burner yang dipilih hendaknya akan
menghasilkan api yang memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:
1. Bata tahan api dalam kiln (kiln brick lining) tidak akan over heated dan rusak sehingga
umur yang optimum dapat dicapai.
2. Temperatur dan bentuk yang dihasilkan cocok dngan kebutuhan proses klinkerisasi
sehingga diperoleh kualitas klinker yang bagus. Hal ini per;lu kompromi karena
temperatur yang tinggi berarti burning zone akan lebih pendek dan temperatur api yang
lebih rendah akan memerlukan waktu yang lebih panjang untuk proses klinkerisasi yang
sempurna.
3. Pembakaran yang sempurna dapat diperoleh pada biaya operasi yang terendah.
Dari hal-hal di atas tampak bahwa pemilihan burner dan penyetelan api merupakan sesuatu
yang tidak mudah mengingat banyaknya kriteria yang harus dipenuhi. Berikut ini diberikan
beberapa contoh tentang burner dan karakteristik masing-masing sebagai gambaran.
a. Burner untuk bahan bakar gas
Salah satu contoh burner untuk bahanbakar gas dari FLS diberikan pada gambar 4.3.
Burner untuk gas ini dapat bekerja pada tekanan gas rendah hingga sekitar 6 bar.
Namun yang perlu diingat bahwa tekanan kerja berhubungan dengan kecepatan aliran
gas di nozzle. Kecepatan aliran ini tidak akan melebihi kecepatan kritis yaitu kecepatan
suara 380 m/s. Kecepatan ini pada prakteknya sudah dapat dicapai walau tekanan gas
hanya sekitar 0,8 bar sehingga tekanan gas yang lebih tinggi hanya akan menyebabkan
adanya kompresi gas. Pada umumnya tekanan kerja di nozzle berkisar antara 0,4 0,8
bar dan kecepatan aliran diatur dengan mengatur tekanan gas ini.
Pada burner gas FLS tersebut bentuk apidapat distel, karena pada nozzle aliran gas
dibagi menjadi tiga yaitu aliran utama, primer dan sekunder melalui lubang konis. Rasio
antara gas primer dan sekunder dapat diatur dengan mengatur posisi konis secara
aksial. Penyala (igniter) yang berada ditengah berfungsi ganda yaitu sebagai penyala
dan menjaga pembakaran sehingga diharapkan kestabilan api dapat diperoleh. Hal
penting yang perlu diingat bahwa resiko meledak tetap ada sehingga diperlukan
peralatan pengaman seperti interlock pada katup apabila terjadi kegagalan sumber

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 21

listrik, fan dan lain-lain. Selain itu perlu pula instalasi dilengkapi dengan pengaman
tekanan berlebih dari gas.

Gambar 8.3. Contoh burner bahan bakar gas dari FLS


Perkembangan baru teknologi burner bahan bakar gas adalah centrax seperti
diperlihatkan pada gambar 8.4. Burner ini didesain khusus untuk pemakaian udara
primer yang sedikit. Udara primer disupply dari blower.
b. Burner untuk minyak
Salah satu contoh burner untuk minyak dari FLS diberikan pada gambar 4.5, yang
mereka sebut dengan tie uniflow dengan satu alur (single channel). Burner diletakkan
pada bagian tengah dan di luarnya terdapatpipa konsentrik untuk udara primer. Tujuan
utama dari nozzle burner minyak ini adalah untuk membuat kabut minyak (atomize)
dengan ukuran diameter butiran kabut yang cocok dengan proses pembakaran yang
diharapkan dan terdistribusi ke dalam udara sekunder secara baik. Pengkabutan ini
terjadi akibat tekanan tinggi dari pompa minyak, biasanya sekitar 25 bar dan kadangkadang bisa mencapai 40 bar. Pada umumnya untuk suatu tekanan tertentu ukuran
diameter kabut meningkat dengan meningkatnya diameter nozzle. Oleh sebab itu desain
nozzle sangat penting.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 22

Gambar 8.4. Burner bahan bakar gas tipe centrax[3].


Keterangan: (01) burner pipe ; (02) Refraktori; (03) Burner tip; (04) Nosel udara primer;
(05) Alur tangensial; (06) Pilot burner; (07) Rotary blower; (08) Pressure controle valve;
(09) Fan pendingin darurat

Berdasarkan pengalaman, proses pembakaran minyak yang baik sangat dipengaruhi oleh
energi kinetik atau momentum udara primer. Misalnya untuk burner FLS tersebut akan
menghasilkan nyala yang baik bila persentase udara primer adalah sekitar 15% dan
kecepatan udara primer sekitar 90 m/s sehingga momentumnya sekitar 1350 (%xm/s).

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 23

Gambar 8.5. Burner bahan bakar minyak dari FLS[3].


Seperti halnya burner gas, burner untuk minyak perkembangannya juga menuju pada
prosentase udara primer yang semakin mengecil agar pemanfaatan konsumsi bahan
bakar semakin optimum. Contoh burner minyak yang didesain untuk prosentase udara
primer yang kecil dari FLS dan diberi kode Centrax diberikan pada gambar 4.6.
c. Burner untuk batubara
Karena hampir seluruh pabrik semen di Indonesia berbahan bakar utama batubara dan
tipe pabrik semennya juga bervariasi, maka tentu saja banyak sekali tipe burner yang
digunakan untuk mebakar batu bara ini yang digunakan di Indonesia seperti Pillard, FLS
(uniflow, swirlax, dan centrax), UBE dan lain sebagainya. Beberapa gambar dari jenisjenis burner batubara diberikan dalam lampiran. Apapun jenis burnernya yang lebih
penting adalah bentuk nyala yang dihasilkan untuk batubara yang kita bakar karena
bentuk nyala erat kaitannya dengan kualitas operasi kiln. Pengontrolan pembentukan
nyala sangat kompleks karena disamping tergantung pada mekanisme bahan bakar dan
udara primer yang keluar dari mulut burner, juga dipengaruhi oleh pencampurannya
dengan udara sekunder dan kondisi di dalam kiln itu sendiri. Terdapat dua alternatif
untuk mengatur semburan udara dan batubara serbuk yang dapat diatur secara terpisah
atau sendiri-sendiri, yaitu:
1. Komponen kecepatan aksial di bagian dalam dan komponen kecepatan radial di
bagian luar yang bertujuan untuk membentuk dua daerah nyala sehingga diperoleh
bentuk nyala yang disebut cone flame.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 24

2. Komponen kecepatan aksial di luar dan komponen kecepatan radial di dalam yang
bertujuan untuk membentuk nyala yang disebut hollow cone flame atau api dengan
bentuk tirus tetapi ditengahnya berlubang.

Gambar 8.6 Burner minyak untuk prosentase udara primer yang rendah[3].
Keterangan: (01) burner pipe ; (02) Refraktori; (03) Burner tip; (04) Nosel udara primer;
(05) Alur tangensial; (06) Pilot burner; (07) Rotary blower; (08) Pressure controle valve;
(09) Fan pendingin darurat

radial

axiial

radial

Gambar 8.7. Bentuk api dengan sebutan cone flame[3].

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 25

Perbedaan dari kedua bentuk api tersebut akan lebih mudah apabila diterangkan dengan
gambar-gambar seperti diperlihatkan pada gambar 4.7 untuk cone flame dan gambar 4.8
untuk hollow cone flame.

radial

axial

radial

Gambar 8.8 Bentuk api hollow cone flame.


Penjelasan kedua gambar tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk cone flame:
Titik A :
Bagian luar, komponen radial dari gas menyebabkan nyala terpancar dengan
bentuk konis sehingga pada bagian tengah akan terjadi tekanan yang lebih
rendah dan diisi oleh komponen aliran aksial gas yang menyembur pada bagian
tengah.
Titik B :
Arus balik dari gas panas hasil proses pembakaran menyebabkan hidrokarbon
menjadi tinggi temperaturnya dan terurai. Pembentukan jelaga hasil pencampuran
yang tidak sempurna dengan udara sekunder akan memperbaiki radiasi dari
nyala.
Titik C :
Terjadinya perbedaan momentum yang tinggi pada daerah C ini antara gas yang
keluar dari mulut burner dan udara sekunder akan mengakibatkan pencampuran
dan pembakaran sangat cepat sehingga terbentuknya jelaga sangat tipis di
daerah ini. Pemanasan, peruraian dan pembakaran dimulai segera dari
permukaan konis dan sedikit terlambat pada bagian tengah.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 26

Untuk hollow cone flame:


Titik A :
Komponen

kecepatan

aliran

radial

menempati

bagian

dalam

sehingga

menyebabkan terbentuknya daerah bertekanan rendah yang luas pada bagian


dalam nyala.
Titik B :
Daerah bertekanan rendah yang lebih luas di bagian dalam akan menyebabkan
aliran balik gas hasil pembakaran sehingga tempat terjadinya temperatur
maksimum lebih dekat ke kiln outlet. Pada waktu yang bersamaan terjadi pula
penguraian hidrokarbon tanpa adanya udara di bagian tengah sehingga terbentuk
jelaga yang lebih awal pada permukaan bagian dalam nyala, sehingga emisivitas
maksimum atau perpindahan panas maksimum terjadi lebih mendekat ke arah
kiln outlet.
Titik C :
Kejadiannya sama dengan cone flame, hanya pada hollow cone flame persiapan
pemanasan bahan bakar terjadi hampir bersamaan antara bagian dalam dan
bagian luar dari hollow cone. Karena adanya peningkatan pembentukan jelaga
maka nyala tipe ini cnderung lebih pendek dengan kerapatan energi yang tinggi
dan lebih terang.
Berdasarkan sifat nyala dari kedua tipe nyala tersebut, apabila diterapkan pada proses
pembakaran di kiln, maka tipe hollow cone flame dirasa lebih cocok karena dengan adanya
sirkulasi internal dari gas panas menunjukkan kestabilan nyala yang lebih baik.
8.6. Perpindahan panas antara gas dan padatan.
Perpindahan panas dari api atau gas-gas hasil pembakaran ke rawmeal merupakan
salah satu tujuan dari proses pembakaran agar material rawmeal dapat bereaksi
membentuk klinker dengan kualitas yang baik. Namun sayangnya temperatur gas yang
tinggi tidak selalu menghasilkan perpindahan panas dari gas ke material rawmeal yang
terbaik. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar perpindahan panas terjadi secara radiasi.
Hanya sekitar 10% saja perpindahan panas berlangsung secara konveksi.
Laju perpindahan panas radiasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Q [kW/m2] = e x k x T4

(35)

dengan e adalah emisivitas nyala (maksimum bernilai 1), k adalah konstanta Stefan
Boltzman dan T adalah temperatur nyala dalam Kelvin [K]. Dalam praktek tidak mungkin
meningkatkan T dengan diikuti e yang tinggi, karena pada saat yang sama dengan kenaikan

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 27

T nilai e akan menurun. Jadi laju perpindahan panas Q biasanya maksimum pada
temperatur yang tidak terlalu tinggi namun masih di atas temperatur klinkerisasi (sekitar
1450oC). Untuk pembakaran batubara nilai e mendekati 1 dengan tempertur api yang tidak
terlalu tinggi, sedangkan untuk pembakaran minyak nilai e pada api yang dihasilkannya
berkisar antara 0,7 hingga 0,9 dan kadang bisa turun hingga 0,3, serta untuk bahan bakar
gas nilai e sekitar 0,2 hingga 0,6. Radiasi dari nyala sebagian langsung mengenai material
rawmeal dan sebagian lagi mengenai dinding ruang bakar terlebih dulu untuk kemudian
diradiasikan kembali ke material rawmeal. Namun tidak seluruh panas yang diterima oleh
dinding ruang bakar diradiasikan kembali ke rawmeal, ada sebagian yang terbuang ke
lingkungan. Dengan demikian menjaga agar coating tetap stabil merupakan hal yang perlu
dilakukan sehingga temperatur nyala yang tinggi tetap dapat dipertahankan agar prosentase
radiasi dari dinding ke material tetap tinggi.
Panas radiasi dari api dan dinding ini utamanya mengenai permukaan luar dari
tumpukan material. Kemudian panas mengalir ke bagian dalam tumpukan material dengan
lambat sehingga perlu waktu cukup untuk proses klinkerisasi yang sempurna. Dengan kata
lain lambatnya penjalaran panas dari permukaan ke dalam material mengakibatkan
diperlukannya panjang burning zone yang cukup memadai. Putaran kiln menyebabkan
perputaran dan berhamburannya butiran bakal klinker. Hal ini justru diinginkan agar
perpindahan panas dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih merata. Keseragaman
ukuran butiran bakal klinker juga menunjang proses perpindahan panas ini. Oleh sebab itu
ada alasan yang menguntungkan beroperasi pada putaran kiln yang cukup tinggi untuk
mengurangi waktu tinggal klinker di dalam burning zone.
Gambar-gambar 8.9 hingga 8.11 adalah contoh visual tipe burner yang kadang-kadang
masih dijumpai dipakai di pabrik semen.

