Anda di halaman 1dari 23

Borang Portofolio

Nama Peserta

: dr. Hanifah Astrid Ernawati

Nama Wahana : Rumah Sakit Tentara Dr. Asmir (DKT) Salatiga


Topik

: Hipoglikemia

Tanggal (kasus) : 24 September 2015


Nama Pasien

: Ny. Y

No. RM : 077002

Tgl Presentasi :

Nama Pendamping : dr. Nurul Fajri Kurniati ,

Tempat Presentasi : RST Dr. Asmir (DKT) Salatiga


Obyektif Presentasi :
Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi: Laki-laki 85 th, dengan keluhan tidsk sadar, GDS 25mg/dL


Tujuan: Memahami dan melaksanakan tatalaksana yang tepat untuk kasus hi poglikemia
Bahan bahasan:

Tinjauan Pustaka

Riset

Kasus

Audit

Cara membahas:

Diskusi

Presentasi dan diskusi

Email

Pos

Data pasien:

Nama: Ny. Y

Nomor Registrasi: 077002


Telp:

Nama Klinik:

Terdaftar Sejak:

Data utama untuk bahan diskusi:


1) Diagnosis : Hipoglikemia
2) Keluhan Utama : Tidak sadar
Gambaran Klinis :
Seorang wanita usia 85 tahun datang dibawa ke IGD oleh keluarganya, saat datang kondisi pasien tidak sadar. Berdasarkan hasil
alloanamnesis terhadap keluarga pasien, didapatkan hasil bahwa pasien tidak sadar sejak 2 jam SMRS, pasien memiliki riwayat sakit gula.
Sebelumnya pasien tidak sadar, pasien sempat menggunakan suntikan insulin namun makan hanya sedikit. Mual (-) muntah (-) kelemahan
anggota gerak (-)

3) Riwayat Pengobatan : Rutin menggunakan suntikan insulin 3x sehari dengan dosis insulin 14 IU
4) Riwayat Kesehatan/Penyakit :
- Riwayat sakit DM sejak 10 tahu
- Riwayat hipertensi sejak 3 tahun
- Riwayat keluhan serupa (+) 4 bulan yang lalu

5) Riwayat Keluarga : Keluarga yang tinggal serumah tidak ada yang mengalami sakit serupa
6) Riwayat Pekerjaan : 7) Kondisi Lingkugan Sosial dan Fisik (Rumah, Lingkungan, Pekerjaan) : Pasien menggunakan fasilitas KIS
8) Riwayat Imunisasi : -

9) Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak lemah GCS E1V1M1, gizi kesan cukup
Tanda Vital :
Tekanan Darah = 160/90 mmHg
Nadi = 88x/menit, reguler, Kuat
Frekuensi Napas = 20x/menit
Suhu = 36,5
Kepala
: simetris, bentuk mesocephal
Kulit
: warna sawo matang, ujud kelainan kulit (-)
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-)
Telinga
: daun telinga dalam batas normal, sekret (-/-), darah (-/-), tragus pain (-/-)
Hidung
: napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut
: bibir sianosis (-), mukosa kering (-), hiperemis (-), gusi berdarah (-), bibir pecah-pecah (-)
Tenggorok : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher
: bentuk normocolli, kelenjar getah bening tidak membesar, JVP tidak meningkat
Thorax
: bentuk normochest, retraksi (-), simetris kanan = kiri
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kiri atas
: SIC II linea parasternalis sinistra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra

Kiri bawah : SIC V linea medioclavicularis sinistra


Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi
: fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: sonor di seluruh lapang paru, batas paru-hepar di SIC VI linea midclavicularis dekstra
Auskultasi : suara dasar vesikuler normal/normal, suara tambahan (-/-), ronkhi basah halus (-/-), ronkhi basah kasar (-/-),
Abdomen

wheezing (-/-)
: Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi

: timpani, pekak beralih (-)

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien tidak membesar, turgor kulit kembali cepat

Ekstremitas :
Akral dingin
Oedem
CRT

10)

Superior
+/+
-/< 2 detik

Pemeriksaan Penunjang Sederhana


Pemeriksaan Laboratorium Darah
00.00 GDS: 25 mg/dl
00.30 GDS: 266 mg/dl

Inferior
+/+
-/< 2 detik

11)

Penatalaksanaan :
- Mondok bangsal
- Infus D10% 20 tpm
- Inf. D40% 2 flash
- Cek GDS 30 menit
- EKG
- Cek Lab HA, SGOT/SGPT, UR/CRE
- Konsul bagian Penyakit Dalam

12) EKG
Normal Sinus Rhytm
13) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Hematokrit
SGOT
SGPT
Ur
Cr
Kesan : leukositosis

12,3
18,18
284
5,44
36,69
30.6
17.5
32.9
0.90

Satuan

Nilai rujukan

g/dl
103/uL
103/uL
106/uL
%
uL
uL
mg/dL
mg/dL

12,0-15,5
5,0-12,0
100-400
4,00-5,20
35,0-49,0
L: < 37/P: < 31
L: < 41/P: < 37
15-45
L: 0,9-1,3/P: 0,6-1,1

14) Penatalaksanaan :
- Infus D5% 20 tpm
- Cek GDS per 1 jam, Jika GDS :
GDS
<40 mg/dL
41-60 mg/dL
61-80 mg/dL
81-100 mg/dL
>100 mg/dL

D40%
4 flash
3 flash
2 flash
1 flash
-

- Injeksi Ceftriaxon 1gr/12jam


- Curcuma tab 3x1
- Neurodex tab 1x1

Daftar Pustaka
1. Harrison`s. Principles of Internal Medicine. 17thEdition. United State of America. 2008
2. Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006
3. Sylvia AP, Lourraine MW. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi ke 6. Vol II. Jakarta :EGC. 2003
4. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC. 2006
5. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah). Diakses melalui URL: http://www.medicastore.com.

HASIL PEMBELAJARAN
Definisi, Diagnosis dan Klasifikasi.
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal. 1 kadar glukosa darah < 70mg/dl dengan gejala klinis. 3 Walaupun kadar
glukosa plasma puasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar < 108 mg% (6 mmol/L) masih dianggap normal.
Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan karena eritrosit mengandung kadar glukosa
yang relative lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler diantara kadar arteri
dan vena.1
Pada individu normal, sesudah puasa semalaman kadar glukosa darah jarang lebih rendah dari 4 mmol/L, tetapi kadar kurang dari 50 mg% (2,8
mmol/L) pernah dilaporkan dijumpai sesudah puasa yang berlangsung lebih lama.1
Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin terjadi pada tumor yang mensekresi insulin atau insulin-like growth factor (IGF). Dalam hal ini
diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%. Walaupun demikian berbagai studi fisiologis menunjukkan
bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L). lebih lanjut diketahui bahwa kadar glukosa darah 55
mg% yang terjadi berulang kali merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. 1 Gejala hipoglikemi dapat ringan
berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang.4
Respon regulasi non pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65 mg% (3,5-3,6 mmol/L). oleh sebab itu, dalam
konteks terapi diabetes, diagnosa hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma 63 mg% (3,5 mmol/L).1
Pada diabetes, hipoglikemia juga didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dari Triad Whipple
merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi : 1,2
a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes).
c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.

Akan tetapi pada pasien diabetes dan insulinoma dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini
hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan,
sedang dan berat (tabel 1).1
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut.1
Ringan

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan


aktivitas sehari-hari yang nyata.

Sedang

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan


aktivitas sehari-hari yang nyata.
Sering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena ganguan

Berat

kognitif pasien tidak mampu mengatasi sendiri.

Epidemiologi
Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian hipoglikemia dari berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati.
Sangat bermanfaat untuk mencatat kekerapan kejadian hipoglikemia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap timbulnya hipoglikemia dan ciriciri klinik yang menyebabkan pasien beresiko dapat dibandingkan. Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan
pada pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif
dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi konvensional. Sebaliknya dengan kriteria yang berbeda kelompok the
Dusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia yang berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional.1
Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap sebagai konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang
tidak dapat dihindari. Walaupun demikian, hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang lebih
berat.1

10

Etiologi
Pada pasien diabetes hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, naik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau
karena obat yang menyebabkan meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan tertentu dimana
pasien diabetes mungkin mengalami kejadian hipoglikemia. Sampai saat ini pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan pola sekresi
insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah 1 jam. Bahkan insulin yang
bekerjanya paling cepat, bila diberikan subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan
puncak konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah disuntikan. Oleh sebab itu pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai
waktu makan yang berikutnya. Oleh sebab itu waktu dimana resiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan malam
hari.1
Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan dimana
kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi sementara kadar glukosa darah sudah dibawah normal. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien
perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap
kadar glukosa darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya. Resiko hipoglikemia terkait dengan penggunaan sulfonilurea dan
insulin.1
Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Dari the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada
kadar HbA1c yang setara dengan DCCT dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada 0,4%,
glibenklamid 0,6% dan insulin 2,3%. Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan penggunaan insulin yang makin lama.1

11

Tabel 2. Faktor Yang Merupakan Predisposisi atau Mempresipitasi Hipoglikemia1


Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau presipitasi hipoglikemia adalah :
1. Kadar insulin yang berlebihan
Dosis berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien ; ketidaksesuaian dengan kebutuhan pasien atau gaya hidup.
Peningkatan bioavabilitas insulin : absorbs yang lebih cepat (aktivitas jasmani), suntik diperut, perubahan ke human insulin ; antibody
insulin ; gagal ginjal..
2. Peningkatan sensitivitas insulin
Defisiensi hormone counter-regulatory : penyakit Addison ; hipopituitarisme
Penurunan berat badan
Latihan jasmani, postpartum ; variasi siklus menstruasi.
3. Asupan karbohidrat kurang
Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang
Diet slimming, anoreksia nervosa
Muntah, gastroparesis
Menyusui
4. Lain-lain
Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
Alkohol, obat (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonilurea ; penyekat non selektif, pentamidin)

12

Proteksi Fisiologi Melawan Hipoglikemia


Mekanisme kontra regulator. Glukagon dan epinefrin merupakan 2 hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya
bekerja dihati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epineferin selain meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis dihati juga menyebabkan lipolisis dijaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis diotot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam
amino merupakan bahan baku glukogenesis.1
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal yang pada keadaan tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan
hipoglikemia yang berat, walaupun kecil hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi. 1
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin dijaringan
perifer serta meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone dan kortisol pada individu menimbulkan hipoglikemia yang umumnya
ringan.1
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar
40%. Bila sekresi glukagon dan epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi.1
Sel pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan turunnya kadar insulin didalam sel berperan dalam
sekresi glikagon oleh sel . Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respon fisiologi utama terhadap hipoglikemia terletak dineuron
hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH responsive terhadap glukosa, sebagian responsive terhadap hipoglikemia.1
Neuron-neuron tersebut diproyeksi kearea yang berkaitan dengan aktivitas pituitary adrenal dan system simpatis. Tampaknya respon
fisiologiutama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitive terhadapglukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan
system saraf otonomik dan melepaskan hormone-hormon kontra regulator.1
Keluhan dan Gejala Hipoglikemi
Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan
glukosa yang terus menerus. Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan system saraf pusat, dengan gejala

13

gangguan kognisi, bingung, dan koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energy alternative, yaitu keton dan
laktat. Pada hipoglikemia yang disebabkan oleh insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP,
sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energy alternative.1
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologi terhadap glukosa darah tidak hanya membatasi makin parahnya metabolisme
glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenai keluhan dan
gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk
karbohidrat refined yang lain. Kemampuan mengenali gejala awal sangat penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi insulin yang ingin
mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada
pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu, sesuai komponen
fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda.1
Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes.1.3
Otonomik
Berkeringat

Neuroglikopenik
Bingung

Malaise
Mual

Jantung berdebar

Mengantuk

Sakit kepala

Tremor

Sulit berbicara

Lapar

Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual

Parestesi
Pada pasien diabetes yang masih relative baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan system saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau
berkeringat yang lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh neuroglikopeni, seperti
gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama
14

intensitas keluhan otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut menunjukkan kegagalan yang progresif aktivasi system saraf
otonomik. 1

Gambar 1. Patofisiologi hipoglikemia.5


Pengenalan hipoglikemia
Respon pertama pada saat kadar glukosa turun di bawah normal adalah peningkatan akut sekresi hormone caunter-regulatory (glukosa dan
epinefrin): batas glukosa tersebut adalah 65-68 mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi system simpatoadrenal. Bila kadar
glukosa tetap turun sampai 3,2 mmol/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai
fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L, pada individu yang masih mempunyai kesiagaan (awareness)
15

hipoglikemia, aktivasi system simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral yang bermakna timbul pasien-pasien tersebut tetap sadar yang
mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.1

Gambar 2. Koma hipoglikemia.3

Hipoglikemi Yang Tidak Disadari (UNAWARENESS)


16

1. Kegagalan respon proteksi fisiologis dan timbulnya hipoglikemia yang tidak disadari.
Walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang mendapat terapi insulin mengalami gangguan pada
mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia yang berat. Pada pasien DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan.1
Pada diagnose DM dibuat, respon glukosa terhadap hipoglikemia umumnya normal. Pada pasien DMT 1 mulai turun sesudah menderita
diabetes 1-2 tahun dan sesudah 5 tahun hampir semua pasien mengalami gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum
diketahui pasti tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali glukosa darah yang ketat. Sel alfa secara selektif gagal
mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon, walaupun sekresi
yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti alanin. Hipotesis yang paling meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul
akibat terputusnya paracrine-insulin cross-talk didalam islet cell, akibat produksi insulin endogen yang turun.1
Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguan yang bervariasi.
Respon epinefrin terhadap rangsangan yang lain, seperti latihan jasmani tampaknya normal. Seperti pada gangguan respon glukagon, kelainan
tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang selektif.1
Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan
hipoglikemia yang tidak disadari karena hilangnya glucose counter regulation dan gangguan respon simpatoadrenal.1
2. Hipoglikemia yang tidak disadari
Merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin. Segi epidemiologis melaporkan sekitar 25% pasien
DMT 1 mengalami kesulitan mengenal hipoglikemia yang menetap atau berselang seling. Kemampuan mengenal hipoglikemia mungkin tidak
absolute dan keadaan hipoglikemia unawareness yang parsial juga dijumpai. Dari sekitar 25% pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya tidak
mengalami hipoglikemia unawareness ternyata waktu menjalani tes gagal mengenal hipoglikemia. Bila didapatkan hipoglikemia yang tidak didasari
kemungkinan pasien mengalami episode hipoglikemia yang berat 6-7 kali lipat, peningkatan tersebut juga terjadi pada terapi standar. Pada pasienpasien tersebut selayaknya tidak diberikan terapi yang intensif, tidak diizinkan untuk memiliki izin mengemudi dan juga tidak diperkenankan untuk
menjalankan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Keluarga pasien selayaknya juga diberikan tentang kemungkinan terjadinya hipoglikemia yang berat dan
cara penanggulangannya. Berbagai keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari dapat dilihat dalam tabel 4.1
Tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari (Heller, 2003)
17

Keadaan klinis
Diabetes yang lama
Kendali metabolic yang ketat
Alcohol
Episode nocturnal
Usia muda (anak)
Usia lanjut

Kemungkinan mekanisme
Tidak diketahui
Hipoglikemia yang berulang merusak neuron glukosensitif
Regurgitasi transport glukosa neuronal yang meningkat
Peningkatan kortisol dengan akibat gangguan jalur utama transmisi neuron
Penekanan respon otonomi respon
Gangguan kognisi
Tidur menyebabkan gejala awal hipoglikemia tidak diketahui
Posisi berbaring mengurangi respon simpatoadrenal
Kemampuan abstrak belum cukup
Perubahan perilaku
Gangguan kognisi
Respon otonomik berkurang
Sensitivitas adrenergic berkurang

3. Alkohol
Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahayanya alkohol. Alkohol meningkatkan kerentanan tehadap hipoglikemia
awareness. Episode hipoglikemia sesudah meminum alkohol mungkin lebih lama dan berat dan mungkin karena dianggap mabuk hipoglikemia
tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya.1
4. Usia muda dan usia lanjut
Pasien diabetes anak, remaja dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak umumnya tidak mengenal atau melaporkan keluhan
hipoglikemia dan kebiasaan yang kurang teratur serta aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan hipoglikemia menjadi masalah yang
besar bagi anak. Otak yang sedang tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia yang berulang terutama yang disertai kejang
dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di kemudian hari.1
Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap sebagai keluhan-keluhan pusing atau serangan iskemia
yang sementara. Hipoglikemia akibat sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamide. Pada usia lanjut
18

respon otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang. Pada otak yang menua gangguan kognitif mungkin terjadi pada
hipoglikemia yang ringan.1
Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut
disarankan agar sulfonilurea yang bekerja lama tidak digunakan pada pasien DMT 2yang berusia lanjut.1
Obat penghambat (-blocking agent) yang tidak selektif sebaiknya tidak digunakan karena menghambat lepasnya glukosa hati yang
dimediasi oleh reseptor 2, penghambat yang selektif dapat digunakan dengan aman.1
Terapi Hipoglikemia
Bila hipoglikemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanakan terutama gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap
penurunan glukosa darah. Berdasarkan stadium terapi hipoglikemi:3,4
1. Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula dan makanan yang mengandung

2.

karbohidrat.
Stop obat anti diabetik
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemi atau tidak sadar + curiga hipoglikemi)
a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena
b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf
c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.
Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, tambah bolus dextrose 40% 25ml IV
d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :
Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV
Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%
Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip dextrose 10%.
19

e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl,
pertimbangkan mengganti infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
Glukosa oral
Sesudah diagnosa hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, 10-20 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya
dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat manis tidak
diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorpsi glukosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20
g karbohidrat kompleks.1
Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan terlalu gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut mungkin dapat
dicoba.1
Glukagon intramuscular
Glukagon 1 mg intramuscular dapat diberikan oleh tenaga professional yang terlatih dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja
glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral
20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang
atau hipoglikemia yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektivitas glukagon tergantung dari stimulasi glikogenolisis
yang terjadi.1

20

Glukosa intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml
glukosa 20% atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasi glukosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi. 1
Gambar 3. Algoritma tatalaksana hipoglikemi.

21

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :


1. Subyektif :
Seorang wanita usia 85 tahun datang dibawa ke IGD oleh keluarganya, saat datang kondisi pasien tidak sadar. Berdasarkan hasil alloanamnesis
terhadap keluarga pasien, didapatkan hasil bahwa pasien tidak sadar sejak 2 jam SMRS, pasien memiliki riwayat sakit gula. Sebelumnya pasien tidak
sadar, pasien sempat menggunakan suntikan insulin namun makan hanya sedikit. Mual (-) muntah (-) kelemahan anggota gerak (-)
2. Obyektif :
Gejala Klinis : tidak sadar
Tanda Vital : TD = 160/100 mmHg, nadi = 88x/menit, reguler, frekuensi napas = 20x/menit, suhu = 36,5C
Pemeriksaan Fisik :
a) Keadaan umum : tampak lemah GCS E1V1M1, gizi kesan cukup
b) Ekstremitas atas/bawah : akral dingin (+/+)/(+/+)
Pemeriksaan Lab : GDS 25 mg/dL, Leukosit 18.1x103/uL
3. Assesment (Penalaran Klinis) :
Pasien ini menunjukkan adanya keluhan dan gejala yang terkait dengan system saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat dingin,
serta terdapat gejala neuroglikopenik berupa bingung, sulit berbicara, dan mengantuk dimana sering terjadi pada pasien hipoglikemia akut.
Berdasarkan alloanamnesis dengan keluarganya diketahui bahwa pasien mengidap diabetes sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik, didapatkan hasil yang abnormal pada tekanan darah, nadi, dan frekuensi napas. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan GDS
dengan hasil 25 mg/dl.

22

Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal, kadar glukosa darah < 70mg/dl dengan gejala klinis. Keluhan pasien
menghilang setelah mendapat penanganan berupa injeksi dekstrose 40% 2 flacon. Hal ini termasuk dalam triad whipple yang merupakan panduan
klasifikasi klinis hipoglikemia akut berupa keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah, kadar glukosa darah yang
rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes), dan hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi. Setelah
pasien sadar dan dapat diajak berbicara, pasien mengaku menggunakan insulin sebagai terapi penyakit diabetesnya.
Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan dimana
kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi sementara kadar glukosa darah sudah dibawah normal. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada
pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani
terhadap kadar glukosa darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya.
4. Plan :
Diagnosis : Hipoglikemia
Pengobatan : 1. Rehidrasi Cairan, 2.Infus dextrose, 3. Obat-Obatan Simptomatik
Edukasi : Pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya, terutama penyebab, keterkaitan antara penyakit-penyakit yang diderita,
kemungkinan untuk sakit berulang, komplikasi yang dapat timbul serta pola pencegahan penyakit yang dapat diterapkan di rumah.
Konsultasi : Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan bagian spesialis penyakit dalam untuk penanganan utama dan pencegahan
komplikasinya, serta dengan bagian gizi terkait pengaturan diet.

23

Anda mungkin juga menyukai