Anda di halaman 1dari 17

1

PORTOFOLIO DOKTER INTERNSHIP


KASUS EMERGENCY
PERAN TIM KEDOKTERAN FORENSIK DALAM KASUS
PEMBUNUHAN DAN KEJAHATAN SEKSUAL LAPORAN
.

Oleh :
dr. Masrida Fatmawati

Pendamping:
dr. Sofie Giantari
dr.Yuliawaty Soetio
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PPSDM KESEHATAN
2016

PEMBAHASAN
1.1 Kejahatan Seksual pada Kasus Terkait
Prio Santoso dapat dijerat oleh pasal 284 ayat (1) karena keduanya telah
terlibat dalam suatu kejahatan seksual jenis senggama dalam kategori
perselingkuhan. Syarat disebut selingkuh adalah baik wanita atau pria tersebut
sudah terikat dalam hubungan pernikahan, tetapi melakukan senggama dengan
orang lain yang bukan merupakan pasangan suami atau istrinya.
Pada KUH Pidana pasal 284 ayat (1) menentukan bahwa perzinahan dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan:
1) a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan perzinahan, sedang
diketahuinya bahwa pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan perzinahan.
2) a. seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan tersebut, sedang
diketahuinya bahwa orang yang turut bersalah telah kawin;
b. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan
tersebut, sedang diketahuinya bahwa orang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya.
Pasal 27BW/KUH Perdata berbunyi: Pada waktu yang sama, seorang lelaki
hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang
perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Untuk penjelasan disini, status dari Prio Santoso (25 tahun) sudah memiliki
seorang istri dan satu orang anak berusia satu tahun, dan satu orang anak lagi yang
masih didalam kandungan sang istri. Sedang Alfi Syahrin (26 tahun) adalah
seorang janda yang bercerai sejak tahun 2007 silam, dan memiliki seorang anak
berusia 10 tahun yang dirawat oleh ibu mertuanya.
Oleh karena itu, Prio Santoso dapat dijerat pasal 284 ayat (1) KUH Pidana,
karena telah melakukan perselingkuhan dengan hukuman maksimal sembilan
bulan.
Sedangkan dari sudut pandang prostitusi online, cybercrime merupakan salah
satu bentuk atau dimensi kejahatan masa kini yang merupakan salah satu sisi
gelap dari kemajuan teknologi. Salah satu bentuk kejahatan di bidang cybercrime
yaitu tindak pidana prostitusi online. Dalam ketentuan hokum positif yang ada di
Indonesia hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan

seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo,
para calo, dan pelacur sedangkan pengguna jasa seks komersial sendiri sama
sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Sebuah penelitian oleh Candra dkk
2014 mengenai pengaturan hokum positif di Indonesia terhadap pengguna jasa
belum berlaku efektif dalam menjerat dan menanggulangip rostitusi online, karena
sama sekali tidak mengatur mengenai pengguna jasa dalam tindak pidana
prostitusi online. Tinjauan yuridis terhadap pengguna jasa prostitusi online
berdasarkan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak menyebutkan
ketentuan mengenai pengguna jasa prostitusi online secara khusus, sehingga
kedua undang-undang ini pun tidak dapat menjerat pengguna jasa dalam praktek
prostitusi online.
1.2 Pembuktian Persetubuhan pada Kasus Terkait
Persetubuhan merupakan peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina. Penetrasi tersebut dapat lengkap atau tak lengkap dengan atau tanpa
disertai ejakulasi.
Tanda-tanda langsung :
- Robeknya selaput dara akibat penetrasi penis
- Lecet atau memar akibat gesekan-gesekan penis
- Adanya sperma akibat ejakulasi
Tanda-tanda tidak langsung :
- Terjadinya kehamilan
- Terjadinya penularan penyakit kelamin
Pada kasus persetubuhan Alfi Syahrin (26 tahun) dengan Prio Santoso (25
tahun) ditemukan barang bukti berupa air mani yang terdapat pada organ
kemaluan korban dan terdapat dikondom yang ditemukan di tempat kejadian
perkara (TKP), rambut pubis yang tercecer dikasur, dan sidik jari pelaku pada
tubuh korban dan kamar korban.
1.3 Pembunuhan dan Motif Pembunuhan pada Kasus Terkait
Pada kasus ini termasuk pembunuhan disengaja sesuai pasal 338 KUHP
yang berbunyi Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun. Cara kematian yang dialami korban merupakan kematian tidak
wajar oleh karena pembunuhan yang dilakukan pelaku, kausa kematian

terjadi akibat trauma pembekapan oleh karena kaus kaki yang di masukkan ke
dalam mulut korban, dan mekanisme kematian akibat asfiksia oleh
pembekapan yang terjadi
1.4 Identifikasi Pelaku pada Kasus Terkait
Pada kasus pembunuhan Alfi Syahrin (26 tahun) dengan Prio Santoso (25
tahun) ditemukan barang bukti penting berupa air mani yang terdapat pada organ
kemaluan korban dan terdapat dikondom yang ditemukan di tempat kejadian
perkara (TKP), rambut pubis yang tercecer dikasur, sidik jari pelaku pada tubuh
korban dan kamar korban, buku catatan korban yang berisi tentang pelangganpelanggan korban, kaos kaki yang dipakai untuk menyumpal mulut korban, serta
catok rambut korban yang digunakan untuk mencekik leher korban.
Dari semua barang bukti tersebut, dapat ditemukan identitas pelaku
kejahatan seksual dan pembunuhan Alfi Syahrin. Salah satu barang bukti adalah
sidik jari, "Tiada suatu kejahatan tanpa meninggalkan bekas", istilah itulah yang
menjadi salah satu pedoman atau dasar penyidik dalam melakukan penyidikan.
Sidik jari ini dapat ditemukan di berbagai barang bukti yang terdapat di TKP,
diantaranya di catok rambut korban, kaos kaki yang digunakan untuk menyumpal
mulut korban, dan di tubuh korban. Proses identifikasi sidik jari hanya dilakukan
oleh aparat penegak hukum, khususnya penyidik Kepolisian unit Reserse
Kriminal (Reskrim) bagian ldentifikasi. Pada proses ldentifikasi sidik jari dalam
tindak pidana pembunuhan dilakukan oleh penyidik bagian ldentifikasi apabila
korban dan pelaku belum diketahui atau masih kabur identitasnya maupun sudah
diketahui identitasnya. Jadi, semua kasus (khususnya tindak pidana pembunuhan)
lebih menekankan untuk dilakukannya proses identifikasi sidik jari.
Apabila korban atau pelaku yang sudah diketahui identitasnya, sidik
jarinya diambil sebagai berkas atau kelengkapan data yang nantinya akan
dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan sebagai arsip di
Kepolisian. Sedangkan dalam hal korban atau pelaku yang belum diketahui
identitasnya, identifikasi sidik jari dilakukan untuk mencari tahu identitas korban
atau pelaku dengan beberapa bahan perbandingan disertai alat bukti lainnya.
Bahan perbandingan yang dimaksud adalah sidik jari laten yang ditemukan di
TKP dengan sidik jari dari orang yang dicurigai berdasarkan keterangan saksi atau

dengan arsip di Kepolisian. Alat bukti yang biasanya menjadi dasar pengambilan
sidik jari orang yang dicurigai sebagai pelaku yaitu alat bukti keterangan saksi.
Jadi para penyidik harus pro-aktif untuk mengambil keterangan saksi sebanyakbanyaknya.
Selain itu, penyidik bagian identifikasi sidik jari juga harus mengambil
sidik jari orang yang berada di dalam rumah itu atau di TKP (keluarga korban)
agar tidak terjadi kesalahan dalam pengidentifikasian pelaku yang belum
diketahui identitasnya. Penyidik wajib mengungkap bukti segitiga di TKP yaitu
korban, pelaku dan alat kejahatan untuk mengungkap kasus kejahatan yang
terjadi. Jadi adanya keterkaitan satu sama lain hingga terjadinya suatu peristiwa
tindak pidana di TKP, seperti gambar berikut :

Gambar 3.1 Keterkaitan tindak pidana di TKP


Pengungkapan suatu kejahatan oleh pihak kepolisian diawali dengan kasus
penyelidikan, sama halnya dalam kasus tindak pidana pembunuhan (yang penulis
jadikan sampel dalam penelitian ini), pihak kepolisian bagian SPK (Sentra
Pelayanan Kepolisian) melakukan Tindakan Pertama di TKP (Tempat Kejadian
Perkara) di antaranya mengamankan TKP dengan memasang police line (garis
polisi) di sekitar TKP demi kelancaran proses penyidikan. Pihak penyidik
kepolisian yang tiba di TKP akan menerima laporan dari pihak yang melakukan
Tindakan Pertama di TKP sebagai tanda pelimpahan kasus ke tahap penyidikan
untuk melakukan Olah TKP. Penyidik yang akan masuk ke TKP sebelumnya
mendapat arahan dari ketua tim olah TKP di antaranya jalur yang akan dilalui tim
penyidik (alur silang) di TKP, perlengkapan, dan banyaknya personil.
Apabila pada saat itu pelaku tidak tertangkap tangan atau identitas pelaku
masih kabur dan tim penyidik menemukan adanya bekas sidik jari yang

ditinggalkan pelaku di TKP, maka penyidik bekerja sama dengan tim identifikasi
sidik jari untuk mengungkap pelaku berdasarkan sidik jari laten di TKP. Penyidik
mengambil informasi sebanyak-banyaknya dari para saksi di sekitar TKP. Mereka
yang dicurigai oleh penyidik diambil sidik jarinya untuk dicocokkan dengan sidik
jari laten di TKP. Mereka yang dicurigai tidak dapat menolak untuk diambil sidik
jarinya berdasarkan wewenang penyidik (Pasal 7 KUHAP).
Jadi, identifikasi sidik jari pelaku tidak dapat diungkap apabila tidak ada
bahan pembanding yaitu sidik jari orang-orang yang dicurigai berdasarkan
keterangan saksi ataupun berdasarkan data di Kepolisian. Pihak identifikasi pada
khususnya mencari atau mengungkap pelaku berdasarkan pembuktian ilmiah
bukan dengan pengakuan ilmiah. Penyidik wajib mengungkap bukti segitiga di
TKP, yaitu korban, pelaku dan alat kejahatan untuk mengungkap kasus kejahatan
yang terjadi. Kelengkapan untuk melakukan identifikasi sidik jari di Tempat
Kejadian Perkara (TKP) adalah :
1. Serbuk biasa;
2. Serbuk magnet;
3. Kuas sidik jari;
4. Tinta sidik jari;
5. Blanko AK 23;
6. Lifter;
7. Kaos tangan.
Tindakan yang diambil penyidik dalam melakukan identifikasi sidik jari yaitu:
1. Mencari dan angkat sidik jari laten di TKP;
2. Mengambil sidik jari mayat di TKP;
3. Mengambil sidik jari keluarga korban atau yang ada hubungan /
kepentingan dengan korban di TKP;
4. Mengambil sidik jari orang-orang yang dicurigai berdasarkan keterangan
saksi.
Dalam kasus pembunuhan, fungsi identifikasi sidik jari sangat penting
untuk mengungkap pelaku tindak pidana. Penyidik yang telah melakukan olah
TKP menemukan sidik jari di TKP (kamar kos korban).
Pembuktian dengan menggunakan identifikasi sidik jari biasanya disertai
keterangan saksi sebagai bahan perbandingan dengan sidik jari laten di TKP.
Namun, apabila tidak ditemukan saksi yang dapat memberikan keterangan
mengenai suatu kasus untuk menemukan pelaku maka penyidik identifikasi

mencari bahan perbandingan di arsip Kepolisian mengenai data penduduk


Indonesia yang sidik jarinya ada dalam data / arsip Kepolisian. Pembuktian
dengan menggunakan identifikasi sidik jari merupakan pembuktian ilmiah yang
sangat akurat. Pada umumnya pembuktian dengan menggunakan identifikasi sidik
jari sebagai alat bukti pembantu alat bukti lainnya. Namun alat bukti keterangan
ahli (dokter yang mengidentifikasi sidik jari) merupakan alat bukti yang sangat
akurat jika dilihat dari segi ilmiah.
ldentifikasi sidik jari terhadap korban tindak pidana pembunuhan
umumnya sebagai sarana untuk mengenal atau mengetahui, mendata dan
memproses korban untuk dilanjutkan ke proses hukum selanjutnya. Dalam hal
korban tindak pidana pembunuhan yang tidak diketahui identitasnya (korban yang
diketemukan) proses identifikasi sidik jari dilakukan demi mengenal identitas
korban untuk dilaporkan kepada keluarganya dan untuk dilakukan visum / otopsi
terhadap korban agar dapat dilanjutkan ke proses hukum selanjutnya. Dalam hal
korban yang sudah diketahui identitasnya pengambilan sidik jari korban berfungsi
untuk kelengkapan berita acara dan sebagai sarana pembantu untuk memperjelas
identitas korban.
ldentitas korban dan pelaku dalam suatu kasus tindak pidana sangatlah
penting. Dalam kasus tindak pidana pembunuhan identitas korban dan pelaku
adalah hal mutlak yang lebih dahulu diungkap oleh penyidik. Suatu kasus tindak
pidana pembunuhan tidak dapat diproses atau di peradilankan apabila korban dan
pelaku tidak diketahui identitasnya, walaupun sudah jelas ada korban tindak
pidana pembunuhan. Oleh karena itu, maka identitas korban adalah hal mutlak
yang harus diungkap terlebih dahulu oleh penyidik. Namun, dengan tidak
mengesampingkan identitas pelaku juga, sebab suatu tindak pidana pembunuhan
tanpa identitas pelaku bukanlah suatu tindak pidana yang dapat di peradilankan.
Demi keadilan (pro justitia) identifikasi korban dan pelaku tindak pidana
pembunuhan harus dapat dibuktikan secara ilmiah bukan hanya dengan
pengakuan atau keterangan saksi.
Setiap perkara tindak pidana pembunuhan yang di peradilankan selalu
menyertakan identitas pelaku dan korban yang jelas. Akibat hukum apabila
terdapat kesalahan identitas (error in persona) terdakwa terhadap suatu perkara

dalam proses peradilan adalah batal demi hukum (Pasal 143 ayat 3 KUHAP)
sehingga terdakwa bebas dari dakwaan yang didakwakan kepadanya, sedangkan
jika terjadi kesalahan identitas pada korban maka terdakwa bebas dari dakwaan
yang didakwakan kepadanya tetapi tidak berarti tersangka lepas dari proses
hukum karena tersangka harus menunggu proses penyidikan ulang terhadap
identitas korban sebenarnya sampai batas waktu ditentukan oleh jaksa untuk
dilanjutkan ke proses peradilan.
Oleh sebab itu, pentingnya identifikasi terhadap korban dan pelaku agar
tidak terjadi kesalahan ldentitas pelaku atau korban tidak dapat dibuktikan hanya
dengan pengakuan atau keterangan saksi saja tetapi juga dengan pembuktian
secara ilmiah, salah satunya adalah identifikasi sidik jari sebagai sarana
identifikasi yang lebih mudah, ekonomis dan akurat. Alat bukti keterangan ahli
menjadi petunjuk bagi hakim dalam memutus suatu perkara.
Barang bukti sidik jari dilihat dari segi ilmiah merupakan barang bukti
yang sangat akurat, oleh karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang
mempunyai sidik jari yang sama. Salah satu hak terdakwa di peradilan adalah
menyangkal perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun jika dapat dibuktikan
secara ilmiah baik oleh ahli forensik; ahli identifikasi sidik jari Kepolisian atau
ahli lain di bidangnya akan tindak pidana yang dilakukannya, terdakwa tidak
dapat menyangkal lagi akan tindak pidana yang dilakukanya (di dakwakan
terhadapnya). Semakin banyak barang bukti atau keterangan yang ditemukan
dalam proses penyidikan atau peradilan berarti semakin mudah mengungkap
tindak pidana tersebut.
Dalam pelaksanaannya identifikasi sidik jari juga menemukan banyak
kendala atau hambatan sebagai sarana identifikasi baik terhadap korban maupun
pelaku. Hambatan-hambatan tersebut terbagi atas dua yaitu :
1. Hambatan di TKP;
2. Hambatan di luar TKP
Hambatan di TKP merupakan kendala atau masalah yang terjadi selama
proses pengidentifikasian berada di TKP khususnya dalam mencari sidik jari laten
sedangkan hambatan di luar TKP merupakan hambatan yang terjadi selama proses
pengidentifikasian baik di dalam laboratorium forensik maupun di tempat lain
selain di TKP.

Hambatan-hambatan yang dihadapi pihak identifikasi sidik jari selama di


TKP antara lain :
a. Iklim/Cuaca
Salah satu hambatan pengambilan identifikasi sidik jari di TKP yaitu
iklim/cuaca. Hal ini disebabkan iklim/cuaca yang mengakibatkan hilangnya atau
kaburnya sidik jari laten di TKP, contohnya : seseorang menghilangkan nyawa
orang lain dengan cara menusuk benda tajam ke tubuh korban di sekitar halaman
rumah korban (outdoor). Polisi (petugas identifikasi) berupaya mencari sidik jari
tersangka di TKP namun akibat hujan deras sehingga sidik jari pelaku berupa
jejak kaki menjadi kabur sehingga menyulitkan petugas identifikasi untuk
melakukan identifikasi terhadap sidik jari berupa jejak kaki di TKP.
b. Hewan/Binatang
Hambatan juga bisa datang dari hewan/binatang. Hambatan dari
hewan/binatang ini berupa binatang buas dan hewan mikroorganisme (bakteri)
yang merusak TKP dengan cara mecabik-cabik; menggerogoti. tubuh korban yang
sudah tidak bernyawa sehingga petugas identifikasi sulit untuk mengidentifikasi
korban yang tanpa identitas. Selain korban yang sulit diidentifikasi akibat
binatang buas atau mikroorganisme, binatang buas juga dapat merusak TKP
dengan cara memindahkan korban atau mengaburkan jejak pelaku sehingga
menyulitkan penyidik untuk mengadakan orah TKP dalam rangka mengungkap
identitas korban maupun pelaku tindak pidana pembunuhan.
c. Masyarakat
Masyarakat yang berada di sekitar TKP juga menjadi hambatan bagi
petugas identifikasi. Hal ini disebabkan antusias/rasa ingin tahu masyarakat
terhadap tindak pidana yang terjadi di TKP sehingga secara tidak sengaja
masyarakat sudah merusak TKP, akibatnya petugas identifikasi sulit melakukan
identifikasi di TKP, contohnya : seseorang dihilangkan nyawanya di sebuah rumah
oleh pelaku yang tidak dikenal identitasnya. sewaktu mengetahui kejadian itu,
warga yang berada di sekitar TKP berupaya untuk mengetahui atau melihat
kondisi korban di TKP sehingga terdapat sidik jari (jejak kaki) masyarakat di TKP.
Hal ini dapat berakibat petugas bisa salah mengidentifikasi pelaku nantinya.
d. Petugas Identifikasi
Petugas identifikasi juga dapat menjadi kendala akibat salah
mengidentifikasi (eror in persona) di TKP. Keprofesionalan seorang petugas

10

identifikasi dalam menjalankan tanggung jawabnya sangat penting agar tidak


terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi yang dapat mengakibatkan terjadi
kesalahan dalam penagkapan bahkan penjatuhan hukuman.
e. Tersangka
Kendala dalam melakukan identifikasi di TKP juga berasal dari tersangka.
Tersangka yang profesional dalam melakukan tindak pidana juga menjadi
hambatan petugas identifikasi dalam mengidentifikasi koban atau pelaku di TKP.
Tersangka dapat mengaburkan tindak pidana yang dilakukannya baik berupa
memutilasi korban, merusak atau mengaburkan barang bukti, memindahkan
korban ke tempat yang jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga pada saat
diketemukan korban sudah dalam keadaan membusuk atau tulang belulang
sehingga sulit untuk diidentifikasi oleh petugas.
Sedangkan hambatan-hambatan yang umumnya dari luar TKP yaitu
kesalahan petugas identifikasi (error in persona) selama membandingkan sidk jari
laten dengan sidik jari saksi atau orang lain yang dicurigai sebagai pelaku tindak
pidana. Dalam melakukan perbandingan biasanya petugas melakukannya di ruang
kantor atau ruang laboratorium forensik Kepolisian wilayah/daerah setempat.
Perbandingan yang dilakukan di laboratorium forensik biasanya
disebabkan sewaktu mengambil sidik jari laten di TKP menggunakan bahan
kimia, oleh karena itu harus dibandingkan di laboratorium untuk menjaga
kesterilan tempat dan kelangkapan alat dalam melakukan identifikasi sidik jari.
Selain itu, hambatan juga dalam pendataan sidik jari seluruh warga Indonesia,
minimal warga di setiap daerah belum terdata di setiap kepolisian wilayah atau
kepolisian daerah. Minimnya data di setiap kepolisian wilayah/daerah setempat
dalam hal identitas sidik jari warga setempat juga menjadi kendala pihak
identifikasi dalam mencari data sebagai bahan perbandingan dengan sidik jari
laten di TKP apabila tidak terdapat bahan perbandingan di sekitar TKP untuk
mengungkap pelaku atau korban tindak pidana pembunuhan khususnya yang
belum teridentifikasi.
Barang bukti lain yang ditemukan adalah air mani yang terdapat pada
organ kemaluan korban dan terdapat dikondom yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP), dan rambut pubis yang tercecer dikasur, barang bukti
tersebut juga dapat digunakan untuk pembuktian adanya persetubuhan. Dalam

11

memastikan siapa pelaku kejahatan tersebut, dilakukan pemeriksaan DNA


terhadap barang bukti tersebut, yang kemudian dicocokkan dengan tersangka.
Selain itu, dari barang bukti lain yang ditemukan, yang cukup mendukung
ditemukannya identitas pelaku adalah buku catatan korban mengenai pelangganpelanggan korban, dan dari situ didapatkan bahwa, bila sesuai jadwal, maka orang
terakhir yang dilayani oleh korban adalah sang tersangka. Maka sangat mudah
bagi polisi untuk menemukan tersangka dan tersangka pun menyerahkan diri serta
mengakui kesalahannya.
1.5 Identifikasi Korban Pada Kasus Terkait
Seperti yang diberitakan situs berita online liputan6.com pada tanggal 12 April
2015, diketahui ahwa telah di temukan seorang wanita meninggal dunia di kamar
kosnya, Jalan Tebet Utara 15 C nomor 28, RT 7/RW 10, Tebet Timur, Jakarta
Utara pada Sabtu 11 April 2015. Menurut Yuliana Ulfah, salah satu penjaga kos
tersebut, kamar kos tersebut di huni seorang perempuan berusia sekitar 27 tahun
bernama Deudeuh Alfisyarin. Yuliana juga mengakatan bahwa Deudeuh
ditemukan meninggal dunia dalam keadaan tanpa busana, ditutupi bedcover dan
lehernya terdapat lilitan kabel listrik serta mulutnya disumpal kaus kaki. Menurut
Kapolsek Tebet, I Ketut Sudarsa, benar bahwa korban bernama Alfisyarin yang
berasal dari Bojong Pondok Terong RT 01/01 Pondok Terong Kecamatan
Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat.
Menurut Yuliana, korban terakhir terlihat di kamar kosnya pada hari Jumat
sore, 10 April 2015. Namun dari hari Sabtu pagi sampai Sabtu sore korban tidak
menampakkan diri sehingga membuat penjaga dan penghuni kos lain penasaran
akan keradaan korban. Apalagi setelah dicoba dihubungi melalui telpon
genggamnya, nomor handphone korban tidak aktif. Akhirnya mereka membuka
paksa pintu kamar korban dengan kunci duplikat yang dimiliki penjaga kosan
pada hari Sabtu, 11 April 2015 pukul 19.00. Sehari sebelumnya pada jumat malam
menurut penjaga kos, sempat terdengar kegaduhan dari kamar kos korban.
Pada kasus ini, identitas korban dapat diketahui menggunakan Metode visual,
dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama wajahnya oleh pihak
keluarga atau rekan dekatnya,maka jati diri korban dapat diketahui. Hal ini karena
keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum

12

terjadi pembusukan yang lanjut. Ini dikuatkan dengan penemuan properti yang
berada di kamar tersebut yang menunjukkan identitas korban. Properti pada kasus
ini dapat digunakan sebagai dasar identifikasi karena korban hanya berjumlah
saatu orang dan dari foto pada kartu identitas cocok dengan wajah korban.
Kemudian untuk menguatkan identifikasi dapat dilakukan pemeriksaan sidik jari
korban dan mencocokkan dengan sidik dari korban yang terdata pada catatan
kartu tanda penduduk yang dilakukan oleh pihak penyidik. Sehingga identitas
korban pembunuhan tersebut bernama Deudeuh Alfisyahrin, berusia sekitar 27
tahun.
1.6 Visum et Repertum Korban Pembunuhan dan Persetubuhan
Peranan Visum et repertum Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur
macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum. Syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak,
dan menilai suatu pembuktian. Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP)
dapat diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui
alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas besar
tidaknya kesalahan terhadap diri terdakwa.2
Visum et repertum yang dibuat oleh dokter berdasarkan hasil
penglihatannya atau pemeriksaannya terhadap mayat yang telah meninggal dunia,
merupakan keterangan ahli yang dijadikan alat bukti yang sah di muka
pengadilan. Syarat sah alat bukti adalah terpenuhi syarat formal dan syarat
materil. Syarat formal merupakan syarat yang sesuai dengan ketentuan UndangUndang yang berlaku, sedangkan syarat materiil yaitu syarat pendukung yang
berkaitan dengan isi atau substansi, yaitu :
1. Sesuai dengan kenyataan yang ada pada objek yang diperiksa
2. Tidak bertentangan dengan terori kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
Kekuatan pembuktian visum et Repertum terbatas pada sistem atau teori
pembuktian yang dianut oleh Hukum Acara Pidana, yakni sistem atau teori
pembuktian negatif, yang menurut teori ini hakim tidak hanya menjatuhkan
pidana berdasarkan sedikitnya dua alat bukti yang sah, akan tetapi ditambah
dengan keyakinan Hakim. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 183 KUHAP, sebagai

13

berikut :Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang ia peroleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah telah melakukannya.
Sistem atau teori pembuktian ini diperkuat lagi oleh Undang-Undang No.48
tahun 2009 Tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman, dalam Pasal 6 ayat 2 berbunyi,
Tidak seorang pun dapat dijatuhi Pidana kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah yang berdasarkan Undang-Undang, mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Buku Kapita Selekta Hukum pidana
dan Kriminologi disebutkan bahwa kedudukan keterangan ahli antara lain dalam
bentuk sebuah Visum et Repertum dalam peradilan Pidana Indonesia mengacu
pada ketentuan KUHAP Pasal 179, Pasal 180, Pasal 184 ayat 1 sub b, Pasal 187
butir c.3 Esensi ketentuan- ketentuan tersebut adalah :4
1. Sekalipun kesaksian seorang ahli dilakukan dibawah sumpah,
keterangan seorang ahli bukan merupakan bukti yang mengikat hakim
dalam menjatuhkan putusan di pengadilan.
2. Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan yang lemah dilihat dari
pendekatan yuridis maka fungsi visum et repertum di dalam Sistem
Peradilan Indonesia hanya sebagai instrumen pelengkap di dalam
mencari kebenaran materiil dari kasus tindak pidana. Unsur keyakinan
hakimlah justru yang sangat menentukan kesalahan terdakwa. Kedua
ketentuan di atas sesungguhnya bermuara pada teori hukum
pembuktian yang dianut oleh Sistem Peradilan Indonesia yaitu sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara Negatif.
Pada kasus persetubuhan Alfi Syahrin (26 tahun) dengan Prio Santoso (25
tahun), kesimpulan hasil visum et repertum yang dibuat dokter menunjukkan
bahwa Alfi Syahrin meninggal dunia akibat kehabisan oksigen. Kehabisan
oksigen terjadi karena korban dibekap dimulut dan hidungnya, hal ini didukung
dengan ditemukannya kaos kaki, kabel pengering rambut di TKP, sedangkan
dileher tidak ditemukan bekas jeratan apapun meskipun menurut pengakuan
pembunuh ia menjerat leher korban.. Selain itu menurut dokter tidak ditemukan

14

ada bekas luka lebam di wajah dan kepala korban serta tidak ada bekas apapun
pada tubuh korban.

15

KESIMPULAN
Kejahatan seksual: suatu bentuk kejahatan yg meliputi tubuh, kesehatan,
nyawa manusia yg berhubungan dg persetubuhan. Kejahatan seksual terdiri dari
kejahatan dalam perkawinan dan diluar perkawinan. Dalam kasus ini termasuk
dalam kejahatan seksual diluar perkawinan, pasal yang bisa mengenai pelaku
yaitu persetubuhan disetujui, sehingga pasal yang bisa dikenakan pada adalah
pasal 284. Bukti adanya persetubuhan yaitu adanya sperma, rambut pubis, dan
kondom
Kasus ini termasuk pembunuhan disengaja sesuai pasal 338 KUHP, cara
kematian tidak wajar, kausa kematian akibat trauma pembekapan, dan mekanisme
kematian akibat asfiksia oleh pembekapan yang terjadi. Identitas pelaku dapat
dilacak melalui identifikasi primer yaitu sidik jari dan pemeriksaan DNA.
Identitas korban dapat diketahui melalui identifikasi primer yaitu sidik jari dan
identifikasi sekunder yaitu properti yang ditemukan di TKP serta melalui metode
visual.

16

DAFTAR PUSTAKA
Atmadja S, Djaja. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik
Aduan Lainnya. Diunduh dari http://reproduksiumj.blogspot.com
2009.
Atmadja, D.S. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik Aduan
Lainnya. Diunduh dari http://reproduksiumj.com, 2009.
Idries, A.M., Tjiptomartono, A.L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Proses Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto; 2008: h. 113-32.
Kusuma, Erfan. 2012. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Universitas Airlangga : Surabaya
Mansjoer, Arief [et al.]. Ilmu Kedokteran Forensik - Visum et Repertum. Kapita
Selekta Kedokteran. Ed 3, Vol 2, cetakan ke-8. Media Aesculapius FKUI.
2009:171-81.
Medikolegal.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/
17330455/MEDIKOLEGAL, 12 Maret 2015.
Pelecehan Seksual pada Anak. Diunduh dari www.scribd.com, pada tanggal 12
Maret 2015.
Psikososial. Di unduh dari www.library.usu.co.id . 12 Maret 2015.
Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Visum et Repertum. Teknik
Autopsi Forensik. Cetakan ke-4. Penerbit Bagian Kedokteran Forensik
FKUI. 2000:72-81.
Staf pengajar bagian kedokteran forensik. Prosedur medikolegal. Peraturan
Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Cetakan ke-2. Penerbit Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1994:11-25.
Visum et Repertum. Diunduh dari www.klinikindonesia.com/forensik/artikelforensik.php. 12 Maret 2015.
Wibisana W, Munim TWA, dkk. Pemeriksaan Medik pada Kasus Kejahatan
Seksual. Ilmu Kedokteran Forensik. Ed 1, Cetakan ke-2. Bagian
Kedokteran Forensik FKUI. 1997:147-58.

17

Anda mungkin juga menyukai