Gambar 8.9 Burner dari FLS

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 28

Gambar 8.10 Swirlax dan Centrax Burner

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 29

Gambar 8.11 Pillard burner

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 30

8.7.

Refractory Lining

Refraktori (bata tahan api) adalah material non metal yang dapat dipakai untuk
konstruksi atau melapisi tungku yang beroperasi pada temperatur tinggi dan juga
mampu untuk mempertahankan bentuk dan komposisi kimianya pada temperatur
tinggi. Fungsi refraktori pada industri semen adalah untuk melindungi bagian metal
agar tidak langsung kontak dengan nyala api atau gas/padatan yang sangat panas.
Sebagai contoh shell kiln akan sangat turun kekuatannya pada temperatur di atas
400 oC sementara itu temperatur klinker berkisar 1350 - 1550 oC, serta nyala api di kiln
bisa mencapai 1900 oC. Selain itu refraktori juga berfungsi untuk mencegah kehilangan
panas sehingga berada pada kondisi yang masih bisa ditoleransi (12 - 22 % dari panas
pembakaran). Hal ini penting untuk mempertahankan temperatur nyala sehingga
proses yang terjadi di dalam kiln akan terjamin kualitasnya. Konsumsi refraktori
berkisar 0,05 - 0,15 kg/ton klinker. Jadi secara ringkas fungsi refraktori adalah sebagai
proteksi (pengaman operasi) kiln shell terhadap temperatur tinggi, sebagai bahan
untuk memperpanjang umur teknis shell kiln , dan sebagai isolator panas. Perpindahan
panas dan kerusakan bata tahan api akan dibahas tersendiri.
Daya tahan dari refractory lining terutama dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:

Pemilihan kualitas material yang dignakan pada daerah yang berbeda

Pemasangan lining dengan mempertimbangkan metode penempatan ukuran


dan bahan sambungan

Memperhatikan kriteria pengoperasian yang mempengaruhi daya tahan lining,


seperti prosedur pemanasan dan pendinginan sistem kiln yang tepat dan
minimisasi fluktuasi proses untuk mempertahankan operasi kiln yang
berkelanjutan.
Sistem kiln dapat dibagi menjadi beragam daerah berdasarkan kondisi operasi

dan material refractory yang digunakan:


a.

Zona Preheating
Pada zona preheating, air hidrat dihilangkan dan raw material dipanaskan
sampai suhu sekitar 700 0C. Panjang zona preheating pada long kiln dapat
mencapai 4-8 diameter kiln, sedangkan pada short preheater kiln, daerah
preheating merupakan bagian dari preheater.
Pada zona preheating di long kiln biasanya dilapisi dengan low alumina
firebrick atau untuk insulasi panas yang lebih baik dengan menggunakan light
weight firebrick.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 31

b.

Zona Calcining
Reaksi kalsinasi sudah dimulai pada saat suhu material di bawah 600 0C
dan selesai pada suhu sekitar 1200 0C, tetapi bagian terbesar dari reaksi
kalsinasi terjadi di antara suhu material 700-900 0C yang biasa disebut zona
kalsinasi. Refractory yang digunakan adalah fireclay brick atau untuk lebih baik
dengan menggunakan fireclay lightweight brick.

c.

Zona Transisi
Zona transisi berlokasi pada kedua sisi dari zona sintering. Karena panjang
zona sintering bervariasi dengan fluktuasi proses, maka zona transisi ditandai
dengan adanya pembentukan coating yang tidak stabil.
Bagian inlet dari daerah transisi biasanya disebut safety zone dan dilapisi
oleh refractory dengan jenis alumina rich brick dengan kandungan Al2O3 50-60
%, sedangkan bagian yang dekat dengan zona yang panas digunakan
synthetic material atau magnesia-chrome brick dengan kandungan 69-70 %
MgO.

d.

Zona Sintering
Meskipun daerah ini sering disebut sebagai burning zone, tetapi sintering
zone dipakai untuk lebih mendeskripsikan mekanisme reaksi yang terjadi pada
daerah tersebut. Sintering zone biasanya ditutupi oleh coating yang stabil yang
terbentuk dari klinker dan fase cair. Fase cair mulai terbentuk pada suhu
material sekitar 1250 0C, tapi karena suhu permukaan lebih tinggi daripada
suhu raw material, maka pembentukan coating suhu terjadi pada suhu material
di atas 1050-1150 0C.
Istilah sintering zone dapat juga dijelaskan sebagai zona terjadinya difusi
material dengan pembentukan modifikasi C3S pada suhu sekitar 1100 0C. Suhu
material maksimum pada sintering zone adalah 1400-1500 0C pada bagian
awal cooling zone. Panjang sintering zone biasanya antara 3-5 diameter kiln
dan sangat tergantung pada bentuk api dan tipe bahan bakar. Api dari bahan
bakar batubara umumnya memberikan panjang sintrering zone yang pendek,
bahan bakar minyak memberikan daerah yang sedang, sedangkan bahan
bakar gas memberikan daerah sintering yang panjang.
Batu tahan api pada sintering zone terkena chemical attack oleh fase cair
dari klinker dan sulfat alkali, suhu yang tinggi dan thermal shock yang tinggi.
Kondisi ini baik digunakan basic brick karena ketahanan yang baik terhadap
chemical attack. Tapi umumnya, chrome free magnesia spinell brick, magnesiachrome atau dolomite brick dipasang. Dolomite brick umumnya memiliki kinerja

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 32

operasi yang baik pada daerah pembentukan coating. Harga untuk dolomite
brick hanya sekitar 60 % dari harga magnesit. Kelemahan dolomite brick
adalah sensitivitasnya terhadap kelembaban. Sehingga untuk stop kiln dalam
waktu yang lama harus dilindungi terhadap kelembaban.
e.

Zona Cooling
Cooling zone pada rotary kiln mencakup sekitar daerah burner nozzle
sampai

kiln

outlet.

Pada

daerah

ini,

klinker

didinginkan

dari

suhu

maksimumnya. Sekitar 1400-1500 sampai sekitar 1350 0C pada kiln dengan


grate, rotary atau shaft cooler dan sekitar 1250 0C pada kiln dengan planetary
cooler.
Cooling zone pada kiln dengan planetary cooler memiliki panjang sekitar
1,5-2 kiln diameter. Brick yang digunakan mengandung 80 % Al2O3.
Tabel 8.5. Kualitas brick berdasarkan daerah proses pembakaran
Zona

Perkiraan suhu

Panjang

material

zona thd

Kualitas brick

rasio
Akhir

diameter
SP kiln

Preheating

(0C)
20(100)

(0C)
700

Preheater

Lightweight firebrick, fireclay

zone

700

900

4-6

Lightweight firebrick, fireclay

Calcining

900

High alumina 50-60 % Al2O3

1050-

2-4

Magnesia spinell (Magnesia-chrome 60-

Awal

zone
Safety zone

1050-

1150

3-5

70 % MgO)

Transition

1150

1400-

1-2

Dolomite, magnesia spinell (magnesia

zone

1400-

1500

0,5-2

chrome 70-90 % MgO)

Sintering

1500

1350-

Magnesia spinell (magnesia chrome 60-

zone

1350-

1400

70 % MgO)

Outlet

1400

1250-

High alumina (80-90 % Al2O3)

transition

135

zone
Cooling zone

8.8.

Sistem Kiln

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 33

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa semen merupakan perekat hidraulik yang
memiliki unsur-unsur utama klinker (campuran antara C 3S, C2S, C4AF, dan C3A) dan
Gypsum (CaSO4. 2H2O). Klinker dibuat dengan bahan baku utama batu kapur (limestone
sekitar 70% - 90%), tanah liat (clay sekitar 10% - 30 %), dan sisanya adalah bahan koreksi
(0 10%). Bahan baku tersebut ditimbang dengan proporsi yang telah ditentukan sesuai
dngan jenis semen yang akan kita buat kemudian digiling (terutama untuk proses kering)
dan dibakar di sistem kiln. Proses pembakaran bahan baku hingga berubah menjadi klinker
serta proses pendinginan klinker hingga bertemperatur tertentu yang aman untuk digiling
bersama gypsum sampai menjadi semen merupakan rangkaian proses pembuatan semen
yang penting. Pada tulisan ini, pembahasan untuk sementara dibatasi pada proses
pembakaran bahan baku menjadi klinker dan pendinginan klinker. Dalam pembahasan ini
beberapa parameter proses yang penting akan dibahas pula mengingat parameterparameter inilah yang akan dipergunakan sebagai parameter pengendalian mutu proses
sehingga akhirnya akan diperoleh mutu klinker yang baik sesuai dengan spesifikasi yang
sudah ditetapkan.

8.8.1. Aspek Kimia, Fisika, Mineral dan Energi Pada Proses Pembakaran
Untuk memproduksi klinker semen, bahan baku (raw meal) harus dipanaskan sampai
1450 C sehingga terjadi proses klinkerisasi. Proses pembakaran raw meal membutuhkan
kondisi oksidasi untuk menghasilkan klinker yang berwarna abu-abu kehijauan. Jika kondisi
ini tidak memadai akan dihasilkan klinker yang berwarna coklat sehingga semen yang
dihasilkan kekuatannya rendah dan waktu setting-nya rendah. Proses kimia fisika penting
yang terjadi selama pembakaran adalah dehidrasi mineral tanah liat, dekarbonisasi senyawa
karbonat (kalsinasi), reaksi pada fasa padat, reaksi pada fasa cair dan kristalisasi.
Tabel 8.6. Perubahan bentuk kimia selama proses pembakaran
Temp, C

Proses

Reaksi Kimia

100
100 400
400 750

pelepasan air bebas


pelepasan air terikat
Dekomposisi tanah liat

Al4(OH)8Si4O10 2 (Al2O3.2SiO2) +

600 900

Dekomposisi metakaolin

4H2O
Al2O3.2SiO2 Al2O3 + 2SiO2

membentuk campuran oksida


600 1000

yang reaktif
Dekomposisi limestone dan CaCO3 CaO + CO2
pembentukan CS dan CA

800 1300

3 CaO + 2SiO2 + Al2O3 2CS + CA


reaksi lime dengan CS dan CS + C C2S

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 34

CA serta pembentukan C4AF

2C + S C2S
CA + 2C C3A

1250 1450
1450 - 100

reaksi lanjut lime dengan C2S


Pendinginan klinker di cooler

CA + 3C + F C4AF
C2S + C C3S

Proses-proses yang terjadi di atas berlangsung sejak bahan baku diumpankan ke dalam
peralatan proses (preheater) hingga saat keluar dari reaktor (kiln) dan kemudian
diteruskan dengan pendinginan klinker di cooler. Berdasarkan hasil penelitian,
proses pertama hingga proses kelima yaitu dekomposisi limestone didominasi oleh
mekanisme perpindahan panas antara gas pembakaran dengan material bahan baku
dalam ujud serbuk atau debu. Sedangkan dua proses berikutnya lebih didominasi
oleh difusi material padat dan sebagian cair di dalam kiln. Oleh sebab itu untuk
proses difusi ini faktor utama yang mempengaruhi jalannya proses adalah pertemuan
antara oksida-oksida dan temperatur tinggi serta waktu reaksi. Apabila ditinjau dari
segi energi proses, secara teoritis energi yang dibutuhkan dalam proses produksi
klinker dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 8.7. Energi atau panas reaksi proses produksi klinker
Proses
Evaporasi combined water
Dekomposisi material clay
Dekomposisi karbonat
Panas pembentukan klinker
Panas zat yang bisa terbakar dalam rawmeal
Total panas reaksi

Kkal/kh clinker
+ 20
+ 35
+ 475
- 130
- 15
+ 385

Catatan :
a. Tanda + berarti proses endotermik (membutuhkan panas) dan tanda berarti proses
eksotermik (menghasilkan panas).
b. Dekomposisi karbonat secara teoritik membutuhkan panas sebesar 370 kkal/kg
CaCO3. Sedangkan untuk membentuk 1 (satu) kg klinker dibutuhkan sekitar 1,2
hingga 1,3 kg CaCO3, sehingga panas dekomposisi karbonat memerlukan 445 480
kkal/kg klinker.
c. Proses-proses di atas memerlukan persyaratan lain yaitu temperatur cukup tinggi
sehingga menghasilkan material keluar sistem dengan temperatur tinggi, gas hasil
pembakaran yang cukup tinggi pula temperaturnya, dan kehilangan panas dari
peralatan ke lingkungan. Oleh sebab itu konsumsi panas spesifik untuk menghasilkan
1 kg klinker tidak cukup dengan sekitar 400 kkal tersebut.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 35

d. Selain itu, untuk tujuan konservasi energi pada pabrik modern, sebagian panas
terbuang telah dimanfaatkan lagi untuk pengeringan bahan baku dan bahan bakar,
sehingga kisaran energi riil yang dibutuhkan untuk produksi klinker ini sekitar 700
hingga 850 kkal/kg klinker untuk proses kering.
Berikut ini akan dibahas satu per-satu peralatan proses tersebut serta ringkasan peristiwa
yang dialami oleh meterial baku (raw meal) selama berada di dalam peralatan
tersebut.
8.8.2. Suspension Preheater
Suspension preheater merupakan salah satu peralatan produksi untuk memanaskan
awal bahan baku sebelum masuk ke dalam rotary kiln. Suspension preheater terdiri dari
siklon untuk memisahkan bahan baku dari gas pembawanya, riser duct yang lebih berfungsi
sebagai tempat terjadinya pemanasan bahan baku (karena hampir 80% -90% pemanasan
debu berlangsung di sini), dan kalsiner untuk sistem-sistem dengan proses prekalsinasi
yang diawali di SP ini. Pada awalnya proses pemanasan bahan baku terjadi dengan
mengalirkan gas hasil sisa proses pembakaran di kiln melalui suspension preheater ini.
Namun dengan berkembangnya teknologi, di dalam suspension preheater proses
pemanasan ini dapat dilanjutkan dengan proses kalsinasi sebagian dari bahan baku, asal
peralatan

suspension

preheater

ditambah

dengan

kalsiner

yang

memungkinkan

ditambahkannya bahan bakar (dan udara) untuk memenuhi kebutuhan energi yang
diperlukan untuk proses kalsinasi tersebut. Peralatan terakhir ini sudah banyak ditemui
untuk pabrik baru dengan kapasitas produksi yang cukup besar, dan disebut dengan
suspension preheater dengan kalsiner.
Gas & Non-separated Rawmix
Fresh Feed
Fresh Feed

1
2
2

Notation:
1. Top Cyclone
2. Second Cyclone
3. Third Cyclone
4. The lowest
cyclone
Kiln

Gas & dust

Rawmix

3
4

Combustion gas

Rawmix inside of the kiln

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

Notation:
1. Top Cyclone
2. Second Cyclone
3. Third Cyclone
4. The lowest cyclone
5. Calciner
Hot Air from Cooler

8 - 36

Kiln

Kiln

Combustion gas

Rawmix
Rawmix inside of the kiln

Gambar 8.12: Skema suspension preheater tanpa dan dengan kalsiner


Secara skematik gambaran kedua tipe suspension preheater ini diperlihatkan pada gambar
8.12. Perbedaan utama kedua sistem preheater di atas adalah prosentase proses kalsinasi
raw mix yang terjadi. Pada suspension preheater tanpa kalsiner, prosentase proses kalsinasi
lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di dalam preheater dengan kalsiner. Pada
suspension preheater dengan kalsiner ini derajat kalsinasi raw mix (artinya prosentase
bahan baku yang telah mengalami proses kalsinasi) pada saat masuk ke kiln dapat
mencapai 90 - 95 %. Sedangkan pada suspension preheater tanpa kalsiner, menurut hasil
penelitian selama ini, tidak akan melebihi 40%. Sebagai konsekuensi dari pemakaian kedua
jenis preheater ini, proses yang terjadi di dalam kiln akan sedikit berbeda, demikian pula
energi yang dibutuhkannya. Pada prinsipnya dengan adanya kalsiner sebagian besar proses
kalsinasi dipindahkan dari kiln ke kalsiner sehingga proses kalsinasi yang terjadi di kiln
tinggal sedikit. Dengan demikian pada suspension preheater dengan kalsiner ini, di dalam
kiln tinggal terjadi sedikit proses kalsinasi, klinkerisasi dan sintering, serta awal pendinginan
klinker saja. Untuk itu biasanya kiln dirancang dengan demensi yang lebih pendek.
Pada proses kalsinasi, energi yang dibutuhkan merupakan energi laten reaksi
sehingga tidak untuk meningkatkan temperatur bahan baku dan sebagian atau seluruh
udara pembakaran diambil dari udara pendinginan klinker di cooler yang telah merekuperasi
panas pendinginan klinker. Udara pembakaran dari cooler ini disebut dengan udara tertier.
Oleh karena itu di dalam kalsiner ini beda temperatur antara gas dan material paling rendah.
Dengan penggunaan kalsiner ini pembakaran klinker (klinkerisasi dan sintering) dapat
dilakukan pada rotary kiln yang lebih kecil dengan waktu tinggal yang tepat. Dasar pemikiran
penggunaan kalsiner ini adalah bahwa rotary kiln, sebagai alat penukar panas, perpindahan
panas yang efektif terjadi pada zona pembakaran (burning zone) di mana perpindahan
panasnya hampir seluruhnya secara radiasi. Sedang pada tempat yang bertemperatur lebih
rendah seperti zona kalsinasi perpindahan panas yang terjadi lebih didominasi oleh
mekanisme konveksi tidak cukup ekonomis dilakukan di dalam kiln karena kecepatan aliran
gas cukup rendah. Berdasarkan konsep pemikiran inilah, akan diperoleh penghematan
energi pembakaran klinker bila proses kalsinasi dilakukan sebagian besar di luar kiln.
Penggunaan kalsiner mempunyai keuntungan sebagai berikut :
a. Diameter kiln dan thermal load-nya lebih rendah terutama untuk kiln dengan kapasitas
besar. Pada sistem suspension preheater tanpa kalsiner, 100% bahan bakar dibakar di
kiln. Dengan kalsiner ini, dibandingkan dengan kiln yang hanya menggunakan SP
saja, maka suplai panas yang dibutuhkan di kiln hanya 35% - 50%. Biasanya sekitar
40 % bahan bakar yang dibakar di dalam kiln, sementara sisanya dibakar di dalam
kalsiner. Sebagai konsekuensinya untuk suatu ukuran kiln tertentu, dengan adanya
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 37

kalsiner ini, kapasitas produksinya dapat mencapai hampir dua kali atau dua setengah
kali lipat dibanding apabila kiln tersebut dipergunakan pada sistem suspension
preheater tanpa kalsiner. Kapasitas kiln spesifik, dengan penggunaan kalsiner ini, bisa
mencapai 4,8 TPD/m3.
b. Di dalam kalsiner dapat digunakan bahan bakar dengan kualitas rendah karena
temperatur yang diinginkan di kalsiner relatif rendah (850 - 900 oC), sehingga peluang
pemanfaatan bahan bakar dengan harga yang lebih murah, yang berarti dalam
pengurangan ongkos produksi, dapat diperoleh.
c. Dapat mengurangi konsumsi refraktori kiln khususnya di zona pembakaran karena
thermal load-nya relatif rendah dan beban pembakaran sebagian dialihkan ke kalsiner.
d. Emisi NOx-nya rendah karena pembakaran bahan bakarnya terjadi pada temperatur
yang relatif rendah.
e. Operasi kiln lebih stabil sehingga bisa memperpanjang umur refraktori.
f. Masalah senyawa yang menjalani sirkulasi (seperti alkali misalnya) relatif lebih mudah
diatasi.
Selain beberapa keuntungan di atas, penggunaan kalsiner ini juga memiliki beberapa hal
yang kurang meguntungkan, di antaranya adalah:
a. Temperatur gas buang keluar dari top cyclone relatif lebih tinggi. Untuk mengatasi hal
ini dirancang siklon dengan penurunan tekanan yang rendah sehingga dapat ditambah
dengan siklon ke-lima sehingga secara keseluruhan suspension preheater memiliki
lima tingkat siklon.
b. Temperatur klinker yang keluar dari kiln relatif lebih tinggi karena berkurangnya jumlah
udara sekunder yang diperlukan di kiln. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan
pendingin klinker yang efektif yaitu grate cooler.
c. Penurunan tekanan total di suspension preheater lebih tinggi dibanding sistem tanpa
kalsiner sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya konsumsi daya listrik pada
motor ID fan. Namun hal ini biasanya dikompensasi dengan desain siklon yang hemat
energi.
d. Lokasi kalsiner, ducting, tambahan alat pembakaran, duct udara tersier akan
menambah kompleksnya konstruksi peralatan.
Dari uraian di atas banyak orang membedakan konfigurasi sistem kiln (SP, kiln dan cooler)
menjadi dua kelompok besar yaitu :
1. Sistem kiln tanpa udara tertier
2. Sistem kiln dengan udara tertier

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 38

Di dalam membahas proses yang terjadi di dalam suspension preheater, terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan antara lain ukuran partikel bahan baku, proses pemisahan oleh
siklon dan proses pemanasan bahan baku oleh gas panas. Satu dan lainnya dari beberapa
parameter tersebut saling berkaitan. Agar lebih rinci, berikut ini akan diuraikan secara
singkat kaitan antara satu parameter dengan parameter lainnya.
a. Ukuran Partikel dan Separasi
Ukuran partikel bahan baku berkaitan erat dengan luas permukaan partikel bahan
baku dan massa masing-masing partikel bahan baku. Luas permukaan partikel bahan baku
merupakan salah satu faktor penting dalam proses perpindahan panas dari gas ke bahan
baku. Sedangkan massa per partikel bahan baku sangat menentukan proses pemisahan
partikel dari gas pemanasnya di dalam siklon. Raw mix yang permukaannya luas, dalam
keadaan tersuspensi, laju proses perpindahan panas yang terjadi menjadi lebih tinggi
dibanding yang permukaannya lebih kecil. Sedangkan partikel dengan ukuran yang lebih
besar akan lebih mudah dipisahkan di dalam siklon selain masih tergantung pula pada
densitas (specific gravity) dari partikel. Pada umumnya untuk partikel dengan ukuran yang
sama akan lebih mudah dipisahkan di dalam siklon bila memiliki densitas yang lebih tinggi.
Dalam sistem kering distribusi partikel rawmix umumnya dibuat sedemikian rupa agar residu
di atas 90 mikron antara 12 15% dan di atas 200 mikron tidak lebih dari 2 3%.
b. Proses Separasi di dalam Siklon
Proses separasi bahan baku dari aliran tersuspensi di dalam gas panas terjadi
sebagai akibat adanya gaya sentrifugal yang dialami oleh bahan baku sehingga partikel
bahan baku akan cenderung terlempar ke dinding siklon. Proses separasi sangat
dipengaruhi oleh ukuran partikel, densitas partikel, kecepatan aliran dan bentuk serta
demensi siklon.
c. Perpindahan Panas di Siklon Preheater
Perpindahan panas antara gas dengan partikel bahan baku terjadi pada masing-masing
saluran gas (gas duct) dan siklon di suspension preheater (SP). Pada saat perpindahan
panas ini terjadi di dalam duct, aliran gas dengan aliran bahan baku mempunyai arah yang
sama berlangsung secara paralel karena partikel terbawa oleh aliran gas. Tetapi jika dilihat
sistem secara keseluruhan maka pada sistem SP terjadi perpindahan panas secara
berlawanan (counter-current) karena arah aliran gas ke atas sedang arah aliran bahan baku
ke bawah. Perpindahan panas antara gas dan material terjadi pada kondisi material yang
tersuspensi. Sebagian besar perpindahan panas terjadi di gas duct, menurut literatur yaitu
sekitar 80 % sedang sisanya terjadi di siklon. Namun demikian proses ini masih tergantung
pada ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, perpindahan panas akan terjadi dalam
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 39

waktu yang lebih singkat, sehingga tidak menutup kemungkinan seluruh proses perpindahan
panas partikel berukuran kecil terjadi di dalam duct.
Waktu tinggal partikel raw mix pada preheater 4-stage dengan ketinggian kurang
lebih 50 m, dari tempat feeding sampai dengan inlet kiln, kurang lebih antara 12 - 20 detik.
Selama perioda ini raw mix dipanaskan dari 50oC sampai dengan 800oC atau lebih,
sementara gas panas turun dari sekitar 1100oC menjadi sekitar 330oC. Laju gas dan material
pada gas duct sekitar 20 - 22 m/detik. Waktu yang dibutuhkan untuk separasi di siklon harus
diseimbangkan dan disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
material pada pipa raw mix sehingga penyumbatan material yang mengganggu kelancaran
aliran bahan baku dapat dihindari. Proses perpindahan panas antara gas dengan debu yang
bervariasi ukurannya akan dibahas tersendiri.
Dengan bervariasinya kualitas material baku dan bahan bakar di suatu tempat,
konfigurasi suspension preheater yang telah dikembangkan di dunia ini banyak sekali.
Sebagai contoh FLS telah mengembangkan berbagai konfigurasi seperti SP, ILC, ILC-E,
SLC, SLC I, dan SLC-S. Diantara konfigurasi tersebut yang ada di Indonesia antara lain
konfigurasi SP, SLC dan SLC S. Sedangkan KHD Jerman mengembangkan Pyroclone
yang apabila dilihat fungsi atau prinsip kerjanya mirip dengan ILCnya FLS. Kawasaki
mengembangkan RSP (Reinforced Suspension Preheater) calciner. Contoh lain Polysius
juga mengembangkan Dopol Preheater Calciner. Masing-masing tentunya memiliki
karakteristik, keunggulan dan kekurangan masing-masing pula. Beberapa model suspension
preheater dan calciner diberikan dalam lampiran.
8.8.3. Rotary Kiln
Kiln berputar (rotary kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik semen,
karena di dalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker dari bahan
bakunya (raw mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu zone
kalsinasi, zone transisi, dan zone sintering (klinkerisasi). Perkembangan teknologi
mengakibatkan sebagian zone kalsinasi dipindahkan ke suspension preheater dan kalsiner,
sehingga proses yang terjadi di dalam kiln lebih efektif ditinjau dari segi konsumsi panasnya.
Proses perpindahan panas di dalam kiln sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi
sehingga diperlukan isolator yang baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator
tersebut adalah batu tahan api dan coating yang terbentuk selama proses. Karena fungsi
batu tahan api di tiap bagian proses berbeda maka jenis batu tahan api disesuaikan dengan
fungsinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan coating antara lain :
1. komposisi kimia raw mix
2. konduktivitas termal dari batu tahan api dan coating
3. temperatur umpan ketika kontak dengan coating
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 40

4. temperatur permukaan coating ketika kontak dengan umpan


5. bentuk dan temperatur flame
Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena reaksi klinkerisasi lebih mudah
berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase cair dibatasi 20-30 % untuk memudahkan
terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.
Pada kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk
pembakaran sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln diperlukan
temperatur tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka kelebihan udara
pembakaran bahan bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20 30%, tergantung dari
bagaimana sifat rawmeal mudah tidaknya dibakar (burnability of the rawmix). Dengan
demikian maksimum bahan bakar yang dibakar di in-line calciner adalah sekitar 20 25%.
Pada umumnya calciner jenis ini bekerja dengan pembakaran bahan bakar berkisar antara
10% hingga 20% dari seluruh kebutuhan bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga
akan menghasilkan temperatur gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang berarti
pemborosan energi pula. Sisa bahan bakar yang berkisar antara 80% hingga 90% dibakar di
kiln. Untuk menaksir seberapa kelebihan udara pembakaran di kiln dalam rangka
memperoleh operasi kiln yang baik akan dilakukan perhitungan tersendiri. Kiln tanpa udara
tertier dapat beroperasi dengan cooler jenis planetary sehingga instalasi menjadi lebih
sederhana dan konsumsi daya listrik lebih kecil dibanding dengan sistem kiln yang memakai
cooler jenis grate.
Pada kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat dikurangi
hingga sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan sisanya yang 60%
dibakar di calciner. Dengan demikian beban panas yang diderita di kiln berkurang hingga
tinggal sekitar 300 kkal/kg klinker. Karena dimensi kiln sangat bergantung pada jumlah
bahan bakar yang dibakar, maka secara teoritis kapasitas produksi kiln dengan ukuran
tertentu menjadi sekitar 2,5 kali untuk sistem kiln dengan udara tertier dibanding dengan kiln
tanpa udara tertier. Sebagai contoh untuk kapasitas 4000 ton per hari (TPD), kiln tanpa
udara tertier membutuhkan diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran
yang sama pada sistem dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi
maksimum pada kapasites sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier harus
bekerja dengan cooler jenis grate cooler sehingga diperlukan daya listrik tambahan sekitar 5
kWh/ton klinker dibanding kiln dengan planetary cooler.
Peralatan utama kiln, selain shell kiln itu sendiri adalah burner dan bata tahan api
(refractory). Bentuk api yang dihasilkan oleh proses pembakaran sangat menentukan proses
perpindahan panas yang terjadi dan pada akhirnya akan mementukan kualitas klinker.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 41

Sedangkan bata tahan api selain berfungsi untuk melindungi shell kiln dan mengurangi
panas yang mengalir ke lingkungan juga berpengaruh terhadap pembentukan coating.
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing.
a. Burner
Di dalam rotary kiln selain jumlah panas yang dibutuhkan untuk pembakaran raw mix
harus terpenuhi, perlu juga diperhatikan bentuk nyala saat pembakaran bahan bakar pada
burner. Bentuk nyala ini mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Kedua parameter ini
dipengaruhi oleh proses pembakaran saat bahan bakar mulai keluar dari ujung burner
hingga habis terbakar. Secara umum, pembakaran terjadi melalui 4 tahapan proses, yaitu :
Pencampuran - Penyalaan - Reaksi Kimia - Penyebaran Panas/Produk Pembakaran.
Untuk mendapatkan bentuk nyala yang diinginkan merupakan pekerjaan yang cukup
kompleks sebab selain dengan mengatur aliran di burner tip, bentuk nyala juga dipengaruhi
oleh kondisi di dalam kiln itu sendiri. Ada dua kemungkinan pengaturan bentuk nyala, yaitu :
a. Bentuk nyala cone flame, di mana bentuk ini dihasilkan dengan komponen kecepatan
aliran aksial diletakkan di bagian dalam sedang komponen radial di bagian luar.
b. Bentuk nyala hollow cone flame, di mana bentuk ini diperoleh dengan meletakkan
komponen aksial di bagian luar sedang komponen radialnya di bagian dalam.
Dari bentuk nyala ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas klinker
yang dihasilkan, yaitu :
a. Laju Pembakaran (burning rate)
Laju pembakaran ini sangat berpengaruh terhadap ukuran komponen alite (C3S) yang
terbentuk. Komponen alite yang berukuran kecil akan mengakibatkan klinker yang
dihasilkan tidak dusty, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan proses
penggilingannya mudah.
b. Temperatur tertinggi (maksimum temperature)
Pada temperatur tertinggi yang sesuai akan dihasilkan klinker dengan litre weight yang
baik, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan akan mudah digiling.
Tetapi pada temperatur tertinggi yang terlalu tinggi akan dihasilkan klinker yang sifatnya
berlawanan dengan sifat sifat tersebut.
c. Waktu pembakaran (burning time)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada ukuran belite (C 2S), yaitu kenaikan waktu
pembakaran akan memperbesar ukuran belite sehingga potensi kuat tekannya akan
tinggi serta akan mudah digiling. Selain itu kenaikan waktu pembakaran akan
menurunkan kandungan CaO bebas.
d. Laju pendinginan (cooling rate)

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 42

Kondisi ini sangat berpengaruh pada warna belite yang mengindikasikan struktur
kristalnya. Pendinginan yang lambat akan menghasilkan klinker dengan kuat tekan yang
rendah.
Proses pembakaran, perhitungan kebutuhan udara pembakaran, perhitungan kelebihan
udara di setiap konfigurasi SP, dan perpindahan panas sntara gas dan material rawmeal
secara lebih mendetail diberikan dalam modul tersendiri.
Hal lain yang erat sekali kaitannya dengan proses pembakaran di kiln ini adalah
parameter yang disebut dengan beban panas kiln (thermal load). Dua parameter yang
mewakili thermal load ini antara lain:
a. Beban panas volumetrik (volumetric thermal load) didefinisikan sebagai produksi klinker
(TPD) dibagi dengan volume bersih kiln (m 3), sehingga satuan dari beban panas
volumetrik adalah TPD/m3.
b. Beban panas zona pembakaran (burning zone thermal load) adalah beban panas hasil
pembakaran bahan bakar di kiln (kkal/jam atau sering ditulis kkal/h) dibagi dengan luas
penampang kiln (m2). Dengan demikian satuan parameter beban panas zona
pembakaran adalah kkal/h/m2.
Contoh nilai kedua parameter tersebut untuk kiln dengan sistem konfigurasi SP yang
dikembangkan oleh FLS diberikan sebagai berikut:
Tabel 8.8. Parameter beban panas kiln berdasarkan konfigurasi sistem SP
Tipe Konfigurasi SP

Beban Panas
volumetrik
(TPD/m3)

SP
ILC - E
ILC
SLC
SLC I
SLC S

1,8 2,3
1,8 2,5
3,6 4,8
3,6 4,8
3,6 4,8
3,6 4,8

Beban panas
zona pembakaran
(106 kkal/h/m2)
2,8 5,5
2,8 6,0
2,4 4,8
2,4 4,8
2,4 4,8
2,4 4,8

Catatan :
1. Tabel tersebut berlaku untuk kiln dengan tiga support. Untuk kiln dengan dua
support (kiln lebih pendek), khususnya untuk tipe konfigurasi ILC dan SLC
termasuk I dan S, beban volumetrik dapat ditingkatkan menjadi hingga
maksimum 5,0 (TPD/m3) dan beban panas di burning zone menjadi lebih rendah
sedikit atau sama dengan kiln tiga support.
2. Kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu sangat tergantung pada
konfigurasi SP dan konsumsi bahan bakar yang dibakar di kiln. Sebagai contoh
suatu kiln dengan diameter 5 m biasanya memiliki luas penampang bersih
sebesar 16,6 m2. Bila panjang kiln adalah 78 m, maka volume bersih kiln adalah
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 43

sekitar 1295 m3. Apabila konsumsi panas spesifik dianggap sebesar 740 kkal/kg
klinker, maka produksi maksimum yang dapat dihasilkan oleh kiln tersebut
diperkirakan dengan mengevaluasi volume dikalikan dengan beban panas
volumetrik maksimum yang diijinkan. Sedangkan beban panas zona pembakaran
dapat dihitung dengan mengalikan produksi per jam (TPD/24) terhadap konsumsi
panas spesifik dan prosentase bahan bakar yang dibakar di kiln dibagi dengan
luas penampang kiln. Untuk data di atas akan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Untuk kiln tanpa udara tertier:
1. Sistem SP

Produksi maksimum = 1295 x 2,3 = 2978 TPD


Burning zone load

= (2978000/24) x (740/16,6)
= 5,53 x 106 (kkal/h/m2).

2. Sistem ILC-E

Apabila diasumsikan 15% bahan bakar dibakar di Calciner dan 85% dibakar
di kiln akan diperoleh:
Produksi maksimum = 1295 x 2,5 = 3237 TPD
Burning zone load = (3237000/24)x(740/16,6) x 0,85
= 5,11 x 106 (kkal/h/m2).
b. Untuk kiln dengan udara tertier:
Apabila diasumsikan 60% bahan bakar dibakar di Calciner dan 40%
dibakar di kiln akan diperoleh:
Produksi maksimum = 1295 x 4,8 = 6216 TPD
Burning zone load

= (6216000/24) x (740/16,6) x 0,4


= 4,62 x 106 (kkal/h/m2).

Dalam hal ini konfigurasi SP dapat merupakan jenis ILC, SLC, SLC I,
maupun SLC S.

