Anda di halaman 1dari 12

REKTOR UNILA: SANGAT SEPAKAT SKRIPSI DIHAPUSKAN

BANDARLAMPUNG. FS - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti)


berencana menelurkan kebijakan baru. Yakni tidak mewajibkan penulisan skripsi sebagai syarat
kelulusan program sarjana (S1). Motivasinya untuk menekan potensi kecurangan penyusunan
tugas akhir itu.

Universitas Lampung (Unila) adalah satu-satunya univeritas negeri yang ada di Lampung. Unila
menjadi contoh pelaksanaan kegiatan kampus. Rektor Unila Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto,
M.S. menyambut baik ketetapan Menristek, Mohamad Nasir, penulisan skripsi sedang dikaji
menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana.
Menurut Sugeng apa boleh perlu dikampus tidak perlu ada skripsi. Karena skripsi hanyalah
sebagai latihan saja bagi strata satu (S-1). Bukan seperti S-2 dan S-3 yang perlu menghasilkan
riset murni. Skripsi bukan syarat mutlak, ujarnya.
Seperti dilansir dalam laman JPNN, Nasir mengatakan penulisan skripsi sedang dikaji menjadi
syarat opsional saja untuk lulus sarjana. Sebagai gantinya nanti mahasiswa yang akan lulus akan
diberikan pilihan-pilihan, ujarnya.
Opsi untuk lulus selain menyusun skripsi, yakni mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau
laporan penelitian di laboratorium. Ini masih dikaji, sebutnya.

Sejak masih aktif di kampus dulu, Nasir mengaku sudah paham dengan kenakalan mahasiswa
dalam bentuk membeli skripsi. Modusnya membayar jasa penyusunan skripsi. Nasir mengakui
bisa mendeteksi apakah skripsi yang sedang dia uji itu dibuat sendiri atau hasil buatan orang lain.
Saya tanya sebelum ujian. Skripsi ini beli atau buat sendiri. Kalau tidak mengaku saya putuskan
tidak lulus, ujarnya. Tetapi jika mahasiswa itu mengakui skripsinya hasil beli, maka diberi
kesempatan untuk membuat skripsi dengan jujur satu kali lagi.
Praktek jasa pembuatan skripsi ini, diakuinya dimulai dari aturan lulus S1 wajib menyusun
skripsi. Kemudian ada mahasiswa yang malas atau kesulitan menyusun skripsi. Lalu kondisi ini
dibaca oleh pihak-pihak yang ingin merengkuh keuntungan. Yakni dengan membuka jasa
pembuatan skripsi.
Selama ada demand (permintaan, red) dari mahasiswa yang malas, supply (penawaran, red) jasa
pembuatan skripsi akan terus ada, ujarnya. Nah untuk memotong mata rantai itu, muncul
rencana kebijakan syarat lulus tidak musti menyusun skripsi.

Diharapkan, mahasiswa yang lebih jago penelitian laboratorium, tidak merasa dipaksa untuk
menyusun skripsi. Begitu pula mahasiswa yang cenderung memilih pengabdian masyarakat,
tidak perlu harus menyusun skripsi. Apalagi proses kuliah selama ini terkait dengan tridharma
pendidikan tinggi. Yang terdiri dari pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Nasir juga menyinggung tentang keberadaan ijazah palsu. Dia menuturkan sepekan ke depan
Kemenristek-Dikti akan mengklasifikasikan perguruan tinggi berstatus non aktif atau aktif.
Sehingga masyarakat tidak salah pilih.
Selain itu Nasir juga mengatakan akan membentuk satuan tugas penanganan ijazah palsu,
termasuk mulai menginvestigasi perguruan tinggi (PT) yang berani melakukan perbuatan
melanggar hukum tersebut.

***

Sugeng mengatakan meski saat ini skripsi di kampus Unila masih sebagai salah satu syarat
kelulusan. Ia sering menghimbau kepada para dekan dan dosen untuk tidak menghambat
kelancaran kelulusan terkait sulitnya menyelesaikan skripsi. kalo di luar negeri banyak kampus
yang tidak pake skrispi sebagai syarat kelulusan, terangnya.

