Anda di halaman 1dari 10

Advance in Biomarkers : The Role in Disease Diagnosis, Prediction,

Prevention and Personalized Medicine


(Perkembangan Baru Biomarker : Perannya dalam Diagnosis, Prediktor, Prevensi
dan kebutuhan pengobatan)
Kusworini Handono
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Abstrak
Seiring dengan digunakannya peralatan modern seperti DNA microarray, sequencing ultra deep
generasi baru serta proteomik dalam bidang biologi, maka semakin banyak molekul target dapat ditemukan
dalam kaitan dengan pengembangan obat-obat baru, sehingga jelas akan meningkatkan jumlah calon obat.
Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak adanya suatu biomarker yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
secara cepat, akurat dan informatif mengenai efek obat-obat baru yang diteliti terhadap perkembangan
penyakit dan kebutuhan pasien pada obat tertentu. Beberapa biomarker akhir-akhir ini telah dikembangkan
termasuk biomarker diagnostik, biomarker prognostik, biomarker prediktif, biomarker farmakodinamik,
biomarker pengganti (surrogate).
Penggunaan obat-obat biologis pada penyakit autoimun akan memberikan tantangan lain yaitu
diperlukannya biomarker yang dapat membantu dalam memahami pasien secara individu, misalnya apakah
pasien memberikan respon yang baik atau tidak terhadap satu pengobatan tertentu, obat mana yang lebih
efektif dan besarnya kemungkinan pasien menjadi progresif. Berbagai biomarker baru telah dievaluasi
penggunaannya pada penyakit autoimun dan perhatian telah ditujukan pada Neutrophile Extra Celluler Traps
(NETs).
NETs merupakan bentuk kematian sel neutrofil yang unik yang berbeda dengan apoptosis dan
nekrosis, dimana mikroba dapat terperangkap dan mati di dalamnya. NETs dapat berkontribusi pada timbulnya
autoimunitas melalui pemaparan autoantigen, meningkatkan produksi IFN- dan mengaktifasi sistem
komplemen. Peningkatan pembentukan NETs dijumpai pada berbagai penyakit autoimun misalnya psoriasis,
antineutrophil cytoplasmic antibody-associated vasculitis, sindroma antibodi antifosfolipid, artritis rheumatoid
dan lupus eritematosus sistemik (LES). NETs dapat mencetuskan pembentukan trombus pada antineutrophil
cytoplasmic antibody-associated vasculitis dan sindroma antibodi antifosfolipid. Pada LES, peningkatan
pembentukan NETs dikaitkan dengan peningkatan aktifitas penyakit dan kelainan ginjal, menunjukkan NETs
dapat digunakan sebagai penanda aktifitas penyakit. NETs dapat merusak sel endotel dan mencetuskan
keradangan pada plak aterosklerotik, sehingga dapat berkontribusi pada timbulnya aterosklerosis pada LES.
Oleh karena NETs meningkatkan produksi IFN-, pengukuran NETs dapat menggambarkan kadar IFN- dan
mengidentifikasi pasien LES dengan kadar IFN- yang meningkat yang mungkin memberikan respon dengan
terapi anti-IFN-. Dalam ulasan ini akan dibahas bagaimana kemampuan NETs dalam memberikan harapan
untuk penatalaksanaan pasien autoimun yang lebih baik.
Kata kunci : biomarker,NETs, autoimun

Pendahuluan
Penanda Biologis (Biomarker)
Dengan perkembangan dan penggunaan peralatan canggih seperti DNA microarray,
sequencing ultra deep generasi baru dan proteomik dalam bidang biologi modern, maka semakin
banyak molekul target yang berkaitan dengan perjalanan penyakit dan perjalanan klinis pasien dapat

ditemukan. Dengan demikian molekul target tersebut dapat digunakan dalam kaitan dengan
pengembanganobat-obatan baru, yang tentunya akan meningkatkan jumlah calon obat. Oleh karena
itu, ada kebutuhan mendesak untuk evaluasi secara cepat, akurat dan informatif mengenai efek dari
obat2 yang diteliti dan perkembangan penyakitnya. Menurut Food and Drug Administration(FDA)
USA, sebuah penanda biologis atau biomarker didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat diukur dan
dievaluasi secara obyektif sebagai indikator proses biologis normal, proses patogenik, atau respons
biologis dari intervensi terapeutik. Biomarker dapat membantu meningkatkan pemahaman
mengenai mekanisme penyakit atau efek terapi melalui kaitan perubahan jalur molekuler dan seluler
terhadap status penyakit atau respon klinis (FDA, 2010). Saat ini biomarker sedang dikembangkan di
berbagai aspek uji coba klinik, dengan tujuan akhir adalah untuk memaksimalkan efektifitas terapi,
mengevaluasi manfaat serta resiko obat-obat baru yang diteliti.Saat ini terdapat beberapa jenis
biomarker yang dapat digunakan dalam diagnosis, prognosis dan meramalkan respon
pengembangan suatu obat untuk penyakit rheumatik autoimun (Tabel 1 ).

Tabel 1 : Jenis biomarker dan kegunaannya dalam penyakit autoimun


Jenis Biomarker
Biomarker Diagnostik

Kegunaan
Identifikasi penyakit spesifik atau
kondisi abnormal

Biomarker Prognostik

Mengkatakogorikan pasien
dengan derajad resiko
kekambuhan atau progresifitas

Biomarker Prediktif

Biomarker Farmakodinamik

Mengelompokkan pasien melalui


kecenderungannya memberikan
respon terhadap intervensi
pengobatan tertentu
Penanda respon farmakologikal
tertentu dan umumnya
digunakan sebagai panduan
pemilihan dosis atau regimen
dalam trial klinik

Biomarker Pengganti
(surrogate)

Menggantikan dalam a clinical


efficacy endpoint

Contoh pada penyakit autoimun


Serum anti-fosfolipid dan antiribosomal P protein :
Berkaitan dengan Neuropsikriatik
Lupus
Serum anti-dsDNA: memprediksi
kekambuhan penyakit Lupus
Serum anti-dsDNA dan C3a:
memprediksi kekambuhan Lupus.
Kombinasi anti-C1q atau anti-C1q
dengan C3 and C4:
memprediksi kekambuhan ginjal
Serum anti-C1q dan anti-dsDNA:
memprediksi kekambuhan ginjal
Serum anti-dsDNA: memprediksi
respon yang baik terhadap
Belimumab(anti sel B)
Kadar transkripsi gen IFN tipe 1
dalam darah: penanda
farmakodinamik terapi anti-IFN
pada LES
NETs : penenda farmakodinamik
terapi anti-IFN
Serum anti-dsDNA: berkorelasi
negatif dengan respon klinik dalam
trial klinik rituximab

Biomarker diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi penyakit tertentu atau kondisi


abnormal. Biomarker prognostik digunakan untuk mengkategorikan pasien dalam tingkat risiko
terjadinya atau perkembangan penyakit. Biomarker prediktif merupakan karakteristik awal dan
digunakan untuk mengelompokkan pasien melalui kemungkinan responnya terhadap intervensi
terapi tertentu. Kemampuan untuk memprediksi respon yang baik atau kurang baik terhadap terapi
tertentu dapat membantu memilih populasi sasaran yang tepat dengan meningkatkan kemungkinan
respon terhadap pengobatan tersebut. Biomarker farmakodinamik (PD) adalah penanda respon
farmakologis tertentu dan umumnya digunakan untuk memandu pemilihan dosis atau dosis rejimen
untuk uji klinis. Penanda PD yang ideal biasanya lebih hilir dari target obat, seperti misalnya
penggunaan penanda interferon (IFN) tipe 1 untuk terapi anti-IFN tipe I pada LES. Biomarker
pengganti (surrogate) adalah biomarker yang digunakan untuk menilai khasiat klinis pada tahap
akhir. Endpoint klinis merupakan sebuah karakteristik atau variabel yang mencerminkan bagaimana
keluhan pasien, fungsi atau survive. Variabel ini adalah yang paling baik untuk menilai manfaat dan
risiko dari sebuah penelitian obat dalam uji klinis. Biomarker penggantiEndpoint diharapkan dapat
memprediksi manfaat klinis atau bahaya dari suatu uji obat, berdasarkan bukti epidemiologi,
terapeutik, patofisiologik, atau bukti lainnya (FDA, 2010). Namun, satu biomarker umumnya tidak
mampu menjelaskan semua efek yang mungkin timbul dari pengobatan. Selain itu, keputusan yang
salah berdasarkan hasil palsu sebuah biomarker sebagai pengganti endpoint akan merugikan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, hanya beberapa biomarker saja yang telah mencapai status
pengganti endpoint (Herbst et al, 2012).

Validasi biomarker merupakan proses yang ketat


Biomarker baru atau biomarker yang akan diusulkan memerlukan validasi secara luas,
umumnya sangat bergantung pada sampel yang berasal dari uji klinis. Validasi harus dilakukan
dengan cermat dan sampel harus diproses secara intensif, dimana biomarker dapat terpengaruh
oleh berbagai hal dalam menentukan karakteristiknya misalnya ketahanan, spesifisitas, batas
deteksi, batas kuantisasi, akurasi, linearitas, efisiensi dan ketelitian. Sebagai kandidat biomarker
umumnya dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang akan menjadi target, misalnya demografi,
keadaan penyakit, jenis pengobatan, dan perbedaan waktu pengukuran variabel yang digunakan
untuk menetapkan biomarker. Jika hal-hal tersebut tidak dikendalikan, faktor-faktor ini dapat
berpotensi menyebabkan hasil yang tidak konsisten untuk diidentifikasi suatu biomarker.
Untuk dapat dipergunakan dalam klinis dan dapat diandalkan, biomarker perlu
memperlihatkan hubungan yang kuat dengan karakteristik yang diukur dan menunjukkan hasil yang
konsisten pada pemeriksaan lain dalam kondisi yang sama, yang memenuhi kriteria variabel yang

diuji dalam protokol validasi. Dalam rangka mengembangkan biomarker yang baik dan mengurangi
bias variasi yang dihasilkan selama proses pengembangannya, beberapa penelitian klinis longitudinal
mungkin diperlukan untuk membuktikan ketahanannya. Sementara sejumlah biomarker baru telah
diusulkan, hanya beberapa saja yang siap diaplikasikan dalam uji klinis atau telah digunakan untuk
membantu dalam keputusan pengobatan (Herbst et al, 2012).
Beberapa biomarker baru telah dievaluasi penggunaannya dalam penyakit autoimun,
antara lain gen IFN tipe 1, stimulator limfosit B, damage associated molecul patterns (DAMPs),
neutrophile signature dan Neutrophiles Extracellular Traps (NETs)

Neutrophiles Extraextracellular Traps(NETs) sebagai Biomarker Baru Penyakit Autoimun


Neutrofil mempunyai peran penting dalam imunitas alami untuk mempertahankan host
terhadap serangan patogen dengan berbagai macam strategi. Awalnya neutrofil bermigrasi ke
tempat infeksi dan memfagositosis serta membunuh bakteri dengan bantuan enzim proteolitik,
protein antimikroba, dan ROS. Neutrofil juga dapat berdegranulasi untuk melepaskan faktor
antimikroba ke dalam rongga ekstraselular untuk membunuh bakteri (Brinkman et al, 2004). Barubaru ini, neutrofil ditemukan dapat membunuh bakteri dengan membentuk struktur ekstraseluler
yang disebut Neutrophilies Extracelluler Traps (NETs), yang terutama terdiri dari histon, DNA, dan
protease. NETs pertama kali ditemukan pada tahun 1996 sebagai bentuk kematian sel yang unik
yang berbeda dari nekrosis atau apoptosis (Takei et al, 1996). Proses ini selanjutnya disebut NETosis
pada tahun 2004 (Brinkman et al, 2004). Saat NETosis, neutrofil mengeluarkan sejumlah besar
kromatin dan granula protein, seperti Neutrophile Etalase (NE) dan myieloperoxidase (MPO), yang
menjaring dan membunuh mikroorganisme. NETs yang menjaring mikroorganisme tersebut
bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi dan dengan menggunakan peptida antimikroba
konsentrasi tinggi dapat menurunkan faktor virulensi serta membunuh mikroorganisme [Brinkman
et al 2004]. Selain memiliki peran dalam pertahanan terhadap patogen, NETs juga dapat
menyebabkan efek toksik pada host. NETs dapat memaparkan autoantigen, seperti asam nukleat
dan protein, dalam lingkungan inflamasi sehingga dapat merangsang respon autoimun pada individu
yang rentan.
Kaitan peningkatan pembentukan NETs dan autoimunitas pertama kali dijelaskan pada
penyakit vaskulitis terkait ANCA (ANCA-associated vasculitis) dan kemudian pada penyakit autoimun
lainnya, termasuk psoriasis, Lupus Eritematosus Sistemik (LES), sindroma anti-fosfolipid (APS) dan
artritis rheumatoid (AR) (Sur Chowdhury et al, 2014). Protein yang ditemukan dalam NETs dapat
menjadi sumber utama autoantigen, termasuk MPO dan proteinase 3 (PR3) pada vaskulitis terkait
ANCA, antibodi anti- dsDNA pada LES, dan anti cytrunilated protein antibody (ACPAs) pada AR.

Protein-protein yang terkandung di dalam NETs tersebut tidak hanya menjadi target autoantibodi
dan pembentukan kompleks imun, tetapi mereka juga menginduksi NETosis lebih lanjut, sehingga
menyebabkan umpan balik positif. Mekanisme molekuler yang tepat yang memicu tmbulnya NETosis
tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa jalur telah diusulkan, seperti induksi oleh ROS yang dihasilkan
dari NOX. Selanjutnya MPO dan NE meningkatkan dekondensasi kromatin melalui sitrunilasi histon
oleh peptidylarginine deiminase 4 (PAD-4) (Branzk et al, 2013). Terdapat bukti yang saling
bertentangan mengenai apakah proses tersebut diperlukan dan cukup untuk menginduksi NETosis.
NETs awalnya diduga diaktifkan oleh stimulasi IL-8, PMA, dan lipopolisakharida (LPS), bersama-sama
dengan infeksi bakteri gram positif dan negatif, jamur, dan parasit (Brinkman et al, 2004, Ermert et
al, 2009). Namun, dalam penyakit autoimsun, sitokin proinflamasi, seperti TNF dan IL-17, dan
autoantibodi tidak hanya merangsang NETosis tetapi juga mempengaruhi kandungan protein NETs
(Khandpur et al ,2013).
NETs juga dapat mencetuskan autoimunitas melalui produksi IFN tipe 1 serta mengaktivasi
sistem komplemen jalur klasik dan alternatif. Pada penyakit psoriasis dan LES, kandungan NETs
seperti peptida antimikroba dan self-DNA, mampu menginduksi produksi IFN- dari plasmacytoid
dendritic cell (pDC) (Lande et al , 2007). pDCs adalah penghasil utama IFN- dan merupakan respon
normal terhadap infasi virus. Selanjutnya IFN- dapat mengaktifkan sistem imun alami dan adaptif,
khususnya menginduksi jalur Th 1, menghambat apoptosis sel T, mengaktifasi sel B dan merangsang
produksi antibodi (Ronnblom, 2010).
Selain terdapat peningkatan pembentukan NETs pada pasien dengan penyakit autoimun
dibandingkan dengan kontrol sehat, pembersihan NETs juga mengalami hambatan, terutama pada
LES dan vaskulitis terkait ANCA. Ada berbagai mekanisme penurunan pembersihan NETs. Salah satu
enzim yang mendegradasi NETs adalah endonuklease disebut DNase I. Pada pasien LES dan vaskulitis
terkait ANCA, dijumpai adanya aktivitas DNase yang menurun dan adanya inhibitor DNase I, yang
mengakibatkan penurunan pembersihan NETs (Hakkim et al, 2010). Terdapat juga antibodi yang
melindungi NETs, yang mencegah akses DNase I terhadap NETs sehingga mencegah degradasi NETs.
Komplemen juga berperan dalam degradasi NETs. Komplemen berinteraksi dengan NETs, melalui
deposisi C1q dan C3b pada NETs (Leffeler et al , 2012). Deposit C1q menghambat degradasi NETs
melalui penghambatan DNase I. Selanjutnya, NETs yang tidak terdegradasi mengaktifkan sistem
komplemen in vitro. Secara keseluruhan, mekanisme umpan balik positif terjadi ketika NETs
mengaktifkan sistem komplemen, yang kemudian lebih meningkatkan jumlah NETs dengan
mencegah degradasinya. Selain peran NETs pada autoimunitas, NETs juga berpotensi menjadi
biomarker aktivitas penyakit dan target terapi.

Beberapa penelitian potong lintang dan satu penelitian prospektif longitudinal


menunjukkan bahwa pengukuran degradasi NETs mungkin berguna sebagai biomarker untuk
memprediksi dan menilai aktivitas penyakit dan keterlibatan ginjal. Namun, baru-baru ini ada
penelitian kecil yang melibatkan 23 pasien LES yang tidak menemukan hubungan antara peningkatan
NETs dan aktivitas penyakit, yang diukur dengan SLEDAI (Nakazawa et al ,2014). Studi tersebut
mengukur adanya NETs dengan cara yang berbeda yaitu dengan mengukur kemampuan IgG serum
pasien LES untuk menginduksi pembentukan NETs, bukannya mengukur degradasi NETs, seperti
yang dilakukan dalam studi-studi sebelumnya. Hasil yang kontras menyoroti tentang pentingnya
standardisasi dan validasi cara pengukuran NETs pada pasien LES. Sedangkan pada studi
sebelumnya, termasuk studi longitudinal, cenderung menggunakan degradasi NETs sebagai ukuran
peningkatan pembentukan NETs atau NETosis. Ttidak jelas apakah metode ini lebih akurat untuk
mengukur NETosis dibandingkan dengan mengukur kemampuan untuk menginduksi NETs atau
mengukur produk NETs, seperti cfDNA. Pertimbangan lain adalah bagaimana mendefinisikan
"normal" versus peningkatan pembentukan NETs. Beberapa penelitian tidak mendefinisikan secara
spesifik, sedangkan yang lain mendefinisikan degradasi NET menurun adalah jika lebih rendah 3 SD
dari rata-rata untuk kontrol sehat (Leffler et al, 2013). Sangat diperlukan standarisasi apa yang
didefinisikan sebagai penurunan degradasi NETs atau peningkatan pembentukan NET. Sebagai
tambahan, adanya autoantibodi terhadap NETs dalam serum bisa mengganggu pengukuran NETs
menggunakan ELISA. Teknik pengukuran untuk biomarker yang diusulkan juga harus relatif mudah
dilakukan dalam setting laboratorium klinis. Studi longitudinal prospektif dengan jumlah sampel
yang lebih besar diperlukan untuk mengukur karakteristik uji dari setiap pengukuran NETosis untuk
memprediksi dan mengkaitkan dengan aktivitas penyakit dan keterlibatan ginjal. Sebagai ilustrasi,
saat ini penanda aktivitas penyakit, seperti kadar komplemen dan dsDNA, penggunaannya terbatas
dalam menilai aktivitas penyakit dan keterlibatan ginjal oleh karena heterogenitas manifestasi klinis
LES. Sebagai contoh, tidak semua pasien LES memiliki antibodi anti-dsDNA. Selanjutnya, pasien LES
dengan antibodi anti-dsDNA mungkin kadarnya tidak meningkat walaupun dengan aktivitas penyakit
meningkat. Keterbatasan ini juga dapat dijumpai untuk kadar komplemen dengan kurangnya
hubungan antara kadar komplemen yang rendah dan meningkatnya aktivitas penyakit. Demikian
juga, tidak semua pasien LES akan memiliki peningkatan NETosis atau NETosis yang berkorelasi
dengan peningkatan aktivitas penyakit. Studi di masa depan sangat dperlukan untuk dapat
mendefinisikan dengan jelas apakah pasien LES dapat memperoleh manfaat untuk menggunakan
pengukuran NETs dalam membantu dokter memprediksi dan menilai aktivitas penyakit dan
keterlibatan ginjal.

Selain LES, pemahaman tentang NETs pada penyakit vaskulitis terkait ANCA mengarahkan
identifikasi potensi biomarker untuk aktivitas penyakit dan respon pengobatan. Sebuah penelitian
terbaru, melaporkan adanya peningkatan ekspresi gen granulositdikaitkan dengan peningkatan
aktivitas penyakit dan penurunan respon pengobatan pada pasien dengan vaskulitis terkait ANCA
(Gayson et al,2015). Sumber informasi ini berasal dari penemuan subset neutrofil yang disebut low
density granulocytes (LDGs), yang bersifat proinflamasi (Villanueva et al,2011, Carmona Rivera et al,
2015, Denny et al, 2010) dan mampu menjalani NETosis spontan tanpa stimulasi (Denny et al, 2010).
Penelitian ini adalah yang pertama untuk menunjukkan keberadaan LDGs pada pasien dengan
vaskulitis terkait ANCA, seperti telah ditunjukkan sebelumnya bahwa pada pasien LES juga memiliki
LDGs (Denny et al, 2010). Selanjutnya, LDGs pada pasien vaskulitis terkait ANCA, memproduksi NETs
yang mengandung MPO dan PR3, yang merupakan autoantigen utama dalam penyakit tersebut.
Penelitian selanjutnya diperlukan untuk menilai peran patogenik potensi LDGs dan NETs pada
vaskulitis terkait ANCA.
Pada LES, pengukuran penanda genetik atau ekspresi mRNA IFN tipe I digunakan sebagai
penanda farmakodinamik dalam mengembangkan pengobatan baru. IFN tipe I adalah keluarga
sitokin IFN-, IFN-, IFN-, IFN-k, dan IFN- (Yao et al, 2010). Oleh karena masing-masing sitokin
keluarga IFN tipe I, seperti IFN-, sulit untuk diukur, karena kadarnya sangat kecil dalam darah tepi,
maka pengukuran ekspresi mRNA IFN tipe 1 lebih mudah. Pada LES, dijumpai over ekspresi inducible
mRNA IFN tipe 1 dalam darah dan jaringan yang terlibat (60% dari pasien) (Yao et al, 2010).
Peningkatan ekspresi mRNA IFN tipe 1 berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit.
Pengukuran ekspresi gen IFN tipe 1 adalah penanda potensial farmakodinamik untuk mengevaluasi
penggunaan terapi anti-IFN I, serta dapat menentukan pasien LES dengan peningkatan IFN tipe I
yang dapat memperoleh manfaat dari terapi ini.
Mirip dengan gen IFN, NETs juga meningkat di darah dan jaringan yang terlibat pada pasien
LES. Peningkatan pembentukan NETs dan penurunan degradasi NETs terkait dengan peningkatan
aktivitas penyakit. NETs mampu menginduksi produksi IFN- pada pDCs. Oleh karena itu,
pengukuran NETs memungkinkan untuk mengukur secara tidak langsung kadar IFN-. Pengukuran
ekspresi gen IFN bisa mencakup beberapa IFN tipe 1, tidak hanya IFN-. Pengukuran NETs mungkin
menjadi cara yang lebih spesifik untuk memperkirakan kadar IFN- dan mengidentifikasi pasien LES
yang menunjukkan peningkatan kadar IFN- lebih dini dan mungkin lebih berespon untuk terapi
anti-IFN-.

Kesimpulan

NETs berperan penting dalam patogenesis beberapa penyakit autoimun. NETs dapat
menjadi sumber utama autoantigen, serta penginduksi kuat IFN-. Peningkatan pembentukan NETs,
sebagaimana dinilai oleh beberapa metode, telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit di
beberapa penyakit autoimun. Peningkatan pembentukan NETs mungkin berguna sebagai biomarker
aktivitas penyakit pada vaskulitis terkait ANCA dan LES. Namun, metode terstandar dan tervalidasi
diperlukan dalam pengukuran NETs bersama dengan studi prospektive longitudinal yang
menggambarkan karakteristik pengukuran NETs dibandingkan dengan pengukuran aktivitas
penyakit.

