Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut. Definisi ini menghindari
pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan (stimulus). Definisi ini juga menekankan
bahwa nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus emosi (Aminoff,
Francois, & Dick, 2006).
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri akut atau nyeri
nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik
serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang diakibatkan oleh
kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat perbaikan dari
jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri fungsional
merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm.
Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun nosiseptif
dan memunculkan gejala gangguan psikologik memenuhi somatoform seperti stres, depresi,
ansietas dan sebagainya (Aminoff, Francois, & Dick, 2006).
Klasifikasi dari nyeri kronik digolongkan dalam 3 kategori : nyeri yang disebabkan
oleh penyakit atau kerusakan pada jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif, seperti
osteoarthritis), nyeri yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan sistem somatosensori
(nyeri neuropatik), dan gabungan antara nyeri nosiseptif dan neuropatik (nyeri gabungan)
(Aminoff, Francois, & Dick, 2006).
International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
neuropatik adalah nyeri yang dihasilkan dari penyakit atau kerusakan dari sistem saraf
perifer atau sentral, dan berasal dari kelainan fungsi sistem nervus. Awalnya, nyeri
neuropatik digunakan hanya untuk menggambarkan nyeri yang berhubungan dengan
neuropatik perifer, dan nyeri sentral pada lesi di sistem saraf pusat yang berhubungan
dengan nyeri. Nyeri neurogenik menyangkut semua penyebab, baik perifer maupun sentral
(Aminoff, Francois, & Dick, 2006).
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik
perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis
(akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster
pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan
(tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi (Aminoff, Francois, & Dick,
2006).

Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi sistem saraf
dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi
dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia paska
herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan
rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya. Reaktivasi
virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas menurun seperti
pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan penderita HIV (Thakur et
al., 2010).
Neuralgia pasca herpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung
selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri terus berlangsung selama 120
hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data yang ada, disimpulkan bahwa 10-25%
pasien herpes zoster akan mengalami neuralgia pasca herpetika dan kebanyakan pada
pasien berusia lanjut (Thakur et al., 2010).
Neuralgia pasca herpetika dapat berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun
dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup antara lainmengganggu tidur dan kegiatan
sehari-hari sehingga mengganggu kualitas hidup pasien. Dalam referat ini, akan dibahas
mengenai neuralgia post herpetikum, dimana neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai
nyeri yang dirasakan di tempat penyembuhan ruam dan pada pasien yang berumur tua
memiliki resiko yang lebih tinggi (Scadding & Koltzenburg, 2006).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam
Herpes Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut
saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari herpes Zoster (Aminoff, Francois, dan Dick,
2006).
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri
disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon,
1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase
akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah
onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang
menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes
zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik
yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).
Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul
2

pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari
berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai
dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of Pain (IASP)
menggolongkan neuralgia pasca herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul
setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya
malignitas (Alvin, 2012).
Nyeri pada HZ dapat mendahului atau bersamaan dengan timbulnya ruam kulit.
Neuralgia herpetika akut didefinisikan sebagai nyeri yang timbul dalam 30 hari setelah
timbulnya ruam kulit. Neuralgia paska herpetika didefinisikan secara bervariasi sebagai
setiap nyeri yang timbul setelah penyembuhan ruam kulit atau setiap nyeri yang timbul
setelah 1, 3, 4 atau 6 bulan setelah timbulnya ruam, namun sebagian besar definisi yang
ada saat ini berfokus pada nyeri yang timbul dalam jangka waktu 90-120 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit. Dalam buku Penatalaksanaan infeksi herpes virus humanus di
Indonesia (2011), definisi NPH adalah nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3
bulan setelah erupsi HZ menghilang (Philip & Thakur, 2011; Straus, Oxman, & Schmader,
2008; Lumintang et al., 2011).
2.2 ETIOLOGI
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang
menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat
DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Infeksi
primernya secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada anakanak. Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa
juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior
susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada
ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion
genikulatum (Dewanto et al., 2009).
2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada penelitian klinis dan komunitas, insidensi NPH secara keseluruhan yaitu 815% tergantung dari definisi operasionalnya. Di Amerika Serikat, NPH merupakan penyebab
nyeri neuropatik tersering ketiga setelah low back pain dan neuropati diabetik. Baik frekuensi
dan durasi NPH keduanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Diantara pasien
dengan HZ akut, NPH berkembang pada 73% pasien diatas 70 tahun, 47% pasien diatas 60
tahun sedangkan untuk usia diatas 55 tahun hanya 27%. Hampir setengah dari pasien
diatas 70 tahun tersebut (48%) menderita NPH dengan durasi lebih dari 1 tahun. Wiryadi
3

dkk melaporkan angka kejadian NPH pada pasien HZ yang berobat antara tahun 1995-1996
sebesar 11% dari 738 pasien HZ di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Selama periode
tahun 2006-2010, terdapat 82 pasien didiagnosis NPH dari seluruh pasien yang berobat ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang (Straus, Oxman, dan Schmader,
2008; Weaver, 2007; Sugastiasri, 2011).
Di Amerika Serikat, frekuensi PHN yang terjadi 1 bulan setelah onset dilaporkan
sebanyak 9-14,3 % dan 3 bulan setelah onset sebanyak 5 %, sedangkan dalam waktu 1
tahun, 3 % akan mengalami nyeri yang lebih berat (Alvin, 2012).
Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4 hingga
1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga 11 kasus
per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. 7 Sebuah penelitian di Islandia
menunjukkan bahwa variasi resiko PNH ini dihubungkan dengan kelompok umur tertentu.
Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada sampel yang berusia dibawah 50 tahun
dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dilaporkan
mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1 bulan setelah onset dan sebanyak 4% 3 bulan
setelah onset (Alvin, 2012)..
Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada serangan
yang pertama. Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang dewasa penderita
infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga 100 kali lebih tinggi pada
anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan orang-orang sehat dengan usia yang
sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat sesuai pertambahan umur. Insidens nyeri post
herpetik meningkat pada pasien-pasien dengan Ophtalmic Zoster dan kemungkinan lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pada pria (Roxas, 2006).

2.4 PATOFISIOLOGI
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air. Pajanan
pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem
respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran
darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.
Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus
ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun (Aminoff,
Francois, dan Dick, 2006; Jenicho, 2010).
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan
pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui.
Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status
4

imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan
di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah
mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel
yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body (Aminoff, Francois, dan Dick, 2006;
Jericho, 2010).

Gambar 1 : Patologi Herpes Zoster


(dikutip dari Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010.

Chicago: The Internet Journal of Orthopedic Surgery.)


Neuralgia

Post

Herpetik

memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri

herpes zoster akut. NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik
yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen
primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia
sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai
herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer,
dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam
ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang
terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf
tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf
inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer (Regina
& Lorettha, 2012).
5

Mekanisme terjadinya neuralgia pasca herpetika dapat berlainan pada setiap individu
sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika juga
berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa
pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron. Proses perjalanan virus ini
menyebabkan kerusakan pada saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi
wallerian dan proses sclerosis (Roxas, 2006).
Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit,
menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara
sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak.
Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral
(Gharibo & Carolyn, 2011).

Gambar2.Desensitasi dan Deaferenisasi


(dikutip dari Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011.
New York: Pain Medicine News.)
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang halus
dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun,
menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan
ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat
stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas
menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk
tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di
6

lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan
antara serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga
stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri (Gharibo &
Carolyn, 2011).
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan
terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia.
Sensitisasi

sentral

disebabkan

oleh

aktivitas

ektopik

dari

serabut

saraf

aferen.

Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang berikatan


dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen
primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor
ionotropik -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan
reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion
magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat
glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang
akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal
ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya
menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin
progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni
hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi
pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan
hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan
membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target,
sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini
akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul
transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan
kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri
spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang
terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut (Gharibo &
Carolyn, 2011).

Gambar 3 : Mekanisme Sensitisasi Sentral dan Perifer


(Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The
Fellowship of Postgraduate Medicine.)
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska
herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes
zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis
(Regina & Lorettha, 2012).
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia
pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam
tiga fase (Dworkin et al., 2007):
1.

Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4
minggu

2.

Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan

3.

Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3
bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit

kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai


dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala
prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan
dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai
intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan
nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya

lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi
kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu (Alvin, 2012).
Manifestasi klinis neuralgia pasca herpetika adalah nyeri yang sangat mengganggu
penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit
berupa hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengganggu
pekerjaan pasien, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi
kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan
beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling
sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan
rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan
nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia pasca herpetika adalah meningkatnya
usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam Herpes Zoster.
Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72%
penderitanya mengalami neuralgia pasca herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai
peranan pula dalam menimbulkan neuralgia pasca herpetika adalah gangguan sistem
kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya
ruam (Alvin, 2012).
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal
herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang timbul
berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post herpetik.
Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau
tersengat listrik (Jericho, 2010; Alvin, 2012).
2.6.2
1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan Fisik (Jericho, 2010; Alvin, 2012)


Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus
Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan
maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun

iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai urtikaria
5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu kemudian)
6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang muncul
tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu setelahnya).
7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan ringan
9

8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area yang
terkena nyeri ini.
2.6.3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu (Jericho, 2010; Alvin, 2012):
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis
lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV
22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk
membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung
diagnosis herpes zoster subklinis.
2.7 PENATALAKSANAAN
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis (Alvin, 2012).
Terapi farmakologis (Alvin, 2012):
1. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang
timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir,
Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari
selama 7 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek samping
yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit
kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan.
Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek
samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah,
sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500
mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini
adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.
2. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik.
Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti
10

NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun
efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik
opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam
pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga
menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis
tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal
yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada
kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya.
Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan
penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam
meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.

3. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated
sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3)
menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja
pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium,
sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat
menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar
1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan
memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja
menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin,
pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari
voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan
neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada
primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai
efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati
diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis.
Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika.

Obat

golongan

ini

mempunyai

mekanisme

memblok

reuptake

(pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri
melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa
uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami
11

pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan


reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic
antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini
akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake
inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya
mungkin

dikarenakan

TCA menghambat

reuptake

baik

serotonin

maupun

norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping


TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok
konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat
badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti
depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah
amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.
5. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated
sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls
ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi
sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang
berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam
mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan
lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik
selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama
bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai
saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika.
Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan
dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai
efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada
uji klinik ini).
b. Terapi non farmakologis (Alvin, 2012):
1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat
beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska

12

herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus


tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit
pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun
dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada orang
lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan
ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian
diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.

2.8 PENCEGAHAN
Pencegahan terjadinya NPH merupakan masalah penting yang perlu diperhatikan
saat pasien tengah menderita HZ. Penanganan HZ yang adekuat dengan terapi antivirus
maupun analgesik dapat memberikan keuntungan dalam mencegah NPH sehingga
pengenalan gejala HZ secara dini merupakan hal yang sangat penting. Strategi dalam
pengelolaan pencegahan terhadap NPH meliputi pemberian obat antivirus, pengendalian
nyeri secara adekuat terhadap neuralgia herpetika akut dan vaksinasi (Philip & Thakur,
2011; Young, 2006).
2.8.1. Obat antivirus
Pemberian obat antivirus dalam 72 jam setelah awitan HZ akut dapat menurunkan
intensitas dan durasi NPH. Hal ini disebabkan karena pemberian antivirus pada awal terapi
dapat menurunkan kerusakan saraf akibat infeksi HZ. Namun bukti terkini menunjukkan
pasien akan tetap mendapatkan keuntungan dari obat antivirus walaupun terapi diberikan
terlambat lebih dari 3 hari.
Preparat

asiklovir,

famsiklovir

dan

valasiklovir

telah

terbukti

mempercepat

penyembuhan NPH. Asiklovir oral terbukti meningkatkan laju perbaikan nyeri NPH sebesar
81% pada pasien dibandingkan dengan plasebo.10 Dosis asiklovir yang direkomendasikan
untuk HZ pada pasien imunokompeten dengan fungsi ginjal yang normal adalah 800mg
setiap 4 jam per hari selama 7-10 hari.
Famsiklovir 3x 500mg per hari selama 7 hari efektif dan dapat ditoleransi dengan
baik pada HZ akut. Sebuah penelitian randomized, double-blind, placebo controlled pada
dua dosis famsiklovir (500mg atau 750mg tiga kali sehari) menunjukkan nyeri berkurang
secara bermakna pada bulan ke 5 dan resolusi NPH yang lebih cepat dengan reduksi
median 2 bulan.1 Pada sebuah penelitian multisentra, valasiklovir dengan dosis 1000mg
setiap 8 jam selama 7 sampai 14 hari dibandingkan dengan asiklovir

