Anda di halaman 1dari 7

KENDALA DALAM IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MERDEKA

BELAJAR-KAMPUS MANDIRI

BAB 1
PENDAHULUAN
Kebijakan terkait Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) merupakan
kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai
dengan Permendikbud No 3 Tahun 2020. Kebijakan tersebut berupaya unutuk
membentuk kemandirian dan kemerdekaan bagi lembaga pendidikan di perguruan
tinggi baik negeri dan swasta. Dibuatnya kebijakan MBKM ini juga untuk menyikapi
tantangan dan kecenderungan zaman yang ada dan terjadi saat ini. MBKM juga
ditujukan agar mahasiswa menguasai beberapa keilmuan yang dapat digunakan untuk
memasuki dunia kerja. di perguruan tinggi program ini terwujud dalam proses
pembelajaran yang dibuat fleksibel dan mandiri untuk menciptakan suasana
pembelajaran yang lebih inovatif dan aktif yang dapat memenuhi kebutuhan
mahasiswa itu sendiri, kebutuhan mahasiswa disini terbagi menjadi 3 aspek yaitu
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa program
MBKM memiliki tujuan umum untuk menyesuaikan lulusan yang ada dengan
kebutuhan di dunia usaha dan industri (Mariati, 2021).
Perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang akan mengimplementasikan
program MBKM harus merubah atau menyusun ulang kurikulum yang ada agar bisa
mengakomodir program MBKM yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Setidaknya terdapat delapan jenis kegiatan dari program MBKM yaitu,
Kampus Mengajar, Magang dan Studi Independen Bersertifikat, Pertukaran
Mahasiswa Merdeka, Wirausaha Merdeka, Indonesian International Students
Mobility Awards, Praktisi Mengajar, Bangkit, dan Gerilya. Melalui kegiatan ini
mahasiswa akan mendapatkan kompensasi sebanyak 20 sks hingga 40 sks untuk
setiap kegiatan MBKM yang diikuti. Pembelajaran yang diperoleh dalam setiap
kegiatan MBKM mempunyai tujuan untuk memberikan setiap mahasiswa
kesempatan untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan program studi yang di
ambil, sehingga dapat menambah pengalaman terutama dalam dunia kerja.
Implementasi program MBKM merupakan hal yang tidak mudah, karena
banyak kendala yang harus dilalui untuk melancarkan kegiatan ini (Puspitasari &
Nugroho, 2021). Kendala dalam pelaksanaan program MBKM terletak dari beberapa
pihak, seperti kendala dari pihak Perguruan Tinggi, Program Studi, Dosen, dan
Mahasiswa sebagai pelaksana itu sendiri. Selain itu beberapa pihak mitra dari
pelaksanaan program kerja juga seringkali mengalami kendala, mitra dari program
MBKM meliputi Lembaga pemerintah, perguruan tinggi lain, lembaga penelitian,
hingga pihak swasta dalam dunia kerja.
Perguruan tinggi menjadi pihak yang harus mempersiapkan banyak hal dalam
implementasi program MBKM karena sudah menjadi kewajiban perguruan tinggi
untuk menfasilitasi program MBKM. Terdapat beberapa hal yang harus ditingkatkan
untuk mengimplementasikan program MBKM itu sendiri yaitu peningkatan SDM
dosen dan tenaga pendidik, penyesuaian unit kerja untuk mengurus MBKM,
penyesuaian kurikulum dan hal tersebut akan meningkatkan anggaran biaya dari
perguruan tinggi itu sendiri. Dari beberapa hal yang harus dipersiapkan, penyesuaian
kurikulum menjadi permasalahan yang cukup serius, karena setiap perguruan tinggi
memiliki kurikulum yang berbeda-beda terutama perguruan tinggi negeri dan
perguruan tinggi swasta, untuk merubah kurikulum juga harus mempertimbangkan
banyak hal agar bisa menjadi kurikulum yang sempurna serta dapat mengakomodir
program MBKM itu sendiri.
Dalam kegiatan MBKM juga mahasiswa mendapatkan hak untuk merekognisi
sejumlah sks sejumlah 20 hingga 40 sks, tentu hal tersebut akan bergantung pada
kurikulum yang digunakan di perguruan tinggi. Rekognisi menjadi hal yang menarik
untuk diteliti lebih lanjut karena seringkali terjadi kendala yang dapat merugikan
mahasiswa sebagai pelaksana kegiatan MBKM, sehingga kemudian ditentukan
rumusan masalah yaitu Bagaimana Kendala Dalam Implementasi Pembelajaran
Merdeka Belajar-Kampus Mandiri. Sehingga tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui Kendala Dalam Implementasi Pembelajaran Merdeka Belajar-Kampus
Mandiri.