8.8.4. Cooler
Pendinginan klinker diperlukan karena berpengaruh terhadap struktur, komposisi mineralogi
dan grindability klinker yang dihasilkan sehingga juga akan berpengaruh pada produk
semen pada akhirnya serta untuk kemudahan klinker tersebut ditransport. Pendinginan
klinker dilakukan dalam sebuah alat yang diberi nama pendingin klinker (clinker cooler).
Proses pendinginan klinker diperlukan dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Klinker panas sangat sulit untuk ditransportasikan.
b. Klinker panas berpengaruh tidak baik terhadap proses penggilingan selanjutnya.
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 44

c. Recovery panas yang terkandung pada klinker panas diperlukan untuk mengurangi
biaya produksi.
d. Pendinginan klinker yang baik dapat meningkatkan kualitas dan produksi semen.
Dalam proses pendinginan klinker terdapat beberapa parameter penting yang perlu
diperhatikan agar klinker yang dihasilkan memiliki sifat-sifat yang memenuhi persyaratan di
atas yaitu meningkat grindabilitynya (kemudahan digiling), mudah ditransport, dan panas
yang dimiliki dapat dimanfaatkan ulang untuk pemanasan udara yang dibutuhkan dalam
pembakaran. Berikut ini akan diuraikan parameter-parameter yang penting dalam proses
pendinginan klinker.
a. Laju Pendinginan Klinker
Laju kecepatan pendinginan klinker menentukan komposisi akhir klinker. Jika klinker
yang terbentuk selama pembakaran didinginkan perlahan maka beberapa reaksi yang telah
terjadi di kiln akan berbalik (reverse), sehingga C3S yang telah terbentuk di kiln akan
berkurang dan terlarut pada klinker cair yang belum sempat memadat selama proses
pendinginan. Dengan pendinginan cepat fasa cair akan memadat dengan cepat sehingga
mencegah berkurangnya C3S.
Fasa cair yang kandungan SiO2-nya tinggi dan cair alumino-ferric yang kaya lime
akan

terkristalisasi

sempurna

pada

pendinginan

cepat.

Laju

pendinginan

juga

mempengaruhi keadaan kristal, reaktivitas fasa klinker dan tekstur klinker. Pendinginan
klinker yang cepat berpengaruh pada perilaku dari oksida magnesium dan juga terhadap
soundness dari semen yang dihasilkan. Makin cepat proses pendinginannya maka kristal
periclase yang terbentuk semakin kecil yang timbul pada saat kristalisasi fasa cair. Klinker
dengan pendinginan cepat menunjukkan daya spesifik yang lebih rendah. Hal ini disebabkan
proporsi fasa cair yang lebih besar dan sekaligus ukuran kristalnya lebih kecil. Secara garis
besar pengaruh laju pendinginan klinker terhadap kualitas klinker dapat terlihat pada tabel
berikut ini.
Material/Parameter
MgO
C3A dan C4AF
C2S dan C3S
Ukuran partikel
Kuat tekan awal
Kuat tekan akhir
Keaktifan hidrolis
Soundness
Ketahanan terhadap sulfur

Pendinginan lambat
4-5 C/menit
Kristal periclase
Kristaline
Kurang aktif
Stabil
Lebih besar
Tinggi
Rendah
Kurang
Kurang
Kurang

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 45

Pendinginan cepat
18-20 C/menit
Kristal glassy
Glassy
Aktif
Tidak stabil
Relatif lebih kecil
Rendah
Tinggi
Lebih baik
Baik
Baik

b. Efisiensi konversi energi dalam proses pendinginan klinker.


Efisiensi pendinginan klinker diukur berdasarkan jumlah energi yang dapat
dipindahkan ke udara pendingin dibanding energi total yang terkandung di dalam klinker
saat keluar dari kiln. Semakin tinggi energi yang terserap oleh udara, proses pendinginan
klinker semakin efisien. Akan lebih bagus lagi bila jumlah udara yang dibutuhkan untuk
pendinginan semakin sedikit (mendekati kebutuhan udara untuk pembakaran bahan bakar),
karena biasanya udara sisa yang tidak dipergunakan untuk pembakaran akan dibuang
kembali ke lingkungan yang dapat pula berarti merupakan tambahan kerugian energi secara
keseluruhan. Di dalam praktek terdapat dua jenis peralatan pendinginan klinker yaitu
planetary cooler dan grate cooler. Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas karakteristik
masing-masing peralatan pendingin klinker tersebut.
a. Planetary Cooler
Planetary cooler terdiri atas beberapa tabung silindrik, biasanya 10 - 11 buah, silinder
yang disusun di sekeliling ujung akhir rotary kiln sehingga menjadi bagian utuh dari rotary
kiln tersebut. Planetary cooler berputar bersama-sama dengan rotary kiln tanpa penggerak
yang terpisah. Klinker dari kiln keluar melalui lubang yang ada pada shell di ujung akhir kiln
dan langsung masuk ke planetary cooler. Gerakan klinker di dalam planetary cooler paralel
dengan gerakan klinker dalam kiln. Untuk mendapatkan perpindahan panas yang efektif
planetary cooler dilengkapi dengan rantai metal, lifter dan sejenisnya yang berfungsi untuk
menebarkan klinker dalam aliran udara yang melalui silinder cooler ini sehingga kontak
antara klinker dengan udara berlangsung lebih efektif.
Kondisi tekanan negatif pada kiln akibat sedotan dari ID fan akan menarik udara dari
ujung planetary cooler yang terbuka sehingga terjadi aliran counter current antara klinker
dengan udara pendingin. Seluruh udara pendingin klinker pada jenis planetary cooler ini
akan digunakan untuk udara pembakaran di dalam kiln. Jika klinker masuk ke dalam cooler
bertemperatur 1100 - 1350 oC maka klinker dingin yang keluar bisa mencapai 120 - 270 oC.
Jumlah udara pendinginnya sama dengan jumlah udara sekunder untuk pembakaran, yaitu
untuk proses basah sekitar 1,3 - 1,5 Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi spesifik 1400
kcal/kg klinker; dan proses kering sekitar 0,8 - 1,0 Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi
spesifik 750 kcal/kg klinker. Temperatur udara sekundernya bisa mencapai 840 - 850 oC
pada proses kering dan mencapai 600 - 650 oC pada proses basah. Temperatur klinker bisa
turun dari 1350 oC menjadi 1000 oC dalam waktu sekitar 10 menit, di mana kondisi ini hampir
sama dengan pendinginan di grate cooler.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 46

b. Grate Cooler
Pada awal pengembangannya pemakaian grate cooler dimaksudkan untuk
mendapatkan laju pendinginan yang cepat untuk mengurangi pengaruh kristal periclase
sehingga diperoleh kualitas klinker yang baik. Tetapi pada kenyataannya diperoleh juga
perpindahan panas yang sangat baik sekali sehingga cooler jenis ini bisa menerima klinker
dengan temperatur sampai dengan 1360 - 1400 oC. Dengan penggunaan udara berlebih
klinker yang keluar bisa mencapai temperatur sampai dengan 65oC di atas temperatur udara
sekitar sehingga bisa langsung digiling dan efisiensi perpindahan panas dari klinker ke
udara dapat berkisar 72 - 75 %. Perpindahan panas terjadi pada kondisi kombinasi cross
current dengan counter current antara klinker dengan udara pendinginnya. Partikel-partikel
halus akan jatuh ke dalam chamber udara yang ada di bawah grate plate dan dikeluarkan
menggunakan air sluice dan ditarik oleh drag chain conveyor, sementara klinker yang
berukuran besar dihancurkan oleh clinker breaker, berupa hammer crusher, yang ada di
ujung grate cooler. Penggunaan udaranya berkisar 1,8 - 2,4 Nm3/kg klinker dengan
temperatur klinker dingin bisa mencapai 120 - 150 oC. Penggunaan udara sirkulasi dapat
dilakukan pada sistem ini sehingga mengurangi udara yang terbuang keluar.

8.9. Pengendalian Operasi Pembakaran di Sistem Kiln


Untuk mendapatkan jumlah produk yang maksimal, kualitas produk yang baik, penggunaan
bahan bakar yang efisien serta operasi yang aman, maka operasi peralatan produksi yang
telah diterangkan di atas harus dikendalikan. Dalam pengendalian operasi peralatan dikenal
dua jenis parameter, yaitu parameter kontrol dan parameter variabel. Yang dimaksud
dengan parameter kontrol adalah besaran yang nilainya dapat langsung diubah oleh
operator pada alat kontrol sehingga dapat langsung mengubah kondisi operasi. Yang
termasuk parameter kontrol antara lain :
- Speed kiln (rpm)
- Jumlah feeding (ton/jam)
- Jumlah bahan bakar, coal (ton/jam)
- Bukaan damper inlet ID fan (%) atau putaran ID fan (rpm)
- Jumlah udara pendingin pada grate cooler (m3/jam)
- dan lain-lain.
Parameter variabel merupakan besaran yang nilainya mengindikasikan kondisi suatu sistem.
Parameter ini tidak bisa langsung diubah oleh operator pada alat kontrol, dan untuk
mengubahnya harus mengubah parameter kontrol. Jadi parameter variabel ini merupakan

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 47

konsekuensi proses apabila parameter kontrolnya berubah. Yang termasuk parameter


variabel ini antara lain :
- Torsi kiln (%)
- Temperatur zone pembakaran
- Kadar O2 pada inlet dan top cyclone (%)
- Kadar CO pada inlet dan top cyclone (%)
- Temperatur top cyclone (oC)
- Temperatur bottom cyclone (oC)
- Draft top cyclone (mBar)
- Draft inlet kiln (mBar)
- dan lain-lain.
Dengan memperhatikan secara serius parameter variabel tersebut bagi engineer proses
akan dapat mengetahui apakah proses produksi berjalan dengan baik atau tidak. Dengan
demikian ketelitian penunjukan parameter varibel inilah yang merupakan petunjuk utama
bagi engineer proses dalam mengendalikan proses. Beberapa parameter variabel pada
pengoperasian peralatan produksi (suspension preheater, kiln dan cooler) dapat dijelaskan
berikut ini :
a. Temperatur Zona Pembakaran (Burning Zone)
Temperatur zona pembakaran merupakan hal yang menentukan proses pembakaran di
dalam kiln. Pada temperatur tinggi proses perpindahan panas secara radiasi akan semakin
efektif. Ada beberapa hal yang harus dikendalikan untuk mendapat temperatur zona
pembakaran yang tinggi, antara lain :
- Perbandingan bahan bakar dan udara pembakaran yang cukup.
- Momentum di burner tip cukup tinggi.
- Temperatur udara sekunder dan primer yang tinggi.
- Kualitas bahan bakar yang baik (nilai kalor bakar tinggi).
Untuk menentukan temperatur zona pembakaran yang akurat relatif sulit, kalaupun tersedia
alat

ukurnya

(pyrometer)

biasanya

hanya

dipakai

untuk

mengindikasikan

trend

perubahannya. Oleh sebab itu dalam operasinya penentuan temperatur zona pembakaran
ini selain menggunakan alat ukur yang ada juga menggunakan parameter lain untuk
mengindikasikannya antara lain temperatur bottom cyclone, torsi kiln, litre weight klinker
yang dihasilkan, temperatur shell kiln.
b. Kadar Oksigen
Oksigen dengan jumlah cukup diperlukan untuk pembakaran yang sempurna. Untuk
menentukan jumlah udara yang diperlukan pada pembakaran dapat dihitung setelah

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 48

mengetahui jumlah komponen yang dapat dibakar di dalam bahan bakar. Dalam
operasionalnya hal ini tentunya sulit untuk dilakukan sehingga untuk menentukan udara
pembakaran digunakan parameter kadar oksigen dari gas hasil pembakaran sebagai
parameter pengendali proses pembakaran. Pada operasi yang baik kadar oksigen dalam
gas buang

ini berkisar 0,7 - 3,5 % (udara berlebih berkisar 8 - 19 %), dengan kadar

optimum 1,0 - 1,5 %. Jika kadar oksigen ini terlalu rendah maka pembakarannya tidak
sempurna sehingga akan terbentuk CO (panas pembakaran yang dihasilkan baru sekitar
2400 kcal/kg C ; sedangkan bila terbakar sempurna akan terbentuk CO2 dengan panas
pembakaran sekitar 8100 kcal/kg C). oleh karena itu semakin tinggi kadar CO pada gas
buang berarti kerugian energi pembakaran terjadi lebih banyak (di mana panas
pembakarannya rendah) disamping CO ini berbahaya pada proses di electrostatic
precipitator, yaitu dapat menyebabkan terjadinya ledakan.
Pada kondisi reduksi (kekurangan oksigen), C4AF bisa terurai menjadi C3A yang
mempengaruhi kualitas semen, selain itu basic brick juga bisa mengalami reduksi sehingga
magnesite akan kehilangan kuat tariknya dan coating akan lepas. Klinker yang dihasilkan
pada kondisi reduksi mempunyai kuat tekan yang rendah. Kadar oksigen yang terlalu tinggi
mengindikasikan udara pembakaran yang terlalu banyak sehingga panas yang terbuang
(untuk memanaskan kelebihan udara yang tidak dipakai pada proses pembakaran) juga
akan banyak dan tidak efisien. Alat analisis kadar oksigen ini biasanya paling sedikit
ditempatkan di dua lokasi, yaitu di inlet kiln dan top cyclone. Posisi di inlet kiln untuk
mendeteksi kondisi pembakaran di kiln secara langsung sedang yang di top cyclone selain
mendeteksi kondisi pembakaran di kalsiner juga untuk mendeteksi adanya false air di sistem
preheater dengan membandingkan kadar oksigen di inlet kiln dengan top cyclone. False air
yang besar akan mengurangi jumlah panas yang seharusnya digunakan untuk memanaskan
raw mix pada proses perpindahan panas yang terjadi di suspension preheater dan kalsiner.
c. Kadar Karbon Monoksida
Kadar CO mengindikasikan kondisi pembakaran tidak sempurna. Sebaiknya tidak ada sama
sekali karena nilai kalor yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan
pembakaran sempurna (terbentuk CO2) dan jika bereaksi lanjut dengan oksigen akan
menimbulkan panas (ledakan). Akan tetapi dalam proses normal biasanya berada pada
tingkat 0,01 - 0,02 %. Jika sudah mencapai 1 % operasi EP akan distop untuk mencegah
terjadinya ledakan di EP.
d. Kadar N0x
Pada gas hasil pembakaran N0x yang ada merupakan hasil dari dua proses, yaitu :

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 49

a. N0x thermal, di mana pembentukannya berasal dari udara yang dipanaskan pada
temperatur tinggi. Pada temperatur tinggi oksigen dan nitrogen mengalami dissosiasi
sehingga bisa terbentuk N0x. Jumlah bergantung pada temperatur gas, waktu di mana
gas mengalami temperatur tinggi dan laju pendinginan campuran gas tersebut.
Normalnya pada temperatur dalam kiln 1600 - 1700 oC secara teoritis kadar N0x pada gas
hasil sekitar 50 ppm.
b. N0x bahan bakar. Coal biasanya mengandung komponen organik nitrogen. Komponen ini
terbakar dan membentuk N0x yang bergantung pada jumlah udara yang berlebih. Makin
besar kandungan oksigennya makin banyak pula N0x yang terbentuk.
Pengukuran N0x ini cukup cepat sehingga memberi gambaran yang segera terhadap kondisi
pembakaran di dalam kiln. Dibandingkan dengan parameter free lime dan litre weight yang
membutuhkan waktu maka parameter N0 x sangat membantu dalam pengendalian operasi
pembakaran.
e. Torsi Kiln
Parameter ini merupakan modifikasi dari nilai parameter ampere motor dari main drive kiln
dan mengindikasikan kondisi material yang ada di dalam kiln. Harganya pada kondisi normal
berkisar 50 - 55 %. Harga yang cenderung naik mengindikasikan bertambahnya fasa cair,
pembakaran yang makin keras dan kualitas produk yang baik. Bila harganya menunjukkan
penurunan, hal ini mengindikasikan mulai turunnya temperatur zona pembakaran dan
pembakaran yang lunak.
f. Temperatur Bottom cyclone
Temperatur gas pada siklon yang terbawah digunakan untuk mengindikasikan derajat
kalsinasi raw mix yang masuk ke dalam kiln. Pada temperatur 860 - 875 oC pada kiln
dengan SP-calciner mengindikasikan derajat kalsinasi sekitar 90 %. Jika derajat kalsinasi
raw mix yang masuk ke kiln terlalu rendah menyebabkan beban pembakaran dalam kiln
akan tinggi dan tidak cukup efektif. Tetapi pada derajat kalsinasi yang terlalu tinggi
menyebabkan terjadinya fasa cair sebelum masuk kiln yang dapat mengakibatkan terjadi
blok di jalur raw mix. Sifat-sifat aliran raw mix berdasarkan temperatur adalah sebagai
berikut :
T = 60 0C 900 0C

free flowing

T = 900 0C 1200 0C sticky


T >1200 0C

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

fasa cair dan free flowing

8 - 50

g. Temperatur Top cyclone


Parameter ini mengindikasikan kondisi gas buang dan normalnya pada 330 - 340 oC.
Temperatur yang terlalu tinggi mengindikasikan jumlah bahan bakar yang terlalu banyak,
tarikan udara yang terlalu banyak atau feeding yang kurang. Hal ini sangat merugikan
karena gas yang keluar merupakan panas yang terbuang. Temperatur yang terlalu rendah
bisa mengindikasikan temperatur pembakaran yang rendah atau tarikan udara yang cukup.
Hal ini juga tidak baik karena biasanya gas ini sebagian dipergunakan untuk proses
pengeringan bahan baku di raw mill. Dengan temperatur gas buang terlalu rendah energi
pengeringan kurang sehingga diperlukan jumlah aliran gas yang banyak, yang berarti akan
meningkatkan konsumsi motor listril mill fan.
h. Temperatur Udara Sekunder dan Tersier
Parameter ini penting untuk mendapatkan kondisi pembakaran yang baik. Selain itu
mengindikasikan tingkat recovery panas yang dapat digunakan kembali sehingga
menentukan jumlah bahan bakar yang diperlukan. Untuk mendapatkan temperatur yang
tinggi maka proses pendinginan klinkernya harus dikendalikan dengan baik. Pada grate
cooler hal ini dapat dilakukan dengan menjaga ketebalan material di atas grate juga dengan
mengatur jumlah udara pendinginnya. Di samping itu kualitas klinker yang keluar dari kiln
(ukuran dan distribusinya, porositas) sangat menentukan parameter ini.
i. Litre Weight Klinker
Parameter ini relatif cepat pengukurannya sehingga bisa dipakai sebagai pedoman untuk
pengendalian pembakaran di kiln dan mutu klinker yang dihasilkan. Pengukuran dilakukan
dengan menimbang klinker yang lolos ayakan 10 mm dan residu di atas ayakan 5 mm
sebanyak 1 liter. Nilai standar litre weight klinker tergantung dari performance tiap kiln. Litre
weight yang tinggi mengindikasikan kondisi zona pembakaran yang tinggi dan pembakaran
yang keras.
j. Free Lime (CaO bebas)
Parameter ini mengindikasikan kesempurnaan pembakaran raw mix. Parameter ini
dipengaruhi oleh temperatur burning zone, yang secara tidak langsung juga dipengaruhi
oleh temperatur udara sekunder yang berasal dari grate cooler sehingga pengamatan
langsung dapat dilakukan dengan mengontrol udara pendingin (parameter kontrol). Jika
harganya tinggi menunjukkan bahwa ada sebagian CaO yang tidak bereaksi dengan SiO2
sehingga jumlah C2S dan C3S kecil, yang tentu saja akan menurunkan kuat tekan. Jika
harganya makin rendah berarti pembakaran raw mix baik. Umumnya harganya berkisar 0,5 1,5 %.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 51

k. Pressure Chamber Grate Cooler


Parameter ini menunjukkan beban klinker terhadap grate. Bila tekanan pada chamber I naik,
menunjukkan bahwa material bed di lokasi tersebut bertambah. Dalam hal ini harus
diperkirakan apakah terdapat coating jatuh atau klinker yang berlebihan. Pressure yang
tinggi mengakibatkan beban fan cooler menjadi tinggi dan selanjutnya perpindahan panas
kurang efektif, serta temperatur udara sekunder yang diharapkan tinggi akan menurun. Hal
ini akan mengakibatkan proses di dalam kiln berlangsung kurang baik termasuk proses
pembakaran bahan bakar di burner dan kualitas kilnker yang dihasilkan.

l. Karakteristik dari volatile matter


Dalam pengendalian operasi kiln ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah
zat-zat yang terkandung di dalam rawmeal dan bahan bakar yang akan menguap pada
temperatur di zona pembakaran kiln dan akan terkondensasi lagi sewaktu berada di SP. Zat
tersebut sering disebut dengan volatile matter yang terdiri antara lain zat alkali, belerang dan
chlor.

Proses

penguapan

dan

kondensasi

yang

terus

berulang

hingga

kondisi

kesetimbangan tercapai ini kadang akan mengganggu kelancaran operasi kiln dan
menimbulkan sirkulasi zat volatile, khususnya untuk sistem kiln yang cukup rapat dan efisien
sehingga diperlukan perioda pengeluaran zat tersebut pada saat-saat tertentu. Namun untuk
sistem kiln yang relatif terbuka, yang memungkinkan mengalir keluarnya zat-zat ini,
gangguan menjadi tidak seberapa.
Ada tiga aspek penting yang berkaitan dengan sirkulasi zat volatile ini antara lain:
1. Karena zat-zat tersebut tidak dapat keluar dari material dan lama-lama menumpuk di
dalam klinker, maka agar kualitas klinker tetap baik perlu dibatasi kadar maksimum zat
tersebut di dalam klinker.
2. Jika zat-zat tersebut dapat menguap, perlu pula dibatasi kadar yang dibuang ke
lingkungan untuk menjaga kualitas udara lingkungan agar tetap berada dalam ambang
batas yang diijinkan.
3. Dalam operasi bila sirkulasi zat ini terlalu banyak akan dapat mengganggu sehingga
perlu dibuatkan alat khusus untuk mengurangi dengan cara bypass gas ke lingkungan
secara periodik. Hal ini memerlukan fasilitas dalam sistem kiln kita.
Oleh karena itu alangkah baiknya apabila kita dapat memprediksi dengan keakurasian
tertentu kelakuan dari zat-zat volatile ini sehingga tidak akan menyebabkan gangguan
operasi kiln. Cara yang umum dipergunakan dalam memprediksi sirkulasi zat volatile adalah
dengan menyusun suatu model matematik dan kemudian mengevaluasi berdasarkan model
tersebut serta mengukur di lapangan agar faktor-faktor yang tertuang dalam model kita
dapat diisi nilainya sesuai hasil pengukuran lapangan. Sebagai contoh dapat diberikan pada
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 52

lampiran. Dari gambar-gambar tersebut, secara matematik kalau penguapan dan yang
terkondensasi kembali V diketahui maka faktor sirkulasi K dan kandungan zat volatile yang
ikut ke dalam produk klinker dapat dihitung. Sedangkan kadar zat volatile dalam rawmeal a,
dapat diketahui dari hasil analisis laboratorium. Atau dalam kondisi kesetimbangan nilai K
adalah:
K

1
[1 (1 V )]

Di lapangan, instalasi untuk menangani gangguan irkulasi zat volatile ini tentunya lebih rumit
karena terdiri dari beberapa katup/damper seperti katup di preheater, di Mill, EP dan katup
by-pass gas kiln. Dengan demikian kesulitan meningkat jika model matematik akan
diterapkan di lapangan. Alasan kesulitan perhitungan aplikasi model di lapangan antara lain:
1. Evaporasi zat di burning zone sangat ditentukan oleh temperatur burning zone dan
tekanan parsial zat di dalam burning zone. Namun kedua parameter ini saling
bergantungan sehingga akan menyulitkan perhitungan.
2. Sifat zat berbeda antara satu dan lainnya. Sebagai contoh chlor akan terevaporasi
hampir seluruhnya (100%) di dalam burning zone, sedangkan tidak seluruhnya bagi
alkali. Akan tetapi adanya chlor akan meningkatkan evaporasi alkali dan sebaliknya
dengan belerang karena justru akan menghambat evaporasi alkali. Karakter alkali
diberikan pada gambar 3 di lampiran. Berdasarkan pengamatan FLS, nilai faktor dan V
untuk beberapa zat dan berbagai jenis konfigurasi preheater diberikan pada gambar 4 di
lampiran. Perlu diingat bahwa jika nilai V adalah 1, ini berarti bahwa tidak ada zat volatile
yang mengendap kembali, atau dengan kata lain praktis tidak ada sirkulasi. Nilai V ini
bergantung pada apakah zat tersebut terkondensasi dalam bentuk solid atau cair.
Karena suasana di sekitar terjadinya kondensasi zat adalah berdebu, pengamatan
menunjukkan bahwa kondensat cenderung menempel pada debu rawmeal sehingga
mempengaruhi nilai V.Nilai V di SP empat tingkat sangat kecil karena justru yang
dominan adalah sirkulasi debu rawmeal antar siklon.
3. Pengaruh adanya chlor terhadap evaporasi alkali, terutama kalium, diperlihatkan pada
gambar 5 di lampiran. Unsur K dapat terevaporasi dalam dua tahap yaitu K sebagai KCl
dan sebagai CL bebas K2O. Nilai untuk KCl adalah berkisar antara 0,99 hingga 0,996
dan sebagai Cl bebas K2O adalah antara 0,1 hingga 0,4.
4. Nilai V untuk belerang susah untuk dievaluasi karena bila bergabung dengan alkali akan
memiliki sifat yang berbeda dibanding sulfur yang membentuk SO2. Belerang oksida SO2
ini akan bereaksi dengan CaCO3 di dalam SP dan mencapai hasil reaksi maksimum
pada temperatur sekitar 800oC. Dan apabila gas untuk mengeringkan material baku di
dalam mill terikut pula SO2 ini, maka zat ini dapat terserap ke dalam rawmeal via air

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 53

yang terkandung di dalam rawmeal tersebut. Nilai V dari belerang yang terikat dalam
alkali sekitar 0,15 sedangkan bila dalam bentuk gas SO 2 nilai V nya adalah sekitar 0,5
berdasarkan hasil penelitian FLS.
Jika tujuan kita adalah untuk mengurangi kadar zat volatile ini di dalam klinker atau dengan
kata lain memperkecil nilai R, maka salah satu usaha kita haruslah untuk meningkatkan nilai
dan V. Untuk mendapatkan nilai yang tinggi temperatur burning zone atau dengan
meninggikan silica rasio karena rawmeal akan lebih susah dibakar. Cara lain adalah
menambahkan CaCl2, akan tetapi untuk beberapa sistem kiln hal ini dapat menyebabkan
masalah lain.
Katup yang ideal untuk mengeluarkan sirkulasi zat volatile ini haruslah dapat dilalui gas tapi
tidak dapat dilalui debu. Namun hal ini sulit diperoleh. Pengeluaran gas biasanya disertai
dengan pengeluaran debu. Katup yang mendekati ideal adalah kiln panjang untuk proses
basah dengan banyak rantai-rantai. Sedangkan untuk proses kering, berdasarkan nilai V,
dirasa tidak perlu memasang katup pada SP. Untuk itu pada sistem kering, katup biasanya
dipasang pada sisi inlet kiln sebelum gas masuk ke SP dengan by pass yang disainnya
seperti diperlihatkan pada lampiran. Dengan mempertimbangkan desain agar by pass
tersebut tidak tersumbat apabila gas didinginkan dengan percikan air dan desain yang
bagus akan dapat ditekan kehilangan debu saat dilakukan proses pengeluaran gas tersebut
hingga 2 3% dari feeding untuk 10% dari gas yang dikeluarkan dari sistem. Hasil
pengurangan kadar alkali dengan cara mem-by-pass gas tersebut akan mengurangi kadar
alkali dalam klinker seperti diperlihatkan pada lampiran.
Dari hasil pengamatan FLS, evaporasi zat volatile lebih rendah pada sistem kiln yang
menggunakan calciner dibanding dengan yang tidak memakai calciner. Hal ini akan
meningkatkan kadar alkali dalam klinker. Pada kasus seperti ini biasanya rawmix desainnya
diubah sedemikian rupa sehingga silika rasionya ditinggikan untuk meningkatkan burnability
material dan temperatur di burning zone.
Masalah lain yang dapat terjadi adalah berkurangnya coating dan problem operasional yang
lain, yang biasanya ditemukan pada sistem kiln tanpa calciner dengan nilai V yang kecil dan
temperatur di SP tinggi. Pada kasus seperti ini tujuan kita dalam menjaga agar operasi kiln
tetap baik dan terkendali adalah mengurangi nilai K. Hal ini dapat dicapai dengan
mengurangi faktor evaporasi . Dalam praktek kasus seperti ini juga dilakukan untuk
menangani masalah alkali dan belerang. Caranya adalah mengurangi temperatur diburning
zone dengan disertai meningkatkan kehalusan rawmeal. Dalam kasus lain evaporasi alkali

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 54

dapat dikurangi dengan menambahkan belerang dalam ujud gipsum di dalam rawmeal.
Untuk chlor yang memiliki evaporasi tinggi sehingga sulit untuk dikurangi nilai -nya, serta
secara umum nilai V pada SP 4 tingkat sangat kecil, maka biasanya nilai K dibatasi hingga 1
1,5% pada saat mau masuk kiln dengan cara membatasi kadar chlor pada rawmeal
hingga 0,012% hingga 0,015% maksimum. Apabila dengan cara ini tidak dapat mengatasi
peningkatan nilai K, maka by-pass gas tetap harus dilakukan seperti yang telah diterangkan
saat mengatasi masalah tingginya zat volatile dalam klinker. Sevagai contoh gambar 8 pada
lampiran menunjukkan hubungan antara gas yang harus di by-pass dengan kadar Cl di
dalam rawmeal dan bahan bakar. Perlu sekali lagi diingat bahwa maksud dari mem-by-pass
gas adalah bukan untuk menghilangkan kadar chlor tetapi menguranginya hingga batas nilai
yang masih diijinkan. Beberapa nilai zat volatile yang diijinkan dalam klinker agar kualitasnya
tetap baik serta dalam rawmeal agar operasi kiln dapat dikendalikan lebih mudah diberikan
pula pada lampiran.
8.10.1. Pembentukan Coating di Dalam Kiln
Proses terbentuknya coating dimulai chemisorption dan adsorption antara batu dengan
liquid phase, kemudian terjadi infiltrasi liquid phase klinker ke brick, maka terjadi reaksi
antara klinker komponen dengan material refractory. Selanjutnya terjadi pengerasan dari
liquid membentuk coating. Lapisan coating adalah komponen klinker terdiri dari C2S-MgO
yang mengeras. Coating kontinyu terbentuk sampai temperatur permukaan coating
mencapai temperatur lelehnya (1315 C).
Fungsi coating adalah:

Melindungi brick dari corrosive dan abrasive action

Menurunkan temperatur hot face dari brick

Menyimpan panas sementara, kemudian dipindahkan lagi ke material.

Pembentukan coating ditentukan oleh:

Reaksi kimia antara clinker liquid dan brick

Rasio Al2O3/Fe2O3 naik, pembentukan coating naik

SiO2 turun, pembentukan coating naik

Thermal conductivity brick dimana makin tinggi thermal conductivity, coating makin
mudah terbentuk.

Kerusakan coating disebabkan oleh:

Perubahan komposisi raw meal

Distorsi mekanis

Temperatur burning zone turun

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 55

Temperatur burning zone terlalu tinggi (overheating)

Coating pada magnesite brick (brick spinal) terjadi karena reaksi antara C2S-C5A3 dari
liquid klinker dengan M2S dari brick, menghasilkan C2S, CA (pada sisi klinker) dan MgO
peryclase (pada sisi brick). Layer klinker akan built-up karena ikatan MgO dengan C2S yang
mengkristal kembali.
Coating pada magnesite-chrome brick (brick basic) terjadi karena reaksi C3A-C4AF dari
liquid clinker mempenetrasi ke brick bereaksi dengan MS menghasilkan C2S C4AF-C3A.
Zone klinker-brick ini bisa mencapai 400 mikron. Migrasi Cr 2O3 dari brick ke section klinker
akan menyelimuti -C2S sehingga lebih stabil dan tidak terjadi inverse menjadi -C2S pada
saat pendinginan yang dapat menyebabkan coating jatuh.
8.10.2. Proses Terbentuknya Clogging
Terbentuknya clogging disebabkan karena adanya elemen yang tersirkulasi. Elemen
yang tersirkulasi ini adalah:

Alkali (K, Na, dari clay)

Sulfur (dari bahan bakar, dari gypsum/sulfat)

Chlorine (dari NaCl air laut atau KCl).

Penjelasan gambar:
CaSO4 lebih mudah menguap (lebih volatile) daripada alkali sulfat (Na2SO4, K2SO4).
Alkali sulfat akan keluar bersama klinker, sedangkan sebagian CaSO4 akan
terdekomposisi pada temperatur >1000 C dan kemudian mengalami kondensasi pada
temperatur 800 1000 C sehingga membentuk clogging di riser pipe.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 56

Gambar 97 siklus sulfur dalam kiln dan preheater


Apabila jumlah alkali cukup banyak, maka alkali akan bereaksi dengan sulfur dan keluar
kiln bersama klinker sehingga dapat mengurangi terjadi clogging. Rasio molar alkalisulfur yang membantu adalah: Alk/SO 3 1.2. Jika terdapat lebih sedikit alkali, maka
clogging lebih banyak terbentuk.
Secara umum, apabila jumlah input sulfur tidak berubah, maka faktor yang menentukan
terjadinya penguapan sulfur (mudahnya terbentuk clogging) adalah:

Tingginya temperatur burning zone (terjadi saat produksi OWC) mengakibatkan


mudahnya sulfur teruapkan/terbentuk clogging.

Lama waktu tinggal didalam burning zone akan mengakibatkan sulfur lebih banyak
teruapkan/terbentuk clogging.

Terbentuknya CO pada pembakaran di dalam kiln, maka penguapan senyawa


sulfur akan meningkat sehingga memperbesar kemungkinan terbentuknya clogging.

Nyala api relatif panjang dan tidak stabil.

Tingginya BF, sehingga butuh panas di burning zone yang tinggi, mempermudah
menguapnya sulfur.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 57

Pyrite (FeS2) yang berasal dari raw meal, terdekomposisi pada temperatur 400-600 C,
membentuk SO2. Kemudian 70% SO2 bereaksi dengan CaCO3 menjadi CaSO4, dan
sisanya 30% SO2 keluar cyclone (10-20% terserap di raw mill dan sisanya keluar
cerobong). Chlorida terkondensasi pada temperatur 650-800 C. Chlor sangat volatile
sehingga hampir tidak ada yang keluar ikut klinker.
8.10.3. Pengoperasian Kiln
Dalam pengoperasian kiln system ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang
bertujuan untuk menjaga keselamatan peralatan, personil dan kestabilan operasi kiln
system. Prioritas pada pengoperasian kiln adalah sebagai berikut :

Menjaga keselamatan peralatan dan personil

Memproduksi klinker dengan kualitas yang baik

Stabilitas operasi kiln yang kontinyu

Kapasitas produksi maksimal dan efisien

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk efisiensi operasi di kiln antara lain:

Menjaga temperatur udara sekunder setinggi mungkin

Menjaga temperatur gas keluar preheater serendah mungkin

Menjaga temperatur klinker keluar cooler serendah mungkin

Menjaga operasi kiln pada kapasitas maksimal

Menjaga burning zone sependek mungkin

Mengurangi false air mulai dari preheater, inlet kiln, dan kilnhood

Pengendalian operasi kiln pada prinsipnya adalah mengendalikan temperatur sesuai


dengan zona-zona di kiln system. Karena proses produksi klinker seperti yang telah
diterangkan pada bagian sebelumnya, merupakan fungsi dari temperatur (T) dan waktu
tinggal () material: FCao = f (T,).
Pengendalian temperatur ini mulai dari top cyclone, precalciner, inlet kiln, burning zone,
secondary air, tertiary air, cooler exhaust gas sampai dengan temperatur klinker keluar
cooler.
Dari beberapa temperatur diatas, ada beberapa yang dapat dikontrol langsung (control
parameter), misalnya coal feed ke calciner untuk mengontrol temperatur calciner, coal feed
ke kiln untuk mengontrol temperatur burning zone, dan sebagian besar merupakan
parameter yang perubahannya diakibatkan oleh berubahnya control parameter (atau disebut
control variable), misalnya temperatur cyclone preheater dll.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 58

Tabel 8.9 Beberapa contoh control parameter yang berdampak pada control variabel
Control Parameter

Control Variabel

Kiln feed
Pengaturan umpan ke string A dan B
Coal feed ke kiln burner
Coal feed ke calciner
Speed kiln
Damper ID fan dan EP fan
Nozzle udara primer di burner

Perubahan load elevator


Perubahan temperatur dan draft di kedua string
Perubahan temperature burning zone, torsi
Perubahan temperature calciner
Perubahan torsi
Perubahan draft di preheater, O2 content
Perubahan temperatur burning zone, torsi.

Grafik

dibawah

ini

memberi

contoh

bagaimana

pengaruh

operator

dalam

mengoperasikan kiln dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap control parameter.


Indikasi awal yang dilihat operator pada grafik operasi ini adalah terjadinya penurunan
temperatur gas di suspension preheater.

Gambar 8.14 Pengaruh penyetelan control parameter coal feed terhadap control variable
temp W1A53T1 dan %CO.
Temperatur ini merupakan control variable, operator mengira penurunan temperatur
disebabkan coal feed kurang, lalu ia mengambil tindakan mengubah control parameter coal
meal flow (coal feed) dengan melakukan penambahan coal feed. Beberapa menit kemudian
terlihat control variable temperatur W2A53T1 meningkat drastis, bahkan melebihi kondisi
yang diinginkan sebelumnya. Kenaikan temperatur W2A53T1 ini diikuti perubahan control
variable lainnya yaitu naiknya %CO di top suspension preheater. Melihat perubahan 2
control variable ini, operator mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi kelebihan coal feed
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 59

sehingga coal terbakar sebagian di suspension preheater diikuti dengan munculnya CO.
Lalu kemudian operator mengambil tindakan menurunkan lagi control parameter coal feed,
hasilnya control variable temperatur W2A53T1 kembali ke temperature yang diinginkan,
%CO turun kembali. Tetapi karena telah terjadi pembakaran yang tidak sempurna, dimana
temperatur burning zone turun mengakibatkan klinker pada saat itu tidak masuk standard
kualitasnya (Free lime >1.3%)
Grafik ini juga memperlihatkan bahwa indikasi-indikasi yang ada di monitor (control
variable) merupakan sesuatu yang mutlak untuk selalu diperhatikan oleh operator kiln dalam
melakukan perubahan-perubahan control parameter sehingga dihasilkan produksi klinker
yang baik dengan kapasitas produksi yang maksimal. Tanpa kejelian dan usaha yang
sungguh-sungguh, seorang operator kiln tidak akan mampu menghasilkan klinker yang baik.

8.10.4. Heating Up Kiln


Sebagaimana diketahui bahwa dalam kiln terpasang batu tahan api, yang terpasang
hanya mengandalkan kekuatan interaksi antara brick yang satu dengan yang lain, bila satu
brick pecah maka kemungkinan brick di sekitarnya akan jatuh pula demikian seterusnya,
oleh karena itu batu tahan api harus diperlakukan dengan hati-hati mulai dari penyalaan
pertama dimana brick dikeringkan dulu secara perlahan-lahan agar tidak mengalami retakretak, kemudian brick dipanaskan agar pemuaian terjadi keseimbangan dengan pemuaian
shell kiln sampai dengan tercapainya temperatur operasi.
Oleh karena koefisien pemuaian shell kiln jauh lebih besar dari brick maka pemanasan
harus sangat hati-hati sehingga antara ring brick dengan kiln shell tidak ada gap selama
heating up, selama proses pemanasan tersebut kiln harus diputar secara periodik misalnya
1/3 selama 30 menit, dan frekuensi putaran makin ditingkatkan dengan naiknya termperatur.
Pengeringan brick dan pemuaian brick secara perlahan-lahan ini juga berlaku di sistem
suspension preheater. Tujuan lain dari heating up adalah untuk menaikkan temperatur
sistem suspension preheater dan kiln sampai tercapainya temperatur operasi agar material
yang masuk dapat langsung diproses seperti waktu operasi normal. Jika tidak maka material
tidak akan matang sampai keluar kiln.
Penanganan heating up yang tidak hati hati menyebabkan:

Batu tahan api lolos, retak, pecah dan jatuh

Batu tahan api dapat meleleh bila apinya tidak tepat dan tidak dilakukan pemutaran
kiln

Distribusi tidak baik/tidak imbang artinya di kiln terlalu panas tetapi di suspension
preheater terlalu dingin dan sebaliknya

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 60

8.10.5. Final inspection


Hal-hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan heating up adalah:

Man hole, check hole di preheater system sampai dengan chimney harus sudah
tertutup

Cek semua down pipe cyclone gantungkan sluice valve masing-masing cyclone

Semua alat-alat transport dan alat-alat pendukung lainnya harus dicoba start local,
mulai dari dust transport EP/dust filter raw mill. Cooler, kiln feed system sampai
klinker transport ke silo

Cek dan tes damper preheater fan, EP/dust filter fan, cooler exhaust fan, cooling
fan grate cooler

Cek dan tes semua gate, change over gate di kiln feed system

Cek dan tes bila diperlukan oil burner di kiln dan calciner

Cek semua air pendingin dan udara tekan ke masing-masing equipment

Cek dan tes gas analyser di kiln inlet, top cyclone string A dan B

Tempatkan dan atur posisi burner tip sesuai dengan ketentuan

8.10.6. Kurva Temperatur di Cyclone Stage Terbawah A/riser Pipe Terhadap Waktu
Kurva ini sangat penting untuk dibuat, bahkan sebelum lighting up sudah harus dibuat
terlebih dahulu untuk memandu operator dalam mengontrol kenaikan temperatur sepanjang
waktu heating up. Indikator yang biasa dipakai adalah temperatur gas di cyclone terbawah
atau ada juga yang memakai indikator di kiln inlet.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 61

Gambar 98 Kurva kenaikan temperatur gas terhadap waktu di siklon terbawah


Kenaikan temperatur untuk secara umum kecepatan heating up sekitar 25-30 oC/jam
sampai dengan temperatur di cyclone stage terbawah 350 oC (atau temperatur burning zone
sekitar 500 oC). Kemudian kecepatan heating up dapat ditingkatkan menjadi 40-50 oC,
sampai dengan dicapai temperatur yang sesuai untuk feeding pertama. Biasanya lama
heating up sekitar 18-40 jam, tergantung dengan berapa jumlah batu tahan api yang baru
dipasangkan.
Pada kondisi kiln stop trouble dalam kondisi kiln masih panas (stop kurang dari 24 jam),
maka heating up dapat dilakukan dengan memanaskan kiln kembali minimal 40 % dari
waktu stop tersebut, dengan catatan kecepatan kenaikan temperatur seperti yang sudah
dijelaskan di atas.
8.10.7. Feeding Pertama Sampai Normal
Kiln dengan pembakaran di kalsiner ataupun tanpa pembakaran di kalsiner sebelum di
feeding harus di heating up sampai dengan mendekati temperatur operasinya, sedangkan
pada saat feeding pertama ini draft tidak dapat dijadikan pedoman karena sangat tergantung
dengan jumlah feeding.
Biasanya setiap pabrik mempunyai batasan temperatur minimum yang harus dicapai
sebelum feeding dapat dilaksanakan, sebagai contoh: misalnya temperatur cyclone stage
terbawah minimal 700 oC atau temperatur kiln shell setelah penggantian brick baru sekitar
300 oC, maka feeding sudah dapat dilakukan.
Temperatur di suspension preheater yang penting saat feeding adalah:

Temperatur kiln inlet


Pada umumnya temperatur di sini cukup 900 oC-1100 oC, kurang dari 900 oC material
masuk kiln akan sulit terdecarbonisasi, sehingga reaksi di kiln akan lambat.
Sedangkan lebih 1100 oC, akan memungkinkan material menjadi sticky (lengket) dan
coating di suspension preheater bahkan bisa berakibat blocking di cyclone.

Temperatur gas cyclone stage terbawah 700-750 oC


Daerah ini juga menentukan sekali karena temperatur tersebut menjamin bahan
bakar yang akan langsung terbakar. Sedangkan yang tidak dengan pembakaran di
kalsiner temperatur tersebut adalah awal dari reaksi dekarbonisasi.
Diharapkan di cyclone terbawah sudah dimulai dekarbonisasi pada temperatur
tersebut, sehingga beban kiln menjadi lebih ringan. Ada dua cara penyalaan burner
di suspension preheater, yaitu menjelang feeding atau sesaat sesudah feeding.
Keduanya mempunyai resiko sendiri-sendiri. Untuk menjelang feeding, bila

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 62

feedingnya gagal akan cepat terjadi overheating. Sedangkan sesaat sesudah


feeding, bila penyalaannya gagal, material akan relatif masih mentah masuk ke kiln.

Temperatur inlet preheater fan


Suatu yang lumrah bila saat feeding damper preheater fan mulai dibuka (atau
ditambah speed), sehingga gas panas tertarik ke atas dan menaikkan gas masuk
preheater fan. Untuk itu temperatur tetap harus dijaga max 450 oC dengan mengatur
bukaan damper/speed fan dan balancing dengan jumlah kiln feed yang diumpankan.
Menjaga temperatur tersebut dengan maksud melindungi peralatan dan ducting dari
deformasi akibat temperatur tinggi.

Kondisi dalam kiln


Kondisi ini agak sulit diukur dengan alat karena arah kamera hanya pada material di
sintering zone. Sedang tempat lain di kiln tidak dideteksi. Apabila di dalam kiln masih
bersih tidak ada material, maka temperatur yang terukur, bila tidak terganggu flame
oleh debu dari cooler saat feeding adalah 1400-1450 oC. Apabila di dalam kiln sudah
ada material, maka secara visual akan lebih tepat menentukan siap feeding atau
tidak, yaitu apabila material telah pijar agak keputih-putihan menandakan material
telah matang dan diharapkan akan diikuti matangnya meterial dibelakangnya, atau
bila temperatur shell kiln > 300 oC (dengan catatan brick baru).

Speed kiln
Sesaat sebelum feeding, speed kiln diganti dari auxiliary ke main drive dengan
minimum speed ( 0,6 0,8 rpm). Pada saat feeding pertama penambahan bahan
bakar lebihkan sekitar 300 400 Kcal/kg klinker atau 10-30 % dari operasi normal.

8.10.8. Ganguan Operasi dan Penanggulangan


Begitu banyak ragam dan macamnya gangguan operasi sehingga suit untuk dijelaskan
satu-persatu. Bahkan terkadang jenis gangguan berasal dari tempat lain. Namun akan
dicoba untuk memberikan contoh yang diusahakan se-general mungkin dan menyangkit
gangguan yang tidak menyebabkan shut down.
Kiln flushing
Flushing adalah akibat raw mix yang tidak terbakar sempurna menjadi klinker,
penyebabnya bermacam-macam, misalnya kiln feed berfluktuasi, batu bara shortage
atau fluktuasi, atau jatuhnya ring coating yang terlalu besar.
INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 63

Indikator awal yang dapat dipakai adalah torque kiln turun secara drastis, misalnya
disebabkan oleh shortage/fluktuasi bahan bakar maka temperatur di kalsiner SLC
atau burning zone akan turun, profil nyala menjadi gelap.
Untuk mencegah terjadinya flushing, pertama-tama yang harus dilakukan atau
turunkan secara drastis speed kiln, hal ini bertujuan untuk memperpanjang waktu
tinggal material di dalam kiln, sehingga diharapkan akan memperbaiki proses
pembakaran raw mix menjadi klinker, jaga temperatur di suspension preheater agar
tingkat dekarbonisasinya cukup sebelum masuk ke kiln, kemudian stabilkan flame
yang dapat dijaga dengan menstabilkan fuel dan grate I agar dapat menghasilkan
temperatur

udara

sekunder

yang

cukup

temperaturnya.

Untuk

kiln

yang

menggunakan swirlax burner tambahkan pemakaian udara swirling yang bertujuan


memperbaiki performance pencampuran bahan bakar dengan udara sehingga
diharapkan bahan bakar segera dapat terbakar, walaupun diganggu adanya abu dari
raw mix/klinker.
Ring coating
Ring coating adalah kondisi dimana ada coating dengan ketebalan tertentu sehingga
berakibat sangat mengganggu pada pengoperasian kiln karena:
Material akan tertahan di belakang ring coating
Gas tidak lancar mengalir sehingga udara yang terhisap juga kuang dan CO akan
naik, kadang-kadang terpaksa mengurangi fuel beserta kiln feed
Untuk mengatasi ring ini sebaiknya dilakukan dengan merubah panjang pendeknya
flame, dengan harapan ada perubahan temperatur ring coating dan akhirnya jatuh.
Selain itu apabila di tempat ring coating itu diberi pendingin pada kiln shellnya maka
cooling fan pada posisi tersebut dimatikan. Karena pada umumnya ring coating
terjadi

pada

daerah

antara

calcination

zone

dan

transition

zone,

maka

memperpendek dan memperkuat api di main burner akan dapat menolong.


Perontokan ring coating sambil operasi yang tidak sampai mengganggu bisa berjalan
1-2 hari.

INSTITUT SEMEN DAN BETON INDONESIA

8 - 64

Anda mungkin juga menyukai