Mengenai urgensi skripsi itu sendiri bagi kampus, ia mengakui tidak sebegitu memperhatikan.
Baginya Skripsi bukanlah sebuah penelitian murni, yang harus memperhatikan nilain
kepentingan isinya seperti tesis atau disertasi. Yang penting baginya, seorang sarjana telah
melakukan pengabdian, sudah melakukan kegiatan, dan bisa menulis. ... misalnya penelitian
tentang peningkatan produksi jagung (penelitian tesis atau disertasi, red). Ya, harus meningkat
produksinya. Kalo masih skripsi, ya enggak. Biarin aja. Yang penting sudah bagus, pungkasnya.

Sugeng mengatakan Skripsi bisa diganti dengan praktek umum, praktek kerja lapangan, atau
matakuliah lainnya yang sebanding dengan skripsi. Skripsikan hanya 4 SKS, masak ngalahngalahin 1 semester. Satu smester itu 16 SKS malah ada yang 24 SKS, ujarnya sambil tertawa.
Setiap rapat pimpinan, Sugeng selalu ingin menghapuskan skripsi sebagai syarat kelulusan.
Namun ia terbentur masalah peraturan akademik Unila yang telah dibuat. Tapi ada beberapa
program studi masih agak keberatan, katanya.

Meski dia selalu mengingatkan kepada dekanat dan para dosen agar tidak mempersulit
mahasiswa dalam penyelesaian skripsi. Ia pun sering melihat kendala keterlambatan
penyelesaian skripsi cenderung tergantung dari mahasiswa itu sendiri. Kendalanya sendiri dari
mahasiswa. Sering malas, nyantai, kerja dululah, pungkasnya.

Sugeng juga menghimbau nantinya program studi dapat mencari opsi lain dari skripsi. Prodi
(program studi, red) ya silahkan saja. Nanti setelah statute kita terbentuk, bisa jadi ada beberapa
program studi ga perlu pake skripsi. Ya kenapa tidak. Tidak perlu pake skripsi-skripsian,
tambahnya.

Senada dengan Sugeng, Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., Wakil Rektor I Bidang Akademik
Universitas Lampung, mengatakan kampus membebaskan program studi (prodi) atau jurusan
untuk merancang kurikulum dan standar kompetensi masing-masing. Kampus memberikan hak
preogratif bagi program studi (prodi) atau jurusan untuk menentukan kurikulum kelulusan
mahasiswa. Namun sampai saat ini, skripsi masih menjadi patokan kelulusan di Universitas
Lampung. silahkan dikaji, Ujarnya. (AR)

sedang menempuh pendidikan sarjana (S1), yang namanya skripsi sudah barang tentu tidak asing
lagi kedengarannya. Bagi mereka menyebut kata skripsi ini bagaikan monster dan hantu yang
begitu menakutkan. Andaikata skripsi itu berwujud seperti makhluk pasti meraka akan lari
sekencang-kencangnya menjauh dan menghindar sebisa mungkin. Dalam benak meraka skripsi
itu identik dengan kata: susah, lama, sulit dan berbelit serta mahal.

Dalam kenyataannya mahasiswa yang sedang bergelimang dengan skripsi memang harus
memiliki kesabaran tingkat tinggi dalam rangka menghadapi berbagai cobaan dan badai derita
ini. Dampak dari itu tidak sedikit mahasiswa yang mengalami stres dan depresi mendalam.
Masih segar diingatan kita tragedi memilukan pada 2 Mei 2016 yang lalu, yang kebetulan
bertepatan dengan hari pendidikan nasional, sehingga peristiwa itu dipopulerkan sebagai
Hardiknas berdarah.

