Anda di halaman 1dari 8

Hutan Evergreen

Evergreen forest merupakan hutan hijau sepanjang tahun. Hutan evergreen


merupakan salah satu diantara enam tipe ekosistem di kawasan hutan TN Baluran.
Hutan hujan tropis pada umumnya didominasi atau dipengaruhi oleh iklim, cuaca
dan curah hujan, dan itu semua didapati pada daerah katulistiwa. Namun, lain
halnya dengan Hutan Ever Green di daerah Baluran, karena pada hutan ini yang
mengakibatkan hijaunya adalah adanya lapisan air tanah yang mengalir dari Mata
air Gunung Baluran ditambah tekstur tanah berupa point mikro yang menahan air
supaya tidak terserap masuk kedalam tanah. Sehingga kondisi tanah selalu basah
dan lembab. Aliran air tanah ini tidak meresap langsung ke bawah. Vegetasi yang
ada di evergreen ini berupa keluarga palmae dan tanaman - tanaman rindang yang
membuat sinar matahari sulit untuk bisa masuk ke hutan yang menjadikan hutan
ini lebih sejuk dan gelap dibanding hutan - hutan lainnya ( Anonim,2007)
Pengamatan yang dilakukan di hutan evergreen yakni faktor biotik dan
abiotik. Faktor biotik yang diamati meliputi tumbuhan pohon, semak dan herba
serta hewan yang dilihat dari habitatnya yaitu epifauna dan infauna. Pada
tumbuhan dihitung indeks keanekaragaman, densitas, dominansi dan frekuensinya,
sedangkan pada hewan dihitung densitas absolut dan indeks dominansi.
Pohon dilakukan pengamatan dalam plot ukuran 10 x 10 m, dalam plot
tersebut hanya ditemukan 1 jenis pohon yaitu spesies Grewia erlocarpa dengan
jumlah 3 pohon, sehingga INP yang didapatkan berjumlah 300 % dan dapat
diketahui bahwa hanya spesies Grewia erlocarpa yang mendominasi di plot
tersebut. Nilai keanekaragaman jenis pohon pada plot ini dapat dikatakan rendah,
karena nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) = 0
Keanekaragaman suatu komunitas dikatan rendah, miskin, produktivitas sangat
rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil
apabila nilai indeks keanekaragaman (H)<.1.0. Apabila nilai H bernilai
1.0<H>3.3222 maka keanekaragamannya sedang, produktivitas cukup, kondisi
ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang. Jika nilai indeks
keanekaragaman (H)nya bernilai H>3.3222, maka keanekaragamannya tinggi,
stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, dan tahan terhadap tekanan
ekologis (Magurran, 1988).
Selanjutnya yaitu pengamatan pada tumbuhan semak dalam plot ukuran 5 x
5 m, hanya ditemukan 1 jenis semak yaitu spesies Barleria prionitis dengan
jumlah spesies hanya 1 yang dapat ditemukan sehingga nilai INP 200 %. Nilai
indeks keanekaragaman jenis semak dalam plot ini dapat dikatakan rendah karena
jumlah Nilai indeks keanekaragaman jenis (H) bernilai 0. Pada pengamatan
tumbuhan herba dilakukan pengamatan dalam plot dengan ukuran 1 x 1 m. jenis
tumbuhan yang ditemukan hanya satu yaitu spesies Hoplismenus compositus.

Sehingga nilai INP berjumlah 200 % dan indeks keanekaragaman jenis herba pada
plot rendah dengan nilai H= 0.

Pohon
Semak
Herba
Gambar : jenis tumbuhan yang ditemukan dihutan evergreen.
Pengamatan pada hewan infauna maupun epifauna dilakukan dengan teknik
direct searching. Darihasil pengamatan ditemukan 4 jenis hewan epifauna yaitu
ulat, semut hitam, serangga, dan laba-laba. Spesies yang paling mendominasi
adalah semut hitam dengan jumlah indeks dominansi paling tinggi yaitu 0,31.
Sedangkan pada hewan infauna ditemukan 2 jenis spesies yaitu semut hitam dan
serangga dimana keduanya sama-sama mendominasi karna jumlah indeks
dominansinya sama yaitu 1.
A. Faktor Abiotik
Faktor abiotik merupakan komponen penyusun ekosistem yang terdiri
dari benda benda tak hidup. Secara terperinci, komponen abiotik merupakan
keadaan fisik dan kimia di sekitar organisme yang menjadi medium dan
substrat untuk menunjang

berlangsungnya kehidupan organisme tersebut.

