Kampus Merdeka
Oleh Mochamad Ashari *)
PADA 24 Januari 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Nadiem A. Makarim meluncurkan kebijakan Kampus Merdeka bagi
perguruan tinggi. Kebijakan itu mencakup empat poin.
Pertama, merdeka membuka program studi baru bagi perguruan tinggi
yang telah berstatus akreditasi A atau B. Kedua, kampus yang
berakreditasi A akan otomatis mengalami pembaruan selama performansi
bagus dan tidak ada komplain dari masyarakat. Ketiga, memberikan
keleluasaan menjadi PTNBH (perguruan tinggi negeri badan hukum) bagi
kampus negeri yang menginginkannya. Dan, keempat, memberi
mahasiswa kebebasan untuk mengambil maksimal 40 SKS (sistem kredit
semester) untuk melakukan perkuliahan di luar program studinya.
Bagi PTNBH, program Kampus Merdeka sesungguhnya telah terlaksana.
Setidaknya 50 persen dari empat poin itu, khususnya poin pertama dan
ketiga. Beberapa kampus besar seperti Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya telah comply (bersesuaian) dengan empat poin
tersebut dan mengimplementasikannya dalam berbagai model. Dan,
selama ini pelaksanaannya tidak menemui permasalahan.
Program Mendikbud poin kedua, yaitu pemberlakuan otomatis
reakreditasi, khususnya yang telah terakreditasi A, tentu akan sangat
membantu perguruan tinggi dalam mengurangi beban administrasi serta
meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga.
Sedangkan untuk poin keempat, yaitu kebebasan mengambil SKS di luar
program studi, belum banyak perguruan tinggi yang
mengimplementasikannya. Yang jelas, poin itu merupakan program favorit
Mendikbud Nadiem. Dan, kebijakan tersebut memang benar-benar baru.
Action Plan
Menyambut kebebasan kampus yang diberikan oleh Mendikbud Nadiem,
perguruan tinggi perlu menyusun rencana aksi (action plan) untuk
mewujudkan implementasi program tersebut. Action plan jangka pendek
yang bisa segera dilaksanakan oleh seluruh perguruan tinggi adalah
menyusun sistem kuliah di luar program studi (prodi).
Program Mendikbud poin keempat itu memerlukan sejumlah langkah. Di
antaranya, revisi kurikulum, sistem informasi akademik, dan koordinasi
dengan perguruan tinggi, industri, maupun tempat pembelajaran lain.
Sistem perkuliahan dalam suatu prodi selama ini pada umumnya sangat
spesifik dan didesain khusus untuk mahasiswa prodi itu saja. Dengan
demikian, penamaan, pengodean mata kuliah, dan pesertanya pun sudah
tertentu.
Perlu disiapkan sistem informasi yang dapat mengakomodasi mahasiswa
dari prodi lain ataupun perguruan tinggi lain untuk masuk dalam sistem
perkuliahan. Perguruan tinggi juga dituntut menyediakan fasilitas kuliah
daring untuk mengakomodasi mahasiswanya yang ingin mendapat
pembelajaran di luar kampus selama 1–2 semester penuh, seperti magang
kerja di industri, instansi, maupun lembaga sosial kemasyarakatan.
Metode lain untuk mengakomodasi pembelajaran di luar prodi adalah
melakukan asesmen kesamaan (ekuivalensi) antara kegiatan mahasiswa di
luar kampus dan mata kuliah yang bersesuaian. Dengan demikian,
mahasiswa akan tetap memperoleh tambahan sejumlah mata kuliah yang
lengkap sesuai dengan body of knowledge, yang pada umumnya sudah
ditetapkan oleh standar internasional atau asosiasi profesi.
Action plan berikutnya diperuntukkan perguruan tinggi yang telah
terakreditasi A dan B. Mereka perlu melakukan revisi rencana strategis
(renstra) dan kajian ulang tentang program studi yang saat ini berjalan
serta membuat rencana pembukaan prodi baru. Segera tutup atau passing
out prodi yang lulusannya kurang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia
kerja. Segera persiapkan pembukaan prodi baru yang memiliki prospek
bagus ke depan.
Sambil menunggu penerbitan petunjuk teknis dari program Kampus
Merdeka, dapat digunakan prasyarat yang telah ada sebagai persiapan.
Yaitu, prasyarat akreditasi minimum pembukaan program studi baru.
Perguruan tinggi yang belum mendapat akreditasi A, baik institusi maupun
program studi, diminta terus berbenah, memperbaiki lini-lini yang masih
bisa ditingkatkan. Tentunya dengan melengkapi persyaratan untuk
meningkatkan status akreditasi.
Kebebasan PTN untuk menjadi PTNBH tentu akan disambut sukacita oleh
beberapa perguruan tinggi yang memimpikannya sejak lama. Misalnya
Universitas Brawijaya, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dan
beberapa lainnya. Sebab, PTNBH memiliki otonomi yang lebih luas,
khususnya dalam pengelolaan keuangan, aset, dan sumber daya manusia
(SDM).
Sumber keuangan PTNBH berupa dana dari APBN, yaitu untuk gaji
pegawai negeri (ASN) dan biaya operasional, yang merupakan bagian
tanggung jawab negara. Sumber lain adalah dana dari masyarakat atau
hasil usaha PTNBH. Otonomi, itu memberikan keleluasaan kepada PTNBH
untuk mengatur sepenuhnya urusan rumah tangganya. Meliputi keuangan
hasil usaha sendiri, mendirikan perusahaan, mengikuti tender proyek, atau
mencari sumber-sumber pendapatan lain yang tidak melanggar peraturan
perundang-undangan.
Itulah yang membedakan PTNBH dengan PTN lain. Untuk itu, PTN satker
(satuan kerja) atau BLU (badan layanan umum) dapat segera menyusun
proposal pengajuan untuk menjadi PTNBH yang formatnya telah
digunakan oleh 11 PTNBH sebelumnya apabila format baru belum
diterbitkan.
Program Kampus Merdeka bertujuan memberikan ruang gerak yang lebih
luas kepada perguruan tinggi serta mengurangi beban administrasi yang
acap menjadi permasalahan tersendiri. Program Kampus Merdeka juga
memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk mendapat bidang
pengetahuan dan belajar di luar lingkungan sempitnya selama ini.
Kebebasan itu tentu akan menumbuhkan kreativitas dan inovasi
komunitas perguruan tinggi yang akan berdampak besar kepada
pengembangan SDM unggul Indonesia. Kita tunggu perubahan yang
berlangsung atas lompatan kebijakan Mendikbud tersebut. (*)
PIN NADIEM
Oleh : Dahlan Iskan