Anda di halaman 1dari 9

Ihwal Orang-orang Arif Dalam Menghadapi Persoalan Tadbir

Tenangkan dirimu dari memikirkan urusan duniawi, karena apa yang


telah direncanakan Allah Taala bagimu, tidak perlu kamu sibuk memikirkannya.
Tadbir itu adalah rencana masa depan seorang hamba sesuai dengan kemauan
dan kesanggupannya. Hal ini bukannya tidak diperkenankan kepada manusia,
akan tetapi manusia perlu memahami bahwasannya sebagai sesuatu yang
berlaku dalam hidup dunia ini, telah diatur oleh Allah Taala atas diri seseorang,
maka tidak lagi perlu ia ikut mengaturnya. Seperti ungkapan oleh Sayid Abu
Hasan Asy Syadzili, Apabila kalian harus mengatur diri juga, maka lebih baik
aturlah agar kalian tidak mengatur.
Allah Swt. memberi kesempatan kepada manusia agar mempergunakan
instink dan inderanya untuk merencanakan segala keperluan hidup dunianya,
dan memberi kesempatan pula supaya mampu mempertahankan nikmat dan
anugerah Allah yang telah diterima oleh manusia, karena itulah fitrah Allah yang
berlaku atas diri manusia. Akan tetapi Allah juga mengingatkan kepada manusia,
bahwa semua rencana Allah jualah yang akan berlaku, dan apa yang di atur oleh
Allah atas manusia itulah yang pasti. Allah Taala berfirman, Seandainya kalian
semua bertawakal kepada Allah, dengan berserah diri sepenuhnya, maka tentu
kalian akan memperoleh rezeki, seperti juga burung-burung mendapat rezekinya
di pagi hari ketika mereka sedang lapar, dan kembali pulang ke sarangnya
dengan perut kenyang.
(HR. Tirmidzi) Orang yang arif ketika menghadapi tadbir, adalah dengan
cara tetap istiqamah beriman kepada ketentuan Allah Taala yang datang kepada
kita, suka atau tidak, senang atau tidak. Menerima semua yang datang dari
Allah sebagai anugerah yang tidak perlu disesalkan. Bahkan diikuti pula dengan
ikhtiar baru guna mendapat ketentuan Allah yang baru pula. Menghidupkan rasa
syukur dalam diri seorang hamba akan apa yang telah diterima sebagai nikmat
dari Allah Swt. Rasa syukur itu diikuti pula dengan rasa sabar menerima apa saja
yang telah ditetapkan oleh Allah Taala. Menerima semua yang ditetapkan Allah
Taala dengan rasa sabar akan melahirkan rasa tawakal, dengan rasa tawakal
itulah seorang yang arif bijaksana akan mengukuhkan imannya.
Allah Taala berfirman, Hanya orang yang sabar sajalah yang akan
ditetapkan pahala mereka tanpa batas. (Az Zumar: 10) Dan sifat hamba seperti
ini ditegaskan pula dalam surat Al-Ankabut ayat 56, bahwasannya iman seorang
hamba yang tangguh adalah mereka yang sabar dan tawakal. Ukuran orang
arifin dalam menghadapi ketetapan Allah Taala ialah ia dapat merasakan semua
pemberian Allah itu sebagai suatu ujian atas kemampuan imannya. Ia terima
semua yang datang dari Allah tidak karena ukuran untung atau rugi, tetapi
dengan ukuran iman yang menghiasi hati sanubarinya sendiri. Ia tidak ingin
keteguhan iman seorang hamba diukur dengan sesuatu yang lain, karena iman
termasuk senjata pamungkas yang harus dijaga dan dipelihara agar tidak rusak,
tidak berkarat, sehingga pada saat tertentu dapat dipergunakan menjadi perisai
menghadapi semua kemungkinan yang datang dalam kehidupan anak manusia
ini.

Kemenangan akhir manusia yang arif ialah mampu mempertahankan


imannya di saat yang penting. Dengan kemenangan itu akan memberinya
kemajuan dan ketinggian rohani yang luar biasa. Tidak ada kemenangan yang
sangat disenangi oleh orang-orang arif, kecuali kemenangan iman. Dengan iman
yang selalu menang itulah seorang hamba akan diantarkan ke surga jannatun
naim.
Semestinyalah orang beriman itu memahami benar bahwa rencana Allah
atas kehidupan manusia bukanlah suatu rencana yang main-main. Karena segala
yang diciptakan Allah dalam bentuk apa saja adalah rahasia Allah yang akan
ditunjukkan kepada manusia, setelah berlakunya suatu rencana terhadap
manusia. Angan-angan manusia yang ada dalam benaknya tidak dilarang oleh
Allah. Ikhtiar manusia untuk berhasilnya suatu kehendak pun boleh saja
dilaksanakan. Akan tetapi ia harus yakin dengan keimanan yang teguh,
bahwasannya semua yang direncanakan Allah, tak seorang pun yang mampu
menghalanginya.
Apabila Allah telah memberi karunia kepada manusia, maka karunia itu
akan datang, walaupun ada yang menghalanginya. Demikian juga apabila Allah
akan memberi sesuatu peringatan atau kesusahan kepada manusia karena
perbuatannya, maka tak satu kekuasaan pun yang mampu menolak kehendak
Allah itu.

Makna Kubur
Akal ini melambung dalam serpihan-serpihan nalar lalu membingkainya
menjadi sebuah makna akan sebuah keadaan mencekam, gelap dan
menakutkan. Adalah makna dari sebuah keadaan kubur, yang oleh sebagian
orang adalah gerbang cinta menuju kemerdekaan jiwa ketika dia mencapai
sebuah kefanaan dalam hakikat Kebenaran. Dan ada sebagian lagi menganggap
kubur sebagai batas kesudahan (tamat) dari segala ambisi dan mimpi-mimpi
kehidupan, olehnya wajar jika banyak yang tidak mau bicara tentang kubur,
biarlah ia datang dengan caranya sendiri sementara mereka juga mempunyai
cara untuk semaksimal mungkin menciptakan jarak dengan kubur walau itu
hanyalah sebuah kesia-siaan dalam lakon hidup mereka.
Kita mengenal kubur adalah sebatas proses kematian jasad yang
seterusnya dikreasi untuk dikembalikan ke alam asalnya dengan berbagai cara,
namun kubur dalam dimensi ini adalah tingkatan terbawah dari sederet
tingkatan kubur selanjutnya. dalam pandangan kami kubur meliputi ;

Kubur alam (kubur pada umumnya / kubur syariat),


kubur jasad yakni jasad adalah kubur dari jiwa (kubur tarikat )
kubur jiwa yakni kesadaran bahwasannya jiwa adalah kubur bagi diri yang
sebenarnya (ruh).

Kubur Alam: Kubur alam adalah gerbang bagi jiwa untuk memahami kalau diri
bukanlah jasad adanya, sehingga ketika jiwa masih berjasad, jiwa harus belajar
agar tidak dominan dalam merespon segala sesuatu yang bersifat materi
(sumber asal dasar dari jasad). Bila jiwa memahami keadaan ini, maka jiwa
memasuki gerbang pemahaman yang ebih tinggi., pemahaman jika jasad
sesungguhnya merupakan sebuah perangkap jiwa yang harus dilepas seiring
dengan segala ikatan yang selama ini terjalin dalam penyatuan jasad dan jiwa.
Alam kubur adalah gerbang pemahaman pada tingkatan ini dan pertanyaan
utama pada dimensi kubur alam ini adalah Siapa Tuhanmu..? makna dari
pertanyaan ini adalah pertanyaan nalar yang berorientasi materi, dimana
seringnya manusia menggambarkan sosok Tuhan dalam bentuk fisik atau sebuah
obyek sehingga membutuhkan kesadaran logika bahwa Tuhan bukanlah sosok
yang tercipta dari kreasi alam pikir manusia dalam sebuah bentuk karena
Tuhan lebih dari itu dan tiada terbatas (Maha Besar). Konsekwensi pada dimensi
kubur ini adalah ; jika diri berbuat baik, maka masuk surgalah imbalannya. Dan
jika diri berbuat jahat maka Nerakalah tempatnya.
Kubur Jasad: Ketika jiwa memasuki gerbang kesadaran dan mengerti akan
esensinya maka jasad adalah sebuah kubur bagi jiwa, proses selanjutnya
memaknai jasad sebagai kubur akan merefleksikan bagaimana jiwa selama ini
menjadikan jasad sebagai kerangka dalam dimensi ruang dan waktu untuk
mewujudkan segala untaian keinginan dalam terminologi tertentu yang
umumnya didominan oleh ego. Kesadaran jiwa akan jasad sebagai perangkap
adalah langkah awal dari perjalanan jiwa dalam menggapai kebenaran dan
memahami akan kebodohan jiwa itu sendiri (yang terbelenggu oleh keterpikatan
duniawi), akan tetapi jasad juga merupakan media yang sempurna dari sebuah

penciptaan untuk mengantar jiwa pada gerbang kesadaran akan Kebenaran.


Terbukanya kesadaran jiwa akan jasad sebagai perangkap adalah seiring
kesadaran jiwa itu sendiri kalau dirinya (jiwa) adalah juga perangkap atas ruh
dari jiwa itu. Selanjutnya melahirkan perjuangan untuk menyibak berbagai sekatsekat jiwa akan resonansi Cahaya Ruh agar jiwa terlebur dengan Cahaya Ilahi
dan menciptakan keseimbangan jiwa dalam menyikapi vibrasi kehendak yang
bersifat materi (jasad) melalui inderawi. Pada dimensi kubur jasad ini,
pertanyaannya adalah ; Kenal-kah kamu dengan Tuhan-Mu.? Makna
pertanyaan ini merupakan esensi pemahaman ke-Tuhan-an melalui alam bathin,
dengan indera bathin, dan lebih khusus lagi dengan mata bathin yang dimulai
dengan Cahaya Ruh sedangkan prosesnya dinamakan perjalanan Ruhani.
Kenalkah kamu dengan Tuhan-mu ? adalah sebuah proses peralihan dari vibrasi
dan resonansi jasad beserta struktur landasan akan makna pembentukan jiwa
secara komperhensif menuju vibrasi Ilahi yang terpancar dari resonansi Cahaya
Ruh, sehingga jiwa mengalami loncatan quantum menuju gerbang peleburan.
Jiwa akan selalu bercahaya dan mengenal segala sesuatu melalui cahaya karena
segala sesuatu sumbernya adalah Cahaya, meskipun vibrasi itu datang dari alam
jasad yang merupakan refleksi inderawi. namun semua adalah Dia adanya..
Konsekwensi pada dimensi kubur ini berupa kedamaian dan ketenangan dalam
kebahagiaan hidup yang dualitasnya adalah kepedihan, penderitaan dan
keterpurukan dalam hidup karena jiwa yang gelap dan menjadi belenggu nafsu
serta ego. Kedamaian dan ketenangan yang hakiki sebagaimana yang
digambarkan Rasulullah Saw; kubur orang-orang mumin adalah laksana tamantaman di syurga. Bukankah makna dari taman adalah kedamaian, kebahagiaan
dan ketentraman ? demikianlah jika jasad seorang manusia telah terkonvert
menjadi taman surga yang merupakan cerminan dari jiwa yang tercahayakan,
jiwa yang kebahagiaanya tidak tergantung pada apapun karena cukuplah Tuhan
menjadi sumber kebahagiannnya, lihatlah Sulaiman sang raja yang kaya, arief
dan bijaksana, namun Sulaiman tidak menyandarkan kebesaran dan
kebahagiannya pada vibrasi inderawi. Renungkan juga akan ketampanan yusuf
dan segala kemilau singgasananya, kemudian pikirkan sejenak bagaimana
ketabahan Luth maka tersingkaplah apa yang seharusnya termaknai dalam
setiap langkah hidup ini.
Kubur Jiwa: Ini adalah kubur yang tertinggi dan terberat namun dengan
Rahim-Nya serta mujahada, maka Insyaallah kita dapat memahaminya. Makna
kesadaran jiwa sebagai kubur akan mengantar jiwa pada dimensi kefanaan
lantaran kemutlakan Cinta itu sendiri. Pada dimensi ini jika tergapai dengan
sempurna melalui kekuatan dari-Nya, maka tidak akan ada lagi pertanyaan
sebagaimana pertanyaan pada dimensi-dimensi kubur dibawahnya, dan yang
ada hanya ucapan selamat datang bagi jiwa-jiwa yang tersucikan ; Wahai jiwa
yang tenang ! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan di ridhoiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hama-hamba-Ku dan masuklah ke
dalam surga-Ku. (QS. Al Fajr : 27 -30). Ketika malaikat Izrail mengabarkan
kematian pada nabi Ibrahim maka Ibrahim berkata Izrail, sampaikan pada
Tuhanku, adakah kekasih yang mematikan kekasih-Nya.? Izrail pun menghadap
Tuhan dengan membawa pesan dari Ibrahim. Tuhan berfirman Izrail kalau begitu

sampaikan pesanku ini pada kekasih-Ku Ibrahim Izrail kembali menjumpai


Ibrahim dan menyampaikan pesan tersebut ; Ibrahim, Tuhan berfirman ; adakah
seorang kekasih yang menolak panggilan kekasih-Nya.? Ibrahim pun melebur
dalam panggilan itu dengan Cinta. Lebih sederhana lagi, adalah hal yang
mustahil ketika seorang Istri mendatangi rumah suaminya (yang telah menjadi
rumahnya) lalu ia ditanya oleh penjaga rumah dengan berbagai pertanyaan
sebelum ia diperbolehkan masuk dan bertemu dengan suaminya. Namun
demikian satu hal yang menjadi renungan dasar akan berbagai perjalanan dalam
dimensi kubur ini, kita tetap melewati kubur alam, walaupun kita di istimewakan
untuk tidak dihadapkan dengan berbagai pertanyaan dan konsekwensinya. Dan
itu ada pada penyingkapan jiwa dalam gerbang penyatuan menuju kefanaan.

Makna Tuhan dan Kemanusiaan


Dzat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju
ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal.
Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi
dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wajibul maulana dengan budi, agar
supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain. Manusia yang mendua
adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara
manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya
telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh
Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam alQuran disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan
tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada
keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat
Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat
abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit atau pun rasa tidak enak. Ia berada
baik di sana, maupun disini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak
dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.
Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar didunia ini, bertentangan dengan
sifat seluruh yang di ciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh
lingkup ruang dan waktu, ke ghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan
segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala
sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidak beradaan segala sesuatu,
termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut
sebagai sesuatu yang baru dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga
seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah
sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya
menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk
dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia.
Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah
cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi
sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.Ke mana saja sunyi
senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sanasana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada di
dalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang
kotor.Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan
anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.Saya ini bukan
budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan
udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan.
Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah
dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali
ke tempat asalnya atau aslinya,sebab semuanya barang baru, bukan asli.Maka

saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya
bersifat jalal dan jamal, artinya Maha mulia dan Maha indah. Ia tidak mau shalat
atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapa
pun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan
mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubahubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan
selalu mengajak mencuri.
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri
manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang
asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara
rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh alidhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya.
Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik
Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir
materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa
dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin
kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi
manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.Sekali
lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah
tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya
disempurnakan lagi.Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan
nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya
berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam,apa kata Alam ini ialah juga
kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta
makhluk lainnyaallahu akbar.
Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam
kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api
neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya
sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng
tiada ini itu.Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang
sesungguhnya,di karenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya.
Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga
keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda
kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia
akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah
ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna,
dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam
kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan
langgeng hidup saya,tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup
atau mati saya tidak sudi, Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang
menentukan ! Tidak usah Wali sanga memulangkan saya ke alam kehidupan !
Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada
sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam
kehidupan sejati.Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup

yang sesungguhnya,maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak


terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian
bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain.
Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai
keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena
itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah
dimatikan atau dipulangkan, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab
dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan.
Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas,
dan harus di selami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia
menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah
mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa
tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai
dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya
yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan
mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan
memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung Tersasar,
tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan,menyusahkan dalam patinya,
justru bagi ilmu orang remeh ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah
Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang
menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan
ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya
terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah
dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya,
demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak
mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam
mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan,langgeng selamanya.
Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan,
Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya
gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam alGhaib,Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau
gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan
pandang semua orang yang menyaksikan. Adapun pelaksanaan hukuman atas
dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi
hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti
yang dinampak kan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling
Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu sebagaimana
sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan Aynul Quddat alHamadani sebagai pendahulunya memang menuntut jasad sang Guru sebagai
martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya
sebagai syuhada bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh
Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.

Anda mungkin juga menyukai