dengan dosis

5x800mg per hari selama 7 hari menunjukkan valasiklovir mengurangi nyeri yang berkaitan
13

dengan HZ secara bermakna, memperpendek durasi NPH dan menurunkan proporsi pasien
yang mengalami nyeri pada bulan ke 6. Tidak ada perbedaan bila pasien melanjutkan
terapinya sampai 14 hari.
Pada penelitian randomized-controlled trial yang membandingkan pemberian
valasiklovir (1000mg tiga kali sehari) dan famsiklovir (500mg tiga kali sehari) selama 7 hari
untuk terapi HZ pada pasien berusia 50 tahun menunjukkan efikasi yang sama antara
valasiklovir dan famsiklovir dalam meningkatkan resolusi nyeri yang berkaitan dengan zoster
dan NPH.
Dalam pemberian obat antivirus ini, hal yang perlu diperhatikan adalah fungsi ginjal.
Penyesuaian dosis diperlukan untuk pasien geriatrik atau bagi yang mempunyai gangguan
ginjal.12 Valasiklovir dan famsiklovir memiliki kelebihan dibandingkan asiklovir karena jadwal
pemberian yang lebih singkat, walaupun ketiganya sama efektifnya dalam mengobati nyeri
yang berkaitan dengan HZ dan dapat mengurangi beban penyakit akibat NPH.
Penelitian

menunjukkan

pemberian

asiklovir

intravena

pada

pasien

imunokompromais yang menderita HZ dapat menghambat progresifitas penyakit, baik pada


pasien dengan lesi yang terlokalisir maupun yang diseminata. Nyeri yang berkurang dengan
cepat dan lebih sedikit laporan kejadian NPH setelah pemberian asiklovir pada pasien
imunokompromais. Dosis asiklovir pada pasien dengan imunokompromais berat adalah
10mg/kgBB IV setiap 8 jam selama 7-10 hari sedangkan pada pasien HZ dengan
imunokompromais yang ringan dan lesi terlokalisir cukup dengan pemberian asiklovir,
famsiklovir dan valasiklovir per oral dengan dosis yang sama dengan pada pasien
imunokompeten (Christo, Hobelmann & Maine, 2007; Straus, Oxman & Schmader, 2008;
Gharibo, 2011).
2.8.2. Pengendalian Nyeri Akut
2.8.2.1 Analgetik
Semakin berat nyeri HZ akut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NPH, dan
nyeri akut berperan dalam sensitisasi sentral yang akan berlanjut menjadi nyeri kronik.
Belum ada bukti yang kuat terhadap penggunaan antidepresan trisiklik, antikonvulsan, dan
analgetik opioid dalam mengatasi nyeri pada fase akut HZ namun demikian, pemberian
terapi ini tetap dianjurkan. Bila dengan terapi diatas masih inadekuat dalam mengontrol
nyeri akut, maka perlu dipertimbangkan anestesi blok saraf lokal atau regional (Straus,
Oxman, & Schmader, 2008; Philip & Thakur, 2011, Young, 2006) .
Amitriptilin (golongan antidepresan trisiklik) adalah satu-satunya obat yang
menunjukkan sedikit efek yang menguntungkan dalam pencegahan NPH. Pada sebuah
penelitian randomized double-blind controlled pada 72 pasien HZ berusia diatas 60 tahun
yang diberikan amitriptilin 25mg setiap hari bersama dengan obat antivirus atau bersama
dengan plasebo dalam 48 jam pertama sejak awitan erupsi. Outcome utama yang dinilai
14

