Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat suatu negara dapat dilihat
dari Angka Kematian Bayi (AKB) dari negara tersebut. AKB menggambarkan
jumlah penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang
dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Usia bayi
merupakan kondisi yang rentan baik terhadap kesakitan maupun kematian.
(Kementrian Kesehatan RI, 2012)
Menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terjadi
penurunan AKB cukup tajam antara tahun 1991 ampai 2012 yaitu dari 68 per
1.000 kelahiran hidup menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
masih lebih tinggi daripada Malaysia sebanyak 4,2 kali, 1,3 kali dibandingkan
Filiphina dan 2,2 kali dibandingkan Thailand. Selain itu, angka pencapaian
tersebut juga masih bekum mencapai target Renstra Kemenkes yang ingin dicapai
yaitu 24 di tahun 2014 juga target MDGs sebesar 23 per1.000 kelahiran hidup di
tahun 2015 (Kementrian Kesehatan RI, 2012)
Penurunan AKB yang melambat antara tahun 2003 sampai 2012 yaitu dari
35 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup, memerlukan akses seluruh bayi terhadap
intervensi kunci seperti ASI eksklusif atau imunisasi dasar, sementara cakupan
ASI eksklusif nasional tahun 2014 hanya sebesar 52,3%, masih jauh dari target
nasional yaitu sebesar 80% (Kementerian Kesehatan RI, 2014)

Kematian bayi dalam satu bulan pertama terbukti dapat dicegah dengan
pemberian ASI dalam satu jam pertama kelahiran. Sedangkan menyusu pada hari
pertama lahir dapat menekan angka kematian bayi hingga 16% (Edmond et al.,
2006). Namun berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa persentase
proses mulai mendapat ASI kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) pada
anak umur 0-23 bulan di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 34,5%. Persentase
proses mulai mendapat ASI antara 16 jam sebesar 35,2%, persentase proses
mulai mendapat ASI antara 723 jam sebesar 3,7%, sedangkan persentase proses
mulai mendapat ASI antara 2447 jam sebesar 13,0% dan persentase proses mulai
mendapat ASI lebih dari 47 jam sebesar 13,7% (Kementerian Kesehatan RI,
2014).
Pemberian ASI segera setelah proses persalinan merupakan awal dari
suksesnya pelaksanaan program ASI eksklusif yang telah di gagas. Pemerintah
juga telah memberikan perhatian penuh terhadap program tersbut mengingat
manfaat yang didapatkan. Hal tersbut terlihat dari dikeluarkannya beberapa
peraturan pemerintah untuk mendukung hal tersebut, diantaranya adalah Undangundang Nomor 36/2009 tentang kesehatan pasal 128 dan Pasal 200 serta
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/VI/2004 tentang
pemberian ASI eksklusif di Indonesia.
Faktor-faktor yang menghambat pemberian ASI diantaranya adalah adanya
masalah menyusui yang sering dialami oleh ibu nifas yang diperparah dengan
kurangnya pengetahuan ibu nifas dan sedikitnya intervensi yang diberikan oleh
tenaga kesehatan untuk mengatasi masalah tersebut. Faktor lain yang juga terbukti
berpengaruh besar memengaruhi kesuksesan pemberian ASI eksklsusif adalah

faktor psikis ibu nifas (keyakinan ibu terhadap produksi ASI), dukungan keluarga,
pengetahuan ibu yang benar tentang ASI eksklusif, dan konseling ASI. Penelitian
lain juga menyebutkan persalinan secara seksio sesarea juga menghambat proses
pemberian ASI secara dini
Bidan sebagai ujung tombak tenaga kesehatan yang sangat dekat dengan ibu
dan masyarakat pada umumnya memiliki peranan yang sangat penting dalam
penatalaksanaan asuhan kebidanan pada masa nifas, termasuk dalam masalah
laktasi (Varney, 2007). Dalam 10 indikator program Baby-Friendly Hospital
Initiative (BFHI) yang digagas WHO untuk mendukung program pemberian ASI
secara dini, bidan juga sangat diperlukan untuk berpartipasi secara penuh,
diantaranya adalah dengan memberikan konseling tentang manfaat dan
penatalaksanaan menyusui,Membantu ibu untuk memulai menyusui hingga 1 jam
pasca kelahiran,mengajarkan ibu cara menyusui dan mempertahankan ASI
eksklusif walaupaun jika mereka harus terpisah dari bayi mereka, Tidak
memberikan makanan dan minuman selain ASI pada bayi baru lahir, kecuali jika
ada indikasi medis, Praktek rooming-in dan Mendorong menyusui on demand
(Toohill et al., 2014).
Berdasarkan gambaran masalah di atas penulis merasa tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas Ny. MA
P1A0H1 Post Sc Atas Indikasi Preeklamsia Berat dengan masalah menyusui Di
Ruang Rawatan Kebidanan RSUD Pariaman Tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan


pada kasus ini: Bagaimana Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas Ny. MA P1A0H1
Post Seksio sesarea Atas Indikasi Preeklamsia Berat dengan Masalah Menyusui
Di Ruang Rawat Inap Kebidanan RSUD Pariaman Tahun 2016?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1

Tujuan Umum
Mampu melakukan analisis Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas Ny. MA

P1A0H1 Post Seksio Sesarea Atas Indikasi Preeklamsia Berat dengan Masalah
Menyusui Di Ruang Rawat Kebidanan RSUD Pariaman Tahun 2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan analisis terhadap Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas
Ny. M P1A0H1 Post Seksio Sesarea Atas Indikasi Preeklamsia Berat
dengan Masalah Menyusui Di Ruang Rawat Kebidanan RSUD Pariaman
Tahun 2016.
b. Mampu mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pada aspek masukan, proses,
hasil dan dampak pada manajemen asuhan kebidanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masa Nifas
2.1.1 Pengertian Masa Nifas
Masa nifas adalah masa yang dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) (Saifuddin, 2010).
Kala puerperium (nifas) berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari,
merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya organ kandungan pada keadaan
normal. Dijumpai dua kejadian penting pada puerperium yaitu involusi uterus dan
proses laktasi (Manuaba, 2012).
Masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin (menandakan akhir periode
intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi wanita pada kondisi tidak
hamil (Varney, 2008).
Masa yang dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama kirakira 6 minggu (Saifuddin, 2002).
2.1.2 Periode Masa Nifas
1. Puerperium Dini : Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan.
2. Puerperium Intermedial : Kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia yang
lamanya 6-8 minggu.
3. Remote Puerperium : Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulan,
atau tahunan (Mochtar, 2008).
2.1.3 Involusi Alat-alat Kandungan
1. Vagina dan perineum

Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa


vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali
secara bertahap ke ukuran sebelum hamil, 6 sampai 8 minggu setelah bayi lahir.
Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu ke empat, walaupun tidak akan
semenonjol pada wanita nulipara. Pada umumnya rugae akan memipih secara
permanen. Mukosa tetap etrofik pada wanita menyusui sekurang kurangnya
sampai menstruasi dimulai kembali. Penebalan mukosa vagina terjadi seiring
pemulihan fungsi ovarium. Kekurangan estrogen menyebabkan penurunan jumlah
pelumas vagina dan penipisan mukosa vagina. Kekeringan local dan rasa tidak
nyaman saat koitus (dispereunia) menetap sampai fungsi ovarium kembali normal
dan menstruasi dimulai lagi. Biasanya wanita dianjurkan menggunakan pelumas
larut saat melakukan hubungan seksual untuk mengurangi nyeri.
Pada awalnya, introitus mengalami eritematosa dan edematosa, terutama
pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi. Perbaikan yang cermat, pencegahan,
atau pengobatan dini hematoma dan hygiene yang baik selama dua minggu
pertama setelah melahirkan biasanya membuat introitus dengan mudah dibedakan
dengan introitus pada wanita nulipara.
Pada umumnya episiotomi hanya mungkin dilakukan bila wanita berbaring
miring dengan bokong diangkat atau ditempatkan pada posisi litotomi.
Penerangan yang baik diperlukan supaya episiotomi dapat terlihat jelas. Proses
penyembuhan luka episiotomi sama dengan luka operasi lain. Tanda tanda infeki
(nyeri, panas, merah, bengkak atau rabas) atau tepian insisi tidak saling mendekat
bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam 2 sampai 3 minggu.
Hemoroid (varises anus) umumnya terlihat. Wanita sering mengalami gejala
terkait, seperti rasa gatal, tidak nyaman, dan perdarahan berwarna merah terang

pada waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil beberapa minggu


setelah bayi lahir (Saifuddin, 2008).
2. Uterus
a. Perubahan Pada Pembuluh Darah Uterus
Kehamilan yang sukses membutuhkan peningkatan aliran darah uterus
yang cukup besar. Untuk menyuplainya, arteri dan vena di dalam uterus, terutama
plasenta, menjadi luar biasa membesar, begitu juga pembuluh darah ke dan dari
uterus. Di dalam uterus, pembentukan pembuluh pembuluh darah baru juga
menyebabkan peningkatan aliran darah yang bermakna. Setelah pelahiran, kepiler
pembuluh darah ekstra uterin berkurang sampai mencapai atau paling tidak
mendekati keadaan sebelum hamil.
Pada masa nifas, di dalam uterus pembuluh pembuluh darah mengalami
obliterasi akibat perubahan hialin, dan pembuluh pembuluh yang lebih kecil
menggantikannya. Resorpsi residu hialin dilakukan melalui suatu proses yang
menyerupai proses pada ovarium setelah ovulasi dan pembentukan korpus luteum.
Namun, sisa sisa dalam jumlah kecil dapat bertahan selama bertahun tahun.
b. Perubahan Pada Serviks dan Segmen Bawah Uterus
Tepi luar serviks, yang berhubungan dengan os eksternum, biasanya
mengalami laserasi terutama di bagian lateral. Ostium serviks berkontraksi
perlahan, dan beberapa hari setelah bersalin ostium serviks hanya dapat ditembus
oleh dua jari. Pada akhir minggu pertama, ostium tersebut telah menyempit.
Karena ostium menyempit, serviks menebal dan anal kembali terbentuk.
Meskipun involusi telah selesai, os eksternum tidak dapat sepenuhnya kembali ke
keadaan seperti sebelum hamil. Os ini tetap agak melebar, dan depresi bilateral
pada lokasi laserasi menetap sebagai perubahan yang permanen dan menjadi ciri
khas serviks para. Harus diingat juga bahwa epitel serviks menjalani pembentukan
kembali dalam jumlah yang cukup banyak sebagai akibat pelahiran bayi.

Segmen bawah uterus yang mengalami penipisan cukup bermakna akan


berkontraksi dan tertarik kembali, tapi tidak sekuat pada korpus uteri. Dalam
waktu beberapa minggu, segmen bawah telah mengalami perubahan dari sebuah
struktur yang tampak jelas dan cukup besar untuk menampung hampir seluruh
kepala janin, menjadi isthmus uteri yang hampir tak terlihat dan terletak di antara
korpus uteri diatasnya dan os internum serviks di bawahnya.
c. Involusi Uteri
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan
disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi
otot-otot polos uterus. Pada akhir tahap ketiga persalinan, uterus berada di garis
tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilikus dengan bagian fundus bersandar pada
promontorium sakralis. Pada saat ini besar uterus kira-kira sama dengan besar
uterus sewaktu usia kehamilan 1 minggu dan beratnya kira-kira 1000 g.
Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus uteri mencapai 1 cm di atas tali
umbilikus. Dalam beberapa hari kemudian, perubahan involusi berlangsung
dengan cepat. Fundus turun kira-kira 1 sampai 2 cm setiap 24 jam. Pada hari
pascapartum keenam fundus normal akan berada di pertengahan antara umbilikus
dan simfisis pubis. Uterus tidak bisa dipalpasi pada abdomen pada hari ke-9
pascapartum.
Uterus, yang pada waktu hamil penuh beratnya 11 kali berat sebelum hamil,
berinvolusi menjadi kira-kira 500 g, 1 minggu setelah melahirkan dan 350 g, 2
minggu setelah melahirkan uterus berada di dalam panggul sejati lagi. Pada
minggu ke enam, beratnya sampai 60 g. Dan pada minggu ke-8, uterus memiliki
berat 30 g, yaitu sebesar uterus normal. Berikut gambaran involusi uterus.
Peningkatan kadar estrogen dan progesteron bertanggung jawab untuk
pertumbuhan masif uterus selama masa hamil. Pertumbuhan uterus prenatal
tergantung pada hiperplasia, pningkatan jumlah sel-sel otot, dan hipertrofi,

pembesaran sel-sel yang sudah ada. Pada masa pascapartum penurunan kadar
hormon-homon ini menyebabkan terjadinya autolisis, perusakan sacara langsung
jaringan hipertiroid yang berlebihan. Sel-sel tambahan yang terbentuk selama
masa hamil menetap. Inilah penyebab ukuran uterus sedikit lebih besar setelah
hamil (Safuddin, 2008).
d. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah lahir,
diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang
terutama akibat kompresi pembuluh darah intramiometrium, bukan oleh agregasi
trombosit dan pembentukan bekuan. Hormon yang dilepaskan dari kelenjar
hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh
darah, dan membantu hemostatis. Selama 1 sampai 2 jam pertama pascapartum
intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Karena
penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus selama masa ini, biasanya
suntikan oksitosin (pitosin) secara intravena atau intramuskular diberikan segera
stelah plasenta lahir. Ibu yang merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan
membiarkan bayinya di payudara segera setelah lahir karena isapan bayi pada
payudara merangsang pelepasan oksitosin.
Tabel 1. Waktu involusi dan ukuran TFU
Involusi
Setelah bayi lahir
setelah plasenta lahir
1 minggu
2 minggu
6 minggu
8 minggu

Tinggi fundus uteri


Setinggi pusat
2 jari bawah pusat
pertengahan simpisis pusat
tidak teraba diatas simpisis
bertambah kecil
sebesar normal

Berat uteri
1000gr
750 gr
500gr
350gr
50gr
30gr

3. Regenerasi endometrium

Dalam waktu 2 atau 3 hari setelah melahirkan, sisa desidua berdiferensiasi


menjadi dua lapisan. Stratum superficial menjadi nekrotik, dan terkelupas
bersama lochea. Stratum basal yang bersebelahan dengan miometrium tetap utuh
dan merupakan sumber pembentukan endometrium baru. Endometrium terbentuk
dari proliferasi sisa-sisa kelenjar endometrium dan stroma jaringan ikat antar
kelenjar tersebut. Proses regenerasi endometrium berlangsung cepat, kecuali pada
tempatmelekatnya plasenta. Dalam satu minggu atau lebih, permukaan bebas
menjadi tertutup oleh epitel dan seluruh endometrium pulih kembali dalam
minggu ketiga.
4. Bekas Implantasi Plasenta
Plasenta mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri dengan
diameter 7,5cm. Sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu keenam 2,4 cm,
dan akhirnya pulih.
5. Rasa Sakit
Yang disebut after pains (mules-mules) disebabkan kontraksi rahim,
biasanya berlangsung 2-4 hari pasca persalinan. Perlu diberikan pengertian pada
ibu mengenai hal ini dan bila terlalu mengganggu dapat diberikan analgetik. Pada
primipara, tonus uterus meningkat sehingga fundus pada umumnya tetap kencang.
Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami multipara dan bisa
menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang masa awal puerperium. Rasa nyeri
setelah melahirkan ini akan lebih nyata dirasakan oleh ibu melahirkan dengan
kondisi tertentu, misalnya pada persalinan yang overdistensi/peregangan berlebih
yaitu pada kasus bayi besar (makrosomia) atau bayi kembar. Menyusui dan
oksitosin tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya
merangsang kontraksi uterus. Biasanya nyeri ini berkurang intensitasnya dan
melemah pada hari ketiga postpartum.
6. Lochea
Cairan secret yang berasal dari cavum uteri dan vagina dalam masa nifas :

10

1) Lochea Rubra (Cruenta)


Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks
kaseosa, lanugo, dan mekoneum, selam 2 hari pasca persalinan.
2) Lochea Sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lender, hari ke 3-7 pasca
persalinan.
3) Lochea Serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14.
4) Lochea Alba
Berwarna putih, setelah 2 minggu.
5) Lochea Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
6) Lochiostasis
Loche tidak lancar keluarnya (Mochtar,2008).
7. Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam pasca partum,
serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk
semula. Serviks setinggi segmen bawah uterus tetap edematosa, tipis dan rapuh
selama beberapa hari setelah ibu melahirkan. Ektoserviks (bagian serviks yang
menonjol ke vagina) terlihat memar dan ada sedikit laserasi kecil kondisi yang
optimal untuk perkembangan infeksi. Muara serviks, yang berdilatasi 10 cm
sewaktu melahirkan, menutup secara bertahap. 2 jari mungkin masih dapat
dimasukkan kedalam muara serviks pada hari ke 4 sampai ke-6 pasca partum,
tetapi hanya tangkai kuret terkecil yang dapat dimasukkan pada akhir minggu kekedua. Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk lingkaran seperti sebelum
melahirkan, tetapi terlihat memanjang seperti suatu celah, sering disebut seperti
mulut ikan. Laktasi menunda produksi estrogen yang mempengaruhi mucus dan
mukosa.
Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong berwarna
merah kehitaman. Konsistensinya lunak, terkadang terdapat perlukaan-perlukaan

11

kecil. Setelah bayi lahir tangan masih bisa masuk rongga rahim, setelah 2 jam
dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari.
8. Ligamen-ligamen
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu persalinan,
setelah bayi lahir, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali
sehingga tidak jarang uterus jatuh ke belakang dan menjadi retrofleksi, karena
ligamentum rotundum menjadi kendor. Setelah melahirkan kebiasaan wanita
Indonesia berurut dimana sewaktu diurut tekanan intra abdominal menjadi
bertambah tinggi. Karena setelah melahirkan ligamenta, fasia, dan jaringan
penunjang menjadi kendor, jika dilakukan urut banyak wanita akan mengeluh
kandungannya turun atau terbalik. Untuk memulihkan kembali sebaiknya dengan
latihan-latihan pasca persalinan (Mochtar, 2008).
2.1.4 Asuhan Masa nifas
Asuhan masa nifas adalah proses pengambilan keputusan dan tindakan
yang dilakukan bidan pada masa nifas sesuai dengan wewenang dan ruang
lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan ( Kemenkes RI, 2007).
Standar kompetensi bidan menjelaskan bahwa bidan memberikan asuhan
pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi dan tanggap terhadap budaya
setempat. Asuhan masa nifas difokuskan pada upaya pencegahan infeksi dan
menuntut bidan untuk memberikan asuhan kebidanan tingkat tinggi (Varney,
2007)
Asuhan yang diberikan kepada ibu bertujuan untuk :
a.
b.
c.
d.

Meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi


Pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan komplikasi pada ibu
Merujuk ibu ke tenaga ahli bilamana perlu
Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu serta memungkinkan ibu
untuk mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga
12

e. Imunisasi ibu terhadap tetanus


f. Mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makan
anak, serta peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan
anak
Pada asuhan masa nifas secara spesifik bidan mempunyai tanggung
jawab sebagai berikut:
a. Melakukan evaluasi kontinu dan penatalaksanaan perawatan kesejahteraan
b.
c.
d.
e.
f.
g.

wanita
Memberikan bantuan pemulihan dari ketidaknyamanan fisik
Memberikan bantuan dalam menyusui
Memfasilitasi pelaksanaan peran sebagai orang tua
Melakukan pengkajian bayi selama kunjungan rumah
Memberikan pedoman antisipasi dan instruksi
Melakukan penapisan kontinu untuk komplikasi puerperium (Varney,
2007).

2.2
2.2.1

Konsep Menyusui
Defenisi
Air Susu Ibu (ASI)

adalah cairan yang dihasilkan oleh sepasang

payudara ibu dengan komposisi yang khas serta spesifik untuk


perkembangan bayi dan nutrisi yang paling tepat untuk bayi
Menyusui adalah metode yang tepat untuk memberikan makan pada
bayi karena memberikan manfaat kesehatanuntuk ibu dan bayi yang
tergantung pada gabungan kerja hormon, reflek, dan perilaku yang
dipelajari ibu dan bayi baru lahir yang terjadi secara alami (Varney,
2007)
2.2.2
Siklus Laktasi
2.2.2.1
Mammogenesis
Proses ini dimulai sejak masa sebelum pubertas dan dilanjutkan pada
masa pubertas. Perkembangan payudara dipengaruhi oleh adanya siklus

13

menstruasi dan kehamilan. Payudara belum secara penuh dibentuk


sampaipayudara mampu memproduksi ASI.
2.2.2.2

Laktogenesis I
Laktogenesis I dimulai pada pertengahan kehamilan. Pada fase ini
struktur,duktus dan lobus payudara mengalami proliferasi akibat dari
pengaruh hormon. Akibatnya kelenjar payudara sudah mampu
mensekresi akan tetapi yang disekresi hanya kolostrum. Walaupun
secara struktur kelenjarpayudara mampu untuk mengeluarkan ASI akan
tetapi ini tidak terjadi karena hormon yang berhubungan dengan
kehamilan mencegah ASI disekresi.

2.2.2.3

Laktogenesis II
Laktogenesis II merupakan permulaan sekresi ASI secara berlebih dan
terjadi pada hari ke-4 post partum. Permulaan sekresi ASI yang berlebih
terjadi setelah plasenta lahir. Setelah melahirkan tingkat progesteron
menurun secara tajam akan tetapi tidak sampai mencapai tingkatan
yang sama pada wanita tidak hamil. Sedangkan tingkat prolaktin tetap

2.2.2.4

tinggi.Pada fase ini, ibu biasanya merasakan volume ASI yang berlebih.
Laktogenesis III
Sistem kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI selama
kehamilan dan beberapa hari pertama setelah melahirkan. Ketika
produksi ASI mulai stabil, sistem kontrol autokrin dimulai. Pada tahap
ini apabila ASI banyak dikeluarkan maka payudara akan memproduksi
ASI dengan banyak pula.

2.1.1

Refleks menyusui

14

Menurut Bobak, Lowdermilk & Jensen (2005), refleks maternal utama


sewaktu menyusui terdiri dari:
2.1.1.1

Refleks prolaktin
Prolaktin merupakan hormon laktogenik yang penting untuk memulai
dan mempertahankan sekresi susu. Stimulus isapan bayi mengirim
pesan ke hipotalamus yang merangsang hipofise anterior untuk melepas
prolaktin, suatu hormon yang meningkatkan produksi susu oleh sel-sel
alveolar kelenjar payudara. Jumlah prolaktin yang disekresi dan jumlah
susu yang diproduksi berkaitan dengan besarnya stimulus isapan yaitu
frekuensi, intensitas, dan lama bayi menghisap.

2.1.1.2

Refleks ereksi puting susu


Stimulus puting susu oleh mulut bayi menyebabkan puting ereksi.
Refleks ereksi puting susu membantu propulsi susu melalui sinus-sinus
laktiferus ke pori-pori puting susu.

2.1.1.3

Refleks let-down
Akibat stimulus isapan bayi, hipotalamus melepas oksitosin dari
hipofise posterior. Stimulasi oksitosin membuat sel-sel mioepitel di
sekitar alveoli di dalam kelenjar payudara berkontraksi. Kontraksi selsel yang menyerupai otot ini menyebabkan susu keluar melalui duktus
dan masuk ke dalam sinus-sinus laktiferus.
Refleks let-down dapat dirasakan sebagai sensasi kesemutan atau dapat
juga ibu tidak merasakan sensasi apapun. Tanda-tanda lain let-down
adalah tetesan susu dari payudara ibu dan susu menetes dari payudara
lain yang tidak sedang diisap oleh bayi. Banyak ibu mengalami refleks
let-down hanya karena berpikir tentang bayinya atau mendengar bayi

15

lain menangis. Refleks let-down dapat terjadi selama aktivitas seksual


karena oksitosin dilepas selama orgasme.
2.1.2
Manfaat Menyusui
2.1.2.1
Aspek Gizi
ASI mudah dicerna karena selain mengandung zat-zat gizi yang
sesuaijuga mengandung enzim-enzim untuk mencerna zat-zat gizi.
ASImengandung

zat-zat

gizi

berkualitas

tinggi

yang

berguna

untukpertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi/anak. ASI


mengandung 2 macam protein utama, yaitu whey dan kasein.
Wheyadalah protein yang halus, lembut dan mudah dicerna. Kasein
adalahprotein yang bentuknya kasar, bergumpal dan sukar dicerna oleh
ususbayi.

Selain

mengandung

protein

yang

tinggi,

ASI

memilikiperbandingan antara Whey dan Kasein yang sesuai untuk bayi.


Rasio Whey dan Kasein merupakan salah satu keunggulan ASI
dibandingkan
dengan susu sapi. ASI mengandung Whey lebih banyak dibandingkan
dengan Kasein yaitu 65:35. Komposisi ini menyebabkan protein ASI
lebih mudah diserap, sedangkan pada susu sapi mempunyai
perbandingan Whey:Kasein adalah 20:80, sehingga tidak mudah untuk
diserap (Depkes RI, 2001; Roesli, 2005).
ASI juga mengandung Taurin, DHA dan AA. Taurin adalah sejenis
asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi sebagai
neuro-transmiter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak.
Sedangkan DHA (Decosahexanoic Acid) dan AA Arachidonic Acid)
adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang yang diperlukan untuk
pembentukan sel-sel otak (Depkes RI, 2001)

16

2.1.2.2

Aspek imunologik
Ig A dalam kolostrum dapat melumpuhkan bakteri pathogen E. coli dan
berbagai virus pada saluran pencernaan. ASI juga mengandung
laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat
kekebalan yang mengikat zat besi di saluran pencernaan. Di dalam ASI
juga terdapat Lysosim, enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri
(E. coli dan salmonella) dan virus . Jumlah Lysosim dalam ASI 300 kali

lebih banyak daripada susu sapi.


2.1.2.3
Aspek psikologi
Pemberian ASI pada bayi memberikan rasa percaya diri ibu untuk
menyusui yaitu bahwa ibu mampu menyusui dengan produksi ASI yang
mencukupi bayi. Menyusui juga dipengaruhi oleh emosi ibu dan kasih
sayang terhadap bayi sehingga meningkatkan produksi hormon
terutama oksitosin yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi
2.1.2.4

ASI (Depkes RI, 2001)


Aspek kecerdasan
sampai bayi berusia enam bulan akan menjamin tercapainya
pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal sampai bayi
berusia enam bulan akan menjamin tercapainya pengembangan potensi

kecerdasan anak secara optimal


2.1.2.5
Aspek neurologis
Dengan menghisap payudara, koordinasi saraf menelan, menghisap, dan
bernafas yang terjadi pada bayi baru lahir dapat lebih sempurna
(Depkes RI, 2001).
2.1.2.6
Aspek ekonomis
Ibu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makanan bayi sampai bayi
berumur enam bulan jika ibu menyusui secara eksklusif. Ibu bisa
menghemat pengeluran rumah tangga karena tidak perlu membeli susu
formula dan peralatannya (Depkes RI, 2001).

17

2.1.2.7

Aspek penundaan kehamilan


Menyusui secara eksklusif dapat menunda menstruasi dan kehamilan
sehingga dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi alamiah yang dikenal

2.1.3

sebagai Metode Amenorea Laktasi (MAL) (Depkes RI, 2001).


Masalah Menyusui
Kegagalan dalam proses menyusui sering disebabkan karena timbulnya
beberapa masalah, baik masalah pada ibu maupun pada bayi.
Padasebagian ibu yang tidak memahami masalah ini, kegagalan
menyusui sering dianggap problem pada anaknya saja (Mexitalia &
Susanto, 2004).
Masalah dari ibu yang timbul selama menyusui dapat dimulai sejak
sebelum persalinan (periode antenatal), pada masa persalinan dini, dan
masa pasca persalinan lanjut. Masalah menyusui dapat pula disebabkan
karena keadaan khusus. Ibu juga sering mengeluh bahwa bayinya sering
menangis atau menolak menyusu, yang sering diartikan bahwa ASI nya
tidak cukup, atau ASI nya tidak enak, tidak baik atau apapun
pendapatnya sehingga menyebabkan ibu mengambil keputusan untuk
berhenti menyusui (Suradi & Tobing, 2004).
Masalah pada bayi umumnya berkaitan dengan manajemen laktasi
sehingga bayi sering menjadi bingung puting atau sering menangis
yang sering diinterpretasikan oleh ibu dan keluarga bahwa ASI tidak
tepat untuk bayinya. Bingung puting disebabkan karena bayi selain
menyusu pada ibunya juga diberi susu formula dalam botol. Hal ini
dapat terjadi karena mekanisme menyusu pada puting ibu berbeda
dengan mekanisme menyusu pada botol. Menyusu pada ibu
memerlukan kerja otot-otot pipi, gusi, langit-langit dan lidah sedangkan
menyusu pada botol, bayi dapat mendapatkan susu secara pasif yang

18

ditentukan oleh kemiringan botol, besar lubang dan ketebalan karet dot
(Suradi, 2004; Mexitalia & Susanto,2004).
2.1.4
Faktor yang mempengaruhi produksi ASI
2.1.4.1
Faktor Ibu
- Faktor psikologis
Faktor psikologis ibu yang mempengaruhi kurangnya produksi ASI
antara lain adalah ibu yang berada dalam keadaan stress, kacau,
marah dan sedih, kurang percaya diri, terlalu lelah, ibu tidak suka
menyusui, serta urangnya dukungan dan perhatian keluarga dan
-

pasangan kepada ibu (Lawrence, 2004; Novianti, 2009).


Faktor fisiologis
Faktor fisiologis ibu meliputi status kesehatan ibu, nutrisi, intake
cairan, pengobatan, dan merokok. Selama menyusui, seorang ibu
membutuhkan kalori, protein, mineral dan vitamin yang sangat
tinggi.Ibu yang menyusui membutuhkan tambahan 800 kalori per
hari selama menyusui (Suryoprajogo, 2009). Selain kebutuhan
makanan, ibu menyusui juga memerlukan minum yang cukup karena
kebutuhan tubuh akan cairan pada ibu menyusui meningkat. Asupan

cairan yang cukup 2000 cc perhari dapat menjaga produksi ASI ibu.
Faktor sosial budaya
Adanya budaya yang terdapat di masyarakat tentang menyusui serta
mitos-mitos yang salah tentang menyusui juga dapat mempengaruhi
ibu untuk berhenti menyusui. Budaya yang ada di masyarakat
misalnya bayi diberikan makanan selain ASI sejak lahir kemudian
adanya mitos yang berkembang di masyarakat bahwa bayi yang
rewel atau menangis karena lapar sehingga harus diberikan makanan
dan minuman selain ASI sehingga ibu memilih untuk memberikan
makanan dan minuman selain ASI. Hal ini akan menyebabkan

19

bayijarang menyusu karena sudah kenyang sehingga rangsangan


-

isapan bayi berkurang (Novianti, 2009).


Proses persalinan
Persalinan secara seksio lebih menyulitkan ibu untuk memberikan
ASI di awal proses persalinannya. Hal tersebut jelas disebabkan oleh

2.1.4.2
-

insisi, nyeri, serta efek anastesi dari prosedur operasi.


Faktor bayi
Berat badan
Bayi kecil, prematur atau dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
mempunyai masalah dengan proses menyusui karena refleks

menghisapnya masih relatif lemah (Suradi & Tobing,2004).


Status kesehatan
Bayi yang sakit dan memerlukan perawatan akan mempengaruhi
produksi ASI, hal ini disebabkan karena tidak adanya rangsangan

2.1.4.3
-

terhadap reflek let down (Suradi & Tobing, 2004).


Faktor manajemen laktasi
Waktu Inisiasi
Inisiasi dapat dilakukan segera pada jam-jam

pertama

kelahiran,dengan melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) akan


dapatmeningkatkan produksi ASI (Roesli, 2005). Inisiasi Menyusu
Dini(IMD) dilakukan berdasarkan pada refleks atau kemampuan
bayidalam mempertahankan diri. Bayi yang baru berusia 20
menitdengan sendirinya akan dapat langsung mencari puting susu
ibu.Selain membantu bayi belajar menyusu kepada ibunya
danmemperlancar pengeluaran ASI, proses inisiasi diharapkan

dapatmempererat

ikatan

sertaberpengaruh

terhadap

perasaan
lamanya

antara

ibu

pemberian

dan
ASI

bayinya,
kepada

bayinya(Suryoprajogo, 2009; Poedianto, 2002).


Frekuensi dan lamanya menyusui

20

Bayi

sebaiknya

disusui

secara

on

demand

akanmenentukan

sendiri

kebutuhannya.

Bayi

karena

bayi

yang

sehat

dapatmengosongkan satu payudara sekitar 5-7 menit dan ASI


dalamlambung bayi akan kosong dalam waktu 2 jam (Suradi &
Tobing,2004; Poedianto, 2002).

21

BAB III
TINJAUAN KASUS
KAJIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS NY. M P1A0H1 POST
SC ATAS INDIKASI PREEKLAMSIA BERAT
DI RUANG RAWATAN KEBIDANAN
RSUD PARIAMAN TAHUN 2016
Pengkajian
Tanggal : 19 Juli 2015
Jam

: 09.00 Wib

Tempat : Ruang Rawatan Kebidanan RSUD Pariaman

A. PENGKAJIAN
DATA SUBJEKTIF (S)
1. Identitas
RM (103351)
Nama Ibu
Umur
Suku / Bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
No. Registrasi
Alamat

: Ny. M A
Nama Suami : Tn. R K
: 22 tahun
Umur
: 32 tahun
: Chaniago/Indonesia
Suku/Bangsa : Pangalaean/Indonesia
: Islam
Agama
: Islam
: SMA
Pendidikan : SMA
: Ibu Rumah Tangga
Pekerjaan
: Swasta
: 079920
: Kalampayan Kamumuan, Kelurahan Kuranji Hilir,

Kecamatan Sungai Limau


2. Riwayat Menstruasi
Menarche
Siklus
Lama
Warna
Dismenorrhoe

: 12 tahun
: 26-28 hari
: 5-7 hari
: merah
: ya, sebelum haid

HPHT

: 20-10-2015

Teratur / tidak : teratur


Sifat darah
: encer
Flour Albus
: tidak

22

TP

: 27-07-2016

3. Riwayat Penyakit Ibu


Ibu mengatakan dirinya tidak ada riwayat sakit jantung, DM,
hipertensi, ginjal, hepatitis, TBC dan asma serta penyakit infeksi dan
penyakit kelamin.
4. Riwayat Penyakit Ibu
Ibu mengatakan dirinya tidak ada riwayat sakit jantung, DM,
hipertensi, ginjal, hepatitis, TBC dan asma serta penyakit infeksi dan
penyakit kelamin.
5. Riwayat Psikososial dan budaya
Ibu dan keluarga sangat menginginkan kehamilan ini. Tidak ada
pantangan makanan selama hamil dan ibu tidak mengkonsumsi jamujamuan, tidak merokok dan tidak minum minuman keras.

6. Keluhan utama pada waktu masuk :


Pasien datang ke kamar rawat inap kebidanan melalui OK Central
kiriman PONEK Tanggal 18 Juli 2016 pukul 21.00 WIB dengan keluhan
pasien merasa menggigil dan nyeri pada luka jahitan post op SC atas
indikasi preeklampsia berat.
3. Riwayat Persalinan :
3.1 Tanggal: 18 Juli 2016 Pukul : 09.00 WIB
Jenis Persalinan

: Seksio Sesarea

Indikasi

: Preeklampsia berat

Jenis Kelamin anak

: Laki-laki

Berat Badan

:3000 gram

23

Panjang Badan

: 50 cm

Apgar Skor

:7/8

3.2 Proses Persalinan


Pasien merupakan rujukan dari Puskemas Sungai Limau
dengan keluhan GIP0A0 usia kehamilan 37-38 minggu dengan
hipertensi dalam kehamilan (Tekanan darah 150/90 mmHg) dan Telah
dilakukan VT dengan pembukaan 2-3 cm, Ketuban (+), Hodge II-III,
lendir darah(+). Djj=140 kali/menit, protein urin (+++).
Tanggal 18 Juli Pukul 12.30 Ibu masuk di ruangan PONEK
RSUD Pariaman. Telah dilakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan
hasil tekanan darah 160/100, Nadi 88 kali/menit, nafas 17 kali/menit.
Hasil pemeriksaan Leopold TFU= 36 cm, punggung kiri, presentasi
kepada, Djj 145 kali/menit. Telah dipasang IVFD pada tangan kanan
RL+ MgSO4 40% 20 tetes per menit dan IVFD pada tangan kiri
RL+oksitosin 10 IU 20 tetes per menit. Selanjutnya dilakukan
observasi kemajuan persalinannya. Pukul 17.30 WIB pembukaan 4-5
cm, His (+) dokter menyarankan untuk dilakukan SC.
Pukul 20.00 WIB telah dilakukan SC dengan anastesi
spinal. Plasenta lahir lengkap, jumlah 1 buah, ukuran normal, insersi
parasentralis, ukuran 17x 16x 2 cm. Panjang tali pusat 50cm .TFU
sejajar pusat. Kontraksi baik. Perdarahan selama tindakan 300
cc.Pukul 21.00 WIB pasien pindah ke ruang rawat kebidanan
3.3 Penyulit dan Komplikasi : Preeklampsia berat (tekanan darah mmHg
dan protein urin (+++)

24

B. DATA OBJEKTIF (O)


1. Pemeriksaan Umum
2. Kesadaran

: Keadaaan Umum lemah

: Compos Mentis

3. Tanda Vital
Tekanan darah

:129/100 mmHg

Denyut nadi

: 92 kali/menit

Suhu tubuh

:36,1C

Pernapasan

: 24 x/menit

4. Payudara

:Kolostrum (-)

5. Uterus
Tinggi fundus uteri

: Sejajar pusat

Kontraksi uterus

: Baik

6. Pengeluaran lochea warna

:Merah tua

Jumlah

: 50 cc

Perineum

: Utuh

7. Kandung Kemih

: Kosong. DC terpasang. Urin 200 cc

8. Ekstrmitas
Atas

: terpasang infus di tangan kanan RL drip


MgSO4 (40%) 20 tetes per menit, dan di
tangan kiri Infus RL drip Oksitosin 10 IU
20 tetes per menit

Bawah

: Terdapat udem di kaki kiri dan kanan

25

PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium tanggal 18 Juli 2016)


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Hb
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
Hematokrit
Protein urin
Gol. Darah

: 13,4 gr%
:13.620/m3
: 4.760.000/mm3
: 253.000 mm3
: 39,1 vol%
: +3 (pemeriksaan tanggal 18 Juli 2016)
:B

C. ASSESMENT (A)
Ibu P1A0H1 post Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia berat

D. PLANNING
1. Menginformasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan keluarga
2. Memantau keadaan umum, tanda-tanda vital, perdarahan dan kontraksi
3. Menganjurkan pasien puasa sampai bising usus (+)
4. Menganjurkan pasien untuk istirahat dengan cukup
5. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi
a. Asam mefenamat 3x1
b. Vitamin C 3x1
c. SF 1x1
d. Metildopa 3x500 mg
e. Injeksi cefoperazone ( 2x1 gr) dan Injeksi Gentamisin (2x80 gr)
6. Instruksi dokter untuk cek darah rutin
EVALUASI
- Pasien mengerti dengan penjelasan bidan
- Pasien menerima asuhan yang diberikan
- Pasien diberikan terapi

26

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS NY. MA P1A0H1 POST SC


ATAS INDIKASI PREEKLAMSIA BERAT DENGAN MASALAH
MENYUSUI
POST PARTUM HARI KEDUA
Tanggal : 19 Juli 2015
Jam

: 09.00 Wib

Tempat : Ruang Rawatan Kebidanan RSUD Pariaman

DATA SUBJEKTIF

Ibu mengatakan keadaannya semakin membaik namun masih merasakan

nyeri pada bekas luka operasi


Pasien sudah tidak merasakan pusing
Ibu masih belum bisa menyusui bayinya dikarenakan ASI belum keluar dan

berencana ingin memberikan susu tambahan sesuai dengan saran ibunya.


Ibu masih belum mengerti cara menyusui yang benar
Ibu juga mengatakan bahwa suami tidak bisa mendampingi karena beban
pekerjaan.

DATA OBJEKTIF
-

- Keadaan umum sedang.


Tanda-tanda Vital :Tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 82 kali/menit, Suhu
36oC, Respirasi 22 kali/menit.
- Mamae : ASI (-)
- Abdomen : Luka operasi basah tertutup.
- Perdarahan normal. TFU 3 jari bawah pusat. Lochea rubra. Kontraksi
a.
b.
c.
d.
e.

baik.
Ekstremitas bawah masih bengkak.Urin (+). Flatus (+)
Laboratorium tanggal 19 Juli 2016 :
HGB
: 12 gr/dL
RBC
:4,23 (10^6/uL)
Eritrosit
: 4.760.000/mm3
Trombosit
: 253.000 mm3
Hematokrit : 39,1 vol%

27

ASSASSMENT

:Ibu P1A0H1 post seksio sesarea atas indikasi Preeklampsia


berat dengan masalah menyusui

PLANNING
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menginformasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan keluarga


Memantau keadaan umum, tanda-tanda vital, perdarahan dan kontraksi
Menganjurkan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
Menganjurkan pasien untuk mobilisasi
Menganjurkan pasien untuk istrirahat yang cukup
Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi

EVALUASI

Tangan kanan terpasang IVFD RL drip oksitosin 2 amp (28 tetes per

menit)
Tangan kiri terpasang RL drip MgSO4 40% 20 cc (28 tetes per menit)
Injeksi cefoperazone ( 2x1 gr) pukul (13.00 WIB dan 01.00 WIB) dan

Injeksi Gentamisin (2x80 gr) pukul (03.00 WIB dan 01.00 WIB)
Terapi Oral : Asam mefenamat 3x1,Vitamin C 3x1,SF 1x1,dan

Metildopa 3x500 mg
DC (+)
Belum dilakukan intervensi secara maksimal terhadap masalah
menyusui yang dialami ibu

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS NY. MA P1A0H1 POST SC


ATAS INDIKASI PREEKLAMSIA BERAT DENGAN MASALAH
MENYUSUI
POST PARTUM HARI KETIGA
Tanggal : 20 Juli 2015

28

Jam

: 09.00 Wib

Tempat : Ruang Rawatan Kebidanan RSUD Pariaman

DATA SUBJEKTIF
-

Ibu mengatakan masih merasakan nyeri pada bekas luka operasi


Ibu sudah mulai menyusui bayi namun ia mengatakan sudah memberikan
susu formula karena merasa kasihan melihat bayinya yang tidak puas

menyusu. Hal tersebut juga didukung oleh keluarga.


Ibu masih belum mengerti cara menyusui yang benar.

DATA OBJEKTIF
-

- Keadaan umum sedang.


Tanda-tanda Vital :Tekanan darah 140/70 mmHg, Nadi 82 kali/menit, Suhu
36,5oC, Respirasi 20 kali/menit.
- Mamae : ASI (+)
- Abdomen : Luka operasi basah tertutup.
- Perdarahan normal. TFU 3 jari bawah pusat. Lochea rubra. Kontraksi
baik.
- Ekstremitas bawah masih bengkak.Urin (+)

ASSASSMENT

:Ibu P1A0H1 post SC hari ketiga atas indikasi Preeklampsia


berat dengan masalah menyusui

PLANNING
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Menginformasikan hasil pemeriksaan pada pasien dan keluarga


Memantau keadaan umum, tanda-tanda vital, perdarahan dan kontraksi
Menganjurkan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
Menganjurkan pasien untuk mobilisasi
Menganjurkan pasien untuk istrirahat yang cukup
Menganjurkan pasien untuk menjaga kebersihan diri
Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi

EVALUASI

29

Belum dilakukan intervensi secara maksimal terhadap masalah

menyusui yang dialami ibu


Pemasangan Inject Pump : Injeksi cefoperazone ( 2x1 gr) pukul (13.00
WIB dan 01.00 WIB) dan Injeksi Gentamisin (2x80 gr) pukul (03.00

WIB dan 01.00 WIB)


Terapi Oral : Asam mefenamat 3x1,Vitamin C 3x1,SF 1x1,dan
Metildopa 3x500 mg

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Dan Evaluasi Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas Post Seksio
Sesarea dengan Masalah Menyusui
Ibu MA P1A0H0 merupakan rujukan dari Puskemas Sungai Limau
atas diagnosa GIP0A0 usia kehamilan 37-38 minggu dengan hipertensi dalam
kehamilan. Tanggal 18 Juli Pukul 12.30 Ibu masuk di ruangan PONEK
RSUD Pariaman, di observasi kemajuan persalinan namun tekanan darah
semakin meningkat sehingga dokter menyarankan untuk dilakukan operasi
SC. Ttanggal 18 Juli 2016 pukul 20.00 WIB telah dilakukan SC dengan
anastesi spinal di RSUD Pariaman atas indikasi preeklampsia berat. Pukul
21.00 WIB pasien dipindahkan ke Ruang rawat kebidanan
Tanggal 19 Juli 2016 ibu masih belum bisa menyusui bayinya
dikarenakan ASI belum keluar dan berencana ingin memberikan susu
tambahan saja untuk bayinya. Nyeri luka operasi yang dirasakan juga
menambah ketidaknyaman ibu dalam menyusui bayinya. Keluarga terutama
ibu kandung juga mendukung dengan alasan yang sama.

30

Tanggal 20 juli 2016, Hari ketiga post partum,tanpa sepengetahuan


petugas ruangan rawat kebidanan ibu telah memberikan susu formula dengan
alasan bayi menangis terus menerus karena lapar sedangkan ASI masih
sedikit keluar.
Masalah seputar laktasi seperti kronologi kasus di atas mungkin
sering di alami oleh ibu terutama di awal masa post partum. Pada masa
tersebut, hormon dalam tubuh ibu masih belum stabil. Estrogen dan
progesteron mulai menurun namun hormon prolaktin dan oksitosin mulai
meningkat untuk proses produksi dan ejeksi ASI. Masa ini juga disebut
dengan laktogenesis II. Proses ini akan terhambat jika bayi tidak sering
menyusu, karena semakin jarang bayi menghisap puting susu maka refleks
prolaktin dan oksitosin juga akan terhambat.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan masalah dalam menyusui,
diantaranya adalah faktor ibu, bayi serta manajemen laktasi yang tidak
optimal. Setelah di lakukan pengkajian data pada Ny MA, dapat diketahui
bahwa sebenarnya ibu telah mendapatkan konseling mengenai persipan masa
laktasi saat antenatal care oleh bidan namun mungkin pemahaman yang
didapatkan belum optimal.
Faktor psikologis ibu juga dapat mempengaruhi kurangnya produksi
ASI. Ibu masih terlihat kurang percaya diri, terlalu lelah karena proses
persalinan dan komplikasi yang dialami. Selain itu proses persalinan secara
seksio sesarea juga terbukti mengganggu proses pemberian ASI (sik, Dag,
Tulmac, & Pek, 2016). Salah satu penyebabnya adalah efek anastesi yang
didapatkan, sehingga seharusnya keluarga yang membantu dan mendukung
pemberian ASI eksklusif, terutama saat masa pemulihan pasca operasi
(Kutlucan et al., 2014). Selain itu, seksio sesarea juga memberikan dampak

31

buruk pada pelaksanaan IMD yang merupakan langkah awal kesuksesan ASI
eksklusif (Albokhary & James, 2014).
Asuhan kebidanan yang dapat diberikan pada ibu post partum
dengan masalah menyusui seperti pada kasus Ny MA antara lain :
1. Memberikan konseling mengenai :
- Manfaat menyusui bagi ibu, bayi dan keluarga
- Tata laksana menyusui
- Nutrisi yang baik selama menyusui
- Faktor yang dapat menghambat proses menyusui
2. Menganjurkan keluarga untuk memberikan dukungan verbal ataupun
tindakan selama ibu menyusui
3. Mengajarkan ibu dan keluarga untuk melakukan pijat oksi untuk
memperlancar ASI
4. Menganjurkan ibu dan keluarga untuk tidak memberikan minuman dan
makanan tambahan pada bayi sebelum berusia 6 bulan
5. Membantu ibu menyusui secara on demand, tanpa pembatasan terhadap
lama dan frekuensi menyusui.
6. Menganjurkan ibu untuk tidak memberikan dot pada bayi karena akan
menyebabkan bingung puting
7. Menganjurkan ibu untuk istrirahat yang cukup
Kementrian kesehatan juga telah mempunyai porgam 10 langkah
keberhasilan menyusui sebagai upaya yang dapat dilakukan oleh tiap instansi
baik pemerintah ataupun swasta untuk menyukseskan program ASI eksklusif
diantaranya adalah :
1.
Menetapkan Kebijakan Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu yang
secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas.
Melakukan pelatihan bagi petugas untuk menerapkan kebijakan

2.

tersebut.
3.
Memberikan penjelasan kepada ibu hamil tentang manfaat
menyusui dan talaksananya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi
lahir, sampai umur 2 tahun.
4.
Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah
melahirkan di ruang bersalin.

32

5.

Membantu ibu untuk memahami cara menyusui yang benar dan


cara mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas

indikasi medis.
6.
Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI
kepada bayi baru lahir.
Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama

7.

bayi 24 jam sehari


8.
Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan
terhadap lama dan frekuensi menyusui
9.
Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.
10. Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI di
masyarakat dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang
dari Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Sarana Pelayanan Kesehatan
(National center for chronic Disease Prevention and Health Promotion,
2013).
4.2 Evaluasi pelaksanaan kegiatan pada aspek masukan, proses, hasil dan
dampak pada manajemen asuhan kebidanan.
Evaluasi asuhan kebidanan ini membahas tentang kesenjangan yang
didapatkan antara konsep dasar teori dan pelaksanaan asuhan kebidanan pada
ibu nifas post seksio sesarea P1A0H1 dengan masalah menyusui di Ruang
Rawat Kebidanan RSUD Pariaman.
Berdasarkan catatan rekam medis, laporan harian dan wawancara
mendalam, dapat disimpulkan beberapa tindakan yang telah dilakukan oleh
petugas kesehatan di Ruang rawat kebidanan RSUD Pariaman untuk
mengatasi masalah menyusui yang di alami oleh Ny MA diantaranya
adalah dengan memberikan fasilitas rawat gabung dan tidak mempromosikan
susu formula. Namun tindakan yang diberikan masih belum optimal

33

dikarenakan belum ada intervensi secara langsung pada Ny MA seperti KIE


pijat oksitosin ataupun pijat payudara masa nifas.
Dilihat dari aspek input, ruang rawat kebidanan RSUD pariaman
telah memiliki regulasi mengenai pelaksanaan ASI eksklusif di Rumah Sakit
berupa SOP tindakan, memiliki undang-undang yang jelas mengenai
pelaksanaan dukungan pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah Undangundang Nomor 36/2009 tentang kesehatan pasal 128 dan Pasal 200 serta
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/VI/2004 tentang
pemberian ASI eksklusif di Indonesia namun belum memiliki tenaga
kesehatan dengan rasio yang sesuai dengan jumlah pasien serta tidak semua
bidan telah mendapatkan pelatihan konselor ASI.
Dilihat dari aspek proses, intervensi yang diberikan untuk mengatasi
masalah menyusui pada ibu nifas belum dirasakan optimal yang mungkin
juga disebabkan dengan kekurangan pada aspek input dan masih belum
optimalnya evaluasi program secara periodik.
Dilihat pada aspek output, masih terdapat masalah laktasi lainnya
seperti puting susu tenggelam yang juga belum optimal diintervensi. Untuk
kasus Ny MA pada hari ketiga post partum telah memberikan tambahan
susu formula pada bayinya.
4.3 Rencana tindak lanjut dari hasil yang dicapai
Hasil anamnesa, ibu nifas hari ke 2 belum mampu memberikan ASI
pada bayinya karena menurutnya ASI tidak ada, sementara ibu sangat ingin
menyusui bayinya, dan belum ada intervensi dari petugas kesehatan yang
dilakukan untuk membantu ibu mengeluarkan ASI. Proses menyusui idealnya
dapat segera dilakukan begitu bayi lahir. Bayi yang cukup bulan akan
memiliki naluri untuk menyusu pada ibunya di 20-30 menit setelah lahir.