Referensi
Branzk, N., Papayannopoulos, V. (2013) Molecular mechanisms regulating NETosis in infection and
disease. Semin. Immunopathol. 35,513530.
Brinkmann, V., Reichard, U., Goosmann, C., Fauler, B., Uhlemann, Y.Weiss, D. S., Weinrauch, Y.,
Zychlinsky, A. (2004) Neutrophil extracellular traps kill bacteria. Science 303, 15321535.
Carmona-Rivera, C., Zhao, W., Yalavarthi, S., Kaplan, M. J. (2015) Neutrophil extracellular traps
induce endothelial dysfunction in systemic lupus erythematosus through the activation of matrix
metalloproteinase-2. Ann. Rheum. Dis. 74, 14171424.
Denny, M. F., Yalavarthi, S., Zhao, W., Thacker, S. G., Anderson, M.,Sandy, A. R., McCune, W. J.,
Kaplan, M. J. (2010) A distinct subset of proinflammatory neutrophils isolated from patients with
systemic lupus erythematosus induces vascular damage and synthesizes type I IFNs. J. Immunol. 184,
32843297.
Ermert, D., Urban, C. F., Laube, B., Goosmann, C., Zychlinsky, A.,Brinkmann, V. (2009) Mouse
neutrophil extracellular traps in microbial infections. J. Innate Immun. 1, 181193. Ronnblom, L.
(2010) Potential role of IFNa in adult lupus. Arthritis Res.Ther. 12 (Suppl 1), S3.
FDA (2010) Qualification Process for Drug Development Tools. FDA, Silver Spring, MD.
Grayson, P. C., Carmona-Rivera, C., Xu, L., Lim, N., Gao, Z., Asare, A. L.,Specks, U., Stone, J. H., Seo, P.,
Spiera, R. F., Langford, C. A., Hoffman,G. S., Kallenberg, C. G., St Clair, E. W., Tchao, N. K., Ytterberg,
S. R.,Phippard, D. J., Merkel, P. A., Kaplan, M. J., Monach, P. A.; Rituximab in ANCA-Associated
Vasculitis-Immune Tolerance Network Research Group. (2015) Neutrophil-related gene expression
and low-density granulocytes associated with disease activity and response to treatment in
antineutrophil cytoplasmic antibody-associated vasculitis. Arthritis Rheumatol. 67, 19221932.
Group BDW (2001) Biomarkers and surrogate endpoints: preferred definitions and conceptual
framework. Clin Pharmacol Ther 69, 8995.
Hakkim, A., Furnrohr, B. G., Amann, K., Laube, B., Abed, U. A.,Brinkmann, V., Herrmann, M., Voll, R.
E., Zychlinsky, A. (2010). Impairment of neutrophil extracellular trap degradation is associated with
lupus nephritis. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 107, 98139818.

Herbst, R., Liu, Z., Jallal, B., Yao, Y. (2012). Biomarker for systemic lupus erythematosus. Int J Rheum
Dis ; 1-12
Kessenbrock, K., Krumbholz, M., Schonermarck, U., Back, W., Gross,W. L., Werb, Z., Grone, H. J.,
Brinkmann, V., Jenne, D. E. (2009). Netting neutrophils in autoimmune small-vessel vasculitis. Nat.
Med. 15, 623625.
Khandpur, R., Carmona-Rivera, C., Vivekanandan-Giri, A., Gizinski, A.,Yalavarthi, S., Knight, J. S.,
Friday, S., Li, S., Patel, R. M., Subramanian, V.,Thompson, P., Chen, P., Fox, D. A., Pennathur, S.,
Kaplan, M. J. (2013). NETs are a source of citrullinated autoantigens and stimulate inflammatory
responses in rheumatoid arthritis. Sci. Transl. Med. 5,178ra40.
Lande, R., Gregorio, J., Facchinetti, V., Chatterjee, B., Wang, Y. H.,Homey, B., Cao, W., Wang, Y. H.,
Su, B., Nestle, F. O., Zal, T., Mellman,I., Schroder, J. M., Liu, Y. J., Gilliet, M. (2007) Plasmacytoid
dendritic cells sense self-DNA coupled with antimicrobial peptide. Nature 449,564569.
Leffler, J., Gullstrand, B., Jonsen, A., Nilsson, J. A., Martin, M., Blom, A. M., Bengtsson, A. A. (2013)
Degradation of neutrophil extracellular traps co-varies with disease activity in patients with systemic
lupus erythematosus. Arthritis Res. Ther. 15, R84.
Leffler, J., Martin, M., Gullstrand, B., Tyden, H., Lood, C., Truedsson, L.,Bengtsson, A. A., Blom, A. M.
(2012) Neutrophil extracellular traps that are not degraded in systemic lupus erythematosus activate
complement exacerbating the disease. J. Immunol. 188, 35223531.
Leffler, J., Stojanovich, L., Shoenfeld, Y., Bogdanovic, G., Hesselstrand, R., Blom, A. M. (2014)
Degradation of neutrophil extracellular traps is decreased in patients with antiphospholipid
syndrome. Clin. Exp. Rheumatol. 32, 6670.
Nakazawa, D., Shida, H., Tomaru, U., Yoshida, M., Nishio, S., Atsumi, T.,Ishizu, A. (2014) Enhanced
formation and disordered regulation of NETs in myeloperoxidase-ANCA-associated microscopic
polyangiitis. J.Am. Soc. Nephrol. 25, 990997.
Ronnblom, L (2010). Potential role of IFN in adult lupus. Arthritis Res Ther.12 (suppl I), S3
Sur Chowdhury, C.,Giaglis, S., Walker, U.A.,Hahn, S., Hasler,P. (2014). Enhanced neutrophil
extracellular trap generation iin rheumatoid artritis : analysis of underlying signal transduction
pathways and potential diagnostic utility. Arthritis Res Ther. 16, R122.
Takei, H., Araki, A., Watanabe, H., Ichinose, A., Sendo, F. (1996) Rapid killing of human neutrophils by
the potent activator phorbol 12-myristate 13-acetate (PMA) accompanied by changes different from
typical apoptosis or necrosis. J. Leukoc. Biol. 59, 229240.
Villanueva, E., Yalavarthi, S., Berthier, C. C., Hodgin, J. B., Khandpur, R.,Lin, A. M., Rubin, C. J., Zhao,
W., Olsen, S. H., Klinker, M., Shealy, D.,Denny, M. F., Plumas, J., Chaperot, L., Kretzler, M., Bruce, A.
T., Kaplan,M. J. (2011) Netting neutrophils induce endothelial damage, infiltrate tissues, and expose
immunostimulatory molecules in systemic lupus erythematosus. J. Immunol. 187, 538552.
Yalavarthi, S., Gould, T. J., Rao, A. N., Mazza, L. F., Morris, A. E., Nuez-Alvarez, C., HernandezRamrez, D., Bockenstedt, P. L., Liaw, P. C.,Cabral, A. R., Knight, J. S. (2015) Release of neutrophil
extracellular traps by neutrophils stimulated with antiphospholipid antibodies: a newly identified
mechanism of thrombosis in the antiphospholipid syndrome.Arthritis Rheumatol. 67, 29903003.

Yao Y, Higgs BW, Richman L, White B, Jallal B (2010) Use of type I interferon-inducible mRNAs as
pharmacodynamicmarkers and potential diagnostic markers in trialswith sifalimumab, an antiIFNalpha antibody, in systemic lupus erythematosus. Arthritis Res Ther 12 (Suppl 1), S6.
Yao, Y., Higgs, B. W., Richman, L., White, B., Jallal, B. (2010) Use of type I interferon-inducible mRNAs
as pharmacodynamic markers and potential diagnostic markers in trials with sifalimumab, an antiIFNa antibody, in systemic lupus erythematosus. Arthritis Res. Ther. 12 (Suppl 1), S6.

Anda mungkin juga menyukai