BAB II
PEMBAHASAN
Implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Browne
dan Wildavsky mengemukakan bahwa implementasi adalah perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan . pendapat lain dikemukakan oleh Syaukani yang menjelaskan
bahwa implementasi adalah suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan
kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil
sebagaimana diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut mencakup, Pertama persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut.
Kedua, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan kegiatan implementasi
termasuk didalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan dan tentu saja
penetapan siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijaksanaan tersebut.
Ketiga, bagaimana mengahantarkan kebijaksanaan secara kongkrit ke masyarakat
(Syaukani, 2004).
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa
yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan
atau mengatur prilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang
sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai
implementor, misalnya, kebijakan pembangunan infrastruktur publik untuk
membantu masyarakat agar memiliki kehidupan yang lebih baik, Sebaliknya untuk
kebijakan makro, misalnya, kebijakan pengurangan kemiskinan di pedesaan, maka
usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi, seperti birokrasi
kabupaten, kecamatan, pemerintah desa. Dalam pelaksanaan program MBKM
melibatkan Kementrian Kependidikan dan Kebudayaan selaku pembuat kebijakan
dan perguruan tinggi selaku impplementor dengan kelompok sasaran adalah
mahasiswa.
Implementasi program MBKM di Perguruan Tinggi Indonesia sudah berjalan
secara beriringan dengan penyusunan kebijakan di tingkat Program Studi.
Pelaksanaan program MBKM mendapat sambutan yang positif oleh mahasiswa di
seluruh Indonesia. Hal ini ditandai dengan antusiasnya mahasiswa mengikuti seluruh
program MBKM yang dibuka oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun berdasarkan hasil kajian beberapa artikel terkait pelaksanaan program
MBKM ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Kendala yang palig
dirasakan adalah Program studi kesulitan dalam melakukan rekognisi jumlah sks
(Bhakti et al., 2022).
Mengacu pada Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka Tahun
2020, penyetaraan bobot kegiatan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka dapat
dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu bentuk bebas (free form) dan bentuk
terstruktur (structured form), atau dapat pula dirancang bentuk hibrida, gabungan
antara bentuk bebas dan terstruktur. Bentuk bebas (free form) Kegiatan merdeka
belajar selama 6 bulan disetarakan dengan 20 SKS tanpa penyetaraan dengan mata
kuliah. 20 SKS tersebut dinyatakan dalam bentuk kompetensi yang diperoleh oleh
mahasiswa selama mengikuti program tersebut, baik dalam kompetensi keras (hard
skills), maupun kompetensi halus (soft skills) sesuai dengan capaian pembelajaran
yang diinginkan. Bentuk berstruktur (structured form) adalah pengakuan SKS
dinyatakan dalam bentuk kesetaraan dengan mata kuliah yang ditawarkan yang
kompetensinya sejalan dengan BKP yang dipilih.
Permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa peserta kegiatan MBKM dalam
hal rekognisi sks seringkali disebabkan oleh masalah teknis. Dimana mahasiswa
peserta MBKM yang mempunyai hak memprogramkan KRS sebanyak 24 SKS
sedangkan pengakuan maksimal yang didapat sebanyak 18 SKS, maka ada 6 SKS
yang harus ditempuh untuk diikuti perkuliahnnya. Jika program MBKM berada di
luar kota maka mahasiswa akan kesulitan untuk mengikuti perkuliahan 6 SKS yang
tersisa, kecuali perkuliahannya dilaksanakan secara online. Hal ini akan merugikan
mahasiswa karena harus membagi waktu dengan mengikuti program MBKM dan
kuliah secara normal. Apabila kegiatan perkuliahan dilakukan secara langsung atau
offline maka bisa dipastikan mahasiswa yang berada di luar daerah perguruan tinggi
tidak bisa melakukan kegiatan perkuliahan dan berujung tidak bisa menyelesaikan
mata kuliah tersebut.
Tidak maksimalnya jumlah sks yang direkognisi juga mengakibatkan
mahasiswa harus memperhitungkan jumlah sks yang sudah diambil, hal ini bertujuan
untuk menghindari perpanjangan masa studi yang dikarenakan kurangnya jumlah sks
yang sudah ditempuh. Untuk menyelesaikan program studi S-1 mahasiswa harus
menempuh sekurang-kurangnya 144 sks, apabila dalam satu semester mahasiswa
hanya melaksanakan 18 sks dengan mengikuti program MBKM maka pada semester
lain mahasiswa harus memaksimalkan jumlah sks sebanyak 24 sks agar bisa
menyelesaikan studi tepat waktu.
Kebijakan terkait rekognisi yang berubah-ubah seringkali membuat proses
rekognisi menjadi terhambat sehingga memaksa mahasiswa tetap melaksanakan
kegiatan perkuliahan seperti biasa. Hal ini menjadi masalah yang dihadapi oleh pihak
program studi, karena tidak semua mata kuliah bisa dikonversi atau direkognisi,
sehingga program studi harus bekerja keras untuk membuat mata kuliah baru yang
bisa direkognisi, hal tersebut tentu membutuhkan waktu dan hanya bisa dilaksanakan
pada jeda antar semester karena berkaitan dengan hal teknis yang tidak bisa dirubah
secara tiba-tiba. Dalam hal ini pihak IT yang dimiliki oleh perguruan tinggi juga
harus meningkatkan kemampuan agar bisa melakukan hal tersebut.
Dalam proses merubah kurikulum itu sendiri pihak program studi seringkali
menemui masalah lain terkait ketersediaan dosen untuk mengikuti kegiatan MBKM
karena memiliki jadwal yang padat. Selain itu dalam setiap program MBKM juga
harus memiliki dosen pembimbing yang bertugas untuk mengawasi dan
bertanggungjawab kepada keamanan dan kelancaran mahasiswa dalam melaksanakan
setiap program yang ada. Hal tersebut menjadi penting dan wajib diperhatikan karena
dalam setiap program MBKM berhubungan dengan mitra yang berasal dari luar
perguruan tinggi, jika komunikasi yang terjalin antara mahasiswa dengan mitra
terganggu maka dikhawatirkan akan mengurangi keberhasilan program yang ada.
BAB III
PENUTUP
Rekognisi sks yang diberikan kepada mahasiswa selama mengikuti program
MBKM merupakan hak mahasiswa yang harus diberikan. Hal ini dilakukan agar
mahasiswa dapat mendapatkan pengalaman di dunia kerja serta dapat menyesuaikan
kemampuan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja akan tetapi tetap bisa menjalankan
kewajiban menjadi mahasiswa untuk menyelesaikan masa perkuliahan sesuai dengan
waktu yang sudah ditentukan. Program MBKM merupakan program yang ideal dalam
perkuliahan akan tetapi kendala dalam implementasi program MBKM akan
mengurangi keefektifan program tersebut. Kendala yang ada berupa kendala dalam
rekognisi sks yang tidak maksimal, hal ini disebabkan oleh perbedaan kurikulum
yang memaksa mahasiswa untuk menjalankan program MBKM dan perkuliahan
dalam semester yang sama agar dapat memenuhi jumlah sks yang ada
Solusi dari kendala tersebut adalah dengan merubah kurikulum dari program
studi agar dapat mengakomodir dan memaksimalkan rekognisi sks sehingga
mahasiswa tidak perlu untuk mengikuti program MBKM dibarengi dengan kegiatan
perkuliahan. Selain itu Kementrian Pendidiakan dan Kebudayaan juga harus memiliki
aturan baku yang tidak berubah-ubah agar perguruan tinggi selaku implementor
dalam melakukan kebiakan secara efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Bhakti, Y. B., Simorangkir, M. R. R., Tjalla, A., & Sutisna, A. (2022). Kendala
Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (Mbkm) Di
Perguruan Tinggi. Research and Development Journal of Education, 8(2), 783–
790.
Mariati, M. (2021). Tantangan Pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar Kampus
Merdeka di Perguruan Tinggi. Seminar Nasional Teknologi Edukasi Sosial Dan
Humaniora, 1(1), 749–761.
Puspitasari, R., & Nugroho, R. (2021). Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar
Kampus Merdeka FISIP UPN Veteran Jawa Timur. Dinamika Governance.
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 11(2), 276–292.
Syaukani. (2004). Dasar-Dasar Politik Hukum. PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai