Dalam Rangka
Pembukaan Seminar Nasional
Rekayasa Teknologi dan Informasi (ReTII) ke-9
Yogyakarta, 13 Desember 2014
Assalamualaikum wr.wb
Salam sejahtera bagi kita semua
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan
ridhoNya kita dapat berkumpul di sini dalam rangka Seminar ReTII ke-9 dalam keadaan sehat
walafiat. Mudah-mudahan Allah SWT juga memberi kemudahan kepada panitia dalam
menyelenggarakan seminar ini. Demikian juga kepada para peserta dalam mengikuti acara
seminar ini.
Seminar ReTII kali ini merupakan yang ke-9 dan merupakan agenda tahunan STTNAS yang
dimaksudkan agar dapat menjadi ajang temu para pakar untuk saling tukar pengalaman,
informasi, berdiskusi, memperluas wawasan dan untuk merespon perkembangan teknologi
yang demikian pesat. Selain itu diharapkan adanya kerja sama dari para pakar yang hadir
sehingga menghasilkan penelitian bersama yang lebih berkualitas dan bersama-sama pula ikut
memecahkan persoalan-persoalan teknologi untuk kemandirian bangsa.
Semoga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi harapan kita semua.
Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada panitia dan semua pihak yang membantu
sehingga acara Seminar ReTII ke-9 ini dapat terselenggara dengan baik. Jika ada yang kurang
dalam penyelenggaraan seminar ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum wr.wb.
Yogyakarta, 13 Desember 2014
Ketua STTNAS
DAFTAR ISI
Halaman
ii
iii
BUKU IV
INFRASTRUKTUR ENERGI DAN KEBERLANJUTAN ENERGI
1.
2.
3.
587
595
605
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hubungan
Stratigrafi
Perbukitan
Jiwo
dengan
Pegunungan
Selatan
BerdasarkanPenampang Geologi Jokotuo-Eyangkutho
Hita Pandita1, Sukartono2 ................................................................................................
613
Prediksi Ancaman
Bahaya Primer
Letusan Gunung Merapi ke Arah
SelatanBerdasarkan Karakteristik Abu-Lapili Awan Panas Erupsi 2010
Fadlin1, Joko Sungkono2, Hill. Gendoet Hartono3, Teguh Wage Prakoso4, Rasyid
Verdianto5 .........................................................................................................................
619
Analisis
Fasies
Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan
DaerahJohoSale, Rembang, Jawa Tengah
Deka Maulana1, Winarti2, Setyo Pambudi3 ......................................................................
629
637
641
649
Studi
Penanggulangan
Gerakan
Tanah
Sebagai
Upaya
Peningkatan
KualitasPembangunanDi Daerah Gendurit dan Sekitarnya, Kecamatan Unggaran
Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Berdasarkan Karakteristik Litologi dan
MorfologiDengan Metode Pemetaan Subsurface
Lintong Mandala Putra Siregar1, Fauzu Nuriman2..........................................................
655
8.
661
671
10. Pemodelan
Airtanah
pada
Penambangan Aktif dan Penutupan Tambang
BatubaraPITTerbuka di Muara Lawa, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
Shalaho Dino Devy1, Heru Hendrayana2, Dony Prakasa E.P3, Eko Sugiharto4 ..............
681
9.
1. Pendahuluan
2. Metode
Tidak
spesifiknya
rencana
pengembangan wilayah tambang menimbulkan
beragam permasalahan (baik ekologis maupun
sosial) yang memicu beragam reaksi masyarakat
maupun pemerintah. Seperti diketahui sector
pertambangan merupakan salah satu sektor kunci
sebagai sumber pendapatan daerah maupun
nasional. Hal tersebut disebutkan dalam UndangUndang No. 4 Tahun 2009 mengenai
Pertambangan Mineral dan Batubara yang
memiliki peranan penting dalam memberikan
nilai tambah secara nyata terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah
secara berkelanjutan. Beberapa jenis komoditi
tambang di Negara Indonesia seperti gas alam,
emas, perak dan tembaga, memiliki jumlah
cadangan berada pada peringkat 10 besar dunia
(US Geological Survey). Hal ini yang menjadi
latar belakang dilakukannya penelitian berjudul
pengembangan
wilayah
berbasis
sektor
pertambangan di Indonesia.
3.1 Tabel
Tabel 1: Input Analisis MDS
3.2 Gambar
Daftar Pustaka
Abe Hirofumi dan Oishi Manabu. (1990). The
Structure of Interregional Migration in
Japanese Regions : An Application of
Multidimensional Scaling, Memoirs of the
Faculty
of
Engineering,
Okayama
University, Vol. 25, No. 1, p. 89-98.
Agus Tri Basuki dan Utari Gayatri. (2009).
Penentuan Sektor Unggulan Dalam
Pembangunan Daerah : Studi Kasus di
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Jurnal
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 10
No. 1, April 34-50
Arikunto,
Suharsimi.
(2006).
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta. Rineka Cipta.
Asdak, Chay. (2012). Kajian Lingkungan Hidup
Strategis : Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan.
Yogyakarta.
Gadjah
Mada
University Press
Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Lingkungan
Hidup Indonesia. Jakarta. BPS Indonesia
Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik Indonesia.
Jakarta. BPS Indonesia
Ernowo dan Bambang P. (2011). Aspek Geologi
didalam
Penyusunan
Wilayah
Usaha
Pertambangan
Mineral
Logam.
Buletin
Sumberdaya Geologi Vol. 6 No. 2-2011.
Hariyanto dan Tukidi. (2007). Konsep Pengembangan
Wilayah dan Penataan Ruang Indonesia Di Era
Otonomi Daerah. Jurnal Geografi FIS UNNES.
Vol.4, No. 1, Januari 1 - 10
Soepono, P. (1993). Analisis Shift Share perkembangan
dan penerapan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia.
Nachrowi dan Suhandojo. (2001). Analisis Sumber
Daya
Manusia,
Otonomi
Daerah,
dan
Pengembangan Wilayah. Dalam Tiga Pilar
Pengembangan Wilayah : Sumber Daya Alam,
Sumber Daya Manusia, dan Teknologi. Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan
Wilayah BPPT. Jakarta.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta
Tarigan, Robinson. (2005). Ekonomi Regional Teori &
Aplikasi. Jakarta. PT. Bumi Aksara
Yusuf, Arief Anshory and Francisco Herminia. (2009).
Climate Change Vulnerability Mapping for
Southeast Asia. Singapore. Economy and
Environment Program for Southeast Asia
(EEPSEA)
Zen MT. (2001). Falsafah Dasar Pengembangan
Wilayah : Memberdayakan Manusia. Di dalam
:Alkadri, Muchdie, Suhandojo, penyunting. Tiga
Pilar Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam,
Sumberdaya Manusia dan Teknologi. Jakarta.
PPKTPW-BPPT. p. 4-20
Abstrak
Sifat massa batuan dengan kondisi yang bervariasi terdapat pada tambang batugamping yang terletak
di daerah Blok Sawir, Kabupaten Tuban, Propinsi Jawa Timur khususnya pada zona cavity
layer.Zona cavity layer merupakan lapisan batugamping berongga yang terlihat pada lereng tambang.
Pada zona tersebut terdapat banyak rongga-rongga dalam batuan yang disebabkan oleh proses
pelarutan.Zona cavity tersebut sangat berpotensi sebagai zona lemah dalam tambang kuari
batugamping. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan massa batuan dalam zona cavity
layer dengan menggunakan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion.Metode penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan induktif.Data data yang diperlukan untuk
analisis tersebutmeliputi: nilai kuat tekan (UCS) batuan, berat jenis batuan, nilai Geological Strength
Index (GSI), jenis litologi batuan, faktor penganggu dan jenis aplikasi (untuk lereng). Hasil analisis
kekuatan massa batuan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk perancangan geometri lereng
penambangan.
Kata kunci :kekuatan massa batuan, batugamping berongga.
1. Pendahuluan
Proses-proses geologi yang terjadi selama dan
setelah pembentukan batuan mempengaruhi sifat
massa batuannya (rock mass properties). Keadaan
massa batuan di alam cenderung tidak ideal dalam
beberapa hal (Goodman, 1989), seperti heterogen,
anisotrop dan tidak menerus (diskontinuitas). Bidang
diskontinuitas menyebabkan kekuatan dan tegangan
dalam massa batuan tidak terdistribusi secara
merata, sehingga terjadi gangguan keseimbangan
(Hudson & Harrison, 1997). Orientasi diskontinuitas
merupakan faktor geologi utama lain yang
mempengaruhi stabilitas batuan, termasuk keadaan
airtanah dan pelapukan turut menentukan sifat massa
batuan (Wyllie & Mah, 2004).
Sifat massa batuan dengan kondisi yang bervariasi
terdapat padatambang batugamping yang terletak di
daerah Blok Sawir, Kabupaten Tuban, Propinsi
Jawa Timur khususnya pada zona cavity layer.
Metodepenambangan yang digunakan adalah kuari.
Metode ini merupakan metode penambangan yang
mudah untuk dikerjakan, dimana dapat dikerjakan
dengan menggunakan teknologi dan peralatan yang
relatif sederhana. Untuk menerapkan metode ini
harus membuat desain penambangan berupa jenjangjenjang (bench) pada lereng dengan kemiringan
tertentu yang aman. Dalam pembuatan jenjangjenjang tersebut harus memperhatikan kualitas
batugamping
pejal
dan
batugamping
dolomitan.Berdasarkan peta geologi lembar Jatirogo
(Gambar 1), seluruh daerah penelitian termasuk ke
dalam Formasi Paciran (Situmorang dkk,
1992).Struktur di zona Tuban yang dapat teramati
dengan jelas adalah berupa struktur lipatan yang
berupa sinklin dan antiklin.Zona Tuban ini tersusun
oleh batuan hasil pengendapan sedimen laut yang
telah mengalami perlipatan dan pensesaran secara
intensif.
Tensile strength :
S . ci
mb
(3)
Dimana
(4)
28 14 D
'
ci mb 3 s (1)
ci
GSI 100
S exp
9 3D
'
1
'
3
3' 0 , maka :
a
Compressive strength
: c ci .S
diperoleh saat
(2)
1 1 GSI 15
20
(e
e 3)
2 6
(5)
(6)
Modulus Deformasi
2c . cos
(7)
'
1 sin
'
'
Dimana c dan ditentukan untuk kisaran
'
'
cm
tegangan
'
( m 4 s a ( mb 8 s ))( m b / 4 s )
ci . b
2(1 a )( 2 a )
Dengan
terkecil,
dan
ci uniaxial
'
1
'
3
Untuk
ci
E d (GPa ) 1 D
sudut friksi
( GSI 10 ) / 40
ci
(9)
100 MPa.
2 100
.10
'
.10
2
( GSI 10 ) / 40
(10)
Class
Group
SEDIMENTARY
Clastic
Carbonates
NonClastic
Evaporites
METAMORPHIC
Organic
Non Foliated
Slightly foliated
Foliated*
Light
Plutonic
Dark
IGNEOUS
'
cm
Ed (GPa ) 1 D
a 1
Hypabyssal
Lava
Texture
Coarse
Conglomerates
(21 3)
Breccias
(19 5)
Medium
Sandstones
17 4
Sparitic
Crystalline
Limestone
Limestones
(10 2)
(12 3)
Gypsum
8 2
Marble
Hornfels
9 3
(19 4)
Metasandstone
(19 3)
Migmatite
Amphibolites
(29 3)
26 6
Gneiss
Schists
12 3
28 5
Diorite
Granite
32 3
25 5
Granodiorite
(29 3)
Gabbro
Dolerite
27 3
(16 5)
Norite
20 5
Porphyries
(20 5)
Rhyolite
(25 5)
Volcanic
Pyroclastic
Agglomerate
(19 3)
Fine
Siltstones
7 2
Greywackes
(18 3)
Micritic
Limestones
(9 2)
Very fine
Claystones
42
Shales
(6 2)
Marls
(7 2)
Dolomites
(9 3)
Anhydrite
12 2
Chalk
7 2
Quarzites
20 3
Phyllites
(7 3)
Diabase
(15 5)
Andesite
25 5
Dacite
(25 3)
Basalt
(25 5)
Breccia
(19 5)
Tuff
(13 5)
Slates
7 4
Peridotite
(25 5)
Obsidian
(19 3)
* Konglomerat dan breksi kemungkinan memiliki nilai mi dengan kisaran besar bergantung keadaan alami penyemenan material dan derajat
semen, sehingga memiliki kisaran nilai sama dengan batupasir, sampai nilai untuk sedimen halus (di bawah 10).
** Nilai ini untuk percontoh uji normal batuan padu terhadap perlapisan dan foliasi. Nilai mi menjadi berbeda secara signifikan jika pecah
terjadi sepanjang suatu bidang lemah.
Suggested
value of D
D=0
D=0
D = 0.5
No invert
D = 0.8
D = 0.7
Good blasting
D = 1.0
Production
blasting
D = 0.7
Mechanical
excavation
D = 1.0
Poor blasting
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
kekuatan massa batuan pada lapisan batugamping
berongga yang diduga merupakan zona lemah
berdasarkan kaidah Hoek-Brown Failure Criterion,
2002
dengan
menggunakan
bantuan
roclabsoftware. Hasil analisis kekuatan massa
batuan tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk
perancangan geometri lereng penambangan.
4. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dengan pendekatan induktif.Penelitian
inidilakukan melaluibeberapa tahap.Tahap pertama
adalahmelakukanobservasi lapangan mengenai
litologi, panjang dan ketebalan lapisan batugamping
beronggapada lereng tambang kuari batugamping.
Pengambilan data di zona cavity layer, data data
yang diperlukan adalah sebagai berikut: nilai kuat
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian secara administrasi terletak di
Desa Sawir, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban,
Propinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada
koordinat : 593111 mE 596688 mE dan 9241729
mN 9245352 mN. (Gambar 2).
558383
9240925
C1
558404
9240928
D1
558419
9240931
E1
558433
9240936
F1
558444
9240942
ci
Litologi
A1
Sparitic limestone
Nilai ci
GSI (MPa)
34
8,8
(gr/cm3)
1,89
0,7
Kode
Sampel
Litologi
B1
C1
D1
E1
F1
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Nilai ci
GSI (MPa)
37
12
34
8,8
37
12
32
8
33
8
(gr/cm3)
2,09
1,89
2,20
1,70
1,73
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
Tabel. 5. Hasil Analisis Kekuatan Massa Batuan pada Lapisan Batugamping Berongga Blok Sawir Tuban
No
Kode
Sampel
Litologi
Nilai
GSI
1
2
3
4
5
6
A1
B1
C1
D1
E1
F1
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
Sparitic limestone
34
37
34
37
32
33
ci
(MPa)
8,8
12
8,8
12
8
8
mi
mb
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
0,7
10
10
10
10
10
10
0,266
0,314
0,266
0,314
0,238
0,252
0,0001
0,0001
0,0001
0,0001
0,0001
0,0001
0,517
0,514
0,517
0,514
0,52
0,518
6.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman, R.E. 1989. Introduction to Rock
Mechanics.2nd Edition, John Wiley & Sons,
Canada.
'
cm
(MPa)
0,063
0,11
0,063
0,11
0,048
0,052
(MPa)
-0,002
-0,004
-0,002
-0,004
-0,002
-0,002
(MPa)
0,55
0,833
0,55
0,833
0,466
0,483
LAMPIRAN
Analisis kekuatan massa batuan pada lapisan
batugamping
berongga
dapat
ditentukan
berdasarkankaidah Hoek-Brown Failure Criterion,
2002
dengan
menggunakan
bantuan
roclabsoftware. Estimasi kekuatan massa batuan
masing masing sampel pada lapisan batugamping
berongga(A1
(Gambar4).
F1)
adalah
sebagai
berikut
Sampel A1.
Sampel B1.
Sampel C1.
Sampel D1.
Sampel E1.
Sampel F1.
Gambar 4. Hasil Analisis Kekuatan Batuan (Sampel A1-F1) Menggunakan Roclab Software
Parameter Geoteknik
Dalam Perhitungan Cadangan Pit X
Desa Klasari Kecamatan Salawati Sorong Papua Barat
Supandi
Jurusan Teknik Pertambangan,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS)
Jl. Babarsari, Catur Tunggal, Depok, Sleman Yogyakarta, 55281
supandisttnas@gmail.com
Faizal Agung
PT AB Omah Geo Yogyakarta
Komplek Perum Pertamina Blok N-01 Purwomartani,
Kalasan Sleman Yogyakarta
faizal.agung9@gmail.com
Abstrak
Dalam perhitungan cadangan faktor geoteknik merupakan salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan
sehingga pengambilan cadangan akan sesuai dengan kajian nilai ekonomisnya. Faktor geoteknik harus
dilakukan secara terperinci sehingga dapat meresepons perubahan cadangan akibat beberpa faktor. Dengan
kondisi ini maka analisa geoteknik harus mampu menjawab semua pertanyaan yang muncul pada saat
perhitungan cadangan. Studi kasus analisa geoteknik dilakukan didaerah Klasari Salawati Sorong Papua Barat
dengan menitik beratkan pada studi geoteknik highwall karena kemiringan lantai yang relative datar sehingga
semua sisi cenderung membentuk lowwall. Lokasi cenderung berada pada daerah perbukitan landai dengan
keterdapatan endapan rawa dan daerah rawa ditemukan pada beberapa tempat. Pengamatan stratigrafi
dilakukan dari conto batuan (core) yang diperoleh dari kegiatan pemboran. Conto batuan dilakukan uji
uniaxial dan trixial test untuk mendapatkan parameter geoteknik. Berdasarkan hasil uji laboratorium
diperoleh sifat mekanik yang yang relatif buruk sehingga akan berdampak pada stabilitas lereng. Analisa
stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan metode kesetimbangan batas dengan pola longsoran berupa
normal circular yang mencerminkan pola longsoran yang ada pada lokasi tersebut. Dari hasil pemodelan
Key words: slope stability, parameter geoteknik, desain tambang, lereng keseluruhan.
1.
Pendahuluan
2.
Metode Penelitian
Metode
penelitian
dilakukan
dengan
serangkaian pekerjaan geoteknik dari penyelidikan
geoteknik sampai dengan pemodelan. Adapun
tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah:
1. Studi pustaka.
2. Penyelidikan lapangan, yang meliputi
a. Stratigrafi batuan
b. Pengambilan sample
c. Pengukuran muka air tanah
3. Uji sifat fisik dan mekanik batuan
4. Analisa stabilitas lereng
5. Pemodelan stabilitas lereng
6. Pemodelan parameter geoteknik
Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui variasi
batuan, pola struktur, informasi lain yang terkait
dengan perencanaan penyeledikan lapangan.
Penyelidikan
lapangan
difokuskan
dengan
pekerjaan pemboran inti yang dapat memberikan
informasi detail variasi batuan penyusun lereng dan
dari conto batuan dilakukan pengujian geomekanik.
Uji sifat fisik dan mekanik difokuskan untuk
mendapatkan parameter kohesi, sudut geser dalam
dan berat volume. Analisa stabilitas lereng
dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat
lunak dan dari hasil analisa diproses dalam
menggunakan microsoft excel untuk pemodelan
stabilitas lereng dan pemodelan parameter
geoteknik sehingga hasil akhir yang diperoleh ada
chart korelasi.
3.
Data - Pembahasan
4.
Pekerjaan Lapangan
5.
Pekerjaan Laboratorium
1.2
Density (gr/cm3)
1.6
1.4
1.8
2.2
0
5
10
15
Depth (m)
20
25
30
35
40
45
50
GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
KorelasiAxialStrainvs Depth
AxialStrain(%)
0
0
5
KorelasiFrictionAnglevsDepth
10
FrictionAngle
Depth(m)
15
10
15
20
25
30
35
40
45
20
25
10
30
15
35
Depth(m)
40
45
50
GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
20
25
30
35
40
45
50
GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
KorelasiKohesivsDepth
Kohesi(Kpa)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0
5
10
15
Depth(m)
20
25
30
35
40
45
50
GT_01
GT_02
GT_03
GT_04
GT_05
6.
35
30
25
SlopeHeight(m)
20
15
10
0
5
10
15
20
25
30
35
OverallSlope(m)
FoS1.2
FoS1.1
7.
50
Kesimpulan
OverallSlope(Degree)
40
DAFTAR PUSTAKA
30
Seam#2(bawah)
20
10
Seam#1(atas)
0
0
10
15
20
25
30
35
40
SlopeHeight(m)
Failure
NonFailure
Seam#2
Seam#1
Abstrak
Geologi daerah Bayat dan sekitarnya merupakan wilayah yang sampai saat ini belum terpecahkan secara tuntas. Banyak
hipotesis telah disampaikan oleh para ahli geologi mengenai sejarah geologi Bayat. Belum tuntasnya sejarah geologi daerah
Bayat dan sekitarnya disebabkan hubungan antar batuan yang tersingkap belum dapat diketahui dengan jelas. Adanya proyek
penambangan yang sempat berlangsung di daerah Bayat pada tahun-tahun terakhir ini telah menyingkapkan sejumlah kontakkontak antar batuan yang muncul di daerah Bayat. Munculnya data-data baru dan perkembangan konsep-konsep geologi telah
membantu dalam memahami kondisi geologi daerah Bayat dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan memberikan usulan
hipotesis baru terhadap hubungan stratigrafi antara batuan-batuan di Pegunungan Jiwo dengan Pegunungan Selatan bagian
utara. Metode yang dipergunakan berupa pemetaan geologi permukaan dan interpretasi penampang geologi bawah
permukaan. Hasil dari pendataan geologi yang baru menunjukkan bahwa hubungan stratigrafi antara batuan dari Perbukitan
Jiwo dengan Pegunungan Selatan adalah tidak selaras, yang dicerminkan dari hubungan antara Formasi Gamping-Wungkal
dengan Formasi Kebo-Butak.
Kata kunci: Bayat, Pegunungan Selatan, Perbukitan Jiwo, Geologi, Stratigrafi
Abstract
The geology of Bayat and surrounding area has not been solved completely until now. Many hypotheses have been presented
by the geologist about the geological history of Bayat. Unsolved of the geological history of Bayat area had caused by
unclearly of relationship stratigrapic position the exposed rocks. Sand mining activity in Bayat area has exposed some new
outcrops. The exposes new data and the rise of geological concept are helping to understand the geological Bayat. The study
is aim to propose a new hypothesis of stratigraphic relationship between rocks unit in Jiwo Hills and Southern Mountain. The
methods are field study and interpretation of geological section. The result is unconformable contact between Jiwo Hills and
Southern Mountain.
Key word: Bayat, Southern Mountain, Jiwo Hills, Geology, Stratigraphy
1.
Pendahuluan
Gambar 1.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan berupa
penyelidikan lapangan dan analisis laboratorium.
Penyelidikan lapangan di lakukan dengan lintasan
utara selatan dari Jokotuo menuju Eyang Kutho,
dengan melakukan pengamatan di 9 lokasi. Analisis
laboratorium yang dilakukan berupa identifikasi
batuan, analisis struktur geologi dan analisis
stratigrafi. Setelah dilakukan analisis laboratorium
dilakukan rekonstruksi penampang geologi.
Fisiografi
Daerah penelitian termasuk dalam dua
wilayah fisiografi, yaitu zona Pegunungan Selatan
dan Zona Depresi Jawa sub Zona Perbukitan Jiwo
(van Bemmelen, 1949) (Gambar 1). Penelitian
dipusatkan pada Perbukitan Jiwo Timur dan lereng
utara Pegunungan Selatan. Secara umum di Jiwo
Timur
morfologi
berbentuk
perbukitan
bergelombang sedang-kuat. Sedangkan di bagian
selatan berupa lereng tersayat kuat. Diantara Jiwo
Timur dan Pegunngan Selatan terdapat dataran
yang ditutupi oleh endapan alluvial.
Fisiografi Jawa Tengah-Jawa Timur (gambar ulang dari van Bemmelen, 1949).
Kotak merah lokasi penelitian
Stratigrafi Regional
Surono, dkk (1992) memisahkan antara
Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Selatan dalam
dua tatanan stratigrafi yang berbeda. Hal ini
disebabkan belum adanya data kontak stratigrafi
antara satuan-satuan batuan di Jiwo Timur dengan
satuan-satuan batuan di Pegunungan Selatan.
Namun hasil dari ulasannya memberikan
perkembangan stratigrafi secara rinci dari kedua
tatanan tersebut. Uraian singkat dari tatanan
stratigrafi keduanya sebagai berikut:
Gambar 2. Peta Geologi daerah Bayat Timur dan lokasi pengamatan (kompilasi dari Surono, 2006 dan hasil
penelitian)
Gambar 3. Rekonstruksi penampang geologi antara Pegunungan Selatan dengan Perbukitan Jiwo Timur
4. Pembahasan
Posisi singkapan dan kedudukan batuan
dari masing-masing formasi, secara umum
menunjukkan kemiringan ke arah selatan-tenggara.
Kelompok batuan Perbukitan Jiwo menunjukkan
kemiringan yang lebih tajam dengan sudut berkisar
20O ditujukan oleh kedudukan Formasi GampingWungkal di lokasi BYH12. Kelompok Pegunungan
Selatan dari Formasi Kebo-Butak menunjukkan
kemiringan lebih landai sekitar 18O ditunjukkan
dengan kedudukan serpih di lokasi BYH18
(Gambar 4). Berdasarkan rekonstruksi pada
penampang geologi maka ke arah selatan batuan
memiliki posisi stratigrafi yang lebih muda. Melihat
hal tersebut secara sederhana dapat diperkirakan
kontak stratigrafi antara batuan di Perbukitan Jiwo
dengan Pegunungan Selatan adalah bidang ketidak
selarasan (Gambar 3).
Hipotesis tersebut berbeda dengan apa yang
sudah dikemukakan oleh Bothe (1929) yang
beranggapan adanya sesar normal dengan
kemiringan bidang ke arah selatan. Bukti
keberadaan sesar normal tersebut sampai saat ini
belum dijumpai, sehingga hipotesis sesar tersebut
masih lemah.
5. Kesimpulan
Terdapatnya singkapan-singkapan batuan
yang baru di daerah Bayat, semakin menyingkap
stratigrafi sesungguhnya di daerah Bayat dan
sekitarnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa hubungan stratigrafi antara Perbukitan Jiwo
dan Pegunungan Selatan yang selama ini belum
pernah dikaitkan menjadi jelas. Hubungan
stratigrafi memberikan gambaran bahwa kelompok
batuan metamorf dan Formasi Gamping Wungkal
menjadi dasar bagi sedimentasi dari Formasi KeboButak yang merupakan formasi tertua di
Pegunungan Selatan, sehingga hubungan stratigrafi
antara keduanya dapat diduga sebagai kontak tidak
selaras.
Daftar Pustaka
Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan
Sekitarnya Ditinjau dari Segi Teori Tektonik
Dunia yang Baru, Disertasi Doktor,
Departemen Teknik Geologi ITB, Tidak
Dipublikasikan.
Abstrak
Gunung api Merapi terletak di bagian utara wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, tepatnya masuk dalam Kabupaten Sleman. Gunung api Merapi terkenal karena tipe erupsinya
yang selalu diikuti oleh pembentukan awan panas atau wedhus gembel. Letusan tahun 2006 membongkar
kubah lava Geger Boyo, sehingga awan panas yang berasal dari runtuhnya kubah lava ke arah selatan
mengikuti bukaan ke lembah Kali Gendol, Sleman. Namun, letusan tahun 2010 merupakan letusan yang
berbeda yaitu letusan vertikal memperlebar bukaan ke arah selatan tenggara, sehingga awan panas yang
terbentuk berarah ke selatan mengikuti aliran Kali Gendol sejauh 15,43 km hingga mencapai dusun
Morangan, Argomulyo. Tujuan penulisan ini untuk memprediksi ancaman bahaya primer pasca letusan G.
Merapi 2010 dan menerapkan metode penelitian pemetaan geologi terhadap sebaran material berukuran abu
lapili, analisis laboratorium berupa petrografi dan granulometri. Hasil penelitian sementara di lapangan
memperlihatkan bentang alam lembah berupa aliran Kali Gendol dari bagian hulu di puncak G. Merapi
sampai di bagian hilir di daerah dusun Morangan. Dasar aliran Kali Gendol terisi oleh material lepas
berukuran abu hingga bongkah yang berukuran mencapai 5 m, berbentuk menyudut, fragmental dan bersifat
lepas. Hasil analisis petrografi menunjukkan material awan panas berkomposisi andesit andesit basal,
tekstur vitrik afanit, sedangkan analisis granulometri menunjukkan bahwa semakin mendekati sumber atau
kawah fragmen berdiameter lebih besar dibanding fragmen di bagian hilir berukuran abu lapili. Material
abu lapili terpetakan di dusun Morangan yang terletak lebih kurang 12 km dari puncak G. Merapi.
Sementara itu, ketebalan endapan awan panas di bagian hulu lebih tebal dibanding di bagian hilir. Hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar ancaman bahaya primer awan panas G. Merapi
mendatang menuju lembah di sepanjang aliran Kali Gendol sesuai dengan bukaan kawah berbentuk mirip
tapal kuda ke arah selatan tenggara.
Kata kunci: G. Merapi, awan panas, K. Gendol, letusan.
1.
Pendahuluan
2.
Makalah
ini
mempunyai
maksud
melakukan pemerian karakter material awan panas
erupsi G. Merapi tahun 2010 yang berukuran abu
lapili, dan bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman tentang perilaku erupsi G. Merapi
secara umum, khususnya untuk memprediksi
ancaman bahaya yang muncul pasca erupsi tahun
2010 berdasarkan arah luncuran, jarak jangkauan
material awan panas letusan G. Merapi. Metode
penelitian yang diterapkan adalah dengan
620 | Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta
3.
Dasar Teori
Clast
Size
(mm)
Pyroclast
> 64
Block,
Bom
2
64
1/16
2
<
1/16
Lapiluss
Coarse
ash grain
Fine Ash
grain
(dust
grain)
Pyroclastic Deposit
Mainly
Mainly
consolidated;
unconsolidated;
pyroclastic
tephra
Rock
Agglomerate,
Agglomerate,
bed of block or
pyroclastic
bom, block
breccia
tephra
Layer, of bed
lapilli or lapilli Lapillistone
tephra
Coarse (ash)
Coarse ash
tuff
Fine Ash (dust)
3.3. Granulometri
Granulometri dikenal sebagai analisis
ukuran butir yang menggunakan alat Mesh, dalam
makalah ini untuk mengetahui pola distribusi dari
material endapan piroklastika atau sebaran material
awan panasnya. Di samping itu, analisis ini
dilakukan untuk mendapatkan parameter
parameter seperti standar deviasi, skewness, dan
kurtosis (Folk dan Ward, 1957) yang bisa
digunakan untuk melihat pola distribusi tersebut.
Standar deviasi digunakan untuk mengetahui
koefisien, bagaimana sortasi material piroklastika,
dan skewness untuk menyatakan derajat
ketidaksimetrian suatu kurva, sedangkan kurtosis
menunjukkan harga perbandingan antara pemilahan
bagian tengah terhadap bagian tepi dari suatu kurva.
4.
4.1. Geomorfologi
Seperti kebanyakan gunung api komposit
lainnya, tubuh G. Merapi memiliki batas alas
kurang lebih 50 km dan ketinggian 2.968 m di atas
permukaan laut.
Untuk mengetahui arah aliran dan sebaran
dari awan panas, gemorfologi menjadi hal pertama
yang harus dipelajari karena arah aliran dan
sebaran awan panas selalu mengikuti bentang
alam yang dilewatinya. Geomorfologi yang diamati
di lokasi penelitian adalah geomorfologi dari
puncak G. Merapi dan morfologi K. Gendol yang
merupakan daerah yang paling banyak diisi oleh
material hasil erupsi G. Merapi tahun 2010.
Untuk mengetahui arah aliran dan sebaran
dari awan panas, gemorfologi menjadi hal pertama
yang harus dipelajari karena arah aliran dan sebaran
awan panas selalu mengikuti bentang alam yang
dilewatinya. Geomorfologi yang diamati di lokasi
penelitian adalah geomorfologi dari puncak G.
Merapi dan morfologi K. Gendol yang merupakan
daerah yang paling banyak diisi oleh material hasil
erupsi G. Merapi tahun 2010.
Keterangan
Sortasi buruk, lebih
condong kearah
butiran Halus, dan
frekuensi distribusi
datar
Sortasi buruk,
lebih condong
kearah butiran
Halus Frekuensi
distribusi sangat
datar
Klasi fikasi
Poorly Sorted,
Negative Skewed,
Platy kurtic
Poorly Sorted,
Negative Skewed,
Very Platy kurtic
Moderated Sorted,
Positively skewed,
Mesokurtic
Kurtosis
0,652
0,770
0,93
Skewness
-0,166
-0,168
0,258
Standar Deviasi
1,252
1,695
0,803
WP/2014/LP7/5
WP/2014/LP2/2
WP/2014/LP12/6
No. Sampel
5.
Pembahasan
6.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Andreastuti, S.D., 1999, Stratigraphy and
Geochemistry of Merapi Volcano, Central
Java, Indonesia: Implication for Assessment
of Volcanic Hazards, Unpublished thesis
(PhD--Geology)--University of Auckland.
Berthommier, P.C., 1990, Etude volcanologique du
Merapi (Centre - Java) Tephrostratigraphi
eetchronologie-mecanismes
eruptifs.
Unpublished thesis, University of Blaise
Pascal, Clermont-Ferrand.
Borisova, A.Y., Martel, C., Gouy, S., Pratomo, I.,
Sumarti, S., Toutain, J., Bindeman, I.N.,
Parseval, P., Metaxian, J.P., Surono, 2013,
Highly explosive 2010 Merapi eruption:
Evidence
for
shallow-level
crustal
assimilation and hybrid fluid, Journal of
Volcanology and Geothermal Research 261
(2013) 193208.
Bronto, S., Sayudi, D.S., dan Hartono, G., 1996,
Variasi Luncuran Awan Panas Gunung Api
Merapi dan Bahayanya, Proseed. 25th Ann.
Conv. IAGI, Bandung, pp.266-267.
Comptom, R.R., 1985, Geology in the field, John
Wiley & Sons, 398p.
Fisher, R.V. & Schmincke, H.M., 1984, Pyroclastic
Rocks, Springer-Verlag, Berlin, 472 hal.
Folk R.L. & Ward W.C., 1957, Brazos river bar : a
study of significance of grain size
parameters,
Journal
of
Sedimentary
Petrolology. 27 : 3-26
Kadarsetia, E., Hirabayashi, J., Ohba, T. Nogami,
K. 2010,
The behaviour of fluorine,
chlorine, and sulphur in the magma of
Merapi Vulcano Central Java Indonesia.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi,
Vol. 1 No. 3 Desember 2010: 183 - 198
Le Maitre, R.W, Bateman, P., Dudek, A., Keller, J.,
1989, Classification of igneous rocks and
glossary of terms: Recommendations of the
international union of geological sciences
subcommision on the systematic of igneous
rock, Blackwell scientific pub. Oxford.
MacDonald, A.G., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall,
Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, p.510.
Abstrak
Penelitian ini dilakukan di kali Gempol yang secara geografis terletak di daerah Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah. Secara
fisiografi Jawa, daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan cekungan retroarch. Stratigrafi
regional menunjukkan lokasi penelitian terletak pada Formasi Ledok yang merupakan bagian dari cekungan Jawa Timur
bagian Utara. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir glaukonit
karbonatan dan tujuannya untuk mengetahui lingkungan pengendapan purba pada satuan batupasir glaukonit karbonatan.
Metode yang digunakan adalah metode analisis profil sepanjang lintasan Kali Gempol daerah Joho, analisis petrografi,
mikrofosil, dan paleocurrent. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka satuan batupasir glaukonit karbonatan tersusun oleh
perulangan batupasir glaukonit karbonatan pada bagian bawah dan kalkarenit pada bagian atas yang membentuk struktur
mega cross bedding. Hasil analisis petrografi menunjukkan adanya penurunan kadar mineral glaukonit menuju bagian atas
dari satuan batuan. Hasil analisis mikrofosil menunjukkan satuan batuan ini terendapkan di lingkungan neritik tengah pada
kedalaman 60-100 meter dan terendapkan pada kala Miosen Akhir (N16-N17). Pola suksesi dari ukuran butir secara vertikal
mempunyai pola penghalusan keatas (fining upward). Fasies lingkungan pengendapan termasuk pada lingkungan laut
dangkal khususnya pada sub-lingkungan upper shoreface dengan tinggian purba berada pada sebelah tenggara daerah
penelitian.
Kata Kunci : mega crossbedding, fasies, glaukonit, ledok, shoreface.
1.
Pendahuluan
: lokasi penelitian
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian
2.
Metode
3. Geologi
Secara fisiografi Jawa Tengah Jawa Timur
menurut van Bemmelen (1949) lokasi penelitian
terletak pada fisiografi Zona Rembang (Gambar 2).
Zona Rembang terdiri dari pegunungan lipatan
Antiklinorium yang memanjang ke arah barat-timur
dari Purwodadi, Blora, Jatirogo, Tuban, sampai
dengan Pulau Madura.
: lokasi penelitian
Gambar 2. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen,
1949, dalam Hartono, 2010)
: Lokasi penelitian
Gambar 3. Peta pola struktur Jawa menurut Sribudiyani,
dkk (2003, dalam Prasetyadi, 2007)
2.
Foreshore
Lingkungan ini dibatasi pada zone
intertidal, yang selalu ditandai oleh perubahan
slope yang tajam (Walker, 1984). Struktur
sedimen berupa laminasi dengan dip 2-5.
Material sedimen pada lingkungan ini
berukuran fine - medium sand (Howard &
Reineck (1972, dalam Reineck & Singh,
1980)).
3.
Shoreface
Lingkungan
ini
dipengaruhi
oleh
modifikasi ekstrim akibat proses-proses strom
generated waves (Walker, 1984).
Suatu
pemahaman
mengenai
fasies
pengendapan dan paleogeografi bahwa suatu tubuh
batuan sedimen merupakan hasil proses tertentu
pada lingkungan tertentu yang dicerminkan oleh
sifat-sifat tertentu (Gambar 4).
Backshore - dunes
Lingkungan ini dicirikan oleh prosesproses pengendapan subaerial yang diadakan
oleh angin. Menurut Wunderlich (1971, dalam
Shelf Mud
6.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent
Planktonic Foraminifera Biostratigraphy,
International Conference Planktonic Micro
fossil, First Edition, Genewa, Proc. Leiden E.J.
Bull. Vol I.
Cushman, J.A. 1950, Foraminifera, Harvard
University Press, Cambridge.
Hartono, G. 2010, Peran Vuklanisme dalam Tataan
Produk Batuan Gunung Api Tersier di Gunung
Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah.
Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran.
Bandung, Unpublished.
Maulana, 2014, Geologi dan Analisis Fasies
Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit
Karbonatan Ledok Daerah Lodan dan
Sekitarnya, Kecamatan Sarang, Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Tugas Akhir
Sarjana. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional.
Yogyakarta. Unpublished.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks : Thrid
Edition, Happer & Row Publisher, New York.
Postuma, J.A., 1971, Manual Of Planktonic
Foraminifera, Royal Dutch/Shell Group, The
Haque, The Netherlands, Elsevier Publishing
Company Amsterdam, London, New York
Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Paleogen
Jawa Bagian timur, Disertasi Doktor, Institut
Teknologi Bandung. 323 hal, tidak diterbitkan.
Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan
Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara
Suatu Pendekatan Baru, Disertasi Doktor,
Institut Teknologi Bandung, 239 hal, tidak
diterbitkan.
Reading, H.G., 1978, Sedimentary Environment
and Facies. Blackwell Scientific Publications.
New York.
Reineck, H.E., Singh, I. B., 1980, Depositional
Sedimentary Environments, Springer-Verlag
Berlin, New York.
Selley, R.C. 1976, Ancient Sedimentary
Environments, Champan & Hall, London.
Situmorang, R. L, Smit, R. & Van Vessem, E.
J.,1992, Peta Geologi Regional, Lembar
Jatirogo, Jawa, Skala 1: 100.000, Direktorat
Geologi Bandung.
Tipsword, H.I., Setzer, F.M., Smith, Jr. F.L., 1966.
Introduction of Depositional Environtment in
Gulf Coast petroleum Exploration from
Paleontology and Related Stratigraphy,
Houston.
Tucker, M. E., Wright, V. P., Dickson, J. A. D.,
1996, Carbonate Sedimentology, Blackwell
Scientific Publications, London.
(Lanjutan
lampiran 1)
d l
F i
Sh lf M d (R i
k & Si
h 1980)
Abstrak
SEISMIK SPEKTRA RESPONS TAPAK BANGKA. Berdasarkan data kegempaan sekunder hasil survei
tapak PLTN Bangka aspek kegempaan tahun 2012 telah dilakukan konstruksi spektra respons tipikal tapak
PLTN Bangka. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan analisis spektra respons seismik pada tapak PLTN
Bangka yang secara langsung dapat mempengaruhi desain keselamatan seismik fasilitas PLTN yang akan
dibangun. Metodologi yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder kegempaan Bangka, yaitu data
pga/peak ground acceleration (SL-1 sebesar 0,012 g dan SL-2 sebesar 0,300 g), selanjutnya dilakukan
konstruksi spektra respons tipikal tapak PLTN Bangka berdasarkan standar SNI-1726-2012 untuk fasilitas
nuklir dan fasilitas non nuklir. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai desain basis keselamatan
kegempaan untuk fasilitas terkait non nuklir pada kisaran 0,015 g, sedangkan untuk fasilitas terkait nuklir
pada kisaran 0,360 g. Jika menggunakan standar yang sama (SNI-1726, 2012) berbasis data sekunder yang
dikeluarkan Pusbang PU tahun 2010, diperoleh desain basis keselamatan fasilitas non nuklir pada kisaran
0,001 g, dan 0,120 g untuk basis keselamatan terkait nuklir. Adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh
perbedaan tingkat kerapatan data dan perbedaan wilayah probabilistik antara data seismik Pusbang PU
dengan data seismik BATAN 2012.
Kata Kunci: spektra respons, basis desain keselamatan seismik, level seismik
Abstract
RESPONSES SPECTRA STUDIES OF BANGKA NPP SITE. Based on seismic data of NPP
site survey in Bangka Island in 2012, typical responses spectra of Bangka site has been
constructed. This study objective are to construct typical responses spectra of Bangka site and to
analyses the effect of the spectra on seismic safety design of NPP. Methodology of this study
comprises of seismicity data collection of Bangka, i.e. peak ground acceleration (SL-1 of 0,012g
and SL-2 of 0,3g) and construction of typical responses spectra of Bangka site based on SNI-17262012 for nuclear and non nuclear facilities. The study shows that the value for seismicity safety
design bases for non nuclear facility is about 0,015g; while nuclear facility is 0,360g. The same
methodology is used using data of Pusbang PU of 2010, the value for non nuclear facility is
0,001g; while for nuclear facility 0,120g. The difference on the value is due to the difference in the
number of data and probabilistic regions.
Keywords: seismic spectra responses, seismic safety design based, seismic level
1.
Pendahuluan
2.
Landasan Teori
T
S H (T ) S S ( 2) 0,4untuk 0 T T0 ;
TS
BS
S
S H (T ) S untukT0 T TS ;
BS
S H (T )
S1
untukTS T
B1T
(1)
TSV
0,67
TS
FV
(2)
Sedangkan untuk spektrum vertikal didefinisikan
sebagai berikut:
S1
untukTSV T
B1T
(3)
Dimana SH = spektra horisontal,
SV = spektra vertikal,
T = waktu,
B1 dan Bs = koefisien koreksi damping,
Fa dan Fv = koefisien koreksi kegempaan
sesuai kondisi tanah tapak.
Nilai dari parameter spektra respons
sangat terkait dengan kondisi tanah atau batuan
tapak tersebut, sehingga spektra respons tipikal
tapak akan mencerminkan karakteristik tapak. Efek
tapak pada spektra respon tipikal dinyatakan dalam
koefisien Fa dan Fv. Koefisien tapak Fa dan Fv dapat
dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Informasi
bahaya seismik pada spektra respons tipikal dibuat
berdasarkan struktur damping (atenuasi) 5%. Jika
nilai spektra untuk rasio damping yang lain
diperlukan, maka koefisien koreksi Bs dan B1 dapak
dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya spektra respons
vertikal tipikal ditentukan berdasarkan jarak sumber
ke tapak melalui koefisien yang diberikan pada
Tabel 4.
638
3.
Metodologi
a)
No.
1.
2.
RP
(tahun)
10.000
100
PGA (g)
0,3
0,012
No.
1.
2.
RP
(tahun)
10.000
100
PGA
(g)
0,1
0,004
4.
Negara
Anggota
IAEA
Umumnya
Jepang
4.3 Diskusi
Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat
diketahui parameter basis keselamatan seismik SL1 sebesar 0,015 dan SL-2 sebesar 0,36. Jika
dibandingkan dengan spektra respons yang dihitung
berdasarkan peta pga SNI (Gambar 4.), diperoleh
nilai spektra pga 0,12g untuk tanah keras.
Perbedaan hasil spektra respons tersebut di atas
disebabkan oleh adanya perbedaan skenario model
tektonik. Model tektonik yang digunakan pada
suvei tapak PLTN Bangka 2012 adalah model
tektonik mikrozonasi-difusi. Sedangkan model
tektonik yang digunakan pada peta pga SNI 2012
adalah model tektonik subduksi-intraplate.
Jika hanya dipertimbangkan hasil dari
spektra respons berdasarkan survei tapak PLTN
Bangka 2012, maka nilai desain basis keselamatan
seismik yang digunakan adalah SL-1 0,015g
sebagai basis keselamatan fasilitas non nuklir, serta
SL-2 0,36g sebagai basis keselamatan fasilitas
terkait
nuklir.
Sedangkan
jika
hanya
dipertimbangkan hasil dari spektra respons
berdasarkan peta pga nasional 2012, maka nilai
desain basis keselamatan seismik yang digunakan
adalah SL-1 0,01g sebagai basis keselamatan
fasilitas non nuklir, serta SL-2 0,12g sebagai basis
keselamatan fasilitas terkait nuklir. Beberapa
Negara sudah menerapkan konsep desain
keselamatan seismik pada fasilitas nuklir mereka
sebagaimana terlihat pada Tabel 8. sebagai berikut:
5.
Basis
Keselamatan
Non Nuklir
SL-1
Basis
Keselamatan
Nuklir
SL-2
Frekuensi
(Hz)
1-10
SL-1
2 x SL-2
1-10
Kesimpulan
Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
640
1.
Pendahuluan
legenda
Sampel 1
Sampel
petrografi
Sampel 2
2.
Metode Penelitian
3.
Nama Spesies
N16
N17
N18
N19
N20
N21
N22
N23
Orbulina Universe
Globorotalia Miocenica
Globorotalia Exililis
Globorotalia Menardi B
Globorotalia Tumida Tumida
Globorotalia pleistotumida
Nama Spesies
Dentalina Subsoluta
Cyclamina Cancelata
Transisi
Neritik
Bathial
Abysal
Hadal
Nama Spesies
Orbulina Universe
Globorotalia Miocenica
Globorotalia Altispira
Globigerinoides Trilobus
Globorotalia Tumida Tumida
Sphaerodinella Subdehisenc
N16
N17
N18
N19
N20
N21
N22
N23
Nama Spesies
Stilostomella Fistuca
Operculinella
Complanata
Adelosina Intricata
Amphistegina Lessonii
sensu
Transisi
c
d
Neritik
Bathial
Abysal
Hadal
menunjukan
adanya perbedaan
lingkungan
pengendapannya. Hal ini sendiri menunjukkan
keterdapatan perubahan dari paleobatimetri antara
pada bagian bawah dari batugamping dan bagian
atas dari batugamping, hal ini juga ditunjukkan
dengan adanya kenampakan paleokarst pada
batugamping.
Proses dinamika sedimentasi dari batuan yang
ada di daerah penelitian adalah sebagai berikut
Jadi pada awalnya diendapkan batupasir
karbonatan warna coklat pada lingkungan bathial
pada kisaran 630 fm atau 1134 meter pada umur N
19. Pada pengendapan ini sendri materialnya
merupakan campuran antara material asal darat
dengan material karbonat, hal ini dapat dilihat dari
terdapatnya material silisiklastik.(lihat gambar 5)
Lalu
setelah
batupasir
karbonatan
terendapkan terjadi penurunan muka air laut secara
cukup drastis menyebabkan lingkungan yang
awalnya laut dalam menjadi laut dangkal, hal ini
menyebabkan material karbonatan menjadi banyak
terakumulasi dan dapat membentuk batugamping
(lihat gambar 6)
Dari sayatan petrografi didapat fasies dari
batugamping adalah grainstone, hal ini menunjukan
lingkungan pengendapan berada pada lingkungan
berenergi yang tinggi, hal ini terlihat dari hubungan
antarbutirnya dimana pada batugamping ini
hubungan antarbutirnya adalah grain supported,
menunjukan kandungan mud yang sedikit akibat
disapu oleh energi oleh gelombang air laut yang
tinggi.
4.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Saran Untuk Peneliti Selanjutnya
Wynn.
Abstract
The saline/brackish water can be found at many places in nature. This phenomena occurs under
geological control of the certain place. The origin of the saline water refers to some hydrogeological
processes, such as mixing of water (sea water intrusion or flushing), evolution, hydrochemical processes,
connate water even man made polution. These origin of salinity should be known in order to build some
mitigation ways. The mitigation process include preventive action (reduce groundwater abstraction or
polution; control the groundwater flow by any geotechnical building) and remediation by chemical process.
However, any saline water sometimes give benefit for society so this phenomena doesnt need remediation.
Key words : saline, groundwater, origin, treatment.
1.
Introduction
2.
Definition of Salinity
TDS
(mg/l)1)
1,000
> 1,000 -
3,000
> 3,000 -
10,000
> 10,000 35,000
> 35,000
TDS
(mg/l)2)
0 1,000
1,000
10,000
10,000
100,000
> 100,000
EC
(mhos/cm)1)
1,500
> 1,500 -
5,000
> 5,000 -
15,000
> 15,000 -
50,000
> 50,000
4.
4.2. Stratigraphy
The layers of aquifer zone determine the
potential of groundwater. Saline water should be
able to flow to the aquifer from sea water or
move from aquifer to the others. It depends on
the condition of local or regional stratigraphy.
This stratigraphy includes many kind of litology.
Saline water in Baliem Valley is also supported
by the occurrence of
limestone of karst
landform. The interaction between minerals in
limestone and water may increase the salinity.
The other example is saline groundwater in
Jakarta Groundwater Basin (JGB). In this basin,
there are saline groundwater can be found at
both shallow and deep aquifer zones. Hadipurwo
(1996) show there were some origin of
saline/brackish groundwater in JGB as below:
a. Aquifer I zone (< 40 m depth) : seawater
intrusion, leaching, evaporation, flushing.
b. Aquifer II (40 140 m depth) and III zones
(>140 m depth) : leaching, flushing.
Those saline/brackish groundwater is influenced
by stratigraphy of JGB which consist of
quaternary sediments (Figure 2).
5.
6.
Conclusion
Figure 3. Fault should be supported the occurrence of saline water in Parangwedang Spring Listyani, 2008).
of
Origin/Geological
Factor
Treatment
Jakarta
Groundwater
Basin
Seawater
intrusion;
leaching
Baliem Valley,
Papua
Water-rock
interaction;
connate water
Parangwedang,
Yogyakarta
Meteoric water
mixed by heat of
past
volcanic
activity
-Reduce
groundwater
abstraction
-Build
the
geotechnical
building to prevent
or
divert
groundwater flow
-Remediation
by
chemical process
No
treatment
because this water
gives
benefit
(provide iodine) for
people
at
surrounding area.
No treatment
(good for tourism
&
skin
pain
therapy)
References
Freeze, R.A. dan Cherry, J.A.,
Groundwater,
Prentice-Hall
Englewood Cliffs, New Jersey.
1979,
Inc.,
Abstrak
Kondisi suatu pembangunan dipengaruhi oleh adanya gerakan tanah. Pada daerah Gendurit dan Sekitarnya, Kecamatan
Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dilaksanakan studi mengenai penanggulangan gerakan tanah
berdasarkan karakteristik litologi dan morfologi dengan metode pemetaan surface. Dari hasil penelitian diperoleh output
berupa peta geologi dan geomorfologi yang digunakan sebagai acuan dalam analisis yang dilakukan. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada gerakan tanah antara lain karakteristik litologi dan morfologi, kondisi geologi serta curah hujan, iklim dan
vegetasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan didaerah Gendurit dengan
acuan karakteristik morfologi dan penyebaran litologi. Maka dengan memberi perlakuan yang tepat dalam suatu perencanaan
pembangunan kita dapat meningkatkan kualitas pembangunan serta mampu menghemat biaya perawatan karena kualitasnya
yang lebih baik.
Keywords : geologi, geomorfologi, gerakan tanah, kualitas pembangunan, pemetaan surface
1.
Pendahuluan
2.
Metodologi
3.
Geologi Regional
4.
4.2 Gambar
5.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Bemmelen, R W Van.1970. The Geology Of
Indonesia, The Hague. Government
Printing Office,732p.
Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar.
Penerbit LPP dan UNS Press, universitas
Sebelas Maret,Surakarta.
Pettijohn, F.J, 1975, Sedimentary Rocks, 3rd Ed,
Harper & Raw Publishing Company :
New York.
Van Zuidam, R.A. 1983. Guide to Geomorphology
Aerial Photographic Interpretation and
Mapping. Enshede : The Netherland.
Abstrak
Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda
maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong peneliti untuk memahami, dan bahkan menanggulangi
bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya masyarakat disekitar lokasi bencana. Lokasi
penelitian ini tepat berada pada jalur jalan utama sepanjang kecamatan Arjosari-Tegalombo, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur. Maksud dari tulisan ini adalah mengevaluasi kondisi geologi serta faktor pemicu
terjadinya gerakan tanah pada daerah Arjosari-Tegalombo ditinjau dari sudut pandang tingkat alterasi
hidrotermal dan kemiringan lereng, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
tingkat alterasi terhadap potensi longsoran di daerah penelitian. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini
terdiri dari studi literatur dan data sekunder, survei geologi yaitu pemetaan permukan dengan random
sampling di lokasi longsoran dan analisis laboratorium seperti petrografi dan X-Ray Defraction (XRD).
Analisa petrografi dan XRD, dilakukan di laboratorium (UGM). Pada penelitian ini lebih di fokus pada
lokasi longsoran LP-11/lia dan LP-12/lia kemudian dilakukan evaluasi dan analisis secara menyeluruh.
Daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang cukup curam yaitu berkisar antara 40-50 %, hal tersebut
sangat mendukung terjadinya bencana longsoran. Litologi daerah penelitian secara lokal tersusun atas breksi
dan tuf serta dibeberapa tempat terpotong oleh basaltic dike, litologi di sepanjang daerah penelitian telah
mengalami ubahan hidrotermal (altered) yang cukup intensif berupa alterasi tipe propilitik dan argilik.
Berdasarkan studi petrografi dan studi X-ray diffraction dari sampel yang diambil dari lokasi penelitian, dapat
disimpulkan bahwa gerakan tanah tipe longsoran di lokasi penelitian disebabkan karena kontrol tingkat
ubahan hidrotermal yang tinggi sehingga menghasilkan mineral clay dalam jumlah yang besar, seperti smektit
dan ilit serta kaolin. Kehadiran smektit dan ilit serta kaolin pada zona lapuk menjadi pemicu terjadinya
longsoran pada daerah ini. Kapasitas swelling (penambahan jumlah) mineral smektit, ilit dan kaolin serta
akumulasi curah hujan adalah parameter penting untuk memprediksi gerakan tanah (longsor). Dalam hal ini
disarankan agar perlunya di lakukan mitigasi bencana longsoran disepanjang jalur jalan utama sepanjang
Kecamatan Arjosari-Tegalombo dengan metode cutting morfologi serta pemasangan retaining wall di
sepanjang jalur jalan tersebut khusunya pada daerah-daerah yang memiliki tingkat alterasi yang cukup tinggi
(argillic-porphilitic type).
Kata Kunci: Longsoran, XRD, tingkat alterasi, argillic, porphilitic dan kemiringan lereng.
1. Pendahuluan
Bencana alam dapat menimbulkan resiko atau
bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian
harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini
mendorong peneliti untuk memahami, mencegah dan
bahkan menanggulangi bencana alam agar terjamin
keselamatan dan kenyamanannya masyarakat disekitar
lokasi bencana.
Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan
tiga lempeng yaitu lempeng Samudera Hindia,
lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudera
Pasifik, sehingga terbentuklah jalur gunungapi purba
maupun yang masih aktif dan jalur gempa bumi.
Adanya
tumbukan-tumbukan
lempeng-lempeng
tersebut maka terjadi zona penunjaman yang
Daerah Penelitian
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
2. Metodelogi Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini
terdiri dari studi literatur dan data sekunder, survei
geologi yaitu pemetaan permukan dengan random
sampling di lokasi longsoran dan analisis laboratorium
seperti petrografi dan X-Ray Defraction (XRD).
Analisa petrografi dan XRD, dilakukan di
laboratorium (UGM). Pada penelitian ini lebih di
fokus pada lokasi longsoran LP-11/lia dan LP-12/lia
kemudian dilakukan evaluasi dan analisis secara
menyeluruh
Alterasi propilitik
Tipe alterasi ini mempunyai intensitas yang
berbeda-beda di beberapa lokasi, akan tetapi secara
umum intensitas alterasi ini tidak terlalu kuat,
namun pada beberapa tempat dijumpai kehadiran
alterasi propilitik yang cukup intensif (LP-12/lia)
yang ditandai dengan kehadiran mineral klorit dan
Smektit (Lampiran 5) dan batuan yang berubah
warna menjadi hijau keputihan (Foto 2).
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih penulis persembahkan
terutama kepada kedua orangtua penulis yang sudah
mau membantu membiayai penelitian ini dan juga
Daftar Pustaka
Hartono. G., dan Bronto. S.,2009 Analisi stratigrafi
awal kegiatan Gunung Api Gajahdangak di
daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap
stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan
Selatan, Jawa Tengah, Diterbitkan oleh Jurnal
Geologi Indonesia vol. IV No.3 Spetember 2009
; 157-165
Idrus, A., 2007, Laporan survei tinjau endapan logam
dasar di daerah Nawangan, Kabupaten Pacitan,
Jawa Timur (Tidak dipublikasi), 10 p.
Karnawati, D., S. Pramumijoyo, S. Hussein, R.
Anderson and A. Ratdomopurbo. 2007a. The
Influence of Geology on Site Response in the
Bantul District, Yogyakarta Earthquake,
INDONESIA. AGU 2007 Joint Assembly.
Acapulco.
Samoedra. H dan Tjokrosapoetra. S., 1992. Peta
Geologi Lembar Pacitan 1507-4, skala
1:100.000.
Taylor. R.K dan Smith. T.J., 1985, The Engineering
Geology of Clay Minerals: Swelling, Shrinking
And Mudrock Breakdown, Department of
Engineering (Engineering Geology), University
of Durham, South Road, Durham DH1 3LE.
Geological Society and the Clay Minerals Group
of the Mineralogical Society entitled 'Clay
Minerals
in
Engineering
Geology-The
Geotechnical Properties of Clays' held on 12
March 1985.
Thornbury,
W.D.,
1969,
Principles
of
Geomorphology, Newyork, John Wiley & Sons.
Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of
Indonesia, Vol. IA, General Geology, Martinus
Nijnhoff, The Hague, Netherlands.
Kln
Kln
Kln
Py
Ill
Ill
Py
LP12/lia Foto 3. Petrografi sampel LP-11/lia (Py=pirit,
Kln=Kaolin, Ill=Ilit)
Kln
Py
Ill
Py
Ill
Sme
Py
Kln
Sme
Kln
Abstrak
Daerah Gemawang, Ngadirojo, Wonogiri terletak di sebelah timur Kota Wonogiri. Secara fisiografi termasuk bagian dari
Pegunungan Selatan. Daerah Gemawang hampir seluruhnya tersusun oleh batuan gunung api yang berumur Kuarter maupun
Tersier. Khususnya batuan yang berumur Tersier disusun oleh lava dan breksi piroklastika yang berkomposisi andesit dasit,
sedangkan batuan yang berumur Kuarter merupakan produk G. Lawu. Sejauh ini batuan gunung api yang berumur Tersier
tersebut belum diketahui pusat erupsi gunung api yang menghasilkannya. Tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengidentifikasi daerah Gemawang sebagai bekas gunung api purba, dan menggunakan metode penelitian geologi gunung
api. Berdasarkan studi terpadu yang menekankan pada pemahaman konsep geologi gunung api terhadap berbagai aspek
geologi yang mencakup geomorfologi gunung api, stratigrafi gunung api, struktur geologi gunung api, dan fasies gunung api,
maka di daerah Gemawang dan sekitarnya dapat diidentifikasi keberadaan gunung api purba. Gunung api purba daerah ini
dibangun oleh perselingan lava dengan breksi piroklastika berkomposisi andesit dasit yang membentuk geomorfologi
melingkar dan pola pengaliran radier, struktur geologi menyebar mengikuti bentuk gawir melingkarnya atau melandai
menjauhi daerah pusat. Pemahaman ini mengindikasikan bahwa gunung api purba Gemawang berasosiasi dengan
lingkungan darat, mengalami fase konstruktif dan destruktif, dan membentuk bekas geomorfologi gunung api seperti saat ini.
Kata Kunci: Wonogiri, Gemawang, gunung api purba, fase gunung api
Abstract
Gemawang area, Ngadirijo, Wonogiri there in the east part of Wonogiri Regency. Physiographyly this area include part of
the Southern Mountains. In this area wholly composed of Quartery or Tertiary volcanic rocks. Especially Tertiery rocks
consist of lava and pyroclastic breccia that composed of andesitic-dacite, whereas Quartery volcanic rocks is Mount Lawu
product. Nevertheless source of central eruption from this Tertiery volcanic rocks is still unknown. Purpose of this paper for
identifying Gemawang area as ancient volcano trace, and use the geology of volcano method. Based on an integrated study
emphasize on gology of volcanic that consist geomorphology of volcanic, volcanostratigraphy, structural of volcanic, and
volcanic facies, so in Gemawang and around of this area can be identificated there ancient volcano. Ancient volcano in this
area build up by lava and pyroclastic breccia composed by andesit-dasit that formed circular geomorphology and radial
drainage pattern, structure of geology spread following circular depression features or decrease of slope keep away from
central area. This comperehension indicate that ancient volcano of Gemawang associate with land environment, have two
phase volcano that is constructive phase and destructive phase and form geomorphology of volcano trace as the present.
Keywords: Wonogiri, Gemawang, ancient volcano, phase volcano
1.
Pendahuluan
Secara administratif,
daerah kajian
termasuk dalam wilayah Desa Gemawang,
Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri (Gambar
1). Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Lawu,
sebelah timur dibatasi oleh Gunung Kukusan, sebelah
selatan dibatasi oleh Sungai Tirtomoyo dan sebelah
barat dibatasi oleh Gunung Pegat dan Waduk
Gajahmungkur. Secara astronomis terletak pada
koordinat 7 51 30 LS - 7 56 30 LS dan 110
59 30 BT - 111 3 00 BT.
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.
2.
Tataan Geologi
3.
Hasil Penelitian
4.
Pembahasan
5.
Kesimpulan
Pada
daerah
penelitian
dengan
mengidentifikasi keberadaan gunung api purba
menggunakan pendekatan aspek geomorfologi
gunung api, stratigrafi gunung api, struktur
gunung api, sedimentologi gunung api dan aspek
lainnya yang mendukung keberadaan adanya
bekas gunung api pada daerah penelitian maka
dapat disimpulkan bahwa pada daerah penelitian
teridentifikasi adanya gunung api purba yaitu
Khuluk Gemawang.
Acuan
Bronto, S., Hartono, G. dan Purwanto, D., 1998,
Batuan Longsoran Gunungapi Tersier di
Pegunungan Selatan : Studi Kasus di kali
Ngalang, kali Putat dan Jentir, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta, 8-9 Agustus, pp. 344349.
Bronto, S., 2006, Fasies Gunung Api dan
Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 2, No
1, hal 59 - 71.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti,
B., 2008, Gunung api purba Watuadeg: Sumber
erupsi dan stratigrafi, Jurnal Geologi Indonesia,
Vol 3, No 3, hal 117 - 128.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti,
B., 2009, Waduk Parangjoho dan Songputri:
Alternatif sumber erupsi Formasi Semilir di
daerah Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 4, No 2,
hal 77 - 92.
Bronto, S., 2010, Geologi Gunung Api Purba, Badan
Geologi Indonesia, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Bandung, 154 hal.
E-mail : azvy_05@yahoo.co.id
Abstrak
Perubahan tataguna lahan berdampak pada ketersediaan airtanah baik secara kuantitas maupun kualitas.
Aktivitas penambangan batubara pit terbuka merupakan aktivitas yang berdampak pada perubahan tataguna
lahan, litologi, dan akuifer, seperti pembentukan pit tambang yang mengakibatkan terpotongnya perlapisan
batuan yang berkorelasi dengan lapisan akuifer sebagai lapisan pembawa airtanah. Kondisi ini terjadi seperti
pada lokasi penambangan batubara pit terbuka di kecamatan Muara Lawa yang menjadi daerah model
penelitian. Kajian kondisi hidrogeologi, hidrologi, dan kondisi batas hidrogeologi sangat berperan untuk
mengetahui keberadaan airtanah pada cekungan airtanah dan menentukan pemodelan airtanah pada
penambangan aktif dan penutupan penambangan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pemodelan
pola aliran airtanah dampak penambangan aktif dan penutupan tambang batubara pit terbuka. Secara
geologis, formasi batuan yang berkembang daerah Muara Lawa terdiri dari Formasi Pulaubalang, Pamaluan,
dan Balikpapan dengan struktur Sinklin Lampanan. Kemiringan perlapisan batuan (dip) 16-20 dengan
sumbu sinklin yang membentang dari timur laut menuju ke barat daya. Daerah penelitian masuk dalam
Sistem Akuifer Batuan Sedimen Terlipat yang terdiri dari tujuh lapisan akuifer yang berselang-seling antara
akuitar, akuifer, dan lapisan dasar berupa akuiklud. Secara regional, batas hidrogeologis daerah model
penelitian dibatasi oleh batas air permukaan pada dua sungai besar, yaitu Sungai Lawa (timur) dan Sungai
Perak (barat), serta batas pemisah airtanah dengan head tertinggi (utara dan selatan) yang dibatasi oleh
perbukitan homoklin berbentuk sayap sinklin.Hasil pemodelan airtanah dapat diketahui adanya perbedaan
aliran airtanah saatpenambangan aktif danpenutupan tambang pit terbuka terutama pada daerah pit tambang
yang mengalami kenaikan elevasi dari -70 mdpl menjadi -5 mdpl dan penurunan elevasi dari 40 menjadi 12 m
pada daerah disposal. Perubahan yang terjadi antara lain:perubahan pola arah aliran airtanah pada bekas pit,
kenaikan muka airtanah piezometrik, kenaikan head,dan terbentuknya void/pit lakes.
Kata Kunci: Pemodelan, Muara Lawa, PenambanganPit terbuka, head
1. Pendahuluan
Muara lawa masuk dalam tiga formasi dari
Cekungan Kutai, yaitu Formasi Pamaluan,
Pulaubalang, dan Balikpapan. Ketiga formasi ini
membentuk struktur Sinklin Lampanan yang
membentang dari timur laut menuju ke barat daya.
Melimpahnya cadangan batubara dari ketiga formasi
tersebut, maka berakibat banyak perusahan yang
melakukan aktivitas penambangan batubara dengan
menggunakan metode penambangan pit terbuka.
Penambangan batubara pit terbuka merupakan
kegiatan yang menyebabkan perubahan morfologi,
geologi, dan geohidrologi, seperti perubahan tata
guna lahan, perlapisan batuan, dan akuifer.
Penambangan pit terbuka ini mendasarkan pada
aktivitas penggalian ke arah vertikal hingga
mencapai lapisan endapan batubara yang diinginkan.
Salah satu perusahan penambangan batubara di
Muara Lawa yang menggunakan penambangan
dengan metode pit terbuka adalah PT. Trubaindo
Coal Mining (PT. TCM).
Secara geografis, Muara Lawamasuk wilayah
kabupaten Kutai Barat yang berjarak 323 km dari
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian induktif
dengan pendekatan analitik, yaitu kondisi hidrologi,
hidrogeologi, dan pemodelan airtanah. Pendekatan
ini mendasarkan pada kajian secara mendalam
tentang aspek morfologi, hidrologi, hidrogeologi,
dan perubahan tata guna lahan, penambangan aktif
dan penutupan tambang batubara pit terbuka. Selain
dengan pendekatan analitik, penelitian ini
menggunakan ekperimen semu (Quasi Experiment
Research) yang disebabkan banyaknya data yang
diperoleh di lapangan dan bukan semata-mata
menggabungkan teori-teori yang ada untuk menarik
suatu kesimpulan tertentu.
Daerah penelitian berada di daerah aliran sungai
(DAS) Lawa yang dibatasi oleh DAS Perak yang
berada di barat daerah penelitian. Daerah aliran
airtanah sangat mempengaruhi kuantitas imbuhan
airtanah. Imbuhan airtanah merupakan bagian siklus
hidrologi yang ditentukan oleh keseimbangan air
dalam suatu daerah aliran sungai. Siklus hidrologi
dipengaruhi oleh keseimbangan air/uap air dari
presipitasi, aliran airpermukaan, imbuhan airtanah,
dan evapotranspirasi.
Presipitasi daerah penelitian diperoleh dari data
tiga stasiun pencatat curah hujan pada sepuluh tahun
terakhir yang berada di DAS Lawa, yaitu STA-1P,
2P, dan 1B. Kuantitas aliran air permukaan sangat
dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran sungai
danjaringan sungai-sungai daribagian hulu hingga
hilir, seperti keberdaan Sungai Tunau dan Jelukserta
kondisi tata guna lahan pada kawasandaerah aliran
sungai.Selain itu, nilai evapotranspirasi juga sangat
tergantung dari data presipitasi dan kondisi fisik dari
tata gunalahan wilayah DAS.
Hidrostratigrafi menjadi model lapisan vertikal
yang ditentukan daridimensi lapisan akuifer.
Hidrostratigrafisangat
dipengaruhi
oleh
stratigrafigeologi yang berkembang di daerah
penelitian. Data geologi diperoleh dari hasil kegiatan
eksplorasi permukaan, pemboran ekplorasi yang di
tumpang susun dengan data geologi regional. Hasil
interpretasi stratigrafi kemudian dilakukan uji
pemompaan pada lapisan yang menjadi pembeda
antar lapisan yang bertujuan untuk mengetahui
karakteristik
akuifer
tiap
lapisan
batuan.
Karakteristik yang digunakan sebagai pembeda antar
lapisan yaitu konduktivitas hidrolika akuifer.
Model konseptual daerah penelitian dipengaruhi
oleh daerah imbuhan dan batas hidrogeologis.
Daerah imbuhan merupakan daerah dipermukaan
yang secara terbuka dapat kontak secara langsung
dengan curah hujan dan aliran air permukaan.
Daerah imbuhan terdiri dari daerah singkapan
3. Hasildan Pembahasan
3.1. Geologi Regional dan Lokal
Secara fisiografis, menurut Van Bemmelen
(1949), Kutai Barat masuk dalam Zona Cekungan
Kutai. Sementara itu, Supriatna dkk. (1995)
mengungkapkan, bahwa stratigrafi Cekungan Kutai
dari tua ke muda ditandai oleh beberapa
pengendapan formasi batuan dengan pemerian yang
khas dengan lingkungan pengendapan dari daratan
hingga laut dangkal. Korelasi dari geologi regional
yang dihubungkan dengan hasil pemboran
eksplorasi, maka dapat disimpulkan, bahwa urutan
stratigrafi dari paling tua hingga paling muda pada
daerah model penelitian adalah sebagai berikut: (1)
Formasi Pamaluan (Miosen Awal-Miosen Bawah);
(2) Formasi Pulaubalang (Miosen Tengah-Miosen
Akhir); dan (3) Formasi Balikpapan (Miosen
Tengah-Miosen Akhir).
3.2. Hidrologi
Muara Lawa masuk dalam DAS Lawa yang
mempunyai total luas 248,57 km2. Pada DAS Lawa
terdapat dua sub-DAS yang menjadi daerah target
penelitian (kawasan penambangan), yaitu sub-DAS
Tunau dan Jeluk dengan total luas 64,13 km2. Pada
DAS Lawa terdapat tiga stasiun pencatat curah hujan
terdekat yang mempunyai jarak antar stasiun yaitu
20 hingga 43 km. Penentuan curah hujan rata-rata
daerah DAS dengan menggunakan metode polygon
Thiessen. Metode ini mendasarkan pada faktor
pemberat dari tiga stasiun pencatat curah hujan.
, dan
perubahan
evapotranspirasi
rencana
pada
penambangan aktif dan penutupan tambang.
Hasil dari penerapan metode perhitungan
imbuhan airtanah rencana pada penambangan aktif
dan pentupan tambang dapat dilihat padaTabel 1,
pada penutupan tambang Tabel 2.
Tabel 1: Imbuhan airtanah Sub DAS Tunau-Jeluk pada
penambangan aktif
Daerah target
(penambangan
Parameter
Sat.
aktif)
Total
Rerata
Presipitasi (P)
3311,31 1655,66 mm
Evapotranspirasi
nyata 2843,82 1421,91 mm
(ETr)
Run off (Ro)
187,97
93,99
mm
Imbuhan airtanah (R)
279,52
139,76 mm
Sumber: hasil perhitungan
Tabel 2: Imbuhan airtanah Sub DAS Tunau-Jeluk pada
penutupan tambang
Daerah target
(penutupan tambang) Sat.
Parameter
Total
Rerata
Presipitasi (P)
3311,31
1655,66 mm
Evapotranspirasi
nyata 2843,82
1421,91 mm
(ETr)
Run off (Ro)
178,46
89,23
mm
Imbuhan airtanah (R)
mm
289,03
144,52
Sumber: hasil perhitungan
hidrolika- K
4,94 10
-7
1,09 10-4
6,71 10-8
1,19 10-4
4,96 10-8
2,02 10-9
Kondisi batas
- Head
180-97
- Sungai
50-63
m
m
mm
thn-1
55-65
-37 s.d 0
139,76
144,52
- Stream
- Drain
- Recharge
(K1)
Akuitar
(K2)
Akuifer
(K3)
Akuitar
(K4)
Akuifer
(K5)
Akuitar
(K6)
Akuiklud
(K7)
atas
tengah
tengah
bawah
bawah
bawah
Batas airtanah,
diposal
Sungai
Rawa
Pit, void
Tambang aktif
Penutupan
tambang
Unit
Kuantitas
Lokasi
m dtk-
1,67 10-4
Akuifer
atas
27,41
36,72
64,13
100
9,91
23,48
33,39
52,07
6,57
7,18
13,75
21,44
1,72
1
2,72
4,24
9,16
4,77
13,93
21,72
0,05
0,29
0,34
0,53
9,96
24,35
34,31
54%
6,57
7,18
13,75
21%
1,72
1
2,72
4%
9,16
3,34
12,50
19%
0
1,55
1,55
2%
9,96
24,35
34,31
54%
Sumur
Muka
HeadHeadobservasi
piezometrik
Lap.
model
DD_509A
18,5
125,6
126,8
1
OW-6
45,2
134,8
133,3
2
DD_510G
23,1
123
125
3
DD_022C
65,5
118,6
121,3
4
DD_20C
43,1
127
126,8
5
DD_050A
24,5
125,2
120,9
6
DD_13G
50
128,1
126,8
7
DD_551
34,5
134,6
134
8
DD_504
10,5
125
129
9
65
126,5
127,2
10 OW-1
39,1
131
128
11 OW-2
41,35
126,7
126,4
12 OW-4
45,25
120,4
122,6
13 OW-9
35,15
123,4
124,7
14 OW-10
15,2
126,7
126,7
15 OW-13
75,45
116,8
115,7
16 OPW-3
36,1
140,3
136
17 OPW-4
55,15
127,8
126,6
18 OW-8
28,65
115,7
118,5
19 DD_13A
42
120,5
124
20 DD_536G
Sumber: Hasil perhitungan &pemodelan V-Modflow
NO
4.
Kesimpulan
Terjadiperubahan hidrogeologi akibat aktivitas
penambangaan batubara pit terbuka yang
menyebabkanperubahan morfologi, geologi dan
hidrogeologi di daerah target penelitian. Perubahan
ini mempengaruhi model aliran airtanah yaitu,
perubahan arah aliran airtanah daerah target
penelitian yang dominan mengarah kepit akibat
penambangan yang mencapai lapisan akuifer bagian
tengah dengan dominasi batupasir dari Formasi
Pulau Balang. Perubahan ini diikuti dengan
penurunan headperhitungan (pemodelan) dari
headobservasi, yang diukur dari 20 sumur observasi.
Pemodelan airtanahpada penutupan tambangdi
daerah target penelitian secara umum mempunyai
pola aliran dari timur menuju ke barat, yaitu Sungai
Perak. Pola ini merupakan pola aliran pada kondisi
alami (sebelum adanya penambangan). Selain itu,
terjadi kenaikan headdan muka airtanah piezometrik
pada penutupan tambang. Kondisi ini terjadi karena
daerah kawasan tambang telah direklamasi,
recontouring, dan adanya penutupan pada pit
tambang.
Daftar Pustaka
Asdak, C., 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, hlm. 154 210.
Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., 2013, Lembar Kerja
Hidrogeologi Umum, Kelompok Keahlian
Geologi Terapan Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian Institut Teknologi
Bandung
Lerner, D.N., 1990, Groundwater recharge in Urban
Areas, Hydrological Processes and Water
Management in Urban Area, Proceedings of
the Duisberg Symposium, April 1990, IAHS
Publ., No. 198.
Hammer, M.J. and Mac-Kichen, K.A., 1981,
Hydrology and Quality of Water Resources,
John Wiley & Sons, Ltd., New York, p. 41,
140, 214
Healy, R., W. and Cook Peter, G., 2002, Using
Groundwater Levels to Estimate Recharge,
Hydrogeology Journal, Vol. 10, No. 1, p. 91
107.
Kamiana, I., 2010, Teknik Perhitungan Debit
Rencana Bangunan Air, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 28-30, 203
Mandel, S., Shiftan, Z.L., 1981, Groundwater
Resources: Investigation and Development,
Academic Press. Inc, USA
Notodarmojo, S., 2005, Pencemaran Tanah dan
Airtanah, Penerbit ITB, Bandung.
Puradimaja, D.J., 1993, Penyusunan Tipologi Paket
Penelitian Sumber Daya Air, LAPI ITBDepartmen Transmigrasi, Bandung
Seiler, K.P., Gat, J.R., 2007, Groundwater Recharge
from Run-Off, Infiltration and Percolation,
Springer, The Netherland, p. 75
Supriatna, S., Sukardi, Rustandi, 1995, Peta Geologi
Bersistem, Lembar Samarinda, Kalimantan
sekala 1:250.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of
Indonesia, Government Printing Office, the
Hague, Netherland, p. 328 360.