dengan Terminal 3 Bandara Changi yang hanya mampu menampung 22 juta penumpang
per tahun.
Ketiga, terminal ini juga akan dilengkapi dengan garbarata ganda. Garbarata ini khusus untuk
melayani pesawat superjumbo seperti Airbus A380. Mudah-mudahan kelak bandara kita bisa
didarati pesawat-pesawat yang berukuran besar tersebut. Keempat, konsep art and culture.
Bandara ini kelak dilengkapi beberapa ornamen dari berbagai daerah di Indonesia. Ini akan
membuat terminal bisa menjadi tempat santai bagi para pengunjung dan sekaligus pameran
yang bisa dinikmati para penumpang.
Kelima, teknologi, ini yang membuat terminal ini menjadi terkesan sangat modern dan ramah
lingkungan. Misalnya, penerangannya memakai lampu LED dan banyak mengandalkan
cahaya dari luar. Lalu, jalan-jalan seputar terminal banyak memakai lampu dari sel surya.
Jangan lupa juga, CCTVnya bisa langsung mendeteksi wajah-wajah yang masuk dalam daftar
DPO. Begitu juga dengan penanganan bagasi yang mengadopsi teknologi baggage handling
system (BHS) seperti di Bandara Kualanamu, Medan. Jadi, setiap bagasi yang masuk
dipasangi barcode sesuai dengan tujuan penumpang. Ini untuk memperkecil kemungkinan
bagasi yang tertukar atau salah alamat.
Film The Terminal
All human life can be found in an airport, begitu tulis David Walliams, penulis, komedian,
dan presenter ternama Inggris (Anda mungkin sering melihat wajahnya di acara reality show
Britains Got Talent). Selain itu di terminal juga ada paradoks. Kita akan sering menemukan
tangis dan sekaligus tawa di sana. Bandara itu adalah tempat untuk meet and greet.
Ada tangis dari seorang gadis yang bakal ditinggal kekasihnya bepergian ke luar negeri untuk
waktu lama. Berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Ada tawa (juga tangis haru) dari
seorang ibu yang menjemput kedatangan anaknya setelah bertahun-tahun terpisah oleh jarak
ribuan kilometer.
Bicara soal ini, tiba-tiba saya teringat dengan film The Terminal (2004) yang dibintangi aktor
favorit saya Tom Hanks dan artis jelita Catherine Zeta- Jones. Saya cuplikkan sedikit inti
ceritanya. Film ini berkisah tentang Viktor Navorsky (Tom Hanks), warga negara Krakozhia
(negara fiktif di Eropa Timur) yang lugu dan polos. Ia berkunjung ke Amerika Serikat (AS)
untuk menepati janjinya kepada sang ayah.
Ayah Viktor, seorang musisi jazz, meminta Viktor untuk mendapatkan tanda tangan dari
musisi favoritnya yang asal AS. Maka pergilah Viktor ke Negeri Paman Sam itu. Viktor
mendarat di Bandara Internasional JFK, New York, AS, dengan menenteng koper dan kaleng
di tangan sehingga memicu kecurigaan petugas bandara. Apalagi Viktor sengaja
merahasiakan isi kalengnya.
Celakanya lagi, pihak imigrasi menolak kehadirannya. Paspor Viktor dianggap tidak berlaku
karena terjadi kudeta di negaranya. Pemerintah lama tumbang, diganti pemerintahan baru
yang belum diakui pihak AS. Akibatnya paspor Viktor dianggap tidak berlaku. Ia tidak bisa
masuk ke AS.
Maka jadilah Viktor terdampar di bandara. Bagaimana ia bertahan hidup? Itulah yang
menjadi inti cerita film ini. Jenaka, tetapi juga kaya dengan satire tentang manusia. Perilaku
para petugas bandara dan orang-orang yang ada di sana terhadap Viktor barangkali menjadi
cerminan dari perilaku kita pula.
Saya tak ingin berpanjang lebar soal bagaimana Viktor menjalani hidup di terminal itu.
Maklum, kudeta di negaranya baru selesai sembilan bulan kemudian. Eksistensi negara itu
diakui kembali oleh Pemerintah AS. Paspor Viktor pun akhirnya berlaku kembali dan ia
masuk ke AS untuk mendapatkan tanda tangan dari musisi favorit ayahnya. BKO,
Bukan Koordinasi
Kisah tentang Viktor tadi mungkin tak terjadi di negara kita. Meski begitu kisah tadi
memberikan gambaran tentang betapa kompleksnya mengelola bandara dan terminalterminalnya. Ini juga terjadi di negeri ini. Anda harap maklumlah, dulu yang kuat itu bukan
sistemnya, tapi mantan-mantan pejabatnya yang masing-masing punya bisnis dan operator di
lapangan.
Ada yang bisnis kargo, parkir, gudang, angkutan, restoran sampai vendor-vendor dan jasajasa
preman lainnya. Pokoknya rumitlah. Jadi sudah pasti kehadiran Terminal 3 Ultimate ini
sebuah program perubahan besar. Bukan sekadar fisik. Ini soal transformasi sistem, manusia,
dan mental bangsa. Mental berbangsa dan berwirausaha. Juga mental kita dalam
penyelamatan aset dan pendapatan negara yang legal.
Jadi kita perlu menerapkan tata kelola yang baru. Apalagi mayoritas petugas dari berbagai
instansi yang ada di bandara berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Anda tahu, belum semua
memiliki mindset melayani. Padahal, hampir semua urusan di bandara adalah soal safety dan
pelayanan.
Dan pelayanan bukanlah melulu soal teknologi, ini soal mental manusia dan sistem. Maka ini
PR berat kita semua. Saya percaya kita mampu kalau kita berani melakukan perubahan. Anda
tahu, wajah bandara adalah wajah negeri ini.
Meski bandaranya megah dan rapi, kalau pelayanan para petugasnya, koordinasi, dan
support-nya jelek, itu menggambarkan ada yang salah urus di negeri ini. Kita tentu tak mau
orang luar mengecap kita sebagai negeri yang tidak becus mengelola, bukan?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan