Anda di halaman 1dari 11

CONTOH MENYAJIKAN RESEARCH GAP.

PADA PENELITIAN TENTANG PENGEMBANGAN KOLABORASI ANTAR


ORGANISASI PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH.
Oleh Dr. Faqih Nabhan, MM
1.1 .....
1.2 .......
1.3 Research Gap
Kolaborasi yang efektif dapat meningkatkan efisiensi operasi, efektifitas organisasi
dan kinerja. Erlena, Cerasi dan Daltung (2005) menyatakan bahwa kolaborasi lembaga
keuangan memungkinkan efisiensi mendapatkan informasi melalui sharing informasi
sehingga meningkatkan kualitas piutang dan kinerja keseluruhan perusahaan. Mereka juga
menyatakan bahwa alasan lembaga keuangan melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam
meyalurkan dananya pada suatu perusahaan adalah untuk mendapatkan peningkatan
pengawasan. Penyaluran dana bersama akan dapat menguntungkan apabila masing-masing
lembaga keuangan memiliki informasi yang sama dan terjadi saling berbagi informasi
sehingga meningkatkan efektifitas pengawasan terhadap perusahaan.
Ann dan Steve (2006: 1176) menemukan bahwa kolaborasi dengan pertukaran
informasi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja. Hal ini diperoleh melalui
efisiensi biaya, fleksibilitas, kualitas layanan dan pengadaan produk. Kolaborasi struktural
hanya berpengaruh terhadap peningkatan fleksibilitas dan pengadaan. Terdapat dukungan
empiris bahwa semakin tinggi tingkat kolaborasi antar perusahaan semakin tinggi
peningkatan kinerja. Ken dan Nigel (2007: 207) menemukan bahwa semakin tinggi
kolaborasi akan meningkatkan keuntungan organisasi melalui peningkatan kinerja.
Beberapa peneliti menemukan bahwa kolaborasi tidak selamanya mampu
meningkatkan kinerja. Diamond (1984) menyatakan bahwa kolaborasi justru akan
menurunkan kinerja karena pengawasan menjadi tidak efisien. Lebih lanjut dikatakan bahwa
pengawasan dapat dilakukan dengan lebih efisien apabila dilakukan pendelegasian kepada

salah satu pihak saja. Kolaborasi lembaga keuangan mengakibatkan duplikasi pengawasan
yang tidak efisien sehingga menurunkan kinerja. Hubungan lembaga keuangan dengan
perusahaan secara ekslusif yang dilakukan dengan pengawasan tunggal menjadi bentuk
penyaluran dana yang optimal, karena pengawasan oleh lembaga keuangan secara tunggal
dapat dilakukan dengan menghindari duplikasi pengawasan. Dalam penelitiannya, Haris dan
Raviv (1979) menemukan bahwa pengawasan yang dilakukan dengan beberapa lembaga
keuangan memunculkan biaya yang lebih tinggi dibanding dengan yang dilakukan oleh
lembaga keuangan secara individual. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih
pengawasan antara lembaga keuangan pertama dengan lembaga keuangan kedua. Bagian
yang sudah diawasi oleh satu lembaga keuangan, menjadi bagian lembaga keuangan lain
untuk diawasi. Apabila dilakukan oleh satu lembaga keuangan terhadap satu debitur maka
tidak akan terjadi pemborosan biaya pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan secara tidak efisien mengakibatkan pengawasan oleh
beberapa lembaga keuangan menyebabkan tidak efisien bagi lembaga keuangan dan debitur.
Bolton dan Scharfstein (1996) menyatakan bahwa biaya pengawasan terhadap satu debitur
yang dilakukan oleh beberapa bank akan mengakibatkan duplikasi pengawasan yang tidak
efisien, dan renegosiasi hutang akan lebih kompleks apabila lebih banyak bank yang terlibat.
Petersen dan Rajan (1994) menyatakan bahwa kolaborasi perbankan dalam penyaluran dana
mengakibatkan peningkatan biaya pengawasan oleh bank dan debitur harus menanggung
biaya bunga bank yang lebih tinggi akibat tidak efisiensinya penyaluran kredit oleh bank. Hal
ini berarti dalam penyaluran dana beberapa bank, baik dari pihak bank maupun perusahaan
(sebagai debitur) harus mengeluarkan biaya lebih banyak.
Kolaborasi antar organisasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya
yang dimiliki sehingga memiliki daya saing yang unggul. Dalam pasar yang kompetitif,
lembaga keuangan berusaha untuk memenangkan persaingan. Begitu pula dalam proses

penyaluran dana, lembaga keuangan berkompetisi dengan pihak lain, baik sesama bank,
lembaga keuangan mikro, pasar modal, perusahaan modal ventura dan perusahaan
pembiayaan lain, untuk dapat menyalurkan dana dengan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Kegiatan pengawasan lembaga keuangan yang dilakukan secara eksklusif (satu
debitur dilayani dan diawasi oleh satu lembaga keuangan) mampu menghasilkan keunggulan
bersaing bagi lembaga keuangan. Kristiansen (2005) menunjukkan bahwa pengawasan
intensif oleh bank akan menghasilkan dua keuntungan, pertama, pengawasan mengurangi
masalah moral hazard debitur. Kedua, pengawasan menciptakan lock-in effects sehingga
pesaing (bank lain) tidak dapat ikut masuk berkompetisi menyalurkan dana.
Hughes (2000; 168-173) menemukan bahwa kolaborasi mampu meningkatkan
keunggulan bersaing (competitive advantage) dengan berorientasi pasar dan alasan efisiensi
produksi. Terdapat hubungan yang kuat

antara komponen keunggulan bersaing dengan

kolaborasi (internasional), dan antara bentuk-bentuk kolaborasi (licensing, equity joint


venture, co-development, co-production) dan harapan dampak strategi pada keunggulan
bersaing.
Carleti et.al., (2005) menemukan bahwa kolaborasi lembaga keuangan meningkatkan
daya jangkau layanan nasabah sehingga meningkatkan kualitas layanan dan daya saing dalam
mendapatkan nasabah. Keuntungan yang diperoleh dari hubungan kerjasama antar lembaga
keuangan ini akan meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Lembaga keuangan mampu
melayani nasabah yang berada diwilayah yang tidak dapat dijangkau oleh jaringannya
sendiri. Hubungan kerjasama lembaga keuangan meningkatkan kemampuan dalam memasuki
pasar baru lintas geografi dan sektoral. Sektor-sektor yang sebelumnya tidak dapat dilayani
memungkinkan menjadi peluang pasar baru dengan menjalin hubungan kerjasama dengan
lembaga keuangan lain. Hubungan kerjasama dengan lembaga keuangan lain juga akan
meningkatkan pengawasan pada nasabah yang tidak dapat dijangkau oleh bank secara sendiri

karena adanya kendala lokasi, transportasi, sistem dan peraturan, perbedaan lembaga otoritas
perbankan dan budaya.
Kolaborasi dengan lembaga keuangan lain memungkinkan untuk melakukan lebih
banyak diversifikasi dalam alokasi penyaluran dana. Chiesa (2001) menemukan bahwa
kolaborasi lembaga keuangan memungkinkan lembaga keuangan untuk meningkatkan
kemampuan diversifikasi dan daya saing. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh sebuah
lembaga keuangan membatasi lembaga keuangan untuk dapat menyalurkan dananya dengan
tingkat diversifikasi yang tinggi. Diversifikasi yang tinggi mampu menurunkan resiko
investasi dan meningkatkan daya saing yang berkelanjutan.
Meskipun demikian terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa kolaborasi tidak
selamanya berhasil. Zineldin dan Dodourova (2005:460), menyatakan bahwa tingkat
kegagalan dari kolaborasi dalam bentuk aliansi mencapai 70 persen. Park dan Ungson (2001:
37), menyatakan bahwa lima puluh persen dari strategi aliansi mengalami kegagalan. Lebih
lanjut Palakshappa dan Gordon (2007: 264) menemukan dalam penelitiannya bahwa
perusahaan tidak mampu merealisasikan keuntungan dari kegiatan kolaborasi. Perusahaan
yang melakukan kolaborasi juga tidak mampu mendapatkan ketrampilan dan kompetensi
baru dari kegiatan kolaborasi. Tingginya tingkat kegagalan kolaborasi yang dilakukan dalam
bentuk aliansi menimbulkan pertanyaan untuk diteliti lebih lanjut.
Beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa kolaborasi memerlukan koordinasi
(Van de ven dan Ring, 1994; Oliver, 1990). Kegiatan koordinasi diantara partner yang
berkolaborasi mendorong saling ketergantungan (Blankerburg, H., et al., 1999). Saling
ketergantungan berarti derajat dapat digantikannya dan tergantungnya

masing-masing

perusahaan terhadap partner dalam hal investasi dan sumberdaya (Kauser dan Shaw, 2004).
Penelitian empiris menemukan bahwa dalam kolaborasi aliansi saling ketergantungan

meningkatkan kinerja (Monckza et al., 1998). Sebaliknya penelitian yang dilakukan Kauser
dan Shaw (2004), menemukan bahwa saling ketergantungan pemasaran dalam kegiatan
kolaborasi tidak berhubungan dengan kinerja, bahkan berpengaruh negatif dengan kepuasan.
Komunikasi dalam kolaborasi memberikan sarana bagi pertukaran informasi dan
pencapaian

kesepahaman.

Komunikasi

memungkinkan

bagi

masing-masing

pihak

menyatukan tujuan kolaborasi dan menyelesaikan masalah bersama. Zeybeck et al. (2003)
menemukan bahwa komunikasi diantara pihak yang berkolaborasi berpengaruh positif
terhadap kinerja. Sementara dalam penelitiannya Sarkar et al. (2001) menemukan bahwa
pertukaran informasi dengan komunikasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
Keinginan untuk melindungi perusahaaan sendiri yang berlebihan menyebabkan keengganan
untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan bagi partner kolaborasi.
Hasil temuan di atas menunjukkan adanya ketidak konsistenan hasil temuan penelitian
kolaborasi kinerja kolaborasi. Sekelompok penelitian menyatakan bahwa kolaborasi mampu
mendorong peningkatan kinerja (Erlena et al., 2005; Dennis M. Garvis, 2000; Ann dan
Steve,2006; dan Ken dan Nigel, 2007), tetapi terdapat kelompok penelitian lain yang
menemukan bahwa kolaborasi justru akan menurunkan kinerja (Diamond, 1984; Haris dan
Raviv, 1979; Bolton dan Scharfstein, 1996; dan Petersen dan Rajan, 1994). Bahkan dalam
penelitiannya Zineldin dan Dodourova (2005) dan Park dan Ungson (2001) ditemukan bahwa
kolaborasi banyak mengalami kegagalan.
Dari telaah beberapa hasil temuan penelitian di atas maka ditemukan inkonsistensi
hasil penelitian kolaborasi antar organisasi dan hasilnya. Berikut disarikan peneliti dan hasil
temuannya yang menunjukkan adanya gap dalam tabel di bawah ini;

Tabel 1.1
Temuan Research Gap
Gap
PENULIS
TEMUAN
Isu: Kolaborasi antar perusahaan dan kinerja

Research Gap:
Terdapat perbedaan hasil penelitian pengaruh kolaborasi antar perusahaan terhadap
kinerja perusahaan
Kolaborasi
Diamond,
Kolaborasi mengakibatkan duplikasi pengawasan
antar
1984
yang tidak efisien sehingga menurunkan kinerja
perusahaan
Haris dan
Pengawasan yang dilakukan dengan beberapa bank
berpengaruh
Raviv, 1979
memunculkan biaya yang lebih tinggi dibanding
menurunkan
dengan yang dilakukan oleh bank secara individual.
kinerja
Bolton dan
Kolaborasi penyaluran dana mengakibatkan
perusahaan
Scharfstein,
renegosiasi yang komplek
1996
Kolaborasi perbankan menurunkan kinerja akibat
terjadi duplikasi pengawasan yang tidak efisien
Peterson dan
Kolaborasi perbankan dalam penyaluran dana
Rajan, 1994
mengakibatkan biaya yang lebih tinggi
Zineldin, M.
Kolaborasi tidak memberikan dampak terhadap
dan
inovasi dan pencapaian sinerji
Dodourova,
M., 2005
Park, S.H dan Setengah dari strategi aliansi mengalami kegagalan.
Ungson, G.R,
2001
Palakshappa,
Perusahaan tidak mampu merealisasikan keuntungan
N. Dan
dari kolaborasi. Perusahaan tidak mampu
Gordon, M.E, mendapatkan ketrampilan dan kompetensi baru
2007
Kolaborasi
antar
perusahaan
berpengaruh
meningkatkan kinerja

Erlena, Cerasi
dan Daltung,
2005
Dennis M.
Garvis, 2000
Ann dan
Steve, 2006
Ken dan
Nigel, 2007

Kolaborasi perbankan memungkinkan efisiensi


mendapatkan informasi melalui berbagi informasi
sehingga meningkatkan kualitas piutang dan kinerja
Kolaborasi berpengaruh positif tehadap kinerja
keuangan dengan kepercayaan sebagai variabel
intervening.
Terdapat dukungan empiris yang kuat semakin tinggi
tingkat kolaborasi antar perusahaan semakin tinggi
peningkatan kinerja
Semakin tinggi kolaborasi akan meningkatkan
keuntungan organisasi melalui peningkatan kinerja.

Salah satu hal utama dalam kolaborasi adalah kemampuan organisasi untuk
melakukan koordinasi dan bekerjasama dalam satu tim yang terdiri dari orang-orang yang
berasal lebih dari satu organisasi. Gomes (1999) menyatakan bahwa kolaborasi
membutuhkan kemampuan internal (internal capability) perusahaan untuk mengelola
kerjasama. Kolaborasi menghasilkan akses sumberdaya yang lebih luas dan membutuhkan
kapabilitas untuk dapat menjalankan kolaborasi secara baik.

Kompetensi kolaborasi telah dianggap sebagai aset yang berharga. Miller dan
Shamsie (1995) menyatakan bahwa sumberdaya berbasis pengetahuan (knowledge-based
resources) dapat berwujud ketrampilan tertentu, termasuk ketrampilan kolaborasi dan
kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan dan pembelajaran bersama secara efektif.
Henderson dan Cockburn (1994) menyatakan bahwa fungsi kapabilitas perusahaan adalah
untuk memanfaatkan sumberdaya, mencipta, memproduksi dan menawarkan hasil melalui
pola tindakan yang berulang-ulang.

1.4 Fenomena empirik


Koperasi di Indonesia telah lama diakui perannya sebagai salah satu elemen penting
dalam perekonomian bangsa. Besarnya harapan terhadap peran koperasi ini tentu saja harus
senantiasa diimbangi dengan upaya dari semua pihak untuk mendukung eksistensinya.
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) sebagai bagian dari koperasi yang beroperasi
dengan prinsip syariah memiliki karakteristik yang khas dalam hal tuntunannya untuk
melaksanakan kemitraan dalam akad mudharabah dan musyarakah. Akad ini berbeda dengan
koperasi non syariah.
Keadaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Jawa Tengah dapat dijelaskan
dari tabel 1.2. Dari tabel 1.2 tersebut dapat diketahui KJKS di Jawa Tengah ini memiliki asset
yang cukup besar yaitu lebih dari Rp2 triliun dan mampu mencatatkan keuntungan SHU
sebesar Rp134,6 milyar. KJKS di Jawa Tengah juga mampu menyerap tenaga kerja
sedikitnya 5.000 orang. Beberapa indikator ini menunjukkan besarnya kontribusi KJKS bagi
perekonomian daerah terutama di Jawa Tengah. Namun demikian dari 639 KJKS di Jawa
Tengah yang termasuk sebagai koperasi berkategori sehat tidak mencapai 20%. Melihat
keadaan KJKS di Jawa Tengah seperti ini maka perlu untuk terus-menerus didukung salah

satunya dengan cara penelitian untuk semakin memperkuat pengembangan bisnis koperasi
syariah di Jawa Tengah.
Tabel 1.2
Indikator Koperasi Jasa Keuangan Syariah di Jawa Tengah
Tahun Buku 2010
NO
INDIKATOR
KETERANGAN
1 Jumlah
639
2 Tingkat kesehatan:
Sehat
98
19.07%
Cukup Sehat
352
68.48%
Kurang Sehat
49
9.53%
Tidak Sehat
15
2.92%
3 Jml Karyawan
5,125
4 Jml Asset
2,017,520,270,262
5 SHU
134,639,199,962
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Propinsi Jawa Tengah, 2011

Kolaborasi kemitraan telah menjadi salah satu piranti strategik bagi hampir semua
perusahaan yang beroperasi dalam jejaring sistem ekonomi saat ini. Kemitraan dapat
membantu KJKS dalam mempercepat akses pembiayaan, mendapatkan akses ke pasar yang
baru, berbagi resiko keuangan, pengembangan teknologi baru atau mendapatkan efisiensi dari
skala ekonomi (SKKNI-KJK, 2008).
Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian telah mengatur bahwa
koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan
pinjam. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Dalam rangka melaksanakan
peran koperasi tersebut maka telah dilakukan kerjasama antara koperasi dengan lembaga
yang lain seperti bank, lembaga keuangan mikro dan BUMN.
Beberapa bukti adanya kolaborasi kemitraan antara koperasi dengan perbankan
melalui dorongan pemerintah khususnya kementerian negara koperasi dan usaha kecil
menengah adalah adanya kredit usaha mikro dan kecil dengan dana Surat Utang Pemerintah
(SUP) nomor SU-005/MK/1999 tanggal 29 Desember tahun 1999. Kolaborasi koperasi

dengan perbankan juga dilakukan pada program pembiayaan produktif koperasi dan usaha
mikro (P3KUM) pola syariah serta program perkuatan permodalan koperasi dalam rangka
program perempuan keluarga sehat dan sejahtera (PERKASA) pola syariah dan
konvensional. Jumlah dana yang tersalurkan dari kegiatan program kolaborasi koperasi dan
perbankan di atas selama periode tahun 2000 s.d 2006 adalah Rp2,41 triliun dengan
melibatkan 10.593 unit koperasi (Kemenkop dan UKM, 2007). Pada tahun 2006 juga terjadi
kolaborasi kemitraan dalam penyaluran kredit antara bank umum, BPR dan koperasi yang
disebut dengan program kredit kepada lembaga keuangan (KKLK). Kegiatan ini merupakan
kolaborasi antara bank umum dengan BPR/S dan koperasi dengan pola executing.
Meskipun demikian, Soetriono (2004, 2) mengemukakan bahwa saat ini koperasi
secara umum sedang menghadapi permasalahan kurangnya kemitraan usaha yang saling
menguntungkan.

Permasalahan lain yang bersifat internal adalah permodalan kurang,

penguasaan teknologi rendah, kurang tangap terhadap berbagai perubahan, organisasi dan
manajemen belum berjalan baik, masih kurangnya kemitraan usaha yang saling
menguntungkan, serta terbatasnya akses pasar. Kendala sumberdaya manusia, manajemen
dan kendala kelembagaan juga menjadi masalah yang membebani koperasi pada umumnya.
Sebagai lembaga intermediasi bank berkepentingan untuk dapat menyalurkan dana
masyarakat pada sektor riil dengan tetap menjaga unsur-unsur prudential banking. Persaingan
dan keterbatasan sumberdaya diantara lembaga intermediasi lain menambah semakin
kompleks pertimbangan bank dalam meningkatkan kinerja penyaluran dananya. Pemerintah
melalui Bank Indonesia mendorong upaya kolaborasi penyaluran dana antara Bank Umum
dengan koperasi dan BPR/S melalui Linkage Program (Bank Indonesia, 2005).
Linkage program adalah program yang disponsori Bank Indonesia untuk
menjembatani kerjasama antara Bank Umum dengan koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Bank Indonesia melihat program ini sebagai strategi untuk mendorong intermediasi

