Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan bagian dari faring. Nasofaring pada dasarnya adalah adalah ruang

trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan orofaring dan terletak di atas palatum
molle. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada
dimensi anteroposterior. Nasofaring terletak di belakang cavum nasi, di atas pallatum mole.
Nasofaring memiliki atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior dan dinding lateral.
Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian
superior berbatasan dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan fasia
prevertebralis dari atlas dan axis, sedangkan bagian inferior berbatasan dengan palatum mole
dan orofaring setinggi ismus faring. Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium
tuba Eustachius dengan tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus
tubarius. Di bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak datar disebut
resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan tempat tersering awal mula
kanker nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat melekatnya muskulus levator
veli palatini. Perluasan tumor pada KNF akan mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk
membuka ostium tuba (William,2006).

Fossa Rossenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat
menyatunya beberapa fascia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu :
1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior.
2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis.
3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini
berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan
nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral.
Lokasi Fossa Rrussenmuller yang demikian dan sifat invasif karsinoma nasofaring,
menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran sel-sel kanker ke daerah sekitar yang melibatkan
banyak struktur penting sehingga timbul berbagai gambaran klinis.
Arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah arteri faringeal asendens,
arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina.
Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya.
Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus
pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas Mus.
Konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus, serabut motoris saraf vagus dan serabut saraf ganglion simpatis servikal.
Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah
superior dari nasofaring dan anterior dari orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris
dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf
trigeminus.
Lapisan epitel pernafasan nasofaring dibentuk dari sel-sel kolumner berlapis semu
bersilia (Mescher, 2010). Dalam sepuluh tahun kehidupan setelah lahir, lapisan ini perlahanlahan berganti menjadi epitel gepeng non keratinisasi berlapis, kecuali beberapa bagian yang
merupakan zona peralihan (Jeyakumar, 2006). Namun pada manusia dengan usia di atas 50
tahun, seluruh mukosa nasofaring menjadi berkeratinisasi kecuali bagian anteriornya.

2.2.

Definisi KNF

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring). Penyakit ini memiliki keterkaitan dengan EBV,
terutama tipe undifferentiated carcinoma (WHO tipe III). Karsinoma nasofaring merupakan
kanker yang sering terjadi di Indonesia dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di
bagian kepala leher.
2.3.

Epidemiologi KNF
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah

nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa. KNF terutama ditemukan pada pria usia
produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia
antara 25 hingga 60 tahun. Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka
kejadian yang tinggi. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina
Tenggara yakni sebesar 40 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk. KNF sangat
jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar
<1/100.000 penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga
cukup tinggi ditemukan kasus pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di

Indonesia,

karsinoma

nasofaring

merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan dengan penyebaran yang
hampir merata disetiap daerah, dan berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di
Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker paru, dan merupakan
tumor ganas kepala dan leher paling banyak (60%).
2.4.

Etiologi KNF
KNF adalah kanker epitelial tersering pada orang dewasa. Penyebab penyakit ini adalah

multifaktorial dan sering dihubungkan dengan adanya infeksi VEB, genetik dan lingkungan.
DNA EBV juga berhubungan dengan respon terapi, yaitu dalam prediksi angka kekambuhan
yang merupakan suatu hal yang penting dalam penentuan prognosis. Faktor-faktor lain yang
juga merupakan penyebab KNF ialah keadaan sosial ekonomi yang rendah, ras/suku, radang
kronis di daerah nasofaring, kebiasaan hidup seperti merokok, menggunakan asap dupa dan
zat yang bersifat karsinogenik seperti nitrosamin yang banyak terdapat pada makanan yang
diasinkan.
KNF lebih sering ditemukan pada laki-laki dengan sebab yang belum dapat diungkapkan
dengan pasti. Faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien KNF dengan

keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik terhadap KNF sedang dalam pembuktian
dengan mempelajari cell mediated immunity dari VEB dan tumor associated antigens pada
KNF. Sebagian besar pasien KNF berasal dari golongan sosioekonimi rendah.

2.5.

Klasifikasi KNF
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi 3 tipe:

a) tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi,


b) tipe 2 karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang
dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik,
c) tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas
membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas.
Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan
tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus
Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu
radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
2.6.

Manifestasi Klinis KNF

Gejala
Neck mass
Unilateral
Bilateral
Aural
Unilateral deafness
Otalgia
Tinitus
Nasal
Blood stained disharge
Nasal obstruction unilateral

Persentase
76%
64%
12%
56%
40%
10%
6%
60%
28%
26%

KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting. Gejala KNF dapat dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis.
a. Gejala dini
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.

Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya
gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan
akibat gangguan pendengaran.
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga
oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan
ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi
akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala
menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan
adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya.
Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang
b. Gejala lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter
di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar
limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih
jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan
ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan
gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah
sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan
tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang
terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja
(unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.

Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe
atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut
metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan
suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

2.7.

Patofisiologi KNF
Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari

lapisan epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada
salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan
sekitarnya. Infeksi VEB terhadap sel epitel nasofaring menyebabkan perubahan keganasan
dengan ditemukan antigen inti dan DNA VEB pada KNF.
Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada
Fossa Rossenmuller disekitar muara tuba Eustachius. Oleh karena letaknya ini, keluhan
teinga unilateral menjadi salah satu gejala dini pasien KNF. Pembesaran dan ekstensi tu,or
selanjutnya dapat menekan berbagai struktur disekitarnya. Invasi melalui foramen laserum
akan menyebabkan gangguan N.III, IV, V dan VI. Penjalaran melalui foramen jugulare akan
mengenai N.IX-XII. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi
perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
2.8.

Diagnosis KNF

Penegakan diagnosis KNF dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien. Dalam anamnesis dapat
ditemukan keluhan tentang masa di leher. Keluhan lain dapat berupa obstuksi nasi, epistaksis,
penurunan atau kehilangan pendengaran sementara serta sakit kepala. Pasien dapat
mengeluhkan adanya gejala saraf seperti parastesia, hiperestasia dan disestesia pada
wajahnya. Selain itu, tumor pada nasofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan rinoskopi
anterior atau rinoskopi posterior.

Anamnesis
1) Gejala hidung (nasofaring)
Adanya mukus hidung dengan atau tidak bercampur darah / epistaksis
unilateral
Sumbatan hidung unilateral bilateral

Post nasal drip


2) Gejala telinga
Rasa penuh / gangguan pendengaran unilateral menetap
Tinitus unilateral
Otalgia / otorea unilateral
3) Gejala leher
Benjolan leher unilateral bilateral
4) Gejala mata dan saraf
Sakit kepala
Diplopia
Ptosis
Trismus
Parese lidah
Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan hidung dan nasofaring
Rinoskopi anterior dan posterior
Nasoendoskopi / nasolaringoskopi
2) Pemeriksaan leher (interpretasi keluhan/benjolan)
Lokasi
Ukuran
Kekenyalan
Mobilitas
3) Pemeriksaan lesi intrakranial
Gangguan gerak bola mata / diplopia
Ptosis
Trismus
Parese lidah
Pemeriksan Penunjang
1) CT Scan
2) Serologi (IgA anti EA dan IgA anti VCA)
Gold standar penegakan diagnosis KNF Biopsi nasofaring
Stadium KNF : ditentukan berdasarkan beberapa pemeriksaan

Rontgen toraks
Pemeriksaan laboratorium
Konsul bagian mata dan saraf
USG abdomen
Audiogram

Klasifikasi Stadium KNF

Klasifikasi TNM (AJCC/UICC 2002)


Tumor Primer (T)
T
Tx
T0
Tis
T1
T2
T2a
T2b
T3
T4

INTERPRETASI
Tumor primer tidak dapat dinilai
Tidak terdapat tumor primer
Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada nasofaring
Tumor meluas ke jaringan lunak nasofaring dan/atau nasal fossa
Tanpa perluasan ke parafaringeal
Dengan perpanjangan parafaringeal
Tumor masuk ke struktur tulang dan atau sinus paranasal/orofaring
Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial,
infratemporal fossa, hipofaring atau orbita

KGB Regional (N)


N
NX
N0
N1
N2

INTERPRETASI
KGB regional tidak dapat dinilai
Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang di atas fosa suprakavikula
Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang dalam dimensi terbesar di atas fosa

N3
N3a
N3b

suprakalvikula
Metastasis di KGB, ukuran >6cm
Ukuran >6cm
Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)


M
MX
M0
M1

INTERPRETASI
Metastasis jauh tidak dapat dinilai
Tidak terdapat metastasis jauh
Terdapat metastasis jauh

Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping)


Stadium
Stadium 0
Stadium I
Stadium IIA

T
Tis
T1
T2a

N
N0
N0
N0

M
M0
M0
M0

Stadium IIB

Stadium III

Stadium IVa
Stadium IVb
Stadium IVc

2.9.

T1
T2a
T2b
T2b
T1
T2a
T2b
T3
T3
T3
T4
T4
T4
Semua T
Semua T

N1
N1
N0
N1
N2
N2
N2
N0
N1
N2
N0
N1
N2
N3
Semua
N

M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1

Tatalaksana KNF

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan
terapi simptomatik sesuai dengan gejala.
Stadium I

: Radioterapi

Stadium II dan III

: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N<6cm : kemoradiasi


Stadium IV dengan N>6cm : kemoterapo dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi
Radioterapi
Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada karsinoma nasofaring
telah diakui sejak lama dan banyak dilakukan di berbagai sentra dunia. Radiasi diberikan
kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal) tanpa metastasis jauh (M1) degan sasaran
radiasi tumor primer dan KGB leher dan supraklavikula.
Kemoterapi
Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien
dengan T3-T4 dan N2-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi.
Obat-obatan Simptomatik

Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah akibat reaksi akut
pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan. Keluhan ini dapat
dikurangi dengan obat kumur yang mengandung antiseptik dan adstringent, (diberikan 3 4
sehari). Bila ada tandatanda moniliasis, dapat diberikan antimikotik. Pemberian obat-obat
yang mengandung anestesi lokal dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan
untuk keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi
simptomatik. Radioterapi juga diberikan pada kasus metastasis untuk tulang, paru, hati,
dan otak.
Pembedahan
Pembedahan bukan pilihan utama dikarenakan posisi anatomis karsinoma nasofaring
serta kecenderungannya untuk terjadi metastasis. Tindakan bedah yang umum dilakukan
dalam kasus karsinoma nasofaring adalah tindakan invasif untuk keperluan biopsi.
Pembedahan juga dapat dilakukan pada benjolan leher yang tidak menghilang setelah
dilakukan penyinaran. Pembedahan dapat dilakukan dengan syarat tumor induk sudah hilang
dan dibuktikan dengan pemerikasaan radiologis dan serologis.

2.10. Prognosis KNF


Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring jeniskarsinoma sel skuamosa memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring jenis lain. Hal ini terjadi karena
pada karsinoma nasofaring tipe karsinoma sel skuamosa, mestastasis lebih mudah terjadi.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti stadium yang lebih lanjut, usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada
perempuan, ras Cina dari pada ras kulit putih, adanya pembesaran kelenjar leher, adanya
kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak, adanya metastasis jauh.
Tidak seperti keganassan kepala lehr lainnya, KNF memiliki risiko terjadinya rekurensi
dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun,
5-15% kekambuhan terjadi antara 5-10 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
(Depkes)
Averdi Roezin, Aninda Syafril, dkk. 2012.

Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.

Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketujuh.
Jakarta : FK UI.
Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2013. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans P.H.R.,
Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and Neck
Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz.
Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Hayatabad Medical Complex, Peshawar
Nasopharyngeal carcinoma: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines
Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Journal of Rare Diseases 2006, 1:23
doi:10.1186/1750-1172-1-23
PRESENTATION OF NASOPHARYNGEAL CARCINOMADepartment of ENT,

Anda mungkin juga menyukai