Anda di halaman 1dari 79

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perusahaan merupakan sekelompok orang yang tergabung dalam

organisasi bisnis yang terstruktur dan saling bekerjasama untuk mencapai

suatu tujuan dalam suatu organisasi (Pantow, 2015). Tujuannya yaitu mencari

keuntungan maksimal, memaksimalkan kekayaan pemilik perusahaan atau

pemegang saham, dan meningkatkan nilai perusahaan yang tercermin dari

harga sahamnya yang tinggi, kinerja keuangan dan kinerja nonkeuangannya

yang baik (Mahendra, 2012).

Perusahaan yang baik harus mampu mengontrol kinerja keuangan dan

kinerja nonkeuangan di dalam upayanya untuk meningkatkan nilai

perusahaan sekaligus untuk mempertahankan eksistensi perusahaan dalam

dunia bisnis. Tujuan perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan

menjadi tujuan yang paling penting bagi suatu perusahaan, karena dengan

nilai perusahaan yang meningkat berarti kemakmuran pemegang saham juga

akan meningkat (Pantow, 2015).

Nilai perusahaan dapat diukur dengan menggunakan perbandingan antara

rasio nilai pasar saham perusahaan dengan nilai buku ekuitas perusahaan,

oleh karena itu nilai perusahaan dihubungkan dengan persepsi investor

terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga

sahamnya yang tinggi dan kinerja keuangannya yang baik (Weston dan

Copeland, 2010). Investor seringkali menggunakan ukuran kinerja keuangan


2

perusahaan yaitu tingkat laba yang diperoleh perusahaan sebagai indikator

untuk keputusan investasi. Investor berasumsi bahwa pada saat laba

perusahaan tinggi, maka return saham yang diharapkan akan tinggi, dan

kemakmuran mereka juga akan meningkat (Mahendra, 2012).

Aspek dalam kinerja keuangan yang berpengaruh terhadap nilai

perusahaan yaitu profitabilitas. Sebagian besar manajemen perusahaan

mendasarkan kinerjanya pada financial performance dan menganut

paradigma profit oriented. Manajemen berasumsi bahwa suatu perusahaan

dapat dikatakan berhasil dan memiliki nilai perusahaan yang baik apabila

memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi, sebaliknya perusahaan dapat

dikatakan kurang berhasil dan memiliki nilai perusahaan yang kurang baik

apabila memiliki tingkat profitabilitas yang rendah (Brigham dan Houston,

2013).

Profitabilitas didefinisikan sebagai tingkat kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dari aktivitas operasional selama satu periode akuntansi.

Tujuan para investor menanamkan saham pada perusahaan adalah untuk

mendapatkan return saham atau tingkat pengembalian yang diharapkan.

Semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi return

yang diharapkan investor. Tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan

bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik. Prospek yang baik tersebut

akan memberikan sinyal yang positif dan menarik investor untuk berinvestasi

dan pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan (Susanti, 2014).

Profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan melalui Return On Aset

(ROA), karena ROA merupakan tolok ukur investor untuk menilai prestasi
3

manajemen dalam menghasilkan profit perusahaan secara keseluruhan.

Semakin tinggi tingkat ROA maka semakin tinggi pula efektifitas perusahaan

dalam menggunakan aset perusahaan untuk menghasilkan laba dan

meningkatkan nilai perusahaan, serta menimbulkan penilaian yang positif

terhadap nilai perusahaan di kalangan investor (Brigham dan Houston, 2013).

Penelitian Welley dan Untu (2015), Pertiwi (2016), Saridewi (2016),

Fandini (2013), Kurnia (2015), Pangulu (2014), dan Hemastuti (2014)

menyimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap nilai

perusahaan. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi menunjukkan

perusahaan tersebut mampu menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi

terhadap aset atau modal yang diinvestasikan, sehingga mampu meningkatkan

nilai perusahaan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Moniaga

(2013), Warouw (2016), Prasekti (2015), Sari dan Sidiq (2013) yang

menyatakan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

McWilliams dan Siegel (2013) menjelaskan bahwa kinerja keuangan saja

tidak cukup untuk menjamin nilai perusahaan dapat tumbuh secara

berkelanjutan. Perusahaan yang memperhatikan dimensi sosial dan

lingkungan hidup akan memiliki jaminan tentang keberlanjutan perusahaan

(corporate sustainability). Kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan

dari kegiatan bisnis perusahaan telah menjadi bukti bahwa sebagian besar

perusahaan telah menstimulasi potensi ekonomi secara berlebihan untuk

mencapai tujuannya. Tujuan perusahaan seharusnya tidak terbatas pada

upayanya untuk meningkatkan laba dan kemakmuran pemilik perusahaan

(shareholder) saja, tetapi juga bertanggungjawab kepada seluruh pihak yang


4

berkepentingan dengan perusahaan (stakeholder) (Suryani dan Fitria, 2014).

Masyarakat saat ini telah menyadari bahwa hak-hak hak masyarakat

untuk hidup aman dan tenteram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan

mengkonsumsi makanan tidak terpenuhi akibat adanya dampak-dampak

negatif yang ditimbulkan oleh operasional bisnis perusahaan. Masyarakat

semakin menuntut bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan akibat

dampak sosial yang ditimbulkannya sekaligus sebagai bukti terhadap

pemenuhan hak-hak mereka. Tuntutan tersebut melahirkan sebuah konsep

baru tentang aktivitas pertanggungjawaban sosial perusahaan atau dikenal

sebagai Coorporate Social Responsibility (CSR).

Coorporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu konsep yang

tidak merefleksikan tujuan perusahaan pada optimalisasi laba (single bottom

line) saja, tetapi juga memfokuskan diri pada triple bottom lines (profit,

people, planet), yang disosialisasikan kepada masyarakat melalui

pengungkapan sosial dalam laporan tahunan (Suryani dan Fitria, 2014).

Undang-Undang PT No. 40 Pasal 74 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(UU PT) menyebutkan bahwa pengungkapan CSR bukan lagi bersifat

sukarela akan tetapi bersifat wajib. Informasi mengenai dampak sosial dan

lingkungan hidup yang diakibatkan perusahaan beserta aktivitas sosialnya

menjadi lebih transparan dan hak-hak masyarakat terpenuhi dengan adanya

pengungkapan CSR (Handriyani dan Andayani, 2013).

Kasus kebangkrutan Enron di Amerika adalah salah satu contoh dari

sederetan kasus yang terkait dengan hancurnya nilai perusahaan di dunia

bisnis. Harga saham perusahaan di seluruh dunia mengalami gejolak akibat


5

kasus tersebut. Kasus lain yang sangat mengejutkan di tahun 2015 yaitu

skandal penggelembungan laba Thosiba di Jepang. Kedua perusahaan

tersebut beranggapan bahwa laba adalah orientasi utama perusahaan untuk

meningkatkan nilai perusahaan, sehingga alasan kedua perusahaan besar

tersebut melakukan pelanggaran hampir sama, yaitu bertujuan untuk

mempertahankan nilai perusahaan dengan cara meninggikan laba sekaligus

agar dapat mempertahankan investor (Adnantara, 2015).

Kasus pelanggaran Enron dan Thosiba tersebut telah menyebabkan

perusahaan-perusahaan di dunia lebih memberikan perhatian yang besar

terhadap nilai perusahaan di mata masyarakat. Dorongan perusahaan untuk

melakukan pengungkapan informasi keuangan dan nonkeuangan ditimbulkan

oleh isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen resiko, dan

keunggulan kompetitif nampak menjadi kekuatan. Perusahaan tidak hanya

memandang profitablitas sebagai tujuan utama, tetapi ada tujuan lainnya yaitu

kepedulian perusahaan terhadap lingkungan (Retno dan Priantinah, 2012).

Penelitian Li (2016), Li (2017), Servaves dan Tamayo (2013), Osazuwa

dan Che-Ahmad (2015), Sulistyaningsih (2017) menunjukkan bahwa

pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

Kepedulian sosial suatu perusahaan akan memperkuat reputasi dan citra

perusahaan di mata masyarakat. Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa

nilai perusahaan akan semakin meningkat karena pasar akan memberikan

apresiasi positif kepada perusahaan yang mengungkapan CSR yang

ditunjukkan dengan peningkatan harga saham. Hasil penelitian ini

bertentangan dengan penelitian Dewi dan Priyadi (2013), Rindawati dan


6

Asyik (2015), Pradnyani dan Sisdyani (2015), Robiah dan Erawati (2017)

yang menyatakan bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap

nilai perusahaan.

Hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten tersebut membuat peneliti

menambahkan satu variabel yaitu leverage sebagai variabel moderasi.

Variabel moderasi diidentifikasikan dari penelitian-penelitian sebelumnya

yang mempunyai kesimpulan hubungan kausal yang hasilnya konflik, baik

konflik signifikansinya maupun konflik arahnya (Jogiyanto, 2007).

Pertentangan atau konflik pada hasil penelitian terdahulu memungkinkan

adanya variabel lain yang memoderasi hubungan kausal sebelumnya. Variabel

leverage digunakan sebagai variabel moderasi karena diduga dapat

memperlemah hubungan antara profitabilitas dan pengungkapan CSR

terhadap nilai perusahaan.

Tingkat leverage yang tinggi menyebabkan perusahaan harus

mengemban tingginya beban bunga sekaligus kewajiban berupa hutang

pokoknya dan harus dilunasi tepat waktu, sehingga hal ini akan berdampak

pada penurunan jumlah laba bersih yang dilaporkan dan pada akhirnya akan

menurunkan nilai perusahaan (Ashari dan Sampurno, 2017). Teori ini

diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Ratnasari dan Budiyanto (2016),

Enggarwati dan Yahya (2016), Sari dan Abundanti (2013), Putra dan Badjra

(2015), Khan dan Khokar (2015) yang menyatakan bahwa leverage

berpengaruh negatif terhadap profitabilitas.

Perusahaan yang memiliki tingkat leverage tinggi akan cenderung

mengurangi biaya-biaya termasuk biaya aktivitas CSR agar profitabilitas


7

yang dilaporkan tidak terlalu rendah, sehingga pengungkapan informasi CSR

akan berkurang dan menurunkan nilai perusahaan, karena pengungkapan CSR

membutuhkan pengorbanan aset atau aliran dana yang didistribusikan ke

masing-masing item yang akan diungkapkan, dan luasnya pengungkapan

CSR tergantung dari kemampuan perusahaan dalam menyisihkan dana untuk

aktivitas tersebut (Wijaya, 2012). Teori ini diperkuat oleh hasil penelitian

Lucyanda (2013), Setiadewi (2012), Wardani (2013), Putri dan Christiawan

(2012), Maiyarni (2014), Wijaya (2012) yang menyimpulkan bahwa leverage

berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR.

Leverage dalam penelitian ini diproksikan pada DTA (Debt to Total

Asset), karena DTA berpengaruh terhadap ROA, pengungkapan CSR, dan

nilai perusahaan. Semakin tinggi tingkat DTA menunjukkan semakin

besarnya pengeluaran perusahaan terhadap kreditur, sehingga dapat

mengurangi nilai ROA akibat pelunasan kewajiban tersebut. DTA yang tinggi

juga dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam menyediakan dana

bagi aktivitas CSR karena perusahaan harus hemat agar dapat menyediakan

dana untuk melunasi kewajibannya secara tepat waktu (Wijaya, 2012).

Perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia digunakan

sebagai sampel dalam penelitian ini karena dampak negatif yang ditimbulkan

dari kegiatan bisnisnya untuk meningkatkan profitabilitas bersentuhan secara

langsung dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Kasus Enron dan

Thosiba yang telah diungkapkan sebelumnya telah menunjukkan bahwa

tingkat profitabilitas dan pengungkapan CSR sangat penting bagi nilai

perusahaan di mata masyarakat dan dunia bisnis.


8

Pentingnya profitabilitas dan pengungkapan CSR terhadap nilai

perusahaan serta beberapa hasil penelitian yang belum konsisten menjadi

dasar dalam melakukan penelitian ini. Melalui penelitian ini, diharapkan

perusahaan dapat meningkatkan kinerja keuangan dan nonkeuangannya agar

manfaat baik mampu didapatkan oleh perusahaan, masyarakat, dan investor.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan sebelumnya, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap nilai perusahaan manufaktur

sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di BEI tahun 2014-2016?

2. Bagaimana pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility

terhadap nilai perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia

yang terdaftar di BEI tahun 2014-2016?

3. Bagaimana pengaruh leverage sebagai variabel moderating terhadap

hubungan antara profitabilitas dengan nilai perusahaan manufaktur sektor

industri dasar dan kimia yang terdaftar di BEI tahun 2014-2016?

4. Bagaimana pengaruh leverage sebagai variabel moderating terhadap

hubungan antara pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan

nilai perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang

terdaftar di BEI tahun 2014-2016?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari peneltian ini

ialah untuk mengetahui:


9

1. Pengaruh profitabilitas terhadap nilai perusahaan manufaktur sektor

industri dasar dan kimia yang terdaftar di BEI tahun 2014-2016;

2. Pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap nilai

perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di

BEI tahun 2014-2016;

3. Pengaruh leverage sebagai variabel moderasi terhadap hubungan antara

profitabilitas dengan nilai perusahaan manufaktur sektor industri dasar

dan kimia yang terdaftar di BEI tahun 2014-2016; dan

4. Pengaruh leverage sebagai variabel moderasi terhadap hubungan antara

pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan nilai perusahaan

manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di BEI tahun

2014-2016.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan wawasan tambahan mengenai

pengaruh profitabilitas dan pengungkapan CSR terhadap nilai

perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI,

khususnya perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia.

Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai pelengkap kajian teori yang

ada serta membuka wawasan kita akan pentingnya pengungkapan

informasi keuangan dan nonkeuangan dalam meningkatkan nilai

perusahaan karena investor akan memberikan apresiasi positif kepada

perusahaan yang melakukan memiliki kinerja yang baik dalam bidang

keuangan maupun nonkeuangan.


10

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang

Terdaftar di BEI:

a. Memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya kinerja

keuangan dan pertanggungjawaban sosial perusahaan yang

diungkapkan di dalam laporan tahunan;

b. Sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan

manajemen perusahaan untuk lebih meningkatkan

kepeduliannya terhadap ekonomi dan lingkungan sosial; dan

c. Memberikan gambaran mengenai pentingnya tanggungjawab

sosial perusahaan, sehingga pemerintah dapat menindaklanjuti

pengesahan UU PT, dengan mewajibkan semua perusahaan di

Indonesia untuk melaksanakan tanggungjawab sosialnya.

2. Bagi Universitas Kanjuruhan Malang

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi, tambahan

pengetahuan, dan wawasan bagi mahasiswa Universitas

Kanjuruhan Malang maupun mahasiswa lain baik yang tertarik

untuk melanjutkan penelitian sejenis dengan aspek yang lebih

disempurnakan maupun tidak.

3. Bagi Penulis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta

memotivasi penulis untuk mengembangkan penelitian yang lebih

baik lagi.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritik

2.1.1 Signal Theory

Signalling Theory memberikan pemahaman tentang adanya

ketidaksamaan informasi antara pihak internal (manajemen) dan pihak

eksternal perusahaan (investor). Pihak manajemen biasanya memiliki

lebih banyak informasi mengenai kondisi perusahaan yang sebenarnya

dibandingkan pihak investor. Asimetri informasi tersebut dapat

dihindari apabila manajemen mengeluarkan laporan tahunan sebagai

sinyal kepada para investor mengenai prospek perusahaan kedepannya.

Laporan tahunan memuat informasi yang berkaitan dengan kinerja

keuangan dan kinerja nonkeuangan (Sari dan Sidiq, 2013).

Informasi berkaitan dengan kinerja keuangan dan kinerja

nonkeuangan yang diberikan kepada publik akan memberikan sinyal

kepada para investor dalam mengambil keputusan investasi. Sinyal

yang diberikan oleh perusahaan mengandung bad news (berita buruk)

atau good news (berita baik). Sinyal yang diberikan kepada publik akan

mempengaruhi fluktuasi harga saham perusahaan. Harga saham akan

naik apabila perusahaan menginformasikan kabar baik, sebaliknya jika

perusahaan menginformasikan kabar buruk maka harga saham akan

turun. Perusahaan harus memberikan informasi yang berisi kabar baik

agar dapat dipresepsikan secara positif oleh pasar dan sahamnya


12

diminati oleh calon investor (Sari dan Sidiq, 2013).

Profitabilitas merupakan salah satu bentuk kinerja keuangan dan

pengungkapan Corporate Social Responsibility merupakan salah satu

bentuk kinerja nonkeuangan, yang keduanya diungkapkan dalam

laporan tahunan (Saridewi, 2016). Tujuan perusahaan memberikan

informasi yang berkaitan dengan kinerja keuangan dan kinerja

nonkeuangan ialah untuk menjelaskan bagaimana kondisi nilai

perusahaan pada saat itu, dengan harapan dapat memperoleh respon

yang positif dari investor sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan

nilai perusahaan (Saridewi, 2016).

2.1.2 Stakeholder Theory

Teori stakeholders berasumsi bahwa perusahaan merupakan suatu

entitas yang beroperasi bukan hanya untuk kepentingan perusahaan itu

sendiri, tetapi juga harus memberikan manfaat kepada stakeholdernya.

Semua pihak yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan

dipengaruhi perusahaan disebut sebagai stakeholder, seperti karyawan,

masyarakat, perusahaan pesaing, dan pemerintah (Rosiana, 2013).

Kelompok tersebut menjadi pertimbangan paling penting untuk

perusahaan dalam mengungkapkan informasinya, dengan demikian

keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang

diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan (Hadi, 2014).

Perusahaan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dan sosial.

Perhatian terhadap perekonomian sekaligus lingkungan telah menjadi

bagian integral dari literatur dan praktik bisnis perusahaan (Mirvis,


13

2012). Teori tersebut menegaskan bahwa perusahaan perlu menjaga

legitimasi stakeholder serta memposisikannya dalam kerangka

kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung

pencapaian tujuan perusahaan, yaitu kelangsungan hidup perusahaan

(going concern) dan nilai perusahaan (Handriyani dan Andayani,

2013).

2.1.3 Legitimacy Theory

Legitimasi dalam dunia bisnis merupakan teori yang menjelaskan

tentang keberpihakan operasional perusahaan terhadap perekonomian,

lingkungan dan masyarakat (Retno dan Priantinah, 2012). Operasional

perusahaan sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan

kepada perekonomian lingkungan dan masyarakat, harus selaras atau

kongruen dengan kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat dan

investor (Handriyani dan Andayani, 2013).

Teori legitimasi merupakan suatu gagasan tentang kontrak sosial

antara perusahaan dengan masyarakat dan investor. Teori tersebut

berasumsi untuk diterima oleh masyarakat dan di dunia bisnis,

perusahaan harus mengungkapkan aktivitas sosial perusahaan sehingga

sustainability perusahaan terjamin dan mampu menjelaskan bagaimana

kinerja keuangan perusahaan mampu memberikan keyakinan terhadap

keputusan investasi investor (Branco dan Lima, 2008).

Teori legitimasi menjelaskan bahwa perusahaan harus

memperhatikan kinerja keuangan dan kinerja nonkeuangan yang baik

agar aktivitas operasional perusahaan dapat diterima dan diakui oleh


14

masyarakat dan dunia bisnis. Upaya perusahaan dalam meningkatkan

kinerja keuangan dan kinerja nonkeuangan menjadi salah satu cara

perusahaan untuk menunjukkan kinerja yang baik kepada masyarakat

dan investor yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan

serta menjadi daya tarik perusahaan dalam hal penanaman modal

(Evandini, 2014).

2.1.4 Pecking Order Theory

Leverage perusahaan sangat berkaitan dengan teori pecking order

yang menyatakan bahwa perusahaan lebih suka pendanaan internal

dibandingkan pendanaan eksternal, utang yang aman dibandingkan

utang yang berisiko serta yang terakhir adalah saham biasa. Pentingnya

internal financing yang cukup bagi perusahaan untuk mendanai

operasional bisnis merupakan asumsi penting yang mendasari

terbentuknya teori pecking order, karena pendanaan dari luar atau

leverage dapat menurunkan profitabilitas perusahaan (Ashari dan

Sampurno, 2017).

Pecking order theory menyarankan bahwa keputusan financing

mengikuti suatu hirarki dimana sumber pendanaan dari dalam

perusahaan (internal financing) lebih didahulukan daripada sumber

pendanaan dari luar perusahaan (external financing). Perusahaan yang

menggunakan pendanaan dari luar, pinjaman (debt) lebih diutamakan

daripada pendanaan dengan tambahan modal dari pemegang saham

baru (external equity) (Ashari dan Sampurno, 2017)..

Tingkat hutang yang tinggi memberikan resiko yang besar berupa


15

ketidakmampuan membayar bunga dan pokok pinjaman yang besar

dan harus dibayarkan tepat waktu sesuai dengan kontrak perjanjian

tanpa perduli seberapa besar tingkat profitabilitas yang didapat

perusahaan, sehingga hal tersebut dapat mengurangi laba bersih yang

akan dilaporkan. Meningkatnya hutang tersebut akan menstimulasi

perusahaan untuk berupaya mengurangi biaya-biaya termasuk biaya

pengungkapan CSR, agar perusahaan memiliki cukup dana untuk

melunasi hutangnya secara tepat waktu (Sari dan Sidiq, 2013).

2.1.5 Profitabilitas

Profitabilitas menurut Commite on Therminology merupakan selisih

lebih yang berasal dari pendapatan penjualan dengan biaya penjualan

dan kerugian dari penjualan atau penghasilan operasional perusahaan.

Profitabilitas menurut APB statement merupakan kelebihan

penghasilan diatas biaya dan beban yang dikeluarkan selama satu

periode pelaporan akuntansi (Suryani dan Fitria, 2014).

Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba selama periode tertentu pada tingkat penjualan, aset

dan modal saham tertentu. Investor dapat melihat seberapa efisien

perusahaan menggunakan aset dalam melakukan operasinya melalui

tingkat profitabilitas (Mardiyanti, 2012). Profitabilitas perusahaan

dapat diukur berdasarkan laba bersih, aset atau modal yang akan

diperbandingkan antar satu dengan yang lainnya (Kasmir, 2013). Para

investor menanamkan saham pada perusahaan untuk mendapatkan

return. Semakin tinggi profitabilitas suatu perusahaan, maka semakin


16

besar ketertarikan investor untuk berinvestasi dengan asumsi tingkat

return yang diharapkan investor juga akan semakin tinggi, yang pada

akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan (Agustina, 2013).

Pertumbuhan profitabilitas digunakan investor sebagai indikator

untuk melihat prospek perusahaan di masa mendatang. Investor

memperhatikan indikator tersebut untuk mengetahui seberapa besar

return yang dapat diterima investasi yang dilakukannya. Nilai

perusahaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan profitabilitas

dan tergantung bagaimana persepsi investor terhadap peningkatan

profitabilitas perusahaan tersebut. Persepsi investor terhadap tingkat

profitabilitas akan mempengaruhi harga saham sekaligus nilai dari

perusahaan (Munawaroh dan Priyadi, 2014).

2.1.6 Konsep Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial

perusahaan adalah suatu komitmen perusahaan secara berkelanjutan

untuk bertindak etis dengan memberikan kontribusi positif terhadap

kelestarian lingkungan hidup, perkembangan ekonomi dan komunitas

setempat maupun masyarakat luas (Wardani, 2013). Hal ini sesuai

dengan konsep 3P atu triple bottom line (Profit, Planet, and People)

yang dipopulerkan oleh John Ellingkton (1997) dalam bukunya yang

berjudul Cannibals with forks, The Triple Bottom Line in 21 th Country

Business menegaskan bahwa jika perusahaan ingin berkelanjutan

(sustainable), maka perusahaan itu tidak hanya berorientasi pada laba

material (profit) saja, melainkan juga kepedulian terhadap kelestarian


17

lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Untung,

2014:10).

The World Business Council for Sustainable Development

(WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai Continuing Commitment by

business to behave ethically and contribute to economic development

while improving the quality of life of the workforce and their famillies

as well as of the local community and society at large. Definisi tersebut

menunjukkan bahwa CSR merupakan suatu bentuk tindakan wajib

yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan

untuk meningkatkan ekonomi, kualitas hidup bagi karyawan dan

keluarganya, sekaligus bagi masyarakat sekitar atau secara luas dengan

cara yang bermanfaat baik bagi bisnis itu sendiri maupun

pembangunan (Hadriyani dan Andayani, 2014).

Kewajiban pelaksanaan CSR ditegaskan dalam Undang-Undang PT

No. 40 Pasal 74 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang

disahkan pada 20 Juli 2007. UU tersebut menjelaskan bahwa

perusahaan yang operasional bisinisnya berkaitan dengan pemakaian

SDA wajib melakukan aktivitas CSR dan pengungkapannya yang

dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan, dimana

pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan

kewajaran.

Sanksi pidana yang berkaitan dengan pelanggaran CSR dimuat

dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UU PLH) Pasal 41 ayat (1). Pasal tersebut menyatakan bahwa


18

perusahaan yang melawan hukum dengan sengaja melakukan

perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan, diancam dengan

pidana kurungan paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak

lima ratus juta rupiah. Perusahaan yang karena kealpaannya melakukan

perbuatan dan mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan

hidup, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga tahun dan

denda paling banyak seratus juta rupiah.

Perusahaan dikelompokkan ke dalam beberapa kategori

berdasarkan kemampuan dan komitmen perusahaan dalam

melaksanakan aktivitas CSR. Pengkategorian tersebut bertujuan untuk

memotivasi perusahaan agar meningkatkan aktivitas CSR, serta dapat

dijadikan cermin dan guideline untuk menentukan model CSR yang

tepat (Ramona, 2017).

Beberapa kategori perusahaan berdasarkan dua pendekatan menurut

Ramona (2017) yaitu:

1. Berdasarkan tingkat profit yang dimiliki perusahaan dan besarnya

anggaran dana untuk aktivitas CSR:

a. Perusahaan minimalis, yaitu perusahaan yang memiliki profit

dan anggaran CSR yang rendah. Perusahaan yang kecil dan

lemah biasanya termasuk dalam kategori ini.

b. Perusahaan ekonomis, yaitu perusahaan yang memiliki profit

tinggi namun anggaran CSR rendah. Perusahaan yang termasuk

dalam kategori ini adalah perusahaan besar namun pelit.

c. Perusahaan humanis, yaitu perusahaan yang memiliki profit


19

rendah namun proporsi anggaran CSR yang didistribusikan

relatif tinggi, sehingga disebut sebagai perusahaan dermawan

atau baik hati.

d. Perusahaan reformis, yaitu perusahaan yang memiliki tingkat

profit tinggi dan proporsi anggaran CSR tinggi. Pengungkapan

CSR tidak dipandang sebagai beban, melainkan peluang untuk

meningkatkan nilai perusahaan.