Adalah seorang mahasiswa, inisial RSS (21 tahun), mahasiswa Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sebuah perguruan tinggi di Sumatera

Utara, tega membunuh dosennya sendiri, inisial NL (60 tahun). Korban tewas di tempat akibat
pendarahan berat setelah mengalami 10 kali tusukan di leher dan pergelangan tangan.
Dari hasil penyelidikan polisi diperoleh informasi bahwa ternyata pembunuhan tersebut telah
direncanakan pelaku sejak satu bulan sebelumnya. Terhadap kasus ini, pelaku terancam
hukuman mati atau penjara seumur hidup, karena dianggap pembunuhan berencana.

Peristiwa ini menjadi buah bibir hampir di seluruh kampus tanah air, karena menjadi headline
berbagai media massa, baik media lokal maupun media nasional. Insan kampus di nusantarapun
berduka dan belasungkawa atas tragedi itu.
Konon disinyalir tindakan gelap mata yang dilakukan itu dikarenakan pelaku merasa dendam dan
sakit hati kepada korban yang telah mempersulit proses skripsinya, sehingga dia terancam tidak
dapat menyelesaikan studi tepat waktu.
Sebelum panjang lebar penulis uraikan terkait topik ini, sebaiknya mari kita lihat dulu defenisi
dari skripsi itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), skripsi adalah karangan
ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan
akademisnya.

The Liang Gi (1995) mendefinisikan skripsi sebagai karangan ilmiah yang memaparkan suatu
pokok persoalan yang cukup penting dalam suatu cabang ilmu sebagai cabang penelitian pustaka
dan/atau lapangan yang dilakukan oleh seorang mahasiswa berdasarkan penugasan akademik
dari perguruan tingginya untuk menjadi salah satu syarat kelulusannya sebagai sarjana.

Secara umum, dapat dijelaskan bahwa skripsi adalah karya ilmiah sebagai tugas akhir bagi
mahasiswa yang mengambil program sarjana (S1) sebagai salah satu syarat kelulusan. Kewajiban
yang sama juga berlaku bagi mahasiswa program magister (S2), namun disebut tesis dan bagi
mahasiswa program doktor (S3) disebut disertasi. Singkatnya bagi mahasiswa yang tidak dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini maka belum bisa diluluskan dari program studinya.
Konsekuensinya tentu tidak mendapatkan ijazah sebagai tanda telah menamatkan kuliahnya.

Dalam praktiknya setiap skripsi mahasiswa dibimbing oleh dua orang dosen pembimbing, yaitu
pembimbing utama dan pembimbing pembantu. Untuk menuntaskan penulisan skripsi ini
mahasiswa harus menempuh lima tahapan: (a). survei pendahuluan dan penulisan proposal, (b).
seminar proposal, (c). penelitian dan pengolahan data, (d). seminar hasil, dan (e). ujian akhir
karya ilmiah/sidang skripsi.

Setiap tahapan yang dilakukan, mahasiswa harus terlebih dahulu mengkonsultasikan dan
mendapat persetujuan pembimbing pembantu, baru kemudian dilanjutkan kepada pembimbing
utama. Tanpa restu dari kedua pembimbing ini, maka mahasiswa tersebut tidak dapat melangkah
ke tahap selanjutnya. Dibutuhkan kesabaran, keuletan dan ketegaran si mahasiswa untuk
melewati setiap tahap itu. Dengan demikian boleh dikata, kelulusan si mahasiswa berada di
ujung pena sang pembimbing dimaksud.

Di program sarjana (S1) penulisan skripsi diprogramkan pada semester delapan, dengan bobot 6
satuan kredit semester (SKS). Untuk dapat memprogramkan penulisan skripsi dalam kartu
rencana studi (KRS), mahasiswa harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti: telah
menyelesaikan paling sedikit 120 SKS dan tidak memperoleh nilai D atau E untuk mata kuliah
inti. Juga ada beban biaya skripsi yang wajib dilunasi oleh mahasiswa (bagi non UKT-uang
kuliah tunggal). Namun demikian persyaratan itu sangat tergantung pada kebijakan program
studi dan perguruan tinggi terkait dimana si mahasiswa menempuh pendidikan.

Faktor Penghambat

Dari pengalaman dan hasil pengamatan penulis selama ini, banyak faktor penghambat yang
dapat menyebabkan terganggunya penyelesaian karya ilmiah (skripsi/tesis) oleh mahasiswa:
pertama, dosen pengajar mata kuliah metodologi penelitian tidak dapat menjadi motivator ulung
dalam rangka menstimulus mahasiswanya melakukan penelitian, walaupun dalam skala kecilkecilan.

Kedua, rendahnya kemampuan menulis dari si mahasiswa itu sendiri, akibat rendahnya budaya
baca dan sempitnya wawasan. Harus diakui banyak mahasiswa kita sekarang yang lebih suka
nongkrong di warung kopi daripada di perpustakaan. Apalagi bila disuruh beli buku cetak kuliah.
Dari beberapa observasi yang penulis lakukan, diketahui bahwa ada mahasiswa dari semester
pertama hingga semester akhir tidak pernah memiliki buku cetak kuliah. Nah bayangkan!

Ketiga, mahasiswa dewasa ini lebih tinggi budaya menonton dan budaya mendengar. Mereka
tidak terbiasa dengan apa yang disebut menulis. Keempat, berbelit-belitnya birokrasi di
program studi dan pelayanan yang kurang memuaskan.

Banyak mahasiswa mengeluh terhadap penentuan judul skripsi yang tidak kelar-kelar dengan
berbagai macam alasan. Sudah bolak-balik ke Prodi namun hasilnya nihil. Mahasiswa merasa
kurang dihargai dan pelayanan kurang memuaskan tanpa solusi yang jelas.

Kelima, penunjukan dosen pembimbing yang tidak menguasai topik yang diteliti oleh
mahasiswa.

Keenam, dosen pembimbing tidak menguasai secara mendalam ilmu statistik dan metodologi
penelitian, serta kurang menguasai teknis software olah data penelitian.

Ketujuh, dosen pembimbing keterbatasan waktu.


Kedelapan, perilaku dosen pembimbing yang kurang bersahabat dan tidak komunikatif, dalam
bahasa Aceh diistilahkan cuheng (baca: marah-marah). Dosen pembimbing semacam ini
hanya bisa menyalahkan tanpa memberikan solusi yang dapat membantu mahasiswa yang
dibimbingnya.

Di kalangan mahasiswa sudah menjadi rahasia umum dan sudah teridentifikasi dari referensi
seniornya siapa-siapa dosen yang dianggap berkarakter cuheng ini. Ada guyonan di kalangan
mahasiswa, kalau kena dosen semacam ini sebagai pembimbing, maka segera menadahkan
tangan ke atas sambil berucap: Nauzubillahiminzalik. Dijamin bakal lama selesai skripsinya.
Cukup ramai sudah mahasiswa yang menjadi korban karena faktor ini, baik ditingkat S1
maupun S2.

Tidak jarang ditemui bahwa seorang mahasiswa telah lulus semua mata kuliah yang diambilnya
tepat waktu. Namun mereka masih tersangkut disatu hal, yaitu belum kelarnya penulisan karya
ilmiah sebagai tugas akhir (skripsi/tesis). Keluhan mereka hampir sama, yaitu mendapat dosen
pembimbing berkarakter kurang bersahabat alias cuheng. Bagi mahasiswa yang kurang sabar
dan bermental lemah, lebih memilih tidak menyelesaikan kuliahnya. Trauma dia.

Fenomena seperti ini menjadi ironi kita semua. Kasihan mahasiswa. Disatu sisi orang tua di
kampung terus bertanya kapan tamat kuliahnya? Ka habeh saboh keubee, dan saboh sagoo

tanoh blang dijual oleh orang tua di kampung, demi kuliah sang anak. Namun impian sang
orang tua masih tertunda, akibat tersangkut satu hal, yaitu skripsi.
Anehnya lembaga tempat si mahasiswa menempuh studi, seakan tidak berdaya dalam
menghadapi oknum dosen yang berperilaku demikian. Kelihatannya si oknum dosen itu lebih
powerfull di kalangan itu. Kekuatan personal telah mengalahkan lembaga. Bisa jadi itu karena
faktor senioritas.

Solusi

Beberapa waktu silam Menristekdikti pernah mewacanakan penghapusan skripsi bagi mahasiswa
S1. Skripsi bukan suatu kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa sebagai
salah satu syarat kelulusan. Pak Menteri ini mengatakan skripsi hanya bersifat opsional.
Mahasiswa diberikan pilihan untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Mereka boleh menulis
skripsi, praktik di laboratorium atau melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Wacana kebijakan ini sebenarnya dilatari karena banyaknya plagiasi terhadap karya ilmiah. Dan
akibat kebijakan wajib skripsi ini pula, sekarang tumbuh subur pabrik-pabrik pembuatan
skripsi di sekitar lingkungan kampus. Mahasiswa cukup datang ke pabrik skripsi, membayar
sejumlah uang, selesai perkara. Jadi telah terjadi pembohongan dan ketidakjujuran sejak dini.
Menamatkan kuliah tanpa skripsi bukanlah suatu hal yang tabu. Salah satu mahasiswa yang
pernah lulus S1 tanpa skripsi adalah Rizky Aditya Putra. Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) Jurusan Managemen Universitas Brawijaya angkatan 2007 ini, berhasil lulus setelah
menyerahkan laporan dari usaha yang dia geluti, yakni bisnis clothing dengan omzet minimal
Rp40 juta per bulan, pada 2010 lalu (http://radarmalang.co.id, 25 Mei 2015). Sebagai informasi
bahwa Universitas Terbuka sejak lama telah menerapkan kebijakan non skripsi bagi mahasiswa
program sarjananya. Toh alumninya, hingga kini aman-aman saja.

Untuk mengatasi berbagai kendala terkait kebijakan wajib skripsi yang selama ini diberlakukan
hampir di seluruh kampus tanah air, usul saran dari penulis adalah: pertama, perlu didukung dan
didorong segera perubahan kebijakan terkait tugas akhir mahasiswa sebagai salah satu syarat
kelulusan, yaitu kepada mahasiswa diberi pilihan: menulis skripsi, praktik di laboratorium atau
melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Kedua, pihak Menristekdikti maupun pihak perguruan tinggi perlu membuat kebijakan uji
kompetensi kepada dosen pembimbing skripsi. Dosen yang telah lulus ujian kompetensi
pembimbing skripsi ini dibuktikan dengan sertifikat. Hanya mereka yang memiliki sertifikat ini
yang berwenang bertindak sebagai pembimbing skripsi. Ini sangat penting dilakukan, sebagai
pengakuan profesionalitas di bidang yang ditanganinya dan sebagai pencegahan terjadinya
perilaku menyimpang yang dapat menghambat tujuan organisasi.

Kita semua berharap dan berdoa tragedi berdarah karena skripsi tidak terulang kembali di
kampus manapun di tanah air. Mari kita introspeksi diri, ambil hikmah dan pelajaran dari setiap
peristiwa yang telah terjadi, demi masa depan pendidikan tinggi Indonesia yang lebih
bermartabat. Semoga!
Menjawab Realitas Pro dan Kontra Skripsi Menjadi Opsi Syarat Kelulusan Mahasiswa S1
Bukan hal yang tabu lagi jika skripsi memang sudah dijadikan syarat kelulusan bagi
mahasiswa. Namun, kenyataan yang sekarang terjadi di tahun ini adalah ganti menteri, ganti
kebijakan terutama kebijakan di bidang pendidikan. Itu yang sedang terjadi di negeri ini. Hal ini
diawali dengan adanya wacana Kemenristekdikti opsionalkan skripsi sebagai salah satu syarat
kelulusan mahasiswa1
. Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai opsi untuk syarat
kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai
syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di
laboratorium. Hal ini selaras dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian
dan
juga pengabdian masyarakat. Alasan utama dari dikeluarkannya wacana tersebut yaitu untuk
meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi, khususnya menyangkut jasa
penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang sering dilakukan mahasiswa. Wacana yang
dikeluarkan oleh Kemenristekdikti ini tentunya sudah pasti menimbulkan pro dan kontra dari
beberapa kalangan, mereka memiliki argument masing-masing yang mendasari pendapatnya
tersebut. Kelompok yang pro dengan wacana tersebut tentunya lebih banyak datang dari
kalangan

mahasiswa sendiri, mereka menyambut dengan senang wacana tersebut sebagai kabar gembira.
Dengan adanya wacana tersebut, diharapkan mahasiswa yang lebih unggul dalam bidang
penelitian
dapat mengembangkan potensinya, tanpa harus dipaksa untuk menyususn skripsi. Sama halnya
dengan mahasiswa yang lebih unggul dan tertarik dalam pengabdian masyarakat. Tanggapan
kontra
atas wacana ini datang dari Putra Santoso yang merupakan dosen muda biologi dari Unand,
beliau
mangatakan bahawa tidak tepat upaya mengubah syarat kelulusan dengan menghilangkan
skripsi,
justru permasalahannya ada pada setiap individu mahasiswa sendiri yang perlu adanya
pengawasan
ekstra dari pembimbing skrispsi2
. Beliau menambahkan pengawasan ekstra oleh pembimbing
skripsi mahasiswa sendiri perlu dilakukan sejak awal menentukan judul karya penelitian.
Pengawasan ini meliputi pencegahan plagiarisme terhadap karya orang lain, baik itu berupa
sedikit
kutipan maupun secara keseluruhan teks.
1
http://www.kompasiana.com/liafitnadia/wacana-menristek-opsionalkan-skripsi-kabargembirabagi-mahasiswa-s1_556280d3339373e03c6d0054
2
www.babel.antaranews.com
Tanggapan yang selaras untuk tidak setuju dengan adanya wacana tersebut adalah
datang dari Ketua Komisi V Bidang Kesejahteraan Masyarakat DPRD Sumatera Barat yakni
Bapak
Mohklasin mengatakan bahwa untuk saat ini Indonesia masih memerlukan skripsi sebagai tugas
akhir untuk mahasiswa setingkat S13

. Beliau juga menambahkan jika skripsi tidak lagi dijadikan


syarat mahasiswa setingkat S1 untuk mendapatkan ijazah dan gelar maka nanti dikhawatirkan
akan
membawa dampak kurang baik. Menurutnya, apabila ingin memperbaiki pembelajaran selama
ini,
bukan malah menghapus salah satu sistemnya, namun lebih kepada memperbaiki sistem- sistem
yang sudah ada sehingga mampu berjalan lebih baik dan pada tempatnya, karena dengan
penghapusan salah satu sistem tersebut yakni tidak mewajibkan skripsi sebagai salah satu syarat
kelulusan tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan yang dihadapi justru nantinya ini akan
menambah masalah.
Penghapusan skripsi sejatinya merupakan isu lawas yang sempat menjadi perbincangan
atau buah bibir di kalangan masyarakat terutama kalangan mahasiswa sekitar tahun 1997 silam4
.
Sekali lagi wacana ini lantas juga sesekali timbul-tenggelam pada tahun berikutnya. Jika kita
mau
mengkritisi wacana ini lebih dalam, alasan yang digelontorkan Kemenristekdikti untuk
memunculkan wacana tersebut adalah tidak logis. Mengapa ? ini jawabannya alasan opsi
mengerjakan sebuah pengabdian di masyarakat menyisakan sebuah pertanyaan. Bukankah
selama
ini perkuliahan reguler sudah mentradisikan program seperti Praktek Kerja Lapangan atau sering
disingkat PKL serta Kuliah kerja Nyata ( KKN ) yang mana ini biasanya menerjunkan para
mahasiswa ke tengah masyarakat daerah sebagai bentuk realisasi dari Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Begitu juga dengan pilihan membuat laporan penelitian di laboratorium, bagaimanapun
wujudnya, ketika skrispsi pada dasarnya juga sebentuk laporan penelitian. Jika tanpa adanya
alasan
yang rinci, hanya akan bersifat mengutak- atik istilah belaka, tanpa memunculkan perbedaan
mendasar serta tidak memberikan manfaat yang signifikan.

3
trendenzia.com
4www.kompasiana.com/bairuindra/dosen-pembuat-skripsi-refleksi-penghapusanskripsi

Seorang mahasiswa semester VIII di salah satu perguruan tinggi yang bernama Faris
Saputra Dewa, juga memberikan penilaian bahwa mengopsionalkan skripsi sebagai salah satu
syarat
kelulusan merupakan kehancuran perguruan tinggi. Ia mengatakan bahwa memang banyak
rupiah
yang harus digelontorkan untuk penyelesaian sebuah skripsi. Menurutnya, ini adalah
pertimbangan
yang matang, namun inilah perjuangan dari sebuah kesabaran. Banyak hal yang dapat dijadikan
dengan adanya kesungguhan ketika mengerjakan skripsi. Skripsi tidak hanya menguji mental
namun juga menguji penghematan. Saat orang tua mengurangi kiriman uang bulanan, mahasiswa
yang sedang skripsi mau tidak mau harus berhemat, mengerjakan skripsi sebagus mungkin
menurut
pemahamannya sehingga tidak banyak coretan dan mengurangi kertas maupun tinta printer.
Skripsi
membuat hidup tahan banting.
Namun terlepas dari pro dan kontra opsional skripsi sebagai syarat kelulusan ini,
pekerjaan rumah yang mesti dilaksanakan dengan segera oleh Kemeristekdikti adalah dosendosen
pembuat skripsi yang berkeliaran di daerah- daerah. Fenomena semakin banyaknya kampus di
daerah ( kabupaten / kota ) justru menjadi boomerang bagi mahasiswa dan dosen. Mahasiswa
ingin
serba praktis sedangkan dosen ingin meraup keuntungan sebanyak- banyaknya. Maka jadilah
skripsi
mahasiswa yang seperti ini sebagai salah satu ajang termenarik untuk mengumpulkan pundipundi

amal kebaikan di dunia. Kendati tak dipungkiri anggapan skripsi adalah momok yang
menakutkan
oleh kebanyakan mahasiswa. Hal itu sebenarnya bukan karena skripsinya, tetapi karena
kebiasaankebiasaan
yang dibangun, sengaja atau tidak, berawal dari paradigma maupun sikap mahasiswa dan
tak jarang pula dosen sendiri. Lalu hal yang seperti itulah terpelihara budaya yang buram.
Terkadang dosen pembimbing skripsi terkesan dengan sengaja mempersulit proses penulisan
skripsi
mahasiswanya, semisal terlalu mempersoalkan hal- hal yeknis bukan substansi kajiannya. Fakta
tersebut yang berkaitan pula dengan sikap mahasiswa yang cenderung takut dan pasrah ketika
bahan skripsinya dipersoalkan oleh dosen pembimbingnya. Ironis memang ketika skripsi
menjadi
bagian peneguhan sikap kritis mahasiswa, tetapi justry menumpulkannya. Disini yang perlu
dipahami sekarang adalah skripsi bukan semata beban atau bahkan ujian berat mahasiswa, tetapi
sesungguhnya tanpa disadari sekaligus dapat menguji peningkatan dosen.
Pada akhirnya, jalan terbaik untuk permasalahn ini adalah tetap mewajibkan skripsi
sebagai syarat kelulusan mahasiswa dengan mengenyampingkan alasan Kemeristekdikti tentang
mengopsionalkan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan. Sejatinya alasan yang dikemukakan
oleh Kemeristekdikti hanyalah penggunaan dan kepekaan istilah yang menimbulkan berbagai
penafsiran dikalangan masyarakat padahal alasan itu memang sudah terdefinsi dalam Tridharma
Perguruan Tinggi sendiri.

Anda mungkin juga menyukai