adalah prevalensi nyeri pada bulan ke 6 dimana terjadi pengurangan nyeri pada setengah
dari pasien pada kelompok terapi (Philip & Thakur, 2011, Young, 2006).
2.8.2.2. Kortikosteroid
Adanya kemungkinan bahwa NPH disebabkan oleh inflamasi pada ganglion sensorik
dan struktur neuron yang dapat menular menjadi alasan penggunaan kortikosteroid selama
fase akut HZ guna mengurangi nyeri akut dan mencegah NPH. Namun, pemberian
kortikosteroid ini menunjukkan hasil yang kontroversial. Pemberian kortikosteroid dalam
jangka pendek dapat mengurangi intensitas nyeri yang berkaitan dengan HZ namun tetap
perlu diperhatikan risiko adanya efek samping kortikosteroid ini, terutama pada pasien
geriatrik. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pemberian kortikosteroid
bersama dengan obat antivirus tidak memberikan keuntungan yang lebih besar daripada
hanya pemberian obat antivirus saja dalam pencegahan NPH (Straus, Oxman, & Schmader,
2008; Young, 2006).
2.8.3. Vaksinasi
Vaksin untuk VVZ (Varivax) yang saat ini diberikan secara rutin pada anak-anak,
diharapkan dapat menurunkan insidensi varisela dan timbulnya HZ pada usia yang lebih
awal. Seperti halnya imunitas yang didapat dari infeksi VVZ primer, imunitas dari vaksin ini
juga akan menurun seiring dengan proses penuaan, namun demikian pengalaman sampai
saat ini menunjukkan HZ terjadi lebih sedikit pada yang mendapatkan vaksin
VVZ(Varivax). Penelitian prospektif terhadap individu yang menerima vaksinasi VVZ ketika
masa anak-anak masih diperlukan untuk mengetahui berkurangnya insidensi HZ dan NPH
ketika dewasa. Penelitian randomized, double-blind, placebo-controlled pada 38546 orang
berusia >60 tahun yang menerima perlakuan berupa vaksin Oka live-attenuated
(Zostavax) atau plasebo menunjukkan penggunaan vaksin ini berkaitan dengan
berkurangnya insidens HZ sebesar >50%, insidens NPH menurun sebesar 66% dan
menurunkan beban penyakit akibat HZ sebesar 61%. Vaksin ini memang tidak untuk
mengeliminasi penyakit atau menngobati NPH yang aktif.1 Reaksi simpang berupa eritema,
nyeri, pembengkakan, hematoma, pruritus, panas, reaksi lokal (inflamasi pada tempat
injeksi) (Christo, Hobelmann & Maine, 2007).
2.9 PROGNOSIS
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat. Pada
pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-obatan
analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri yang
dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan (Alvin,
2012).
15

Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak
dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik
seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama
dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan untuk
mencari terapi yang sesuai (Alvin, 2012).
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan
perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa (Alvin, 2012).
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya
tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil (Alvin, 2012).

BAB 3
KESIMPULAN
Neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam
Herpes Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut
saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari herpes Zoster. Neuralgia pasca herpetika
umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan setelah onset (gejala
awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar (burning)
atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching). Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala
yang lebih berat lagi seperti disestesia, parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia.
Neuralgia pasca herpetika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan
kekebalan tubuh yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke
atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami
reaktivasi.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi
yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri
berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan
penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan
penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada
umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical


Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier. p654-674.
2. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A. 2012.
3. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic
Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.
4. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The Internet
Journal of Orthopedic Surgery
5. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416-419.
6. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New York:
Pain Medicine News. p84-91.
7. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The
Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629.
8. Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. Post-herpetic neuralgia in older adults. Drugs
Aging 2007;24(1):1-19
9. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ penyunting. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. 7nded. New York: Mc Graw-Hill;2008. hlm.1885-98
10. Philip A, Thakur R. Post herpetic neuralgia. J Pall Med 2011;14(6):765-73.
17

11. Young L. Post-herpetic neuralgia: a review of advances in treatment and prevention. J


Drugs Dermatol 2006 Nov-Dec;5(10):938-41.
12. Penatalaksanaan Herpes Zoster di Indonesia. Dalam: Lumintang H, Nilasari H, Indriatmi
W, Zubier F, Daili SF penyunting. Penatalaksanaan infeksi herpes virus humanus di
Indonesia 2011. Surabaya: Airlangga University Press;2011.hlm.1-13
13. Weaver DA. The burden of herpes zoster and postherpetic neuralgia in the United
States. J Am Osteopath Assoc 2007;107(supll 1):S2-S7
14. Catatan Rekam Medik Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang. Tahun
2006-2010. [belum dipublikasikan]

18

Anda mungkin juga menyukai