2. Berdasarkan tujuan CSR, apakah untuk promosi atau

pemberdayaan masyarakat:

a. Perusahaan pasif, yaitu perusahaan yang menerapkan CSR

tanpa tujuan jelas, bukan untuk promosi dan pemberdayaan.

Promosi dan pengungkapan CSR dianggap sebagai hal yang

kurang bermanfaat bagi bisnis perusahaan tersebut.

b. Perusahaan impresif, yaitu CSR lebih ditujukan untuk promosi

daripada pemberdayaan. Perusahaan kategori ini lebih

mementingkan tebar pesona daripada karya nyata.

c. Perusahaan agresif, yaitu CSR difokuskan untuk pemberdayaan

daripada promosi. Karya nyata lebih diutamakan daripada tebar

pesona dalam perusahaan kategori ini.

d. Perusahaan progresif, yaitu CSR diterapkan untuk tujuan

promosi sekaligus pemberdayaan. Promosi dan pemberdayaan

dipandang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menunjang

bagi peningkatan nilai perusahaan.

2.1.7 Pengungkapan Corporate Social Responsibility


20

Tuntutan masyarakat terhadap perusahaan untuk tidak hanya

memperhatikan kepentingan shareholder-nya saja, semakin memaksa

perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya

sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat yang ikut

menanggung dampak negatif dari aktivitas bisnis yang ditimbulkannya.

Masyarakat membutuhkan informasi tersebut untuk mengetahui sejauh

mana perusahaan telah melakukan aktivitas sosialnya, sehingga

kepastian mengenai hak masyarakat untuk hidup aman dan tenteram,

dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi.

Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan

salah satu aspek penting dari akuntabilitas perusahaan terhadap sosial

dan lingkungan (Aditya, 2012). Tujuan pengungkapan tanggungjawab

sosial adalah sebagai bentuk kepedulian perusahaan baik kepada

shareholder maupun stakeholder. Pengungkapan CSR mencakup

perluasan akuntabilitas suatu organisasi, tidak hanya sekedar

menyajikan laporan keuangan kepada pemegang saham. Perluasan

tersebut berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa

perusahaan memiliki tanggungjawab yang lebih luas dari pada hanya

sekedar mencari laba untuk kepentingan shareholders, karena

pengungkapan CSR merupakan proses pengkomunikasian dampak

sosial dan lingkungan akibat operasional bisnis perusahaan terhadap

lingkungan dan masyarakat (Dewi dan Priyadi, 2013).

Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) diungkapkan

di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability


21

Reporting merupakan dokumen yang isinya berkaitan dengan aktivitas

CSR yang menyangkut kebijakan perusahaan dalam bidang ekonomi,

lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja, serta produk perusahaan

di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Sustainable

Development). Sustainability Reporting menjadi dokumen strategik

yang berlevel tinggi dalam menempatkan isu, tantangan dan peluang

Sustainability Development yang membawanya menuju core business

dan sektor industrinya (Munawaroh dan Priyadi, 2014).

Standar yang ditetapkan GRI (Global Reporting Initiative)

merupakan standar pengungkapan CSR yang berkembang di Indonesia.

GRI merupakan kerangka pelaporan pertanggung jawaban aktivitas

sosial perusahaan yang terdiri dari prinsip-prinsip, panduan dan standar

pengungkapan termasuk indikator kinerja (Ramona, 2017). Standar

GRI dipilih karena lebih berfokus pada tiga aspek penting dalam dunia

bisnis, yaitu kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan

(www.globalreporting.org).

Standar GRI versi terbaru yang telah banyak digunakan oleh

perusahaan di Indonesia yairu GRI G4. GRI G4 terdiri dari 6 indikator

pengungkapan (performance indicators) dengan 91 item yang

diungkapkan. 6 indikator pengungkapan yang terdapat di dalam GRI

G4 yang digunakan dalam penelitian yaitu:

1. Indikator Kinerja Ekonomi (Economic Performance Indicator)

2. Indikator Kinerja Lingkungan (Environment Performance

Indicator)
22

3. Indikator Kinerja Tenaga Kerja (Labor Practices Performance

Indicator)

4. Indikator Kinerja Hak Asasi Manusia (Human Rights Performance

Indicator)

5. Indikator Kinerja Sosial (Social Performance Indicator)

6. Indikator Kinerja Produk (Product Responsibility Performance

Indicator) (www.globalreporting.org)

Indikator yang digunakan dalam mengukur luas pengungkapan

CSR hanya terdiri dari tiga kategori, yaitu indikator kinerja ekonomi,

lingkungan, dan sosial. Indikator kinerja sosial telah mencakup empat

indikator yang terdiri dari indikator tenaga kerja, hak asasi manusia,

sosial/kemasyarakatan, dan produk. Setiap item CSR dalam instrumen

penelitian diberi skor 1 jika kategori informasi tersebut diungkapkan di

laporan tahunan, dan diberi skor 0 jika item tersebut tidak diungkapkan

di laporan tahunan (www.globalreporting.org).

Adapun rumus untuk pengungkapan (Corporate Social

Responsibility) CSR dengan GRI G4 yaitu:

CSRIy = ∑X
n y × 100%
n
Keterangan:

CSRIy : Indeks pengungkapan CSR perusahaan y

∑Xy : Jumlah item pengungkapan perusahaan y

n : Jumlah item pengungkapan menurut GRI G4, a = 91

2.1.8 Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan merupakan indikator yang mengukur tingkat


23

keberhasilan suatu perusahaan dalam mengelola sumberdayanya dan

berkaitan erat dengan harga sahamnya. Nilai perusahaan digunakan

sebagai tolok ukur oleh investor untuk menilai perusahaan secara

keseluruhan, guna mengambil keputusan untuk berinvestasi. Nilai

perusahaan yang tinggi akan meningkatkan kepercayaan investor

terhadap kinerja perusahaan saat ini dan prospek perusahaan yang akan

datang (Hermuningsih, 2013).

Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran bagi para

pemegang saham (shareholders) secara maksimum apabila harga

saham meningkat, sehingga nilai perusahaan dapat dikatakan sebagai

nilai pasar. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi tingkat

kemakmuran shareholders. Harga saham terbentuk atas permintaan dan

penawaran investor, sehingga harga saham tersebut dapat dijadikan

proksi nilai perusahaan. Selain harga saham, sumber keuangan seperti

hutang dan nilai ekuitas perlu mendapat perhatian khusus untuk

memaksimalkan nilai perusahaan (Dewi dan Wirajaya, 2013).

Nilai perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan

Tobin’s Q karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang

dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa dan ekuitas

perusahaan saja, namun seluruh aset juga dimasukkan (Weston dan

Copeland, 2010). Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan tidak

terfokus pada investor dalam bentuk saham saja. Perusahaan yang

memiliki Tobin’s Q dengan nilai yang semakin tinggi menunjukkan

bahwa prospek pertumbuhan perusahaan semakin baik, karena investor


24

akan mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk perusahaan yang

memiliki nilai pasar aset yang lebih besar daripada nilai bukunya.

Pengukuran nilai perusahaan dengan metode Tobins Q

dikembangkan oleh James Tobin versi Weston dan Copeland (2010).

Nilai tobins Q dihitung berdasarkan perbandingan antara rasio nilai

pasar saham perusahaan dengan nilai buku ekuitas perusahaan (Weston

dan Copeland, 2010).

Adapun rumus dari nilai perusahaan yang diproksi dengan Tobin’s

Q yaitu:

Q= (EMV× +100%
D)
Keterangan: (EBV + D)

Q : Nilai perusahaan

EMV : Nilai pasar ekuitas (closing price × jumlah saham beredar)

D : Nilai buku dari total hutang (hutang lancar + jangka panjang)

EBV : Nilai buku ekuitas (total aset - total kewajiban)

2.1.9 Leverage

Leverage merupakan alat ukur bagi perusahaan yang menunjukkan

seberapa besar perusahaan tersebut tergantung pada kreditur dalam

membiayai aset perusahaan (Rindawati, 2015). Perusahaan yang

mempunyai tingkat leverage tinggi berarti sangat tergantung pada

pinjaman luar atau pendanaan eksternal (eksternal financing) untuk

membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan yang memiliki tingkat

leverage lebih rendah lebih banyak membiayai asetnya dengan modal


25

sendiri atau pendanaan internal (internal financing).

Halim (2014) mendefinisikan leverage sebagai rasio yang

digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar perusahaan dibiayai

oleh utang. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin jelek,

karena semakin tinggi pula risiko keuangan yang ditanggung oleh

perusahaan. Hal ini disebabkan karena semakin besar proporsi dana

yang berasal dari utang atau dengan kata lain semakin besar rasio utang

dengan aset atau rasio utang dengan ekuitas. Risiko tersebut

menggambarkan kondisi ketidakmampuan perusahaan untuk melunasi

biaya tetap berupa beban bunga atau pelunasan utang pokoknya secara

tepat waktu dalam situasi perekonomian yang memburuk.

Keputusan manajemen perusahaan untuk menekan tingkat leverage

mengacu pada pecking order theory yang menyatakan bahwa apabila

manajemen perusahaan ingin menjaga agar rasio leverage tidak

bertambah tinggi, maka pendanaan internal (internal financing) harus

dilakukan. Apabila pendanaan dari luar (eksternal financing)

diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling

aman terlebih dahulu, yaitu obligasi kemudian diikuti sekuritas yang

berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi). Apabila dana yang

diperoleh masih belum mencukupi, maka perusahaan akan menerbitkan

saham (Sari dan Sidiq, 2013).

2.2 Tinjauan Empirik

Penelitian ini didasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, akan tetapi penelitian ini memiliki perbedaan mendasar yang


26

digunakan sebagai gap research dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini

menggunakan leverage (DTA) sebagai variabel pemoderasi. Hal tersebut

dilakukan karena adanya hasil penelitian yang tidak konsisten. Variabel

moderasi mengacu pada Jogiyanto (2007) diidentifikasikan dari penelitian-

penelitian sebelumnya yang mempunyai kesimpulan kausal yang hasilnya

bertentangan atau konflik, baik konflik yang berkaitan dengan signifikansinya

maupun arah hubungannya. Pertentangan atau konflik dari hasil penelitian

terdahulu memungkinkan adanya variabel lain yang memoderasi atau

berpengaruh terhadap hubungan kausal sebelumnya.

Penelitian Welley dan Untu (2015), Pertiwi (2016), Saridewi (2016),

Fandini (2013), Kurnia (2015), Pangulu (2014), dan Hemastuti (2014)

menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap nilai

perusahaan. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi

menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan tingkat pengembalian

yang tinggi terhadap aset atau modal yang diinvestasikan, sehingga mampu

menarik calon investor dan meningkatkan nilai perusahaan.

Penelitian Moniaga (2013), Warouw (2016), Prasekti (2015), Sari dan

Sidiq (2013) menunjukkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap

nilai perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena sebagian besar perusahaan

sampel memiliki tingkat profitabilitas yang rendah sehingga tidak mampu

meningkatkan nilai perusahaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li (2016), Li (2017), Servaves dan

Tamayo (2013), Osazuwa dan Che-Ahmad (2015), Sulistyaningsih (2017)

menyimpulkan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap nilai


27

perusahaan, dimana nilai perusahaan akan meningkat seiring dengan

meningkatnya aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Hsun-Lee (2017),

Nurhayati dan Wedyawati (2012), Ramona (2017), Ramdhani dan

Hadiprajitno (2012), Setianingrum (2014), Handriyani dan Andayani (2013)

menyimpulkan bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap nilai

perusahaan, karena aktivitas CSR sangat sedikit diungkapkan oleh perusahaan

sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap nilai perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari dan Budiyanto (2016),

Enggarwati dan Yahya (2016), Sari dan Abundanti (2013), Putra dan Badjra

(2015), Khan dan Khokar (2015) menyatakan bahwa leverage berpengaruh

negatif terhadap profitabilitas, karena perusahaan harus melunasi kewajiban

berupa hutang pokoknya secara tepat waktu, sehingga hal ini akan berdampak

pada penurunan jumlah laba bersih yang dilaporkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo dan Wartini (2012), Setiadewi

dan Purbawangsa (2012), Putri (2015), Ariyanti (2012) menyatakan bahwa

leverage tidak berpengaruh terhadap profitabilitas, karena sebagian besar

pendanaan operasional perusahaan berasal dari pendanaan internal.

Penelitian yang dilakukan Lucyanda (2013), Setiadewi (2012), Wardani

(2013), Putri dan Christiawan (2012), Maiyarni (2014), Wijaya (2012)

menyimpulkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan

CSR. Perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi akan cenderung

mengurangi dana untuk aktivitas CSR agar profitabilitas yang dilaporkan

tidak terlalu rendah, sehingga pengungkapan informasi CSR juga akan


28

berkurang

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Priyadi (2013), Rindawati dan

Asyik (2015), Pradnyani dan Sisdyani (2015), Robiah dan Erawati (2017)

menyimpulkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan

CSR, dimana perusahaan akan tetap melakukan pengungkapan CSR pada saat

tingkat leverage tinggi maupun rendah.

Tabel 2.1 Gap Research Penelitian-Penelitian Terdahulu


Peneliti Hasil Penelitian
Welley dan Untu (2015), Pertiwi Profitabilitas berpengaruh positif
(2016), Saridewi (2016), Fandini terhadap nilai perusahaan.
(2013), Kurnia (2015), Pangulu (2014),
dan Hemastuti (2014)
Moniaga (2013), Warouw (2016), Profitabilitas tidak berpengaruh
Prasekti (2015), Sari dan Sidiq (2013) terhadap nilai perusahaan
Li (2016), Li (2017), Servaves dan Pengungkapan Corporate Social
Tamayo (2013), Osazuwa dan Che- Responsibility berpengaruh
Ahmad (2015), Sulistyaningsih (2017) positif terhadap nilai perusahaan.

Chen dan Hsun-Lee (2017), Nurhayati Pengungkapan Corporate Social


dan Wedyawati (2012), Ramona (2017), Responsibility tidak berpengaruh
Ramdhani dan Hadiprajitno (2012), terhadap nilai perusahaan.
Setianingrum (2014), Handriyani dan
Andayani (2013)
Ratnasari dan Budiyanto (2016), Leverage berpengaruh negatif
Enggarwati dan Yahya (2016), Sari dan terhadap profitabilitas
Abundanti (2013), Putra dan Badjra
(2015), Khan dan Khokar (2015)
Wibowo dan Wartini (2012), Setiadewi Leverage tidak berpengaruh
dan Purbawangsa (2012), Putri (2015), terhadap profitabilitas
Ariyanti (2012)
Lucyanda (2013), Setiadewi (2012), Leverage berpengaruh negatif
Wardani (2013), Putri dan Christiawan terhadap pengungkapan
(2012), Maiyarni (2014), Wijaya (2012) Corporate Social Responsibility
Dewi dan Priyadi (2013), Rindawati dan Leverage tidak berpengaruh
Asyik (2015), Pradnyani dan Sisdyani terhadap pengungkapan
(2015), Robiah dan Erawati (2017) Corporate Social Responsibility

2.3 Rerangka Konseptual Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas, satu variabel moderasi, dan
29

satu variabel terikat. Variabel bebas yaitu Profitabilitas (ROA) dan

Pengungkapan CSR. Variabel moderasi yaitu Leverage (DTA), sedangkan

variabel terikat dalam penelitian ini adalah nilai perusahaan.

Adapun ilustrasi rerangka konseptual mengenai hubungan variabel-

variabel tersebut yaitu:

X1

X3 Y

X2

Gambar 2.1 Rerangka Konseptual Penelitian


Keterangan:
X1 : Profitabilitas (ROA)
X2 : Pengungkapan CSR
X3 : Leverage (DTA)
Y : Nilai Perusahaan (Q)

2.4 Hipotesis Penelitian

2.4.1 Pengaruh Profitabilitas terhadap Nilai Perusahaan

Prestasi kinerja manajemen dalam mengelola aset perusahaan

dapat dilihat dari tingkat profitabilitas yang didapatkan perusahaan.

Ukuran profitabilitas dapat berbagai macam seperti laba operasi, laba

bersih, tingkat pengembalian investasi/aset, dan tingkat pengembalian

ekuitas pemilik. Peningkatan kemakmuran pemilik dan para pemegang

saham yang tercermin pada harga saham merupakan salah satu dari

berbagai kebijakan yang diambil manajemen dalam upayanya untuk

meningkatkan nilai perusahaan. Kondisi tersebut akan menstimulasi


30

investor untuk menganalisis nilai perusahaan, karena analisis nilai

perusahaan akan memberikan kebermanfaatan informasi kepada

investor dalam menilai prospek perusahaan di masa mendatang dalam

menghasilkan laba (Hermuningsih, 2013).

Profitabilitas merupakan salah satu bagian finansial yang

berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Profitabilitas menunjukkan

tingkat keuntungan bersih yang mampu diraih oleh perusahaan saat

menjalankan operasinya. Para pemegang saham selalu menginginkan

keuntungan dari investasi yang mereka tanamkan pada perusahaan,

keuntungan tersebut diperoleh dari keuntungan setelah bunga dan

pajak. Semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, semakin besar

kemampuan perusahaan untuk membayarakan devidennya, sehingga

akan semakin banyak investor yang berinvestasi pada perusahaan dan

nilai perusahaan akan meningkat. Teori tersebut diperkuat oleh

penelitian Welley dan Untu (2015), Pertiwi (2016), Saridewi (2016),

Fandini (2013), Kurnia (2015), Pangulu (2014), dan Hemastuti (2014)

yang menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap

nilai perusahaan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan hipotesis pertama

dalam penelitian ini yaitu:

H1 : Profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

2.4.2 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap

Nilai Perusahaan

Pengungkapan CSR diwujudkan melalui kinerja ekonomi,


31

lingkungan dan sosial. Semakin luas pengungkapan CSR, maka

investor akan memberikan respon yang positif karena para investor

lebih tertarik untuk menginvestasikan modalnya pada perusahaan yang

ramah lingkungan dan melakukan pengungkapan CSR secara

berkelanjutan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan

(Suryani dan Fitria, 2014).

Perhatian perusahaan terhadap dimensi ekonomi, sosial dan

lingkungan hidup akan meningkatkan nilai perusahaan secara

berkelanjutan (sustainable). Dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan

hidup merupakan bentuk satu kesatuan yang terintegrasi dalam CSR

yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas

dampak negatif dari aktivitas operasional (Suryani dan Fitria, 2014).

Perusahaan perlu melakukan pengungkapan CSR agar investor tertarik

dalam mengambil keputusan berinvestasi. Stabilitas dan kemakmuran

ekonomi dapat dicapai jika perusahaan melakukan aktivitas sosial

sebagaimana yang telah dinyatakan menurut paradigma enlightened

self-interest (Retno dan Priantinah, 2012).

Penelitian yang dilakukan Li (2016), Li (2017), Servaves dan

Tamayo (2013), Osazuwa dan Che-Ahmad (2015), Sulistyaningsih

(2017) memperkuat teori yang menyatakan bahwa pengungkapan CSR

berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan

semakin meningkat karena pasar memberikan apresiasi positif kepada

perusahaan yang melakukan pengungkapan CSR yang ditunjukkan

dengan peningkatan harga saham.


32

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan hipotesis kedua dalam

penelitian ini yaitu:

H2 : Pengungkapan Corporate Social Responsibility berpengaruh

terhadap nilai perusahaan.

2.4.3 Pengaruh Leverage (DTA) sebagai Variabel Moderasi terhadap

Hubungan antara Profitabilitas (ROA) terhadap Nilai Perusahaan

Rasio leverage yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tidak

solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingkan dengan total

asetnya. Leverage menunjukkan seberapa besar jumlah dana yang

disediakan oleh kreditur, dan seberapa besar total hutang terhadap

keseluruhan aktiva suatu perusahaan. Investor akan berpikir dua kali

untuk berinvestasi ketika melihat sebuah perusahaan dengan aset yang

tinggi namun leveragenya juga tinggi. Investor khawatir apabila tingkat

rasio hutang terhadap aset lebih tinggi dari total aset akan

meningkatkan risiko investasi, yaitu ketika perusahaan tidak dapat

melunasi kewajibannya dalam pembagian deviden secara tepat waktu

(Kasmir, 2013).

Pecking Order Theory menyatakan bahwa besarnya rasio leverage

membuat perusahaan harus mengemban tingginya beban bunga

sekaligus kewajiban berupa hutang pokoknya dan harus dilunasi tepat

waktu, sehingga hal ini akan berdampak pada penurunan profitabilitas

perusahaan dan berdampak pada penurunan nilai perusahaan (Gunde,

2016). Teori ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Ratnasari dan

Budiyanto (2016), Enggarwati dan Yahya (2016), Sari dan Abundanti


33

(2013), Putra dan Badjra (2015), Khan dan Khokar (2015) yang

menyatakan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap

profitabilitas.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan hipotesis ketiga dalam

penelitian ini yaitu:

H3 : Leverage memoderasi (memperlemah) hubungan antara

profitabilitas dengan nilai perusahaan.

2.4.4 Pengaruh Leverage (DTA) sebagai Variabel Moderasi terhadap

Hubungan antara Pengungkapan Corporate Social Responsibility

terhadap Nilai Perusahaan

Leverage merupakan alat ukur kinerja keuangan perusahaan yang

digunakan untuk mengetahui seberapa besar modal dan aset

perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aktivitas

perusahaaan. Semakin tinggi tingkat leverage, semakin besar

kemungkinan manajemen perusahaan untuk berusaha melaporkan laba

yang lebih tinggi dengan mengurangi biaya-biya operasional

perusahaan termasuk biaya aktivitas sosial perusahaan (Janra, 2015).

Berkurangnya biaya untuk aktivitas sosial akibat tingkat leverage

yang tinggi menyebabkan aktivitas sosial yang dilakukan perusahaan

juga akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan keputusan untuk

melakukan aktivitas sosial dapat membuat suatu pengeluaran yang

akan menambah pembiayaan perusahaan (Wijaya, 2012). Secara

teoritis, sedikitnya dana yang disisihkan untuk aktivitas CSR, maka

sedikit pula mengungkapkan informasi tanggungjawab sosialnya, dan


34

pada akhirnya akan menurunkan nilai perusahaan. Teori ini diperkuat

oleh hasil penelitian Lucyanda (2013), Setiadewi (2012), Wardani

(2013), Putri dan Christiawan (2012), Maiyarni (2014), Wijaya (2012)

yang menyimpulkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap

pengungkapan Corporate Social Responsiblity.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan hipotesis keempat

dalam penelitian ini yaitu:

H4 : Leverage memoderasi (memperlemah) hubungan antara

pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan nilai

perusahaan.

BAB III
35

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian konklusif (conclusive) atau

penelitian kausal (casual research), yaitu penelitian yang mengkaji

keterkaitan sebab-akibat antara dua fenomena atau lebih. Tujuan penelitian

kausal ini adalah untuk memahami variabel mana yang menjadi penyebab

(cause) dan variabel mana yang menjadi akibat (effect) dan juga untuk

melihat hubungan antara variabel penyebab dan variabel akibat, apakah

positif ataukah negatif (Indrawati, 2015:116).

Penelitian kausal biasanya dilakukan saat peneliti sudah melihat atau

membaca penelitian sebelumnya yang membahas hubungan antar variabel.

Peneliti selanjutnya melakukan penelitian ulang untuk melakukan pengujian

apakah hubungan antar variabel yang terjadi dalam penelitian sebelumnya

juga terjadi dalam objek atau bidang yang diteliti saat ini (Indrawati,

2015:116). Peneliti menggunakan jenis penelitian konklusif (conclusive) atau

penelitian kausal (casual research) karena peneliti ingin mengetahui pengaruh

profitabilitas (ROA) dan pengungkapan Corporate Social Responsibility

terhadap nilai perusahaan dengan leverage sebagai variabel moderating

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode

penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang mencoba melakukan

pengukuran yang akurat terhadap perilaku, pengetahuan, opini atau sikap

berdasarkan gambaran karakteristik atau fungsi dari satu atau beberapa

variabel dalam suatu situasi (Indrawati, 2015:184).


36

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian (scape of research) merupakan objek dari

penelitian itu sendiri (Arikunto, 2013). Objek penelitian merupakan sasaran

ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu tentang

suatu hal yang objektif, valid, dan reliable tentang suatu hal (variabel

tertentu), yang memberikan batasan sampai sejauh mana penelitian dapat

dilakukan sehingga penelitian dapat terfokuskan (Sugiyono, 2014).

Objek penelitian yang digunakan sebagai batasan dalam penelitian ini

yaitu perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia, yang secara konsisten listing dan menerbitkan laporan

tahunan (annual report) tahun 2014-2016. Adapun variabel-variabel yang

menjadi fokus utama dalam penelitian ini yaitu Profitabilitas (ROA),

pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR), Nilai Perusahaan (Q)

dan leverage (DTA).

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan kelompok orang, kejadian, benda-

benda yang menarik peneliti untuk ditelaah dan menjadi pembatas dari

hasil penelitian yang diperoleh (Indrawati, 2015:164). Populasi yang

akan dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini adalah 68 perusahaan

manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang listing di BEI tahun

2014-2016 dengan alasan dampak dari aktivitas operasional perusahaan

tersebut bersentuhan langsung dengan lingkungan dan masyarakat


37

sekitar.

3.3.2 Sampel

Sampel merupakan anggota-anggota populasi yang terpilih untuk

dilibatkan dalam penelitian, baik untuk diamati, diberi perlakuan,

maupun dimintai pendapat yang berkaitan dengan hal-hal yang sedang

diteliti (Indrawati, 2015:164). Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini adalah propability sample dengan jenis purposive

judgement sampling, yaitu teknik sampling yang memungkinkan

anggota-anggota dalam populasi mempunyai peluang atau probabilitas

yang sama untuk dipilih sebagai sampel yang representatif sesuai

dengan kriteria sampel yang ditentukan oleh peneliti (Sugiyono,

2016:218).

Adapun yang menjadi kriteria pemilihan sampel dalam penelitian

ini adalah:

1. Perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang

konsisten listing di BEI dari tahun 2014 hingga 2016;

2. Perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang

mempublikasikan laporan keuangan tahunan (anual report) secara

berturut-turut yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2014

hingga 2016;

3. Perusahaan yang menyajikan ikhtisar laporan keuangan dalam mata

uang rupiah;

4. Jumlah laba bersih setelah pajak (laba tahun berjalan) tidak bernilai

negatif.
38

Pemilihan perusahaan sampel berdasarkan kriteria yang telah

ditentukan disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.1 Sampel Penelitian Periode 2014-2016


No. Karakteristik Jumlah
1 Populasi perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan 68
kimia yang listing di BEI
2 Perusahaan yang tidak konsisten listing di BEI dari tahun (1)
2014-2016
3 Perusahaan yang tidak konsisten menerbitkan annual report (8)
periode 2014-2016
4 Perusahaan yang tidak menyajikan ikhtisar laporan (20)
keuangan dalam mata uang rupiah
5 Perusahaan yang total ekuitas dan laba bersih setelah pajak (28)
bernilai negatif pada periode 2014-2016
6 Perusahaan yang dijadikan sampel penelitian 11
Sumber: data sekunder yang diolah, 2017

Daftar perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang

terdaftar di BEI tahun 2014-2016 yang dijadikan sampel dalam

penelitian ini disajikan pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.2 Daftar Perusahaan Sampel


No. Nama Perusahaan Kode
1 Duta Pertiwi Nusantara Tbk DPNS
2 Ekadharma International Tbk EKAD
3 Champion Pacific Indonesia Tbk IGAR
4 Impack Pratama Industri Tbk IMPC
5 Indal Aluninium Industry Tbk INAI
6 Intanwijaya Internasional Tbk INCI
7 Lion Metal Works Tbk LION
8 Lionmesh Prima Tbk LMSH
9 Tunas Alfn Tbk TALF
10 Surya Toto Indonesia Tbk TOTO
11 Trias Sentosa Tbk TRST
Sumber: data sekunder yang diolah, 2017

3.4 Jenis dan Sumber Data

3.4.1 Jenis Data

Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif yaitu jenis data

yang berbentuk angka, dapat diamati secara fisik, dicatat,

diklasifikasikan, dan diolah berdasarkan waktu dan tempat sesuai


39

dengan peristiwa (Ghozali, 2012). Bentuk data kuantitatif dalam

penelitian ini berupa laporan tahunan (annual report) dari 11

perusahaan yang secara konsisten dipublikasikan di BEI pada tahun

2014-2016 dengan jumlah 33 data.

3.4.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data

sekunder. Sumber data sekunder merupakan data-data yang sudah ada,

tersedia dan dikumpulkan oleh pihak lain dan digunakan untuk

penelitian selanjutnya. Berbeda dengan sumber data primer, sumber

data sekunder tidak diperoleh peneliti secara langsung dari responden,

akan tetapi diperoleh melalui media cetak dan elektronik seperti buku,

surat berita, jurnal cetak dan jurnal elektronik (online) atau website

resmi perusahaan. Peneliti hanya memanfaatkan data menurut

kebutuhan peneliti yang selanjutnya akan dilakukan analisis dan

interpretasi terhadap data-data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian

(Ghozali, 2012).

Adapun tahap pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan teori dan

bahan analisis. Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara

mengumpulkan buku, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan laporan

yang terkait dengan judul penelitian dari berbagai sumber sebagai

bahan referensi dalam penelitian.


40

2. Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara menelusuri laporan tahunan (annual report)

perusahaan yang terpilih menjadi sampel. Laporan tersebut

diperoleh melalui internet yang diamati dan diakses dari

www.idx.co.id dan www.globalreporting.org.

3.5 Teknik dan Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, karena teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan

peneliti untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Teknik pengumpulan

data ada empat cara yaitu wawancara, observasi, dokumentasi, kuesioner, dan

gabungan dari keempatnya (Sugiyono, 2014).

Tenik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi yaitu

mengumpulkan, mencatat dan mengkaji data sekunder dari berbagai sumber,

dengan cara menyalin data sesuai dengan kebutuhan peneliti. Dokumentasi

digunakan untuk memperoleh data yang lengkap mengenai gambaran umum

lokasi penelitian dan fakta-fakta yang terjadi pada objek penelitian (Arikunto,

2013:52). Sumber data dari kegiatan dokumentasi tersebut diperoleh dari

laporan tahunan (annual report) perusahaan manufaktur sektor industri dasar

dan kimia yang lsiting di BEI tahun 2014-2016 melalui situs resminya

www.idx.co.id dan data CSRD diakses melalui www.globalreporting.org.

3.6 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel merupakan cara yang digunakan peneliti


41

dalam menentukan suatu konsep tertentu agar variabel dapat diukur dan

dihitung untuk memperoleh kesimpulan yang tepat. Indrawati (2015:124)

mendefinisikan variabel sebagai suatu gambaran keadaan objek penelitian

secara abstrak, oleh karena itu dalam suatu penelitian perlu dijabarkan

sehingga variabel yang abstrak tersebut menjadi sesuatu yang dapat diukur

atau measurable dalam suatu proses yang biasa disebut operasional variabel.

Operasional variabel merupakan suatu proses yang dilakukan untuk

mengurangi keabstrakan konsep dari variabel sehingga menjadikan variabel

tersebut dapat diukur dalam bentuk yang nyata (Indrawati, 2015:124).

Indrawati (2015:124) mengasumsikan bahwa operasional variabel adalah

suatu proses menurunkan variabel-variabel yang terkandung di dalam

masalah penelitian menjadi bagian-bagian terkecil sehingga dapat diketahui

klasifikasi ukurannya, sehingga mempermudah mendapatkan data yang

diperlukan bagi penilaian masalah penelitian.

3.6.1 Variabel Independen

Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang

mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (Sugiyono, 2012:2). Variabel independen dalam

penelitian ini adalah pengungkapan Profitabilitas (ROA) (X 1) dan

Corporate Social Responsibility (CSR) (X2).

Profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan pada Return On

Asset (ROA). Return On Investment (ROA) merupakan rasio

profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dari aset yang dipergunakan (Kasmir, 2013). ROA


42

pada perusahaan manufaktur diukur berdasarkan dua indikator

pengukuran, yaitu:

1. Laba setelah pajak (profit after tax)

2. Total aset (total asset)

Adapun rumusnya yaitu:

ROA = Profit After Tax × 100%


Total Asset

Standar pengungkapan CSR mengacu pada standar GRI (Global

Reporting Inisiative) G4 dan terdiri dari 6 performance indicators

dengan 91 item yang diungkapkan. 6 indikator pengungkapan yang

terdapat di dalam GRI yang digunakan dalam penelitian yaitu:

1. Indikator Kinerja Ekonomi (Economic Performance Indicator)

2. Indikator Kinerja Lingkungan (Environment Performance

Indicator)

3. Indikator Kinerja Tenaga Kerja (Labor Practices Performance

Indicator)

4. Indikator Kinerja Hak Asasi Manusia (Human Rights Performance

Indicator)

5. Indikator Kinerja Sosial (Social Performance Indicator)

6. Indikator Kinerja Produk (Product Responsibility Performance

Indicator)

Pengungkapan CSR pada penelitian ini difokuskan pada tiga

indikator, yaitu indikator kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Indikator kinerja sosial mencakup empat indikator yang terdiri dari


43

indikator tenaga kerja, hak asasi manusia, sosial/kemasyarakatan, dan

produk. Setiap item pengungkapan CSR dalam instrumen penelitian

diberi skor 1 jika kategori informasi tersebut diungkapkan di laporan

tahunan, dan diberi skor 0 jika kategori instrumen informasi tersebut

tidak diungkapkan di laporan tahunan (www.globalreporting.org).

Adapun rumus untuk pengungkapan (Corporate Social

Responsibility) CSR yaitu:

CSRIy = ∑X
n y × 100%
n
Keterangan:

CSRIy : Indeks pengungkapan CSR perusahaan y

∑Xy : Jumlah item pengungkapan perusahaan y

n : Jumlah item pengungkapan menurut GRI, a = 91

3.6.2 Variabel Dependen

Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas

(Sugiyono, 2012:2). Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu nilai

perusahaan (Y). Nilai perusahaan dapat diukur dengan tiga indikator

pengukuran, yaitu:

1. Nilai Pasar Ekuitas (Equity Market Value)

2. Nilai Buku Ekuitas (Equity Book Value)

3. Nilai Buku dari Total Utang (Debt)

Nilai perusahaan dalam penelitian ini diukur menggunakan

Tobins’Q yang dikembangkan oleh James Tobin versi Weston dan

Copeland (2010). Tobins Q dihitung dengan membandingkan rasio


44

nilai pasar saham perusahaan dengan nilai buku ekuitas perusahaan

(Weston dan Copeland, 2010). Adapun rumus dari nilai perusahaan

yang diproksi dengan Tobin’s Q yaitu:

Q= (EMV× +100%
D)
(EBV + D)
Keterangan:

Q : Nilai perusahaan

EMV : Nilai pasar ekuitas (closing price × jumlah saham beredar)

D : Nilai buku total utang (utang lancar + jangka panjang)

EBV : Nilai buku ekuitas (total aset - total liabilitas)

3.6.3 Variabel Moderating

Variabel moderating merupakan variabel yang memperkuat atau

memperlemah hubungan langsung antara variabel independen dengan

variabel dependen (Sugiyono, 2012:2). Variabel moderating (X 3) dalam

penelitian ini yaitu leverage yang diproksikan pada Debt to Total Asset

(DTA) yang didapatkan dari laporan tahunan perusahaan manufaktur

sektor industri dasar dan kimia selama periode penelitian.

Debt to Asset (DTA) merupakan rasio leverage yang mengukur

seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh hutang (Kasmir, 2013).

DTA diukur berdasarkan dua indikator pengukuran, yaitu:

1. Liabilitas (Liability)

2. Aset (Asset)

Adapun rumusnya yaitu:

Total Debt
DTA = × 100%
Total Asset
45

3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (variabel penelitian)

atau biasa disebut juga sebagai alat dan bahan dalam penelitian (Sugiyono,

2014). Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa check list dan

daftar penilaian. Check list berisi item-item pengungkapan tanggungjawab

sosial perusahaan berdasarkan GRI G4 yang digunakan sebagai dasar

penilaian. Daftar penilaian berisi jumlah item yang diungkapkan oleh

perusahaan. Pada instrumen penelitian ini, setiap item diberi skor 1 jika item

tersebut diungkapkan di laporan tahunan (annual report), dan diberi skor 0

jika item tersebut tidak diungkapkan di laporan tahunan (annual report).

3.8 Teknik Analisis Data

3.8.1 Analisis Statistik Deskriptif

Statistik deskripstif merupakan alat statistik yang berfungsi

mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti

melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya. Statistik

deskriptif memberikan gambaran mengenai suatu data yang dilihat dari

nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, nilai maksimum, dan

nilai minimum (Ghozali, 2012).

Statistik deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk

mengetahui tingkat pengungkapan Corporate Social Responsibility

(CSR), nilai perusahaan, profitabilitas, dan leverage pada perusahaan

manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang listing di BEI.


46

Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah mean, standar

deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum.

3.8.2 Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui kelayakan

atas model regresi yang digunakan dalam penelitian ini. Pengujian ini

juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa di dalam model regresi

yang digunakan tidak terdapat multikoliearitas, autokorelasi,

normalitas dan heteroskedastisitas serta untuk memastikan bahwa data

yang dihasilkan berdistribusi normal (Ghozali, 2012).

3.8.2.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk mengetahui dan

menguji apakah ada korelasi (hubungan) antara variabel

independen (bebas) dengan model regresi yang digunakan.

Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi

diantara variabel independennya. Penelitian ini menggunakan

pendekatan Varian Inflation Factor (VIF). Nilai VIF yang

kurang dari 10 menunjukkan tidak terjadinya hubungan antar

variabel independen (bebas) yang dimasukkan ke dalam model

regresi yang digunakan (Ghozali, 2012).

3.8.2.2 Uji Autokorelasi

Korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t

(sekarang) dengan periode t-1 (sebelumnya) dalam regresi


47

yang digunakan dapat diketahui melalui uji autokorelasi.

Terjadinya korelasi disebut sebagai problem autokorelasi.

Model regrasi yang baik adalah regresi yang bebas dari

autokorelasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan Durbin-

Watson untuk mendeteksi autokorelasi. Autokorelasi tidak

terjadi apabila nilai Durbin-Watson terletak diantara 1,55-2,46

(Ghozali, 2012).

3.8.2.3 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam

model regresi yang digunakan, variabel pengganggu atau

residual memiliki distribusi normal. Uji statistik menjadi tidak

valid untuk jumlah sampel kecil jika asumsi ini dilanggar.

Terdapat dua cara untuk mendeteksi uji normalitas yaitu

dengan analisis grafik dan uji statistik (Ghozali, 2012).

Penelitian ini menggunakan uji statistik. Uji statistik yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan Kolmogorov

Smirnov. Data disebut berdistribusi normal apabila Asymtotic

Significancenya dalam uji Kolmogorov Smirnov lebih besar

dari 0.05 atau 5%,(Ghozali, 2012).

3.8.2.4 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui dan

menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan

variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang


48

lain. Homoskedastisitas terjadi apabila residual satu

pengamatan ke pengamatan yang lain memiliki nilai variance

yang tetap, sebaliknya jika memiliki nilai variance yang

berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik

adalah homoskedastisitas (Ghozali, 2012).

Uji heteroskedastisitas pada penelitian ini menggunakan

pendekatan Glejser (Ghozali, 2012). Uji Glejser dilakukan

dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan

nilai absolut residualnya (RES_2). Adapun yang menjadi dasar

dalam pengambilan keputusan pada uji heteroskedastisitas

dengan pendekatan Glejser menurut Ghozali (2012) yaitu:

1. Jika nilai signifikansi variabel independen lebih dari 0,05,

maka dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika nilai signifikansi variabel independen kurang dari

0,05, maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas.

3.8.3 Analisis Regresi

Analisis regresi adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui

ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih

variabel independen (bebas) (Ghozali, 2012). Analisis regresi bertujuan

untuk mengukur derajat keeratan suatu hubungan antar variabel, dan

memberikan dugaan mengenai besarnya variabel serta kemana arah

hubungan tersebut. Analisis regresi juga memprediksi besarnya

variabel dependen berdasarkan pada nilai pada beberapa variabel

independen yang diketahui (Halim, 2014).


49

Analisis regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

regresi linier berganda dengan Moderate Regression Analysis (MRA)

atau biasa disebut sebagai analisis regresi moderasian. Analisis regresi

linier berganda merupakan hubungan secara linier antara dua atau lebih

variabel independen (X1, X2,…Xn) dengan satu variabel dependen (Y).

MRA atau analisis regresi moderasian merupakan regresi linier

berganda yang model regresinya mengandung unsur interaksi yaitu

perkalian dua atau lebih variabel independen (Ghozali, 2012).

Adapun model regresi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X1 X3+ β5X2 X3+ e

Keterangan:

Y = Nilai Perusahaan

α = Konstanta

β1 - β 5 = Koefisien Regresi

X1 = Profitabilitas (ROA)

X2 = Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

X3 = Leverage (DTA)

X1X3 = Interaksi antara Profitabilitas (ROA) dan Leverage (DTA)

X2X3 = Interaksi antara Pengungkapan CSR dan Leverage (DTA)

e = Error Term, yaitu tingkat kesalahan penduga dalam

penelitian

3.8.4 Uji Hipotesis

3.8.4.1 Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t)

Uji statistik t digunakan untuk mengetahui bagaimana


50

pengaruh satu variabel independen secara individual terhadap

variabel dependen, dan bagaimana pengaruh satu variabel

independen (pemoderasi) terhadap hubungan antara variabel

independen lain dengan variabel dependen (Ghozali, 2012).

Adapun kriteria yang digunakan sebagai dasar

pengambilan keputusan pada uji signifikansi parameter

individual (uji statistik t) menurut Ghozali (2012) yaitu:

1. Jika nilai signifikasi t < 0,05 dan koefisien regresi

(beta=β) bernilai positif, maka H0 ditolak dan H1 diterima,

dengan asumsi variabel independen secara individual

berpengaruh terhadap variabel dependen, atau variabel

independen mampu memoderasi (memperkuat) hubungan

antara variabel independen lain dengan variabel dependen.

2. Jika nilai signifikansi t < 0,05 dan koefisien regresi

(beta=β) bernilai negatif, maka H0 ditolak dan H1 diterima,

dengan asumsi variabel independen secara individual

berpengaruh terhadap variabel dependen, atau variabel

independen mampu memoderasi (memperlemah) terhadap

hubungan antara variabel independen lain dengan variabel

dependen.

3. Jika nilai signifikansi t > 0,05, maka H 0 diterima dan H1

ditolak, berarti variabel independen secara individual tidak

berpengaruh terhadap variabel dependen, atau variabel

independen tidak mampu memoderasi (tidak memperkuat


51

maupun tidak memperlemah) hubungan antara variabel

independen lain dengan variabel dependen.

3.8.4.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik f)

Uji simultan digunakan untuk menguji apakah model

regresi yang digunakan fit sekaligus untuk mengetahui

pengaruh variabel independen yang dimaksudkan dalam

model mempunyai pengaruh secara bersama-sama (simultan)

terhadap variabel dependen (Ghozali, 2012).

Adapun kriteria yang digunakan sebagai dasar

pengambilan keputusan menurut Ghozali (2012) yaitu:

1. Jika nilai signifikan f < 0,05, maka H0 ditolak dan H1

diterima, berarti model regresi fit atau variabel independen

secara simultan mempunyai pengaruh terhadap variabel

dependen.

2. Jika nilai signifikan f > 0,05, maka H 0 diterima dan H1

ditolak, berarti model regresi tidak fit atau variabel

independen secara simultan tidak mempunyai pengaruh

terhadap variabel dependen.

3.8.4.3 Uji Koefisien Determinasi (R Square)

Kemampuan variabel independen dalam menjelaskan

perubahan pada variabel dependen diukur menggunakan uji

koefisien determinasi R Square. Penelitian ini menggunakan

nilai R Square yang berkisar antara nol dan satu pada saat
52

mengevaluasi mana model regresi terbaik. Nilai R Square akan

naik apabila satu variabel independen ditambahkan ke dalam

model. Nilai R Square yang semakin mendekati satu

menunjukkan bahwa semakin baik kemampuan variabel

independen dalam menjelaskan perubahan pada variabel

independen (Ghozali, 2012).


55

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Data Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel independen, satu variabel

moderasi dan satu variabel dependen. Variabel independen terdiri dari Return

On Asset (ROA), dan Coorporate Social Responsibility (CSR), variabel

moderating yaitu Debt To Total Asset (DTA), sedangkan variabel dependen

yaitu nilai perusahaan (Q). Return On Asset (ROA) dihitung berdasarkan

perbandingan antara laba bersih setelah pajak (Profit After Tax) dengan total

aset (Total Asset) yang dimiliki perusahaan. Standar pengukuran Coorporate

Social Responsibility (CSR) menggunakan GRI G4 yang terdiri dari 6

indikator dan 91 item pengungkapan. Coorporate Social Responsibility (CSR)

diukur dengan indeks pengungkapan CSR (CSRIy), dimana jumlah item yang

diungkapkan perusahaan (∑Xy) dibagi dengan jumlah item yang diungkapkan

menurut standar GRI G4 (n = 91). Debt to Asset (DTA) dihitung berdasarkan

perbandingan antara total kewajiban (Debt) perusahaan dengan total aset

(Total Asset) yang dimiliki perusahaan. Nilai perusahaan diukur

menggunakan Tobins’Q yang dikembangkan oleh James Tobin versi Watson

dan Copelad (2010) yang menunjukkan perbandingan antara jumlah nilai

pasar ekuitas (Equity Market value) dan total kewajiban (Debt) perusahaan
56

(EMV + D) dengan jumlah nilai buku ekuitas (Equity Book Value) dan total

kewajiban (Debt) perusahaan (EBV + D).

Data yang berkaitan dengan penelitian ini diamati dalam rentang waktu 3

periode, sehingga jumlah data yang diperoleh dari 11 perusahaan sampel yaitu

33 data laporan tahunan. Adapun hasil perhitungan mengenai variabel

independen dan variabel dependen pada perusahaan manufaktur sektor

industri dasar dan kimia yang telah diolah berdasarkan data yang ada dalam

laporan tahunan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Variabel Penelitian 2014-2016


2014 2015 2016
No Kode ROA CSR DTA Q ROA CSR DTA Q ROA CSR DTA Q
% % % % % % % % % % % %
1 DPNS 0.0540 0.1429 0.1220 0.5567 0.0359 0.1538 0.1209 0.5878 0.0338 0.1538 0.1110 0.5583

2 EKAD 0.0991 0.0879 0.3358 1.2107 0.1207 0.0220 0.2508 0.9680 0.1291 0.0769 0.1573 0.7442

3 IGAR 0.1569 0.0769 0.2471 1.1223 0.1339 0.0879 0.1914 0.7586 0.1577 0.1209 0.1495 1.2999

4 IMPC 0.1669 0.0989 0.4329 0.5748 0.0775 0.1429 0.3452 3.0141 0.0553 0.1538 0.4615 2.6382

5 INAI 0.0246 0.0549 0.8375 0.9610 0.0215 0.1209 0.8197 0.9162 0.0266 0.0000 0.8073 0.9599

6 INCI 0.0745 0.0769 0.0735 0.3646 0.1000 0.0659 0.0914 0.3914 0.0371 0.1319 0.0985 0.3041

7 LION 0.0817 0.0769 0.2602 1.0663 0.0720 0.0879 0.2890 1.1026 0.0617 0.0000 0.3138 0.6274

8 LMSH 0.0529 0.0549 0.1713 0.6138 0.0145 0.0659 0.1595 0.5721 0.0384 0.0220 0.2795 0.7813

9 TALF 0.1336 0.0659 0.2432 1.8741 0.0777 0.0330 0.1935 1.4403 0.0342 0.1099 0.1472 0.7919
10 TOTO 0.1449 0.1648 0.3927 2.3352 0.1169 0.1868 0.3886 3.3287 0.0653 0.1538 0.4097 2.4006
11 TRST 0.0092 0.0549 0.4599 0.7871 0.0075 0.0220 0.4171 0.6764 0.0103 0.0220 0.4128 0.6688

Minimum 0.0092 0.0549 0.0735 0.3646 0.0075 0.0220 0.0914 0.3914 0.0103 0.0000 0.0985 0.3041

Maksimum 0.1669 0.1648 0.8375 2.3352 0.1339 0.1868 0.8197 3.3287 0.1577 0.1538 0.8073 2.6382
Sumber: Data diolah peneliti, 2018

4.2 Analisis Data


57

4.2.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif mendeskripsikan data dari masing-masing

variabel pada periode penelitian 2014-2016. Penilaian dari statistik

deskriptif dilihat dari nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata

(mean), dan standar deviasi dari masing-masing variabel.

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif


N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
X1_ROA 33 .0075 .1669 .073512 .0485688
X2_CSR 33 .0000 .1868 .087570 .0515002
X3_DTA 33 .0735 .8375 .308827 .2025455
X1X3_ROADTA 33 .0023 .0723 .020176 .0163346
X2X3_CSRDTA 33 .0000 .0991 .025482 .0244203
Y_TOBINSQ 33 .3041 3.3287 1.121133 .7806858
Valid N (listwise) 33

Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)


Variabel ROA memiliki nilai mean sebesar 0,073512, berarti rata-

rata kemampuan perusahaan sampel menghasilkan laba dari aset yang

dimiliki sebesar 7,35%. Standard deviation sebesar 0,0485688 (4,86%)

berarti variasi data sangat besar (lebih besar 30% dari mean). Nilai

ROA minimum sebesar 0,0075 diperoleh PT Trias Sentosa Tbk pada

akhir periode 2015, berarti kemampuan PT Trias Sentosa Tbk dalam

menghasilkan laba dari aset yang dimiliki selama periode 2015 sebesar

0,75%. Nilai ROA maksimum sebesar 0,1669 diperoleh PT Impack

Pratama Industri Tbk pada periode 2014, berarti kemampuan PT

Impack Pratama Industri Tbk dalam menghasilkan laba dari aset yang
58

dimiliki selama periode 2014 sebesar 16,69%.

Variabel CSR memiliki nilai mean sebesar 0,087570, berarti

selama 3 tahun periode pengamatan rata-rata pengungkapan CSR yang

dilakukan perusahaan sampel sebanyak 8,75% atau sekitar 9 item yang

diungkapkan dari 91 item yang telah distandarkan oleh GRI G4.

Standard deviation sebesar 0,0515002 (5,15%) berarti variasi data

sangat besar (lebih besar 30% dari mean). Nilai pengungkapan CSR

minimum sebesar 0,00% diperoleh PT Indal Aluninium Industry Tbk

dan PT Lion Metal Works Tbk pada akhir periode 2016, berarti kedua

perusahaan tersebut tidak melakukan pengungkapan CSR pada tahun

2014-2016. Nilai pengungkapan CSR maksimum sebesar 0,1868

(18,68%) diperoleh PT Surya Toto Indonesia Tbk pada akhir periode

2015, berarti pada periode 2014 PT Surya Toto Indonesia Tbk telah

melakukan pengungkapan CSR sebanyak 20 item.

Variabel DTA memiliki nilai mean sebesar 0,308827, berarti

30,88% aset perusahaan sampel dibiayai oleh hutang. Standard

deviation sebesar 0,2025455 (20,25%) berarti variasi data sangat besar

(lebih besar 30% dari mean). Nilai DTA minimum sebesar 0,0735

diperoleh PT Intanwijaya Internasional Tbk pada akhir periode 2014,

berarti 7,35% aset PT Intanwijaya Internasional Tbk selama periode

2014 dibiayai oleh hutang. Nilai DTA maksimum sebesar 0,8375


59

diperoleh PT Indal Aluninium Industry Tbk pada akhir periode 2014,

berarti 83,75% aset PT Indal Alumunium Industry Tbk selama periode

2014 dibiayai oleh hutang.

Pengujian statistik deskriptif yang tersaji pada tabel 4.5

menunjukkan bahwa nilai mean dari nilai perusahaan sampel yang

diukur menggunakan Tobins Q sebesar 1,121133 berarti efektifitas

manajemen perusahaan dalam memanfaatkan sumberdaya ekonomi

rata-rata sebesar 112,11%. Standard deviation sebesar 0,7806858

(78,07%) berarti variasi data sangat besar (lebih besar 30% dari mean).

Variabel nilai perusahaan minimum sebesar 0,3041 diperoleh PT

Intanwijaya Internasional Tbk pada akhir periode 2016, berarti Tobins

Q dibawah satu, hal ini menunjukkan bahwa investasi dalam aset

menghasilkan laba yang tidak memberikan nilai yang lebih tinggi dan

tidak merangsang investasi baru. Nilai perusahaan maksimum sebesar

3,3287 diperoleh PT Surya Toto Indonesia Tbk pada akhir periode

2015, berarti Tobins Q diatas satu, hal ini menunjukkan bahwa investasi

dalam aset menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi

dan akan merangsang investasi baru.

4.2.2 Asumsi Klasik

4.2.2.1 Uji Multikolinearitas

Uji Multikolinearitas menggunakan pendekatan Varian


60

Inflation Factor (VIF) untuk mengetahui apakah ada korelasi

antara variabel independen dengan model regresi yang

digunakan.

Tabel 4.3 Uji Multikolinearitas


Variabel VIF Kesimpulan
X1_ROA 6,028 Tidak Terjadi Multikolinearitas
X2_CSR 4,748 Tidak Terjadi Multikolinearitas
X3_DTA 5,327 Tidak Terjadi Multikolinearitas
X1X3_CSRDTA 6,257 Tidak Terjadi Multikolinearitas
X2X3_ROADTA 6,357 Tidak Terjadi Multikolinearitas
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)

Uji multikolinearitas menunjukkan bahwa semua variabel

independen memiliki nilai VIF kurang dari 10, maka hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terjadinya hubungan

antar variabel independen dalam model regresi yang

digunakan. Artinya, data penelitian tidak mengandung gejala

multikolinearitas.

4.2.2.2 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi menggunakan pendekatan Durbin-Watson

untuk mengetahui apakah dalam model regresi yang

digunakan ada korelasi antara kesalahan pengganggu periode t

(sekarang) dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1

(sebelumnya).

Tabel 4.4 Uji Autokorelasi


61

Durbin Watson Kriteria Kesimpulan


2,132 1,55-2,46 Tidak terjadi korelasi
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2017)
Uji autokorelasi menunjukkan nilai Durbin-Watson

sebesar 2,132 dan terletak di antara 1,55 - 2,46. Artinya, dalam

model regresi yang digunakan tidak terjadi korelasi antara

kesalahan pengganggu periode t (sekarang) dengan kesalahan

pengganggu periode t-1 (sebelumnya).

4.2.2.3 Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan nilai Asymp. Sig pada tabel

Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah dalam model

regresi yang digunakan variabel pengganggu memiliki

distribusi normal.

Tabel 4.5 Uji Normalitas


Asym. Sig. Signifikansi (alfa) Kesimpulan
0,239 0,05 Data berdistribusi normal
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)

Hasil uji normalitas menunjukkan nilai Asymp.Sig

sebesar 0,239 lebih besar dari 0,05. Artinya, dalam model

regresi yang digunakan, variabel pengganggu atau residual

memiliki distribusi normal.

4.2.2.4 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas pada penelitian ini menggunakan


62

pendekatan Glejser. Glejser dilakukan dengan meregresikan

variabel independen dengan nilai absolut residualnya (RES_2)

(Ghozali, 2012).

Tabel 4.6 Uji Heteroskedastisitas


Variabel Sig. Kesimpulan
X1_ROA 0,740 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
X2_CSR 0,713 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
X3_DTA 0,899 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
X1X3_CSRDTA 0,440 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
X2X3_ROADTA 0,513 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)

Uji heteroskedastisitas menunjukkan nilai signifikansi setiap

variabel independen lebih besar dari 0,05, berarti pada model

regresi yang digunakan tidak terjadi heteroskedastisitas.

4.2.3 Analisis Regresi

Analisis regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis regresi linier berganda dengan Moderate Regression Analysis

(MRA) atau biasa disebut sebagai analisis regresi moderasian. MRA

atau analisis regresi moderasian merupakan regresi linier berganda

yang model regresinya mengandung unsur interaksi yaitu perkalian dua

atau lebih variabel independen

Tabel 4.7 Analisis Regresi Moderasian


Standardized
Variabel Nilai Sig. Kesimpulan
Coefficients
X1_ROA 0,063 0,000 Berpengaruh
63

X2_CSR 0,096 0,043 Berpengaruh


X3_DTA 0,120 0,032 Berpengaruh
X1X3_CSRDTA -0,378 0,037 Memoderasi (Memperlemah)
X2X3_ROADTA -0,278 0,012 Memoderasi (Memperlemah)
Model regresi yang diperoleh sebagai berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X1 X3+ β5X2 X3+ e
Y = 0,459 + 0,063X1 + 0,096X2 + 0,120X3 - 0,378X1 X3 - 0,278X2 X3 + e
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)

Berdasarkan model regresi yang diperoleh, maka dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Nilai konstanta sebesar 0,459 memiliki arti apabila variabel lainnya

konstan, maka nilai perusahaan akan meningkat sebesar 0,459%.

2. Nilai koefisien regresi ROA bertanda positif 0,063 yang

menunjukkan bahwa variabel ROA berhubungan positif dengan

nilai perusahaan. Artinya, jika ROA ditingkatkan 1% dengan

asumsi variabel lainnya konstan, maka nilai perusahaan akan naik

sebesar 0,063%.

3. Nilai koefisien regresi pengungkapan CSR bertanda positif 0,096

yang menunjukkan bahwa variabel pengungkapan CSR

berhubungan positif dengan nilai perusahaan. Artinya, jika

pengungkapan CSR ditingkatkan 1% dengan asumsi variabel

lainnya konstan, maka nilai perusahaan akan naik sebesar 0,096%.

4. Nilai koefisien regresi DTA bertanda positif 0,120 yang

menunjukkan bahwa variabel DTA berhubungan positif dengan


64

nilai perusahaan. Artinya, jika ROA ditingkatkan 1% dengan

asumsi variabel lainnya konstan, maka nilai perusahaan akan

meningkat sebesar 0,120%.

5. Nilai koefisien regresi ROADTA bertanda negatif 0,378 yang

menunjukkan bahwa variabel DTA berhubungan negatif terhadap

hubungan antara pengungkapan CSR dengan nilai perusahaan.

Artinya, jika variabel CSRDTA ditingkatkan 1% dengan asumsi

variabel lainnya konstan, maka nilai perusahaan akan menurun

sebesar 0,378%.

6. Nilai koefisien regresi CSRDTA bertanda negatif 0,278 yang

menunjukkan bahwa variabel DTA berhubungan negatif terhadap

hubungan antara pengungkapan CSR dengan nilai perusahaan.

Artinya, jika variabel ROADTA ditingkatkan 1% dengan asumsi

variabel lainnya konstan, maka nilai perusahaan akan menurun

sebesar 0,278%.

4.2.4 Uji Hipotesis

4.2.4.1 Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t)

Berdasarkan hasil analisis regresi moderasi tersebut,

selanjutnya dapat dibuat gambar hasil analisis regresi sebagai

berikut:
65

β1 0,063
ROA Sig. 0,000
(X1)
β4 -0,378
Sig. 0,037
Nilai Perusahaan
(Y)
DTA (X3)

β5 -0,278
Sig. 0,012
CSR
(X2)
β2 0,096
Sig. 0,043 Gambar 4.1 Hasil Uji Hipotesis

Adapun penjelasan yang berkaitan dengan gambar 4.1

adalah sebagai berikut:

1. H1: Nilai signifikansi variabel ROA X 1 ===> Y (β1) sebesar

0,000 lebih kecil dari alpa 0,05 (5%). Hal ini menunjukkan

bahwa profitabilitas (ROA) berpengaruh terhadap nilai

perusahaan, dengan demikian hipotesis pertama (H1) yang

menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap

nilai perusahaan diterima.

2. H2: Nilai signifikansi variabel CSR X2 ===> Y (β2) sebesar

0,043 lebih kecil dari alpa 0,05 (5%). Hal ini menunjukkan

bahwa variabel pengungkapan CSR berpengaruh terhadap

nilai perusahaan, dengan demikian hipotesis kedua (H2)

yang menyatakan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh

terhadap nilai perusahaan diterima.

3. H3: Nilai signifikansi variabel moderating X1X3 ===> Y


66

(β4) sebesar 0,037 lebih kecil dari alpa 0,05 (5%) dan

koefisien regresi bertanda negatif sebesar -0,378. Hal ini

menunjukkan bahwa leverage (DTA) memoderasi

(memperlemah) hubungan antara profitabilitas (ROA)

dengan nilai perusahaan, dengan demikian hipotesis ketiga

(H3) yang menyatakan bahwa leverage memoderasi

(memperlemah) hubungan antara profitabilitas dengan nilai

perusahaan diterima.

4. H4: Nilai signifikansi variabel moderating X2X3 ===> Y

(β5) sebesar 0,012 lebih kecil dari alpa 0,05 (5%) dan

koefisien regresi bertanda negatif sebesar -0,278. Hal ini

menunjukkan bahwa leverage (DTA) memoderasi

(memperlemah) hubungan antara pengungkapan CSR

dengan nilai perusahaan, dengan demikian hipotesis

keempat (H4) yang menyatakan bahwa leverage

memoderasi (memperlemah) hubungan antara

pengungkapan CSR dengan nilai perusahaan diterima.

4.2.4.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik f)

Uji signifikansi simultan menggunakaan significiance level

0.05 (α = 5%) untuk menguji apakah model regresi yang


67

digunakan fit serta untuk mengetahui apakah variabel

independen berpengaruh secara simultan terhadap variabel

dependen.

Tabel 4.8 Uji Signifikansi Simultan


Anova
Signifikansi f Signifikansi Alfa Kesimpulan
0,000 0,05 fit dan Berpengaruh Simultan
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)

Hasil uji signifikansi simultan menunjukkan bahwa nilai

signifikansi f lebih kecil dari significiance level (0,05), maka H0

ditolak dan H1 diterima. Artinya, model regresi tersebut fit atau

layak digunakan sebagai alat analisis, dan ROA, CSR, DTA,

ROADTA, CSRDTA secara simultan berpengaruh signifikan

terhadap nilai perusahaan.

4.2.4.3 Uji Koefisien Determinasi (R square)

Uji koefisien determinasi menggunakan pendekatan nilai

R square untuk mengukur seberapa jauh kemampuan variabel

independen dalam menjelaskan variabel dependen.

Tabel 4.9 Uji R2 Regresi Moderasian


Model Summary
R R Square Adjusted R Kesimpulan
0,742 0,750 0.747 25% dijelaskan variabel lain
Sumber: output SPSS 22 (data diolah peneliti, 2018)
Koefisien determinasi menunjukkan bahwa nilai R2
68

sebesar 0,750 memiliki arti bahwa 75% perubahan nilai

perusahaan dapat dijelaskan oleh variabel pengungkapan CSR,

sedangkan sisanya sebesar 25% dijelaskan oleh variabel-

variabel lain yang tidak digunakan dalam penelitian.

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Profitabilitas (ROA) terhadap Nilai Perusahaan

Profitabilitas (ROA) berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Semakin

tinggi tingkat profitabilitas yang dimiliki perusahaan, maka nilai perusahaan

akan semakin meningkat, sebaliknya semakin berkurangnya tingkat

profitabilitas yang dimiliki perusahaan, maka nilai perusahaan akan semakin

menurun. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa variabel profitabilitas


69

(X1) memberikan pengaruh terhadap nilai perusahaan, sehingga hipotesis

pertama (H1) yang menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap

nilai perusahaan diterima.

Teori sinyal dan teori legitimasi memperkuat hasil penelitian ini. Teori

sinyal mengatakan bahwa informasi keuangan (profitabilitas) yang

dipublikasikan perusahaan akan memberikan sinyal kepada para investor

dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi, yang pada akhirnya akan

mempengaruhi fluktuasi harga saham dan nilai perusahaan. Teori legitimasi

mengatakan bahwa untuk diterima oleh masyarakat dan dunia bisnis,

perusahaan harus mengungkapkan aktivitas sosial perusahaan sehingga

sustainability perusahaan terjamin dan mampu menjelaskan bagaimana

kinerja keuangan perusahaan mampu memberikan keyakinan terhadap

keputusan investasi investor (Branco dan Lima, 2008).

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Welley dan Untu (2015),

Pertiwi (2016), Saridewi (2016), Fandini (2013), Kurnia (2015), Pangulu

(2014), dan Hemastuti (2014) yang menyimpulkan bahwa profitabilitas

berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Perusahaan yang memiliki

tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan mampu

menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi terhadap aset atau modal

yang diinvestasikan, sehingga mampu menarik calon investor dan

meningkatkan nilai perusahaan.


70

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Moniaga (2013), Warouw (2016), Prasekti (2015), Sari dan Sidiq (2013) yang

menyimpulkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap nilai

perusahaan, karena sebagian besar perusahaan sampel memiliki tingkat

profitabilitas yang rendah sehingga prosentasenya tidak mampu menarik

calon investor sehingga harga saham turun dan menurunkan nilai perusahaan.

Profitabilitas merupakan informasi keuangan yang berpengaruh terhadap

nilai perusahaan. Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba. Para investor selalu menginginkan tingkat pengembalian

(return) yang tinggi dari investasi yang mereka tanamkan pada perusahaan.

Mereka berasumsi bahwa semakin besar tingkat profitabilitas perusahaan,

maka tingkat return yang diharapkan akan meningkat. Meningkatnya return

yang diharapkan menunjukkan bahwa perusahaan mampu meningkatkan

kemakmuran pemegang saham karena perusahaan memiliki kemampuan yang

besar untuk membayarakan deviden (return) kepada pemegang saham.

Implikasinya, perusahaan harus meningkatkan profitabilitas agar investor

tertarik untuk melakukan investasi, yang selanjutnya akan berdampak pada

tingginya harga saham sekaligus meningkatkan nilai perusahaan.

Profitabilitas dapat ditingkatkan melalui peningkatan penjualan dan

diversifikasi produk. Peningkatan penjualan dapat dilakukan dengan cara

memperluas target bisnis, meninjau ulang harga produk, membuat promosi


71

dan layanan konsumen, dan menjaga kesetiaan pelanggan dengan

mempertahankan atau meningkatkan kualitas produk. Diversifikasi produk

dapat dilakukan dengan cara menambah produk baru dengan jalan menambah

warna, tipe, ukuran, jenis dan bentuk produk yang masih berkaitan dengan

produk saat ini, atau menambah produk yang tidak ada kaitannya dengan

produk saat ini.

5.1 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai

Perusahaan

Pengungkapan Corporate Social Responsibility berpengaruh terhadap

nilai perusahaan. Semakin banyaknya jumlah item CSR yang diungkapkan

perusahaan, maka nilai perusahaan akan semakin meningkat, sebaliknya

semakin berkurangnya jumlah item CSR yang diungkapkan perusahaan, maka

nilai perusahaan akan semakin menurun. Hasil penelitian telah membuktikan

bahwa variabel pengungkapan CSR (X2) memberikan pengaruh terhadap nilai

perusahaan, sehingga hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa

pengungkapan Corporate Social Responsibility berpengaruh terhadap nilai

perusahaan diterima.

Teori stakeholder dan teori legitimasi telah memperkuat hasil penelitian

ini. Teori stakeholder menyatakan bahwa operasi perusahaan bukan hanya

untuk kepentingan para shareholder, akan tetapi juga memberikan manfaat


72

kepada stakeholdernya (masyarakat di sekitar perusahaan dan konsumen).

Apabila perusahaan dapat memaksimalkan manfaat yang diterima

stakeholder, maka akan timbul kepuasan dan apresiasi yang positif bagi

perusahaan dan akan meningkatkan nilai perusahaan (Mirvis, 2012). Teori

legitimasi menyatakan bahwa untuk memperoleh pengakuan masyarakat dan

investor, perusahaan harus menunjukkan citra yang baik dengan melakukan

aktivitas sosial yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan serta

menjadi daya tarik perusahaan dalam hal penanaman modal (Evandini, 2014).

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Li (2016), Li (2017),

Osazuwa dan Che-Ahmad (2015), Servaves dan Tamayo (2013), dan

Sulistyanigsih (2017) yang menyimpulkan bahwa nilai perusahaan akan

meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas CSR yang dilakukan oleh

perusahaan. Semakin banyaknya aktivitas CSR yang diungkapkan perusahaan

pada laporan tahunan, maka semakin baik pula nilai perusahaan di mata

investor, kreditor, dan masyarakat. Pengungkapan aktivitas sosial tersebut

akan menghasilkan respon yang positif dari para pelaku bisnis dan

masyarakat yang nantinya akan meningkatkan nilai perusahaan.

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Chen dan Hsun-Lee (2017), Nurhayati dan Wedyawati (2012), Ramona

(2017), Ramdhani dan Hadiprajitno (2012), Setianingrum (2014), Handriyani

dan Andayani (2013) yang menyimpulkan bahwa pengungkapan CSR tidak


73

memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah item CSR yang diungkapkan oleh

perusahaan, tidak dapat berpengaruh pada meningkatnya dan menurunnya

nilai perusahaan, karena sebagian besar perusahaan sampel hanya berfokus

pada peningkatan laba material saja dan kurang peduli dengan aktivitas

tanggung jawab sosial perusahaan sehingga pengungkapannya sangat kecil

dan tidak berpengaruh.

Stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang dapat dicapai jika

perusahaan memasukkan unsur CSR. Melalui pengungkapan CSR,

perusahaan akan mendapatkan citra yang positif di mata masyarakat. Citra

yang positif tersebut akan direspon secara positif oleh masyarakat. Loyalitas

masyarakat terhadap produk perusahaan akan semakin meningkat karena

perusahaan telah memberikan informasi sosial yang berkaitan jaminan

kelayakan konsumsi terhadap produk perusahaan, yang pada akhirnya akan

meningkatkan volume penjualan dan profitabilitas perusahaan.

Selain citra yang positif di mata masyarakat, perusahaan yang melakukan

pengungkapan CSR juga akan mendapatkan citra yang positif di dunia bisnis.

Citra yang positif tersebut akan direspon secara positif oleh investor untuk

melakukan investasi. Semakin banyaknya investor yang tertarik untuk

berinvestasi, maka harga saham akan semakin meningkat, eksistensi

perusahaan di dunia bisnis dan nilai perusahaan akan semakin meningkat, dan
74

kelangsungan hidup perusahaan terjamin.

Implikasinya, perusahaan harus meningkatkan aktivitas CSR agar

pengungkapannya dalam laporan tahunan dapat meningkatkan loyalitas

konsumen terhadap produk perusahaan dan menjadi daya tarik bagi investor

untuk melakukan investasi. Semakin banyaknya konsumen yang loyal

terhadap produk perusahaan, maka tingkat profitabilitas akan semakin

meningkat. Semakin banyaknya investor yang tertarik untuk berinvestasi,

maka nilai perusahaan akan semakin meningkat yang ditandai dengan

meningkatnya harga saham.

5.3 Pengaruh Leverage (DTA) sebagai Variabel Pemoderasi terhadap

Hubungan antara Profitabilitas (ROA) dengan Nilai Perusahaan

Leverage (DTA) memoderasi (memperlemah) hubungan antara

profitabilitas (ROA) dengan nilai perusahaan. Profitabilitas akan menurunkan

nilai perusahaan pada saat tingkat leverage tinggi, sebaliknya profitabilitas

akan meningkatkan nilai perusahaan pada saat tingkat leverage rendah. Hasil

penelitian telah membuktikan bahwa interaksi antara profitabilitas dan

leverage (X1X3) memberikan pengaruh terhadap nilai perusahaan, sehingga

hipotesis ketiga (H3) yang menyatakan bahwa leverage memoderasi

(memperlemah) hubungan antara profitabilitas dengan nilai perusahaan

diterima.
75

Hasil penelitian ini diperkuat oleh Pecking Order Theory yang

mengatakan bahwa tingkat hutang yang tinggi memberikan resiko

ketidakmampuan membayar bunga dan pokok pinjaman yang besar dan harus

dibayarkan tepat waktu sesuai dengan kontrak perjanjian tanpa perduli

seberapa besar tingkat profitabilitas yang didapat perusahaan, sehingga hal

tersebut dapat mengurangi laba bersih yang akan dilaporkan (Sari, 2016).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Ratnasari dan Budiyanto

(2016), Enggarwati dan Yahya (2016), Sari dan Abundanti (2013), Putra dan

Badjra (2015), Khan dan Khokar (2015) yang menyatakan bahwa leverage

berpengaruh negatif terhadap profitabilitas, karena perusahaan harus

menggunakan laba yang diperolehnya untuk melunasi kewajiban berupa

hutang pokoknya secara tepat waktu, sehingga hal ini akan berdampak pada

penurunan profitabilitas perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo dan Wartini (2012), Setiadewi

dan Purbawangsa (2012), Putri (2015), Ariyanti (2012) menyatakan bahwa

leverage tidak berpengaruh terhadap profitabilitas, karena perusahaan lebih

banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri atau pendanaan internal

(internal financing).

Tingkat rasio leverage yang tinggi membuat perusahaan harus memenuhi

kewajiban yang berupa beban bunga sekaligus hutang pokoknya dan harus

dilunasi tepat waktu kepada pihak ketiga (debitur). Meningkatnya


76

pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang diakibatkan oleh pembayaran

hutang tersebut menyebabkan jumlah laba yang dilaporkan dalam laporan

keuangan juga semakin menurun, sehingga tingkat profitabilitas perusahaan

rendah. Tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi ketertarikan investor

untuk berinvestasi, karena mereka berasumsi bahwa ketika hutang perusahaan

tinggi, maka perusahaan tidak memiliki kemampuan yang besar dalam

membayarkan deviden kepada pemegang saham, karena laba yang diperoleh

perusahaan didistribusikan untuk melunasi kewajiban. Menurunnya

ketertarikan investor terhadap saham perusahaan akan menurunkan harga

saham yang selanjutnya juga berdampak peda penurunan nilai perusahaan.

Perusahaan harus mengurangi sifat konsumtifnya terhadap hutang

(eksternal financing). Perusahaan sebaiknya menggunakan pendanaan

internal (internal financing) seperti laba ditahan dan depresiasi aset tetap

sebagai dana sementara untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, agar tingkat

leverage yang dimiliki lebih rendah. Apabila pendanaan eksternal (eksternal

financing) diperlukan, maka perusahaan disarankan untuk menerbitkan

sekuritas yang paling aman, memiliki resiko dan beban bunga yang rendah

terlebih dahulu, yaitu obligasi kemudian diikuti sekuritas yang

berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi). Upaya selanjutnya yaitu

perusahaan dapat menjual persediaan yang pendapatannya dapat digunakan

untuk membayar hutang sehingga mengurangi beban pokok dan beban bunga.
77

5.3 Pengaruh Leverage (DTA) sebagai Variabel Pemoderasi terhadap

Hubungan antara Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

dengan Nilai Perusahaan

Leverage (DTA) memoderasi (memperlemah) hubungan antara

pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan nilai perusahaan.

Pengungkapan CSR akan menurunkan nilai perusahaan pada saat tingkat

leverage tinggi, sebaliknya pengungkapan CSR akan meningkatkan nilai

perusahaan pada saat tingkat leverage rendah. Hasil penelitian telah

membuktikan bahwa interaksi pengungkapan CSR dan leverage (X2X3)

memberikan pengaruh terhadap nilai perusahaan, sehingga hipotesis ketempat

(H4) yang menyatakan bahwa leverage memoderasi (memperlemah)

hubungan antara pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan nilai

perusahaan diterima.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh Trade of Theory yang mengatakan

bahwa tingkat hutang yang tinggi akan menstimulasi perusahaan untuk

mengurangi biaya-biaya termasuk biaya pengungkapan CSR, agar perusahaan

memiliki cukup dana untuk melunasi hutangnya secara tepat waktu (Sari,

2016). Berkurangnya dana untuk aktivitas CSR menyebabkan pengungkapan

informasi CSR juga akan berkurang, yang pada akhirnya akan berakibat pada

penurunan nilai perusahaan.


78

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Lucyanda

(2013), Setiadewi (2012), Wardani (2013), Putri dan Christiawan (2012),

Maiyarni (2014), Wijaya (2012) yang menyimpulkan bahwa leverage

berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Perusahaan yang memiliki

rasio leverage tinggi akan cenderung mengurangi biaya-biaya agar

memperoleh cukup dana untuk melunasi kewajiban secara tepat waktu,

termasuk biaya pengungkapan CSR. Berkurangnya biaya pengungkapan CSR

mengakibatkan pengungkapan informasi CSR juga akan berkurang dan

berdampak pada penurunan nilai perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Priyadi (2013), Rindawati dan

Asyik (2015), Pradnyani dan Sisdyani (2015), Robiah dan Erawati (2017)

menyimpulkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan

Corporate Social Responsibility, dimana perusahaan akan tetap melakukan

pengungkapan pada saat tingkat leverage tinggi maupun rendah untuk

menghilangkan keraguan di pihak investor dan kreditur.

Perusahaan harus mengurangi tingkat hutang sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya. Perusahaan diharapkan lebih banyak membiayai

asetnya dengan pendanaan internal (internal financing) dan melakukan

penjualan persediaan yang pendapatannya dapat digunakan untuk mengurangi

beban pokok dan beban bunga. Manajemen perusahaan secara bebas

(fleksible) dapat menyediakan sejumlah dana untuk memperluas aktivitas


79

sosial dan pengungkapannya pada saat tingkat leverage rendah. Apabila

pengungkapan pengungkapan CSR diperluas, maka nilai perusahaan akan

meningkat.

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Profitabilitas dan pengungkapan Corporate Social Responsibility

memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan, dimana leverage mampu

memoderasi pengaruh tersebut. Profitabilitas berpengaruh terhadap nilai

perusahaan, pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

berpengaruh terhadap nilai perusahaan, leverage memoderasi (memperlemah)

hubungan antara profitabilitas terhadap nilai perusahaan, dan leverage

memoderasi (memperlemah) pengungkapan Corporate Social Responsibility

(CSR) terhadap nilai perusahaan.

6.2 Keterbatasan

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya sampel

perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini cukup terbatas, yaitu hanya

perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia. Periode pengamatan


80

yang dilakukan juga cukup singkat, yaitu tiga tahun (2014-2016).

6.3 Saran

Bagi perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia harus

meningkatkan kinerja keuangan perusahaan khususnya profitabilitas, serta

memperluas aktivitas CSR dan pengungkapannya dalam laporan tahunan agar

investor tertarik untuk melakukan investasi yang pada akhirnya akan

meningkatkan nilai perusahaan. Selain itu, perusahaan diharapkan untuk

menekan leverage ke tingkat yang lebih rendah dengan menggunakan

internal financing dan melakukan penjualan persediaan, agar pengaruh dari

profitabilitas dan pengungkapan Corporate Social Responsibility dapat

meningkatkan nilai perusahaan.

Bagi mahasiswa atau peneliti selanjutnya seharusnya menggunakan

sampel penelitian yang lebih besar dan variatif sehingga bisa mewakili semua

perusahaan yang ada, memperpanjang rentang waktu pengamatan sehingga

penelitian dapat digeneralisasi dan menggunakan data yang lebih spesifik

agar hasil penelitian lebih lengkap dan akurat, menambahkan variabel

independen lain yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan seperti Good

Corporate Governance (GCG), serta menggunakan variabel moderating lain

seperti ROE, ROI, EPS, NPM, LDR dan DER.


81

Anda mungkin juga menyukai