Anda di halaman 1dari 112

SAMBUTAN

KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014


Assalamualaikum wr.wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Seminar
Nasional ReTII ke-9 Tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar tahun ini mengusung tema EcoTechnology: Paradigma Pembangunan Masa Depan untuk Mendukung Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Seminar Nasional ReTII ke-9 tahun ini diikuti oleh 102 pemakalah dengan rincian dari
STTNAS sebanyak 27 pemakalah dan dari perguruan tinggi lainnya sebanyak 75 pemakalah.
Adapun sebaran institusi perguruan tinggi yang telah berpartisipasi antara lain: Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, ITS Surabaya, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, UII Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Jakarta, Universitas Trisakti Jakarta, UNISSULA
Semarang, Universitar Kristen Petra Surabaya, Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri
Semarang, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Universitas Islam Malang, Pusat Kajian Sistem
Energi Nuklir BATAN dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Keynote-speech, para
pemakalah, hadirin dan semua pihak yang telah ikut serta mendukung terselenggaranya
kegiatan seminar tahunan ini.
Panitia telah bekerja semaksimal mungkin agar acara seminar tahunan berlangsung dengan
baik dan lancar. Namun apabila masih ada didapati adanya beberapa kekurangan dari panitia,
kami dari panitia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang konstruktif
dari para peserta sangat kami harapkan demi perbaikan acara seminar dimasa mendatang.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi acara seminar ini dan bermanfaat bagi
kita semua khususnya untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam pembangunan Indonesia. Amin.
Wassalamualaikum wr.wb.
Yogyakarta, 13 Desember 2014
Hormat Kami,

Fahril Fanani, S.T., M.Eng.


Ketua Panitia

Dalam Rangka
Pembukaan Seminar Nasional
Rekayasa Teknologi dan Informasi (ReTII) ke-9
Yogyakarta, 13 Desember 2014
Assalamualaikum wr.wb
Salam sejahtera bagi kita semua
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan
ridhoNya kita dapat berkumpul di sini dalam rangka Seminar ReTII ke-9 dalam keadaan sehat
walafiat. Mudah-mudahan Allah SWT juga memberi kemudahan kepada panitia dalam
menyelenggarakan seminar ini. Demikian juga kepada para peserta dalam mengikuti acara
seminar ini.
Seminar ReTII kali ini merupakan yang ke-9 dan merupakan agenda tahunan STTNAS yang
dimaksudkan agar dapat menjadi ajang temu para pakar untuk saling tukar pengalaman,
informasi, berdiskusi, memperluas wawasan dan untuk merespon perkembangan teknologi
yang demikian pesat. Selain itu diharapkan adanya kerja sama dari para pakar yang hadir
sehingga menghasilkan penelitian bersama yang lebih berkualitas dan bersama-sama pula ikut
memecahkan persoalan-persoalan teknologi untuk kemandirian bangsa.
Semoga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi harapan kita semua.
Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada panitia dan semua pihak yang membantu
sehingga acara Seminar ReTII ke-9 ini dapat terselenggara dengan baik. Jika ada yang kurang
dalam penyelenggaraan seminar ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum wr.wb.
Yogyakarta, 13 Desember 2014
Ketua STTNAS

Ir. H. Ircham, M.T.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

DAFTAR ISI
Halaman

SUSUNAN PANITIA .................................................................................................

SAMBUTAN KETUA PANITIA ..............................................................................

ii

SAMBUTAN KETUA STTNAS ...............................................................................

iii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................

BUKU IV
INFRASTRUKTUR ENERGI DAN KEBERLANJUTAN ENERGI
1.
2.

3.

Pengembangan Wilayah Berbasiskan Sektor Pertambangan di Indonesia


Woterman Sulistyana B1, Galang Prayedha W2 ...............................................................

587

Analisis Kekuatan Massa Batuan pada Lapisan Batugamping Berongga dengan


Menggunakan Kaidah Hoek-Brown failure Criterion-Roclab di Tambang Kuari
BlokSawir Tuban Jawa Timur
R. Andy Erwin Wijaya1, Dianto Isnawan2 ........................................................................

595

Parameter Geoteknik Dalam Perhitungan Cadangan Pit X Desa Kelasari


KecamatanSalawati Sorong Papua Barat
Supandi1, Faizal Agung2 ...................................................................................................

605

TEKNOLOGI DALAM MITIGASI BENCANA SERTA PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM, LINGKUNGAN, DAN KERAGAMAN HAYATI
1.

2.

3.

4.
5.

6.
7.

Hubungan
Stratigrafi
Perbukitan
Jiwo
dengan
Pegunungan
Selatan
BerdasarkanPenampang Geologi Jokotuo-Eyangkutho
Hita Pandita1, Sukartono2 ................................................................................................

613

Prediksi Ancaman
Bahaya Primer
Letusan Gunung Merapi ke Arah
SelatanBerdasarkan Karakteristik Abu-Lapili Awan Panas Erupsi 2010
Fadlin1, Joko Sungkono2, Hill. Gendoet Hartono3, Teguh Wage Prakoso4, Rasyid
Verdianto5 .........................................................................................................................

619

Analisis
Fasies
Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan
DaerahJohoSale, Rembang, Jawa Tengah
Deka Maulana1, Winarti2, Setyo Pambudi3 ......................................................................

629

Seismik Spektra Respons Tapak Bangka


Bansyah Kironi1, Basuki Wibowo2, Kurnia Anzhar3, Imam Hamzah4 ..............................

637

Paleokarst Sebagai Petunjuk Gejala Perubahan Paleobatimetri Kasus Bagian


BawahAnggota Klitik Sungai Kedawung Kabupaten Sragen Jawa Tengah
Taslim Maulana1, Ganjar Asandi Putra Pratama2, Srijono3 ............................................

641

Geological Control to The Salinity of Groundwater


T. Listyani R.A ..................................................................................................................

649

Studi
Penanggulangan
Gerakan
Tanah
Sebagai
Upaya
Peningkatan
KualitasPembangunanDi Daerah Gendurit dan Sekitarnya, Kecamatan Unggaran
Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Berdasarkan Karakteristik Litologi dan
MorfologiDengan Metode Pemetaan Subsurface
Lintong Mandala Putra Siregar1, Fauzu Nuriman2..........................................................

655

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | v

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

8.

Studi Hubungan Tingkat Alterasi Terhadap Potensi Longsoran Berdasarkan Analisis


Petrografi
dan
X-RayDifraction
Sepanjang
Jalan
Arjosari-Tegalombo,
KabupatenPacitan, Povinsi Jawa Timur
Trifatama Rahmalia1, Fadlin2 ..........................................................................................

661

Identifikasi Awal Keberadaan Gunung Api Purba Gemawang, Gadirojo,


Wonogiri,Jawa Tengah
Oky Sugarbo1, Hill G. Hartono2, Bernadeta Subandini Astuti3 ........................................

671

10. Pemodelan
Airtanah
pada
Penambangan Aktif dan Penutupan Tambang
BatubaraPITTerbuka di Muara Lawa, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
Shalaho Dino Devy1, Heru Hendrayana2, Dony Prakasa E.P3, Eko Sugiharto4 ..............

681

9.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | vi

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Pengembangan Wilayah Berbasiskan Sektor Pertambangan di


Indonesia
Waterman Sulistyana B.1, Galang Prayedha W. 2
waterman.sulistyana@gmail.com
Magister Teknik Pertambangan, PPs UPN Veteran Yogyakarta 1
galang.prayedha.w@gmail.com
Mineral and Coal Studio Consultant2
Abstrak
Perencanaan wilayah dalam sektor pertambangan harus dilakukan dengan baik sehingga keberadaan sektor
pertambangan dapat memberikan kemanfaatan maksimal bagi wilayah tersebut. Tidak spesifiknya
perencanaan wilayah tambang dari hulu hingga hilir mengakibatkan munculnya beragam permasalahan yang
menyertai keberadaan usaha pertambangan. Tujuan penelitian dalam penulisan ilmiah ini adalah
mengidentifikasi dan merumuskan strategi pengembangan wilayah sehingga wilayah dengan potensi
pertambangan yang besar di Indonesia dapat diidentifikasi secara rinci dan permasalahan yang muncul dapat
diredusi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multidimensional Scalling (MDS) dan strategi
perencanaan wilayah berbasis SWOT. Adapun dua metode tersebut diaplikasikan melalui dua tahapan
analisis. Pertama, identifikasi potensi wilayah pada 33 propinsi dengan metode Multidimensional Scalling
(MDS). Penggunaan metode MDS dalam analisis pada 33 propinsi wilayah di Indonesia memberikan
gambaran interdependensi wilayah. Sehingga hasil analisis metode MDS yakni 9 wilayah potensial di
Indonesia yang memiliki interdepedensi tinggi. Berdasarkan sembilan wilayah potensial, dipilih 5 wilayah
sebagai studi kasus dengan dengan alasan wilayah tersebut teridentifikasi sebagai wilayah basis
pertambangan umum yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Bangka
Belitung, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Papua. Kedua, analisis perencanaan wilayah dengan
metode SWOT. Penggunaan metode SWOT pada 5 wilayah basis pertambangan untuk menganalisis peluang
berkembangnya sektor selain pertambangan. Analisis SWOT dalam aplikasinya didukung dengan
perhitungan pada sektor modal pendapatan wilayah dan penyusunan peoduk hukum RTRW, RPPLH dan WP.
Hasil dari elaborasi metode MDS dan SWOT adalah wilayah dengan potensi pertambangan umum yang
tinggi.
Kata Kunci: Multidimensional Scaling, Strategi Pengembangan Wilayah, SWOT

1. Pendahuluan

2. Metode

Tidak
spesifiknya
rencana
pengembangan wilayah tambang menimbulkan
beragam permasalahan (baik ekologis maupun
sosial) yang memicu beragam reaksi masyarakat
maupun pemerintah. Seperti diketahui sector
pertambangan merupakan salah satu sektor kunci
sebagai sumber pendapatan daerah maupun
nasional. Hal tersebut disebutkan dalam UndangUndang No. 4 Tahun 2009 mengenai
Pertambangan Mineral dan Batubara yang
memiliki peranan penting dalam memberikan
nilai tambah secara nyata terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah
secara berkelanjutan. Beberapa jenis komoditi
tambang di Negara Indonesia seperti gas alam,
emas, perak dan tembaga, memiliki jumlah
cadangan berada pada peringkat 10 besar dunia
(US Geological Survey). Hal ini yang menjadi
latar belakang dilakukannya penelitian berjudul
pengembangan
wilayah
berbasis
sektor
pertambangan di Indonesia.

Penelitian ini mengelaborasi metode kuantitatif


dan kualitatif serta bersifat deskriptif analitis. Tahapan
penelitian diawali dengan menentukan wilayah basis
pertambangan secara kuantitatif. Tahap selanjutnya
merumuskan strategi pengembangan wilayah secara
kualitatif.
2.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder
tahun 2006 dan 2011 pada setiap provinsi. Rujukan
hasil survai sekunder merupakan data primer yang telah
diolah lebih lanjut dan telah disajikan oleh pihak lain
(Hariwijaya dan Triton, 2005). Pengumpulan data
sekunder dilakukan melalui :
1. Survei instansi. Survei ini dilakukan dengan mencari
data dan informasi pada beberapa instansi seperti
Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah
(Bappeda),
Dinas
Pertambangan
dan
Sumberdaya
Mineral
(Distamben).
2. Survei literatur. Menurut Arikunto (1997), metode
ini disebut metode dokumentasi yakni mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 587

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

transkrip, buku, surat kabar, majalah,


prasasti, notulen, rapat, lengger, agenda, dan
sebagainya.
2.2 Metode Analisis Data
Analisis dilakukan pada 33 wilayah
Provinsi di Indonesia untuk mengidentifikasi
wilayah basis pertambangan. Penentuan wilayah
basis pertambangan didasarkan atas enam
variabel yang dianggap mewakili yakni :
pendapatan per-kapita, location quotien (LQ)
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB),
location quotien (LQ) tenaga kerja, shift share
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB),
shift share tenaga kerja, serta incremental capital
output ratio (ICOR). Penyelarasan nilai variabel
dilakukan dengan cara skoring. Range skor yang
digunakan diperoleh melalui rumus Sturges
(1926) yaitu 1 + 3,3 log (n), dengan n adalah
jumlah obyek penelitian, sehingga 1 + 3,3 log
(33) = 6. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Keenam variabel ini diolah menggunakan
metode Multidimensional Scalling Analysis
(MDS). Perangkat lunak yang digunakan adalah
SPSS versi 14. Metode ini merupakan teknik
analisis
multivariat
dan
exploratory
(Wickelmaier, 2003). Tujuan dari analisis MDS
adalah memperoleh konfigurasi spasial dari
obyek yang diteliti sehingga karakteristiknya
dapat diketahui.
Setelah wilayah Provinsi yang terindikasi
sebagai
basis
pertambangan
ditemukan,
selanjutnya
wilayah
basis
tersebut
diklasifikasikan menjadi tiga bagian yakni:
wilayah
basis
pertambangan
migas,
pertambangan umum, dan galian. Sebagai
batasan penelitian, pengembangan wilayah
berbasiskan sektor pertambangan dilakukan
melalui metode analisis strength weaknesses
opportunities threats (SWOT) pada wilayah
dengan klasifikasi basis pertambangan umum.
Metode SWOT merupakan alat untuk
merumuskan formulasi strategi (Rangkuti, 2006).
Pengembangan
wilayah
sebagai
upaya
mengembangkan wilayah menjadi lebih baik,
perlu dilakukan melalui suatu pendekatan.
Pendekatan
yang
digunakan
adalah
pembangunan berkelanjutan yang memiliki tiga
pilar utama yaitu pembangunan sosial,
lingkungan
dan
ekonomi.
Berdasarkan
pendekatan
tersebut,
diperlukan
analisis
tambahan untuk memperoleh faktor-faktor di
dalam analisis SWOT. Analisis tersebut adalah
indeks lingkungan hidup yang terdiri atas indeks
lingkungan alam (ILA), indeks lingkungan
buatan (ILB), dan indeks lingkungan sosial
(ILS).

588 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

3. Hasil dan Pembahasan


Terdapat dua parameter yang menggambarkan
keakuratan hasil MDS yaitu nilai stress dan
RSQ(squared correlation). Dengan menggunakan
diagram 2 dimensi nilai stress yang dihasilkan adalah
0,173 sehingga obyek-obyek dalam diagram tersebut
dapat diterima dan tidak bias. Nilai stress semakin
tinggi jika menggunakan diagram dengan dimensi lebih
dari 2. Selanjutnya nilai RSQ mengindikasikan validasi
antara data dengan posisi obyek dalam diagram dapat
terpetakan dengan sempurna atau tidak. Hasilnya adalah
nilai RSQ 0,92 mendekati nilai 1, sehingga data
semakin akurat terpetakan dalam diagram 2 dimensi.
Hasil analisis MDS dapat dilihat pada Gambar 1.
Untuk interpretasi diagram perceptual map, masingmasing variabel akan dilakukan proses korelasi dengan
analisis regresi sederhana sehingga diperoleh garis
vektor. Hasilnya adalah:
1. LQ PDRB Sektor Pertambangan (LQPD) memiliki
nilai r2 = 0,81 mengarah pada kuadran III
2. LQ Tenaga Kerja Sektor Pertambangan (LQTN)
memiliki nilai r2 = 0,44 mengarah pada kuadran III
3. Shift Share PDRB Sektor Pertambangan (SSPD)
memiliki nilai r2 = 0,65 mengarah pada kuadran IV
4. Shift Share Tenaga Kerja Sektor Pertambangan
(SSTN) memiliki nilai r2 = 0,39 mengarah pada
kuadran III
5. Efisiensi investasi sektor pertambangan (ICOR)
memiliki nilai r2 = 0,69 mengarah pada kuadran IV
6. Pendapatan per kapita (P/KPT) memiliki nilai r2 =
0,618 mengarah pada kuadran III
Sebagian besar garis vektor mengarah pada kuadran III,
sehingga indikasi sektor basis pertambangan adalah
obyek penelitian pada kuadran ini yaitu Provinsi
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau,
Kepulauan Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan.
Merujuk pada koefisien determinasi (r2) variabel LQ
PDRB yang cukup besar, terdapat pengaruh yang kuat
dari variabel ini dalam menentukan sektor basis
pertambangan. Beberapa obyek yang terpengaruh
adalah Provinsi Papua Barat, Nusa Tenggara Barat,
Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua. Sehingga
sebagai wilayah basis pertambangan terdapat sembilan
wilayah.
Keberadaan
sumberdaya
mineral
dan
logam
memberikan kontribusi yang signifikan pada
pendapatan daerah yang bersangkutan. Hal ini dapat
dilihat dari nilai LQ PDRB maupun tenaga kerja sektor
pertambangan yang > 1 dan nilai Shift Share PDRB
maupun tenaga kerja sektor pertambangan yang positif.
Tiebout (1956) mengemukakan bahwa kegiatan basis
(LQ > 1) adalah kegiatan yang bersifat exogenous
artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian
wilayah sekaligus berfungsi untuk mendorong
tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan analisis
Shift Share, bila hasil perhitungan itu positif, hal ini
disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam
wilayah tersebut (Soepono, 1993).
Pada diagram MDS (gambar 1), wilayah yang memiliki
output sektor pertambangan umum yang tinggi adalah

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

wilayah yang kedudukannya dekat dengan garis


vektor LQPD serta semakin menjauh dari
koordinat 0,0. Wilayah yang masuk kriteria ini
adalah Provinsi Kalimantan Timur dan Papua.
Kedudukan kedua proviensi ini pada diagram
MDS saling berbeda, Kalimantan Timur pada
kuadran III sedangkan Papua pada kuadran II.
Hal yang membedakan kedudukan kedua
Provinsi ini adalah variabel shift share PDRB
dan ICOR sektor pertambangan. Kedua garis
vektor variabel ini (SSPD dan ICOR) mengarah
pada kuadran IV. Sehingga dapat diketahui
bahwa Provinsi Papua memiliki kelemahan pada
variabel SSPD dan ICOR. Nilai SSPD sektor
pertambangan yang negatif seperti yang
ditunjukkan Provinsi Papua mengindikasikan
produktivitas sektor pertambangan di wilayah ini
mengalami penurunan serta mempengaruhi
perannya dalam pengembangan wilayah. Dan
nilai ICOR yang semakin jauh arah vektor
mengindikasikan investasi sektor pertambangan
pada wilayah tersebut tidak efisien (investasi
besar, namun ouput lambat/kecil). Kondisi yang
berbeda ditunjukkan Provinsi Bangka Belitung.
Kedudukan provinsi ini pada diagram MDS
(gambar 1) berada pada ujung selatan koordinat
0,0. Garis vektor variabel yang dekat dengan
kedudukan provinsi ini adalah LQTN atau LQ
tenaga kerja. Interpretasi akan hal ini adalah
Provinsi Bangka Belitung memiliki kelebihan
dalam penyerapan tenaga kerja sektor
pertambangan dibandingkan Provinsi-Provinsi
lainnya.
Dari ke sembilan wilayah dengan potensi basis
pertambangan tidak seluruhnya dapat menjadi
fokus pengembangan wilayah pada penelitian ini.
Hanya lima wilayah yang menjadi fokus obyek
kajian dengan kriteria wilayah tersebut basis
pertambangan non-migas (pertambangan umum).
Pemilihan Provinsi sebagai basis pertambangan
umum didasarkan atas persentase Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor
pertambangan yang lebih besar. Kelima wilayah
tersebut adalah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi
Kalimantan Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, dan Provinsi Papua. Secara lebih jelas
dapat dilihat pada Tabel 2.
Peran sektor pertambangan yang dominan di satu
sisi mampu menjadi faktor pendorong
pertumbuhan perekonomian, namun di sisi lain
dapat menjadi kelemahan bagi pertumbuhan
wilayah tersebut. Tidak stabilnya nilai tukar
sektor pertambangan karena harga komoditi yang
menurun, produktivitas yang terhambat karena
perubahan peraturan perundang-undangan serta
kurangnya
kegiatan
eksplorasi
dapat
menyebabkan
kemunduran
pengembangan
wilayah.

Arahan pengembangan wilayah dengan basis potensi


pertambangan umum menggunakan metode SWOT
dilakukan melalui identifikasi kekuatan (S), kelemahan
(W), peluang (O) dan ancaman (T). Kondisi lingkungan
hidup Provinsi dengan potensi pertambangan umum
memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua
memiliki kondisi lingkungan alam yang rendah
dibandingkan rata-rata Nasional. Untuk Provinsi
Kalimantan Selatan, parameter yang mempengaruhi
buruknya kondisi lingkungan alam adalah kualitas air,
tutupan hutan, dan luas lahan kritis. Kualitas air yang
diukur dari pengambilan sampel air sungai besar lintas
Provinsi dengan sifat prioritas dikendalikan yaitu
Sungai Martapura, menunjukkan kadar TSS COD, dan
DO menunjukkan kondisi yang melebihi baku mutu
(dapat dilihat pada lampiran). Hal inilah yang
menyebabkan indeks kualitas air di Provinsi Kalimantan
Selatan lebih rendah dari rata-rata Nasional. Selanjutnya
untuk kondisi tutupan hutan, luas aktual tutupan hutan
di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 825.308 Ha
dibandingkan dengan tetapan hutan provinsi ini
berdasarkan SK 453/Kpts-II/1999 sebesar 1.839.494 Ha
maka terjadi perbedaan yang signifikan (dapat dilihat
pada lampiran). Selanjutnya rasio lahan kritis di
Provinsi Kalimantan Selatan lebih besar dibandingkan
rasio lahan kritis Nasional. Hal ini yang menyebabkan
kondisi tutupan hutan dan lahan kritis di Provinsi
Kalimantan Selatan lebih buruk dari kondisi Nasional.
Untuk Provinsi Papua, parameter yang mempengaruhi
buruknya kondisi lingkungan hidup adalah kualitas air,
dan kerawanan terhadap perubahan iklim. Seperti
Provinsi Kalimantan Selatan, kualitas air sungai di
Provinsi Papua yaitu Sungai Anfre yang diukur kadar
TSS, COD, dan DO menunjukkan kondisi yang
melebihi baku mutu. Selanjutnya pada parameter
kerawanan terhadap perubahan iklim, data yang
digunakan merupakan data sekunder hasil penelitian
Arief dan Herminia (2009) menunjukkan indeks ratarata 0,59 (maksimal/terburuk nilai 1). Hal ini yang
menyebabkan tingkat kerawanan terhadap perubahan
iklim di Provinsi Papua lebih tinggi dari kerawanan
Nasional. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar
2.
Untuk kondisi lingkungan buatan (Gambar 3) Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan
Provinsi Papua berada dibawah kondisi Nasional.
Parameter yang mempengaruhi buruknya kondisi
lingkungan buatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
adalah kondisi pengelolaan sampah, gangguan air dan
gangguan tanah. Parameter kondisi lingkungan buatan
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mempengaruhi
buruknya kondisi lingkungan buatan di Provinsi ini
adalah kondisi pengelolaan sampah, gangguan air,
jumlah rumah tidak layak huni (rumah tidak sehat),
serta peningkatan pemakaian kendaraan bermotor.
Parameter kondisi lingkungan buatan Provinsi Papua
yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan
buatan di Provinsi ini adalah kondisi pengelolaan

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 589

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

sampah, rumah tidak layak huni, serta


peningkatan kendaraan bermotor.
Untuk kondisi lingkungan sosial (Gambar 4),
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi
Papua memiliki kondisi yang lebih buruk
dibandingkan kondisi Nasional. Parameter di
Provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
yang
mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan
sosial di provinsi ini adalah indeks pembangunan
manusia, kondisi kemiskinan, penyandang
masalah kesejahteraan sosial, dan tingkat
kriminalitas. Untuk Provinsi Papua, parameter
yang berpengaruh terhadap buruknya kondisi
lingkungan sosial adalah indeks pembangunan
manusia, indeks kemiskinan, dan indeks
penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Strategi pengembangan wilayah berbasis sektor
pertambangan utamanya adalah mempertahankan
kinerja pembangunan dengan mengembangkan
berbagai sektor lain yang potensial secara
ekonomi dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Rumusan strategi pengembangan wilayah
menggunakan metode SWOT adalah sebagai
berikut :
a. Strategi SO. Strategi agresif dengan
memanfaatkan kekuatan untuk meraih
peluang sebaik mungkin.
Provinsi Bangka Belitung : Penguatan
perekonomian jangka panjang dengan
pemanfaatan output sektor pertambangan
untuk pengembangan sindustri non migas
dan angkutan serta telekomunikasi
sebagai sektor kunci, mempertahankan
kualitas lingkungan alam dan sosial, serta
miningkatkan kapasitas pembangunan
manusia sebagai people prosperity untuk
keberlanjutan
pembangunan
jangka
panjang.
Provinsi Kalimantan Selatan : Penguatan
perekonomian jangka panjang dengan
memanfaatkan
output
sektor
pertambangan
untuk pengembangan
sektor industri non migas, perdagangan,
hotel dan restoran, angkutan dan
telekomunikasi sebagai sektor kunci,
mempertahankan kualitas lingkungan
buatan dan lingkungan sosial, serta
miningkatkan kapasitas pembangunan
manusia.
Provinsi Kalimantan Timur : Penguatan
perekonomian jangka panjang dengan
memanfaatkan
output
sektor
pertambangan
untuk pengembangan
sektor industri migas, industri non migas,
perdagangan, hotel dan restoran, angkutan
dan telekomunikasi sebagai sektor kunci,
mempertahankan kualitas lingkungan
alam,
buatan
dan
sosial,
serta
miningkatkan kapasitas pembangunan
manusia.

590 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Provinsi Nusa Tenggara Barat: Penguatan


perekonomian
jangka
panjang
dengan
memanfaatkan output sektor pertambangan untuk
pengembangan sektor utilitas, angkutan dan
telekomunikasi
sebagai
sektor
kunci,
mempertahankan kualitas lingkungan alam, serta
miningkatkan kapasitas pembangunan manusia.
Provinsi Papua : Penguatan perekonomian
jangka panjang dengan memanfaatkan output
sektor pertambangan untuk pengembangan
sektor angkutan dan telekomunikasi sebagai
sektor kunci, serta miningkatkan kapasitas
pembangunan manusia.
b. Strategi ST. Kesemua wilayah provinsi terpilih perlu
menyusunan produk hukum terkait tata ruang,
lingkungan hidup dan penyusunan wilayah
pertambangan.
c. Strategi WO. strategi turn around dengan
memanfaatkan
peluang
untuk
memperkecil
kelemahan yang ada.
Provinsi Bangka Belitung : Diversifikasi
perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor
perkebunan, perikanan, penggalian, konstruksi,
perdagangan,
hotel
dan
restoran,
dan
pemerintahan. Serta meningkatkan kualitas
lingkungan buatan.
Provinsi Kalimantan Selatan: Diversifikasi
perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor
pertanian, perkebunan, penggalian, konstruksi,
utilitas dan pemerintahan. Serta meningkatkan
kualitas lingkungan alam.
Provinsi Kalimantan Timur: Diversifikasi
perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor
utilitas, pemerintahan dan jasa lainnya.
Provinsi Nusa Tenggara Barat: Diversifikasi
perekonomian ke sektor unggulan seperti sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, penggalian,
konstruksi,
dan
pemerintahan.
Serta
meningkatkan kualitas lingkungan buatan dan
sosial.
Provinsi Papua : Diversifikasi perekonomian ke
sektor unggulan seperti sektor pertanian,
perikanan, konstruksi, utilitas dan pemerintahan.
Serta meningkatkan kualitas lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan buatan.
d. Strategi WT. Kesemua wilayah provinsi terpilih
perlu mendorong pengembangan sektor unggulan
serta memprioritaskan penyusunan peraturan terkait
tata ruang, lingkungan hidup dan wilayah
pertambangan.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

3.1 Tabel
Tabel 1: Input Analisis MDS

Gambar 3. Grafik Kondisi Lingkungan Buatan


(Hasil Analisis, 2014)

Sumber: Hasil Analisis, 2014


Tabel 2: Wilayah Basis Pertambangan Umum

Gambar 4. Grafik Kondisi Lingkungan Sosial


(Hasil Analisis, 2014)
Sumber: Hasil Analisis, 2014

3.2 Gambar

Gambar 1. Perceptual Map Basis Sektor


Pertambangan Provinsi-Provinsi di Indonesia
(Hasil Analisis, 2014)

Gambar 2. Grafik Kondisi Lingkungan Alam


(Hasil Analisis, 2014)

4. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan MDS Analysis dihasilkan 5 wilayah
paling
berpotensi
pertambangan
untuk
pengembangan wilayah berkelanjutan yaitu: Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan,
Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua.
2. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson pada indeks
lingkungan hidup alami dan buatan dihasilkan
wilayah basis pertambangan yang berwawasan
lingkungan
meliputi
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat. Wilayah
basis pertambangan yang kurang berwawasan
lingkungan meliputi Papua dan Bangka Belitung.
3. Strategi pengembangan wilayah basis pertambangan
bertumpu pada diversifikasi jenis industri nontambang. Diversifikasi industri non-tambang yaitu:
wilayah Kalimantan Selatan dan Papua bertumpu
pada sisi penyediaan jasa pendukung sektor
pertambangan misal: hotel, restoran dan jasa
telekomunikasi. Pada wilayah Kalimantan Timur,
diversifikasi industri non-tambang bertumpu pada
sektor perdagangan industri non-tambang dan
perkebunan. Sedangkan pada wilayah Bangka
Belitung
diversifikasi
industri
non-tambang
bertumpu pada sektor pariwisata, perikanan dan
perkebunan Strategi diversifikasi tersebut dapat
terealisasi dengan dilakukannya pemeliharaan
lingkungan hidup dan pembangunan manusia
berkelanjutan.
Koridor
hukum
(penyusunan
peraturan bersifat holistik) yang mampu menopang
perkembangan industri (tambang dan non-tambang)
mutlak diperlukan untuk keberlanjutan industri
pertambangan di Indonesia.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 591

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Saran pada penelitian ini adalah:


1. Hasil analisis MDS bersifat dinamis.
Penelitian lanjut adalah suatu wilayah setelah
tahun
2011
mengalami
peningkatan
produktivitas pertambangan umum dapat
memberikan kemungkinan pergeseran posisi
provinsi tersebut pada diagram MDS dan
menjadikannya
memiliki
comparative
advantage disektor pertambangan.
2. Keenam variabel yang digunakan pada
analisis MDS merupakan variabel produksi.
Penelitian
dapat
dilanjutkan
dengan
pemakaian variabel potensi sumberdaya dan
cadangan, sehingga terdapat tambahan
wilayah provinsi selain kelima wilayah
terpilih.
3. Pembangunan wilayah yang berkelanjutan
tidak hanya melihat aspek ekonomi yang
tumbuh stabil, namun perlu melihat kondisi
lingkungan hidup yang tetap terjaga. Kedua
aspek ini harus mengalami pertumbuhan atau
stabil
guna
mencapai
pembangunan
berkelanjutan.
Salah
satu
kelemahan
pengujian
tingkat
pembangunan
berkelanjutan pada hipotesis kedua adalah
rentang waktu yang digunakan hanya tiga
tahun. Penelitian dapat dilanjutkan dalam
rentang waktu yang lebih panjang, sehingga
kesimpulan suatu daerah melaksanakan
pembangunan berkelanjutan akan lebih
menarik.
4. Penelitian lebih lanjut pada daerah
pemekaran dan pengembangan kajian mikro
pada wilayah basis pertambangan untuk
mendapatkan strategi yang lebih detail.

Ucapan Terima Kasih


Tulisan ilmiah ini dapat terselesaikan dengan
baik, penulis mengucapkan terimakasih kepada
Mineral and Coal Studio Consultant, dan
Wahana Sinar Buana.

Daftar Pustaka
Abe Hirofumi dan Oishi Manabu. (1990). The
Structure of Interregional Migration in
Japanese Regions : An Application of
Multidimensional Scaling, Memoirs of the
Faculty
of
Engineering,
Okayama
University, Vol. 25, No. 1, p. 89-98.
Agus Tri Basuki dan Utari Gayatri. (2009).
Penentuan Sektor Unggulan Dalam
Pembangunan Daerah : Studi Kasus di
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Jurnal
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 10
No. 1, April 34-50
Arikunto,
Suharsimi.
(2006).
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta. Rineka Cipta.
Asdak, Chay. (2012). Kajian Lingkungan Hidup
Strategis : Jalan Menuju Pembangunan

592 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Berkelanjutan.
Yogyakarta.
Gadjah
Mada
University Press
Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Lingkungan
Hidup Indonesia. Jakarta. BPS Indonesia
Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik Indonesia.
Jakarta. BPS Indonesia
Ernowo dan Bambang P. (2011). Aspek Geologi
didalam
Penyusunan
Wilayah
Usaha
Pertambangan
Mineral
Logam.
Buletin
Sumberdaya Geologi Vol. 6 No. 2-2011.
Hariyanto dan Tukidi. (2007). Konsep Pengembangan
Wilayah dan Penataan Ruang Indonesia Di Era
Otonomi Daerah. Jurnal Geografi FIS UNNES.
Vol.4, No. 1, Januari 1 - 10
Soepono, P. (1993). Analisis Shift Share perkembangan
dan penerapan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia.
Nachrowi dan Suhandojo. (2001). Analisis Sumber
Daya
Manusia,
Otonomi
Daerah,
dan
Pengembangan Wilayah. Dalam Tiga Pilar
Pengembangan Wilayah : Sumber Daya Alam,
Sumber Daya Manusia, dan Teknologi. Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan
Wilayah BPPT. Jakarta.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta
Tarigan, Robinson. (2005). Ekonomi Regional Teori &
Aplikasi. Jakarta. PT. Bumi Aksara
Yusuf, Arief Anshory and Francisco Herminia. (2009).
Climate Change Vulnerability Mapping for
Southeast Asia. Singapore. Economy and
Environment Program for Southeast Asia
(EEPSEA)
Zen MT. (2001). Falsafah Dasar Pengembangan
Wilayah : Memberdayakan Manusia. Di dalam
:Alkadri, Muchdie, Suhandojo, penyunting. Tiga
Pilar Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam,
Sumberdaya Manusia dan Teknologi. Jakarta.
PPKTPW-BPPT. p. 4-20

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 1 : Kualitas Air Sungai

Lampiran 2 : Keadaan Sumberdaya Lahan

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 593

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

594 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

ANALISIS KEKUATAN MASSA BATUAN PADA LAPISAN


BATUGAMPING BERONGGA DENGAN MENGGUNAKAN
KAIDAH HOEK-BROWN FAILURE CRITERION-ROCLAB DI
TAMBANG KUARI BLOK SAWIR TUBAN
JAWA TIMUR
R. Andy Erwin Wijaya1 dan Dianto Isnawan 2
1

Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional


2
Jurusan Teknik Geologi,Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Email: andy_sttnas@yahoo.com

Abstrak
Sifat massa batuan dengan kondisi yang bervariasi terdapat pada tambang batugamping yang terletak
di daerah Blok Sawir, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur khususnya pada zona cavity
layer.Zona cavity layer merupakan lapisan batugamping berongga yang terlihat pada lereng tambang.
Pada zona tersebut terdapat banyak rongga-rongga dalam batuan yang disebabkan oleh proses
pelarutan.Zona cavity tersebut sangat berpotensi sebagai zona lemah dalam tambang kuari
batugamping. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan massa batuan dalam zona cavity
layer dengan menggunakan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion.Metode penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan induktif.Data data yang diperlukan untuk
analisis tersebutmeliputi: nilai kuat tekan (UCS) batuan, berat jenis batuan, nilai Geological Strength
Index (GSI), jenis litologi batuan, faktor penganggu dan jenis aplikasi (untuk lereng). Hasil analisis
kekuatan massa batuan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk perancangan geometri lereng
penambangan.
Kata kunci :kekuatan massa batuan, batugamping berongga.

1. Pendahuluan
Proses-proses geologi yang terjadi selama dan
setelah pembentukan batuan mempengaruhi sifat
massa batuannya (rock mass properties). Keadaan
massa batuan di alam cenderung tidak ideal dalam
beberapa hal (Goodman, 1989), seperti heterogen,
anisotrop dan tidak menerus (diskontinuitas). Bidang
diskontinuitas menyebabkan kekuatan dan tegangan
dalam massa batuan tidak terdistribusi secara
merata, sehingga terjadi gangguan keseimbangan
(Hudson & Harrison, 1997). Orientasi diskontinuitas
merupakan faktor geologi utama lain yang
mempengaruhi stabilitas batuan, termasuk keadaan
airtanah dan pelapukan turut menentukan sifat massa
batuan (Wyllie & Mah, 2004).
Sifat massa batuan dengan kondisi yang bervariasi
terdapat padatambang batugamping yang terletak di
daerah Blok Sawir, Kabupaten Tuban, Propinsi
Jawa Timur khususnya pada zona cavity layer.
Metodepenambangan yang digunakan adalah kuari.
Metode ini merupakan metode penambangan yang
mudah untuk dikerjakan, dimana dapat dikerjakan
dengan menggunakan teknologi dan peralatan yang
relatif sederhana. Untuk menerapkan metode ini
harus membuat desain penambangan berupa jenjangjenjang (bench) pada lereng dengan kemiringan
tertentu yang aman. Dalam pembuatan jenjangjenjang tersebut harus memperhatikan kualitas

massa batuan yang akan digali, sehinggatambang


kuari batugamping dapat berjalan secara optimal dan
aman bagi keselamatan operator, peralatan dan
lingkungan sekitarnya. Terdapat beberapa carauntuk
mengetahui kekuatan massa batuan, salah satunya
yaitu menggunakan kaidah Hoek-Brown Failure
Criterion.Metode ini dapat digunakan untuk
menentukan kualitas massa batuan yang terdapat di
permukaan, seperti pada zona cavity layer yang
merupakan lapisan batugamping berongga. Zona
cavity tersebut sangat berpotensi sebagai zona lemah
dalam tambang kuari batugamping.
2. Tinjauan Pustaka
Geologi Regional
Zona Tuban termasuk dalam Cekungan Jawa Timur
Utara.Zona Tuban meliputi pantai utara Pulau Jawa
yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui
Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau
Madura.Daerah ini meupakan dataran yang
berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah
barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial.
Pada Zona Tuban terdapat banyak perbukitan dan
pegunungan lipatan Antiklinorium yang memanjang
ke arah Barat Timur, dari Kota Purwodadi melalui
Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura.
Morfologi di Jalur Tuban dapat dibagi menjadi 3
satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 595

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi


perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan
tersebut umumnya memanjang berarah Barat
Timur (searah dengan sumbu lipatan). Daerah
penelitian menurut Pringgoprawiro (1983) dan
Situmorang, dkk.(1992) terbentuk oleh batuan
karbonat anggota Formasi Paciran. Penamaan
formasi ini diambil dari kota Paciran dan dipakai
untuk penamaan satuan batugamping yang banyak
tersingkap di daerah tinggian Tuban, Jatirogo dan
Sawir, Tuban. Formasi ini tersusun oleh

batugamping
pejal
dan
batugamping
dolomitan.Berdasarkan peta geologi lembar Jatirogo
(Gambar 1), seluruh daerah penelitian termasuk ke
dalam Formasi Paciran (Situmorang dkk,
1992).Struktur di zona Tuban yang dapat teramati
dengan jelas adalah berupa struktur lipatan yang
berupa sinklin dan antiklin.Zona Tuban ini tersusun
oleh batuan hasil pengendapan sedimen laut yang
telah mengalami perlipatan dan pensesaran secara
intensif.

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian

Tensile strength :

Kekuatan Massa Batuan


Kriteria Runtuhan Hoek-Brown dan MohrCoulomb, seperti pada persamaan 1 (Hoek et al.,
2002). Besar nilai kekuatan batuan dapat diketahui
seperti compressive strength dan tensile strength
(persamaan 2 dan 3) .
Hoek-Brown failure criterion :
a

S . ci
mb

(3)

Dimana

mb merupakan penurunan konstanta


material mi dengan besar :
GSI 100
m b mi exp

(4)
28 14 D

'

ci mb 3 s (1)
ci

S dan a adalah konstanta massa batuan yang


berhubungan dengan besar nilai GSI dan D,
sebagaimana dijabarkan persamaan 5 dan 6.

Besar nilai uniaxial compressive strength ( c )

GSI 100
S exp

9 3D

'
1

'
3

3' 0 , maka :
a
Compressive strength
: c ci .S
diperoleh saat

(2)

596 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

1 1 GSI 15
20
(e
e 3)
2 6

(5)

(6)

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Berdasarkan Mohr-Coulomb, besar kekuatan massa


batuan adalah :

Modulus Deformasi

2c . cos
(7)
'
1 sin
'
'
Dimana c dan ditentukan untuk kisaran
'

'

cm

tegangan

'

t < 3 < ci /4,

Penentuan besar modulus deformasi berdasarkan


nilai GSI bisa dilihat dari persamaan 9 dan 10.

maka kekuatan massa

Hoek-Brown dalam Hoek et al. (2002).

batuan berdasarkan hubungan Mohr-Coulomb dan


Hoek-Brown :

( m 4 s a ( mb 8 s ))( m b / 4 s )
ci . b
2(1 a )( 2 a )

Dengan
terkecil,

dan
ci uniaxial
'
1

'
3

intactrock material, c kohesifitas,


dalam,

Untuk

ci

E d (GPa ) 1 D

sudut friksi

( GSI 10 ) / 40

ci

(9)

100 MPa.

ci > 100 MPa, maka :

compressive strength of the


'

2 100
.10

Persamaan tersebut berlaku jika

tegasan efektif terbesar dan

'

.10
2

( GSI 10 ) / 40

(10)

mi nilai konstanta batuan padu (Tabel 1),

dan Dfaktor ketergangguan (Tabel 2).


Tabel 1. Nilai konstanta mi batuan padu berdasarkan kelompok batuan (Hoek, 2007).
Rock
type

Class

Group

SEDIMENTARY

Clastic

Carbonates
NonClastic

Evaporites

METAMORPHIC

Organic
Non Foliated

Slightly foliated
Foliated*

Light
Plutonic
Dark
IGNEOUS

'
cm

Ed (GPa ) 1 D

a 1

Hypabyssal

Lava

Texture
Coarse
Conglomerates
(21 3)
Breccias
(19 5)

Medium

Sandstones
17 4

Sparitic
Crystalline
Limestone
Limestones
(10 2)
(12 3)
Gypsum
8 2

Marble
Hornfels
9 3
(19 4)
Metasandstone
(19 3)
Migmatite
Amphibolites
(29 3)
26 6

Gneiss
Schists
12 3
28 5
Diorite
Granite
32 3
25 5
Granodiorite

(29 3)

Gabbro
Dolerite

27 3
(16 5)
Norite

20 5

Porphyries

(20 5)

Rhyolite
(25 5)

Volcanic
Pyroclastic

Agglomerate
(19 3)

Fine
Siltstones
7 2
Greywackes
(18 3)
Micritic
Limestones
(9 2)

Very fine
Claystones
42
Shales
(6 2)
Marls
(7 2)
Dolomites
(9 3)

Anhydrite
12 2
Chalk
7 2
Quarzites
20 3

Phyllites
(7 3)

Diabase
(15 5)

Andesite
25 5

Dacite
(25 3)
Basalt
(25 5)

Breccia
(19 5)

Tuff
(13 5)

Slates
7 4

Peridotite
(25 5)
Obsidian
(19 3)

* Konglomerat dan breksi kemungkinan memiliki nilai mi dengan kisaran besar bergantung keadaan alami penyemenan material dan derajat
semen, sehingga memiliki kisaran nilai sama dengan batupasir, sampai nilai untuk sedimen halus (di bawah 10).
** Nilai ini untuk percontoh uji normal batuan padu terhadap perlapisan dan foliasi. Nilai mi menjadi berbeda secara signifikan jika pecah
terjadi sepanjang suatu bidang lemah.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 597

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Tabel 2. Petunjuk estimasi faktor disturbanceD (Hoek et al., 2002).


Massa batuan untuk pekerjaan pada permukaan dan di bawah permukaan tanah dalam rekayasa sipil dan pertambangan.

Appearance of rock mass

Description of rock mass

Suggested
value of D

Excellent quality controlled blasting or excavation by


Tunnel Boring Machine results in minimal disturbance
to the confined rock mass surrounding a tunnel.

D=0

Mechanical or hand excavation in poor quality rock


masses (no blasting) results in minimal disturbance to
the surrounding rock mass.

D=0

Where squeezing problems result in significant floor


heave, disturbance can be severe unless a temporary
invert, as shown in the photograph, is placed.

D = 0.5
No invert

Very poor quality blasting in a hard rock tunnel results


in severe local damage, extending 2 or 3 m, in the
surrounding rock mass.

D = 0.8

Small scale blasting in civil engineering slopes results


in modest rock mass damage, paticularly if controlled
blasting is used as shown on the left hand side of the
photograph. However, stress relief results in some
disturbance.

D = 0.7
Good blasting

Very large open pit mine slopes suffer significant


disturbance due to heavy production blasting and also
due to stress relief from overburden removal.

D = 1.0
Production
blasting

In some softer rocks excavation can be carried out by


ripping and dozing and the degree of damage to the
slopes is less.

D = 0.7
Mechanical
excavation

D = 1.0
Poor blasting

3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping
berongga yang diduga merupakan zona lemah
berdasarkan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion,
2002
dengan
menggunakan
bantuan
roclabsoftware. Hasil analisis kekuatan massa
batuan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk
perancangan geometri lereng penambangan.

598 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

4. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dengan pendekatan induktif.Penelitian
inidilakukan melaluibeberapa tahap.Tahap pertama
adalahmelakukanobservasi lapangan mengenai
litologi, panjang dan ketebalan lapisan batugamping
beronggapada lereng tambang kuari batugamping.
Pengambilan data di zona cavity layer, data data
yang diperlukan adalah sebagai berikut: nilai kuat

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

tekan (UCS) batuan, berat jenis batuan, nilai


Geological Strength Index (GSI), jenis litologi
batuan, faktor penganggu dan jenis aplikasi (untuk
lereng).Kemudian dianalisis denganmenggunakan
kaidah Hoek-Brown Criterion 2002. Hasil akhir
penelitian ini adalah analisis kekuatan massa
batugamping
beronggapada
tambangkuari
batugamping.
5.

sparitic limestone, sehingga mempunyai nilai mi


sebesar 10.

Hasil dan Pembahasan

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian secara administrasi terletak di
Desa Sawir, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban,
Propinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada
koordinat : 593111 mE 596688 mE dan 9241729
mN 9245352 mN. (Gambar 2).

Gambar 3. Kondisi Layer Cavity pada Tambang Kuari


Batugamping Tuban
Tabel 3. Koordinat Pengamatan Sampel Batugamping
Berongga
Kode
mE
mN
Sampel
A1
558358
9240927
B1

558383

9240925

C1

558404

9240928

D1

558419

9240931

E1

558433

9240936

F1

558444

9240942

Gambar 2.Lokasi Daerah Penelitian

Kondisi Lapisan Batugamping Berongga


Cavity layer di lokasi penelitian terletak di dalam
tambang kuari batugamping, di Desa Tahunan,
Kecamatan Sawir, Kabupaten Tuban.Keadaan
topografi di sekitar daerah penelitian merupakan
daerah perbukitan dengan ketinggian antara 25 m
110 m di atas permukaan air laut (dpl).Cavity layer
ini mempunyai ketebalan antara (30 300) cm
dengan kondisi perlapisan tidak rata dan tidak
beraturan, terkadang menipis atau menebal.
Terdapatnya cavity layer ini disebabkan proses
pelarutan oleh air.
Cavity layer pada tambang kuari batugamping
terdapat pada dinding lereng penambangan yang
merupakan suatu lapisan batugamping yang banyak
terdapat rongga rongga dan mempunyai
kemiringan lereng sekitar 800 - 850. Pengambilan
foto dan sampel batugamping berongga dilakukan
sebanyak 6 (enam) titikdi sepanjang cavity
limestone
layer.
Koordinat
pengamatan
batugamping berongga pada zona cavity layer dapat
dilihat pada Tabel3 dan Gambar 3.Jenis litologi
batuan yang terdapat pada zona cavity layer adalah

Estimasi GSI dan Hasil Uji Laboratorium


Mekanika Batuan pada Zona Cavity Layer
Estimasi Geological Strength Indexyang digunakan
dalam penelitian ini adalah dari Sonmez dan Ulusay
1999. Geological Strength Index (GSI) merupakan
modifikasi chart dari Geological Strength Index
(Hoek, 1994) yang dapat mengestimasi volumetric
joint count secara lebih detil pada structure rating
(SR) untuk jenis batuan yang terdisintegrasi seperti
pada lapisan batugamping berongga di Blok Sawir,
Tuban, Jawa Timur. Hasil estimasi GSI adalah
sekitar 32 37. Hasil uji laboratorium mekanika
batuan meliputi:

ci

: 8-12 Mpa dan bobot isi : 1,7-

2,2 gr/cm . Faktor ketergangguan : 0,7 (kegiatan


penambangan berupa penggalian batuan dengan
menggunakan peralatan mekanis). Hasil secara rinci
dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Data Nilai GSI, ci , , D
Kode
Sampel

Litologi

A1

Sparitic limestone

Nilai ci
GSI (MPa)
34
8,8

(gr/cm3)

1,89

0,7

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 599

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Kode
Sampel

Litologi

B1
C1
D1
E1
F1

Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone

Nilai ci
GSI (MPa)
37
12
34
8,8
37
12
32
8
33
8

(gr/cm3)

2,09
1,89
2,20
1,70
1,73

0,7
0,7
0,7
0,7
0,7

menggunakan bantuan rocklabsoftware diperoleh


nilai beberapa parameter massa batuan masingmasing sampel seperti pada gambar 4, meliputi:
kuat tekan uniaxial ( c ), kuat tarik ( t ), kekuatan

massa batuan ( cm ). Hasil analisis kekuatan massa


'

batuan pada lapisan batugamping berongga secara


umum mempunyai kekuatan massa batuan yang
sangat rendah (< 1 Mpa), sehingga sangat
berpotensi terjadinya kelongsoran pada dinding
lereng penambangan batugamping. Secara rinci
hasil analisis kekuatan massa batuan terdapat pada
Tabel 5.

Analisis Kekuatan Massa Batuan Pada Lapisan


Batugamping Berongga
Berdasarkan analisis kekuatan massa batuan pada
lapisan
batugamping
berongga
dengan

Tabel. 5. Hasil Analisis Kekuatan Massa Batuan pada Lapisan Batugamping Berongga Blok Sawir Tuban
No

Kode
Sampel

Litologi

Nilai
GSI

1
2
3
4
5
6

A1
B1
C1
D1
E1
F1

Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone

34
37
34
37
32
33

ci
(MPa)
8,8
12
8,8
12
8
8

mi

mb

0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7

10
10
10
10
10
10

0,266
0,314
0,266
0,314
0,238
0,252

0,0001
0,0001
0,0001
0,0001
0,0001
0,0001

0,517
0,514
0,517
0,514
0,52
0,518

Penilaian potensi risiko terhadap adanya bahaya


keruntuhan dan kelongsoran pada lereng tambang
batugamping ditentukan oleh kekuatan batuan utuh,
struktur batuan, jumlah kandungan air, tinggi dan
kemiringan lereng serta faktor eksternal/gangguan
seperti kegiatan penggalian dan peledakan batuan
yang dapat mengakibatkan getaran yang besar.

6.

Kesimpulan dan Saran


Kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping
berongga secara umum mempunyai kekuatan massa
batuan yang sangat rendah (< 1 Mpa), sehingga
sangat berpotensi terjadinya kelongsoran pada
dinding lereng penambangan batugamping.
Beberapa rekomendasi geoteknik pada jenjang
kerja lereng tambang kuari batugamping adalah
menghindari pembuatan lereng yang tinggi dan
curam, mengurangi beban lereng akibat kandungan
air terutama pada saat musim hujan dengan cara
membuat sistem penyaliran tambang dan membuat
saluran pipa pipa yang menghubungkan bagian
dalam lereng ke dinding lereng untuk membantu
mengalirkan air keluar dari tubuh lereng. Dan tidak
melakukan penggalian yang searah dengan
kemiringan perlapisan batuan.

DAFTAR PUSTAKA
Goodman, R.E. 1989. Introduction to Rock
Mechanics.2nd Edition, John Wiley & Sons,
Canada.

600 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

'
cm

(MPa)
0,063
0,11
0,063
0,11
0,048
0,052

(MPa)
-0,002
-0,004
-0,002
-0,004
-0,002
-0,002

(MPa)
0,55
0,833
0,55
0,833
0,466
0,483

Hoek, E. 1994.Strength of Rock and Rock Masses.


News J ISRM 2 (2) : p. 416.
Hoek, E., Torres, C.,C., and Corkum, B., 2002,
Hoek-Brown Failure Criterion, Rockscience
Inc., Toronto, Canada.
Hoek, E. 2007. Practical Rock Engineering. Notes,
Evert Hoek Consulting Engineer Inc.,
Canada. http://www.rockscience.com.
Hudson, J.A. and Harrison, J.P. 1997. Engineering
Rock Mechanics : An Introduction to The
Principles. Elsevier Science Ltd., Oxford.
Pringgoprawiro,
1983,
BiostratigrafidanPaleogeografiCekungan
JawaTimur Utara. SuatuPendekatanBaru,
Disertasi Program Doktor, InstitutTeknologi
Bandung.
Sonmez, H. and Ulusay, R. 1999. Modifications to
Geological Strength Index (GSI) and Their
Applicability to stability of Slopes. Int. J.
Rock Mech. Min. Sci., Vol. 36, p. 743-760.
Situmorang, R. L., Smit, R., dan Van Vessem, E. J.,
1992, Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa,
1509 2, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Badan Geologi,
Departemen Energi dan Sumberdaya
Mineral, Bandung.
Wyllie, D.C. and Mah, C.W. 2004.Rock Slope
Engineering. Civil and Mining Engineering,
4th Edition, Spon Press, New York.

LAMPIRAN
Analisis kekuatan massa batuan pada lapisan
batugamping
berongga
dapat
ditentukan
berdasarkankaidah Hoek-Brown Failure Criterion,

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

2002
dengan
menggunakan
bantuan
roclabsoftware. Estimasi kekuatan massa batuan
masing masing sampel pada lapisan batugamping

berongga(A1
(Gambar4).

F1)

adalah

sebagai

berikut

Sampel A1.

Sampel B1.

Sampel C1.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 601

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Sampel D1.

602 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Sampel E1.

Sampel F1.

Gambar 4. Hasil Analisis Kekuatan Batuan (Sampel A1-F1) Menggunakan Roclab Software

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 603

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

604 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Parameter Geoteknik
Dalam Perhitungan Cadangan Pit X
Desa Klasari Kecamatan Salawati Sorong Papua Barat
Supandi
Jurusan Teknik Pertambangan,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS)
Jl. Babarsari, Catur Tunggal, Depok, Sleman Yogyakarta, 55281
supandisttnas@gmail.com
Faizal Agung
PT AB Omah Geo Yogyakarta
Komplek Perum Pertamina Blok N-01 Purwomartani,
Kalasan Sleman Yogyakarta
faizal.agung9@gmail.com

Abstrak
Dalam perhitungan cadangan faktor geoteknik merupakan salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan
sehingga pengambilan cadangan akan sesuai dengan kajian nilai ekonomisnya. Faktor geoteknik harus
dilakukan secara terperinci sehingga dapat meresepons perubahan cadangan akibat beberpa faktor. Dengan
kondisi ini maka analisa geoteknik harus mampu menjawab semua pertanyaan yang muncul pada saat
perhitungan cadangan. Studi kasus analisa geoteknik dilakukan didaerah Klasari Salawati Sorong Papua Barat
dengan menitik beratkan pada studi geoteknik highwall karena kemiringan lantai yang relative datar sehingga
semua sisi cenderung membentuk lowwall. Lokasi cenderung berada pada daerah perbukitan landai dengan
keterdapatan endapan rawa dan daerah rawa ditemukan pada beberapa tempat. Pengamatan stratigrafi
dilakukan dari conto batuan (core) yang diperoleh dari kegiatan pemboran. Conto batuan dilakukan uji
uniaxial dan trixial test untuk mendapatkan parameter geoteknik. Berdasarkan hasil uji laboratorium
diperoleh sifat mekanik yang yang relatif buruk sehingga akan berdampak pada stabilitas lereng. Analisa
stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan metode kesetimbangan batas dengan pola longsoran berupa
normal circular yang mencerminkan pola longsoran yang ada pada lokasi tersebut. Dari hasil pemodelan
Key words: slope stability, parameter geoteknik, desain tambang, lereng keseluruhan.

1.

Pendahuluan

Kestabilan lereng merupakan faktor vital dalam


perencanaan dan operasional tambang terbuka dan
kuari. Dalam penyusunan suatu rencana tambang,
di samping faktor cadangan, teknis penambangan,
ekonomi dan lingkungan, faktor kestabilan lereng
menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan
dengan seksama. Desain dari lereng yang stabil dan
tepat akan mempunyai dampak yang besar terhadap
keekonomian tambang serta kontinyuitas produksi
tambang. Dengan melaksanakan kajian kemantapan
lereng yang baik maka akan dapat disusun suatu
rencana penambangan yang lengkap.
Pada kegiatan penambangan besar bisa sudah
team geoteknik yang dapat setiap saat melakukan
studi geoteknik dan memberikan rekomendasi
setiap perubahan desain. Namun untuk tambang
kecil biasanya menggunakan jasa pihak ketiga
dalam melakukan kajian geoteknik. Dalam
beberapa kasus kajian geoteknik yang dilakukan
oleh oleh konsultan sebatas informasi saat itu yang
diperlukan dan belum menyentuh jika ada
perubahan desain. Dengan perubahan desain maka
seharusnya parameter yang diberikan juga harus

mampu merespon desain baru tersebut. Dalam


geometri lereng tambang terdapat beberapa bagian
yaitu kaki lereng (toe), bibir lereng (crest),
permukaan lereng (bench), lereng keseluruhan
(overall slope), dan lereng antara jalan (interamp
slope angle) dan lereng individu (Bench Face
angle). Salah satu parameter geoteknik yang
berhubungan signifikan dengan stabilitas lereng
adalah besarnya nilai lereng keseluruhan (overall
slope).
Mengacu pada kondisi ini maka perubahan
desain lereng harus tetap mengacu pada parameter
geoteknik. Pemodelan parameter geoteknik sangat
diperlukan untuk merespon perubahan desain
sehingga saat ada perubah desain masih dapat
dijadikan pedoman.

2.

Metode Penelitian

Metode
penelitian
dilakukan
dengan
serangkaian pekerjaan geoteknik dari penyelidikan
geoteknik sampai dengan pemodelan. Adapun
tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah:

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 605

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

1. Studi pustaka.
2. Penyelidikan lapangan, yang meliputi
a. Stratigrafi batuan
b. Pengambilan sample
c. Pengukuran muka air tanah
3. Uji sifat fisik dan mekanik batuan
4. Analisa stabilitas lereng
5. Pemodelan stabilitas lereng
6. Pemodelan parameter geoteknik
Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui variasi
batuan, pola struktur, informasi lain yang terkait
dengan perencanaan penyeledikan lapangan.
Penyelidikan
lapangan
difokuskan
dengan
pekerjaan pemboran inti yang dapat memberikan
informasi detail variasi batuan penyusun lereng dan
dari conto batuan dilakukan pengujian geomekanik.
Uji sifat fisik dan mekanik difokuskan untuk
mendapatkan parameter kohesi, sudut geser dalam
dan berat volume. Analisa stabilitas lereng
dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat
lunak dan dari hasil analisa diproses dalam
menggunakan microsoft excel untuk pemodelan
stabilitas lereng dan pemodelan parameter
geoteknik sehingga hasil akhir yang diperoleh ada
chart korelasi.

3.

Data - Pembahasan

Lereng merupakan suatu permukaan tanah atau


batuan yang miring dan memiliki suatu sudut
tertentu terhadap bidang horisontal. Lereng pada
umumnya dapat terbentuk secara alamiah maupun
secara buatan. Kemantapan suatu lereng tergantung
terhadap besarnya gaya penahan dan gaya
penggerak yang terdapat pada bidang gelincir
tersebut. Gaya penahan merupakan gaya yang
menahan terjadinya suatu longsoran sedangkan
gaya
penggerak
merupakan
gaya
yang
menyebabkan
terjadinya
suatu
longsoran.
Kemantapan suatu lereng dapat dinyatakan dengan
suatu nilai faktor keamanan (FoS) yang merupakan
perbandingan antara gaya penahan dengan gaya
penggerak. Apabila besarnya gaya penggerak lebih
besar daripada besar gaya penahan maka lereng
akan mengalami longsoran, dan sebaliknya bila
besarnya gaya penahan lebih besar daripada gaya
penggeraknya maka lereng tersebut akan stabil atau
tidak mengalami longsoran.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
menganalisis kemantapan suatu lereng adalah
sebagai berikut:
1. Penyebaran Batuan
Aspek yang perlu diketahui untuk
mempelajari penyebaran batuan adalah macam
batuan atau tanah yang terdapat di daerah
penyelidikan, penyebaran dan hubungan antar
batuan. Sifat-sifat fisik dan mekanik suatu
batuan berbeda dengan batuan yang lain
sehingga kekuatan menahan beban berbeda
pula. Sifat fisik dan sifat mekanik tanah atau

606 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

batuan merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi kestabilan dari lereng karena
berhubungan dengan besar kecilnya nilai kuat
geser. Adapun sifat fisik dan sifat mekanik
tanah dan batuan yang diperlukan dalam
melakukan analisis kestabilan lereng adalah
bobot isi, sudut geser dalam dan kohesi. Bobot
isi merupakan perbandingan antara berat
material dengan volume material yang
dinyatakan dalam satuan berat per volume.
Semakin besar bobot isi batuan, maka gaya
penggerak yang akan menyebabkan kelongsoran
juga semakin besar. Sudut geser dalam
merupakan sudut yang terbentuk dari hubungan
tegangan normal dan tegangan geser didalam
material batuan. Sudut geser dalam adalah sudut
rekahan yang terbentuk jika suatu batuan
dikenakan tegangan yang melebihi tegangan
gesernya. Semakin besar sudut geser dalam
suatu material, maka material tersebut akan
lebih tahan menerima tegangan luar yang
dikenakan. Kohesi adalah kekuatan tarik
menarik antara butiran batuan yang dinyatakan
dalam satuan berat per satuan luas. Bila
kekuatan geser semakin besar, maka semakin
besar pula harga kohesi dari material batuan.
Batuan dengan kohesi yang besar dapat dibuat
lereng dengan kemiringan yang besar pada nilai
keamanan yang sama.
2. Geometri Lereng
Geometri lereng mencakup tinggi lereng dan
sudut kemiringan lereng. Perubahan tinggi akan
mengakibatkan perubahan kestabilan dari lereng
yang bersangkutan karena berat material lereng
yang harus ditahan oleh kuat geser batuan atau
tanah semakin besar. Sudut kemiringan lereng
yang besar akan memberikan volume material
yang besar, sehingga beban material pada lereng
juga akan semakin besar.
Oleh karena itu apabila terjadi penambahan
tinggi lereng maka harus diikuti dengan
pengurangan kemiringan lereng, demikian juga
apabila terjadi penambahan sudut kemiringan
lereng harus disertai dengan pengurangan tinggi
lereng. Semakin besar tinggi lereng dan juga
sudut kemiringan lereng akan mengakibatkan
berkurangnya kemantapan lereng tersebut
sehingga mudah mengalami kelongsoran.
3. Kondisi Air Tanah
Air tanah merupakan salah satu faktor yang
penting dalam kemantapan lereng. Air tanah
dapat mempengaruhi kemantapan lereng dengan
cara mengurangi kekuatan batuan atau tanah,
mengubah unsur mineral dalam batuan melalui
reaksi kimia dan pelarutan, mengubah densitas
batuan atau tanah, menyebabkan terjadinya
erosi.
Kehadiran air tanah dalam tubuh lereng
biasanya menjadi masalah bagi kestabilan
lereng. Kondisi ini tidak lepas dari pengaruh

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan)


yang dapat meningatkan kadar air tanah, derajat
kejenuhan atau muka air tanah. Kehadiran air
tanah akan menurunkan sifat fisik dan sifat
mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah
meningkatkan tekanan air pori, yang berarti
memperkecil ketahanan geser dari massa lereng,
terutama pada material tanah (soil).
Tiga parameter diatas maka pembuatan desain
tambang ditujukan untuk optimalisasi geometri
lereng berdasarkan kondisi sifat material penyusun
lereng dan muka air tanah. Faktor geometri adalah
faktor yang mudah dilakukan rekayasa perubahan
sehingga analisa ditekankan pada perubahan
geometri lereng dengan mengasumsikan kesamaan
kondisi geologi dan muka air tanah.

4.

Pekerjaan Lapangan

Pekerjaan di lapangan dilakukan dengan


melakukan pengawasan terhadap pekerjaan
pemboran dan melakukan kegiatan identifikasi
permukaan dengan melakukan sampling ataupun
melakukan pengumpulan data-data lapangan berupa
penilaian variasi litologi, variasi joint dan variasi
dipping bedding dari stratigrafi batuan yang ada.
Pengukuran failure repose juga dilakukan pada
material insitu dan material timbunan. Selain itu,
melakukan observasi secara cermat untuk aktual
lereng yang sudah terbentuk sebagai faktor kalibrasi
dalam analisa stabilitas lereng (back analysis).
Pengukuran kedudukan bedding dan joint untuk
material yang ter-ekspose juga dilakukan untuk
mengetahui orientasi struktur geologi terhadap
slope yang terbentuk sehingga bisa dilakukan
analisa stabilitas lereng berdasarkan orientasi
struktur (daylight analysis).
Pengambilan data bawah permukaan dilakukan
dengan metode pemboran inti untuk mengetahui
stratigrafi bawah permukaan untuk mengetahui
material penyusun lereng pada masing-masing pit.
Selama pemboran dilakukan determinasi litologi
dan kondisi rockmass material sehingga dapat
menentukan posisi sampling yang representatif dan
dapat saling melengkapi satu titik dengan titik
lainnya. Kondisi rockmass sangat penting dalam
memberikan faktor koreksi terhadap nilai insitu
material yang bersifat utuh. Beberapa kondisi
rockmass yang dilakukan pengukuran adalah nilai
RQD, nilai spacing number dan roughness. Hal
tersebut digunakan untuk mengkoreksi nilai
strength batuan yang diperoleh dari pengujian
lapangan.
Titik pengambilan conto dilakukan beberapa
variasi litologi yang ada sehingga dapat diketahui
sifat mekaniknya. Kombinasi dengan data dari titiktitik lainnya maka akan diperoleh nilai sifat
mekanik lebih baik karena mendekati kondisi
dilapangan yang ada.
Pengukuran water level dilakukan
untuk
memperoleh posisi muka air tanah dimana kondisi

muka air tanah menjadi faktor penting dalam


analisa stabilitas. Semakin tinggi muka air tanah
aka akan semakin kecil nilai dari faktor keamanan
lereng karena tekanan dari air dapat menurunkan
nilai kohesi dan sudut geser dalam yang berdampak
pada penurunan sifat mekanik batuan.

5.

Pekerjaan Laboratorium

Konsep analisa yang digunakan dalam kajian


ini adalah kesetimbangan batas sehingga uji
laboratorium diarahkan untuk mendapatkan
parameter geomekanik yang sesuai dengan
kebutuhan analisa. Dengan konsep ini, nilai kohesi
dan sudut gerser dalam menjadi kunci dalam
analisa stabilitas lereng sehingga uji yang dilakukan
adalah uji triaxial dan uniaxial. Pemilihan metode
triaxial pada material sedimen akan menghasilkan
nilai
yang
lebih
optimum
dibandingkan
menggunakan metode direct shear test karena pada
metode direct shear test proses pergeseran dipaksa
pada suatu bidang yang kemungkinan memotong
bidang perlapisan batuan. Padahal bidang
perlapisan inilah sebagai bidang lemah dari material
tersebut. Selain triaxial juga dilakukan pengujian
uji kekuatan batuan melalui uniaxial compression
strength test dan unconfined strength test dimana
dari kedua metode tersebut diperoleh nilai strength
dan strain.
Kondisi lapangan yang ditemukan material clay
yang sweeling maka dilakukan analisa sweeling
clay yang didalamnya ada diperoleh nilai sweeling
index dan swelling pressure. Keberadaan material
batubara yang berupa endapan rawa juga
mendorong perlu dilakukan analisa slake durability
index untuk mengetahui konsistensi material ketika
terjadi penambahan kadar air akibat beberapa faktor
(hujan atau operasional).
Semua data laboratorium hasil pengujian
geomekanik dilakukan kalibrasi terhadap kondisi
rockmass sehingga parameter yang dimasukan
dalam perhitungan stabilitas lereng akan mendekati
kondisi lapangan. Determinasi kondisi rockmass
dilakukan pada saat kegiatan pemboran dan juga
pemetaan lapangan.
Material Properties
Pembahasan sifat properties material yang ada
pada masing-masing pit diperlukan untuk
mengetahui karakterisktik material yang ada
sehingga dalam melakukan engineering terhadap
desain dapat mempertimbangkan sifat properties
yang ada. Adanya anggapan umum bahwasannya
setiap kemajuan kedalaman selalu dibarengi dengan
kenaikan sifat mekanik batuan yang aplikasinya
semakin dalam bisa lebih dapat menegakkan nilai
individual slope atau overall slope perlu
digarisbawahi.
Cohesi
akan
mengalami
pembebanan dari overburden bertambah pada
setiap kedalaman dan hal ini bisa meningkatkan
nilai sifat properties batuan sehingga logikanya

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 607

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

608 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Berdasarkan nilai densitas batuan yang


dilakukan pengujian diperoleh nilai densitas
terkecil sebesar ~1,2 gram/cm3 dan maksimum ~2.1
gram/cm3 dengan nilai rata-rata densitas sebesar 1.9
gr/cm3. Nilai terkecil diperoleh pada GT02
kedalaman 5m dengan nilai densitas 1.2gram/cm3.
Nilai densitas 1.2gram/cm3 merupakan material
lumpur, sehingga dengan data ini maka slope
stabilitas lereng harus berhati-hati terhadap kondisi
ini. Dari gambar 1 diperoleh 2 trend pada
kedalaman 0 10 dan 10 kebawah dimana trend
pada kedalaman 0 10m memiliki nilai properties
yang buruk sehingga nalisa stabilitas lereng
seharusnya dapat dbedakan menjadi 2 bagian ini.
Pada kedalaman lebih dari 10 cenderung memiliki
densitas yang lebih besar dan hal ini akan
berdampak pada kenaikan nilai kohesi dan sudut
geser dalam. Berdasarkan informasi ini maka nilai
overall slope diatas harus lebih kecil dibandingkan
di kedalaman berikutnya yang artinya menegakan
slope pada kedalaman lebih dari 10 diijinkan
dengan batas tertentu.
KorelasiDensitasvsDepth
1

1.2

Density (gr/cm3)
1.6

1.4

1.8

2.2

0
5
10
15

Depth (m)

terjadi perbedaan antara bagian atas dan bagian


bawah. Namun begitu semua perbedaan tersebut
harus tervisualisasi dalam sebuah angka yang
diperoleh dai hasil pengujian geomekanik.
Sifat properties batuan hasil pengujian
laboratorium menjadi faktor utama pada saat
analisa ini sehingga input parameter yang benar
harus menjadi perhatian. Nilai sifat properties
batuan yang terdiri dari sifat fisik dan mekanik
diperoleh dari hasil pengujian laboratorium dan
dibandingkan posisinya terhadap kedalaman
sehingga diperoleh korelasi nilai properties batuan
terhadap kedalaman.
Pentingnya mengkorelasikan nilai properties
batuan terhadap kedalaman adalah untuk
mengetahui profil stratigrafi berdasarkan sifat
properties batuannya. Dengan diketahui profilprofil sifat properties batuan akan diperoleh
informasi detail hal-hal yag berhubungan kondisikondisi tertentu seperti adanya weak zone atau zona
lemah dalam sebuah profil stratigrafi sehingga pada
akhirnya dengan mengetahui informasi ini dari awal
dapat membantu dalam analisa stabilitas lereng.
Faktor-faktor yang akan dijadikan pembahasan
dalam mengetahui karakterisktik batuan yang ada
pada masing-masing site berdasarkan hasil
pengujian laboratorium untuk sifat fisik dan
mekanik batuan insitu. Beberapa parameter yang
dipergunakan dalam pembahasan adalah nilai sifat
fisik berupa densitas dan berat jenis dan untuk sifat
mekanik meliputi sifat uji kekuatan batuan lewat
Uniaxial dan Unconfined Compression strength
test, nilai kohesi dan dan nilai sudut geser dalam.
Sedangkan nilai rockmass dilakukan terhadap
kondisi RQD yang diperoleh saat pekerjaan
pemboran.
Analisa dilakukan untuk masing-masing sifat
properties batuan setiap pit dimana dari hasil
pengambilan conto untuk setiap pit saling
melengkapi satu sama lain sehingga dalam analisa
dapat diperoleh profil yang lengkap untuk setiap
kedalaman sehingga semua hasil sifat properties
batuan masing-masing pit dibandingkan terhadap
posisi atau kedalaman. Semua kondisi stratigrafi
harus diketahui sehingga dapat dikorelasikan
terhadap kedalaman sepanjang pit desain diperoleh
informasi yang cukup untuk mengetahui
karakteristik material yang ada.
Pembahasan sifat properties batuan dilakukan
dengan mencermati hasil pengujian laboratorium
dan memposisikannya terhadap posisi pengambilan
conto atau terhadap kedalaman. Data yang dipakai
dalam pembahasan ini adalah sifat densitas, berat
jenis, nilai kohesi nilai sudut geser dalam, nilai
strength, nilai strain, nilai RQD dan semua
parameter tersebut dibandingkan terhadap posisi
atau kedalaman. Untuk lebih memudahkan dalam
melakukan analisa maka dilakukan ploting semua
data berupa angka kedalaman sebuah chart.

20
25
30
35
40
45
50
GT_01

GT_02

GT_03

GT_04

GT_05

Gambar 1. Korelasi kedalaman terhadap nilai


Densitas
Penilaian strain diperlukan untuk mengetahui
tingkat kegetasan material dimana semakin kecil
nilai strain menunjukan tingkat kegetasan pada
material. Dari ploting data strain diperoleh nilai
strain berkisar 1-6.5% dengan rata-rata sekitar 3%.
Angka ini menunjukan bahwa material ini bersifat
brittle dan mudah pecah dan perubahan kadar
mengontrol nilai strain ini. Proses perubahan dari
face cracking sampai failure memerlukan waktu
yang relative cepat karena adanya response
perubahan kadar air yang ada di dalam material.
Fase crack dan pecah dilalui dalam waktu yang
singkat dan hanya berkisar dari nilai strain yang
berkisar 3% dari perubahan volume yang ada. Nilai
inilah yang menjelaskan bahwa material
mempunyai kekuatan dan kohesi yang rendah
namun juga mudah patah. Adapun gambaran nilai
strain dapat dilihat dari gambar 2.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

KorelasiAxialStrainvs Depth
AxialStrain(%)
0

dan mempunyai standar deviasi yang sangat besar


(gambar 5). Nilai strength acak pada setiap tempat.

0
5

KorelasiFrictionAnglevsDepth

10

FrictionAngle

Depth(m)

15

10

15

20

25

30

35

40

45

20

25

10

30

15

35

Depth(m)

40
45
50
GT_01

GT_02

GT_03

GT_04

GT_05

20
25
30
35

Gambar 2. Korelasi kedalaman terhadap nilai


Strain

40
45
50
GT_01

Variasi nilai kohesi juga terlihat dipengaruh


oleh kedalaman dimana kedalaman 0 7m
memiliki sifat kohesi yang relative kecil
dibandingkan dengan kedalaman 7 dan
seterusnya. Hal ini sesuai dengan kondisi lapangan
bahwa material di bagian atas merupakan endapan
rawa yang memiliki sifat menyerupai lumpur. Dari
ploting data kohesi diperoleh variasi nilai kohesi
dari 10 KPa 450 KPa dan dengan nilai rata rata
berkisar di 500 100KPa. Nilai kohesi ini relative
kecil dan akan berdampak pada nilai stabilitas.
Berdasarkan informasi kohesi ini maka nilai slope
pada kedalaman 0 7m harus dibuat berbeda
dibandingkan dengan 7 dan setrusnya. (gambar 3).

GT_02

GT_03

GT_04

GT_05

Gambar 4. Korelasi kedalaman terhadap nilai


Sudut Geser Dalam

KorelasiKohesivsDepth

Gambar 5. Korelasi kedalaman terhadap nilai


Strength

Kohesi(Kpa)
0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

0
5
10
15

Depth(m)

20
25
30
35
40
45
50
GT_01

GT_02

GT_03

GT_04

GT_05

Gambar 3. Korelasi kedalaman terhadap nilai


Kohesi
Nilai sudut geser dalam juga menunjukan
perbedaan antara kedalaman 0 7m dan kedalaman
berikutnya dimana kedalaman 0 7m memiliki
sifat mekanik yang lebih buruk. Nilai sudut geser
dalam ini terkorelasi dengan nilai kohesi dan
desnitas pada kedalaman yang sama. Kenyataan
dilapangan material penutup OB merupakan
endapan rawa yang lunak menyerupai lumpur. Dari
plotting terlihat variasi nilai sudut geser dalam
pada kedalaman 0 -7m sebesar 15 derajat dan 25
derajat pada kedalaman berikutnya (gambar 4).
Variasi strength didominasi pada angka sekitar
0.1-4MPa namun pada beberapa lapisan ditemukan
lapisan batuan yang memiliki strength diatas 5MPa.
Dengan data ini maka setiap lokasi tergantung pada
masing-masing litologi yang ada. Data strength
juga tidak menunjukan korelasi dengan kedalaman

Dari penjelasan sifat mekanik diatas maka


diperoleh kesimpulan bahwa kedalaman 0-7m
memiliki sifat mekanik yang buruk dibandingkan
dengan kedalaman berikutnya sehingga hal ini perlu
menjadi perhatian dalam proses analisa. Nilai
perbedaan ini tercermin dari nilai densitas, kohesi
dan sudut geser dalam yang merupakan kompnen
utama penyusun stabilitas lereng. Overal slope pada
kedalaman 0 -7m terntunya harus berbeda dengan
kedalaman berikutnya jika mengacu kepada data
dasar sifat mekanik material. Menegakan slope
dibagian bawah dari kedalaman 7m diperolehkan
dengan batas tertentu.

6.

Analisa Stabilitas Highwall

Analisa stabilitas lereng berdasarkan situasi dan


usaha stabilisasi untuk memperoleh nilai stabilitas
yang optimum. Upaya yang dilakukan dengan
mengkombinasikan antara data laboratorium dan
data rockmass yang diperoleh dari kegiatan
pemboran maupun pengukuran di lapangan. Analisa
stabilitas lereng bagian highwall dilakukan dengan
metode Limit Equilibrium Method (LEM) dengan
slip surface berupa normal circular. Bidang slip
surface memotong perlapisan batuan dari bidang
tertinggi ke bagian dibawahnya membentuk sebuah
circular.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 609

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Single Slope - Seam #1


Analisa stabilitas lereng untuk seam #1 adalah
untuk pengambilan batubara pada lapisan yang
diatas. Single seam dapat diaplikasikan pada GT02,
GT03, GT04 dan GT05 dimana berdasarkan data
pemboran diperoleh single seam. GT01 dan GT02
diperoleh 2 seam batubara namun yang memiliki
ketebalan yang significant hanya di GT01. Hasil
analisa stabilitas lereng untuk masing-masing hole
dapat dilihat dalam gambar 6 & 7, dimana secara
umum nilai overall slope sama dengan nilai BFA
nya. Dari gambar tersebut menginformasikan nilai
FoS pada 1.2 dan 1.1. Berdasarkan pertimbangan
saat studi probability of failure dan kedudukan
bench maka FoS yang dipergunakan adalah FoS
1.1. Gambar tersebut juga menunjukan bahwa
terjadi penurunan overall slope ketika ketinggian
lereng semakin besar atau semakin overall slope
lebih besar maka ketinggian optimum akan lebih
kecil. Karena ini merupakan single bench maka
nilai overall slope sama dengan nilai BFAnya.

610 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Gambar 6. Korelasi slope height vs Overall slope


KorelasiOverallSlopevsTinggiSlope
MaterialOBdiatasSeamBatubara

35

30

25

SlopeHeight(m)

Perhitungan stabilitas highwall dilakukan


dengan tujuan akhir membuat parameter geoteknik
dalam bentuk model sehingga masih dapat
diaplikasikan ketika ada perubahan model geologi
atau perubahan yang di dorong oleh faktor-faktor
lainnya.
Pemodelan
dilakukan
dengan
mempertimbangkan nilai ketinggian lereng dan
nilai besar overall slope dimana secara logika
dengan nilai FoS 1.2 pasti berbeda pada setiap
ketinggian sehingga harus dikoreksi nilai overall
slope pada ketinggian tertentu. Perhitungan
dilakukan setiap ketinggian tertentu pada beberapa
nilai overall slope sehingga dapat diperoleh overall
slope optimum. Overall slope optimum ditentukan
pada FoS 1.2 sehingga pada ketinggian tertentu
akan diperoleh nilai overall slope optimum. Analisa
stabilitas lereng dengan ketinggian berbeda
dilakukan untuk mendapatkan overall slope
optimum sehingga ketika dilakukan pada beberapa
ketinggian akan diperoleh beberapa overall slope
optimum. Dari hasil perhitungan ini maka dapat
dihasilkan model korelasi antara ketinggian dan
overall slope optimum.
Dari model yang sudah dibanguan diperoleh
nilai overal slope dan ketinggian pit pada saat FoS
1.2 sehingga model ini bisa dijadikan pedoman
dalam mendesain lereng. Model ini mudah
dipahami dimana mine planning tinggal
menyesuaikan kedalaman pit yang dimaksudkan
dan memotongkannya dengan garis dan ditarik
kesumbu X sehingga diperoleh nilai overal slope
optimum. Adapun hasil masing-masing pit dapat
dilihat pada masing-masing pit dibawah.

20

15

10

0
5

10

15

20

25

30

35

OverallSlope(m)
FoS1.2

FoS1.1

Gambar 7. Nilai korelasi overall slope- BFA


terhadap ketinggian untuk seam #1
Multiple Bench - Seam #2
Perhitungan multiple bench dihitung dengan
dari surface menuju toe desain seam #2 dengan
parameter BFA di bench atas coal mengikuti
parameter sebelumnya (seam #1). Kedalaman yang
dimaksud adalah kedalaman pada 7m dibawah
permukaan yang memperlihatkan material jelek.
Untuk lebih memudahkan dalam analisa parameter
dapat mengacu kepada seam #1. Hasil analisa
stabilitas lereng pit GT01 dan GT02 menghasilkan
model parameter seperti gambar 8 dan 9.

Gambar 8. Korelasi slope height vs Overall slope


GT01
Berdasarkan pada nilai probability of failure
maka
untuk
penentuan
multiple
bench
menggunakan FoS 1.2. Berdasarkan pertimbangan
saat analisa stabilitas lereng yang sudah
mengkalibrasi komponen properties dengan
rockmass maka nilai FoS 1.2 dapat dijadikan
pilihan untuk diaplikasikan. Gambar tersebut juga

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

menunjukan bahwa terjadi penurunan overall slope


ketika ketinggian lereng semakin besar atau
semakin overall slope lebih besar maka ketinggian
optimum akan lebih kecil.

Jika mengacu kepada hasil failure repose maka


kedudukan hasil analisa memang relative dibawah
dari kondisi sudut failure repose. Walaupun secara
analisa sudah diperoleh nilai FoS yang optimum
namun pada case tertentu masih ditemukan adanya
failure. Kontrol keseragaman material dan kondisi
sepsifik setiap lokasi mendorong adanya perbedaan
tersebut sehingga hasil analisa sudah optimum
sesuai kondisi lapangan.

7.

Gambar 9. Korelasi slope height vs Overall slope


GT02
Analisa stabilitas lereng juga mengacu terhadap
back analisis material hasil pengukuran failure
repose dilapangan. Pada dasarnya proses bank
analisis kesulitan dalam mengevaluasi dalam
kesamaan material mengingat endapan kuarter
memiliki heterogenitas yang besar. Atas dasar ini
maka proses analisa mengacu kepada hasil temuan
dilapangan yang dianggap memiliki kesamaan
litlogy dan kesamaan sifat mekanik. Atas dasar ini
maka dapat dibuat korelasi antara seam #1 dan
seam #2 berdasarkan analisa yang telah dilakukan
diatas.
Pada seam #1 mengacu pada korelasi nilai FoS
dan overall slope namun dalam penurunnya
dilakukan korelasi antara ketinggian dan overall
slope. Ketinggian diperoleh dari kedudukan seam
pada setiap lubang pemboran. Dan overall slope
optimum untuk seam #1 menggunakan FoS 1.1
sedangkan untuk seam #2 menggunakan FoS 1.2.
Dari hasil korelasi gambar dibawah (Gambar
10) diperoleh informasi bahwa nilai slope untuk
seam #1 lebih kecil dibandingkan dengan seam #2
dimana hal ini sesuai dengan kondisi lapangan.
Korelasi antara kedua seam dapat dilihat pada
pertemuan kedua garis yang berada pada kedalama
6m sehingga jika seam #2 pada kedalaman 0 - 7m
mengacu kepada garis seam #1.
FAILUREREPOSE SLOPEHEIGHTvsOVERALLSLOPE
60

50

Kesimpulan

Dalam penyusunan suatu rencana tambang,


disamping faktor cadangan, teknis, ekonomi, dan
lingkungan, faktor kestabilan lereng menjadi faktor
penting yang harus diperhitungkan dengan
seksama. Parameter geoteknik yang disampaikan
juga harus lebih fleksible dalam dalam merespon
isu-isu kegiatan operasional penambangan sehingga
parameter geoteknik harus aplikatif. Perubahan
geometri lereng harus diimbangi dengan perubahan
parameter geoteknik dalam hal ini nilai lereng
keseluruhan sehingga desain tambang dapat
dilakukan dengan optimum.
Proses analisa pemodelan parameter geoteknik
diawali dengan analisa ketinggian lereng pada nilai
lereng keseluruhan yang berbeda sehingga dapat
diperoleh sebuah nilai faktor keamanan lereng. Dari
analisa dapat diperoleh sebuah korelasi dimana
semakin besar nilai lereng keseluruhan pada
ketinggian lereng tertentu akan diperoleh nilai
faktor keamanan lereng yang lebih kecil. Dengan
ditentukannya faktor keamanan lereng optimum
maka setiap ketinggian lereng akan memperoleh
satu nilai lereng keseluruhan optimum.
Dengan dilakukan pada ketinggian yang
berbeda maka dapat diperoleh nilai korelasi
ketinggian lereng dan nilai lereng keseluruhan
optimum pada sebuah nilai faktor keamanan
optimum. Jika nilai faktor keamanan dikeluarkan
dari dalam persamaan maka dapat diperoleh
korelasi antara ketinggian dan lereng keseluruhan
optimum. Semakin besar nilai lereng keseluruhan
maka ketinggian lereng akan semakin berkurang.
Dengan perubahan desain tambang maka model
parameter ini masih dapat mengikuti perubahan
yang ada. Parameter geoteknik berupa model akan
sangat membantu dalam perencanaan tambang
dengan lebih fleksible dengan tetap memperhatikan
kestabilan lereng.

OverallSlope(Degree)

40

DAFTAR PUSTAKA
30

Seam#2(bawah)
20

10

Seam#1(atas)

0
0

10

15

20

25

30

35

40

SlopeHeight(m)
Failure

NonFailure

Seam#2

Seam#1

Gambar 10. Korelasi nilai analisa seam #1 dan


seam #2 terhadap failure repose

1. Bieniawski, Z.T. 1975. The point load test in


geotechnical practice. Engineering Geology,
Vol. 9, 1975, p 1 11.
2. Deere, D.U. 1964. Technical description of rock
cores for engineering, Rock Mechanics &
Engineering Geology, Vol. 1, No. 1, 1964, p. 17
- 22.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 611

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

3. Hoek, E dan Bray, J.W.,1981. Rock slope


engineering, Institute of Mining & Metallurgy,
p. 358
4. Priest, S.D. dan Hudson, J.A. 1976.
Discontinuity spacing in rock. Int. Journal rock
Mechanics Mineral & Science, Vol. 13, 1976, p.
135 148.
5. Abramson, L.W., Lee, S.T., Sharma, S., Boyce,
G.M. (1995). Slope Stability And Stabilization
Methods, John Willey & Sons, inc, New York
6. DAS, M Braja (1993). Principles of
Geotechnical Engineering, Third Edition, PWS
Publishing Company, Boston, Amerika Serikat.
7. Dunn, I.S., Anderson, L.R., Kiefer, F.W.
(1980). Fundamentals of Geotechnical Analysis,
John Willey & Sons, inc, New York
8. Geo Slope, Block Slip Surfaces , GEOSLOPE International Ltd, Calgary, Alberta,
Canada.
9. Rocsience, 2002, Critical Slip Surface Search
Methods in SLIDE, Rocscience Inc, Canada

612 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Hubungan Stratigrafi Perbukitan Jiwo Dengan Pegunungan


Selatan Berdasarkan Penampang Geologi Jokotuo Eyangkutho
Hita Pandita1) dan Sukartono 2)
1) Prodi Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta,
e-mail: hita@indo.net.id
2) Prodi Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta,
e-mail: kartono_skt@yahoo.co.id

Abstrak
Geologi daerah Bayat dan sekitarnya merupakan wilayah yang sampai saat ini belum terpecahkan secara tuntas. Banyak
hipotesis telah disampaikan oleh para ahli geologi mengenai sejarah geologi Bayat. Belum tuntasnya sejarah geologi daerah
Bayat dan sekitarnya disebabkan hubungan antar batuan yang tersingkap belum dapat diketahui dengan jelas. Adanya proyek
penambangan yang sempat berlangsung di daerah Bayat pada tahun-tahun terakhir ini telah menyingkapkan sejumlah kontakkontak antar batuan yang muncul di daerah Bayat. Munculnya data-data baru dan perkembangan konsep-konsep geologi telah
membantu dalam memahami kondisi geologi daerah Bayat dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan memberikan usulan
hipotesis baru terhadap hubungan stratigrafi antara batuan-batuan di Pegunungan Jiwo dengan Pegunungan Selatan bagian
utara. Metode yang dipergunakan berupa pemetaan geologi permukaan dan interpretasi penampang geologi bawah
permukaan. Hasil dari pendataan geologi yang baru menunjukkan bahwa hubungan stratigrafi antara batuan dari Perbukitan
Jiwo dengan Pegunungan Selatan adalah tidak selaras, yang dicerminkan dari hubungan antara Formasi Gamping-Wungkal
dengan Formasi Kebo-Butak.
Kata kunci: Bayat, Pegunungan Selatan, Perbukitan Jiwo, Geologi, Stratigrafi
Abstract
The geology of Bayat and surrounding area has not been solved completely until now. Many hypotheses have been presented
by the geologist about the geological history of Bayat. Unsolved of the geological history of Bayat area had caused by
unclearly of relationship stratigrapic position the exposed rocks. Sand mining activity in Bayat area has exposed some new
outcrops. The exposes new data and the rise of geological concept are helping to understand the geological Bayat. The study
is aim to propose a new hypothesis of stratigraphic relationship between rocks unit in Jiwo Hills and Southern Mountain. The
methods are field study and interpretation of geological section. The result is unconformable contact between Jiwo Hills and
Southern Mountain.
Key word: Bayat, Southern Mountain, Jiwo Hills, Geology, Stratigraphy

1.

Pendahuluan

Geologi daerah Bayat telah banyak diteliti


oleh para ahli geologi, namun sejauh ini masih ada
perdebatan dalam memahami sejarah geologinya.
Beberapa peneliti tersebut adalah Bothe (1929),
Surono (2008), Asikin (1974) dan Atmadja, dkk.
(1991). Mereka meneliti baik dari sisi stratigrafi,
umur batuan beku dan struktur geologi.
Bothe (1929) telah menyusun peta
Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan, serta
mengungkapkan hubungan stratigrafi antara
Pegunungan Selatan dengan Perbukitan Jiwo
dibatasi oleh sesar normal. Bidang sesar
diperkirakan miring ke selatan sehingga
Pegunungan Selatan merupakan blok yang turun.
Perkembangan selanjutnya Surono (2008)
mencoba menjelaskan tentang litostratigrafi dan
lingkungan pengendapan dari Formasi Kebo-Butak
yang tersingkap di selatan Bayat. Hasil kajiannya
memisahkan antara Formasi Kebo dan Formasi

Butak. Pemisahan tersebut berdasarkan pada ciri


batuan yang berbeda. Formasi Kebo dicirikan
dengan batuan klastika berupa serpih, batupasir dan
sisipan lava. Formasi Butak dicirikan batuan
gunungapi terutama breksi piroklastik.
Salah satu hipotesis sempat dilontarkan
oleh Asikin (1974) bahwa batuan di kompleks
Bayat tidak memiliki ciri-ciri sebagai endapan
mlange sebagai penciri sedimentasi di zona
subduksi. Sayangnya hipotesis ini banyak
dilupakan oleh para ahli, dan Bayat masih
dimasukkan dalam jalur subduksi Kapur.
Pentarikhan umur terhadap batuan-batuan
beku yang tersebar di Pegunungan Selatan dan
Bayat sudah dilakukan oleh Atmadja, dkk (1991).
Hasil pengukuran menunjukkan umur 33 24 jt th
yl atau Oligosen Akhir Miosen Awal. Pengukuran
ini setara dengan umur dari Formasi Kebo-Butak.
Namun pendataan-pendataan yang sudah
dilakukan oleh banyak peneliti belum mampu
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 613

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

menjawab tuntas tentang hubungan stratigrafi


antara Pegunungan Selatan dengan Bayat.
Pemahaman terhadap hubungan stratigrafi antara
Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan
menjadi sangat penting sehubungan dengan
munculnya hipotesis adanya lempeng mikro Jawa
Timur. Konsep lempeng mikro Jawa Timur sendiri
dikemukakan oleh beberapa peneliti seperti
Sribudiyani, dkk. (2003) dan Prasetyadi (2007).
Adanya hipotesis tersebut melepaskan batuanbatuan di Perbukitan Jiwo dari bagian jalur
subduksi Kapur yang selama ini banyak dianut oleh
para ahli geologi.
Melihat hal tersebut di atas perlu sekiranya
dilakukan kajian detil terhadap hubungan stratigrafi
antara Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan
Selatan. Penelitian ini dimaksudakan untuk
memberikan informasi baru tentang data geologi
permukaan yang tersingkap di daerah Bayat.
Tujuan ahkir adalah memberikan hipotesis baru
tentang hubungan stratigrafi antara Pegunungan
Selatan dengan Bayat.

Gambar 1.

2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan berupa
penyelidikan lapangan dan analisis laboratorium.
Penyelidikan lapangan di lakukan dengan lintasan
utara selatan dari Jokotuo menuju Eyang Kutho,
dengan melakukan pengamatan di 9 lokasi. Analisis
laboratorium yang dilakukan berupa identifikasi
batuan, analisis struktur geologi dan analisis
stratigrafi. Setelah dilakukan analisis laboratorium
dilakukan rekonstruksi penampang geologi.
Fisiografi
Daerah penelitian termasuk dalam dua
wilayah fisiografi, yaitu zona Pegunungan Selatan
dan Zona Depresi Jawa sub Zona Perbukitan Jiwo
(van Bemmelen, 1949) (Gambar 1). Penelitian
dipusatkan pada Perbukitan Jiwo Timur dan lereng
utara Pegunungan Selatan. Secara umum di Jiwo
Timur
morfologi
berbentuk
perbukitan
bergelombang sedang-kuat. Sedangkan di bagian
selatan berupa lereng tersayat kuat. Diantara Jiwo
Timur dan Pegunngan Selatan terdapat dataran
yang ditutupi oleh endapan alluvial.

Fisiografi Jawa Tengah-Jawa Timur (gambar ulang dari van Bemmelen, 1949).
Kotak merah lokasi penelitian

Stratigrafi Regional
Surono, dkk (1992) memisahkan antara
Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan dalam
dua tatanan stratigrafi yang berbeda. Hal ini
disebabkan belum adanya data kontak stratigrafi
antara satuan-satuan batuan di Jiwo Timur dengan
satuan-satuan batuan di Pegunungan Selatan.
Namun hasil dari ulasannya memberikan
perkembangan stratigrafi secara rinci dari kedua
tatanan tersebut. Uraian singkat dari tatanan
stratigrafi keduanya sebagai berikut:

614 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Stratigrafi Perbukitan Jiwo


Stratigrafi Perbukitan Jiwo banyak dibahas
oleh beberapa peneliti terdahulu. Sumarso dan
Ismojowati (1975) menyusun stratigrafi Perbukitan
Jiwo berdasarkan beberapa penampang (Tabel 1).
Namun stratigrafi yang disusun belum berani
memberikan gambaran hubungan stratigrafi antara
Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan (Tabel
1), dan menjelaskan keduanya terpisah. Salah satu
penampang stratigrafi yang lengkap terdapat di
Jiwo Timur.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Batuan tertua di Perbukitan Jiwa Timur


adalah Kompleks metamorf, yang terdiri atas sekis,
marmer dan filit. Pada kompleks metamorf ini
didominasi oleh filit yang banyak dijumpai di Jiwo
Timur dan Jiwo Barat. Umur batuan metamorf ini
oleh Bothe (1929) diperkirakan terbentuk pada
Kapur atas, hal ini didasarkan pada diketmukannya
beberapa spesimen Orbitolina pada fragmenfragmen
batugamping.
Prasetyadi
(2007)
melakukan penanggalan dengan K-Ar menunjukkan hasil psekitar 98 juta tahun yang lalu atau
pada Kapur Akhir.
Kompleks batuan metamorf berkontak tidak
selaras dengan Formasi Gamping-Wungkal yang
terbentuk di atasnya. Formasi Gamping-Wungkal
dicirikan dengan batugamping numulites, batupasir
dan napal pasiran. Berdasarkan kandungan fosil
Nummulites
Formasi
Gamping-Wungkal
diperkirakan terbentuk pada Eosen (van Bemmelen,
1949).
Tabel 1. Kolom stratigrafi Perbukitan Jiwo dan
Pegunungan Selatan dari Sumarso dan Ismojowati
(1975).

Stratigrafi Pegunungan Selatan


Perkembangan sedimentasi di cekungan
Pegunungan Selatan dimulai pada Formasi Semilir
yang diendapkan secara selaras di atas Formasi
Kebo-Butak (Surono, dkk, 1992 dan Rahardjo, dkk,
1995). Aktivitas volkanik yang mulai muncul pada
saat pembentukan Formasi Kebo-Butak semakin
terlihat intensif pada saat pembentukan Formasi
Semilir. Formasi Semilir diperkirakan juga
terbentuk pada Miosen Awal. Formasi Semilir
disusun oleh tuf, breksi batuapung, batupasir tufan
dan serpih (Tabel 2).
Puncak aktivitas volkanik terjadi pada saat
pembentukan Formasi Nglanggran pada Kala
Miosen Awal-Miosen Tengah (Surono, dkk., 1992).
Formasi ini disusun oleh batuan berupa breksi
polimik, aglomerat, breksi piroklastik dan lava.
Aktivitas volkanik mulai menurun pada Miosen
Tengah dengan diendapkannya Formasi Sambipitu.
Pada formasi ini lebih didominasi pembentukan
satuan-satuan turbidit berupa batupasir berselangseling dengan batupasir tufan. Formasi ini juga
banyak mengandung fosil jejak yang terbentuk pada
lingkungan bathyal di bagian bawah dan
berkembang ke Neritik di bagian atas (Pandita,
2008).
Tabel 2. Kolom stratigrafi Pegunungan Selatan (digambar
ulang dari Surono, dkk., 1992)

Di atas Formasi Gamping-Wungkal


diendapkan Formasi Oyo yang menumpang secara
tidak selaras. Formasi Oyo tersingkap di Jiwo Barat
dan Jiwo Timur, dicirikan dengan batugamping
berlapis baik. Pada umumnya sudah mengalami
kristalinitas. Umur Formasi Oyo diperkirakan pada
Miosen Tengah.

Perubahan lingkungan pada cekungan


Pegunungan Selatan semakin terlihat dengan
diendapkannya Formasi Oyo pada laut dangkal.
Formasi ini disusun oleh batupasir gampingan,
kalsilutit tufan dan konglomerat berfragmen
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 615

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

batugamping. Formasi Oyo diperkirakan terbentuk


pada Miosen Akhir (Pandita, dkk., 2009).
Perkembangan batugamping makin terlihat
jelas dengan pembentukan Formasi Wonosari.
Formasi ini disusun oleh litologi berupa
batugamping berlapis, dan batugamping terumbu.
Bagian bawah dari Formasi Wonosari diperkirakan
mempunyai hubungan menjari dengan bagian atas
Formasi Oyo. Umur formasi ini diperkirakan adalah
Miosen Akhir-Pliosen (Pandita, dkk, 2009).
Di atas Formasi Wonosari secara selaras
diendapkan satuan batuan dari Formasi Kepek. Ciri
litologi berupa napal dan batugamping berlapis.
Formasi ini diperkirakan terbentuk pada Pliosen.
Sesudah Pliosen batuan-batuan berumur
tersier yang terletak di cekungan Yogyakarta dan
depresi tengah pulau Jawa ditutupi oleh endapanendapan volkanik muda. Endapan tersebut
diperkirakan terjadi sejak Kala Pleistosen sampai
sekarang.

3. Data Dan Analisis


Penyelidikan
lapangan
dilakukan
memanjang utara-selatan dari Joko Tuo di bagian
utara sampai Eayangkutho di bagian selatan.
Dilakukan pengamatan pada 9 lokasi sepanjang
jalur tersebut. Berdasarkan data lapangan dan
kompilasi dengan peta geologi regional dapat

disusun peta geologi beserta penampang geologi


(Gambar 2 dan 3).
Secara umum kontak yang dapat dijumpai
adalah antara Formasi Gamping Wungkal dengan
batuan metamorf. Kontak tersebut dapat dijumpai
di sekitar Watuprahu. Berdasarkan hukum
stratigrafi, kontak antara Formasi Gamping
Wungkal
adalah
tidak
selaras.
Bukti
ketidakselarasan dapat terlihat dengan adanya
pecahan-pecahan skiss, filit dan kuarsit pada
batupasir Formasi Gamping-Wungkal (Gambar 4).
Kedudukan batuan pada Formasi GampingWungkal yang dijumpai di selatan Joko Tuo adalah
N74OE/21O.
Formasi Kebo-Butak sebagai bagian dari
stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dijumpai di
daerah kali Nampu. Singkapan di kali Nampu
berupa batuan piroklastik di bagian bawah dan
batupasir karbonatan di bagian atasnya, dengan
kedudukan N93OE/18O (Gambar 5). Kontak
langsung antara Formasi Kebo-Butak dengan
Formasi Gamping-Wungkal belum dapat dijumpai
di jalur ini, namun dari rekonstruksi penampang
diperkirakan tidak selaras (Gambar 3). Umur dari
formasi ini berdasarkan kandungan foraminifera
plangtonik dan nannoplangton diperkirakan pada
Oligo-Miosen Awal (Surono, 2008).

Gambar 2. Peta Geologi daerah Bayat Timur dan lokasi pengamatan (kompilasi dari Surono, 2006 dan hasil
penelitian)

616 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 3. Rekonstruksi penampang geologi antara Pegunungan Selatan dengan Perbukitan Jiwo Timur

Di sebelah utara kali Nampu pada BYH 19


dapat dijumpai adanya lava basal berstruktur bantal
(Gambar 5). Lava bantal berdasarkan pengamatan
mikroskopis menunjukkan tekstur hipokristalin dan
berstruktur aliran (Laksono, 2007). Berdasarkan
posisi singkapan lava basal dan kedudukan dari
singkapan Formasi Kebo Butak, maka lava bantal
ini diperkirakan merupakan sisipan dari Formasi
Kebo. Butak.

Gambar 4. Singkapan batuan piro-klastik di bagian


bawah dan serpih di bagian atasnya dari Formasi KeboButak di lokasi BYH18.

Gambar 3. Fragmen-fragmen batuan metamorf pada


Formasi Gamping-Wungkal di lokasi BYH12

Gambar 5. Singkapan lava basal berstruktur bantal di


dusun Nampu, Bayat pada lokasi BYH19.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 617

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

4. Pembahasan
Posisi singkapan dan kedudukan batuan
dari masing-masing formasi, secara umum
menunjukkan kemiringan ke arah selatan-tenggara.
Kelompok batuan Perbukitan Jiwo menunjukkan
kemiringan yang lebih tajam dengan sudut berkisar
20O ditujukan oleh kedudukan Formasi GampingWungkal di lokasi BYH12. Kelompok Pegunungan
Selatan dari Formasi Kebo-Butak menunjukkan
kemiringan lebih landai sekitar 18O ditunjukkan
dengan kedudukan serpih di lokasi BYH18
(Gambar 4). Berdasarkan rekonstruksi pada
penampang geologi maka ke arah selatan batuan
memiliki posisi stratigrafi yang lebih muda. Melihat
hal tersebut secara sederhana dapat diperkirakan
kontak stratigrafi antara batuan di Perbukitan Jiwo
dengan Pegunungan Selatan adalah bidang ketidak
selarasan (Gambar 3).
Hipotesis tersebut berbeda dengan apa yang
sudah dikemukakan oleh Bothe (1929) yang
beranggapan adanya sesar normal dengan
kemiringan bidang ke arah selatan. Bukti
keberadaan sesar normal tersebut sampai saat ini
belum dijumpai, sehingga hipotesis sesar tersebut
masih lemah.

5. Kesimpulan
Terdapatnya singkapan-singkapan batuan
yang baru di daerah Bayat, semakin menyingkap
stratigrafi sesungguhnya di daerah Bayat dan
sekitarnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa hubungan stratigrafi antara Perbukitan Jiwo
dan Pegunungan Selatan yang selama ini belum
pernah dikaitkan menjadi jelas. Hubungan
stratigrafi memberikan gambaran bahwa kelompok
batuan metamorf dan Formasi Gamping Wungkal
menjadi dasar bagi sedimentasi dari Formasi KeboButak yang merupakan formasi tertua di
Pegunungan Selatan, sehingga hubungan stratigrafi
antara keduanya dapat diduga sebagai kontak tidak
selaras.

Ucapan Terima Kasih


Tulisan ini merupakan bagian dari
penelitian yang dilaksanakan atas bantuan dana
Hibah Bersaing dari DP2M DIKTI pada tahun
anggaran 2014 dengan nomor DIPA:SP-DIPA023.04.2.189971/2014. Kepada Ketua STTNAS
beserta jajaran staf, kami ucapkan terima kasih atas
dukungan untuk mengikuti seminar ReTII ke 9.
Ucapan terima kasih juga diberikan kepada para
asisten laboratorium Paleontologi yang membantu
dalam pemetaan di daerah Bayat.

Daftar Pustaka
Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan
Sekitarnya Ditinjau dari Segi Teori Tektonik
Dunia yang Baru, Disertasi Doktor,
Departemen Teknik Geologi ITB, Tidak
Dipublikasikan.

618 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Atmadja, R. S., Maury, R.C., Bellon, H.,


Pringgoprawiro, H., Polve, M., dan Priadi, B.,
1991, The Tertiary Magmatic Belts in Java,
Symposium on The Dynamics of Subduction
and Its Products, LIPI, Karangsambung.
Bothe, A.Ch.D., 1929. Djiwo Hills and Southern
Range. Fourth Pacific Science Congress
Excursion Guide, 14h.
Laksono, 2007, Geologi dan Petrogenesa Batuan
Vulkanik Formasi Kebo-Butak, Daerah
Trembono dan Sekitarnya, Skripsi S-1, UPN
Veteran Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan.
Pandita, H., 2008, Lingkungan Pengendapan
Formasi Sambipitu Berdasarkan Fosil Jejak di
Daerah Nglipar, JTM, Institut Teknologi
Bandung, Vol. XV, No. 2 hal 85-94. ISSN
0854-8528.
Pandita, H., Pambudi, S., dan Winarti, 2009,
Analisis Model Fasies Formasi Sentolo Dan
Formasi Wonosari Sebagai Identifikasi Awal
Dasar Cekungan Togyakarta, Laporan
Penelitian Hibah Bersaing Tahun II, STTNAS
Yogyakarta.
Prasetyadi, C, 2007, Evolusi Tektonik Paleogen
Jawa Bagian Timur, disertasi ITB, tidak
dipublikasikan.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi,
H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar
Yogyakarta,
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Sribudiyani, Muchsin, N., Ryacudu, R., Kunto, T.,
Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B., Asikin, S.,
Harsolumakso, A.H., dan Yulianto, I., 2003,
The Collision of The East Java Microplate
and Its Implication for Hydrocarbon
Occurences in The East Java Basin,
Proceedings, IPA, 29th Annual Convention &
Exhibition, Jakarta.
Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975. A contribution
to the stratigraphy of the Jiwo Hills and their
southern suroundings. Proceedings of 4th
Annual Convention of Indonesia Petroleum
Association, Jakarta, II, h.19-26.
Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi
Formasi Kebo dan Formasi Butak di
Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah
Bagian Selatan, Jurnal Geologi Indonesia,
Vol. 3 No. 4 Desember 2008: 183-193
Surono, Toha B., Sudarno I., dan Wiryosujono, S.,
1992, Peta Geologi Lembar Surakarta dan
Giritontro Jawa, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
van Bemmelen, R. W., (1949), The Geology of
Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing
Office, Nijhoff, The Hague, 732 p.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Prediksi Ancaman Bahaya Primer Letusan G. Merapi Ke Arah


Selatan Berdasarkan Karakteristik Abu Lapili Awan Panas
Erupsi 2010
Oleh:
Fadlin1, Joko Sungkono1, Hill. Gendoet Hartono1, Teguh Wage Prakoso2, dan Rasyid Verdianto2
1

Staf dosen Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta


Mahasiswa Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta
E-mail: fadhli_idrus@yahoo.com

Abstrak
Gunung api Merapi terletak di bagian utara wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, tepatnya masuk dalam Kabupaten Sleman. Gunung api Merapi terkenal karena tipe erupsinya
yang selalu diikuti oleh pembentukan awan panas atau wedhus gembel. Letusan tahun 2006 membongkar
kubah lava Geger Boyo, sehingga awan panas yang berasal dari runtuhnya kubah lava ke arah selatan
mengikuti bukaan ke lembah Kali Gendol, Sleman. Namun, letusan tahun 2010 merupakan letusan yang
berbeda yaitu letusan vertikal memperlebar bukaan ke arah selatan tenggara, sehingga awan panas yang
terbentuk berarah ke selatan mengikuti aliran Kali Gendol sejauh 15,43 km hingga mencapai dusun
Morangan, Argomulyo. Tujuan penulisan ini untuk memprediksi ancaman bahaya primer pasca letusan G.
Merapi 2010 dan menerapkan metode penelitian pemetaan geologi terhadap sebaran material berukuran abu
lapili, analisis laboratorium berupa petrografi dan granulometri. Hasil penelitian sementara di lapangan
memperlihatkan bentang alam lembah berupa aliran Kali Gendol dari bagian hulu di puncak G. Merapi
sampai di bagian hilir di daerah dusun Morangan. Dasar aliran Kali Gendol terisi oleh material lepas
berukuran abu hingga bongkah yang berukuran mencapai 5 m, berbentuk menyudut, fragmental dan bersifat
lepas. Hasil analisis petrografi menunjukkan material awan panas berkomposisi andesit andesit basal,
tekstur vitrik afanit, sedangkan analisis granulometri menunjukkan bahwa semakin mendekati sumber atau
kawah fragmen berdiameter lebih besar dibanding fragmen di bagian hilir berukuran abu lapili. Material
abu lapili terpetakan di dusun Morangan yang terletak lebih kurang 12 km dari puncak G. Merapi.
Sementara itu, ketebalan endapan awan panas di bagian hulu lebih tebal dibanding di bagian hilir. Hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar ancaman bahaya primer awan panas G. Merapi
mendatang menuju lembah di sepanjang aliran Kali Gendol sesuai dengan bukaan kawah berbentuk mirip
tapal kuda ke arah selatan tenggara.
Kata kunci: G. Merapi, awan panas, K. Gendol, letusan.

1.

Pendahuluan

Gunung api Merapi (+ 2.968 m dpl.)


terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Perilaku aktivitasnya
terkenal hingga manca negara, terlebih bagi warga
yang menempati di sekitar tubuh bagian
punggungnya, hingga bagian kakinya seperti kota
Yogyakarta. Kepadatan penduduk mulai tampak
karena ribuan penduduk telah nyaman tinggal
hingga beranak cucu di radius tidak aman bagian
tubuh G. Merapi. Mereka merasa aman hanya
dengan mengandalkan perasaan atau naluri yang
berkembang secara alamiah dan turun temurun.
Mereka akan turun gunung bilamana tubuh gunung
yang mereka tempati memberi isyarat alam akan
meletus. Aktivitasnya kadang atau sering memakan
korban baik dalam kondisi luka parah, cacat atau
bahkan meninggal, tidak terkecuali merusak karya
anak bangsa yang dikenal sebagai budaya. Di sisi
yang lain, bahan atau material yang dihasilkannya

membuat warga masyarakat giat mencari dan


meningkatkan pendapatan hidupnya, seperti
menggali pasir dan kerikil di sepanjang hilir Kali
Gendol, Kali Boyong, Kali Woro, dan warga yang
lain bertanam aneka sayuran dan padi karena
tanahnya menjadi subur setelah tertimbun material
abu G. Merapi.
Erupsi G. Merapi sebelum tahun 2006
umumnya mengarah ke area sisi bagian barat
hingga baratdaya yakni ke daerah Magelang,
Muntilan dan Purworejo, namun sebaliknya setelah
erupsi atau letusan G. Merapi tahun 2006 dan
terbongkarnya bukit Geger boyo, arah bukaan
mulut kawah mengarah ke arah selatan tenggara
(Gambar 1). Geger boyo dipercaya sebagai benteng
penahan alam untuk masyarakat yang mendiami sisi
selatan G. Merapi, termasuk keberadaan Kraton
Yogyakarta. Letusan G. Merapi tahun 2006, awan
panasnya mampu berjalan cepat hingga mencapai
jarak 7 km di sepanjang Kali Gendol, dan di sisi
lain awan panas tersebut memakan 2 orang korban

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 619

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

meninggal karena terpendam material abu panas


gunung api di dalam bunker area wisata Kaliadem.
Erupsi G. Merapi tahun 2010 terbukti tidak
kalah ganasnya dibandingkan dengan letusan 2006,
bahkan jauh lebih dahsyat karena jumlah kerugian
dan jumlah korban manusia jauh lebih banyak (
200 orang), dan pengungsi berjumlah 303.233
orang. Artinya letusan tahun 2010 secara
kegunungapian yaitu indek letusan gunung api lebih
tinggi atau lebih kuat energinya dan tentunya bahan
material yang dikeluarkannya juga lebih besar
jumlahnya. Erupsi tahun 2010 juga menghasilkan
awan panas yang mengalir cepat di sepanjang Kali
Gendol hingga mencapai bagian hilir pada
kilometer 12, dan melebar menghanguskan rumah
dan tumbuhan di kanan kiri bibir sungai yang
berpenduduk cukup padat. Pertanyaan yang selalu
muncul adalah bagaimana tingkat letusan G. Merapi
pasca erupsi tahun 2010? dan apakah material panas
gunung api bersama aliran awan panas mengikuti
bukaan kawah yang mengarah ke sisi selatan
menuju aliran hulu Kali Gendol?. Hal inilah yang
juga perlu mendapatkan perhatian, khususnya
pemetaan daerah jangkauan awan panas (wedhus
gembel) pasca erupsi 2010. Oleh sebab itu,
penelitian terhadap material awan panas tersebut
perlu digiatkan agar perilaku aktivitas G. Merapi
dapat dipahami lebih jelas, dan tentunya berujung
pada korban dan kerugian harta benda yang
ditimbulkan
dapat
diminimumkan.
Lokasi
penelitian di hulu Kali Gendol hilir di desa
Morangan (Gambar 2).

melakukan kunjungan lapangan di Kali Gendol,


pemetaan sebaran awan panas, pengukuran,
pemerian, dan pengambilan contoh abu lapili
gunung api untuk dianalisis lebih lanjut di
laboratorium. Analisis laboratorium ini meliputi
petrografi untuk mengetahui komposisi mineral
modal penyusun batuan gunung api, dan analisis
granulometri untuk mengetahui distribusi butir
awan panas terhadap jaraknya. Di samping itu,
dilakukan analisis terhadap data sekunder terpilih
yang terkait dengan letusan G. Merapi.

Gambar 2. Peta lokasi daerah penelitian di Kali Gendol,


Kepuharjo, Cangkringan, Sleman.

2.

Gambar 1. Morfologi puncak G. Merapi sebagai hasil


letusan 2006 dan 2010 yang membuka ke arah selatan
tenggara (Koleksi BPPTKG).

Makalah
ini
mempunyai
maksud
melakukan pemerian karakter material awan panas
erupsi G. Merapi tahun 2010 yang berukuran abu
lapili, dan bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman tentang perilaku erupsi G. Merapi
secara umum, khususnya untuk memprediksi
ancaman bahaya yang muncul pasca erupsi tahun
2010 berdasarkan arah luncuran, jarak jangkauan
material awan panas letusan G. Merapi. Metode
penelitian yang diterapkan adalah dengan
620 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Geologi Gunung Api Merapi

Kepulauan Indonesia dikenal sebagai


tempat perbenturan 3 lempeng kerak bumi yaitu
Lempeng Eurasia, Lempeng Samodera Pasifik dan
Lempeng Samudera Hindia-Australia yang
bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda
(le Pichon, 1968 dalam Sudrajat, 1997).
Perbenturan kerak bumi menghasilkan aktivitas
gunung api sebagai busur magma dan gunung api
mulai dari Sumatera Jawa Kepulauan Banda
hingga Maluku, dan zona kegempaan. Gunung api
Merapi yang terletak di wilayah administrasi
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Jawa Tengah ini merupakan gunung api teraktif
dengan periode erupsi 2 4 tahun sebagai hasil dari
perbenturan 3 lempeng tersebut.
Rahardjo, dkk., (1977) menyebutkan
bahwa daerah sepanjang Kali Gendol disusun oleh
endapan endapan G. Merapi Muda berupa
material piroklastika berukuran abu hingga

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

bongkah. Sebaran endapan piroklastika dan


epiklastika G. Merapi mencapai daerah sisi selatan
yang bersentuhan dengan Pegunungan Selatan yang
berumur jauh lebih tua (Gambar 3). Di pihak lain,
Wirakusumah (1989) membagi geologi Merapi
menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan
Merapi Tua, sedangkanBerthommier (1990) yang
mendasarkan pada studi stratigrafi menyatakan
bahwa, sejarah G. Merapi dapat dibagi atas 4
bagian yaitu: Pra Merapi ( 400.000 tahun lalu);
Merapi Tua (60.000 8.000 tahun lalu); Merapi
Pertengahan (8.000 2.000 tahun lalu) dan Merapi
Baru (2.000 tahun lalu sekarang), sedangkan studi
stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999)
menunjukkan bahwa G. Merapi pada masa lalu
telah mengalami beberapa letusan besar, dengan
indek letusan (VEI) sekitar 4 (tipe Plinian). Letusan
besar terakhir (500 tahun yang lalu) menghasilkan
tefra Selokopo. Sementara itu, erupsi eksplosif yang
lebih kecil teramati diperkirakan terjadi pada 250
tahun lalu yang menghasilkan tefra Pasarbubar.
Letusan G. Merapi yang tergolong besar pada abad
ke-20 adalah letusan tahun 1930/1931 dan tahun
1961. Menurut Newhall, ahli volkanologi dari
USGS, bahwa letusan besar terjadi rata rata sekali
dalam satu abad.
Pra Merapi menunjuk pada G. Bibi yang
terletak di lereng timur G. Merapi (+ 2050 m dpl.),
batuannya berkomposisi andesit basal dan
umumnya telah mengalami alterasi lanjut. Merapi
Tua merujuk pada fase awal pembentukan kerucut
Merapi, batuan lelehan awal berupa lava
berkomposisi basal yang membentuk G. Turgo dan
G. Plawangan (sekitar 40.000 tahun yang lalu).
Hasil kegiatannya yang lain berupa awan panas,
breksi, lahar dan lava berkomposisi andesit basal.
Merapi Pertengahan merujuk pada pembentukan
kawah Pasarbubar, selain aliran lava berkomposisi
andesit yang membangun lereng utara sebagai bukit
Batulawang dan Gajahmungkur. Pada periode ini
terjadi letusan eksplosif yang menghasilkan awan
panas ke arah barat yang meninggalkan morfologi
berbentuk bulan sabit atau tapal kuda berukuran
lebar 1 2 km dan panjangnya mencapai 7 km.
Merapi Baru merujuk pada pembentukan kerucut
puncak Merapi di dalam kawah Pasarbubar atau
dikenal sebagai Gunung Anyar. Letusan besar pada
periode ini sebaran materialnya mencapai jarak
23 km ke arah selatan hingga mengubur Candi
Sambisari maupun Candi Morangan, dan mungkin
Candi Prambanan (?).
Kegiatan erupsi G. Merapi tahun 2010
yang dilaporkan BPPTK sebagai berikut: karakter
letusan Merapi pada umumnya diawali oleh letusan
efusif disertai guguran lava. Dalam perjalanan
waktu, kubah lava yang ada di puncak akan
terdorong dan menyebabkan guguran lava yang
berskala besar disertai awan panas guguran.
Aktivitas letusan G. Merapi kali ini berubah.
Merapi meletus secara eksplosif dan membongkar

kubah lava penutup yang ada di puncak. Terjadinya


letusan ekpslosif diperkirakan karena tersedianya
energi yang besar untuk mendorong batuan
penutup. Letusan ekplosif yang pertama terjadi
pada 26 Oktober 2010 disertai awan panas yang
meluncur ke segala arah dan lontaran lava pijar.
Asap letusan berwarna kelabu tebal membumbung
ke udara setinggi 5.000 m di atas puncak. Arah
dominan luncuran awan panas ke sektor barat
barat daya dan sektor selatan.

Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian yang tercantum


pada sebagian peta geologi regional (Rahardjo, dkk.,
1977).

Pada 3 November 2010, pukul 11.11 wib.


terjadi letusan yang beruntun disertai awan panas.
Letusan ini berlangsung hingga pukul 13.19 wib.
Pukul 14.00 terjadi guguran lava dalam skala besar.
Peristiwa tersebut tidak dapat diamati karena cuaca
hujan. Pukul 14.04 wib. terjadi rangkaian letusan
disertai awan panas. Jarak luncur awan panas
diduga mencapai jarak 10.000 m. Melihat fenomena
ini, jarak daerah aman diperluas hingga radius 15
km yang semula hanya 10 km dari puncak. Pukul
14.44 wib. letusan susulan terjadi lagi disertai awan
panas.

3.

Dasar Teori

3.1. Awan Panas


Secara umum erupsi G. Merapi dikenal
secara luas sebagai Tipe Merapi yaitu terjadi karena
adanya kubah lava yang terletak di bibir kawah
runtuh dan meluncur menuruni lereng tubuhnya
yang sangat terjal dengan sangat cepat, bersuhu
tinggi (300 700oC) sehingga terbentuklah awan
panas atau dikenal oleh masyarakat setempat
(Sleman, Yogyakarta) dengan istilah wedhus
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 621

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

gembel. Istilah wedhus gembel diambil dikarenakan


awan panas tersebut menyerupai bulu domba yang
bergumpal gumpal berwarna putih bersih. Awan
panas (Nuee Ardante, Hot Cloud, Glowing
Avanlance,
Pyroclastic
Density
Current)
mempunyai sifat merusak dan mematikan pada
jalur atau zona yang dilaluinya. Sifat merusak inilah
yang harus selalu diwaspadai dan dipelajari untuk
antisipasi dan mitigasi bilamana terjadi erupsi yang
diikuti terjadinya awan panas.
Awan panas dibagi menjadi empat tipe
berdasarkan genesisnya yaitu awan panas Tipe
Merapi, awan panas Tipe Pelee, awan panas Tipe
Soufriere dan awan panas Tipe St. Helens (Gambar
4). (1) Tipe Merapi, tipe awan panasini terbentuk
karena longsor atau gugurnya kubah lava yang
bertumpu di dasar kawah dengan kemiringan terjal
( 45) (van Bemmelen, 1949), sehingga dikenal
sebagai awan panas longsoran atau awan panas
guguran. Kubah lava dapat longsor karena berbagai
faktor seperti dorongan magma dari dalam bumi;
terkena goncangan gempa tektonik; masuknya air
hujan kedalam rekahan rekahankubah lava yang
sangat panas, dan gaya beratnya sendiri. (2) Tipe
Pelee, tipe awan panas ini terjadi bilamana magma
mampu menerobos di antara batuan dinding dan
sumbat lava (McDonald, 1972). Kecepatan awan
panas yang terjadi pada Tipe Pelee ini dapat
mencapai kecepatan 160 km/jam (Fisher &
Schmincke, 1984). Awan panas ini biasanya
mengalir ke arah tertentu, tetapi dapat juga
menyebar ke segala arah tergantung arah dan
jumlah celah yang ada diantara batuan dinding dan
sumbat lava yang ada. (3) Tipe Soufriere, tipe awan
panas ini terjadi karena runtuhnya kolom erupsi
pada saat letusan gunung api secara tegak, sehingga
sering dikenal sebagai awan panas letusan.
Kecepatan awan panasnya dapat lebih dari 200
km/jam dan awan panas menyebar ke segala arah
mengikuti aliran sungai yang berpola radier di
lereng gunung apinya. Awan panas Tipe Soufriere
ini dikenalkan oleh McDonald, (1972), dan oleh
Fisher & Schmincke, (1984) sebagai awan panas
Tipe St. Vincent. (4) Tipe St. Helens, tipe ini terjadi
karena adanya longsoran sebagian tubuh gunung
api secara sektoral sebagai akibat tekanan magma
yang sangat kuat. Sebaran awan panas tipe ini
cukup terarah dan jarak luncurnya bisa mencapai 30
km.
Berdasarkan mekanisme pergerakan dan
ciri endapannya, awan panas dibagi menjadi awan
panas aliran dan awan panas hembusan. Awan
panas aliran dikenal sebagai piroklastika aliran atau
pyroclastic flow, block and ash flow, ignimbrite,
dan pumice flow. Endapan piroklastika ini
umumnya terkonsentrasi di lembah lembah sungai
atau mengikuti alur alur sungai, berupa endapan
masif, terpilah buruk, dan tidak mempunyai struktur
dalam. Sementara itu, awan panas hembusan
dikenal sebagai piroklastika hembusan atau

622 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

pyroclastic surge. Awan panas ini mempunyai


beberapa jenis yaitu ground surge, ash cloud surge,
dan base surge. Endapan piroklastika ini umumnya
berbutir abu (lempung pasir), mempunyai struktur
dalam berupa laminasi, silang siur bersudut landai,
dunes, pinch dan swell structures, chute dan pool.

Gambar 4. Berbagai tipe genesis awan panas, (A) Tipe


Merapi; (B) Tipe Pelee; (C) Tipe Soufriere, dan (D) Tipe
St. Helens (McDonald, 1972).

3.2. Material Awan Panas


Batuan gunung api adalah batuan yang
terbentuk sebagai hasil kegiatan gunung api yang
membatu secara in situ dan atau yang telah
mengalami perombakan atau pengerjaan ulang atau
deformasi. Kegiatan gunung api dapat bersifat
erupsi meleleh dan erupsi meletus yang mekanisme
berikutnya dapat diikuti terjadinya awan panas.
Material fragmental yang dihasilkannya berukuran
abu bongkah (Tabel 1), selain kandungan gas
gunung api yang sangat berbahaya. Abu gunung api
dapat berukuran halus (1/16 mm) dan kasar (1/16 2mm) yang disusun oleh massa berkomposisi gelas,
kristal dan lithik, dan bilamana membatu disebut
tuf, sedangkan yang berukuran lebih besar dikenal
sebagai batulapili (2 64 mm) dan aglomerat
bilamana disusun oleh bom (> 64 mm), serta breksi
piroklastika bila disusun oleh blok (> 64 mm).
Gambar 5 memperlihatkan berbagai bentuk dan
ukuran massa padat, pecahan lepas berupa rempah
gunung api.
Tabel 1. Klasifikasi material piroklastika berdasarkan
ukuran butir (Le Maitre et al, 1989).

Clast
Size
(mm)

Pyroclast

> 64

Block,
Bom

2
64
1/16
2
<
1/16

Lapiluss
Coarse
ash grain
Fine Ash
grain
(dust
grain)

Pyroclastic Deposit
Mainly
Mainly
consolidated;
unconsolidated;
pyroclastic
tephra
Rock
Agglomerate,
Agglomerate,
bed of block or
pyroclastic
bom, block
breccia
tephra
Layer, of bed
lapilli or lapilli Lapillistone
tephra
Coarse (ash)
Coarse ash
tuff
Fine Ash (dust)

Fine (ash) tuff


(dust tuff)

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 5. Berbagai bentuk dan ukuran material awan


panas atau piroklas hasil dari suatu letusan gunung api
(Comptom, 1985).

3.3. Granulometri
Granulometri dikenal sebagai analisis
ukuran butir yang menggunakan alat Mesh, dalam
makalah ini untuk mengetahui pola distribusi dari
material endapan piroklastika atau sebaran material
awan panasnya. Di samping itu, analisis ini
dilakukan untuk mendapatkan parameter
parameter seperti standar deviasi, skewness, dan
kurtosis (Folk dan Ward, 1957) yang bisa
digunakan untuk melihat pola distribusi tersebut.
Standar deviasi digunakan untuk mengetahui
koefisien, bagaimana sortasi material piroklastika,
dan skewness untuk menyatakan derajat
ketidaksimetrian suatu kurva, sedangkan kurtosis
menunjukkan harga perbandingan antara pemilahan
bagian tengah terhadap bagian tepi dari suatu kurva.

4.

Dari pengamatan geomorfologi, kondisi


puncak G. Merapi telah mengalami perubahan
(Gambar 6). Jika sebelumnya kawah membuka ke
arah barat, akibat erupsi tahun 2006 membuka ke
arah selatan - tenggara, karena puncak Geger Boyo
runtuh. Di sisi lain puncak G. Merapi masih
dipenuhi oleh tumpukan kubah lava. Sementara itu,
erupsi eksplosif G. Merapi tahun 2010 membentuk
kawah besar ( sekitar 600 meter) yang terbuka di
sisi selatan tenggaranya. Dasar kawah ini
berceruk di sana sini seiring tutupan kubah lava
yang tak menjangkau semua sudutnya.
Geomorfologi K. Gendol yang berhulu di
puncak G. Merapi melandai ke arah selatan
(Gambar 7) dan memiliki lembah sungai dengan
dinding sungai berupa tebing yang sangat terjal
lebih dari 70. Di daerah hulu, kedalaman K.
Gendol ini mencapai lebih dari 30 meter, sedangkan
semakin ke hilir semakin dangkal dengan
kedalaman berkisar antara 3 5 meter.
4.2. Petrografi
Untuk mengetahui persentase kehadiran
mineral pada batuan produk eruspsi G. Merapi
tahun 2010, dilakukan analisis petrografi terhadap
lava dan fragmen dari endapan awan panas yang
berada di K. Gendol (Gambar 8).

Data dan Hasil Analisis

4.1. Geomorfologi
Seperti kebanyakan gunung api komposit
lainnya, tubuh G. Merapi memiliki batas alas
kurang lebih 50 km dan ketinggian 2.968 m di atas
permukaan laut.
Untuk mengetahui arah aliran dan sebaran
dari awan panas, gemorfologi menjadi hal pertama
yang harus dipelajari karena arah aliran dan
sebaran awan panas selalu mengikuti bentang
alam yang dilewatinya. Geomorfologi yang diamati
di lokasi penelitian adalah geomorfologi dari
puncak G. Merapi dan morfologi K. Gendol yang
merupakan daerah yang paling banyak diisi oleh
material hasil erupsi G. Merapi tahun 2010.
Untuk mengetahui arah aliran dan sebaran
dari awan panas, gemorfologi menjadi hal pertama
yang harus dipelajari karena arah aliran dan sebaran
awan panas selalu mengikuti bentang alam yang
dilewatinya. Geomorfologi yang diamati di lokasi
penelitian adalah geomorfologi dari puncak G.
Merapi dan morfologi K. Gendol yang merupakan
daerah yang paling banyak diisi oleh material hasil
erupsi G. Merapi tahun 2010.

Gambar 6. Perubahan morfologi puncak G. Merapi. (A)


Keadaan puncak G. Merapi setelah erupsi tahun 2006,
(B) Keadaan puncak G. Merapi setelah erupsi tahun
2010. Angka menunjukkan lokasi kubah lava produk
tahap letusan tertentu (BPPTK, 2007; BPPTKG, 2013).

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 623

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Dari pengamatan sayatan tipis, lava yang


diambil di K. Gendol berwarna abu-abu agak cerah,
tekstur porfiroafanit, bentuk subhedral - anhedral,
terdiri dari mineral plagioklas, amfibol, opak, yang
tertanam dalam massa dasar berupa mineral
plagioklas, opak, dan gelas. Plagioklas memilki
persentase 51% dengan warna putih relief rendah
sampai sedang, indek bias n < nKb sampai n > nKb.
Kembaran Karlbad Albit (An34 An38), bentuk
mineral subhedral sampai anhedral. Ukuran pada
fenokris 0,12 mm 1,6 mm, pada massa dasar
berukuran 0,05 mm 0,06 mm. Sebagian telah
tampak struktur zoning sebagai tanda pembekuan
tidak sempurna bersamaan, dan plagioklasnya
sebagian besar telah terkorosi. Terlihat penjajaran
pada mineral plagioklasnya, membentuk struktur
aliran. Amfibol memiliki persentase 10 % dengan
warna coklat kecoklatan, relief sedang, indek bias
n > nKb, pleokroisme kuat, ukuran mineral 0,15
mm sampai 0,6 mm. Bentuk mineral subhedral.
Mineral opak memiliki persentase 6 % dengan
warna hitam/ kedap cahaya, relief sedang, bentuk
mineral subhedral sampai anhedral. Ukuran mineral
0,04 mm 0,3 mm. Gelas memiliki persentase 33
% dengan warna keputihan abu abu, relief rendah,
pada pengamatan dengan nikol silang menjadi
gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya
berubah menjadi ungu muda berkabut. Lava ini
memiliki nama andesite (Travis, 1965).

Gambar 7. Kondisi geomorfologi K. Gendol. Dari hulu


ke hilir, tebing sungai semakin landai dan kedalaman
sungai semakin berkurang. (A) Titik-titik Lokasi
Pengamatan geomorfologi Kali Gendol, (B) Lokasi
Pengamatan 1, (C) Lokasi Pengamatan 2, (D) Lokasi
Pengamatan 3.

Gambar 8. Mikrofoto sayatan tipis pada lava dan fragmen


endapan awan panas hasil erupsi G. Merapi tahun 2010
dalam pengamatan PPL. (A) Lava andesit G. Merapi
2010, (B) Fragmen endapan awan panas. Plg =
plagioklas, Amp = amfibol, Opk = opak.

624 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Pengamatan sayatan tipis terhadap


fragmen endapan awan panas yang juga diambil di
Kali Gendol dicirikan dengan warna abu - abu
keputihan, tekstur porfiroafanit. Ukuran fenokris
0,15 mm 1,7 mm, bentuk subhedral, terdiri dari
mineral plagioklas, hornblenda, dan opak yang
tertanam dalam massa dasar berupa mineral
plagioklas, opak, dan gelas. Plagioklas memiliki
persentase 48 % dengan warna putih, relief rendah
sampai sedang, indek bias n < nKb sampai n > nKb,
Kembaran Karlbad Albit (An30 An40), bentuk
mineral subhedral sampai anhedral, ukuran pada
fenokris 0,15 mm -0,3 mm, pada massa dasar
berukuran 0,05 mm 0,1 mm. Amfibol memiliki
persentase 24% dengan warna coklat kecoklatan,
relief sedang, indek bias n > nKb, pleokroisme
kuat, ukuran mineral 0,15 mm sampai 1,7 mm,
bentuk mineral subhedral. Mineral opak memiliki
persentase 1% dengan warna hitam/ kedap cahaya,
relief sedang, bentuk mineral subhedral sampai
anhedral, ukuran mineral 0,04 mm 0,2 mm.
Gelas memiliki persentase 27% dengan warna
keputihan abu abu, relief rendah, pada
pengamatan dengan nikol silang menjadi gelap, dan
dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi
ungu muda berkabut.
Di pihak lain, Preece, et al. (2013)
menyimpulkan bahwa lava G. Merapi tahun 2006
dan 2010 tidak terjadi perubahan komposisi mineral
yaitu tersusun oleh mineral amfibol dan plagioklas
tertanam dalam masa dasar berupa plagioklas, opak
dan gelas.
4.3. Geokimia
Borisova, et al. (2013) melakukan analisis
geokimia terhadap endapan piroklastika aliran hasil
erupsi merapi 2010 di Kali Gendol, sedangkan
Preece et al. (2013) melakukan analisis geokimia
terhadap skoria hasil erupsi G. Merapi tahun 2006.
Hasilnya berupa oksida utama SiO2 54,85 55,88
% berat dan K2O 2,13 2,02 % berat, berkomposisi
andesit basal yang berasal dari magma
berkomposisi kapur alkali. Di pihak lain, Kadarsetia
et al. (2010) menyatakan bahwa petrologi G.
Merapi dari tahun 1883 2010 tidak mengalami
perubahan komposisi yang berarti yaitu andesit
basal dari magma berkomposisi kapur alkali.
4.4. Granulometri
Analisis ini dilakukan terhadap material
awan panas yang berukuran bom-blok ( 64mm)
yaitu dengan cara mengukur besar butir dari 100
fragmen secara acak yang terdapat pada singkapan
pada LP12, LP7 dan LP2. Kemudian data
dikelompokkan berdasarkan range ukuran butirnya
dan dibuat kurva jumlah material yang terdapat
pada setiap range besar butirnya (Gambar 9)
sehingga bisa dilihat sebaran besar butir material
awan panas berukuran bom - blok.

Gambar 9. Kurva jumlah material awan panas berukuran


bom blok di tiga lokasi.

Grafik tersebut memperlihatkan adanya


perubahan distribusi material awan panas dari hulu
ke hilir. Semakin mendekati pusat erupsi, material
endapan awan panas yang ditemukan semakin
berukuran besar, sedangkan material endapan awan
panas yang menjauhi pusat erupsi semakin halus.
Hasil analisis granulometri terhadap
material endapan awan panas berukuran abu lapili
didapat parameter parameter berupa standar
deviasi, skewness, dan kurtosis yang bisa digunakan
untuk melihat pola distribusi endapan awan panas
tersebut. Lokasi sampel diwakili bagian atas, tengah
dan bawah dari Kali Gendol yaitu sampel
WP/2014/LP12/6,
WP/2014/LP7/5,
dan
WP/2014/LP2/2. Dari hasil ayakan analisis
granulometri dibuat tabulasi dan kurva frekuensi
dan kurva kumulatif (Gambar 10) dan menunjukkan
distribusi besar butir seperti Tabel 2.

Gambar 10. Hasil analisis granulometri material awan


panas G. Merapi 2010 berukuran abu lapili. Kiri: kurva
frakuensi, kanan: kurva frekuensi kumulatif.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 625

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Keterangan
Sortasi buruk, lebih
condong kearah
butiran Halus, dan
frekuensi distribusi
datar
Sortasi buruk,
lebih condong
kearah butiran
Halus Frekuensi
distribusi sangat
datar

Sortasi sedang, lebih


condong kearah
butiran berukuran
kasar dan rekuensi
distribusi normal.

Klasi fikasi
Poorly Sorted,
Negative Skewed,
Platy kurtic
Poorly Sorted,
Negative Skewed,
Very Platy kurtic

Moderated Sorted,
Positively skewed,
Mesokurtic

Kurtosis
0,652
0,770

0,93

Skewness
-0,166
-0,168

0,258

Standar Deviasi
1,252
1,695

0,803

WP/2014/LP7/5
WP/2014/LP2/2

WP/2014/LP12/6

No. Sampel

Tabel 2. Hasil perhitungan dan klasifikasi parameter


besar butir.

Limpahan material awan panas bervariasi


tergantung ukuran butirnya, terlihat di bagian hulu
ada yang melebar jauh bilamana lembah penuh,
kemudian menyempit pada lembah yang masih
terjal. Di Kali Gendol, awan panas menyebar luas
di sekitar dataran banjir Kali Gendol dan
punggungan-punggungan bukit di sekitarnya hingga
mencapai/ melibas perumahan penduduk yang
beradius lebih kurang 1 km dari Kali Gendol.
Hembusan awan panas ke arah selatan berakhir di
Dusun Morangan (Candi Morangan), Desa
Argomulyo Kecamatan Cangkringan dengan
mengendapkan material berukuran abu.

Hasil analisis granulometri pada material


yang berukuran abu lapilli menunjukkan pola
distribusi normal, artinya semakin mendekati pusat
erupsi ukuran besar butir lebih kasar, sedangkan
semakin menjauhi pusat erupsi semakin menghalus.
4.5. Sebaran Awan Panas
Berdasarkan deliniasi citra dan pemetaan
di lapangan, sebaran material awan panas hasil
erupsi G. Merapi tahun 2010 mengalir ke arah
selatan mengikuti Kali Gendol (N170E) seperti
yang ditunjukkan oleh peta sebaran awan panas
(Gambar 11). Endapan awan panas G. Merapi
dibagi menjadi dua yaitu endapan bongkah abu
vulkanik terdiri dari pencampuran material abu,
lapilli dan bongkah dan endapan abu vulkanik yang
terdiri dari awan panas berbutir halus.
Material hasil erupsi G. Merapi tahun 2010
sangat banyak (jutaan kubik?), dinding yang sangat
tinggi dan terjal mencapai 80o di lembah Kali
Gendol, dan kemungkinan adanya gaya gravitasi
yang membuatnya terkonsentrasi pada lembah dari
Kali Gendol tersebut dan melaju jauh ke arah hilir
sampai material berukuran bongkah habis dan
tersisa material yang berukuran halus saja.

626 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Gambar 11. Peta sebaran awan panas erupsi G. Merapi


2010 di Kali Gendol.

5.

Pembahasan

Letusan besar G. Merapi menjadi hal yang


mengagetkan bagi penduduk yang bertempat
tinggal di sekitar G. Merapi dan bagi para ahli
gunung api di seluruh dunia. Banyak hal baru yang
ditunjukkan oleh G. Merapi saat erupsi tahun 2010
bahkan setelah erupsi 2010 terjadi.
Berdasarkan data lapangan dan hasil
analisis laboratorium setidaknya memberikan
pemahaman terhadap perilaku kegiatan G. Merapi
tahun 2010 yaitu tipe letusan, bentuk kawah
bukaannya dan material piroklas berbagai ukuran.
Artinya letusan tersebut

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

berbeda dengan tipe letusan tahun tahun


sebelumnya. Erupsi tahun 2010 memperlihatkan
tipe letusan vertikal/ kolom ( 4 km) dan
menghasilkan banyak material pijar berbagai
ukuran atau dikenal sebagai piroklastika. Letusan
tipe Merapi sebelumnya dihasilkan dari runtuhnya/
guguran kubah lava yang menyumbat kawah di
puncak G. Merapi dan arah sebaran awan panasnya
mengarah sektoral relatif ke arah barat selatan
atau ke arah daerah Magelang, Muntilan dan
Kulonprogo, sedangkan erupsi 2010 arah sebaran
piroklasnya menyebar di sekeliling kawah dan
sektoral relatif ke arah selatan tenggara atau ke
arah wilayah Sleman dan Prambanan setelah
tameng Gegerboyo terbongkar. Material letusan
vertikalnya menyebar melingkar meliputi Salatiga,
Boyolali, Semarang, Purworejo, Gunungkidul, dan
Klaten. Oleh sebab itu, dampak yang ditimbulkan
jauh lebih luas karena daerah cakupan yang terlanda
bahaya primer dan sekunder hingga puluhan
kilometer, dan selebihnya karya warga masyarakat
hancur, bahkan ratusan jiwa manusia meninggal. Di
samping hal itu, terjadi perubahan peta rawan
bencana Merapi yaitu sebelumnya bersifat sektoral
ke suatu arah tertentu, sekarang berubah menjadi
berbentuk melingkar untuk daerah rawan bencana
1, 2 dan 3 dalam radius puluhan kilometer.
Hasil analisis geomorfologi menunjukkan
adanya perubahan arah bukaan dan bentuk kawah di
bagian puncak G. Merapi. Diameter kawah
mencapai ratusan meter sebagai hasil kegiatan
letusan vertikal dan menggambarkan bahwa letusan
2010 lebih kuat dibanding sebelumnya. Pemahaman
ini membawa kita atau instansi penanggulangan
bencana terkait untuk memetakan daerah bencana
G. Merapi ke arah selatan tenggara khususnya di
sepanjang Kali Gendol dan Kalo Woro atau Kota
Yogyakarta pada umumnya. Hal ini terkait dengan
penanggulangan bencana Merapi ke depannya,
termasuk di dalamnya program sosialisasi, simulasi,
pendanaan,
evakuasi
warga
masyarakat,
pembangunan infrastruktur dll. oleh pemerintah
yang kemungkinan kena dampaknya.
Di sisi lain, semburan atau terjangan awan
panas tidak hanya berupa dampak temperatur yang
tinggi tetapi juga material pijar yang terbawa dalam
olakan bergulung gulung (wedhus gembel)
berbagai ukuran. Secara topografi tampak melandai
relatif ke arah selatan dan material piroklas
berukuran besar terkonsentrasi di daerah dekat
puncak seperti yang tergambar dalam grafik jumlah
material dan dalam grafik frekuensi kumulatifnya.
Hal ini menunjukkan bahwa energi pembawa
piroklas berkurang normal
sejalan
dengan
menjauhnya massa awan panas dari pusat kawah G.
Merapi. Pemikiran tersebut sejalan dengan
pendapat Bronto (1996) bahwa sebaran endapan
awan panas yang terdiri dari material campuran abu
sampai bongkah gunung api sangat dipengaruhi
oleh banyaknya material tersebut, gravitasi, dan

morfologi daerah yang dilewatinya, sedangkan


endapan awan panas berbutir halus lebih dikontrol
oleh energi hembusan, ekspansi gas dan arah serta
kekuatan angin saat terjadi letusan.
Analisis petrografi menunjukkan lava
2010 dan pecahannya berkomposisi andesit basal,
sementara itu lava 2006 juga berkomposisi andesit
basal. Hasil analisis batuan produk erupsi 2010 oleh
Borisova, et al. (2013) dan Preece et al. (2013) juga
menunjukkan komposisi yang sama dan
menyebutkan kedua batuan tersebut berafinitas
kapur alkali. Lebih jauh lagi, Kadarsetia et al.
(2010) menyatakan bahwa sejak abad 18 komposisi
magma Merapi tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Artinya, perilaku erupsi G. Merapi
relatif sama dan tidak meningkat indek letusannya
(VIE < 3) dalam waktu yang cukup lama. Hal ini
juga tercermin dari kandungan SiO2 berkisar antara
53 56 % berat dan mineral yang terbentuk berupa
amfibol dan plagioklas berkomposisi menengah.
Indek letusan gunung api sedikitnya
berhubungan dengan komposisi magma dan waktu
istirahatnya, namun di sisi lain berpengaruh pada
jarak luncur awan panas, dan secara khusus
mempengaruhi aspek sosial ekonomi budaya
terhadap pemerintah daerah yang terkena bencana.
Jarak luncur terjauh akibat letusan 2010 mencapai
15,43 km yaitu di daerah cagar budaya Candi
Morangan. Bagaimana dengan letusan pasca 2010?
Pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab, namun
berdasarkan pemahaman perilaku erupsi G. Merapi
dan berbagai aspek geologi gunung api yang
menyertainya menunjukkan bahwa bencana letusan
G. Merapi tetap terjadi dengan waktu selang dari 1
7 tahun, jarak luncur awan panas tidak melebihi
20 km bilamana tidak ada perubahan komposisi
magma secara signifikan atau jauh lebih asam. Arah
luncuran jelas mengarah ke selatan tenggara
sesuai dengan arah bukaan kawah sebagai hasil
letusan 2010. Untuk itu, diharapkan masyarakat
yang masih tinggal di daerah rawan bencana dan
daerah di sekitar aliran Kali Gendol lebih waspada
dan atau menjalani relokasi ke daerah yang jauh
lebih aman. Hal ini mengingat material letusan
2010 sangat melimpah, jarak luncur awan panas
mencapai 15 km, kerugian material besar, dan
menelan korban manusia sangat banyak.

6.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di muka, maka dapat


diambil kesimpulan terkait dengan prediksi
ancaman bahaya letusan G. Merapi pada waktu
mendatang adalah kegiatan erupsi G. Merapi tetap
berlangsung dengan waktu selang 1 7 tahun;
indek letusan gunung api tidak melebihi angka 3
karena komposisi magma relatif sama (andesit
basal) dalam kurun waktu yang sangat lama; jarak
luncur awan panas tidak melebihi 20 km dari
puncak G. Merapi, tercermin dari hasil pemetaan
sebaran awan panasnya, dan arah luncuran atau

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 627

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

sebaran awan panas mengarah ke selatan tenggara


mengikuti arah bukaan kawah.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pimpinan DIKTI yang telah mendanai penulis
melakukan riset dosen pemula 2014 dan
penggunaan data untuk publikasi makalah ini.
Ucapan terima kasih ditujukan pula kepada Ketua
STTNAS dan Ketua Jurusan Teknik Geologi yang
telah mengijinkan peneliti melakukan penelitian
bersama mahasiswa.

Daftar Pustaka
Andreastuti, S.D., 1999, Stratigraphy and
Geochemistry of Merapi Volcano, Central
Java, Indonesia: Implication for Assessment
of Volcanic Hazards, Unpublished thesis
(PhD--Geology)--University of Auckland.
Berthommier, P.C., 1990, Etude volcanologique du
Merapi (Centre - Java) Tephrostratigraphi
eetchronologie-mecanismes
eruptifs.
Unpublished thesis, University of Blaise
Pascal, Clermont-Ferrand.
Borisova, A.Y., Martel, C., Gouy, S., Pratomo, I.,
Sumarti, S., Toutain, J., Bindeman, I.N.,
Parseval, P., Metaxian, J.P., Surono, 2013,
Highly explosive 2010 Merapi eruption:
Evidence
for
shallow-level
crustal
assimilation and hybrid fluid, Journal of
Volcanology and Geothermal Research 261
(2013) 193208.
Bronto, S., Sayudi, D.S., dan Hartono, G., 1996,
Variasi Luncuran Awan Panas Gunung Api
Merapi dan Bahayanya, Proseed. 25th Ann.
Conv. IAGI, Bandung, pp.266-267.
Comptom, R.R., 1985, Geology in the field, John
Wiley & Sons, 398p.
Fisher, R.V. & Schmincke, H.M., 1984, Pyroclastic
Rocks, Springer-Verlag, Berlin, 472 hal.
Folk R.L. & Ward W.C., 1957, Brazos river bar : a
study of significance of grain size
parameters,
Journal
of
Sedimentary
Petrolology. 27 : 3-26
Kadarsetia, E., Hirabayashi, J., Ohba, T. Nogami,
K. 2010,
The behaviour of fluorine,
chlorine, and sulphur in the magma of
Merapi Vulcano Central Java Indonesia.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi,
Vol. 1 No. 3 Desember 2010: 183 - 198
Le Maitre, R.W, Bateman, P., Dudek, A., Keller, J.,
1989, Classification of igneous rocks and
glossary of terms: Recommendations of the
international union of geological sciences
subcommision on the systematic of igneous
rock, Blackwell scientific pub. Oxford.
MacDonald, A.G., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall,
Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, p.510.

628 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Preece, K., Barclay, J., Gertiser, R., dan Herd, R.A.,


2013, Textural and micro-petrological in the
eruptive products of the 2006 domesforming eruption of Merapi volcano,
Indonesia: Implication of sub-surface
processes, JVGR, 261, 98-120.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, H. M.
D., 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Jawa, skala 1 : 100.000, Direktorat Geologi,
Bandung.
Sudradjat, A., 1997, Aplikasi Ilmu Pengetahuan
Kegunungapian
Dalam
Eksplorasi
Sumberdaya Mineral di Indonesia, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam ilmu
vulkanologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran,
Bandung, 44 p.
van Bemmelen, 1949, The geological of Indonesia,
vol. 1A, Martinus Nijhoff, the Hague, 732h.
Williams and Mac Birney, 1979, Volcanology,
Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 397
p.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Analisis Fasies Pengendapan


Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan Daerah Joho, Sale,
Rembang, Jawa Tengah
Deka Maulana 1, Winarti 2, Setyo Pambudi 3
Mahasiswa, Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 1
dk.maulana@hotmail.com
Dosen, Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 2, 3

Abstrak
Penelitian ini dilakukan di kali Gempol yang secara geografis terletak di daerah Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah. Secara
fisiografi Jawa, daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan cekungan retroarch. Stratigrafi
regional menunjukkan lokasi penelitian terletak pada Formasi Ledok yang merupakan bagian dari cekungan Jawa Timur
bagian Utara. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir glaukonit
karbonatan dan tujuannya untuk mengetahui lingkungan pengendapan purba pada satuan batupasir glaukonit karbonatan.
Metode yang digunakan adalah metode analisis profil sepanjang lintasan Kali Gempol daerah Joho, analisis petrografi,
mikrofosil, dan paleocurrent. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka satuan batupasir glaukonit karbonatan tersusun oleh
perulangan batupasir glaukonit karbonatan pada bagian bawah dan kalkarenit pada bagian atas yang membentuk struktur
mega cross bedding. Hasil analisis petrografi menunjukkan adanya penurunan kadar mineral glaukonit menuju bagian atas
dari satuan batuan. Hasil analisis mikrofosil menunjukkan satuan batuan ini terendapkan di lingkungan neritik tengah pada
kedalaman 60-100 meter dan terendapkan pada kala Miosen Akhir (N16-N17). Pola suksesi dari ukuran butir secara vertikal
mempunyai pola penghalusan keatas (fining upward). Fasies lingkungan pengendapan termasuk pada lingkungan laut
dangkal khususnya pada sub-lingkungan upper shoreface dengan tinggian purba berada pada sebelah tenggara daerah
penelitian.
Kata Kunci : mega crossbedding, fasies, glaukonit, ledok, shoreface.

1.

Pendahuluan

Daerah penelitian secara administratif daerah


penelitian termasuk dalam Kecamatan Sale,
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah
(Gambar 1) ataupun secara fisiografi termasuk
dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang
pada umumnya telah banyak diteliti dan dipelajari
oleh beberapa ilmuwan kebumian.

: lokasi penelitian
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian

menutup kemungkinan peneliti yang lain untuk


melakukan kajian dan pemahaman tentang geologi
Zona Rembang secara menyuluruh. Banyak aspek
baik dari segi stratigrafi, tektonik, sedimentasi,
perkembangan cekungan, maupun sistem minyak
bumi yang masih harus dikaji lagi seiring dengan
perkembangan ilmu ilmu geologi kebumian. Secara
stratigrafi Zona Rembang daerah penelitian terdapat
pada Formasi Ledok. Kehadiran mineral glaukonit
yang melimpah pada Formasi Ledok menandakan
bahwa Formasi Ledok terendapkan di lingkungan
laut.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir
glaukonit karbonatan dan tujuannya untuk
mengetahui lingkungan pengendapan purba pada
satuan batupasir glaukonit karbonatan.

Penelitian geologi pada zona ini pada


kebanyakan untuk kepentingan ilmiah dan
eksplorasi minyak dan gas bumi dimana zona ini
dikenal oleh ilmuwan geologi sebagai cekungan
Jawa Timur bagian utara. Banyaknya penelitian di
Cekungan Jawa Timur bagian utara ini tidak

2.

Metode

Metode yang digunakan pada penelitian ini


merupakan metode
analisis profil sepanjang
lintasan Kali Gempol daerah Joho. Selain itu
penulis juga menggunakan analisis mikrofosil,
petrografi, dan paleocurrent untuk mendukung dari
data yang dihasilkan pada analisis profil. Analisis
profil
digunakan
untuk
menginterpretasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 629

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

lingkungan pengendapan purba pada daerah


penelitian khususnya pada satuan batupasir
glaukonit karbonatan dengan pendekatan terhadap
ciri profil sedimentasi beach-shelf mud menurut
Reineck & Singh (1980), analisis mikrofosil untuk
mengetahui lingkungan pengendapan berdasarkan
bathimetri dan umur batuan, sedangkan analisis
petrografi
digunakan
untuk
mengetahui
perkembangan presentase mineral glaukonit
sepanjang profil lintasan.

meter. Secara stratigrafi lokasi penelitian tersusun


oleh satuan batupasir glaukonit karbonatan yang
tersususun oleh dominasi batupasir glaukonit
karbonatan dan kalkarenit yang membentuk
struktur mega cross bedding. Struktur geologi yang
teramati pada sekitar daerah penelitan yaitu
antiklin, sinklin, sesar naik yang berorientasi relatif
E-W, sesar mendatar sinistral yang berorientasi
relatif NE-SW, sesar mendatar dextral yang
berorientasi relative NW-SE, dan sesar normal yang
berorientasi N-S.

3. Geologi
Secara fisiografi Jawa Tengah Jawa Timur
menurut van Bemmelen (1949) lokasi penelitian
terletak pada fisiografi Zona Rembang (Gambar 2).
Zona Rembang terdiri dari pegunungan lipatan
Antiklinorium yang memanjang ke arah barat-timur
dari Purwodadi, Blora, Jatirogo, Tuban, sampai
dengan Pulau Madura.

Tabel 1. Stratigrafi Regional Zona Rembang menurut


Pringgoprawiro (1983)

: lokasi penelitian
Gambar 2. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen,
1949, dalam Hartono, 2010)

Secara geologi regional dan stratigrafi


regional daerah penelitian terdapat pada Peta
Geologi Regional lembar Jatirogo (Situmorang,
Smit, dan van Vessem , 1992) yang merupakan
bagian dari Formasi Ledok. Formasi Ledok meurut
peneliti-peneliti terdahulu dikenal sebagai Ledok
Beds (Van Bemmelen, 1949). Formasi ini terususun
oleh perulangan antara napal pasiran, kalkarenit
dengan napal dan batupasir (Pringgoprawiro, 1983)
(Tabel 1).
Rembang secara struktural dikenal sebagai
zona sesar RMKS (Pertamina-Robertson Research,
1986, dalam Prasetyadi 2007). Dickinson (1974,
dalam Pringgoprawiro, 1983) menggolongkan
Mandala Rembang kedalam cekungan retroarch
Jawa bagian timur atau Zona Rembang berdasarkan
pola struktur utamanya merupakan daerah yang
unik karena wilayah ini merupakan tempat
perpotongan dua struktur utama, yakni antara
struktur arah Meratus yang berarah timurlutbaratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah
timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani
dkk., 2003 dalam Prasetyadi 2007) (Gambar 3).
Kondisi geologi daerah peneltian secara
gemorfologi terdapat pada satuan geomorfologi
bergelombang
lemah
denudasional
dengan
kemiringan lereng 7,3 % dan beda tinggi 20,67
630 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

: Lokasi penelitian
Gambar 3. Peta pola struktur Jawa menurut Sribudiyani,
dkk (2003, dalam Prasetyadi, 2007)

4. Fasies beach-shelf mud


Fasies adalah tubuh batuan dengan sifat yang
khas dalam batuan sedimen ditentukan berdasarkan
warna, perlapisan, tekstur, fosil, dan struktur
sedimen (Reading, 1978). Selley (1976)
menyebutkan bahwa interpretasi suatu lingkungan
sedimentasi (sedimentary environment) dan
paleogeografi (paleogeography) didasarkan pada

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Reineck & Singh, 1980) lingkungan ini


memperlihatkan perubahan morfologi dan
sedimentasi selama periode musim panas dan
musim dingin. Struktur sedimen berupa paralel
laminasi, small ripple laminasi, through cross
bedding tercermin pada lingkungan ini.
Material sedimen berukuran fine sand (Howard
& Reineck (1972, dalam Reineck & Singh,
1980)).

aspek geometri, litologi, fosil, struktur sedimen,


dan arus purba (paleocurrent).
Selley (1976) menyatakan bahwa glaukonit
merupakan suatu mineral kompleks yang
berhubungan dengan mineral lempung dan mika.
Mineral glaukonit terbentuk hanya dari authigenic
mineral selama proses diagenesis awal di
lingkungan sedimentasi laut (Tabel 2).
Tabel 2. Kehadiran mineral glaukonit dan karbon
terhadap lingkungan terbentuknya (Selley,
1976)

2.

Foreshore
Lingkungan ini dibatasi pada zone
intertidal, yang selalu ditandai oleh perubahan
slope yang tajam (Walker, 1984). Struktur
sedimen berupa laminasi dengan dip 2-5.
Material sedimen pada lingkungan ini
berukuran fine - medium sand (Howard &
Reineck (1972, dalam Reineck & Singh,
1980)).

3.

Shoreface
Lingkungan
ini
dipengaruhi
oleh
modifikasi ekstrim akibat proses-proses strom
generated waves (Walker, 1984).

Suatu
pemahaman
mengenai
fasies
pengendapan dan paleogeografi bahwa suatu tubuh
batuan sedimen merupakan hasil proses tertentu
pada lingkungan tertentu yang dicerminkan oleh
sifat-sifat tertentu (Gambar 4).

3.1. Upper Shoreface


Lingkungan ini berkisar pada
kedalaman 0-300 meter. Pada umumnya
terbentuk struktur sedimen tipe perlapisan,
antara
lain
small-ripple
bedding,
megaripple bedding, planar cross bedding.
Bioturbasi lemah dengan material sedimen
berukuran medium sandy fine sand
(Reineck & Singh, 1980).
3.2. Middle Shoreface
Lingkungan ini pada kedalaman di
bawah 300-600 meter dimana ripple hanya
terlihat di bagian atas. Struktur laminasi
dari batupasir yang umum dijumpai pada
lingkungan ini dengan bioturbasi bersifat
menengah (Reineck & Singh, 1980).

Gambar 4. Pola sedimen dari profil beach-shelf mud


(Reineck dan Singh, 1980)

Berdasarkan Reineck & Singh (1980) fasies


beach-shelf mud terbagi menjadi beberapa
lingkungan, yaitu :
1.

Backshore - dunes
Lingkungan ini dicirikan oleh prosesproses pengendapan subaerial yang diadakan
oleh angin. Menurut Wunderlich (1971, dalam

3.3. Lower Shoreface


Lingkungan ini berkisar pada
kedalaman
700-1000
meter.
Pada
lingkungan ini bioturbasi kuat seiring
dengan peningkatan kedalaman air.
Material sedimen didominasi ukuran butir
fine sand (Reineck & Singh, 1980).
4. Transition Zone
Pada lingkungan ini bioturbasi sangat
kuat dengan perlapisan anorganik yang
memperlihatkan jejak fosil bukan dari
bioturbasi.
Material
sedimen
pada lingkungan ini silty fine sand fine
sandy silt (Reineck dan Singh, 1980).
5.

Shelf Mud

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 631

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Pada lingkungan ini bioturbasi masih


kuat dengan material sedimen di dominasi oleh
mud (Reineck, 1971, dalam Reineck & Singh,
1980).

Gambar 5. Peta indeks lokasi daerah penelitian (Maulana, 2014)

5....Hasil dan Pembahasan


Lokasi penelitian terletak pada kali Gempol,
Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah (Gambar 5).
Gambaran analisis profil dan lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian dapat dilihat
pada (Hasil seutuhnya dari profil satuan batupasir
glaukonit karbonatan terlampir pada lampiran 1).
Berdasarkan analisis profil serta pengukuran
stratigrafi terukur. Suksesi dari pola susunan
pengendapan secara vertikal dari litologi, struktur
sedimen, dan ukuran butir maka satuan batupasir
glaukonit karbonatan berdasarkan karakteristik
fasies yang khas dari suatu sistem pengendapan
daerah pantai sampai paparan laut dangkal menurut
Reineck & Singh (1980) terbagi menjadi 2 fasies
pengendapan.
Fasies pengendapan 1 terdiri dari perulangan
batupasir glaukonit karbonatan dengan sisipan
kalkarenit dengan ketebalan 10-25 cm yang
membentuk struktur sedimen mega cross bedding
(Gambar 6). Batupasir glaukonit karbonatan secara
megaskopis menunjukkan ciri ciri berwarna lapuk
berwarna lapuk coklat kehijauan, warna segar abuabu kebiruan, kompak, tekstur klastik dengan
ukuran butir pasir sedang-kasar, sortasi baik,
tekstur permukaan kasar, kemas tertutup, porositas
primer, permeable, bereaksi dengan HCl, sedikit
bioturbasi.
Komposisi
batupasir
glaukonit
karbonatan ini berupa glaukonit, lithik, karbonat,
dan mineral-mineral berukuran pasir, semen
mineral karbonat. Secara mikroskopis pada sample
PTG|LF|38 (bagian bawah satuan)

632 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

memperlihatkan warna putih kecoklatan pada nikol


sejajar dan kehitaman pada nikol silang,
klastik, ukuran butir 0,03 0,3 mm, membulat
tanggung hingga menyudut, tersusun dari kuarsa
(12%), feldspar (18%), lithik (25%), glaukonit
(13%), fosil (5%), mineral opak (4%), mineral
lempung (8%), dan lumpur karbonat (15%) dengan
nama petrografis calcareous glauconite lithic
arenite (Klasifikasi Petiijohn, 1975, modifikasi).
Pada sample PTG|LF|38.2 (bagian tengah satuan)
memperlihatkan warna putih kecoklatan, pada nikol
sejajar dan kehitaman pada nikol silang, klastik,
ukuran butir 0,03 0,2 mm, membulat tanggung
hingga menyudut, tersusun dari kuarsa (15%),
feldspar (18%), fragmen batuan (22%), glaukonit
(11%), fosil (3%), mineral opak (1%), mineral
lempung (10%), dan lumpur karbonat (20%)
dengan nama petrografis calcareous glauconite
lithic arenite (Klasifikasi Petiijohn, 1975,
modifikasi).

Gambar 6. Kenampakan struktur sedimen mega cross


bedding dalam singkapan batupasir
glaukonit karbonatan (Lensa menghadap ke
arah SE). (Foto diambil di daerah

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gembyangindah), koordinat 06 51' 33 LS


dan 111 36' 51 BT

Berdasarkan penarikan kesebandingan yang


dilakukan antara fasies pengendapan 1 dengan
beach-shelf mud (Reineck & Singh, 1980)
berdasarkan persamaan litologi, struktur sedimen,
ukuran butir, serta semua aspek geologi yang ada.
Fasies pengendapan ini terendapkan pada
lingkungan upper shorface (Reineck & Singh,
1980).
Fasies pengendapan 2 terdiri dari perulangan
kalkarenit sisipan batupasir glaukonit karbonatan
dengan ketebalan 10-30 cm yang membentuk
struktur sedimen mega cross bedding (Gambar 7).
Kalkarenit secara megaskopis menunjukkan ciri
ciri berwarna lapuk coklat kekuningan, warna segar
putih kekuningan , kompak, tekstur klastik dengan
ukuran butir pasir sedang, sortasi sedang, kemas
tertutup, impermeable, bereaksi dengan HCl,
sedikit bioturbasi. Komposisi kalkarenit ini berupa
mineral-mineral karbonat. Secara mikroskopis pada
sample
PTG|LF|37
(bagian
atas
satuan)
memperlihatkan warna kecoklatan pada nikol
sejajar dan abu-abu gelap pada nikol silang, klastik,
ukuran material penyusun 0,1 0,25 mm,
membulat-menyudut tanggung, tersusun dari fosil
(82%), Lumpur karbonat (10%), dan semen (5%),
dan glaukonit (3%) dengan nama petrografis
grainstone (Dunham, 1962, dalam Pettijohn, 1975).