Faktor abiotik itu meliputi : Suhu, Sinar matahari, pH, kelembapan udara, dan
Angin (Cambell, 2009, Syamsuri, 2004 ).
a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat
yang diperlukan organisme untuk hidup. Makhluk hidup memiliki suhu
optimum tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Karena reaksi kimia
dalam tubuh organisme dipengaruhi oleh kuantitas suhu lingkungan.
Sempitnya sebaran suhu yang memungkinkan proses biokimia dapat
berlangsung secara efisien, menunjukkan bahwa organisme di manapun
mereka hidup, berkepentingan untuk melawan atau menghindari suhu
lingkungan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah (Campbell, 2009).

Suhu dapat diukur dengan menggunakan alat THM (Temperature


Humidity Meter) yang dapat mengukur suhu dan kelembaban secara
langsung. Pada pengamatn kali ini pengukuran suhu dilakukan 3 kali
pengulangan dengan jarak yang berbeda, yaitu 1 meter diatas permukaan
tanah, di permukaan tanah serta 10 cm dibawah permukaan tanah dengan
rata-rata pada masing-masing jarak adalah 33,16 , 33,13 dan 32,9. Dari
hasil tersebut dapat diketahui bahwa suhu di daerah hutan evergreen panas.
Hal ini dikarenakan penyinaran matahari yang terjadi secara terus menerus,
sehingga menyebabkan daerah tersebut panas.
b. Sinar matahari (cahaya)
Sinar matahari merupakan komponen abiotik utama yang berguna
sebagai sumber energi primer bagi kehidupan. Terutama bagi tumbuhan
dan makhluk hidup autotrof lainnya, untuk berfotosintesis. Tidak semua
spektrum sinar matahari berguna untuk fotosintesis (hanya merah, nila, dan
biru). Penyebaran sinar di permukaan bumi juga tidak merata. Penyusupan
sinar ke dalam air juga terbatas. Oleh karena itu setiap organisme
mempunyai cara untuk beradaptasi terhadap unsur sinar ini. Faktor sinar
juga berkaitan dengan faktor suhu (Campbell, 2004). Pengukuran cahaya
dilakukan dengan mengukur berapa persen lingkaran yang mendapat
penyinaran matahari secara langsung, pengukuran ini dilakukan di 3 tempat
yang berbeda dimana nilai rata-rata persen lingkaran yang mendapat sinar
matahari langsung adalah 46,6%. Hal ini menunjukkan bahwa cahaya
matahari yang dapat masuk hingga ke dalam hutan lumayan baik.
c. Kelembapan Udara
Udara sangat penting bagi kehidupan organisme, sebagaimana
manusia membutuhkan udara untuk bernafas. Kondisi udara pada suatu
tempat dapat dipengaruhi oleh kelembapan. Kelembapan merupakan kadar
air yang terdapat di udara yang dapat mempengaruhi kecepatan penguapan
dan kemampuan bertahan hewan terhadap kekeringan (Wirakusumah,
2003).
Pengukuran kelembapan udara dilakukan dengan menggunakan THM
(Temperature Humidity Meter) cara pengukuran dilakukan seperti pada
pengukuran suhu yaitu 1m diatas permukaan tanah, dipermukaan tanah dan
10 cm dibawah tanah dan didapatkan nilai rata-rata setiap jarak pengukuran
yaitu 52,46 , 55,26 dan 57. Dari hasil pengamatan tersebut dapat diketahui
bahwa tingkat kelembapan udara di daerah hutan evergreen cukup lembab.

Hal ini dikarenakan banyaknya tumbuhan yan tinggi serta berwarna hijau
mampu memberikan cukup oksigen serta menghalangi cahaya matahari
masuk hingga kedasar hutan karna dapat diketahui bahwa apabila sinar
matahari dapat menyinari dasar hutan dengan suhu yang panas, maka
tingkat kelembapannya juga dapat terpengaruh.
d. pH tanah
pH tanah menunjukkan derajat keasaman tanah atau keseimbangan
antara konsentrasi H+ dan OH- dalam larutan tanah.. PH tanah yang optimal
bagi pertumbuhan kebanyakan adalah antara 5.8-6.8 (asam sedang sampai
netral) (Rafii, 1994). Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H + di dalam tanah,
semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain ion H+ dan ion-ion
lain terdapat juga ion hidroksida (OH-), yang jumlahnya berbanding
terbalik dengan banyaknya ion H. Jika ion H+ dan ion OH- sama banyak di
dalam tanah atau seimbang, maka tanah bereaksi netral. Pada tanah pH
lebih rendah dari 5.8 pada umumnya pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting seperti fosfor
dan nitrogen. Bila tanah bersuasana basa (pH>7.0) biasanya tanah tersebut
kandungan kalsiumnya tinggi, sehingga terjadi fiksasi terhadap fosfat
(Foth, 1994). Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunaka soil
tester, dan dilakukan di tiga tempat berbeda. Hasil yang didapatkan yaitu
nilai pH tanah setelah di rata-rata adalah 3,98 hal ini dapat menunjukkan
bahwa kondisi tanah dalam keadaan asam.
e. Kecepatan angin.
Angin mempengaruhi transpirasi dengan bergeraknya uap air di sekitar
tanaman, sehingga memberikan kesempatan terjadinya penguapan lebih
lanjut. Situasi ini merupakan tekanan yang kuat bagi keseimbangan air,
meskipun jumlah air dalam tanah cukup banyak. Pertumbuhan vertikal
akan

terbatas

sesuai

dengan

kemampuan

mengisap

dan

mentransformasikan air ke atas untuk mengimbangi transpirasi yang cepat,


hasilnya mungkin akan membentuk tanaman yang kerdil (Cambell, 2009).
Pengamatan yang dilakukan untuk mengukur kecepatan angin adalah
dengan menjatuhkan kapas dari jarak 1 m diatas permukaan tanah,
pengukuran ini dilakukan tiga kali pengulangan. Hasil yang didapatkan
bahwa kecepatan angin di daerah hutan evergreen sekitar 0,146 m/s, 0,173
m/s, 0,253 m/s dengan rata-rata 0,198 m/s. dari hasil tersebut dapat

diketahui bahwa kecepatan angin di daerah hutan evergreen rendah, hal ini
dikarenakan perbedaan suhu tidak terlalu jauh, sehingga pergerakan udara
tidak terlalu tampak.
Aliran Energi dan Siklus Materi.
1. Aliran energi
Energi utama bagi semua makhluk hidup berasal dari matahari. Selanjutnya
cahaya matahari dimanfaatkan oleh organisme autotrof khususnya tumbuhan
untuk proses fotosintesis. Karena tumbuhan berperan sebagai produsen, maka
hasil dari proses fotositesisnya glukosa, oksigen, dan ATP. Glukosa ini disimpan
sebagai cadangan makanan di seluruh bagian tumbuhan yang kemudian akan
dimanfaatkan oleh organisme heterotrof yaitu konsumen tingkat 1 kemudian
konsumen tingkat satu akan dimakan oleh karnivora sebagai komsumen tingkat
2. Organisme yang telah mati akan di uraikan kembali oleh decomposer yang
akan menghasilkan bahan-bahan anorganik dan akan di manfaatkan kembali
oleh tumbuhan untuk proses pertumbuhannya (Umar, 2013).
Energi dapat digunakan dengan efisien atau tidak, salah satunya
tergantung pada kualitas gizi yang dikonsumsi karena konsumen dapat
mengkonversi sumber makanan berkualitas tinggi ke jaringan hidup baru yang
lebih efisien daripada sumber makanan berkualitas rendah. Rendahnya
transfer energi antara tingkat trofik membuat pengurai umumnya lebih penting
daripada produsen dalam hal aliran energi. Dekomposer memproses sejumlah
besar bahan organik dan mengembalikan nutrisi ke ekosistem dalam bentuk
anorganik, yang kemudian diambil lagi oleh produsen primer.

TUMBUHAN

DEKOMPOSER
(pohon, semak dan

herba

Semut

ulat

Laba-laba

Serangga

Dekomposer

Dari gambar diatas dapat diketahui

aliran energi di hutan evergreen

bahwasannya tumbuhan baik itu semak dan herba sebagai produsen di makan
oleh semut dan ulat sebagai konsumen ingkat 1. Kemudian semut dan ulat
dimakan oleh laba-laba dan serangga sebagai konsumen tingkat 2, dan labalaba nantinya akan diuraikan oleh dekomposer seperti cacing.

