tahun ini dalam rangka memberikan kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, juga
merdeka dari birokratisasi. Dosen dibebaskan dari birokrasi vang berbelit dan mahasiswa
diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai.
Ada 4 poin mengenai Kebijakan Kampus Merdeka
Kebijakan Kampus Merdeka ini mengundang pro dan kontra.Menurut saya kebijakan
pertama lebih mengarah kearah komersialisasi pendidikan,yang tentunya tidak sesuai dengan
esensi pendididikan itu sendiri.Karena PTN-BH dalam buku Melawan Liberalisasi Pendidikan
(2013) karya Darmaningtyas dkk,dijelaskan tak ubahnya adalah bentuk lepas tanggung jawab
negara dalam menjamin pendidikan bagi warganya,dengan mencabut subsidi pada kampus-
kampus PTN-BH.Dan karena hal tersebut dan atas dalil otonomi non-akademik kampus-
kampus PTN-BH mencari dana operasional sendiri,tak lain dnegan cara menaikkan biaya
kuliah,yang tentunya akan semakin memeberatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak
mampu.Selain itu hal tersebut menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan
Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kebijakan Nadiem sangat berorientasi pasar
bebas,dan terlalu mengikuti logika industri yang bertolak belakang dengan fungsi pendidikan
tinggi yang seharusnya lebih mengedepankan kebutuhan dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya kebijakan kedua yaitu kegiatan dua semester di luar kelas yang di dalam
kebijakan tersebut salah satunya terdapat program kerja magang menurut saya seperti halnya
menyediakan tenaga kerja murah,karena secara sistem biasanya tenaga kerja magang akan
diupah lebih rendah daraipada buruh meskipun dengan beban kerja yang sama.Hal ini
dikhawatirkan akan menjadi celah untuk para perusahaan-perusaahan licik guna meminimalkan
biaya produksi.Dan menurut Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP),Dian
Septi,orientasi pendidikan semacam ini justru membunuh esensi kemerdekaan berpikir kritis
sebagai manusia diaman pendidikan tidak lagi menjadi alat pembebasan manusia atau
memanusiakan manusia.
Selain itu kebijakan yang satu ini menurut saya akan sulit diterapkan di seluruh kampus
di Indonesia,mengingat ketimpanngan kualitas perguruan tinggi,yang tentunya akan berdampak
pada hasil yang tidak maksimal.Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Presiden BEM
Universitas Gadjah Mada (UGM) Sulthan Farras dimana menurutnya yang lebih penting adalah
mempersiapkan pondasi sebaik mungkin.Dimulai dari mereduksi kesenjangan kualitas antar
universitas di Indonesia, dengan mengakselerasi peningkatan kapasitas tenaga pendidik,
pembaruan metode pengajaran, dan pembangunan fasilitas pendidikan sebagai penunjang.
Dengan sistem baru ini, mahasiswa berhak mengambil mata kuliah di luar program studi
sebanyak dua semester atau setara 40 SKS. Karena bentuknya kini jadi 'jam kegiatan', SKS di
sini maknanya lebih luas.Dan tentunya menurut saya akan lebih sulit diterapkan di kampus kita
yaitu Universitas Terbuka.Dimana kita para mahasiswa umumnya adalah para pekerja dan
sudah menikah yang tentu tidak memiliki waktu yang fleksibel seperti mahasiswa yang ada di
kampus konvensional,dan tentu saja karena sistem pembelajaran UT adalah pembelajaran
jarak jauh.Dan ini sesuai pendapat Rektor Universitas Terbuka (UT) Ojat Darojat pun
menyampaikan dukungannya terhadap program ini,namun tetap memutar otak terkait Kendal-
kendala tersebut.Sedangkan untuk poin ketiga dan keempat saya tidak ada masalah,karena
menurut saya justru mempermudah birokrasi kampus dengan Kemendikbud.
Dari poin-poin Kebijakan Kampus Merdeka ini banyak yang menilai syarat dengan
pendekatan pasar, yakni mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri.Tentunya
masih perlu untuk dikaji lebih dalam mengenai program-program di dalam kebijakan
tersebut.Agar hasilnya tidak menyeleweng dari tujuannya yaitu tentu untuk memajukan sistem
pendidikan di Indonesia dan menciptakan generasi-generasi yang lebih siap menghadapi
tantangan masa depan.