Gambar 7. Kenampakan struktur sedimen mega cross


bedding dalam singkapan kalkarenit (Lensa
menghadap ke arah selatan) (Foto diambil di
daerah Anjangsana), koordinat 06 51' 40
LS dan 111 35' 42 BT

Berdasarkan penarikan kesebandingan yang


dilakukan antara fasies pengendapan 2 dengan
beach-shelf mud (Reineck & Singh, 1980)
berdasarkan persamaan litologi, struktur sedimen,
ukuran butir, serta semua aspek geologi yang ada.
Fasies pengendapan ini terendapkan pada
lingkungan upper shorface (Reineck & Singh,
1980).
Lingkungan pengendapan purba yang telah
diindentifikasi berdasarkan ciri-ciri di atas bahwa
fasies pengendapan 1 dan 2 terendapkan pada
lingkungan laut dangkal khususnya pada sublingkungan upper shoreface (Reineck & Singh,
1980). Hal tersebut didukung oleh hasil analisis
foraminifera benthos pada sample MFS|LF|38,

MFS|LF|2, MFS|LF|37 yang didasarkan pada


Tipsword, Setzer, Smith (1966) menunjukkan
bahwa satuan ini terendapkan pada lingkungan
neritik tengah dengan kedalaman 60-100 meter
dengan
dijumpainya
Bolivinitella
eleyi
CUSHMAN, Elphidiella artica PARKER &
JONES, Elphidium sp., Amphistegina sp., Cibicides
lobatulus WALKER & JACOB, Amphistegina
hauerina
DORBIGNY,
1846,
Robulus
nayaroensis, Nodosaria affinis LAMARCK, 1812.
Pada fasies pengendapan 1 dan 2 terjadi pola
penghalusan
keatas
(fining
upward)
mengindikasikan bahwa cekungan mengalami
pendalaman dengan suplai sedimen berkurang yang
mengakibatkan terjadinya fase transgresi. Pada
analisis
petrografi
(sample
PTG|LF|38,
PTG|LF|38.2, PTG|LF|37) menunjukkan adanya
penurunan kadar mineral glaukonit menuju pada
bagian atas dari satuan batuan ini (mencerminkan
bahwa lingkungan laut semakin keatas senakin
kaya akan kandungan O2 (semakin berkurangnya
kondisi reduksi)) yang menunjukkan bahwa
semakin ke atas menuju ke lingkungan laut terbuka.
Berdasarkan analisis foraminifera plangtonik
pada
sampel
MFS|LF|38,
MFS|LF|38a,
MFS|LF|38b, MFS|LF|2, MFS|LF|37, yang
didasarkan pada zonasi Blow (1969) pada bentukan
lobes yang berbeda menunjukkan bahwa mega
cross bedding yang terbentuk pada satuan ini
mempunyai kisaran waktu yang sama dalam proses
pembentukannya yaitu kala Miosen Akhir (N16N17)
dengan
dijumpainya
Globigerina
parabulloides BLOW, 1959, Globigerinoides
trilobus REUSS, 1850, Globigerinoides immaturus
LEROY,
1939,
Globigerinodes
ruber
DORBIGNY, 1939, Hastigerina aequilateralis
BRADY, 1989, Orbulina universa DORBIGNY,
1939, Globorotalia acostaensis BLOW, 1959,
Globorotalia
pseudomiocenica
BOLLI
&
BERMUDEZ , 1965, Globorotalia lenguaensis
BOLLI, 1957, Globorotalia occlusa BLOW &
BANNER, 1962, Globorotalia merotumida BLOW
& BANNER, 1965, Globorotalia menardii
DORBIGNY, 1826.
Hasil pengukuran arah arus purba yang
menunjukkan arah NW merefleksikan adanya
suplai sedimen (provenance) yang berasal dari SE
daerah penelitian yang melalui channel-channel
laut dangkal.

6.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis secara analisis


profil, petrografi, mikrofosil, dan paleocurrent pada
fasies satuan batupasir glaukonit karbonatan dapat
menjawab tujuan dari penelitian ini, maka
disimpulkan bahwa satuan batupasir glaukonit
karbonatan terendapkan pada sub-lingkungan upper
shoreface dengan tinggian purba yang berada di
sebelah tenggara daerah penelitian.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 633

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Ucapan Terima Kasih


Penulis menucapkan terima kasih kepada
Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta.

Daftar Pustaka
Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent
Planktonic Foraminifera Biostratigraphy,
International Conference Planktonic Micro
fossil, First Edition, Genewa, Proc. Leiden E.J.
Bull. Vol I.
Cushman, J.A. 1950, Foraminifera, Harvard
University Press, Cambridge.
Hartono, G. 2010, Peran Vuklanisme dalam Tataan
Produk Batuan Gunung Api Tersier di Gunung
Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah.
Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran.
Bandung, Unpublished.
Maulana, 2014, Geologi dan Analisis Fasies
Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit
Karbonatan Ledok Daerah Lodan dan
Sekitarnya, Kecamatan Sarang, Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Tugas Akhir
Sarjana. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional.
Yogyakarta. Unpublished.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks : Thrid
Edition, Happer & Row Publisher, New York.
Postuma, J.A., 1971, Manual Of Planktonic
Foraminifera, Royal Dutch/Shell Group, The
Haque, The Netherlands, Elsevier Publishing
Company Amsterdam, London, New York
Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Paleogen
Jawa Bagian timur, Disertasi Doktor, Institut
Teknologi Bandung. 323 hal, tidak diterbitkan.
Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan
Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara
Suatu Pendekatan Baru, Disertasi Doktor,
Institut Teknologi Bandung, 239 hal, tidak
diterbitkan.
Reading, H.G., 1978, Sedimentary Environment
and Facies. Blackwell Scientific Publications.
New York.
Reineck, H.E., Singh, I. B., 1980, Depositional
Sedimentary Environments, Springer-Verlag
Berlin, New York.
Selley, R.C. 1976, Ancient Sedimentary
Environments, Champan & Hall, London.
Situmorang, R. L, Smit, R. & Van Vessem, E.
J.,1992, Peta Geologi Regional, Lembar
Jatirogo, Jawa, Skala 1: 100.000, Direktorat
Geologi Bandung.
Tipsword, H.I., Setzer, F.M., Smith, Jr. F.L., 1966.
Introduction of Depositional Environtment in
Gulf Coast petroleum Exploration from
Paleontology and Related Stratigraphy,
Houston.
Tucker, M. E., Wright, V. P., Dickson, J. A. D.,
1996, Carbonate Sedimentology, Blackwell
Scientific Publications, London.

634 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Van Bemmelen, R. W., 1979, The Geology of


Indonesia Vol 1A-IB. General Geology, The
Hague Martinus Nijhoff, Netherlands.
Walker, R.G. 1984, Facies Model. Geoscience,
Canada.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 1. Analisis profil satuan batupasir glaukonit karbonatan

Pemodelan Fasies Beach

Shelf Mud (Reineck & Singh 1980)

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 635

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

(Lanjutan
lampiran 1)

636 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

d l

F i

Sh lf M d (R i

k & Si

h 1980)

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

SEISMIK SPEKTRA RESPONS TAPAK BANGKA


Bansyah Kironi, Basuki Wibowo, Kurnia Anzhar, Imam Hamzah
email: bansyah@batan.go.id

Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir, BATAN


Jl. Kuningan Barat, Jakarta 12710
Telp/Fax: 021 5204243,

Abstrak
SEISMIK SPEKTRA RESPONS TAPAK BANGKA. Berdasarkan data kegempaan sekunder hasil survei
tapak PLTN Bangka aspek kegempaan tahun 2012 telah dilakukan konstruksi spektra respons tipikal tapak
PLTN Bangka. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan analisis spektra respons seismik pada tapak PLTN
Bangka yang secara langsung dapat mempengaruhi desain keselamatan seismik fasilitas PLTN yang akan
dibangun. Metodologi yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder kegempaan Bangka, yaitu data
pga/peak ground acceleration (SL-1 sebesar 0,012 g dan SL-2 sebesar 0,300 g), selanjutnya dilakukan
konstruksi spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka berdasarkan standar SNI-1726-2012 untuk fasilitas
nuklir dan fasilitas non nuklir. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai desain basis keselamatan
kegempaan untuk fasilitas terkait non nuklir pada kisaran 0,015 g, sedangkan untuk fasilitas terkait nuklir
pada kisaran 0,360 g. Jika menggunakan standar yang sama (SNI-1726, 2012) berbasis data sekunder yang
dikeluarkan Pusbang PU tahun 2010, diperoleh desain basis keselamatan fasilitas non nuklir pada kisaran
0,001 g, dan 0,120 g untuk basis keselamatan terkait nuklir. Adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh
perbedaan tingkat kerapatan data dan perbedaan wilayah probabilistik antara data seismik Pusbang PU
dengan data seismik BATAN 2012.
Kata Kunci: spektra respons, basis desain keselamatan seismik, level seismik

Abstract
RESPONSES SPECTRA STUDIES OF BANGKA NPP SITE. Based on seismic data of NPP
site survey in Bangka Island in 2012, typical responses spectra of Bangka site has been
constructed. This study objective are to construct typical responses spectra of Bangka site and to
analyses the effect of the spectra on seismic safety design of NPP. Methodology of this study
comprises of seismicity data collection of Bangka, i.e. peak ground acceleration (SL-1 of 0,012g
and SL-2 of 0,3g) and construction of typical responses spectra of Bangka site based on SNI-17262012 for nuclear and non nuclear facilities. The study shows that the value for seismicity safety
design bases for non nuclear facility is about 0,015g; while nuclear facility is 0,360g. The same
methodology is used using data of Pusbang PU of 2010, the value for non nuclear facility is
0,001g; while for nuclear facility 0,120g. The difference on the value is due to the difference in the
number of data and probabilistic regions.
Keywords: seismic spectra responses, seismic safety design based, seismic level

1.

Pendahuluan

Kegiatan pengkajian kelayakan tapak


Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah
dilakukan di Pulau Bangka selama tahun 2011
sampai dengan 2013. Salah satu aspek yang dikaji
adalah aspek kegempaan untuk mendukung faktor
keselamatan. Dalam kajian aspek kegempaan salah
satu yang dibahas adalah spektra respons. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai konstruksi
spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka,
berdasarkan data sekunder kegempaan hasil survei
tapak PLTN Bangka tahun 2012. Tujuan dari kajian
ini adalah melakukan analisis spektra respons
seismik pada tapak PLTN Bangka yang secara
langsung dapat mempengaruhi desain keselamatan
seismik fasilitas PLTN yang akan dibangun.
Metodologi yang digunakan adalah pengumpulan
data sekunder kegempaan Bangka, yaitu data
percepatan tanah maksimum / peak ground
acceleration (SL-1 sebesar 0,012 g dan SL-2
sebesar 0,300 g), selanjutnya dilakukan konstruksi

spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka


berdasarkan standar SNI-1726-2012 untuk fasilitas
nuklir dan fasilitas non nuklir. Hasil yang diperoleh
akan digunakan sebagai nilai desain basis
keselamatan kegempaan untuk fasilitas terkait non
nuklir pada kisaran SL-1, dan fasilitas terkait nuklir
pada kisaran SL-2. Pada tulisan ini juga dilakukan
perhitungan SL-1 dan SL-2 dengan standar yang
sama (SNI-1726, 2012) berbasis data sekunder
yang dikeluarkan Pusbang PU tahun 2010, dan
hasilnya akan dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh berdasarkan basis data survei tapak
Bangka 2012. Adanya perbedaan tersebut akan
dilihat apakah terkait dengan adanya perbedaan
tingkat kerapatan data dan perbedaan wilayah
probabilistik atau tidak.

2.

Landasan Teori

Kegempaan terjadi bila ada tegangan yang


berlebih pada satuan massa batuan, sehingga
terbentuk sesar permukaan baru, atau terjadi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 637

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

pemobilisasian sesar yang ada. Sesar permukaan


dapat bergeser secara lateral (strike/slip fault seperti
pada sesar San Andreas, Amerika Serikat), maupun
secara vertikal (reverse/thrust fault), atau
kombinasi dari keduanya[1].
Sesar yang
melepaskan energi gelombang kejut seismik akan
mempunyai dua karakeristik utama: (1)amplitudo
yang merupakan ketinggian gelombang puncak,
dan (2)perioda yang merupakan interval waktu
antara dua puncak gelombang. Datangnya
gelombang gempa pada tapak akan menyebabkan
munculnya percepatan pergerakan tanah. Tingkat
intensitas dari percepatan pergerakan tanah sangat
ditentukan oleh 3 faktor: jarak terhadap sumber
gempa (disebut juga fokus atau episenter), jumlah
energi yang dilepaskan yang sebanding dengan
tingkat magnitudo gempa tersebut, dan jenis lapisan
tanah atau batuan tapak.
Percepatan pergerakan tanah pada lokasi
tertentu, seperti tapak PLTN, akan sangat
bergantung pada sumber kegempaan, magnitudo,
jarak terhadap sumber gempa, dan tingkat atenuasi
yang bergantung karakteristik tanah atau batuan
tapak. Fasilitas PLTN secara umum akan merespon
peristiwa kegempaan bergantung pada struktur
nasing-masing, sistem, dan komponen beresonansi,
atau vibrasi, sehingga menyebabkan terjadinya
pergerakan tanah. Untuk struktur yang lebih masif
akan beresonansi pada frekuensi rendah (periode
tinggi), sedangkan untuk komponen yang lebih
ringan akan beresonansi pada frekuensi yang lebih
tinggi (periode pendek). Setiap peristiwa
kegempaan akan menghasilkan spektra pergerakan
tanah yang besarnya bergantung pada frekuensi dan
nilai pga-nya. Spektra seismik penting untuk
fasilitas PLTN adalah terkait dengan desain
percepatan spektra pada frekuensi antara 5 Hz dan
10 Hz[1]. Beberapa negara tertentu termasuk
Indonesia telah memiliki konsep desain spektra
respons respons berdasarkan peristiwa kegempaan
masa lalu. Pada makalah ini dibahas spektra
respons tipikal berdasarkan SNI-1726, 2012 yang
disesuaikan dengan keperluan standar fasilitas
nuklir PLTN pada periode ulang 5000 tahunan.
Standar spektrum horisontal untuk keperluan
spektra respons tipikal mengikuti formula sebagai
berikut:
Tabel 1. Koefisien Koreksi Tapak Fa

638 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

T
S H (T ) S S ( 2) 0,4untuk 0 T T0 ;
TS
BS

S
S H (T ) S untukT0 T TS ;
BS
S H (T )

S1
untukTS T
B1T
(1)

TSV

0,67

TS
FV

(2)
Sedangkan untuk spektrum vertikal didefinisikan
sebagai berikut:

Sv (T ) FvSH (T ) forT TSV ; dan0,67

S1
untukTSV T
B1T

(3)
Dimana SH = spektra horisontal,
SV = spektra vertikal,
T = waktu,
B1 dan Bs = koefisien koreksi damping,
Fa dan Fv = koefisien koreksi kegempaan
sesuai kondisi tanah tapak.
Nilai dari parameter spektra respons
sangat terkait dengan kondisi tanah atau batuan
tapak tersebut, sehingga spektra respons tipikal
tapak akan mencerminkan karakteristik tapak. Efek
tapak pada spektra respon tipikal dinyatakan dalam
koefisien Fa dan Fv. Koefisien tapak Fa dan Fv dapat
dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Informasi
bahaya seismik pada spektra respons tipikal dibuat
berdasarkan struktur damping (atenuasi) 5%. Jika
nilai spektra untuk rasio damping yang lain
diperlukan, maka koefisien koreksi Bs dan B1 dapak
dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya spektra respons
vertikal tipikal ditentukan berdasarkan jarak sumber
ke tapak melalui koefisien yang diberikan pada
Tabel 4.

Tabel 2. Koefisien Koreksi Tapak Fv

638

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Tabel 3. Koefisien Koreksi Damping (Atenuasi) Bs


dan B1

3.

Metodologi
a)

Langkah pertama dalam pembuatan


spektra respons tipikal adalah penentuan
kelas batuan atau tanah tapak berdasarkan
data kecepatan gelombang geser serta
kelas seismik wilayah tapak (Tabel 1.
sampai dengan Tabel 4.).
b) Langkah selanjutnya adalah pendefinisian
periode ulang grafik spektra respons (100
tahunan dan 10000 tahunan). Untuk kasus
periode ulang 100 tahunan, dapat
diperoleh dari tingkat probabilitas 50%
dan periode ulang 50 tahunan; sedangkan
untuk periode ulang 10000 tahunan
diperoleh dari tingkat probabilitas 0,5 %
dan periode ulang 50 tahunan;
c) Langkah berikutnya adalah pembuatan
spektra seismik tipikal tapak Bangka
berdasarkan SNI 1726-2012 untuk domain
waktu (Gambar 1.) dan domain frekuensi.

Tabel 4. Koefisien Koversi Fv

probabilistik (Tabel 5.) dan parameter spektra


respons (Tabel 6.) sebagai berikut:
Table 5. Data Pga Probabilistik Tapak PLTN Bangka[4]

No.
1.
2.

RP
(tahun)
10.000
100

PGA (g)
0,3
0,012

Table 6. Data Pga Probabilistik Tapak PLTN Bangka[5]

No.
1.
2.

RP
(tahun)
10.000
100

PGA
(g)
0,1
0,004

4.2 Spektra Respons Tapak PLTN Bangka


Berdasarkan data Tabel 5, diperoleh grafik
spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka
(Gambar 2., Gambar 3., dan Gambar 4.). Gambar 2.
adalah grafik spektra respons domain waktu,
sedangkan Gambar 3. adalah spektra respon domain
frekuensi berbasis data sekunder laporan Survei
Tapak PLTN Bangka aspek seismik[4]. Selanjutnya
Gambar 4. adalah grafik spektra respons domain
waktu berdasarkan peta kegempaan nasional[5].

Gambar 1. Spektra Respon Seismik[3]


Gambar 2. Spektra Respons Tapak PLTN Bangka
Domain Waktu

4.

Data, Hasil dan Diskusi

4.1 Data Kasus Tapak PLTN Bangka


Berdasarkan data sekunder laporan Survei Tapak
PLTN Bangka aspek seismik, diperoleh data pga

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 639

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Tabel 8. Parameter desain basis keselamatan


seismik berbagai negara

Negara

Anggota
IAEA
Umumnya
Jepang

Gambar 3. Spektra Respons Tapak PLTN


Bangka Domain Frekuensi

Gambar 4. Spektra Respon Tapak PLTN Bangka


Berdasarkan Peta Pga Nasional[5]

4.3 Diskusi
Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat
diketahui parameter basis keselamatan seismik SL1 sebesar 0,015 dan SL-2 sebesar 0,36. Jika
dibandingkan dengan spektra respons yang dihitung
berdasarkan peta pga SNI (Gambar 4.), diperoleh
nilai spektra pga 0,12g untuk tanah keras.
Perbedaan hasil spektra respons tersebut di atas
disebabkan oleh adanya perbedaan skenario model
tektonik. Model tektonik yang digunakan pada
suvei tapak PLTN Bangka 2012 adalah model
tektonik mikrozonasi-difusi. Sedangkan model
tektonik yang digunakan pada peta pga SNI 2012
adalah model tektonik subduksi-intraplate.
Jika hanya dipertimbangkan hasil dari
spektra respons berdasarkan survei tapak PLTN
Bangka 2012, maka nilai desain basis keselamatan
seismik yang digunakan adalah SL-1 0,015g
sebagai basis keselamatan fasilitas non nuklir, serta
SL-2 0,36g sebagai basis keselamatan fasilitas
terkait
nuklir.
Sedangkan
jika
hanya
dipertimbangkan hasil dari spektra respons
berdasarkan peta pga nasional 2012, maka nilai
desain basis keselamatan seismik yang digunakan
adalah SL-1 0,01g sebagai basis keselamatan
fasilitas non nuklir, serta SL-2 0,12g sebagai basis
keselamatan fasilitas terkait nuklir. Beberapa
Negara sudah menerapkan konsep desain
keselamatan seismik pada fasilitas nuklir mereka
sebagaimana terlihat pada Tabel 8. sebagai berikut:

640 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

5.

Basis
Keselamatan
Non Nuklir
SL-1

Basis
Keselamatan
Nuklir
SL-2

Frekuensi
(Hz)
1-10

SL-1

2 x SL-2

1-10

Kesimpulan

Spektra respons seismik yang didasarkan


pada SNI-1726 untuk tapak PLTN Bangka telah
memberikan informasi yang lengkap terkait dengan
respons pga pada tapak berdasarkan domain waktu
dan frekuensi. Frekuensi gempa yang dominan pada
fasilitas nuklir berada pada 1Hz sampai dengan
10Hz (periode 0,1 detik sampai dengan 10 detik).
Nilai spektra Pga untuk SL-1 dan SL-2 berdasarkan
survei tapak PLTN Bangka aspek seismik 2012
adalah 0,36g untuk SL-2 dan 0,015g untuk SL-1.
Sedangkan jika menggunakan data sekunder peta
pga SNI-1726, 2012 diperoleh nilai spektra Pga
0,12g untuk SL-2 dan 0,01g untuk SL-1. Perbedaan
yang diperlihatkan pada hasil tersebut lebih
disebabkan oleh perbedaan konsep model tektonik
dan wilayah probabilitas. Konsep model tektonik
yang digunakan pada survei tapak PLTN Bangka
aspek seismik adalah model difusi dengan wilayah
probabilitas 10-3 dan 10-7.

Daftar Pustaka
[1]
[2]

[3]
[4]
[5]

US-NRC, R.G 1.60, Responses Spectra


Standards for Nuclear Facilities, 1980
CHANDLER et al, Modern Concept of
Responses Spectra, Journal of Structure
and Building, Vol.146, 2001
SNI-1726, Standar Respon Spektra, BSN,
2010
BATAN, Final Report on Bangka NPP Site
Evaluation Related Seismic Aspect, 2012
PUSLITBANG PU, Perangkat Lunak
Berbasis
Web Respon Spektra Indonesia, 2011

640

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Paleokarst Sebagai Petunjuk Gejala Perubahan Paleobatimetri


Kasus Bagian Bawah Anggota Klitik Sungai Kedawung
Kabupaten Sragen Jawa Tengah
Taslim Maulana1 , Ganjar Asandi Putra Pratama1 dan Srijono2
Mahasiswa di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada1
Taslimaulana28@gmail.com
Dosen di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada2
Abstrak
Pada sungai Kedawung tersingkap batuan dari Formasi Kalibeng yang memiliki litologi napal dan Formasi
Klitik yang memiliki litologi batugamping. Pada sungai ini terdapat kontak antara napal dengan
batugamping dan pada batugamping sendiri terdapat kenampakan karsifikasi yang merupakan paleokarst.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan paleobatimetri antara bagian bawah dari
batugamping dan bagian atas dari batugamping yang ditandai dengan karstifikasi pada batugamping.
Metode yang digunakan adalah mengambil data lapangan serta menganalisa sampel untuk mengetahui
umur maupun lingkungan pengendapan. Untuk menganalisa sampel sendiri dilakukan dengan analisa
paleontologi menggunakan foraminifera untuk mengetahui umur dan lingkungan pengendapan serta
menggunakan analisa petrografi untuk mengetahui genesa dari sampel. Dari analisa sampel didapat hasil
terdapat perubahan paleobatimetri antara sampel di bawah batugamping yang memiliki lingkungan bathial
dan memiliki umur N19 dengan sampel di atas batugamping terendapkan pada lingkungan neritik pada
umur N19-N20. hasil analisa petrografi dari batugamping menunjukan bahwa batugamping termasuk fasies
grainstone yang terendapkan pada lingkungan fore reef.
Kata penting : paleokarst, paleobatimetri, karstifikasi, foraminifera, grainstone

1.

Pendahuluan

Karst adalah suatu istilah yang digunakan


untuk mendeskripsikan bentang lahan yang terdiri
dari goa dan sistem air bawah tanah yang luas, yang
berkembang pada batuan yang mudah larut seperti
batugamping, marmer dan gypsum ( Ford and
William, 2007).
Bentang alam karst dapat terbentuk jika
batuan yang mudah larut (batugamping, marmer
dan gipsum) terekspose atau tersingkap ke
permukaan dan terkena proses darat seperti kontak
dengan air meteorik maupun air permukaan.
Paleokarst adalah bentang alam karst yang
tertimbun atau terkubur oleh batuan yang
terkonsolidasi kemudian dan batuan penutupnya
dapat dari berbagai jenis mulai dari batuan sedimen
( klastik maupun non klastik) maupun extrusive
lava dan tuff ( Ford and William, 2007)
Tekstur kekasaran atau ketidak rataan hasil
karsifikasi pada bentang alam karst sangat
dipengaruhi oleh seberapa lama batuan yang mudah

larut tersebut tersingkap. Karst dengan ketebalan


10-100 meter membutuhkan waktu pembentukan
selama jutaan tahun.
Paleobatimetri sendiri adalah istilah yang
digunakan utuk menunjukkan kedalaman laut purba
yang
biasanya
menunjukan
lingkungan
pengendapan dari suatu batuan.
Paleokarst dapat dijadikan penanda dari
perubahan paleobatimetri, hal ini disebabkan dalam
pembentukan karst sendiri memiliki syarat ekspos
ke permukaan, dengan tersingkapnya ke permukaan
menyebabkan pengendapan berhenti dan terjadi
jeda pengendapan maka batuan yang terendapkan
selanjutnya akan memiliki kedalaman yang berbeda
dalam pengendapannya.
Daerah penelitian sendiri berada pada Sungai
Kedawung Desa Kedawung Kecamatan Mondokan
Kabupaten Sragen Jawa Tengah, secara regional
sendiri wilayah penilitian termasuk ke dalam zona
kendeng merupakan batas antara Formasi Kalibeng
dengan Formasi Batugamping Klitik.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 641

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 1: Kolom Stratigrafi Zona Kendeng

legenda

(Pringgoprawiro,1982 dengan modifikasi)

Gambar 2: Peta geologi regional skala 1:100.000,


lembar salatiga oleh Sukardi dan T.Budhitrisna

Sampel 1

Sampel
petrografi

Sampel 2

Gambar 3: Lokasi pengambilan sampel petrografi dan paleontologi

642 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk


menunjukkan
paleokarst
sebagai
penanda
perubahan
paleobatimetri
antara
batupasir
karbonatan yang berada pada bagian bawah dari
batugamping dengan batupasir karbonatan yang
berada pada bagian atas dari batugamping.

2.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah


studi pustaka dan pengambilan sampel lapangan.
Pengambilan sampel ini bertujuan untuk
mengetahui batimetri dan umur yang berada pada
bagian atas dan bagian bawah dari batugamping.
Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah pengambilan sampel di lapangan dan studi
pustaka.
Sampel yang diambil terdiri dari 2 sampel
paleontologi dan 1 sampel petrografi. Sampel
paleontologi diambil pada bagian bawah
batugamping yang merupakan sampel 1 dan pada
bagian atas dari batugamping yang merupakan
sampel 2. Lalu sampel petrografi yaitu
batugamping yang menunjukan kenampakan
paleokarst.
Metode yang digunakan dalam menganalisa
sampel adalah mencari kandungan fosil yang
dimiliki oleh sampel yang lalu dicari umur fosil
tersebut menggunakan zonasi standar yang dibuat
oleh Bolli (1985), sedangkan untuk mengetahui
lingkungan pengendapan menggunakan buku yang
dibuat oleh Wynn (1994). Untuk analisa petrografi
menggunakan klasifikasi dari Dunham (1962)

3.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil


sampel di sungai Kedawung yang berorientasi barat
laut tenggara dengan litologi penyusun batupasir
karbonatan berwarna coklat dan batugamping
grainstone.
Dari pengambilan sampel paleontologi pada
batupasir karbonatan, ditemukan fosil foraminifera
yang melimpah dengan tingkat pengawetan yang
baik hingga menengah, formanifera ini terdiri dari
foraminifera plangtonik dan bentonik.
Pada sampel 1 yaitu bagian bawah dari
batugamping
ditemukan
beberapa
jenis
foraminifera planktonik, diantaranya Orbulina
universe, Globorotalia miocenica, Globorotalia
umida tumida, Globorotalia pleistotumida,
Globorotalia exililis,. Dan Globorotaloa menardii
B terdiri dari beberapa foraminifera bentonik yaitu
Cyclamina cancelata dan Dentalina subsoluta.
(lihat tabel 1 dan 2)
Pada sampel 2 yaitu dibagian atas dari
batugamping didapati foraminifera planktonik yaitu
Orbulina universe, Globorotalia tumida tumida,
Globorotalia miocenica, Globoquadrina altispira,
Globigerinoides trilobus, dan Sphaerodinella
subdehisenc. serta terdiri dari foraminifera bentonik
berupa Adelosina intricata, Operculinella cumingii,
Stilostomella fistuca dan Amphistegina lessonii
sensu. (lihat tabel 3 dan 4)
Berdasarkan sayatan petrografi didapatkan
hasil bahwa batugamping pada daerah ini termasuk
fasies grainstone dengan kandungan fosil dan
skeletal yang berukuran kurang dari 2 mm dan
grain supported.
Dari data foraminifera planktonik dan
bentonik dapat dibuat zonasi seperti di bawah ini

Tabel 1 : zonasi sampel 1 planktonik


N
o
1
2
3
4
5
6

Nama Spesies

N16

N17

N18

N19

N20

N21

N22

N23

Orbulina Universe
Globorotalia Miocenica
Globorotalia Exililis
Globorotalia Menardi B
Globorotalia Tumida Tumida
Globorotalia pleistotumida

Tabel 2 : zonasi sampel 1 Bentonik


No
1
2

Nama Spesies
Dentalina Subsoluta
Cyclamina Cancelata

Transisi

Neritik

Bathial

Abysal

Hadal

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 643

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Tabel 3 : zonasi sampel 2 planktonik


No
1
2
3
4
5
6

Nama Spesies
Orbulina Universe
Globorotalia Miocenica
Globorotalia Altispira
Globigerinoides Trilobus
Globorotalia Tumida Tumida
Sphaerodinella Subdehisenc

N16

N17

N18

N19

N20

N21

N22

N23

Tabel 4 : zonasi sampel 2 bentonik


No
1
2
3
4

Nama Spesies
Stilostomella Fistuca
Operculinella
Complanata
Adelosina Intricata
Amphistegina Lessonii
sensu

Transisi

c
d

Skala : 1 medan pandang = 4 mm


Gambar 4 : sayatan petrografi batugamping (PPL)

Dari data sampel diatas bahwa diketahui


bahwa sampel nomor 1 yang berada pada bagian
bawah dari batugamping menunjukan umur N19
yang merupakan Awal Pliosen. Sedangkan pada
sampel 2 menunjukan umur N19-N20.
Sedangkan pada zonasi foraminifera bentonik
dapat dilihat pada sampel 1 menunjukan lingkungan
yang bathial sedangkan pada sampel nomor 2
menunjukan lingkungan yang neritik.
Dari data di atas dapat kita interpretasikan
bahwa dalam rentang lokasi yang sekitar 20 cm
terdapat perbedaan dari kandungan fossil yang

644 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Neritik

Bathial

Abysal

Hadal

menunjukan
adanya perbedaan
lingkungan
pengendapannya. Hal ini sendiri menunjukkan
keterdapatan perubahan dari paleobatimetri antara
pada bagian bawah dari batugamping dan bagian
atas dari batugamping, hal ini juga ditunjukkan
dengan adanya kenampakan paleokarst pada
batugamping.
Proses dinamika sedimentasi dari batuan yang
ada di daerah penelitian adalah sebagai berikut
Jadi pada awalnya diendapkan batupasir
karbonatan warna coklat pada lingkungan bathial
pada kisaran 630 fm atau 1134 meter pada umur N
19. Pada pengendapan ini sendri materialnya
merupakan campuran antara material asal darat
dengan material karbonat, hal ini dapat dilihat dari
terdapatnya material silisiklastik.(lihat gambar 5)
Lalu
setelah
batupasir
karbonatan
terendapkan terjadi penurunan muka air laut secara
cukup drastis menyebabkan lingkungan yang
awalnya laut dalam menjadi laut dangkal, hal ini
menyebabkan material karbonatan menjadi banyak
terakumulasi dan dapat membentuk batugamping
(lihat gambar 6)
Dari sayatan petrografi didapat fasies dari
batugamping adalah grainstone, hal ini menunjukan
lingkungan pengendapan berada pada lingkungan
berenergi yang tinggi, hal ini terlihat dari hubungan
antarbutirnya dimana pada batugamping ini
hubungan antarbutirnya adalah grain supported,
menunjukan kandungan mud yang sedikit akibat
disapu oleh energi oleh gelombang air laut yang
tinggi.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 4 : lingkungan pengendapan batugamping


(james & bourque(1962), dalam slide kuliah prinsip
stratigrafi)

Lalu jika dilihat oleh gambar diatas dapat


dilihat tempat pembentukan dari grainstone bisa
pada back reef maupun fore reef, namun jika kita
melihat lingkungan pengendapan dari batuan
sebelumnya yang pada bathial maka grainstone ini
terendapkan pada fore reef.( lihat gambar 4)
lalu stelah batugamping terendapkan terjadi
penyingkapan dari batugamping yang dapat
disebabkan oleh turunnya muka air laut sehingga
batugamping tersingkap ke permukaan menjadi
daratan.
Menjadi
daratannya
batugamping
ini
mengakibatkan batugamping juga mengalami
proses darat termasuk terkena air meteorik maupun
air permukaan, batugamping sendiri merupakan
batuan yang sangat mudah terlarutkan, jadi akibat
terkena air permukaan batugamping ini mengalami
proses karsifikasi, dan hal ini yang menyebabkan
terbentuknya bentukan karst pada batugamping.
Akibat dengan adanya penyingkapan dari
batugamping
ke
permukaan
meyebabkan
terhentinya pengendapan di atas batugamping
sehingga terjadi jeda pengendapan selama
batugamping tersingkap.(lihat gambar 7)

Lalu setelah bentang lahan karst terbentuk,


terjadi penaikan muka air laut atau transgresi,
sehingga batugamping yang telah mengalami
karstifikasi ini kembali tenggelam ke laut,
tenggelamnya batugamping ini ke dalam laut ini
kembali menyebabkan pengendapkan kembali
terjadi.
Pengendapan selanjutnya setelah naiknya
muka air laut adalah terendapkannya batupasir
karbonatan berwarna kuning kecoklatan dengan
umur N19-N20 pada lingkungan laut dangkal atau
neritik. (lihat gambar 8)
Kenampakan bentang lahan karst akibat
karsifikasi yang kemudian tertutupi oleh sedimen
yang terendapkan setelah muka air laut ini yang
dinamakan paleokarst, dan paleokarst ini dapat
dijadikan penanda adanya perubahan batimetri
sebab dari pengendapan sebelum batugamping ini
terbentuk yang menunjukan lingkungan yang
bathial, sedangkan pada batuan diatas batugamping
menunjukan lingkungan neritic hingga litoral.
Dalam pembentukan karst sendiri terjadi jeda
pengendapan akibat ekspos ke permukaan, namun
jeda pengendapan ini sendiri tidak menunjukan
waktu yang terlalu panjang, hal ini dapat kita lihat
dari kandungan foraminifera planktonik dari sampel
1 dan sampel 2, kedua sampel ini masih
menunjukan umur N19. Apabila didapatkan adanya
loncatan umur dari hasil jeda pengendapan maka
paleokarst ini dapat dijadikan
batas dari
ketidakselarasan
Jika dilihat kandungan dari foraminifera
bentonik dari sampel 1 dan sampel 2 dapat kita lihat
perbedaan yang sangat signifikan. Pada sampel 1
atau pada bagian bawah batugamping memiliki
kedalaman 630 fm yang dicirikan dengan Dentalina
subsoluta, sedangkan pada sampel 2 pada bagian
atas dari batugamping memiliki kandungan
Amphistegina lessoni sensu dan operculina
complanata yang melimpah yang menunjukan
lingkungan 16-25 fm.
Mekanisme pengendapan

Gambar 5 : pengendapan pertama

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 645

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 6 : pengendapan kedua

Gambar 7 : ekspose kepermukaan

Gambar 8 : ekspose kepermukaan

4.

Kesimpulan

Sampel 1 atau batuan yang berada pada bagian


bawah batugamping memiliki paleobathimetri pada
bathial sedangkan pada sampel 2 atau bagian atas
dari batugamping memiliki paleobathimetri berupa
neritik. Sampel 1 menunjukan umur N19 sedangkan
sampel 2 menunjukan umur N19-N20. Paleokarst
pada daerah ini dapat dijadikan penanda adanya
perubahan paleobatimetri.

Ucapan Terima kasih


Terima kasih yang sebesar besarnya
diucapkan kepada Allah SWT, Kepada keluarga
yang selalu mendukung. Serta ucapan terima kasih
juga kepada teman-teman teknik geologi 2012
terutama kelompok kavling 13 pemetaan geologi
atas dukungannya.

Daftar Pustaka
Saran Untuk Peneliti Selanjutnya

perlu dilakukan pengambilan sampel pada


anggota klitik secara keseluruhan agar
didapat hasil mengenai batimetri secara
lengkap
paleokarst sendiri yang merupakan bidang
erosi maka paleokarst dapat dijadikan
bidang ketidakselarasan untuk itu perlu
dilakukan radiometri dating untuk
mengetahui umur secara lebih detail untuk
membuktikan ketidakselarasan tersebut

646 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Bolli, H.M., Saunders J.B., Perch-Nielsen.k. 1985.


Plankton
Stratigraphy.
Cambridge;
Cambridge University Press
Esteban,. 1989. Paleokarst Reservoir In
Unconformity Plays ; Strategies and
Application to Miocene Reef. London; P.T
Geoservices
and
Erico
Petroleum
Information
Ford. Williams. 2007. Karst Hydrogeology and
Geomorphology. England ; John Wiley &
Sons Ltd

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Wynn.

1994. The Challenger Foraminifera.


London; Oxford University Press.
Postuma, J.A. 1971. Manual of Planktonik
Foraminifera.
Amsterdam;
Elsevier
PublishingCompany

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 647

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

648 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Geological Control To The Salinity Of Groundwater


T. Listyani R.A.
Geological Engineering Department, STTNAS Yogyakarta
Email: listyani_theo@yahoo.co.id

Abstract
The saline/brackish water can be found at many places in nature. This phenomena occurs under
geological control of the certain place. The origin of the saline water refers to some hydrogeological
processes, such as mixing of water (sea water intrusion or flushing), evolution, hydrochemical processes,
connate water even man made polution. These origin of salinity should be known in order to build some
mitigation ways. The mitigation process include preventive action (reduce groundwater abstraction or
polution; control the groundwater flow by any geotechnical building) and remediation by chemical process.
However, any saline water sometimes give benefit for society so this phenomena doesnt need remediation.
Key words : saline, groundwater, origin, treatment.

1.

Introduction

There are many kind of groundwater in


nature, especially in its quality. The quality of
groundwater can be determined from its
physical, chemical and biological characteristics.
Some of the chemical parameters should
determine of salinity of groundwater.
Groundwater in nature can be found in fresh to
saline condition.
There is saline/brackish groundwater that
can be found in some places in nature. This
phenomena occurs under certain geological
control.
Geomorphologically, the saline/brackish
water occur both at the high and low elevation.
At the low elevation area, this saline water
usually occur at the beach and surrounding area.
This phenomena usually related with sea water
intrusion. At the high elevation, saline
groundwater even found at the high valley near
peak of mountain.
Saline groundwater is also influenced by
stratigraphic condition. Sedimentary rocks,
especially which formed in marine environment
often produce salinity to the water. This salinity
related with salt of paleo sea water as connate
water or produce by water-rock interaction
between minerals and recent water. The saline
water also may be resulted from interaction of
minerals in igneous and metamorphic rocks and
the meteoric water.
Geological structure can influence the
occurence of saline groundwater because the
groundwater flow depends on strike/dip of rocks
and other structural phenomena likes fault, fold
and joint. Sometimes, fault can serve as barrier
or way of groundwater flow. Groundwater flows
under geological structures control through the
aquifers. Geological structures can facilititate the

flow of groundwater, but sometimes these structures can


block the flows. This condition can be occured in layers
of sedimentary rocks which bear the impermeable layer.
Sometimes the saline water give benefit for the
people surrounding area. However, saline water
sometimes is assumed as polution. Some factors will
influence to the occurrence and level of the salinity.
Therefore we need to understand the origin of salinity in
order to make some ways for mitigation. Determine the
geological factors which control salinity of groundwater
is a must. Then, some reason of saline water occurrence
will be considered to make suggestion of some
treatments to mitigate the saline/brackish groundwater.

2.

Definition of Salinity

Salinity is the saltiness or dissolved salt content of


a body of water. Salinity is an important factor in
determining many aspects of the chemistry of natural
waters and of biological processes within it, and is a
thermodynamic state variable that, along with
temperature
and
pressure,
governs
physical
characteristics like the density and heat capacity of the
water (Wikipedia, 2014).
Salinity in rivers, lakes, and the ocean is
conceptually simple, but technically challenging to
define and measure precisely. Conceptually the salinity
is the quantity of dissolved salt content of the water.
Salts are compounds like sodium chloride, magnesium
sulfate, potassium nitrate, and sodium bicarbonate
which dissolve into ions. Operationally, dissolved
matter is defined as that which can pass through a very
fine filter (historically a filter with a pore size of 0.45
m, but nowadays usually 0.2 m) (Pawlowicz, 2013 in
Wikipedia, 2014). Salinity can be expressed in the form
of a mass fraction, i.e. the mass of the dissolved
material in a unit mass of solution.
Salinity level of groundwater is varied, and can be
determined based on the element of chloride (Cl), or the
total dissolved solid (TDS) of water (Table 1).

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 649

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Table 1: The salinity level of groundwater (PAHIAA,


1986, in Disbang DKI Jakarta - Sapta Daya
Karyatama, 1997 1); Carroll, 1962, in Todd,
1980 2))
Water
characteristic
Fresh
Almost
brackish
Brackish
Saline
Brine

TDS
(mg/l)1)
1,000
> 1,000 -
3,000
> 3,000 -
10,000
> 10,000 35,000
> 35,000

TDS
(mg/l)2)
0 1,000

1,000

10,000
10,000
100,000
> 100,000

EC
(mhos/cm)1)
1,500
> 1,500 -
5,000
> 5,000 -
15,000
> 15,000 -
50,000
> 50,000

HCO3- HCO3- + SO42- SO42- + HCO3- SO42- +


Cl- Cl- + SO42-ClTo the right sequence is characterized
by an
increasingly distant flow path of groundwater
accompanied by increasing age.
3.3. Hidrochemical processes
The hydrochemical processes that occur in
groundwater systems include dissolution - hydrolysis precipitation, adsorption, ion exchange, reduction oxidation, mixing, membrane filtration and metabolism
microbiology (Todd, 1980). The chemical composition
of groundwater depends on the chemical composition of
water in the recharge and many reactions that occur in
the flow system (Matthess, 1982). The other process
that responsible to increase salinity of groundawater is
evaporation (Hadipurwo, 1996).

3. Origin of Saline Groundwater


As long as the water flows below ground
level, the different hydrochemical processes can
occur. Genesis of saline water is also determined
by a variety of hydrochemical processes which
occur along the path flow.
3.1. Mixing of Groundwater
Mixing of groundwater at the area near
marine ever occur between freshwater from
island and saline water of marine. Mixing
occurring in the groundwater at coastal areas
could be seawater intrusion or flushing. There
are two kind of brackish water chemistry resulted
from this mixing because of these processes.
a. Seawater Intrusion
Seawater intrusion generally change the
type of water from NaCl into CaCl2 type. When
seawater intrudes in a coastal fresh water aquifer,
an exchange of cations takes place. Sodium is
taken up by the exchanger, and Ca2+ is released.
The water quality thus changes from NaCl to
CaCl2 type water (Freeze and Cherry, 1979).
.
b. Flushing by Freshwater
The reverse process of sea water intrusin
occurs when fresh water from the brine aquifer
goes leaching (flushing), where brackish water
will generally has the NaHCO3 type. This
process takes place with refreshening, i.e. when
fresh water flushes a salt water aquifer, where
Ca2+ is taken up from water, in return for Na+,
with a NaHCO3 type as result (Freeze and
Cherry, 1979).
3.2. Evolution of Groundwater
In addition to the mixing, the chemical
evolution is often a major cause of groundwater
salinity. Evolution of groundwater is generally
followed by regional changes of anion
dominance as indicated by the Chebotarev
sequence (1955, in Freeze and Cherry, 1979) as
follows:
650 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

3.4. Connate water


Water that has been out of contact with the
atmosphere for at least an appreciable part of geologic
period is termed connate water (Todd, 1980);
essentially, it consists of fossil interstitial water that has
migrated from its original burial location. This water
may be derived from oceanic or fresh water sources and,
typically, is highly mineralized.
3.5. Polution
Groundwater pollution may be defined as the
artificially induced degradation of natural groundwater
quality. Pollution can impair the use of water and can
create hazards to public health through toxicity or the
spread of disease. Most pollution originates from the
disposal of wastewater following the use of water for
any of a wide variety of purposes. Thus, a large number
of sources and causes can modify groundwater quality,
ranging from septic tanks to irrigrated agriculture
(Todd, 1980). The pollution sometimes increase the
chemical content of groundwater, especially in TDS,
therefore it should increase the salinity. One of the
polution sources with strong influence to the salinity is
oil and gas industry.
The production of oil and gas is usually
accompanied by substantial discharges of wastewater in
the form of brine. Constituents of brine include sodium,
calcium, ammonia, boron, chloride, sulfate, trace
metals, and high total dissolved solids. In the past oilfield brine disposal was handled by discharge to streams
or evaporation ponds. In both instances brine-pollited
aquifers became commonplace in oil production areas
as the infiltrating water reached the underlying
groundwater (Todd, 1980)..

4.

Geological Control of Saline Water

There are many kinds of origin of saline water. In


nature, this condition is usually controlled by geological
factors. These factors include geomorphology,
stratigraphy (aquifer properties), geological structure,
and
hydrogeological
characteristics.
The
hydrogeological characteristics include groundwater

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

table or piezometric head which responsible to


groundwater flow.
4.1. Geomorphology
Morphology of certain area has strong
influence to surface water, but it also should
influence to groundwater. This fact can be
understood
because
groundwater
table
sometimes follow the topography of ground
surface. Then, the groundwater table will
determine any groundwater flow pattern.

Geomorphology can support the formation of


salinity. For example, saline water in Kurulu Spring
(1900 m) at Baliem Valley, is supported by groundwater
flow from Habema Lake at high elevation of 4400 m asl
(Hutasoit and Ashari, 1998, in Kossay, 2008). Baliem
Valley is located at Jayawijaya mountain (350 400 m
asl), especialy at Jikiwa Village, Kurulu Subdistrict,
near Wamena (the capital city of Papua Province). The
people surrounding area are protected from mumps
because of this saline water.

Figure 1. Geomorphology control groundwater flow of Baliem Valley (Kossay, 2008).

4.2. Stratigraphy
The layers of aquifer zone determine the
potential of groundwater. Saline water should be
able to flow to the aquifer from sea water or
move from aquifer to the others. It depends on
the condition of local or regional stratigraphy.
This stratigraphy includes many kind of litology.
Saline water in Baliem Valley is also supported
by the occurrence of
limestone of karst
landform. The interaction between minerals in
limestone and water may increase the salinity.
The other example is saline groundwater in
Jakarta Groundwater Basin (JGB). In this basin,
there are saline groundwater can be found at
both shallow and deep aquifer zones. Hadipurwo
(1996) show there were some origin of
saline/brackish groundwater in JGB as below:
a. Aquifer I zone (< 40 m depth) : seawater
intrusion, leaching, evaporation, flushing.
b. Aquifer II (40 140 m depth) and III zones
(>140 m depth) : leaching, flushing.
Those saline/brackish groundwater is influenced
by stratigraphy of JGB which consist of
quaternary sediments (Figure 2).

4.3. Geological Structure


Many kinds of geological structures, like fault,
fold and joint can influence the groundwater flow.
Consequently, saline water
formation will be supported or decreased by these
structures.
Saline water at Parangwedang is originated from
mixing of meteoric water and old groundwater,
influenced by magmatic activity or the intrusion of
seawater in past time through the aquifers (Listyani,
2008). This saline water is supported by fault in the
boundary of Nglanggran Formation (Figure 3).
4.4. Hydrogeology
The properties of aquifer and condition of
groundwater table/piezometric level will determine
groundwater flow as well as salinity. The origin of
salinity is strong influenced by hydraulic parameters of
aquifer especially on its porosity and permeability.
The connate water (Hutasoit and Ashari, 1998, in
Kossay, 2008) of saline water in Baliem Valley is also
formed by hydrogeologic condition of paleo marine
sediments. This saline water may be trapped in the rocks
when deposition process at the past time. The origin of
connate water here is supported by isotope (O & H)
analysis.
The salinity of groundwater at Parangtritis caused
by infiltration of tidal seawater and controlled by the
flushing of seawater by fresh water (Listyani, 2009).

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 651

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

This flushing process is influenced by loose


litology of aluvial deposites. This sediments act
as good aquifer because of their high porosity
and permeability. The brackish water here is
usualy formed when high tides.

5.

Saline Water Treatment

Because of many kind of origin of saline


water, there are many kind of treatment to
mitigate this water (if the water assumed as
polutant). In brief, the proposed ways of
treatment can be noticed in Table 2.

6.

Conclusion

This can be summarized about the geological


control of saline groundwater.
1. The saline groundwater can be found at many
locations under geological control.
2. There are geological characteristics influence in the
occurrence of saline water, include geomorphology,
stratigraphy (litology),
geological structure and hydrogeology of certain
area.
3. Some treatment to mitigate the saline water which
can be proposed are reduce the abstraction, control
groundwater flow with geotechnical building, or
remediation by chemical process.

Figure 2. Stratigraphy of Jakarta Groundwater Basin (Naryanto, 1996)

Figure 3. Fault should be supported the occurrence of saline water in Parangwedang Spring Listyani, 2008).

652 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Table 2: Some examples of the treatments proposed to


mitigate saline water.
Example
Location

of

Origin/Geological
Factor

Treatment

Jakarta
Groundwater
Basin

Seawater
intrusion;
leaching

Baliem Valley,
Papua

Water-rock
interaction;
connate water

Parangwedang,
Yogyakarta

Meteoric water
mixed by heat of
past
volcanic
activity

-Reduce
groundwater
abstraction
-Build
the
geotechnical
building to prevent
or
divert
groundwater flow
-Remediation
by
chemical process
No
treatment
because this water
gives
benefit
(provide iodine) for
people
at
surrounding area.
No treatment
(good for tourism
&
skin
pain
therapy)

Wikipedia, 2014, Salinity, http:// en.wikipedia.org.

References
Freeze, R.A. dan Cherry, J.A.,
Groundwater,
Prentice-Hall
Englewood Cliffs, New Jersey.

1979,
Inc.,

Hadipurwo, S., 1996, Kajian Intrusi Air Asin di


Jakarta, Proceedings of The 25th Annual
Convention of The Indonesian Association
of Geologists, IAGI, Jakarta.
Kossay, V., 2008, Lembah Baliem, The Big
Valley, http://lembah-baliem. blogspot.
com.
Listyani, T., 2008, Pengaruh Litologi Batuan
Samping terhadap Hidrokimia Mataair
Panas Parangwedang, Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta,
Final
Report, Kopertis Region V, Yogyakarta,
unpublished.
Listyani, T., 2009, Identifikasi Intrusi Air Laut di
Wilayah Gumuk Pasir Parangtritis, Final
Report, Kopertis Region V, Yogyakarta,
unpublished.
Naryanto, H.S., 1996, Dampak Penyadapan
Airtanah di Daerah Cengkareng dan
Sekitarnya, Jakarta, Proceedings of The
25th Annual Convention of The
Indonesian Association of Geologists,
IAGI, Jakarta.
Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd
Ed., John Willey & Sons Inc., New York.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 653

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

654 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Studi Penanggulangan Gerakan Tanah Sebagai Upaya


Peningkatan Kualitas Pembangunan Di Daerah Gendurit Dan
Sekitarnya, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah Berdasarkan Karakteristik Litologi Dan
Morfologi Dengan Metode Pemetaan Surface
Lintong Mandala Putra Siregar1, Fauzu Nuriman2
Universitas Diponegoro1,2
lintong.siregar@rocketmail.com1

Abstrak
Kondisi suatu pembangunan dipengaruhi oleh adanya gerakan tanah. Pada daerah Gendurit dan Sekitarnya, Kecamatan
Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dilaksanakan studi mengenai penanggulangan gerakan tanah
berdasarkan karakteristik litologi dan morfologi dengan metode pemetaan surface. Dari hasil penelitian diperoleh output
berupa peta geologi dan geomorfologi yang digunakan sebagai acuan dalam analisis yang dilakukan. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada gerakan tanah antara lain karakteristik litologi dan morfologi, kondisi geologi serta curah hujan, iklim dan
vegetasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan didaerah Gendurit dengan
acuan karakteristik morfologi dan penyebaran litologi. Maka dengan memberi perlakuan yang tepat dalam suatu perencanaan
pembangunan kita dapat meningkatkan kualitas pembangunan serta mampu menghemat biaya perawatan karena kualitasnya
yang lebih baik.
Keywords : geologi, geomorfologi, gerakan tanah, kualitas pembangunan, pemetaan surface

1.

Pendahuluan

Studi penelitian penanggulangan gerakan


tanah sebagai upaya peningkatan kualitas
pembangunan dilakukan di daerah Gendurit dan
Sekitarnya, yang masuk kedalam wilayah
semarang. Secara geografis, wilayah Kota
Semarang, Propinsi Jawa Tengah terletak pada
koordinat 1101620 - 110 3029 Bujur Timur
dan 6 5534 - 7 0704 Lintang Selatan dengan
luas daerah sekitar 391,2 km2.
Saat ini pembangunan merupakan aspek vital yang
menjadi fokus dalam meningkatkan perkembangan
dan menjadi parameter kualitas kemajuan suatu
bangsa. Tidak hanya di daerah tertinggal saja,
namun di daerah kota besar juga pembangunan
masih terus diupayakan dengan berbagai cara agar
tercapainya target perluasan pembangunan yang
merata.
Seperti hal nya yang terjadi di Indonesia. Hingga
saat ini pembangunan masih difokuskan untuk
optimalisasi dan perluasan di daerah kota saja,
sedangkan untuk fokus pemerataannya masih
sangat kurang optimal. Masih banyak hal yang
perlu diperbaiki dalam kegiatan pembangunan di
Indonesia. Tidak hanya dalam hal teknis nya,
namun yang lebih penting adalah konsep dalam
perencanaan pelaksanaan pembangunannya.
Dewasa ini pembangunan yang dilaksanakan
terkadang masih belum memperhitungkan aspekaspek geologi dalam pembangunan tersebut. Seperti
pada aspek morfologi, daerah dengan morfologi
kelerengan
yang
terjal,
landai
ataupun

bergelombang seharusnya diberi perlakuan yang


berbeda pada saat pelaksanaan pembangunannya.
Hal lain yang lebih penting adalah karakteristik
litologi pada suatu daerah. Meskipun dalam satu
regional dapat memungkinkan terdiri dari jenis
litologi yang berbeda. Dengan karakteristik litologi
yang berbeda maka perlakuan dalam konsep
pembangunanya pun harus berbeda. Hal ini yang
masih banyak diabaikan dalam pembangunan di
Indonesia. Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini
adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas
pembangunan didaerah Gendurit dengan acuan
karakteristik morfologi dan penyebaran litologi.
Maka dengan memberi perlakuan yang tepat dalam
suatu perencanaan
pembangunan kita dapat
meningkatkan kualitas pembangunan serta mampu
menghemat biaya perawatan karena kualitasnya
yang lebih baik.

2.

Metodologi

Studi mengenai penanggulangan gerakan


tanah sebagai upaya peningkatan kualitas
pembangunan di daerah Gendurit dan sekitarnya,
kecamatan Ungaran Timur, kabupaten Semarang,
Jawa tengah berdasarkan karakteristik tanah dan
litologi dilakukan dengan metode pemetaan
surface. Metode ini memiliki 3 tahapan yaitu
tahapan pra lapangan, lapangan dan pasca
lapangan. Pada tahap pra lapangan berfungsi untuk
membantu pelaksanaan kegiatan lapangan. Pada
tahap pra lapangan diawali dengan mencari data
sekunder seperti peta topografi dan geologi

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 655

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

regional. Pada tahap lapangan dilakukan dengan


cara observasi secara langsung ke lapangan yang
bertujuan untuk mengumpulkan data seperti data
litologi, morfologi, struktur geologi, curah hujan,
iklim serta vegetasi daerah sekitar. Pada tahapan
pasca lapangan merupakan tahapan yang bertujuan
untuk mengolah dan menganalis data yang telah
diperoleh dari tahapan sebelumnya. Pada tahapan
pengolahan dan analisis data yang diperoleh
dibantu dengan menggunakan software atau
aplikasi seperti Map Info, dan Corel Draw X6. Pada
tahapan
pasca
lapangan
nantinya
akan
menghasilkan output berupa peta geomorfologi,
peta geologi, profil sayatan geologi serta profil
sayatan geomorfologi daerah penelitian..

3.

Geologi Regional

Wilayah Kotamadya Semarang sebagaimana


daerah lainnya di Indonesia beriklim tropis, terdiri
dari musim kemarau dan musim hujan yang silih
berganti sepanjang tahun. Morfologi daerah
Semarang berdasarkan pada bentuk topografi dan
kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 7
(tujuh) satuan morfologi yaitu Dataran rendah,
Daerah Bergelombang, Perbukitan Berlereng
Landai, Perbukitan Berlereng Agak Terjal,
Perbukitan Berlereng Terjal, Perbukitan Berlereng
Sangat Terjal dan Perbukitan Berlereng Curam.
Geologi regional kota Semarang memiliki susunan
stratigrafinya berupa Aluvium dengan endapan
pantai litologinya terdiri dari lempung, lanau dan
pasir, Batuan Gunung api Gajah Mungkur dengan
batuannya berupa lava andesit, berwarna abu-abu
kehitaman, berbutir halus, holokristalin, komposisi
terdiri dari felspar, hornblende dan augit, bersifat
keras dan kompak, Batuan Gunungapi Kaligesik
(Qpk) berupa lava basalt, berwarna abu-abu
kehitaman, halus, komposisi mineral terdiri dari
felspar, olivin dan augit, sangat keras. Formasi
Jongkong dengan litologi breksi andesit hornblende
augit dan aliran lava. Formasi Damar dengan
batuannya terdiri dari batu pasir tufaan,
konglomerat, dan breksi volkanik. Formasi
Kaligetas dengan Batuannya terdiri dari breksi dan
lahar dengan sisipan lava dan tuff halus sampai
kasar. Formasi Kalibeng dengan batuannya terdiri
dari napal, batupasir tufaan dan batu gampin serta
Formasi Kerek perselingan batu lempung, napal,
batu pasir tufaan, konglomerat, breksi volkanik dan
batu gamping.
Struktur geologi yang terdapat di daerah Semarang
umumnya berupa sesar yang terdiri dari sesar
normal, sesar geser dan sesar naik. Sesar normal
relatif berarah barat - timur sebagian agak cembung
ke arah utara, sesar geser berarah utara selatan
hingga barat laut - tenggara, sedangkan sesar
normal relatif berarah barat - timur. Sesar-sesar
tersebut umumnya terjadi pada batuan Formasi
Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar
yang berumur kuarter dan tersier. Geseran-geseran

656 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

intensif sering terlihat pada batuan napal dan batu


lempung, yang terlihat jelas pada Formasi Kalibiuk
di daerah Manyaran dan Tinjomoyo. Struktur sesar
ini merupakan salah satu penyebab daerah tersebut
mempunyai jalur lemah, sehingga daerahnya
mudah tererosi dan terjadi gerakan tanah.
Penggunaan lahan di wilayah Kotamadya Semarang
terdiri dari wilayah terbangun (Build Up Area)
yang terdiri dari pemukiman, perkantoran
perdagangan dan jasa, kawasan industri,
transportasi. Sedangkan wilayah tak terbangun
terdiri dari tambak, pertanian, dan kawasan
perkebunan serta konservasi.

4.

Hasil dan Pembahasan

Pada proses pembangunan pengaruh gerakan


tanah sangatlah berdampak besar dalam perusakan
pembangunan itu sendiri. Pada pelaksanaan metode
surface dalam penanggulangan gerakan tanah di
daerah Gendurit dan sekitarnya, kecamatan
Ungaran Timur, kabupaten Semarang, Jawa Tengah
dihasilkan output berupa peta geomorfologi
(gambar 1) dan peta geologi (gambar 3). Pada peta
geomorfologi dipetakan menjadi beberapa satuan
yaitu perbukitan landai denudasional, dataran
fluvial, perbukitan terjal struktural, dan perbukitan
bergelombang vulkanik. Sedangkan pada peta
geologi terdapat satuan endapan alluvium, breksi
vulkanik, batugamping, batupasir tuffaan, batupasir
dan batulempung karbonatan, serta intrusi andesit.
Pada peta geologi juga terdapat data strike/dip
lapisan batuan, struktur geologi yang berupa sesar
naik, dan kekar. Dari data-data yang diperoleh
tersebut, kemudian dilakukan analisis yang
bertujuan untuk menentukan perlakuan yang tepat
guna dalam proses pembangunan berdasarkan
karakteristik tanah, litologi, dan morfologi pada
daerah yang bersangkutan.
Pada dasarnya gerakan tanah dapat terjadi akibat
pengaruh dari adanya interaksi dari data-data
tersebut. Kondisi geomorfologi yang berpengaruh
terhadap terjadinya gerakan tanah secara umum
adalah kemiringan lereng. Semakin curam
kemiringan suatu lereng maka akan semakin besar
gaya penggerak massa tanah penyusun lereng.
Kondisi geologi di Indonesia sangat rentan terhadap
terjadinya gerakan tanah. Hal ini disebabkan karena
adanya gerakan lempeng Australia dan lempeng
Pasifik yang menumbuk di bawah lempeng benua
eurasia, sehingga terjadi zona penunjaman.
Aktivitas penunjaman meningkat gerakan tanah
karena dapat menimbulkan getaran gempa bumi,
aktivitas getaran akibat vulkanisme, maupun
terbentuknya struktur geologi.
Kondisi tanah atau batuan penyusun lereng juga
berperan. Meskipun suatu lereng cukup curam,
namun gerakan tanah belum tentu terjadi bila
kondisi tanah atau batuan penyusun lereng tersebut
cukup kompak dan kuat (gambar 5).
Kondisi iklim berupa temperatur dan curah hujan

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

yang tinggi sangat mendukung terjadinya proses


pelapukan batuan pada lereng. Lereng dengan
tumpukan tanah hasil pelapukan yang tebal relatif
rentan terhadap gerakan tanah.
Vegetasi dan tata guna lahan berpengaruh dalam
resapan air ke dalam lereng, sehingga tingkat
kejenuhan dan tekanan hidrostatis dalam lereng
juga terpengaruh.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pemetaan
surface yang berupa peta geomorfologi dan peta
geologi maka perlakuan dari tiap satuan yang telah
dipetakan haruslah berbeda. Pada satuan perbukitan
landai denudasional yang tersusun oleh litologi
berupa breksi vulkanik, merupakan daerah yang
cukup baik untuk dilaksanakan pembangunan tanpa
memerlukan perlakuan yang khusus. Hal ini
dikarenakan pada satuan ini memiliki tingkat
elevasi yang relatif seragam atau tidak memiliki
kelerang yang terjal yang dapat mempengaruhi
gerakan tanah. Selain itu litologi yang berupa
breksi vulkanik yang memiliki karakteristik struktur
masif atau kompak mengakibatkan pengaruh
gerakan tanahnya kurang intensif.
Hal yang sama juga berlaku pada satuan perbukitan
bergelombang vulkanik terdenudasi pada bagian
bawah peta dengan litologi intrusi andesit.
Meskipun daerah satuan ini memiliki kelerengan
yang lebih curam dibandingkan satuan perbukitan
landai denudasional, namun gerakan tanah tidak
akan berpengaruh intensif karena litologi penyusun
lereng tersebut jauh lebih masif dibandingkan
breksi vulkanik.
Sedangkan pada satuan perbukitan bergelombang
vulkanik terdenudasi pada bagian atas peta dengan
3 satuan litologi yang berbeda yaitu breksi
vulkanik, batugamping dan batupasir karbontan.
Kondisi seperti inilah yang sering diabaikan dalam
suatu pembangunan. Meskipun satuan tersebut
memiliki tingkat kelerengan yang sama namun
perlu diperhatikan bahwa dengan karakteristik
litologi penyusun lereng yang berbeda maka proses
perlakuan yang dilakukan pada lereng tersebut
harus berbeda pula. Pada daerah satuan perbukitan
bergelombang vulkanik terdenudasi yang tersusun
oleh litologi batugamping tidak disarankan
dilakukan pembangunan. Hal ini dikarenakan
mempertimbangkan
besar
kelerengan
dan
karakteristik dari batugamping yang mudah larut
apabila terkena pengaruh iklim (suhu dan
temperatur) dan curah hujan. Hal tersebut
mengakibatkan tingkat ketebalan dan resistensi
batugamping yang menopang suatu bangunan akan
semakin menurun sehingga terlalu beresiko
terjadinya gerakan tanah. Pada satuan dengan
litologi berupa breksi vulkanik, merupakan daerah
yang cukup baik untuk dilaksanakan pembangunan
tanpa memerlukan perlakuan yang khusus. Hal ini
dikarenakan pada satuan ini memiliki tingkat
elevasi yang relatif seragam atau tidak memiliki
kelerang yang terjal akibat pengaruh proses

denudasi. Selain itu litologi yang berupa breksi


vulkanik yang memiliki karakteristik struktur masif
atau kompak mengakibatkan pengaruh gerakan
tanahnya kurang intensif. Kemudian pada daerah
dengan litologi batupasir diketahui pada peta
terdapat struktur geologi berupa sesar. Pada daerah
dengan struktur sesar sangat beresiko untuk
dilaksanakan pembangunan karena adanya rongga
akibat sesar yang memicu gerakan tanah atau
bergesernya blok batuan. Namun hal ini dapat
dicegah dengan menimbun material kedap air
seperti lempung serta dilaksanakan grouting yang
berupa pemboran yang memotong bidang sesar
kemudian menambahkan material semen kedalam
lubang
pemboran
sehingga
meminimalisir
terjadinya gerakan tanah tersebut. Selain itu daerah
ini dapat diperkuat dengan melakukan penanaman
vegetasi dengan jenis akar serabut yang berfungsi
mengurangi erosi permukaan.
Pada satuan dataran fluvial dengan litologi endapan
aluvium dan batulempung karbonatan sangat tidak
disarankan
untuk
dilakukan
pembangunan
dikarenakan daerah sekitar ini sangat berpotensi
terjadinya banjir dan tanah longsor. Apabila terjadi
banjir maka litologi batulempung yang memiliki
karakteristik permeabilitas rendah mengakibatkan
kondisi batulempung semakin berat dan akan
memicu terjadinya gerakan tanah.
Sedangkan pada satuan perbukitan terjal struktural
yang terdiri dari litologi batupasir tuffan dan
batulempung paling tidak disarankan dilakukan
pembangunan. Karena selain kelerengannya yang
sangat curam, karakteristik litologinya yang
memiliki permeabilitas rendah jika terpengaruh
curah hujan mengakibatkan kondisi batuan tersebut
semakin berat dan akan memicu terjadinya gerakan
tanah.
4.1 Tabel
Tabel 1 : Tingkat Kekompakan Dan Ciri-Cirinya
(Wesley,1977)

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 657

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

4.2 Gambar

Gambar 3. Peta Geologi


Gambar 1. Peta Geomorfologi

Gambar 4. Profil Sayatan Geologi


Gambar 2. Profil Sayatan Geomorfologi

658 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

5.

Kesimpulan

Faktor yang mempengaruhi gerakan tanah


antara lain morfologi, karakteristik litologi, kondisi
geologi, curah hujan, iklim dan vegetasi. Dalam
setiap perencanaan pembangunan sangatlah perlu
mempertimbangkan seluruh faktor-faktor tersebut.
Apabila karakteristik dari faktor tersebut berbeda
maka perlakuannya juga harus berbeda. Hal ini
menjadi sangat penting karena jika kegiatan
pembangunan dilaksanakan dengan cara yang sama
pada kondisi yang berbeda maka kita hanya akan
menambah biaya perawatan yang harusnya bisa
dicegah dengan perencanaan yang tepat. Inilah
yang perlu diperhatikan dalam pembangunan yang
lebih baik kedepannya.

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dosen-dosen yang
telah membimbing dan mengajarkan ilmu-ilmu
geologi guna menambah pengetahuan dalam
melaksanakan penelitian ini. Serta seluruh warga
desa daerah Gendurit dan sekitarnya, kecamatan
Ungaran Timur, kabupaten Semarang, Jawa
Tengah yang telah banyak memberikan bantuan
dan ikut berperan dalam memperlancar penelitian
dan penulisan ini. Diharapkan dengan adanya
penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembangunan
bangsa yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Bemmelen, R W Van.1970. The Geology Of
Indonesia, The Hague. Government
Printing Office,732p.
Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar.
Penerbit LPP dan UNS Press, universitas
Sebelas Maret,Surakarta.
Pettijohn, F.J, 1975, Sedimentary Rocks, 3rd Ed,
Harper & Raw Publishing Company :
New York.
Van Zuidam, R.A. 1983. Guide to Geomorphology
Aerial Photographic Interpretation and
Mapping. Enshede : The Netherland.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 659

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

660 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Studi Hubungan Tingkat Alterasi


Terhadap Potensi Longsoran Berdasarkan Analisis Petrografi
Dan X-Ray Difraction Sepanjang Jalan Arjosari-Tegalombo,
Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur
Trifatama Rahmalia 1, Fadlin 2
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS)1
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)2
trifatama.lia@gmail.com 1

Abstrak
Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda
maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong peneliti untuk memahami, dan bahkan menanggulangi
bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya masyarakat disekitar lokasi bencana. Lokasi
penelitian ini tepat berada pada jalur jalan utama sepanjang kecamatan Arjosari-Tegalombo, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur. Maksud dari tulisan ini adalah mengevaluasi kondisi geologi serta faktor pemicu
terjadinya gerakan tanah pada daerah Arjosari-Tegalombo ditinjau dari sudut pandang tingkat alterasi
hidrotermal dan kemiringan lereng, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
tingkat alterasi terhadap potensi longsoran di daerah penelitian. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini
terdiri dari studi literatur dan data sekunder, survei geologi yaitu pemetaan permukan dengan random
sampling di lokasi longsoran dan analisis laboratorium seperti petrografi dan X-Ray Defraction (XRD).
Analisa petrografi dan XRD, dilakukan di laboratorium (UGM). Pada penelitian ini lebih di fokus pada
lokasi longsoran LP-11/lia dan LP-12/lia kemudian dilakukan evaluasi dan analisis secara menyeluruh.
Daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang cukup curam yaitu berkisar antara 40-50 %, hal tersebut
sangat mendukung terjadinya bencana longsoran. Litologi daerah penelitian secara lokal tersusun atas breksi
dan tuf serta dibeberapa tempat terpotong oleh basaltic dike, litologi di sepanjang daerah penelitian telah
mengalami ubahan hidrotermal (altered) yang cukup intensif berupa alterasi tipe propilitik dan argilik.
Berdasarkan studi petrografi dan studi X-ray diffraction dari sampel yang diambil dari lokasi penelitian, dapat
disimpulkan bahwa gerakan tanah tipe longsoran di lokasi penelitian disebabkan karena kontrol tingkat
ubahan hidrotermal yang tinggi sehingga menghasilkan mineral clay dalam jumlah yang besar, seperti smektit
dan ilit serta kaolin. Kehadiran smektit dan ilit serta kaolin pada zona lapuk menjadi pemicu terjadinya
longsoran pada daerah ini. Kapasitas swelling (penambahan jumlah) mineral smektit, ilit dan kaolin serta
akumulasi curah hujan adalah parameter penting untuk memprediksi gerakan tanah (longsor). Dalam hal ini
disarankan agar perlunya di lakukan mitigasi bencana longsoran disepanjang jalur jalan utama sepanjang
Kecamatan Arjosari-Tegalombo dengan metode cutting morfologi serta pemasangan retaining wall di
sepanjang jalur jalan tersebut khusunya pada daerah-daerah yang memiliki tingkat alterasi yang cukup tinggi
(argillic-porphilitic type).
Kata Kunci: Longsoran, XRD, tingkat alterasi, argillic, porphilitic dan kemiringan lereng.

1. Pendahuluan
Bencana alam dapat menimbulkan resiko atau
bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian
harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini
mendorong peneliti untuk memahami, mencegah dan
bahkan menanggulangi bencana alam agar terjamin
keselamatan dan kenyamanannya masyarakat disekitar
lokasi bencana.
Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan
tiga lempeng yaitu lempeng Samudera Hindia,
lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudera
Pasifik, sehingga terbentuklah jalur gunungapi purba
maupun yang masih aktif dan jalur gempa bumi.
Adanya
tumbukan-tumbukan
lempeng-lempeng
tersebut maka terjadi zona penunjaman yang

merupakan jalur gempa bumi dan membentuk


undulasi di busur kepulauan dengan kemiringan terjal
sampai sangat terjal (Karnawati, D., 2007a).
Disamping itu, Indonesia juga terletak didaerah tropis
dengan curah hujan yang tinggi, dan memiliki
topografi yang bervariasi.
Kejadian longsoran umumnya berskala kecil,
tidak sehebat gempa bumi, tsunami maupun gunung
meletus sehingga perhatian pada masalah ini
umumnya tidak terlalu besar, tambah lagi bahaya
bencana longsoran kurang diperhatikan dalam
perencanaan pembangunan. Setiap lahan memiliki
tingkat kerentanan longsoran yang beragam. Hal
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab,
dimana faktor penyebab longsoran meliputi faktor

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 661

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

pasif dan aktif. Faktor pasif mengontrol terjadinya


longsoran, sedangkan faktor aktif pemicu terjadinya
longsoran (Thornbury,1969:334). Faktor pasif
meliputi topografi, litologi, keadaan hidrologis, tanah,
keterdapatan longsor sebelumnya dan keadaan
vegetasi. Faktor aktif yang mempengaruhi longsoran
diantaranya aktivitas manusia dalam penggunaan
lahan dan faktor iklim. Secara Geologi, daerah
penelitian sebagian besar tersusun oleh endapan
alluvial dan sedimen vulkanik (tuf dan breksi) yang
telah terkonsolidasi dan mengalami pelapukan akibat
ubahan hidrotermal.
Maksud dari tulisan ini adalah mengevaluasi
kondisi geologi serta faktor pemicu terjadinya gerakan
tanah pada daerah Arjosari-Tegalombo ditinjau dari
sudut pandang tingkat alterasi hidrotermal dan
kemiringan lereng. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan tingkat
alterasi terhadap potensi longsoran di daerah
penelitian. Lokasi penelitian ini tepat berada pada jalur
jalan utama sepanjang kecamatan ArjosariTegalombo, Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur
(Gambar 1).

selatan Jawa, diantaranya adalah banyak ditemukan


adanya berbagai macam bentuk lahan seperti
perbukitan karst Gunung Sewu, adanya lembah
kering, munculnya gua-gua karst maupun morfologi
perbukitan lemah-curam. Pegunungan Selatan Jawa
Timur merupakan wilayah yang terpengaruh oleh
kegiatan volkanisme, yang ditunjukkan oleh
keterdapatan banyak batuan hasil kegiatan gunung api.
Sementara itu, kegiatan volkanisme secara jelas dapat
diamati sejak Kala Oligosen, yaitu saat pembentukan
Formasi Watupatok hingga Kala Miosen dan
pembentukan Formasi Oyo (H Samoedra dan
Tjokrosapoetra. S., 1992). Hal ini menunjukkan
adanya volkanisme yang terjadi secara menerus dan
berulang kali.
Hartono (2009) menyatakan bahwa batuan
gunung api yang menyusun zona Pegunungan Selatan
Yogyakarta dan sekitar paling sedikit dihasilkan oleh
lima pusat erupsi purba termasuk salah satunya
kelompok gunung api purba Karangtengah Pacitan.
Secara umum daerah penelitian tersusun atas Formasi
Mandalika, Formasi Watupatuk dan Formasi Arjosari.
Formasi Mandalika umumnya tersusun oleh material
masif berupa lava dasit andesit, tuf dasit dan batuan
intrusi dasit, andesit, dan diorit. Formasi Semilir
tersusun oleh material fragmental berupa tuf
berukuran pasir dan lempung, dan breksi pumis dasit
yang sebagian besar sudah mengalami alterasi
hidrotermal yang cukup kuat (Idrus, A., 2007).
.

4. Hasil dan Pembahasan

Daerah Penelitian
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

2. Metodelogi Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini
terdiri dari studi literatur dan data sekunder, survei
geologi yaitu pemetaan permukan dengan random
sampling di lokasi longsoran dan analisis laboratorium
seperti petrografi dan X-Ray Defraction (XRD).
Analisa petrografi dan XRD, dilakukan di
laboratorium (UGM). Pada penelitian ini lebih di
fokus pada lokasi longsoran LP-11/lia dan LP-12/lia
kemudian dilakukan evaluasi dan analisis secara
menyeluruh

3. Tatanan Geologi Regional


Aspek geomorfologi dari zona selatan Pulau
Jawa yang mengalami proses pengangkatan sebagai
akibat dari adanya proses tumbukan antara lempeng
yaitu lempeng Samudera Hindia, lempeng Benua
Eurasia dan lempeng Samudera Pasifik. Berbagai
akibat dari adanya proses pengangkatan di zona

662 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Berdasarkan evalusi hasil studi literatur, survey


geologi (pemetaan permukaan dan random sampling),
serta analisis laboratorium petrografi maupun analisis
XRD, maka hasil penelitian dapat di jabarkan dalam
beberapa hal sebagai berikut :
a) Potensi Longsoran
Potensi longsor di daerah penelitian tersebar cukup
rapat, mulai dari Kecamatan Arjosari-Tegalombo,
dengan intensitas yang berbeda, mulai dari yang skala
beberapa meter sampai ratusan meter (Lampiran 1).
b) Geologi daerah penelitian
Geologi daerah penelitian sepanjang jalur jalan
Arjosari-Tegalombo yaitu tersusun atas litologi breksi
vulkanik, dengan sisipan lava dan tuf pasiran
(Lampiran 3).
Satuan breksi vulkanik di daerah penelitian
tersusun oleh fragmen andesit berbentuk angular
dengan matriks ukuran pasir kasar dan sebagian
juga berfragmen pumice. Ciri fisik breksi vulkanik
di lapangan berwarna abu abu kecoklatan,
struktur masif, fragmen berukuran butir 2 -25 cm,
bentuk butir menyudut, matrik berupa tuf pasiran
berukuran pasir kasar (0,5-2 mm), bentuk butir
menyudut-agak membulat, kompak sampai lapuk.
Sisipan lava pada satuan breksi vulkanik didaerah
penelitian memiliki ciri berwarna abu-abu muda
hingga coklat, bertekstur faneroporfiritik hingga
porfiroafanitik, struktur masif, memiliki fenokris
berukuran 0.5-5 mm, massa dasar <0.03-0.1mm,

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

umumnya berbentuk subhedral, komposisi mineral


tersusun atas hornblenda, piroksen, sedikit kuarsa,
pada bagian yang teralterasi ringan dan terdapat
kehadiran mineral lempung hingga mineral oksida.
Satuan tuf pasiran didaerah penelitian secara
megaskopis memiliki warna putih putih
kekuningan, tekstur klastik, struktur berlapis
dengan komposisi utama mineral feldspar, kuarsa
dan gelas vulkanik, sebagian besar telah
mengalami pelapukan yang sangat kuat, terutama
pada daerah terjadinya longsoran.
c) Slope/Kemiringan Lereng
Secara umum sepanjang jalur daerah penelitian
memiliki kemiringan lereng yang cukup curam yaitu
berkisar antara 40-50 % (Lampiran 2).
d) Index alterasi
Alterasi hidrotermal berkembang cukup intensif di
daerah penelitian dan dapat dilihat pada lampiran 4.
Secara umum alterasi hidrotermal yang berkembang di
daerah penelitian ada dua yaitu Argilik dan Propilitik.
Alterasi argilik
Tipe alterasi ini tidak berkembang cukup luas pada
daerah penyelidikan dan secara umum merupakan
ubahan dari breksi vulkanik (LP-11/lia) yang
terdapat dilokasi penelitian (Foto 1) merupakan
dominan hasil ubahan dari breksi vulkanik.
Kehadiran alterasi argilik dikenali dengan
kelimpahan mineral lempung seperti Ilit, smektit,
kaolin (Lampiran 5) yang merupakan ubahan
mineral-mineral primer seperti feldspar. Kehadiran
alterasi ini pada umumnya di zona yang memiliki
porositas maupun permeabilitas tinggi karena
alterasi ini sangat dipengaruhi oleh meteoric water.
Penyebaran zona alterasi secara lengkap dapat
dilihat pada (Lampiran 4).

Penyebaran zona alterasi secara lengkap dapat dilihat


(Lampiran 4).

Foto 2. Kenampakan alterasi propilitik (LP-12/lia)

Tingkat pelapukan yang tinggi yang disebabkan


oleh alterasi hidrotermal yang terjadi pada daerah
penelitian disepanjang jalur Arjosari-Tegalombo
menghasilkan mineral lempung dalam jumlah yang
sangat besar terutama ilit, kaolin dan smektit.
Kehadiran mineral lempung berupa ilit dan smektit
serta kaolin pada zona pelapukan dapat menjadi tanda
suatu potensi longsoran pada daerah ini, dan dapat di
interpretasikan bahwa bidang gelincir pada longsoran
daerah ini yaitu berada pada zona ilit-smektit serta
kaolin, hal tersebut dikarenakan tingkat swelling nya
cukup tinggi, menurut Taylor. R.K dan Smith. T.J.,
1985, ilit (60-120%), smektit (1400-1600%) dan
kaolin (5-60%). Mineral lempung seperti ilit dan
smektit maupun kaolin yang terbentuk oleh alterasi
hidrotermal merupakan salah satu faktor pemicu
terjadinya longsoran pada daerah ini selain tingkat
kemiringan lereng dan curah hujan.

5. Kesimpulan dan Saran

Foto 1. Kenampakan alterasi argilik (LP-11/lia)

Alterasi propilitik
Tipe alterasi ini mempunyai intensitas yang
berbeda-beda di beberapa lokasi, akan tetapi secara
umum intensitas alterasi ini tidak terlalu kuat,
namun pada beberapa tempat dijumpai kehadiran
alterasi propilitik yang cukup intensif (LP-12/lia)
yang ditandai dengan kehadiran mineral klorit dan
Smektit (Lampiran 5) dan batuan yang berubah
warna menjadi hijau keputihan (Foto 2).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa


mineral lempung seperti ilit dan atau smektit maupun
kaolin yang terbentuk oleh alterasi hidrotermal yang
merupakan faktor pemicu karena dapat menjadi
bidang gelincir pada suatu longsoran selain tingkat
kemiringan lereng serta akumulasi air hujan. Sehingga
disarankan pendeteksian dini suatu longsoran sangat
penting memperhatikan faktor tingkat alterasi suatu
daerah. Penanganan teknis pada zona-zona potensi
longsor seperti ini yaitu dapat membuat dinding
penahan (retaining wall) serta metode cutting
morfologi sepanjang zona tersebut.

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih penulis persembahkan
terutama kepada kedua orangtua penulis yang sudah
mau membantu membiayai penelitian ini dan juga

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 663

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

pada bapak Fadlin, ST, M. Eng yang juga telah


banyak membantu penulis dalam hal pembibingan dan
berdiskusi dengan penulis sehingga tulisan ini dapat
terselesaikan.