2. Siklus materi
Perputaran materi yang terjadi diantara komponen ekosistem biasa
disebut dengan siklus materi. Materi tersebut berupa unsur-unsur terdapat
dalam senyawa kimia yang merupakan penyusun dasar makhluk hidup dan tak
hidup. Meskipun pada dasarnya ekosistem menerima masukan energi matahari
yang tidak akan habis, unsur kimia juga memegang peran penting dalam
ekosistem. Bahkan ketika suatu individu organisme masih hidup, banyak
persediaan zat kimianya berputar secara terus menerus (Indriyanto, 2010).
Siklus materi yang terjadi di hutan evergreen yaitu:
a) Siklus air
Siklus air melibatkan proses evaporasi, transpirasi, presipitasi dan
kondensasi. Siklus air akan berputar melalui tanah, laut dan udara. Pada
ekosistem evergreen siklus diawali dari proses transpirasi dan evaporasi dari
lingkungan biotik dan abiotik yang ada. Dari proses evaporasi dan transpirasi
air yang berupa uap akan menuju ke atmosfer dan berkondensasi membentuk
awan. Setelah terbentuk konsentrasi air yang cukup, kemudian air ini
diturunkan ke bumi melalui proses presipitasi ke daratan atau kembali ke laut.
Bagi air yang jatuh di daratan, air ini kemudian akan meresap kebawah tanah
dan mengalir kearah laut. Kemudian akan terjadi proses evaporasi dan
transpirasi lagi. Proses ini akan terus berulang sehingga membentuk sebuah
siklus. Pada siklus air cahaya matahari dan gravitasi akan terus menerus
mempengaruhi pergerakan air di permukaan bumi (Ewusie, 1980).
b) Siklus karbon dan oksigen

Karbon merupakan salah satu unsur yang mengalami daur ulang dalam
ekosistem. Di atmosfer Karbon terikat dalam bentuk senyawa karbon dioksida
(CO2). Dimulai dari karbon yang ada di atmosfer berpindah melalui
tumbuhan yang bertindak sebagai produsen, konsumen, dan organisme
pengurai kemudian kembali lagi ke atmosfer dalam bentuk karbondoksida
(CO2) (Indriyanto, 2010).
Siklus karbon di hutan evergreen diawali oleh respirasi dari organisme
yang masih hidup, selain itu karbondioksida juga dapat berasal dari organisme
yang sudah mati dan terurai. Selannjutnya karbondioksida menuju ke atmosfer
dan digunakan kembali oleh organisme fotosintetik yaitu tumbuhan untuk
proses fotosintesis, kemudian tumbuhan dikonsumsi oleh konsumen dan
melakukan proses respirasi lagi, begitupun seterusnya.
c) Siklus Nitrogen
Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer yaitu sekitar 80% dari udara.
Nitrogen bebas dapat diikat atau difiksasi terutama oleh bakteri yang hidup
pada akar tumbuhan jenis polong-polongan. Pada ekosistem evergreen, siklus
terjadi ketika organisme-organisme yang hidup tersebut mati. Organisme yang
mati itu diuraikan oleh dekomposer menjadi bahan anorganik dan salah
satunya adalah NH4.

Kemudian NH4 ini berubah menjadi amonia dan

selanjutnya ammonia ini akan mengalami denitrifikasi. Kemudian nitrogen


dilepas ke udara.
d) Siklus Fosfor
Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat
organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air
dan tanah). Pada ekosistem evergreen, fosfat organik dari hewan dan
tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat
anorganik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2007.Taman Nasional Baluran. http://www.balurannationalpark.com/ online


akses 18-juni2015.
Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman, penerjemah.
Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical Ecology.
Campbell et al . 2004. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Campbell et al. 2009. Biologi Edisi kelima Jilid 3. Erlangga, Jakarta.
Foth, Hendry D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. , Yogyakarta : Gajah Mada
University Press
Indriyanto, 2010. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta.
Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi. Erlangga :Jakarta.
Umar, Muhammad Ruslan, 2013. Ekologi Umum Dalam Praktikum. Jurusan Biologi.
Makassar:

Universitas Hasanuddin.

Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi. Jakarta: UI Press.


.

Anda mungkin juga menyukai