Anda di halaman 1dari 3

Reyog, Islam Nusantara, dan Lahirnya Islam ABC

oleh Dawam Multazam


Masih tentang #IslamNusantara. Kali ini tentang sangkaan bahwa ia hendak
mengkotak-kotakkan Islam menjadi berbagai jenis. Logika umum yang biasa
digunakan terkait isu ini berangkat dari kekhawatiran kalau ada Islam Nusantara,
berarti (bisa) ada pula Islam Melayu, Islam Arab, Islam Portugal, dan sebagainya.
Sebelum menawarkan argumentasi untuk meluruskan kekhawatiran tersebut,
penulis tertarik untuk sedikit bergeser pada hal lain: Reyog. Perlu disepakati bahwa
(agama) Islam dan (budaya) Nusantara merupakan sistem nilai, baik yang berperan
dari/untuk wilayah keimanan dan peribadatan pada Tuhan Yang Maha Esa maupun
yang berangkat dari/untuk akal budi manusia dan menjadi pedoman tingkah laku
dalam kehidupan sehari-hari (KBBI). Dengan demikian, meskipun terejawantah pula
dalam tindakan manusiawi yang praksis dan konkret, Islam dan Nusantara
merupakan istilah yang abstrak dan tak terbatas (indefinite).
Hal ini berbeda dengan Reyog, salah satu kesenian tradisional yang berasal dari
Ponorogo Jawa Timur. Meskipun lahir dari sesuatu yang abstrak (kebudayaan Jawa),
Reyog tetap merupakan sesuatu yang lebih konkret karena jelas istilahnya dan
kasat mata tampilannya. Jika Anda berkesempatan menyaksikan pementasan
kesenian ini, percayalah, penari jathil-nya yang cantik akan membuat segalanya
makin jelas.
Keragaman adalah Fakta
Di tanah kelahirannya, Ponorogo, kesenian Reyog ini biasanya berkisah tentang
pertarungan pasukan Raja Ponorogo Kuno, Prabu Kelana Sewandhana, melawan
Prabu Singabarong dari Kerajaan Kediri Kuno. Pada umumnya dengan dimainkan
oleh seorang tokoh sentral penari dadak merak - topeng besar berukuran hingga 2,5
meter dan berbobot hingga 50 kilogram, sebagai pemeran Prabu Singabarong,
seorang pemeran Prabu Kelana Sewandhana, beberapa pemeran warok, beberapa
penari jathil, dan beberapa peran pendukung lainnya.
Pada zaman dahulu, dengan batasan waktu hingga tahun 1980-an, penari jathil
dalam Reyog diperankan oleh remaja laki-laki yang berparas manis. Selain berperan
sebagai penari jathil dalam Tari Reyog, dalam kesehariannya remaja-remaja
rupawan ini menjadi gemblak yang diasuh oleh warok pemeran warok dalam Tari
Reyog yang juga berperan sebagai warok (tokoh masyarakat) dalam kehidupan
sehari-hari. Mengenai hubungan antara jathil-gemblak dengan warok ini, kajian
yang dilakukan Setya Yuwana (Pascasarjana FISIP UI, 1994) dapat memberikan
penjelasan yang cukup. Setelah tahun 1980-an, peran penari jathil ini digantikan
oleh remaja perempuan. Pergeseran pemeran ini, tampaknya terkait juga dengan
keberadaan gemblak dan warok yang semakin surut hingga akhirnya musnah. Dan
akhirnya hingga kini, keberadaan penari jathil yang berlatarbelakang gemblak

benar-benar telah digantikan oleh remaja perempuan yang tentunya tak kalah
bahkan lebih rupawan. Menurut hemat penulis, hal ini sedikit banyak menunjukkan
sisi kontekstualitas Reyog. Ia pekajaman, up-to-date, dan ini adalah fakta.
Kita bergeser ke negeri jiran Malaysia. Arik Dwijayanto (Universiti Malaya, 2014),
dalam kajiannya, menghadirkan fakta bahwa terdapat komunitas keturunan
Ponorogo Jawa Timur yang telah puluhan tahun hidup di dan menjadi warga negara
Malaysia. Di sana, masyarakat diaspora Ponorogo tersebut masih mempraktekkan
beberapa produk budaya dari tanah leluhurnya, Ponorogo, seperti bahasa Jawa dan
kesenian Reyog sebagaimana penulis ulas di atas.
Keberadaan Reyog di negeri tetangga ini memang sempat membuat hubungan
politik kedua negara menghangat beberapa tahun silam. Dakwaan sebagian publik
Indonesia berbunyi Malaysia mencuri kesenian asli Indonesia, Reyog Ponorogo,
kemudian diklaim sebagai asli Malaysia dan diberi nama Tari Barongan. Kajian yang
dilakukan Arik Dwijayanto dapat memberikan penjelasan yang relevan mengenai
polemik tersebut.
Berbeda dengan Reyog di Ponorogo yang memakai pakem cerita kolosal Kelana
Sewandana melamar putri Raja Kediri, Reyog di Malaysia mengalami islamisasi.
Untuk menarik minat masyarakat dari luar komunitas diaspora Ponorogo,
pemerintah Malaysia menggubah tari Reyog atau Barongan itu dengan pengisahan
yang menggambarkan Nabi Sulaiman as. yang bisa berkomunikasi dengan
binatang. Sebagai catatan, kebijakan pemerintah Malaysia mengenai gubahan
cerita ini sebenarnya kurang disetujui oleh sebagian pelaku seni Reyog, yang
notabene lebih terkait dengan kesenian ini, karena dianggap merubah pakem
sejarah. Selain itu, pergeseran penari jathil yang awalnya remaja laki-laki menjadi
remaja perempuan sebagaimana di Ponorogo juga berlaku di Malaysia. Selain itu,
hampir seluruh penari jathil di Malaysia mengenakan jilbab dan pakaian tertutup,
sebagaimana lazimnya muslimah Malaysia pada umumnya. Tetap lincah dalam
melenggak-lenggok di atas kuda bambunya dengan tetap mempertahankan
kecantikannya yang berbalut jilbab. Indah sekali.
Meskipun mengalami beberapa adaptasi yang menyesuaikan budaya islami di
tanahnya menjejakkan kaki, dan meskipun pemerintah Malaysia menyebutnya
Barongan, bahkan menggubah kisah yang berbeda, Reyog di Malaysia tetaplah
Reyog. Meskipun penari jathil itu mengenakan jilbab, mereka tetaplah penari jathil
dalam seni Tari Reyog. Lain tidak. Prinsip yang dapat digunakan untuk menilai
perbedaan (baca: penyesuaian) antara Reyog di Malaysia dan Indonesia ini adalah
sikap al-muhafadhah ala-l-qadim as-shalih wa-l-akhdz bi-l-jadid al-ashlah:
mempertahankan seni tari Reyog warisan leluhur dan mengambil sistem nilai islami
yang diperoleh di Tanah Melayu.
Walhasil, keberadaan Reyog di Ponorogo, di Malaysia, dan di tempat lainnya seperti
Suriname - yang juga memiliki banyak diaspora Jawa, yang beragam merupakan

fakta tak terpungkiri dan menunjukkan keragaman variasi pelakunya dalam


menjalankan seni Tari Reyog.
Islam ABC
Sebagaimana Reyog yang diamalkan secara unik di Malaysia, demikian juga Islam
Nusantara. Hadir dengan seperangkat sistem nilai dari pabriknya, Makkah alMukarromah, di bumi Nusantara Islam dapat berkembang pesat dengan strategi
dakwah yang jitu. Walisongo, misalnya, dapat dengan apik menggubah kisah-kisah
tradisional yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Nusantara, menjadi
bernafaskan islam. Demikian juga perubahan pemeran jathil yang menunjukkan sisi
kontekstualitas Reyog, dapat pula disepadankan dengan penghargaan Islam
terhadap posisi laki-laki dan perempuan yang semakin berkembang. Pada akhirnya,
prinsip al-muhafadhah dan al-akhdz sekali lagi menemukan contoh aplikasinya di
sini.
Kemudian, terkait dengan kekhawatiran lahirnya varian Islam yang
beranekaragam akibat adanya Islam Nusantara, penulis berpijak pada pandangan
bahwa sejatinya keragaman adalah fakta. Bahkan lebih dari itu, keragaman
merupakan fitrah yang membawa rahmah dan berkah. Variasi Islam yang beragam
sudah merupakan fakta yang dapat ditemui dengan mudah hari ini. Mereka tidaklah
lahir ataupun dilahirkan secara seremonial, sebagaimana juga Islam Nusantara.
Variasi yang beragam tersebut tumbuh dengan sendirinya di tempat-tempat yang
mempertemukan Islam dengan khalayak, menjadi sebuah model (pemahaman,
pengalaman, dan pengamalan) keislaman. Di sinilah peran strategis NU (dan
pengkaji kajian Islam Nusantara yang lain) dalam melahirkan dan
mengkampanyekan Islam Nusantara sebagai model keislaman yang dianggap
memiliki keistimewaan.
Sebagai sebuah model keislaman, tentunya Islam Nusantara tidaklah sendirian. Ia
menjadi kolega, dan bahkan dapat pula sebagai kompetitor, bagi model keislaman
yang berangkat dari tradisi dan kearifan lokal lain. Terhadap hal ini, Zastrouw alNgatawi (2015), menyatakan bahwa sebenarnya Islam Nusantara tidak terbatasi
oleh batasan-batasan geografis, karena ia dapat menjadi semacam school of
thought dalam aspek apapun. Oleh karena itu, jika nantinya Islam Nusantara
memancing lahirnya kampanye model keislaman yang lain, seperti Islam Arab,
Islam Amerika, Islam Tiongkok, atau Islam Sontoloyo seperti umpatan Bung Karno,
bahkan Islam Erdogan ataupun Islam Pokemon, tidaklah menjadi persoalan
sepanjang ia tetap di dalam pakem: sistem nilai Islam sesuai ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah Muhammad SAW. Wallahu alam.
Penulis adalah alumni PPM Islam Nusantara STAINU Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai