Anda di halaman 1dari 3

Mengulas Kembali Semester Pendek

Semester pendek disebut-sebut sebagai semester penyelamat mahasiswa.


Pasalnya, di semester inilah mahasiswa memiliki kesempatan untuk memperbaiki
nilainya yang dirasa masih kurang. Program semester pendek ini diselenggarakan
setiap tahun dan dilaksanakan di antara semester genap dan ganjil dengan beban
studi yang dapat diambil oleh mahasiswa maksimal adalah 10 sks.

Tetapi sayangnya, semester pendek ini sudah dihilangkan keberadaannya


sejak 2013 lalu. Penghapusan semester pendek ini dikarenakan adanya arahan dari
Pembantu Rektor I. Selain itu, peniadaan semester pendek ini juga melalui
pertimbangan bahwa kurang bagusnya sistem semester pendek untuk perbaikan
nilai.

“Sebenarnya kalau ada semester pendek kurang bagus juga, tidak


maksimal, habis untuk semester pendek aja. Padahal semester pendek itu berapa
kali ? Tatap muka satu mata kuliah itu 16 kali, kuliah seminggu harus 3 – 4 kali.”
jelas Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH selaku Pembantu Dekan 1.

Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH juga menjelaskan adanya semester


pendek ini membuat mahasiswa meremehkan kuliahnya sehingga terlalu
bergantung kepada semester pendek. “Ada kesan kuliah gak usah, besok aja
semester pendek.” tutur beliau. Semakin banyaknya mahasiswa yang ikut juga
menjadi pertimbangan dihapusnya semester pendek. “Dulu dibuat untuk membantu,
tetapi ternyata yang ikut bertambah banyak. Jangan-jangan ini tidak sungguh-
sungguh ikut nih. Kalau ada 10 dari satu angkatan itu hanya 15% persen, namun
yang ikut sampai 50 bahkan sampai 100.” jelas Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH.

Walaupun semester pendek ini ditiadakan, masih banyak mahasiswa yang


masih mengharapkan agar semester pendek ini diadakan lagi seperti sebelumnya.
Salah satunya adalah Fany Arlita, mahasiswi peminatan Gizi 2015. Menurutnya,
semester pendek ini dapat membantu bagi mahasiswa yang kurang beruntung
karena ada mahasiswa yang sudah belajar maksimal tetapi karena faktor
penghambat membuat mahasiswa tersebut mendapat nilai yang tidak seharusnya.
Dengan semester pendek ini, diharapkan mahasiswa tersebut mempunyai
kesempatan untuk memperbaiki nilai tersebut. Fany juga mengatakan bahwa
penggantian semester pendek dengan semester panjang dikhawatirkan
mengacaukan fokus mahasiswa yang sedang skripsi dan lebih parahnya akan
menghambat skripsi mereka sehingga bertambahnya angkatan tua di FKM.

“Boleh saja menginginkan tetapi fasilitasnya sudah tidak ada. Belum bisa
berubah. Itu harus kesepakatan universitas. Dulu diberhentikan juga kesepakatan
universitas, bidang satu dan bidang dua. Semester panjang juga tidak menghambat
skripsi, skripsi kan 4 sks.” jelas Pembatu Dekan I ini.

Terkait perkembangan semester pendek ini, beliau menambahkan bahwa


sampai saat ini belum ada usulan ke universitas. “Nanti akan diusulkan, tetapi kan
belum. Tergantung kebutuhan, kalau dianggap tidak terlalu penting diadakan ya
kenapa harus diadakan.” ungkapnya.

Walaupun semester pendek sampai saat ini belum berubah kebijakannya,


senat sebagai lembaga penampung aspirasi mahasiswa tetap mengusahakan
kepada birokrat untuk mengembalikan semester pendek. Senat tahun ini berusaha
agar advokasi semester pendek ini berhasil seperti yang pernah dirasakan saat di
tahun 2013. “Tahun saya MABA kan tahun pertama UKT. Jadi itu sebenarnya sudah
tidak ada SP. Lalu kemudian senat 2014 mengadvokasikan dan akhirnya diadakan
lagi SP.” ujar Kristian, selaku ketua komisi I senat FKM Undip

Salah satu usaha advokasi terbesar senat adalah diadakannya dialog


dekan. “Dari komisi I, advokasi terbesar di dialog dekan. Awalnya proker komisi I,
lalu diserahkan ke BEM, BEM menyetujui, BEM menyerahkan ke GAMA dan
akhirnya menjadi proker GAMA. Sebenarnya dialog dekan itu puncaknya advokasi
kita, tetapi aku kurang mendapat jawaban-jawaban kurang jelas dari pertanyaan
mahasiswa.” Jelas Kristian.

“Kekurangannya untuk senat, kita berbicara tentang sumber daya manusia.


Di komisi satu sendiri itu hanya ada 5 orang dan fokus isu kita tahun ini sedang
banyak, peminatan, semester pendek, pengawalan PD 3 dan lain-lain. Sekarang
advokasinya dalam cara halus aja, tetapi tetap kita perjuangkan.” tegas Kristian

Kristian mengatakan bahwa peniadaan semester pendek dikarenakan


terbenturnya pelaksanaan semester pendek dengan regulasi UKT yang
mengatakan bahwa tidak boleh memungut biaya apapun. Pada akhirnya, dilakukan
Gerakan Sapu Jagat walaupun masih ada mahasiswa yang masih mendapat nilai E.
Tidak adanya semester pendek juga membuat Kristian khawatir terhadap angkatan
2014 yang hanya mendapat kesempatan untuk menyelesaikan kuliahnya dalam
waktu 5 tahun. Angkatan 2014 yang akan melakukan semester panjang di semester
genap, hanya boleh melaksanakan semester panjangnya di semester 10,
sedangkan semester 10 adalah semester akhir yang dapat ditolerir untuk
menyandang gelar sarjana SKM.

Hal yang sampai sekarang masih dipertanyakan adalah mengapa masih


ada fakultas lain yang masih mengadakan semester pendek, seperti FEB dan FH,
sedangkan kedua fakultas ini sama-sama menggunakan sistem UKT. Kristian juga
menyatakan bahwa semester pendek sebenarnya regulasi rektorat dan perogratif
fakultas untuk menentukan ada tidaknya semester pendek. Pernyataan ini tentu
bertentangan dengan pernyataan PD 1 bahwa semester pendek sepenuhnya
kebijakan universitas. Lalu kebijakan manakah yang sebenarnya berlaku ? (NS)

Anda mungkin juga menyukai