34

Penurunan produksi ASI pada hari-hari pertama setelah melahirkan dapat


disebabkan oleh kurangnya rangsangan hormon prolaktin dan oksitosin yang
sangat berperan dalam kelancaran produksi ASI.
Jika masalah ibu tidak diatasi, maka produksi ASI bisa saja menurun
karena tidak ada rangsang dari hisapan bayi, dan involusi uterus ibu menjadi
tidak sempurna. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Blair
(2003) yang menunjukkan bahwa pada 95 ibu post partum yang menyusui
bayinya ditemukan produksi ASI nya menurun jika rangsangan hisapan bayi
menurun atau berkurang. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Pace
(2001) menunjukkan bahwa penurunan hisapan bayi juga menurunkan
stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin (Mardiyaningsih, 2010).
Bila bayi mulai disusui, isapan pada puting susu merupakan
rangsangan

psikis

yang

secara

reflektoris

mengakibatkan

oksitosin

dikeluarkan oleh hypofise. Produksi ASI akan lebih banyak. Sebagai efek
positif adalah involusi uteri akan lebih sempurna. Disamping ASI merupakan
makanan utama bayi yang tidak ada bandingannya, menyusukan bayi sangat
baik untuk menjelmakan rasa kasih sayang antara ibu dan anaknya (Bobak,
2006).
Rencana asuhan yang dapat diberikan pada ibu adalah dengan
memberikan intervensi pijat oksitosin dan mengajarkan ibu teknik marmet
untuk membantu pengeluaran ASI ibu. Mardiyaningsih (2010) menyatakan
bahwa produksi ASI dan ejeksi ASI yang sedikit pada hari-hari pertama
setelah melahirkan menjadi kendala dalam pemberian ASI secara dini.

35

Intervensi pijat oksitosin dan teknik marmet lebih efektif dapat meningkatkan
produksi ASI.
Implementasi saat memberikan pijat oksitosin pada ibu, kolostrum
tampak keluar pada papilla mammae namun masih sedikit, sehingga
pengeluaran ASI harus dikombinasikan dengan teknik marmet, dimana teknik
ini pada dasarnya untuk memerah ASI dan masase payudara.

36

BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
- tindakan yang telah dilakukan oleh petugas kesehatan di Ruang rawat
kebidanan RSUD Pariaman untuk mengatasi masalah menyusui yang di
alami oleh Ny MA diantaranya adalah dengan memberikan fasilitas
rawat gabung dan tidak mempromosikan susu formula. Namun tindakan
yang diberikan masih belum optimal dikarenakan belum ada intervensi
-

secara langsung pada Ny MA


Dilihat dari aspek proses, intervensi yang diberikan untuk mengatasi
masalah menyusui pada ibu nifas belum dirasakan optimal yang mungkin
juga disebabkan dengan kekurangan pada aspek input dan masih belum

optimalnya evaluasi program secara periodik.


Rencana asuhan lainnya yang dapat diberikan pada ibu adalah dengan
memberikan intervensi pijat oksitosin dan mengajarkan ibu teknik marmet

untuk membantu pengeluaran ASI


5.2 Saran
5.2.1 Bagi Klien, Keluarga dan Masyarakat
Bagi ibu diharapkan dapat meningkatkan persiapan untuk masa
laktasi. Persiapan tersebut juga sebaiknya dimulai pada masa kehamilan,
diantaranya adalah dengan perawatan payudara, asupan nutrisi seimbang,
meningkatkan pengetahuan tentang manajemen laktasi dan stimulasi untuk
memperlancar ASI seperti pijat oksitosin.
Keluarga dan masyarakat sekitar juga harus meningkatkan
dukungan pada ibu menyusui agar dapat memberikan ASI kepada bayinya
5.2.2

secara eksklusif.
Bagi Tenaga Kesehatan
Kepada petugas kesehatan di harapkan dapat memberikan perhatian
dan dukungan penuh terhadap ibu menyusui serta memberikan intervensi

37

secara komprehensif dalam membantu ibu mengatasi masalah menyusui


yang dialaminya. Bantuan tersebut dapat berupa KIE tentang proses
laktasi, nutrisi dan suplementasi selama menyusui, stimulasi untuk
memperlancar ASI, pendekatan dan dukungan psikologis serta menerapkan
segala praktik yang sesuai dengan program 10 langkah keberhasilan
menyusui diantaranya adalah IMD dan rooming in.
5.2.3 Bagi RSUD Pariaman
Rumah sakit perlu memberikan perhatian dan dukungan lebih
terhadap pelaksanaan praktik pemberian ASI khusunya di wilayah rumah
sakit. Kebijakan dan regulasi yang telah dibuat mengenai praktik tersebut
juga harus diterapkan dan sebaiknya di evaluasi secara periodik.

38

DAFTAR PUSTAKA
Albokhary, A. A., & James, J. P. (2014). Does cesarean section have an impact on
the successful initiation of breastfeeding in Saudi Arabia?, 35(11), 1400
1403.
Edmond, K. M., Zandoh, C., Quigley, M. A., Amenga-etego, S., Kirkwood, B. R.,
Edmond, K. M., Owusu-agyei, S. (2006). Delayed Breastfeeding
Initiation Increases Risk of. http://doi.org/10.1542/peds.2005-1496
sik, Y., Dag, Z. O., Tulmac, O. B., & Pek, E. (2016). Early postpartum lactation
effects of cesarean and vaginal birth, 87(6), 426430.
http://doi.org/10.5603/GP.2016.0020
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil kesehatan Indonesia Tahun 2014.
Kementrian Kesehatan RI. (2012). Profil Kesehatan Indonesia 2012.
http://doi.org/351.770.212 Ind P
Kutlucan, L., Seker, . S., Demiraran, Y., Ersoy, ., Karagz, ., Sezen, G., &
Kse, S. A. (2014). Effects of different anesthesia protocols on lactation in
the postpartum period, 233238. http://doi.org/10.5152/jtgga.2014.14111
National center for chronic Disease Prevention and Health Promotion. (2013). The
CDC Guide to Strategies to Support Breastfeeding Mothers and Babies.
Toohill, J., Fenwick, J., Gamble, J., Creedy, D. K., Buist, A., & Turkstra, E.
(2014). A Randomized Controlled Trial of a Psycho-Education Intervention
by Midwives in Reducing Childbirth Fear in Pregnant Women, (December),
384394.
Dinas kesehatan Sumatera Barat. (2014). Profil Kesehatan Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2014
Hamilton, Persis Mary. 2003. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta :
EGC
Hidayat, A. (2009). Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Leveno KJ, e. a. (2010). Hypertensive disorders in pregnancy. In Williams
Manual of Obstetrics (pp. p. 761-808). USA: McGraw-Hill Companies.
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2010 Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Mochtar, Rustam. 2008. Sinopsis Obstetri Fisiologi-Patologi. Jakarta : EGC.

39

Saifuddin, A. B. (2008). 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.


Jakarta : Bina Pustaka. Jakarta: Bina pustaka.
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Varney, H. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan (4 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, Hanifa Sarwono Prawirohardjo. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka

40

Anda mungkin juga menyukai