Daftar Pustaka
Hartono. G., dan Bronto. S.,2009 Analisi stratigrafi
awal kegiatan Gunung Api Gajahdangak di
daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap
stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan
Selatan, Jawa Tengah, Diterbitkan oleh Jurnal
Geologi Indonesia vol. IV No.3 Spetember 2009
; 157-165
Idrus, A., 2007, Laporan survei tinjau endapan logam
dasar di daerah Nawangan, Kabupaten Pacitan,
Jawa Timur (Tidak dipublikasi), 10 p.
Karnawati, D., S. Pramumijoyo, S. Hussein, R.
Anderson and A. Ratdomopurbo. 2007a. The
Influence of Geology on Site Response in the
Bantul District, Yogyakarta Earthquake,
INDONESIA. AGU 2007 Joint Assembly.
Acapulco.
Samoedra. H dan Tjokrosapoetra. S., 1992. Peta
Geologi Lembar Pacitan 1507-4, skala
1:100.000.
Taylor. R.K dan Smith. T.J., 1985, The Engineering
Geology of Clay Minerals: Swelling, Shrinking
And Mudrock Breakdown, Department of
Engineering (Engineering Geology), University
of Durham, South Road, Durham DH1 3LE.
Geological Society and the Clay Minerals Group
of the Mineralogical Society entitled 'Clay
Minerals
in
Engineering
Geology-The
Geotechnical Properties of Clays' held on 12
March 1985.
Thornbury,
W.D.,
1969,
Principles
of
Geomorphology, Newyork, John Wiley & Sons.
Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of
Indonesia, Vol. IA, General Geology, Martinus
Nijnhoff, The Hague, Netherlands.

664 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 1. Peta Lokasi Pengamatan

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 665

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 2. Peta Topografi

666 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 3. Peta Geologi

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 667

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 4. Peta Alterasi

668 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Lampiran 5. Petrografi Vs Xrd


LP11/lia

Kln
Kln

Gambar 2. Grafik hasil analisa XRD sampel LP-11/lia

Kln
Py
Ill
Ill

Py
LP12/lia Foto 3. Petrografi sampel LP-11/lia (Py=pirit,
Kln=Kaolin, Ill=Ilit)

Kln

Py

Ill

Py

Ill
Sme
Py

Gambar 3. Grafik hasil analisa XRD sampel LP-12/lia

Foto 4. Petrografi sampel LP-12/lia (Py=pirit,


Kln=Kaolin, Ill=Ilit, Sme=Smektit)

Kln

Sme

Kln

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 669

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

670 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Identifikasi Awal Keberadaan Gunung Api Purba Gemawang,


Ngadirojo, Wonogiri, Jawa Tengah
Oky Sugarbo1, Hill. G. Hartono2, dan Bernadeta Subandini Astuti2
1

Mahasiswa Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta


Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta
Email: oky_sugarbo@yahoo.co.id

Abstrak
Daerah Gemawang, Ngadirojo, Wonogiri terletak di sebelah timur Kota Wonogiri. Secara fisiografi termasuk bagian dari
Pegunungan Selatan. Daerah Gemawang hampir seluruhnya tersusun oleh batuan gunung api yang berumur Kuarter maupun
Tersier. Khususnya batuan yang berumur Tersier disusun oleh lava dan breksi piroklastika yang berkomposisi andesit dasit,
sedangkan batuan yang berumur Kuarter merupakan produk G. Lawu. Sejauh ini batuan gunung api yang berumur Tersier
tersebut belum diketahui pusat erupsi gunung api yang menghasilkannya. Tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengidentifikasi daerah Gemawang sebagai bekas gunung api purba, dan menggunakan metode penelitian geologi gunung
api. Berdasarkan studi terpadu yang menekankan pada pemahaman konsep geologi gunung api terhadap berbagai aspek
geologi yang mencakup geomorfologi gunung api, stratigrafi gunung api, struktur geologi gunung api, dan fasies gunung api,
maka di daerah Gemawang dan sekitarnya dapat diidentifikasi keberadaan gunung api purba. Gunung api purba daerah ini
dibangun oleh perselingan lava dengan breksi piroklastika berkomposisi andesit dasit yang membentuk geomorfologi
melingkar dan pola pengaliran radier, struktur geologi menyebar mengikuti bentuk gawir melingkarnya atau melandai
menjauhi daerah pusat. Pemahaman ini mengindikasikan bahwa gunung api purba Gemawang berasosiasi dengan
lingkungan darat, mengalami fase konstruktif dan destruktif, dan membentuk bekas geomorfologi gunung api seperti saat ini.
Kata Kunci: Wonogiri, Gemawang, gunung api purba, fase gunung api
Abstract
Gemawang area, Ngadirijo, Wonogiri there in the east part of Wonogiri Regency. Physiographyly this area include part of
the Southern Mountains. In this area wholly composed of Quartery or Tertiary volcanic rocks. Especially Tertiery rocks
consist of lava and pyroclastic breccia that composed of andesitic-dacite, whereas Quartery volcanic rocks is Mount Lawu
product. Nevertheless source of central eruption from this Tertiery volcanic rocks is still unknown. Purpose of this paper for
identifying Gemawang area as ancient volcano trace, and use the geology of volcano method. Based on an integrated study
emphasize on gology of volcanic that consist geomorphology of volcanic, volcanostratigraphy, structural of volcanic, and
volcanic facies, so in Gemawang and around of this area can be identificated there ancient volcano. Ancient volcano in this
area build up by lava and pyroclastic breccia composed by andesit-dasit that formed circular geomorphology and radial
drainage pattern, structure of geology spread following circular depression features or decrease of slope keep away from
central area. This comperehension indicate that ancient volcano of Gemawang associate with land environment, have two
phase volcano that is constructive phase and destructive phase and form geomorphology of volcano trace as the present.
Keywords: Wonogiri, Gemawang, ancient volcano, phase volcano

1.

Pendahuluan

Secara administratif,
daerah kajian
termasuk dalam wilayah Desa Gemawang,
Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri (Gambar
1). Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Lawu,
sebelah timur dibatasi oleh Gunung Kukusan, sebelah
selatan dibatasi oleh Sungai Tirtomoyo dan sebelah
barat dibatasi oleh Gunung Pegat dan Waduk
Gajahmungkur. Secara astronomis terletak pada
koordinat 7 51 30 LS - 7 56 30 LS dan 110
59 30 BT - 111 3 00 BT.
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.

Gunung api purba atau fosil gunung api


(paleovolcanoes) adalah gunung api yang pernah
aktif pada masa lampau, tetapi sekarang ini sudah
mati dan sudah terkikis sangat lanjut sehingga fitur
atau penampakan fisis tubuhnya sudah tidak sejelas

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 671

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

gunung api aktif masa kini, bahkan sisa tubuhnya


sudah ditutupi oleh batuan yang lebih muda. Gunung
api purba ini pada umumnya berumur Tersier atau
yang lebih tua (Bronto, 2010). Informasi keberadaan
gunung api purba ini sangat penting untuk memahami
kondisi geologi suatu daerah maupun perkembangan
magmatisme dan volkanisme guna memahami
tatanan produk batuan gunung api yang menyusun
kondisi geologi pada suatu daerah penelitian.
Indikasi awal terlihat pada morfologi daerah
Gemawang yang menunjukkan adanya sisa atau
bekas adanya gunung api purba, oleh karena itu
peneliti tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut.
Selain itu, daerah ini hampir seluruhnya tersusun oleh
batuan gunung api yang diwakili oleh Formasi
Mandalika,
Formasi
Semilir
dan
Formasi
Nglanggran.
Sejauh ini, penelitian mengenai stratigrafi
batuan gunung api berumur Tersier yang menyusun
Zona Pegunungan Selatan telah dilakukan oleh
banyak peneliti yang mengarah pada pemenuhan
standar Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan
Djuhaeni, 1996), namun kelimpahan mengenai
batuan gunung api kurang didukung oleh adanya
kejelasan bentuk bentang alam dan lokasi pusat
erupsi gunung apinya sebagai sumber asal batuan,
sehingga pemahaman komprehensif terhadap tubuh
gunung api masih belum dapat dicapai.
Maksud dari makalah ini adalah mengkaji
berbagai aspek geologi gunung api permukaan,
sedangkan tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
daerah Gemawang sebagai bekas gunung api purba.
Metode pendekatan yang diterapkan untuk menjawab
permasalahan yang muncul adalah melakukan
penelitian geologi permukaan yang berbasis pada
pemahaman gunung api.

2.

Tataan Geologi

Berdasarkan pembagian fisiografi oleh van


Bemmelen (1949), daerah kajian termasuk dalam
Zona Pegunungan Selatan, Pulau Jawa. Zona ini
merupakan satuan fisiografi terluas yang secara
dominan tersusun oleh batuan gunung api dan batuan
karbonat. Di pihak lain, Hartono (2000) membagi
bentang alam Zona Pegunungan Selatan bagian barat
dari daerah Parangtritis sampai Wonogiri menjadi
lima bentang alam sisa tubuh gunung api, kelima
bentang alam sisa tubuh gunung api tersebut adalah
Gunung Api Parangtritis, Gunung Api SudimoroImogiri, Gunung Api Baturagung, Gunung Api
Gajahmungkur dan Gunung Api Wediombo.
Dalam penelitiannya, Surono (2009)
menyimpulkan bahwa stratigrafi Pegunungan Selatan
dibagi menjadi
tiga periode yaitu periode
pravolkanisme, periode volkanisme, dan periode
pasca volkanisme. Periode
pravolkanisme
membangun batuan malihan yang kemudian ditindih
tak selaras oleh kelompok Jiwo. Periode volkanisme
membentuk kelompok Kebo Butak yang secara
beruntun ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan

672 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Formasi Nglanggran. Formasi Semilir disusun oleh


tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan dan
serpih. Formasi Nglanggran tersusun atas breksi
gunung api, aglomerat dan lava andesit, sedangkan
pada periode pasca volkanisme membangun batuan
karbonat yang dikenal sebagai Formasi Sambipitu,
Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung
dan Formasi Kepek.
Hartono (2000) melakukan penelitian
geologi gunung api di Pegunungan Selatan dari
Parangtritis sampai Wonogiri. Didasarkan pada
penafsiran citra landsat, analisis petrologi, dan
menerapkan prinsip stratigrafi gunung api, berhasil
mengidentifikasi adanya lima bekas pusat erupsi
gunung api purba meliputi Khuluk Parangtritis,
Khuluk Sudimoro-Imogiri, Khuluk Wediombo,
Bregada Baturagung dan Bregada Gajahmungkur,
Wonogiri. Pernyataan tersebut dipertegas oleh hasil
penelitian Haryono dkk., (1995) yang menyebutkan
adanya anomali positif atau anomali menaik
terakumulasi di daerah tinggian G. Gajahmungkur
(Wonogiri), Perbukitan Jiwo (Bayat, Klaten) dan di
daerah Karanganyar yang terletak di antara kedua
tinggian tersebut serta di daerah G. Batur pantai
Wediombo, Gunungkidul (Hartono dan Bronto,
2007).
Stratigrafi daerah kajiian mengacu pada
stratigrafi regional Surakarta-Giritontro (Surono dkk.,
1992) dan Ponorogo (Sampurno dan Samodra, 1997).
Daerah kajian disusun oleh tiga formasi dan dua
endapan dari tua ke muda yaitu Formasi Mandalika,
Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Endapan
Lahar Lawu dan Endapan Aluvium. Dalam
penjelasannya batuan batuan penyusunnya
diendapkan dalam lingkungan laut dangkal laut
dalam, dan sebagian kecil diendapkan dalam
lingkungan darat.
Struktur geologi di daerah kajian, secara
umum berpola seperti yang dikembangkan oleh
Pulunggono dan Martodjojo, (1994) yaitu pola
Meratus, pola Sunda, dan pola Jawa. Terdapat
beberapa kelurusan-kelurusan berarah timurlautbaratdaya, kelurusan tersebut diyakini berupa struktur
yang lebih tua yang mengikuti pola struktur Meratus.
Selain itu, terdapat kelurusan yang berarah baratlauttenggara yang diyakini bagian dari pola struktur
Jawa. Namun, secara khusus kajian struktur geologi
mengacu pada struktur struktur lokal yang dibangun
oleh kegiatan gunung api, seperti struktur
geomorfologi melingkar, struktur perlapisan batuan
yang berbentuk memancar dan melandai menjauhui
pusat, pola aliran radier yang mengelilingi daerah
pusat, dan struktur internal aliran lava dan intrusi.

3.

Hasil Penelitian

3.1. Geomorfologi Gunung Api


Pada daerah Gemawang, indikasi adanya
gunung api purba ditunjukkan oleh daerah berelief

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

paling kasar dibanding daerah sekitarnya yaitu


membentuk sebaran lateral yang relatif melingkar
(Gambar 2). Bentang alam berelief kasar pada daerah
ini melandai ke arah luar dan membentuk gawir
terjal ke arah dalam melengkung membuka ke arah
baratdaya. Hal tersebut juga terlihat pada
perkembangan pola pengaliran yang mengikuti arah
bukaanya. Dari citra SRTM terlihat pola lereng kasar
terdapat pada lereng atas bekas gunung api karena
tersusun oleh batuan dengan resistensi yang beragam
yakni breksi gunung api dan lava. Morfologi tersebut
membentuk cekungan relatif melingkar (circular
depression features) yang tidak begitu sempurna.
Sementara itu, pada lereng bawah dan kaki
bekas gunung api, menunjukkan relief yang semakin
halus bahkan sudah tertutupi oleh endapan yang lebih
muda yakni endapan Kuarter (breksi lahar). Pada
daerah yang mengindikasikan keberadaan gunung api
purba dikarenakan sudah mengalami erosi maka pola
pengaliran berkembang menjadi dendritik semi
melingkar (Gambar 3). Pengaruh faktor litologi
terhadap bentang alam terutama ditentukan oleh
ketahanan batuan (resistensi) dalam merespon
proses eksogenik yang berlangsung. Hal ini tampak
pada litologi penyusun utama daerah penelitian yang
relatif resisten dan mempunyai
kecenderungan
untuk memperlihatkan morfologi sisa erosi yang
relatif kasar dan menonjol. Pada morfologi yang
mengindikasikan bekas gunung api, mempunyai
kelerengan rata-rata 30,93 % dan beda tinggi rata-rata
82,98 meter dengan ketinggian mencapai 750 mdpl.

Gambar 3. Kenampakan pola dendritik semi melingkar


pada daerah kajian (ditunjukkan oleh garis melingkar
warna merah, tanda panah menunjukkan arah aliran air
pada pola pengaliran).

3.2. Stratigrafi Gunung Api


Daerah kajian merupakan kawasan yang
dominan tersusun oleh endapan gunung api yang
termasuk dalam Formasi Mandalika, Formasi Semilir
dan Formasi Nglanggran. Berdasarkan penamaan
batuan gunung api, daerah Gemawang disusun oleh
breksi andesit piroklastika, lava dasit koheren, breksi
pumis piroklastika, tuf jatuhan piroklastika, breksi
ignimbrit piroklastika breksi andesit piroksin
piroklastika, aglomerat dan breksi andesit piroksin
autoklastika. Kehadiran lava dasit di sini
mengindikasikan adanya pusat erupsi yang
menghasilkan lava tersebut dan tidak jauh dari tempat
dimana lava tersebut berasal (pusat erupsi). Satuan
lava dasit koheren (Gambar 4) dan Satuan breksi
andesit piroklastika termasuk dalam Formasi
Mandalika, dan tuf jatuhan piroklastika (Gambar 5),
breksi pumis piroklastika dan breksi ignimbrit
piroklastika merupakan bagian dari Formasi Semilir.
Satuan breksi andesit piroksin piroklastika
dibagi menjadi dua yaitu breksi andesit proksin
piroklastika jatuhan dan breksi andesit piroksin
piroklastika aliran. Breksi andesit piroksin
piroklastika jatuhan menunjukan
ukuran butir
bergradasi normal kearah atas yang sebagai penciri
produk jatuhan, sedangkan breksi andesit piroksin
piroklastika aliran menunjukan tekstur ukuran butir
yang tidak teratur, sortasi buruk dan kemas terbuka.

Gambar 2. Analisis citra SRTM yang menunjukkan pola


relatif melingkar.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 673

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

gunung api di daerah kajian menunjukkan kemiringan


batuan melandai dan relatif memencar (Gambar 7)
menjauhi dari suatu cekungan dite-ngahnya,
mengindikasikan sebagai pusat erupsi (?).

Gambar 4. Kenampakan singkapan lava dasit pada


daerah penelitian membentuk struktur kekar kolom.

Gambar 6. Kenampakan singkapan breksi andesit


autoklastika (aliran lava). Lensa menghadap ke arah
baratlaut (TL = timurlaut, BD = baratdaya).

Gambar 5. Singkapan tuf jatuhan piroklastika pada daerah


penelitian.

Aglomerat pada daerah penelitian dijumpai


secara setempat-setempat dan kebanyakan ditemukan
pada daerah yang diperkirakan sebagai pusat erupsi
purba. Breksi andesit piroksin autoklastika secara
umum pada daerah penelitian berstruktur aliran
lava
yang
terbreksikan
(autobreccia)
dan
penyebarannya juga hanya setempat-setempat. Satuan
breksi andesit piroksin piroklastika, aglomerat dan
satuan breksi andesit piroksin autoklastika (Gambar
6) merupakan bagian dari Formasi Nglanggran.
3.3. Struktur Geologi Gunung Api
Struktur geologi pada daerah penelitian tidak
hanya terbentuk karena tektonik saja namun dapat
juga terbentuk oleh volkanisme. Pada daerah
penelitian dengan memperhatikan jurus dan
kemiringan batuan, nampak membentuk pola
kemiringan semakin terjal ke arah puncak dan
semakin melandai ke arah luar, relatif membentuk
pola melingkar. Hal tersebut menunjukkan jenis pola
bentukan gunung api. Pada daerah penelitian batuan

674 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Gambar 7. Kenampakan kemiringan relatif melingkar dan


relatif semakin melandai ke arah luar (tanda panah
menunjukan arah relatif kemiringan batuan).

Pada daerah penelitian, kemiringan litologi


mengindikasikan selaras dengan kemiringan lereng
gunung api yang dari gunung api masa kini dapat kita
lihat menunjukkan melandai kearah lereng bawah dan
kaki kerucut gunung api. Pada lereng atas daerah
penelitian, kemiringan mencapai 34, kemudian
secara berangsur melandai hingga kurang dari 15
kearah kaki. Kemiringan tersebut kemungkinan tidak
disebabkan oleh tektonika, melainkan terbentuk
akibat pengendapan batuan itu sendiri yang
mengikuti kemiringan awal gunung api (original

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

dips/initial dips) dan semakin menipis dari fasies


dekat menuju fasies tengah ataupun fasies jauh.
Dari pandangan burung nampak pada daerah
penelitian menunjukan pasangan lereng simetris yang
berarah barat-timur (Gambar 8). Berdasarkan analisa
data struktur geologi terhadap citra SRTM, peneliti
mendapatkan hasil beberapa kelurusan dimana
arahnya berpotongan yakni kelurusan berarah
timurlaut-baratdaya terpotong pola yang lebih
dominan yakni berarah baratlaut-tenggara. Pola
struktur berarah timurlaut-baratdaya tersebut diyakini
berupa struktur yang lebih tua yang merupakan
(bagian) dari pola Meratus. Keberadaan gunung api
pada daerah penelitian kemungkinan berkaitan
dengan struktur geologi yang membangun Pulau
Jawa, yang mana pada Magma di bawah permukaan
bumi keluar melalui zona lemah yang diakibatkan
struktur tersebut. Setelah pola tersebut terbentuk,
terpotong oleh pola struktur baru (lebih muda)
berarah baratlaut-tenggara yang diyakini bagian dari
pola Jawa.

miring menimpa endapan


lunak di bawahnya
sehingga melesak ke bawah, maka sudut kemiringan
dari melesak ke bawahnya itu menggambarkan arah
datangnya bom atau arah asal sumber erupsi gunung
api setempat. Foto tersebut menunjukan arah jatuhnya
relatif berasal dari utara.
Pada daerah penelitian banyak ditemukan
struktur lain yaitu bom gunung api, jigsaw cracks
dan struktur mozaik yang menyusun litologi
aglomerat dan breksi andesit piroksin piroklastika.
Dengan dijumpai banyaknya struktur mozaik dan
yang kebanyakan terdapat pada Satuan Breksi
Andesit Nglanggran (penamaan litostratigrafi) atau
breksi andesit piroksin piroklastika (penamaan
vulkanostratigrafi) maupun aglomerat, maka hal
tersebut mengindikasikan bahwa litologi tersebut
berupa batuan gunung api yang merupakan produk
primer dari gunung api setempat. Litologi
tersebut tidak tertransportasi terlalu jauh bahkan in
situ dan lingkungan terbentuknya adalah darat.

Gambar 8. Kenampakan morfologi lereng atau


punggungan yang saling berpasangan arah barat-timur
(Foto diambil dari pegunungan di sebelah selatan daerah
penelitian).

Pada satuan lava dasit koheren, yang


ditemukan di sebelah utara dari daerah yang
mengindikasikan
pusat
erupsi
(?),
selain
menunjukkan kekar kolom juga nampak mempunyai
struktur vesikuler pada permukaaan lava yang
membentuk elips, dengan arah relatif utara-selatan.
Struktur tersebut menunjukkan arah aliran lava
yang bergerak dari pusat erupsi mengalir menjauhi
pusat erupsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa aliran
lava mengalir antara ke arah utara atau selatan dari
pusat erupsinya atau darimana lava tersebut berasal.
Dari data tersebut dapat ditelusuri daerah mana yang
mengindikasikan sebagai daerah sentral atau pusat
erupsi.
3.4. Sedimentologi Gunung Api
Dalam analisis sedimentologi gunung api, pada
daerah penelitian ditekankan pada tekstur dan
struktur batuan klastika gunung api. Pada daerah
penelitian dijumpai adanya struktur bom sag (Gambar
9). Struktur tersebut merupakan bom gunung api
yang dilontarkan dari kawah gunung api dan jatuh

Gambar 9. Kenampakan struktur bom sag pada daerah


penelitian.

4.

Pembahasan

Penelitian dilakukan dengan mengacu pada


konsep the present is the key to the past yakni
dengan memperhatikan data dan kondisi geologi
gunung api pada masa kini yang masih aktif untuk
mengidentifikasi kondisi geologi dan keberadaan
gunung api masa lampau pada daerah penelitian. Dari
aspek geomorfologi dapat kita lihat bahwa pada
daerah penelitian cukup jelas menunjukkan adanya
morfologi gunung api purba. Bentang alam gunung
api yang terbentuk di daerah penelitian merupakan
bentang alam sisa gunung api, dimana sebagian besar
telah mengalami proses denudasional yang sangat
intensif dan menyebab-kan batuan dasar tersingkap.
Kenampakan tersebut tidak membentuk morfologi
kerucut yang bagus seperti gunung api pada masa
sekarang. Hal tersebut dikarenakan batuan gunung
api yang menyusun daerah penelitian berumur
Tersier, maka morfologi tersebut telah mengalami
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 675

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

erosi dan membentuk morfologi seperti kerucut


terpancung namun masih memperlihatkan morfologi
bentuk simetri di bagian sayap barat dan timur.
Morfologi pada daerah penelitian didukung
pula oleh pola pengaliran yang terbentuk di daerah
penelitian. Pola pengaliran yang dominan terbentuk
di daerah penelitian membentuk pola dendritik semi
melingkar, hal tersebut merupakan pola yang identik
dengan suatu pola yang terbentuk pada sayap-sayap
suatu lereng gunung api yang relatif melingkar. Pola
pengaliran tersebut memusat menuju suatu daerah
yang mengindikasikan pusat erupsi purba, kemudian
pola dendritik pada lerang yang relatif melingkar
mengalir memancar secara radial menuju lereng yang
lebih rendah dan landai menuju sungai utama yakni
Sungai Tirtomoyo disebelah selatan dan Sungai
Keduwan yang berada di sebelah utara. Peneliti
mengiterpretasikan pola dendritik semi melingkar
tersebut sangat identik dengan bentukan gunung api
dimana aliran air menyebar dari pusat ke segala arah.
Apabila diamati di citra SRTM akan nampak
bahwa daerah penelitian membentuk bentang alam
berelief kasar kemudian melandai kearah luar dan
membentuk gawir terjal kearah dalam, meleng-kung
membuka ke arah baratdaya. Sementara itu pada
lereng bawah menuju kaki bekas gunung api,
menunjukkan relief yang semakin halus bahkan
sudah tertutupi oleh endapan yang lebih muda yakni
endapan Kuarter. Batuan beku luar dan breksi
piroklastika yang menyusun morfologi pada daerah
kajian mempunyai ketahanan yang tinggi, sehingga
kelompok batuan tersebut memper-lihatkan topografi
sisa erosi yang menonjol dan membentuk morfologi
sisa gunung api. Pada kenampakan morfologi nampak
berarah barat-timur menunjukkan lereng punggungan
berpasangan yang relatif melandai atau lebih rendah
menjauhi tengah dari morfologi tersebut, sedangkan
gawir yang menghadap ke tengah lebih curam.
Bentang alam gunung api pada daerah penelitian
dalam proses pembentukannya sangat terpengaruh
oleh proses erupsi dan proses eksogenik
Peneliti menyimpulkan kenampakan relief dari
kasar ke arah halus tersebut merupakan cerminan
litologi penyusun daerah penelitian. Pada daerah yang
mengindikasikan bekas erupsi (fasies pusat) maupun
sekelilingnya (fasies proksimal) tersusun oleh litologi
dengan fraksi yang sangat kasar sampai kasar
semantara semakin mengarah keluar (ke arah fasies
medial atau distal) fraksi batuan semakin halus. Hal
tersebut sesuai dengan pemahaman mengenai konsep
gunung api mengenai tekstur batuan klastika gunung
api yang mana semakin menjauhi pusat erupsi,
ukuran butir akan semakin mengecil dan mengarah
dari litologi fraksi kasar ke litologi fraksi halus.
Dari arah kemiringan batuan membentuk
pasangan kemiringan litologi yang berarah utaraselatan, pasangan kemiringan litologi tersebut

676 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

membentuk pola kemiringan semakin terjal kearah


puncak dan semakin melandai ke arah luar.
Selanjutnya dilihat dari pandangan burung pada
daerah penelitian menampakan morfologi pasangan
punggungan atau perbukitan simetri yang saling
berhadapan berarah barat-timur. Peneliti merekontruksi dan mengkombinasikan antara pasangan
kemiringan litologi yang berarah utara-selatan dengan
morfologi pasangan punggungan atau perbukitan
simetri yang berarah barat-timur, maka akan terlihat
bentukan bentang alam yang membntuk suatu
kerucut. Peneliti menginter-pretasikan bentukan
kerucut tersebut merupakan bentukan gunung api
purba dengan pusat
kerucut
mengindikasikan
pusat erupsi purba (?), namun puncak kerucut
tersebut telah tererosi akibat proses eksogenik dan
membentuk morfologi kerucut terpancung.
Hal tersebut didukung data struktur geologi
yang juga mendukung data tersebut, pada daerah
penelitian dengan memperhatikan jurus dan
kemiringan batuan, nampak membentuk pola
kemiringan semakin terjal kearah puncak dan
semakin melandai ke arah luar pada tiap lereng dan
relatif membentuk pola melingkar. Peneliti mencoba
menggabungkan data geomorfologi gunung api
dengan data struktur gunung api maka peneliti
merekontrusi dan menyimpulkan pada daerah
penelitian membentuk suatu tubuh gunung api masa
lampau (Gambar 10). Kemiringan litologi pada lereng
atas daerah penelitian mencapai 34, kemudian secara
berangsur melandai hingga kurang dari 15 ke arah
kaki.
Peneliti
menyimpulkan
hal
tersebut
mengindikasikan selaras dengan suatu kemiringan
lereng bentukan gunung api yang dari gunung api
masa kini dapat kita lihat menunjukkan melandai
kearah lereng bawah mengikuti kemiringan awal
gunung api (original dips/initial dips) dan semakin
menipis dari fasies dekat menuju fasies tengah
ataupun fasies jauh.

Gambar 10. Perbandingan gunung api masa kini (a)


dengan rekontruksi tubuh gunung api purba pada
daerah penelitian (b).
Dilihat dari aspek stratigrafi gunung api dapat
kita lihat pada daerah penelitian kelompok batuan
Tersier yang menyususn Khuluk Gemawang
keseluruhan merupakan produk batuan gunung api
baik itu klastika gunung api maupun lava koheren.
Pada daerah penelitian batuan gunung api penyusun

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

gunung api purba merupakan bagian dari Formasi


Mandalika,
Formasi
Semilir
dan
Formasi
Nglanggran. Jika peneliti cermati berdasarkan aspek
litologi dan genesanya, kelompok batauan yang
terpilah menjadi dua bagian menunjukan suatu
produk fase konstruktif dan fase destruktif oleh
produk gunung api. Fase konstruktif dicirikan oleh
litologi penyusun Formasi Mandalika dan Formasi
Nglanggran, sedangkan fase desdruktif dicirikan oleh
Formasi Semilir. Interpretasi diatas didukung data
sekunder berdasarkan Hartono dkk. (2000 dalam
Hartono, 2011) yang menyatakan bahwa batuan
gunung api yang menyusun Pegunungan Selatan
paling sedikit dihasilkan oleh lima pusat erupsi purba
yaitu Khuluk Parangtritis, Khuluk Sudimoro, Bregada
Baturagung, Bregada Gajahmungkur, dan Khuluk
Wediombo. Kelima gunung api purba tersebut telah
mengalami erosi lanjut. Hartono juga membagi
kegiatan vulkanisme Pegunungan Selatan menjadi
fase konstruktif (F. Mandalika dan F. Nglanggran)
dan fase destruktif (F. Semilir). Pada daerah
penelitian bila peneliti cermati menunjukkan tiga fase
proses vulkanisme berurutan yang menyusun gunung
api purba pada daerah penelitian (Gambar 11).

kemungkinan dimulai dari lava maupun batuan


gunung api yang berasal dari magma yang lebih basa
(andesitic-basaltic) dan merupakan bagian dari
Formasi Mandalika bagian bawah (?), namun tidak
tersingkap pada daerah penelitian. Selanjutnya
sampai pada tahap fase konstruktif 1 akhir yang
dicirikan oleh breksi andesit piroklastika dan lava
dasit koheren yang merupakan bagian dari Formasi
Mandalika bagian atas (Miosen Awal). Seiring
berkembangnya
proses
diferensiasi
magma,
komposisi magma berubah mengarah ke magma yang
lebih asam, hal tersebut ditandai dengan kehadiran
lava dasit. Kehadiran lava dasit pada daerah
penelitian sebagai indikator adanya pusat erupsi
penghasil lava tersebut yang relative dekat. Hal
tersebut demikian dikarenakan lava dasit cenderung
mempunyai viskositas relatif tinggi dan fluiditas
relatif rendah sehingga cenderung mengalir tidak
terlalu jauh dari pusat erupsi. Aktivitas konstruksi
pertama pada pembentukan gunung api ini tidak
berlangsung lama, hanya mempunyai umur relatif
singkat namun sudah mencapai tahap pembangunan
gunung api komposit, sehingga hanya tersebar
dengan volume yang kecil.

Litologi yang merupakan bagian dari Formasi


Mandalika merupakan penunjuk fase konstruktif
pertama dalam pembentukan gunung api purba pada
daerah penelitian, litologi yang merupakan bagian
dari Formasi Semilir menunjukan fase destruktif
pertama dan litologi bagian dari Formasi Nglanggran
merupakan fase konstruktif kedua.

Seiring berjalannya proses dan waktu, fase


yang semula konstruktif tersebut kemudian berubah
mengarah menjadi fase destruktif dengan dicirikan
hadirnya lava dasit, kemudian dimulainya fase
destruktif 1 pada daerah penelitian. Bukti fase
destruktif 1 tersebut ditunjukan dengan adanya
keberadaan batuan gunung api yang kaya akan pumis.
Kehadiran lava dasit pada daerah penelitian yang
dimungkinkan ada dan terdapat pada puncak gunung
api berperan sebagai sumbat lava karena sifat
viskositas dan fluiditas dari lava tersebut (?),
sehingga menutup kawah erupsi dan lama kelamaan
akan menghasilkan erupsi gunung api yang bersifat
eksplosif menghasilkan batuan gunung api yang kaya
akan pumis. Hal tersebut dicirikan oleh adanya satuan
breksi pumis piroklastika dan tuf jatuhan piroklastika
yang merupakan bagian dari Formasi Semilir.
Kehadiran litologi tersebut menandakan bahwa
produk ini dihasilkan oleh letusan yang kuat (tipe
sub-plinian). Hasil erupsi eksplosif ini membentuk
litologi breksi pumis piroklastika dan tuf jatuhan
piroklastika yang menutupi satuan breksi andesit dan
satuan lava dasit koheren di bawahnya. Pada fase
destruktf bagian akhir, letusan semakin dasyat
(bertipe plinian) sehingga terbentuklah satuan breksi
ignimbrit piroklastika yang komposisi fragmennya
didominasi dari bahan yang sama saat fase
konstruktif 1 maupun destruktif 1 yakni dasit, andesit
dan pumis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tiap
formasi dan satuan batuan sebelumnya merupakan
suatu yang berkesinambungan dalam pembentukan
gunung api purba. Kedua kelompok batuan fase
destruktif tersebut dikelompokan merupakan bagian
dari Formasi Semilir.

Gambar 11. Gambaran proses pembentukan gunung


api pada daerah penelitian ditinjau dari fase
pembentukan gunung api.
Fase pertama yakni fase konstruksi 1 awal (?)
yang kemungkinan dimulainya magma keluar ke
permukaan bumi akibat rekahan sistematis yang
diinterpretasikan bagian dari pola Meratus. Fase
konstruksi 1 awal (?) yang merupakan awal mula
pembentukan gunung api pada daerah penelitaian

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 677

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Setelah fase destruktif tersebut berakhir


kemudian fase konstruktif kedua dimulai kembali
dengan terbentuknya litologi berupa breksi andesit
piroksin piroklastika (jatuhan dan aliran), breksi
andesit piroksin autoklastika dan aglomareat yang
merupakan bagian dari Formasi Nglanggran. Dari
pemahaman tersebut peneliti menyimpulkan dan
menginterpretasikan bahwa fase konstruksi kedua
tersebut dibangun oleh letusan gunung api yang
bersifat strombolian. Hal tersebut dibuktikan dengan
adanya aglomerat, struktur sedimen batuan klastika
gunung api dan banyaknya fragmen berupa bom dan
blok pada breksi andesit piroksin piroklastika.
Kelompok litologi tersebut kemungkinan menutupi
litologi atau batuan piroklastika gunung api yang
berupa breksi co-gnimbrite yang kemungkinan
tersebar dan terkonsentrasi di daerah puncak yang
mengindikasikan pusat erupsi.
Dari data struktur geologi gunung api,
keeberadaan gunung api pada daerah penelitian
kemungkinan berkaitan dengan struktur geologi yang
membangun Pulau Jawa, yang mana pada Oligosen
atau Miosen Awal (fase konstruktif pertama) diawali
dengan adanya retakan sistematis pada kulit bumi
yang relatif berarah timurlaut-baratdaya atau
mengikuti Pola Meratus (Pulunggono dan
Martodjojo, 1994). Magma di bawah permukaan
bumi keluar melalui zona lemah yang diakibatkan
struktur tersebut. Setelah pola tersebut terbentuk,
terpotong oleh pola struktur baru (lebih muda)
berarah baratlaut-tenggara yang diyakini bagian dari
pola Jawa. Berdasarkan hasil analisa dari data yang
diadapatkan, gunung api purba pada daerah penelitian
secara fasies gunung api terdapat Fasies Pusat dan
Fasies Proksimal-Medial.
Fasies distal tidak nampak pada derah
penelitian karena kemungkinan tererosi ataupun
tertutupi oleh litologi di atasnya. Fasies Pusat atau
Fasies Sentral merupakan bagian pusat keluarnya
magma dari dalam bumi ke permukaan. Fasies ini
dicirikan oleh asosiasi batuan gunung api yang
berupa kubah lava dan berbagai macam batuan
terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions)
seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill,
retas, kubah magma bawah permukaan (cryptodomes)
dan aglomerat (Bronto 2010). Pada daerah penelitian
fasies ini dicirikan oleh breksi andesit piroksin
piroklastika, breksi autoklastika (lava auto) dan
aglomerat. Kenampakan kubah lava permukaan yang
umumnya berada di kawah gunung api pada daerah
penelitian kemungkinan sudah tidak nampak karena
daerah penelitian berupa gunung api purba yang
sudah tererosi tingkat lanjut.
Fasies proksimal merupakan kawasan gunung
api yang paling dekat dengan fasies pusat. Pada
gunung api berumur Kuarter umumnya Fasies
Proksimal mengintari indikasi pusat erupsi (?) atau
Fasies Pusat. Pada fasies medial, karena sudah lebih
678 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat


sudah berkurang, tetapi breksi piroklastikaa dan tuf
sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai
berkembang. Pada daerah penelitian fasies ini
dicirikan oleh breksi andesit piroklastika, lava dasit
koheren, breksi pumis piroklastika, tuf jatuhan
piroklastika, breksi ignimbrit piroklastika, breksi
andesit piroksin piroklastika, dan breksi andesit
autoklastika. Dengan adanya fasies pusat dan fasies
proksimal-medial dapat disimpulkan bahwa gunung
api purba pada daerah penelitian berjenis komposit
atau strato.
Untuk lebih jelas mengenai pembagian fasies
gunung api, maka peneliti membuat perbandingan
fasies gunung api pada daerah penelitian dengan
model fasies Bogie dan Mackenzie (1998, dalam
Bronto 2006) yang dapat dilihat pada gambar berikut
(Gambar 12). Gambar tersebut menunjukan penciri
fasies gunung api masa kini yang penulis gunakan
untuk merekonstruksi fasies gunung api purba pada
daerah penelitian sehingga tidak semua litologi
sebagai penciri fasies pusat maupun fasies proksimalmedial terpenuhi atau ada pada fasies gunung api
purba pada daerah penelitian.
Secara keseluruhan litologi yang berupa
batuan gunung api tersebut mengintari morfologi
semi melingkar pada gunung api purba di daerah
penelitian. Secara stratigrafi gunung api atau
vulkanostratigrafi, dengan adanya Fasies Pusat
sebagai indikasi pusat sumber erupsi dan adanya
Fasies Proksimal-Medial pada Daerah Gemawang
maka pada daerah penelitian terindentifikasi terdapat
bekas gunung api (ancient volcano) yang merupakan
Khuluk Gunung Api Purba Gemawang. Peneliti
menamakan daerah tersebut menjadi khuluk gunung
api karena mengacu pada Sandi Stratigrafi Indonesia
yang menyebutkan Khuluk merupakan kumpulan
batuan yang dihasilkan oleh satu atau lebih titik
erupsi yang membentuk satu tubuh atau badan dari
gunung api. Khuluk Gunung Api tersingkap di
permukaan dan dapat berkelanjutan ke bawah
permukaan (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 12. Fasies gunung api pada daerah kajian


menurut Bogie dan Mackenzie (1998, dalam Bronto 2006).
Keterangan : breksi andesit piroklastika (BAP), lava dasit
koheren (LDK), breksi pumis piroklastika (BPP), tuf
jatuhan piroklastika (TJP), breksi ignimbrit piroklastika
(BIP), breksi andesit piroksin piroklastika (BAPP),
aglomerat (AG) dan breksi andesit piroksin autoklastika
(BAA).

5.

Kesimpulan

Pada
daerah
penelitian
dengan
mengidentifikasi keberadaan gunung api purba
menggunakan pendekatan aspek geomorfologi
gunung api, stratigrafi gunung api, struktur
gunung api, sedimentologi gunung api dan aspek
lainnya yang mendukung keberadaan adanya
bekas gunung api pada daerah penelitian maka
dapat disimpulkan bahwa pada daerah penelitian
teridentifikasi adanya gunung api purba yaitu
Khuluk Gemawang.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
Tim Seminar Nasional ReTII ke-9 atas
kesempatannya. Ucapan terima kasih juga
ditujukan kepada Ketua Jurusan Teknik Geologi,
STTNAS Yogyakarta, yang telah mengizinkan
para staf pengajar dan mahasiswa untuk
melakukan penelitian bersama, selain itu penulis
mengucapkan terimakasih untuk saudara Andy
Setyawan dan Hendy Aji Saputro atas
kerjasamanya selama di lapangan.

Acuan
Bronto, S., Hartono, G. dan Purwanto, D., 1998,
Batuan Longsoran Gunungapi Tersier di
Pegunungan Selatan : Studi Kasus di kali
Ngalang, kali Putat dan Jentir, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta, 8-9 Agustus, pp. 344349.
Bronto, S., 2006, Fasies Gunung Api dan
Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 2, No
1, hal 59 - 71.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti,
B., 2008, Gunung api purba Watuadeg: Sumber
erupsi dan stratigrafi, Jurnal Geologi Indonesia,
Vol 3, No 3, hal 117 - 128.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti,
B., 2009, Waduk Parangjoho dan Songputri:
Alternatif sumber erupsi Formasi Semilir di
daerah Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 4, No 2,
hal 77 - 92.
Bronto, S., 2010, Geologi Gunung Api Purba, Badan
Geologi Indonesia, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Bandung, 154 hal.

Hartono, G., 2000, Studi Gunung Api Tersier :


Sebaran Pusat Erupsi dan Petrologi di
Pegunungan Selatan Yogyakarta. Tesis S2, ITB,
tidak diterbitkan.
Hartono, G. dan Bronto, S., 2007, Asal - usul
pembentukan Gunung Batur di daerah
Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal
Geologi Indonesia, Vol. 2, No. 3, hal 143 - 158.
Hartono, G., 2007, Studi Batuan Gunung Api Pumis :
Mengungkap Asal Mula Bregada Gunung Api
Purba di Pegunungan Selatan, Yogyakarta.
Prosiding : Workshop Pegunungan Selatan, hal
145 - 157.
Hartono, G. dan Bronto S., 2009, Analisis stratigrafi
awal kegiatan Gunung Api Gajahdangak di
daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap
stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan
Selatan, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia,
Vol. 4, No. 3, hal 157 - 165.
Hartono, G., 2010. Peran Paleovolkanisme Dalam
Tataan Produk Batuan Gunung Api Tersier Di
Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa
Tengah Program Pascasarjana, Universitas
Padjadjaran Bandung. (Tidak dipublikasikan)
Haryono, S., Otong, R., dan Oyon, S. 1995. Peta
Anomali
Bouguer
Lembar SurakartaGiritontro, Skala 1:100.000, P3G, Bandung.
Martodjo, S., dan Djuhaeni, 1996. Sandi Stratigrafi
Indonesia. Jakarta : Ikatan Ahli Geologi
Indonesia.
Pulunggono, A & S. Martodjojo, 1994, Perubahan
Tektonik Paleogen Neogen merupakan
Peristiwa Tektonik penting di Jawa. In: Proc.
Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa
sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter,
Geol.Dept.Gadjah Mada University, Yogyakarta,
p. 37 51.
Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Paleogen
Jawa Bagian Timur, Desertasi, Program Doktor
Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung
(tidak dipublikasikan).
Surono, Sudarno, I., dan Toha, B., 1992. Peta
Geologi Lembar Surakarta Giritontro, Jawa,
skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
Sampurno dan Samodra, H., 1997. Peta Geologi
Lembar Ponorogo Jawa (Edisi ke-2), skala
1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
Surono, 2009, Litostratigrafi Pegunungan Selatan
Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta Dan
Jawa Tengah, JSDG, Vol. 19, No. 3 Juni, Pusat
Studi Geologi, Bandung.
van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of
Indonesia, Vol 1A. General Geology, The
Hague, Martinus Nijhoff, Netherlands.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 679

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

680 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

PEMODELAN AIRTANAH PADA PENAMBANGAN AKTIF


DAN PENUTUPAN TAMBANG BATUBARA PIT TERBUKA DI
MUARA LAWA, KABUPATEN KUTAI BARAT,
KALIMANTAN TIMUR
Shalaho Dina Devy1,3, Heru Hendrayana1, Dony Prakasa E.P1, Eko Sugiharto2
1)

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada


Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada
3)
Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman
2)

E-mail : azvy_05@yahoo.co.id
Abstrak
Perubahan tataguna lahan berdampak pada ketersediaan airtanah baik secara kuantitas maupun kualitas.
Aktivitas penambangan batubara pit terbuka merupakan aktivitas yang berdampak pada perubahan tataguna
lahan, litologi, dan akuifer, seperti pembentukan pit tambang yang mengakibatkan terpotongnya perlapisan
batuan yang berkorelasi dengan lapisan akuifer sebagai lapisan pembawa airtanah. Kondisi ini terjadi seperti
pada lokasi penambangan batubara pit terbuka di kecamatan Muara Lawa yang menjadi daerah model
penelitian. Kajian kondisi hidrogeologi, hidrologi, dan kondisi batas hidrogeologi sangat berperan untuk
mengetahui keberadaan airtanah pada cekungan airtanah dan menentukan pemodelan airtanah pada
penambangan aktif dan penutupan penambangan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pemodelan
pola aliran airtanah dampak penambangan aktif dan penutupan tambang batubara pit terbuka. Secara
geologis, formasi batuan yang berkembang daerah Muara Lawa terdiri dari Formasi Pulaubalang, Pamaluan,
dan Balikpapan dengan struktur Sinklin Lampanan. Kemiringan perlapisan batuan (dip) 16-20 dengan
sumbu sinklin yang membentang dari timur laut menuju ke barat daya. Daerah penelitian masuk dalam
Sistem Akuifer Batuan Sedimen Terlipat yang terdiri dari tujuh lapisan akuifer yang berselang-seling antara
akuitar, akuifer, dan lapisan dasar berupa akuiklud. Secara regional, batas hidrogeologis daerah model
penelitian dibatasi oleh batas air permukaan pada dua sungai besar, yaitu Sungai Lawa (timur) dan Sungai
Perak (barat), serta batas pemisah airtanah dengan head tertinggi (utara dan selatan) yang dibatasi oleh
perbukitan homoklin berbentuk sayap sinklin.Hasil pemodelan airtanah dapat diketahui adanya perbedaan
aliran airtanah saatpenambangan aktif danpenutupan tambang pit terbuka terutama pada daerah pit tambang
yang mengalami kenaikan elevasi dari -70 mdpl menjadi -5 mdpl dan penurunan elevasi dari 40 menjadi 12 m
pada daerah disposal. Perubahan yang terjadi antara lain:perubahan pola arah aliran airtanah pada bekas pit,
kenaikan muka airtanah piezometrik, kenaikan head,dan terbentuknya void/pit lakes.
Kata Kunci: Pemodelan, Muara Lawa, PenambanganPit terbuka, head

1. Pendahuluan
Muara lawa masuk dalam tiga formasi dari
Cekungan Kutai, yaitu Formasi Pamaluan,
Pulaubalang, dan Balikpapan. Ketiga formasi ini
membentuk struktur Sinklin Lampanan yang
membentang dari timur laut menuju ke barat daya.
Melimpahnya cadangan batubara dari ketiga formasi
tersebut, maka berakibat banyak perusahan yang
melakukan aktivitas penambangan batubara dengan
menggunakan metode penambangan pit terbuka.
Penambangan batubara pit terbuka merupakan
kegiatan yang menyebabkan perubahan morfologi,
geologi, dan geohidrologi, seperti perubahan tata
guna lahan, perlapisan batuan, dan akuifer.
Penambangan pit terbuka ini mendasarkan pada
aktivitas penggalian ke arah vertikal hingga
mencapai lapisan endapan batubara yang diinginkan.
Salah satu perusahan penambangan batubara di
Muara Lawa yang menggunakan penambangan
dengan metode pit terbuka adalah PT. Trubaindo
Coal Mining (PT. TCM).
Secara geografis, Muara Lawamasuk wilayah
kabupaten Kutai Barat yang berjarak 323 km dari

ibukota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.


Muara Lawa mempunyai ketinggian permukaan dari
5 sampai 280 m dpl denganrata-rata curah hujan
harian 137 mm/tahun dan curah hujan maksimum
terjadi pada bulan Februari hingga April.
Temperatur Muara Lawa mempunyai kisaran antara
29 hingga 35 C. Terdapat dua sungai besar, yaitu
Sungai Lawadan Sungai Perak, yang membatasi
wilayah barat dan timur yang menjadi batas model
penelitian. Secara alami, arah aliran Sungai Perak
dan Lawa mengarah ke utara menuju ke Sungai
Mahakam.
Pemodelan airtanah dampak penambangan
batubara merupakan kajian secara menyeluruh
tentang kondisi morfologi, hidrologi, geologi, dan
hidrogeologi yang diaplikasikan secara konseptual
dalam model tiga dimensi yang bertujuan untuk
mengetahui perubahan-perubahan airtanah, seperti
pola aliran, head, dan arah aliran. Ketepatan dalam
pemodelan sangat dipengaruhi oleh batas
hidrogeologis, karakteristik akuifer, dan perubahan
morfologi
dampak
penambangan,
seperti
terbentuknya pit, saluran terbuka, dan disposal. Pada

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 681

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

akhirnya, pemodelan ini bermanfaat untuk


mengetahui arah aliran, ketinggianhead, muka
piezometrik airtanah yang dapat menimbulkan
masalah lingkungan, seperti terbentuknyavoid/pit
lakes.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian induktif
dengan pendekatan analitik, yaitu kondisi hidrologi,
hidrogeologi, dan pemodelan airtanah. Pendekatan
ini mendasarkan pada kajian secara mendalam
tentang aspek morfologi, hidrologi, hidrogeologi,
dan perubahan tata guna lahan, penambangan aktif
dan penutupan tambang batubara pit terbuka. Selain
dengan pendekatan analitik, penelitian ini
menggunakan ekperimen semu (Quasi Experiment
Research) yang disebabkan banyaknya data yang
diperoleh di lapangan dan bukan semata-mata
menggabungkan teori-teori yang ada untuk menarik
suatu kesimpulan tertentu.
Daerah penelitian berada di daerah aliran sungai
(DAS) Lawa yang dibatasi oleh DAS Perak yang
berada di barat daerah penelitian. Daerah aliran
airtanah sangat mempengaruhi kuantitas imbuhan
airtanah. Imbuhan airtanah merupakan bagian siklus
hidrologi yang ditentukan oleh keseimbangan air
dalam suatu daerah aliran sungai. Siklus hidrologi
dipengaruhi oleh keseimbangan air/uap air dari
presipitasi, aliran airpermukaan, imbuhan airtanah,
dan evapotranspirasi.
Presipitasi daerah penelitian diperoleh dari data
tiga stasiun pencatat curah hujan pada sepuluh tahun
terakhir yang berada di DAS Lawa, yaitu STA-1P,
2P, dan 1B. Kuantitas aliran air permukaan sangat
dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran sungai
danjaringan sungai-sungai daribagian hulu hingga
hilir, seperti keberdaan Sungai Tunau dan Jelukserta
kondisi tata guna lahan pada kawasandaerah aliran
sungai.Selain itu, nilai evapotranspirasi juga sangat
tergantung dari data presipitasi dan kondisi fisik dari
tata gunalahan wilayah DAS.
Hidrostratigrafi menjadi model lapisan vertikal
yang ditentukan daridimensi lapisan akuifer.
Hidrostratigrafisangat
dipengaruhi
oleh
stratigrafigeologi yang berkembang di daerah
penelitian. Data geologi diperoleh dari hasil kegiatan
eksplorasi permukaan, pemboran ekplorasi yang di
tumpang susun dengan data geologi regional. Hasil
interpretasi stratigrafi kemudian dilakukan uji
pemompaan pada lapisan yang menjadi pembeda
antar lapisan yang bertujuan untuk mengetahui
karakteristik
akuifer
tiap
lapisan
batuan.
Karakteristik yang digunakan sebagai pembeda antar
lapisan yaitu konduktivitas hidrolika akuifer.
Model konseptual daerah penelitian dipengaruhi
oleh daerah imbuhan dan batas hidrogeologis.
Daerah imbuhan merupakan daerah dipermukaan
yang secara terbuka dapat kontak secara langsung
dengan curah hujan dan aliran air permukaan.
Daerah imbuhan terdiri dari daerah singkapan

682 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

akuifer dan lapisan akuifer yang tersebar luas dan


merata.Batas hidrogeologis ditentukan oleh kondisi
morfologi, keberadaan air permukaan, dan jenis
akuifer yang berada di daerah penelitian.
Morfologi daerah penelitian diperoleh dari
survey
lapangan
dan
interpretasi
peta
topografikawasan penambangan batubara pit terbuka
dan sekitarnya. Selain itu, keberadaan sungai-sungai
yang berpengaruh terhadap batas air permukaan
ditentukan batasan-batasan hidrolika melalui peta
topografi
dan
peta
SRTM.
Model
konseptualpenambangan aktif menjadi sumberdata
masukan dalam pemodelan airtanah dan data acuan
kondisi batas hidrolika daerah yang terkena dampak
penambangan.
Model konseptual airtanah penambangan aktif
dan penutupan penambangan mendasarkan pada
perubahan
batas-batas
hidrogeologis
yang
ditimbulkan penambangan pit terbuka pada kawasan
tambang. Perubahan morfologi penambangan aktif
dan penutupan tambang yang sangat berpengaruh
dalam pemodelan antara lain pit tambang, saluran
terbuka, dan disposal. Perubahan ini mempengaruhi
perlapisan geologi dan hidrogeologi. Kawasan
penambangan didesain sesuai perencanaan dan
kemajuan tambang dari PT. TCM. Arah kemajuan
penambangan mengikuti dari kemiringan dip yang
berkisar 16-20 dengan arah mengikuti dari lipatan
sinklin. Selain itu, prediksi perubahan kuantitas
imbuhan airtanah dengan memperkirakan aliran air
permukaan rencana dari perubahan tata guna lahan
kawasan tambang, evapotranspirasi rencana, dan
presipitasi/curah hujan rencana. Pada akhirnya, data
prediksi perubahan imbuhan airtanah dan prediksi
batas hidrogeologis dampak penambangan dijadikan
sebagai data masukkan utama dalam pemodelan
airtanah, sehingga dapat diketahui secara jelas
perubahan
pola
aliran
dan
ekuipotensial
headairtanah pada penambangan aktif dan
penutupan tambang.

3. Hasildan Pembahasan
3.1. Geologi Regional dan Lokal
Secara fisiografis, menurut Van Bemmelen
(1949), Kutai Barat masuk dalam Zona Cekungan
Kutai. Sementara itu, Supriatna dkk. (1995)
mengungkapkan, bahwa stratigrafi Cekungan Kutai
dari tua ke muda ditandai oleh beberapa
pengendapan formasi batuan dengan pemerian yang
khas dengan lingkungan pengendapan dari daratan
hingga laut dangkal. Korelasi dari geologi regional
yang dihubungkan dengan hasil pemboran
eksplorasi, maka dapat disimpulkan, bahwa urutan
stratigrafi dari paling tua hingga paling muda pada
daerah model penelitian adalah sebagai berikut: (1)
Formasi Pamaluan (Miosen Awal-Miosen Bawah);
(2) Formasi Pulaubalang (Miosen Tengah-Miosen
Akhir); dan (3) Formasi Balikpapan (Miosen
Tengah-Miosen Akhir).

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Berdasarkan data log bor lapisan batuan,daerah


model penelitian didominasi oleh batulanau,
batupasir, batulempung, dan perselingan batubara
dengan ketebalan yang bervariasi. Selain itu, dari
ketiga formasi ini teridentifikasi satuan-satuan
batuan yang mendominasi tiap formasi. Satuan
batuan ini meliputi satuan batulempung (Formasi
Pamaluan), satuan perselingan batupasir kuarsa dan
batulempung (Formasi Pulaubalang), satuan
perselingan batulanau dan batupasir (Formasi
Pulaubalang), dan satuan batupasir (Formasi
Balikpapan).Struktur geologi yang berkembang
daerah model penelitian berupa sinklin, yaitu Sinklin
Lampanan, yang dipengaruhi oleh fisiografi dari
Antiklinorium Samarinda dan terdapat beberapa
sesar-sesar kecil yang mengakibatkan terjadinya
perpotongan atau menghilangnya perlapisan batuan.
Lokasi model penelitian berada ditengah-tengah
sumbu lateral struktur sinklin yang membujur secara
diagonal dari arah barat daya menuju timur laut.
Struktur lipatan sinklin mempunyai arah kemiringan
jurus sebesar N 40 - 50 E dengan arah perlapisan
(dip) sebesar 17 - 20 yang berlokasi sebelah utara.
Sementara itu, pada sebelah selatan mempunyai arah
kemiringan jurus N 180 - 190 E dengan dip
berkemiringan 16 - 19.Secara umum, gambaran
mengenai formasi geologi daerah model penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.

Deskripsi ringkas DAS Perak-Lawa dapat dilihat


pada Gambar 2.

Gambar 2. DAS Perak dan Lawa

Perhitungan imbuhan airtanah didasarkan pada


data meteorologi, kondisi air, topografi, vegetasi,
dan pola aliran air permukaan pada daerah
tangkapan hujan. Daerah tangkapan hujan
ditentukan oleh keberadaan tata guna lahan pada
DAS Lawa terutama pada sub-DAS Tunau-Jeluk
yang menjadi target penelitian. Daerah imbuhan
airtanah sangat tergantung pada jenis litologi
permukaan atau akuifer yang berada dipermukaan
atau tersingkap dipermukaan. Gambaran mengenai
daerah imbuhan dan luahan dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 1. Peta Geologi daerah model

3.2. Hidrologi
Muara Lawa masuk dalam DAS Lawa yang
mempunyai total luas 248,57 km2. Pada DAS Lawa
terdapat dua sub-DAS yang menjadi daerah target
penelitian (kawasan penambangan), yaitu sub-DAS
Tunau dan Jeluk dengan total luas 64,13 km2. Pada
DAS Lawa terdapat tiga stasiun pencatat curah hujan
terdekat yang mempunyai jarak antar stasiun yaitu
20 hingga 43 km. Penentuan curah hujan rata-rata
daerah DAS dengan menggunakan metode polygon
Thiessen. Metode ini mendasarkan pada faktor
pemberat dari tiga stasiun pencatat curah hujan.

Gambar 3. Daerah imbuhan dan luahan

Pemodelan airtanah harus diketahui kondisi


hidrologi, daerah imbuhan, kondisi batas
hidrogeologi, dan konduktivitas hidrolika. Faktor
penentu besarnya kuantitas imbuhan airtanah adalah
intensitas hujan. Intensitas hujan merupakan jumlah
hujan pada suatu daerah tiap satuan waktu.
Perhitungan untuk mendapatkan nilai intensitas
hujan selama waktu konsentrasi menggunakan
rumus Mononobe (Kamiana, 2005).
.......................................... (1)

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 683

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Besarannilai intensitas hujan (I) pada Daerah


Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi oleh waktu
konsentrasi
) dari hujan yang merata di seluruh
daerah DAS. Waktu konsentrasi adalah waktu
perjalanan yang diperlukan oleh air dari tempat yang
paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan
aliran air. Secara rinci, rumus waktu konsentrasi
)
dapat dilihat pada di bawah ini (Hammer & Mac
Kichan, 1981).
............................................................. (2)
KeteranganTcadalahwaktu konsentrasi (menit), L
atau jarak maksimum aliran DAS (m), V merupakan
kecepatan aliran (km jam-1) atau

, dan

H merupakan beda tinggi daerah hulu dengan titik


tinggi yang ditinjau (km).
Daerah resapan air tanah sangat dipengaruhi oleh
jumlah limpasan air permukaan. Rumus yang
digunakan untuk menghitung volume air limpasan
menggunakanmetode dari Departemen Konservasi
Tanah Service (SCS) Amerika Serikat yang
ditunjukkan pada Persamaan 3 (Hammer & Mac
Kichan, 1981).
................................................ (3)
Keterangan, P adalah curah hujan, dan S adalah
retensi potensial maksimum, semua dalam satuan
mm. Nilai retensi potensial maksimum (S, mm)
dapat dikorelasikan pada Persamaan 4.
............................................. (4)
Sementara
itu,
untuk
menghitung
evapotranspirasi
nyata
dengan
metode
Thornthwaiteyangmengacu pada Persamaan 5(Seiler
& Gat, 2007).
...................... (5)

Keterangan Persamaan 5 sebagai berikut; ETr:


evapotranspirasi nyata (mm/tahun);P: curah hujan
(mm/tahun);Tm: temperaturrata-rata tahunan (C).
Menurut Lerner (1990), bahwa metode
perhitungan imbuhan airtanah untuk daerah tropis
dengan curah hujan tinggi menggunakan rumus
sebagai berikut;
U = P ETr Ro ............................................ (6)
KeteranganPersamaan 6,
sebagai berikut; U:
imbuhan airtanah (mm/tahun);P: curah hujan tiap
tahun (mm/tahun);ETr: evapotranspirasi nyata
(mm/tahun);Ro: air limpasan akibat efek dari
impermeabialitas tanah (mm/tahun).
Selain itu, dilakukan perhitungan imbuhan
rencana tahunan dampak kegiatan penambangan
yang didasarkan pada rencana curah hujan tahunan
yang menggunakan probabilitas statistik Metode
Log Normal. Penentuan metode ini didasarkan pada
Uji Konsistensi dan Homogenitas yang dilanjutkan
dengan Uji Chi-kuadrat (Kamiana, 2010). Curah
hujan rencana ini bermanfaat untuk menghitung

684 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

perubahan
evapotranspirasi
rencana
pada
penambangan aktif dan penutupan tambang.
Hasil dari penerapan metode perhitungan
imbuhan airtanah rencana pada penambangan aktif
dan pentupan tambang dapat dilihat padaTabel 1,
pada penutupan tambang Tabel 2.
Tabel 1: Imbuhan airtanah Sub DAS Tunau-Jeluk pada
penambangan aktif
Daerah target
(penambangan
Parameter
Sat.
aktif)
Total
Rerata
Presipitasi (P)
3311,31 1655,66 mm
Evapotranspirasi
nyata 2843,82 1421,91 mm
(ETr)
Run off (Ro)
187,97
93,99
mm
Imbuhan airtanah (R)
279,52
139,76 mm
Sumber: hasil perhitungan
Tabel 2: Imbuhan airtanah Sub DAS Tunau-Jeluk pada
penutupan tambang
Daerah target
(penutupan tambang) Sat.
Parameter
Total
Rerata
Presipitasi (P)
3311,31
1655,66 mm
Evapotranspirasi
nyata 2843,82
1421,91 mm
(ETr)
Run off (Ro)
178,46
89,23
mm
Imbuhan airtanah (R)
mm
289,03
144,52
Sumber: hasil perhitungan

3.3. Hidrogeologi Daerah Model Penelitian


Hidrogeologi daerah penelitian ditentukan oleh
litologi, keterdapatan sumber air, dan karakteristik
akuifer. Berdasarkan klasifikasi Mandel dan Shiftan
(1981), dan oleh Puradimadja (1993) dan Irawan &
Puradimaja (2013)yang disesuaikan dengan kondisi
geomorfologi dan geologi indonesia, maka daerah
penelitian termasuk dalam Sistem Akuifer Batuan
Sedimen Terlipat.
Hasil interpretasi dan analisis log pemboran,
geologi regional, dan uji pemompaan disimpulkan,
bahwa lapisan akuifer, yang berfungsi sebagai
lapisan pembawa air, dibatasi dan ditutupi oleh
lapisan penyekat pada bagian atas oleh batuan yang
relatif bersifat semi kedap, yaitu lapisan batulanau,
sehingga daerah penelitian masuk dalam kategori
akuifer semi-tertekan. Lapisan akuifer mempunyai
kedalaman yang bervariasi yang tersebar merata
pada daerah model penelitian. Namun, akuifer yang
berpotensi sebagai akuifer produktif dikelompokkan
menjadi dua, yaitu (1) akuifer kedalaman kurang
dari 40 m, dan (2) akuifer dengan kedalaman lebih
dari 40 m. Kedalaman akuifer kurang dari 40 m
berada di daerah akuifer atas yang tersebar dari utara
pada dataran dan punggung/sayap sinklin sampai ke
selatan daerah penelitian. Sementara itu, akuifer
kedalaman di atas 40 m menempati wilayah tengah
daerah penelitian pada bagian bawah poros/sumbu
sinklin. Ketebalan akuifer yang relatif besar pada
bagian tengah lipatan dan mempunyai penyebaran

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

yang luas memberikan cadangan airtanah yang baik.


Walaupun demikian, hal ini sangat dipengaruhi juga
oleh jumlah imbuhan airtanah yang masuk ke dalam
akuifer. Total lapisan akuifer yang menjadi
pemodelan berjumlah tujuh lapisan dengan nilai
konduktivitas hidrolika bervariasi.
3.4. Penambangan Batubara Pit Terbuka
Daerah Model Penelitian
Metodepenambangan pit terbuka merupakan
kegiatan pengambilan batubara melalui pengupasan
tanah/batuan penutup yang berada di atasnya dan
berhubungan langsung dengan udara terbuka.
Perubahantata guna lahan, morfologi, dan litologi
akibat penambangan pit terbuka berdampak
terganggunya akuifer, misalnya terjadi perubahan
muka airtanah, pola aliran airtanah, kualitaskuantitas airtanah dan sumber airtanah. Di samping
itu,
terganggunya
akuifer
mengakibatkan
terbentuknya void/pit lakes akibat lubang bekas pit
yang terisi oleh air (permukaan dan airtanah).
Pada perencanaan penambangan,pit tambang
mempunyai elevasi terendah mencapai -70 m dpl.
Selain itu, terdapat kenaikan elevasi pada daerah
disposal dengan kenaikan 20 m. Penurunan elevasi
dari pit menyebabkan terpotongnya lapisan
pembawa air potensial (akuifer). Kondisi ini makin
terlihat apabila elevasi bottom layer dari void/pit
lake menembus lapisan akuifer yang menyebabkan
masuknya aliran airtanah ke dalam pit. Semakin
dalam pit, maka beresiko masuknya airtanah yang
berkonsekuensi tidak tertambangnya batubara
potensial karena tenggelam atau membentuk void/pit
lakes.
Selain itu, untuk mengantisipasi berlimpahnya
air permukaan pada kawasan penambangan, maka
dibuat saluran terbuka. Saluran terbuka berfungsi
untuk memindahkan air permukaan berlebih yang
masuk dalam pit tambang. Saluran ini sangat
berpengaruh pada elevasi head yang menentukan
pola arah aliran airtanah kawasan tambang.
3.5. Model Konseptual Pada Pemodelan
Airtanah PenambanganAktif dan
Penutupan Tambang Pit Terbuka
Model adalah representasi, atau deskripsi yang
menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep berupa
penyederhanaan atau idealisasi dari bentuk alami
dengan hasil pemodelan berupa gambar fisik, citra,
matematis/analitik. Pemodelan airtanah diawali
dengan pengumpulan data-data mengenai kondisi
geologi dan hidrologi pada cekungan airtanah.
Pada penelitian ini digunakan metode numerik
dengan pendekatan metode beda hingga (finite
difference) yang berbentuk ortogonal grid. Metode
ini didasarkan dalam membagi daerah model dengan
wilayah-wilayah domain dengan grid seragam yang
disebut sebagai diskretisasi model. Aspek mendasar
model numerik adalah representasi sistem
hidrogeologi dengan cara mendiskretisasi model

dengan dimensi tertentu. Keakuratan dalam analisis


dipengaruhi oleh ketelitian dalam penentuan dimensi
grid yang mewakili tiap kondisi batas hidrolika/
hidrogeologi, dan geologi, seperti batas muka air,
kemiringan lapisan, keberadaan patahan, sesar atau
perubahan stratigrafi secara menyolok.
Pola aliran airtanah sangat dipengaruhi oleh
lapisan litologi dan struktur dari batuan. Data-data
mengenai batas-batas hidrologi, seperti head air
permukaan, lapisan kedap (impermeable), daerah
tanpa aliran (no flow); tata guna lahan atau
pemanfaatan lahan untuk kegiatan tambang; data
meteorologi dan kontur permukaan merupakan datadata pelengkap dalam memodelkan pola aliran
permukaan secara konseptual.
Pemodelan airtanah sangat dipengaruhi oleh
model
konseptual.
Modelkonseptual
adalah
representasi sederhana dari model alami/perubahan
dari sistem hidrogeologi fisik dan perilaku hidrolik.
Model ini merupakan dasar dari model analitik dan
numerik yang diformulasikan untuk meniru kondisi
asli di lapangan. Model mendasarkan pada kondisi
alami daerah penelitian, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi aliran airtanah, baik disebabkan oleh
keadaan alami, seperti: daerah imbuhan, luahan,
presipitasi, evapotranspirasi, pola aliran air
(permukaan dan airtanah), dan akibat adanya
kegiatan yang dapat merubah kondisi alami tersebut,
misalnya dampak aktivitas penambangan pit
terbuka.
Imbuhan airtanah merupakan aliran ke arah
bawah dari air yang berasal dari hujan dan air
permukaan yang mencapai muka airtanah atau
permukaan piezometrik. Daerah imbuhan daerah
model penelitian terdiri dari lapisan akuifer yang
didominasi oleh batupasir yang disisipi oleh
batulanau pasiran, pasir, dan batubara. Fluktuasi
imbuhan airtanah sangat dipengaruhi oleh besaran
presipitasi di daerah penelitian. Selain itu, sumber
airtanah juga berasal dari air permukaan yang berada
di daerah rawa, jaringan sungai-sungai yang berada
di daerah lapisan akuifer.
Kondisi batas hidrolika yang menjadi batas
hidrogeologis daerah model penelitian bagian
permukaan meliputi: (1) batas pemisah airtanah
(groundwater divide) berada di daerah pegunungan
bagian utara, dan selatan, (2) batas muka air
permukaan internal (internal head controlled
boundary) yang ditandai dengan keberadaan sungai
Lawa di timur dan sungai Perak di sebelah barat
daerah model penelitian, dan (3) batas aliran
airtanah ke luar (outflow boundary) di daerah barat
dari daerah model penelitian yang dibatasi oleh
sungai Perak.
Selain batas permukaan, terdapat kondisi batas
hidrolika secara vertikal antara lain: (1) batas tanpa
aliran (internal zero-flow boundary) yang berada di
bawah lapisan akuiklud dari satuan batulempung
formasi Pamaluan, (2) batas sisi timur berupa batas
air permukaan internal (internal head controlled

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 685

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

boundary) yang ditandai dengan keberadaan sungai


seperti sungai Lawa, Perak, Jeluk dan Tunai, dan (3)
batas sisi utara dan selatan berupa batas pemisah
airtanah (groundwater divide) yang berada di jalur
punggungan puncak pegunungan. Kondisi batas
hidrogeologi daerah model penambangan aktif dan
pentupan tambang dapat dilihat padaGambar 4 dan
5. Nilaihead dan konduktivitas hidrolika tiap lapisan
yang digunakan sebagai data masukandapat dilihat
pada Tabel 3.

hidrolika- K

4,94 10

-7

1,09 10-4
6,71 10-8
1,19 10-4
4,96 10-8
2,02 10-9
Kondisi batas
- Head

180-97

- Sungai

50-63

m
m
mm
thn-1

55-65
-37 s.d 0
139,76
144,52

- Stream
- Drain
- Recharge

(K1)
Akuitar
(K2)
Akuifer
(K3)
Akuitar
(K4)
Akuifer
(K5)
Akuitar
(K6)
Akuiklud
(K7)

atas
tengah
tengah
bawah
bawah
bawah

Batas airtanah,
diposal
Sungai
Rawa
Pit, void
Tambang aktif
Penutupan
tambang

Sumber: hasil perhitungan

Gambar 4. Batas hidrogeologis penambangan aktif

Gambar 5. Batas hidrogeologis penutupan tambang

Data masukan pemodelan airtanah (Tabel 3),


meliputi: imbuhan airtanah, konduktivitas hidrolika
tiap lapisan, sifat/propertis lapisan, kondisi head dari
batas hidrogeolgis, dan batas air permukaan. Hasil
pemodelan menggambarkan, bahwa pola aliran
airtanah secara dominan mengarah ke barat, lokasi
Sungai Perak. Arah aliran ini mengikuti bentuk
perlapisan litologi akibat struktur sinklin. Namun,
pola aliran air permukaan tidak mempunyai
hubungan dengan pola aliran airtanah, hal ini terlihat
tidak searahnya aliran permukaan yang mengarah ke
arah utara (Sungai Mahakam), sedangkan airtanah
ke arah barat (Sungai Perak).
Tabel 3: Data masukan pemodelan airtanah penambangan
aktif dan penutupan tambang
Data
Konduktivitas

Unit

Kuantitas

Lokasi

m dtk-

1,67 10-4

Akuifer

atas

686 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

3.6. Pemodelan Airtanah Pada Penambangan


Aktif dan Penutupan Penambangan Pit
Terbuka
Pemodelan airtanah dampak penambangan
dipengaruhi oleh perubahan tata guna lahan pada
kawasan penambangan, dan nilai imbuhan rencana.
Tata guna lahan yang berubah terutama pada
terbentuknya pit, saluran terbuka, dan disposal.
Imbuhan airtanah rencana ditentukan oleh kondisi
curah hujan rencana, limpasan air permukaan
rencana, dan evapotranspirasi rencana. Data-data
tersebut menjadi data masukan utama dalam
pemodelan.
Data perubahan tata guna lahan dipengaruhi
perubahan morfologi dan lapisan litologi yang
terkupas akibat penambangan pit terbuka, terutama
pada sub-DAS Tunau-Jeluk (daerah target
penelitian). Luas total kawasan penambangan yang
mempengaruhi tata guna lahan pada Daerah
Tangkapan Hujan sub-DAS Tunau sebesar 55 persen
(10,33 km2) dan Daerah Tangkapan Hujan sub-DAS
Jeluk 37 persen (3,79 km2). Penentuan luas kawasan
penambangan ini dipengaruhi oleh desain rancangan
penambangan. Di sisi lain, daerah reklamasi hanya
mempunyai total luas satu persen dari total luas
Daerah Tangkapan Hujan dari dua sub-DAS. Daerah
reklamasi merupakan daerah bekas pit yang telah
ditimbun kembali sehingga dapat dimanfaatkan
untuk penghijauan. Perubahan luasan tata guna lahan
pada penambangan aktif terperinci pada Tabel 4.
Sementara itu, gambaran singkatnya dapat dilihat
pada Gambar 6.
Tabel 4: Tata guna lahan kawasan tambang pada
penambangan aktif
S A
HP
HS
RW
Rek.
Pit
ST
(km2
1P
2P
Total
%

27,41
36,72
64,13
100

9,91
23,48
33,39
52,07

Sumber: hasil perhitungan

6,57
7,18
13,75
21,44

1,72
1
2,72
4,24

9,16
4,77
13,93
21,72

0,05
0,29
0,34
0,53

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

konduktivitas hidrolika dari beberapa lapisan akuifer


dan penyesuain ketinggain head dari peta topografi
(pengukuran di lapangan dan peta SRTM). Selain
itu, head air permukaan dan pit juga diseuaikan
dengan kondisi di lapangan melalu interpretasi peta
topografi. Hasil perbandingan antara head observasi
dan head perhitungan (pemodelan) dibuat Diagram
Sebaran (Scatter Diagram) yang menghasilkan nilai
RMS (Root Mean Squared) sebesar 8,7%. Deskripsi
singkat mengenai pemodelan airtanah observasi
(penambangan aktif) dan nilai perbandingan
perubahan head observasi dari 20 titik bekas lubang
bor dan hasil pemodelan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6: Nilai head observasi (lapangan) dan model

Gambar6. Tata guna lahan penambangan aktif

Sementara itu, pada penutupan tambang daerah


yang dulunya pit (penambangan aktif) berubah
menjadi daerah reklamasi. Namun, terdapat daerah
void/pit lakes yang tidak dapat dihindari namun
mencakup daerah yang sempit. Perincian luasan tata
guna lahan pada penutupan tambang dapat dilihat
pada Tabel 5 yang tergambar pada Gambar 7.
Tabel 5: Tata guna lahan kawasan tambang pada
penutupan tambang
S A
HP
HS
RW Rek.
Void
ST
(km2
1P
2P
Total
%

9,96
24,35
34,31
54%

6,57
7,18
13,75
21%

1,72
1
2,72
4%

9,16
3,34
12,50
19%

0
1,55
1,55
2%

9,96
24,35
34,31
54%

Sumber: hasil perhitungan

Gambar 7. Tata guna lahan penutupan tambang

Pemodelan airtanah hasil observasi, yang berasal


dari head sumur bekas lubang bekas, memerlukan
verifikasi kalibrasi untuk menghasilkan data yang
valid, terutama data headairtanah. Verifikasi
dilakukan dengan melakukan penyesuaian dan
korelasi antara hasil perhitungan dengan hasil
observasi, terutama pada nilai konduktivitas
hidrolika dan ketinggian head.Korelasi dilakukan
dengan cara memasukkan data kisaran nilai dari

Sumur
Muka
HeadHeadobservasi
piezometrik
Lap.
model
DD_509A
18,5
125,6
126,8
1
OW-6
45,2
134,8
133,3
2
DD_510G
23,1
123
125
3
DD_022C
65,5
118,6
121,3
4
DD_20C
43,1
127
126,8
5
DD_050A
24,5
125,2
120,9
6
DD_13G
50
128,1
126,8
7
DD_551
34,5
134,6
134
8
DD_504
10,5
125
129
9
65
126,5
127,2
10 OW-1
39,1
131
128
11 OW-2
41,35
126,7
126,4
12 OW-4
45,25
120,4
122,6
13 OW-9
35,15
123,4
124,7
14 OW-10
15,2
126,7
126,7
15 OW-13
75,45
116,8
115,7
16 OPW-3
36,1
140,3
136
17 OPW-4
55,15
127,8
126,6
18 OW-8
28,65
115,7
118,5
19 DD_13A
42
120,5
124
20 DD_536G
Sumber: Hasil perhitungan &pemodelan V-Modflow

NO

Hasil pemodelan pada penambangan aktif dapat


diketahui, bahwa arah aliran airtanah mengalami
pembelokan, terutama pada daerah pit tambang dan
saluran terbuka. Pada daerah disposal, pola aliran
airtanah tidak mengalami pembelokan yang
disebabkan tidak terjadi penurunan topografi, namun
terjadi kenaikanan topografi. Perubahan pola aliran
ini dapat dilihat dari penurunan elevasi head yang
terdapat di 20 lokasi sumur observasi (Tabel 6). Pola
aliran airtanah yang terdiri dari ekuipotensial head
dan arah aliran airtanah penambangan aktif pada
penambangan batubara pit terbuka dapat dilihat pada
Gambar 8.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 687

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 8. Pemodelan airtanah penambangan aktif


(hasil kalibrasi)

Pada Tabel 7 menjelaskan pemodelan airtanah


pada penutupan tambang. Terdapat kenaikan head
dari penambangan aktif dengan kisaran 2,4 hingga
33,2 m. Kondisi ini terjadi akibat adanya penutupan
daerah pit pada saat reklamasi. Namun, terdapat
kenaikan terkecil pada daerah void/pit lakes, yaitu
2,3 m. Hal ini disebabkan rendahnya kenaikan
elevasi pit dari -70 menjadi -20 m dpl dan pit ini
telah berubah menjadi genangan air yang berasal
dari air hujan, limpasan air permukaan, dan
rembesan airtanah dari dinding pit. Selain itu,
terdapat pembelokan aliran airtanah pada mayoritas
arah aliran yang sebelumnya menuju ke pit beralih
menuju ke batas hidrolika permukaan internal di
Sungai Perak di sebelah barat batas model
penelitian. Gambaran mengenai pola aliran airtanah
pada penutupan tambang pit terbuka dapat dilihat
pada Gambar 8.
Tabel 7: Nilai head penutupan tambang
Sumur
Muka
Headobservasi
piezometrik
model
DD_509A
8,5
136.3
1
OW-6
23,1
157.9
2
DD_510G
65,5
131.6
3
DD_022C
43,1
147.9
4
DD_20C
24,5
152.1
5
DD_050A
34,5
123.3
6
DD_13G
65
141.1
7
DD_551
39,1
139.2
8
DD_504
41,35
146.95
9
OW-1
45,25
159.55
10
OW-2
15,2
161.2
11
OW-4
75,45
134.05
12
OW-9
36,1
142.2
13
Sumber: Hasil perhitungan &pemodelan V-Modflow
NO

688 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Gambar 9. Pemodelan airtanah penutupan tambang

4.

Kesimpulan
Terjadiperubahan hidrogeologi akibat aktivitas
penambangaan batubara pit terbuka yang
menyebabkanperubahan morfologi, geologi dan
hidrogeologi di daerah target penelitian. Perubahan
ini mempengaruhi model aliran airtanah yaitu,
perubahan arah aliran airtanah daerah target
penelitian yang dominan mengarah kepit akibat
penambangan yang mencapai lapisan akuifer bagian
tengah dengan dominasi batupasir dari Formasi
Pulau Balang. Perubahan ini diikuti dengan
penurunan headperhitungan (pemodelan) dari
headobservasi, yang diukur dari 20 sumur observasi.
Pemodelan airtanahpada penutupan tambangdi
daerah target penelitian secara umum mempunyai
pola aliran dari timur menuju ke barat, yaitu Sungai
Perak. Pola ini merupakan pola aliran pada kondisi
alami (sebelum adanya penambangan). Selain itu,
terjadi kenaikan headdan muka airtanah piezometrik
pada penutupan tambang. Kondisi ini terjadi karena
daerah kawasan tambang telah direklamasi,
recontouring, dan adanya penutupan pada pit
tambang.

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan terimakasih kepada
Managemen PT. Trubaindo Coal Mining tbk (PT.
TCM) dengan segenap staf dan karyawan daerah
operasi penambangan di Kutai Barat, yang telah
memberikan bantuan teknis, supervisi, dan nonteknis
untuk operasional penelitian lapangan, sehingga
penelitian ini selesai sesuai dengan target rencana
yang diharapkan.
Selain itu, penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Dr. Doni Prakasa Eka Putra dan
Dr. Wahyu Wilopo, atasizin yang diberikan untuk
menggunakanperangkat
lunak
Visual
Modflowsebagai alat untuk pemodelan airtanah yang
terlisensi dari Teknik Geologi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Daftar Pustaka
Asdak, C., 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, hlm. 154 210.
Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., 2013, Lembar Kerja
Hidrogeologi Umum, Kelompok Keahlian
Geologi Terapan Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian Institut Teknologi
Bandung
Lerner, D.N., 1990, Groundwater recharge in Urban
Areas, Hydrological Processes and Water
Management in Urban Area, Proceedings of
the Duisberg Symposium, April 1990, IAHS
Publ., No. 198.
Hammer, M.J. and Mac-Kichen, K.A., 1981,
Hydrology and Quality of Water Resources,
John Wiley & Sons, Ltd., New York, p. 41,
140, 214
Healy, R., W. and Cook Peter, G., 2002, Using
Groundwater Levels to Estimate Recharge,
Hydrogeology Journal, Vol. 10, No. 1, p. 91
107.
Kamiana, I., 2010, Teknik Perhitungan Debit
Rencana Bangunan Air, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 28-30, 203
Mandel, S., Shiftan, Z.L., 1981, Groundwater
Resources: Investigation and Development,
Academic Press. Inc, USA
Notodarmojo, S., 2005, Pencemaran Tanah dan
Airtanah, Penerbit ITB, Bandung.
Puradimaja, D.J., 1993, Penyusunan Tipologi Paket
Penelitian Sumber Daya Air, LAPI ITBDepartmen Transmigrasi, Bandung
Seiler, K.P., Gat, J.R., 2007, Groundwater Recharge
from Run-Off, Infiltration and Percolation,
Springer, The Netherland, p. 75
Supriatna, S., Sukardi, Rustandi, 1995, Peta Geologi
Bersistem, Lembar Samarinda, Kalimantan
sekala 1:250.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of
Indonesia, Government Printing Office, the
Hague, Netherland, p. 328 360.

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 689

Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

690 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai