Jumlah
Persentase
Normal
0%
Gizi kurang
12
80%
Gizi buruk
20%
Tabel 4.1 Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur
BB/TB
Jumlah
Persentase
Normal
47%
Gizi kurang
13%
Gizi buruk
40%
Tabel 4.2 Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi
Badan
TB/U
Jumlah
Persentase
Normal
47%
Gizi kurang
20%
Gizi buruk
33%
Tabel 4.3 Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
dan kurang di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban. 15 anak ini terdiri dari
3 anak gizi buruk berdasarkan BB/U, 6 anak gizi buruk berdasarkan
BB/TB dan 5 orang gizi buruk menurut TB/U.
Berikut merupakan data yang didapat dari hasil wawancara dengan
keluarga balita.
Kelahiran
Normal
Sectio Caesaria
Jumlah Persentase
11
73%
4
27%
Imunisasi
Lengkap
Tidak Lengkap
Jumlah Persentase
15
100%
0
0%
IMD
Jumlah Persentase
7
47%
8
53%
ASI Eksklusif
Jumlah Persentase
8
53%
7
47%
Ya
Tidak
Ya
Tidak
RPD
Ada
Tidak
Jumlah Persentase
7
47%
8
53%
Jumlah Persentase
6
40%
9
60%
Pendidikan Ayah
SD
SMP
SMA
D3
Pendidikan Ibu
Jumlah Persentase
1
7%
1
7%
12
80%
1
7%
SD
SMP
SMA
D3
Jumlah Persentase
3
20%
2
13%
8
53%
2
13%
Kegiatan Ibu
Bekerja
Tidak Bekerja
Jumlah Persentase
10
67%
5
33%
Jumlah Anak
Ideal (<2)
Lebih
Jumlah Persentase
11
73%
4
27%
Pendapatan
Bawah UMR
Atas UMR
Jumlah Persentase
6
40%
9
60%
Akses Kesehatan
Kurang
Cukup
Jumlah Persentase
1
7%
14
93%
Pengetahuan
Kesehatan
Kurang
Cukup
Jumlah Persentase
6
40%
9
60%
Pengasuh
Orang Tua
Bukan Orang Tua
Jumlah Presentase
5
33%
10
67%
penyakit infeksi dan berat badan lahir rendah. Sedangkan hal yang
mempengaruhi secara ekstrinsik adalah pendidikan ibu, pendapatan
keluarga dan pola asuh.
Dari hasil kunjungan yang dilakukan pada 15 balita gizi buruk dan
gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo, kami
mendapatkan data karakteristik berupa faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik balita yaitu faktor yang muncul dari dalam
kehidupan balita tersebut, antara lain :
1. Proses kelahiran
Dari 15 balita, 4 balita kembar lahir dengan operasi section caesaria dan 11
balita lahir dengan proses spontan tanpa penyulit. Terdapat satu balita yang
lahir namun tidak mau menyusu pada ibunya sehingga balita tersebut
diinkubator dan disonde selama beberapa hari. Akibatnya setelah pulang
ke rumah, balita tersebut tidak mau menyusu pada ibunya sama sekali.
Sehingga dia tidak mendapatkan ASI eksklusif.
2. Berat badan lahir
Ternyata enam dari lima belas balita yang kami kunjungi sebanyak 6 balita
lahir dengan berat badan lahir rendah, sedangkan 9 balita lainnya lahir
dengan berat badan lahir normal.
Berat badan lahir rendah berperan juga pada status gizi anak. Pada bayi
dengan riwayat BBLR, ada kemungkinan terdapat gangguan pertumbuhan
dan imaturitas organ yang menyebabkan resiko kesakitan hingga resiko
kematian pada BBLR cukup tinggi. Selain itu, pada bayi BBLR
pembentukan zat anti kekebalan juga kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi.
3. Status imunisasi
Semua balita yang kami kunjungi sudah mendapat imunisasi lengkap
sesuai dengan umurnya.
4. Inisiasi Menyusui Dini
Tujuh dari lima belas ibu balita yang kami kunjungi melakukan inisiasi
menyusui dini.
5. ASI eksklusif
Delapan dari lima belas ibu balita yang kami kunjungi memberikan ASI
eksklusif bagi bayinya dan 7 balita lainnya tidak menerima ASI eksklusif.
ASI eksklusif durasinya 6 bulan, pemberian asi tanpa didampingi dengan
makanan tambahan, memberikan waktu pada organ pencernaan bayi agar
berkembang sampai siap menerima makanan selain ASI.
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini, bisa jadi menyebabkan
terganggunya pencernaan pada anak. Menurut hasil kunjungan, cakupan
ASI hanya mencapai angka 53,23%.
Di puskesmas Mojolaban sendiri, sudah diberikan penyuluhan tentang ASI
eksklusif pada kelas ibu hamil. Akan tetapi, tingkat kedatangan ibu hamil
pada kelas ibu hamil memang masih rendah. Tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi, juga berpengaruh pada tingkat cakupan ASI eksklusif. Ibu
yang mengetahui pentingnya ASI eksklusif, pasti mengusahakan
pemberian ASI eksklusif pada anaknya.
6. Riwayat penyakit
Tujuh dari lima belas balita yang kami kunjungi sering atau sedang
menderita penyakit infeksi seperti sommon cold, diare, kejang demam dan
TB. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi status gizi balita dalam masa
pertumbuhannya.
Selain itu terdapat beberapa faktor ekstrinsik yang kami nilai dari
hasil wawancara dan kuesioner dengan ibu, keluarga, ataupun pengasuh
balita di rumah. Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar kehidupan
balita, antara lain :
1. Usia orang tua
Usia orang tua balita yang kami kunjungi termasuk ke dalam usia
produktif yang masih dapat mencari nafkah, mendidik dan mengasuh
anaknya dengan baik.
2. Pendidikan terakhir orang tua
Pendidikan terakhir orang tua bervariasi mulai dari SD, SMP, SMA sampai
D3. Sebanyak 3 ibu merupakan lulusan SD, 2 orang lulusan SMP, 8 orang
lulusan SMA, dan 2 orang merupakan lulusan D3. Hal ini berpengaruh
pada wawasan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anaknya.
Pendidikan ibu yang relatif tinggi meningkatkan pengetahuan gizi serta
praktek gizi dan kesehatan, yang secara tidak langsung memperbaiki
kebiasaan makan anak, yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi energi
dan protein serta status gizi anak pada umumnya. Semakin tinggi
pendidikan ibu diikuti oleh semakin mudahnya akses ibu untuk
memperoleh informasi tentang gizi dan kesehatan, sehingga berhubungan
positif terhadap peningkatan konsumsi energi balita. Kondisi tersebut juga
menjelaskan pentingnya pendidikan ibu bagi kualitas gizi anak.
3. Pengasuh balita di rumah
Siapa yang mengasuh balita di rumah berpengaruh pada kepedulian nya
terhadap balita. 9 orang anak diasuh sendiri oleh ibu kandungnya,
sedangkan 6 anak lainnya diasuh oleh anggota keluarga yang lain seperti
nenek dan tantenya.
4. Jumlah pendapatan keluarga
Jumlah pendapatan keluarga menentukan status ekonomi keluarga. Hal ini
menentukan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Salah
satunya adalah pemenuhan gizi anak dan keluarga. Berdasarkan hasil
kunjungan ke rumah pasien, sebanyak 6 keluarga memiliki penghasilan
kurang dan 9 keluarga dengan penghasilan cukup. Diantaranya juga
terdapat keluarga yang memiliki penghasilan tidak tetap karena kepala
keluarga berkerja sebagai buruh dengan pekerjaan yang tidak pasti. Dari
segi ekonomi, tidak semua keluarga penderita gizi buruk memiliki tingkat
ekonomi yang rendah.
5. Pengetahuan kesehatan keluarga
Pengetahuan gizi ibu dan pola asuh ibu dinilai menggunakan kuesioner.
Pengetahuan gizi ibu dinilai dengan cukup dan kurang. Dari hasil
kunjungan 6 ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi kurang dan 9 orang
ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi cukup. Tingkat pengetahuan
Man
Tingkat kepatuhan ibu untuk datang ke posyandu dapat
dilihat dari nilai D/S pada pencapaian program gizi Puskesmas
Mojolaban tahun 2013, yaitu 64,68% dengan SPM 80%.
Kurangnya tingkat kepatuhan ibu untuk menimbangkan balitanya
juga menyebabkan sedikit balita yang ditimbang di posyandu.
Ibu-ibu terkadang tidak mengerti akan pentingnya
penimbangan balita secara teratur, sehingga ibu-ibu yang bekerja
dan tidak sempat membawa anaknya ke posyandu juga tidak
Money
Penyebab masalah adanya kasus gizi buruk dan gizi kurang
dari segi ini adalah kurangnya dana yang mendukung kegiatan
posyandu. Kurangnya alokasi dana untuk suatu program akan
membuat program berjalan kurang efektif dan kurang menyeluruh.
Methode
Selain itu, acara di posyandu yang monoton (menimbang,
mengukur tinggi badan) membuat ibu-ibu merasa bosan dan
menganggap hal tersebut dapat dilakukan sendiri sehingga tidak
perlu ke posyandu.
Minute
Penyebab masalah adanya kasus gizi kurang dan gizi buruk
berdasarkan faktor waktu adalah ibu tidak sempat menimbangkan
balitanya dengan alasan pekerjaan. Jadwal posyandu di pagi hari
terkadang bersamaan dengan jam kerja ibu. Hal ini menyebabkan
ibu tidak bisa menimbangkan anaknya karena ibunya sedang
bekerja. Pengganti ibu untuk menimbangkan bayinya, kadang
kurang memperhatikan hasil pemeriksaan posyandu dan mungkin
tidak menyampaikan nasihat nasihat yang disampaikan saat
posyandu.
Material
Penyebab masalah adanya kasus gizi kurang dan gizi buruk
berdasarkan faktor material adalah kurangnya sarana dan
prasarana. Kurangnya sarana promosi posyandu menyebabkan ibuibu tidak menimbangkan anaknya karena lupa.
Information
Penyebab masalah adanya kasus gizi kurang dan gizi buruk
dari segi informasi adalah kurangnya pengetahuan ibu mengenai
pentingnya posyandu dan pemantauan tumbuh kembang anak. Hal
ini menyebabkan ibu menyepelekan penimbangan anak di
posyandu. Ibu hanya mengetahui bahwa anak di posyandu hanya
untuk ditimbang dan dicatat di buku KIA atau buku bidan desa.
Padahal dengan rutin ke posyandu dan mengetahui pentingnya
tumbuh kembang anak, ibu menjadi lebih waspada apabila
perkembangan anaknya tidak sesuai dengan umurnya.
2. Analisis SWOT
Analisis SWOT di Puskesmas Mojolaban :
Kekuatan (S)
1. Program posyandu setiap bulan di
masing masing desa di Mojolaban
2. Progam pelacakan gizi buruk
3. Program pemberian makanan tambahan
pada balita dengan gizi kurang dan gizi
Kelemahan (W)
1. Belum adanya sosialisasi yang masif
buruk
4. Adanya follow-up terhadap balita
dengan gizi kurang dan gizi
burukdengan melakukan pemberian
F75 dan taburia
5. Adanya program konsultasi gizi
6. Program SIMPUS (Sistem Informasi
Manajemen Puskesmas) KIA untuk
pemantauan gizi balita di semua desa di
Mojolaban
7. Adanya program penyuluhan tentang
ASI eksklusif
Peluang (O)
1.
Hambatan (T)
Bantuan dari
Penyebab Masalah
Kurangnya pengetahuan ibu
2.
karena pekerjaan
3.
4.
anaknya
posyandu
5.
6.
Kurangnya
dana
prasarana posyandu
prasarana
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk dibagi menjadi 2,
yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
2. Faktor intrinsik terjadinya gizi buruk di Puskesmas Mojolaban yang
mempengaruhi terjadinya gizi buruk antara lain proses kelahiran, berat
badan lahir, ada atau tidaknya inisiasi menyusui dini, terpenuhinya ASI
eksklusif, dan adanya riwayat riwayat penyakit.
3. Faktor ekstrinsik terjadinya gizi buruk di Puskesmas Mojolaban yang
mempengaruhi terjadinya gizi buruk antara lain usia orang tua, pendidikan
terakhir orang tua, pengasuh balita di rumah, jumlah pendapatan keluarga,
dan mudah atau tidaknya akses menuju pelayanan kesehatan.
B. Saran
1. Perlu diadakannya kegiatan baru dengan tujuan menambah pengetahuan
ibu tentang gizi balita berupa pelatihan pembuatan kreasi makanan bergizi
bagi balita yang disertai dengan penyuluhan mengenai pentingnya gizi
bagi balita.