dengan memberdayakan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kepada seluruh
komponen dalam industri keuangan. Terkait pilar pertama Arsitektur Perbankan Indonesia
(API), linkage program juga merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing BPR
sekaligus efisiensi pelaksanaan skim kredit Bank Umum (Deputi Gubernur Bank Indonesia,
Maman H. Somantri, 2006).
Melalui linkage program, keterbatasan jaringan yang dialami oleh bank umum dalam
menyalurkan kreditnya dapat diatasi. Sedangkan keterbatasan pembiayaan yang dirasakan
oleh BPR dapat pula diatasi melalui program ini, sehingga melalui linkage program dapat
tercipta sinergi yang akhirnya mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan dan
mengembangkan potensi UMKM. Pada tabel 1.3 ditunjukkan perkembangan kolaborasi
lembaga keuangan secara agregat yang semakin meningkat, hal ini ditandai dengan semakin
bertambahnya bank umum dan BPR/S yang melakukan kolaborasi dan bertambahnya jumlah
plafon kredit.
Tabel 1.3
Jumlah Bank Umum, BPR/S dan Kredit Peserta Program Linkage
di Indonesia
Tanggal
Tahap
Jumlah Bank
Jumlah
Jumlah Kredit
Umum
BPR/S
(Milyar)
24-8- 2005
I
10
37
Rp10
26-1- 2006
II
13
41
Rp199
20-9- 2006
III
14
117
Rp369
27-12-2006
IV
14
250
Rp549
Sumber: Bank Indonesia, www.bi.go.id , dan Sriwijaya Post, Kamis, 28 Desember 2006 (data
diolah)
Meskipun demikian penyaluran kredit perbankan ke segmen UMKM melalui BPR
dan koperasi dengan skema linkage program belum diselenggarakan secara merata. Pada
tahun 2011 hanya ada 20 bank umum yang membuat kesepakatan untuk melaksanakan
linkage program dengan total nilai kredit Rp 979 miliar (Choir, 2011). Rusli Simanjuntak
(2007) mengatakan bahwa masih ada keraguan dari perbankan melaksanakan linkage
program, bahwa mereka hanya dapat fee based dan margin rendah.

Terdapat beberapa pendapat yang tidak setuju dengan kegiatan kolaborasi bank umum
dengan BPR/S dalam bentuk linkage program ini. Hal ini menunjukan kekhawatiran terjadi
resiko adverse selection terhadap bank umum. Walaupun terdapat kode etik yang telah diatur
oleh Bank Indonesia, tapi menurutnya penyimpangan oleh oknum bank umum tidak bisa
dibuktikan.
Kekhawatiran BPR/S dan koperasi terhadap ancaman bank umum akan merebut
segmen pasar yang dimiliki menjadi alasan yang cukup kuat terhadap kegiatan kolaborasi.
Aviliani (2006) mengatakan bahwa sangat mungkin terjadi perebutan konsumen antara bank
umum dengan BPR/S dan koperasi, oleh karena itu bank sentral perlu melakukan pengaturan
mengenai pembagian segmentasi pasar yang dapat dilayani oleh bank umum, BPR/S dan
koperasi.

1.5 Masalah Penelitian


Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dimulai dari adanya

masalah

perbedaan hasil temuan penelitian mengenai keberhasilan kolaborasi, belum ada kesamaan
hasil penelitian konsep-konsep yang terkait dan dapat mendukung keberhasilan kolaborasi
kemitraan seperti telah disajikan pada tabel 1.1. Penelitian terdahulu memberikan sinyalemen
bahwa kapabilitas kolaborasi kemitraan

merupakan sumberdaya yang penting dan

mempunyai peran besar dalam mendorong keberhasilan kolaborasi.


Oleh karena itu masalah penelitian yang diajukan dalam penelitian adalah: Bagaimana
membangun suatu model kapabilitas kolaborasi yang dinamis, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kinerja bisnis bagi Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai