Anda di halaman 1dari 6

ANALISA KEBIJAKAN PENDIDIKAN

PRO-KONTRA PENGHAPUSAN UJIAN NASIONAL

Dosen : Prof. Dr. Baedhowi, M.Si

Tatas Transinata
T811908017

PROGRAM STUDI S-3 ILMU PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2020
Bagaimana seharusnya UN di Indonesia?

Beberapa saat yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim
mengeluarkan kebijakan mengenai penggantian UN dengan system yang baru. Hal ini
tentunya menimbulkan pro-kontra dari berbagai pihak. Pada artikel kali ini, penulis akan
mencoba untuk melihat dari beberapa sisi mengenai kebijakan tersebut, namun sebelumnya
kita akan bersama membaca sebuah berita yang dilangsir oleh BBC News, sebagai berikut:

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan paket kebijakan


yang baru dikeluarkan, termasuk menghapus ujian nasional dan menggantinya
dengan asesmen, merupakan "ronde pertama" dalam upaya memperbaiki kualitas
pendidikan Indonesia.

Nadiem menjelaskan, tiga dari empat kebijakan baru tersebut bertujuan memberi
keleluasaan kepada guru untuk menilai siswa didiknya. "Karena tidak mungkin kita
bisa meningkatkan kapasitas guru kalau guru masih terbelenggu dengan hal-hal yang
sifatnya administratif atau hal-hal yang sebenarnya tidak berdampak riil terhadap
pembelajaran siswa," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR di Senayan,
Kamis (12/12).

Keputusan Nadiem untuk menghapus ujian nasional mendapat dukungan dari banyak
anggota DPR dan pemerhati pendidikan. Namun sebagian orang khawatir tidak ada
lagi standar nasional untuk menilai siswa. Ada juga yang mempertanyakan kesiapan
guru dan sekolah untuk membuat sistem penilaian sendiri.

Apa saja kebijakannya?

Nadiem memaparkan, program yang disebut "Merdeka Belajar" terdiri dari empat
kebijakan.

Kebijakan pertama, menghapus Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) menjadi


penilaian atau asesmen yang teknisnya diserahkan kepada sekolah. Ujian penentu
kelulusan siswa ini bisa dilakukan secara tertulis atau bentuk lain yang dianggap
lebih komprehensif, misalnya tugas kelompok. Kebijakan ini mulai berlaku pada
2020.

Kebijakan kedua, menghapus Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan


asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Asesmen ini diberikan pada
pertengahan jenjang sekolah, seperti kelas IV, VIII, dan XI sehingga tidak menjadi
basis penilaian siswa untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Dalam asesmen ini ada tiga kemampuan yang dinilai yaitu literasi (nalar dan
bahasa), numerasi (matematika), dan karakter. Penilaiannya mengacu pada standar
internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS). Kebijakan ini
mulai berlaku pada 2021.

Kebijakan ketiga, memberikan kebebasan bagi guru untuk merancang Rencana


Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana tersebut harus memuat tiga komponen
inti yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Sebelumnya,
guru harus membuat RPP yang disyaratkan oleh pemerintah.

Kebijakan keempat, melonggarkan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik


Baru. Komposisinya adalah jalur zonasi minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal
15 persen, perpindahan maksimal 5 persen, dan jalur prestasi 0-30 persen. Proporsi
final dan wilayah zonasi ditentukan oleh pemerintah daerah
Dari 4 kebijakan tersebut, Tema Penghapusan UN menarik penulis untuk memberikan
analisa ataupun pandangannya. Ada beberapa point yang akan diulas:

1. Sekolah Merdeka dalam Peningkatan Kompetensi Siswa.


Penggantian UN menjadi Uji Kompetensi Minimum yang dilaksanakan mandiri
oleh sekolah, akan membuat Sekolah tahu tingkat kompetensi siswa. Sekolah pada
dasarnya telah mengetahui peta kompetensi masing-masing siswanya, sehingga
sekolah dapat membuat formula yang sesuai dengan kondisi siswanya.
Pada sisi lain, sekolah juga dapat melihat kompetensi apa yang ada di sekitar
sekolah atau daeranya. Sehingga sekolah dapat menjawab kebutuhan kompetensi
perusahaan ataupun instansi yang terkait. Sebagaimana kita mengetahui bahwa
kompetensi siswa akan berguna jika dapat tersalurkan dengan baik di instansi atau
perusahaan yang membutuhkan. Kebutuhan tersebut akan dapat dirancang sejak
awal oleh pihak sekolah dan diterapkan sejak Sekolah menerima siswa masuk
hingga lulus.
Dengan deprogram secara baik dan terstruktur sesuai kondisi, maka program ini
akan berhasil.

2. Ketimpangan Kualitas Pendidikan


Sebagai uraian Pro penulis diatas, namun penulis juga akan menyajikan
pandangan kontranya mengenai system Penghapusan UN. Dimulai dari adanya
kebebasan peningkatan kompetensi yang dapat digarap secara merdeka oleh
masing –masing sekolah, maka akan membuahkan perbedaan juga.
Perbedaan apakah yang dimaksud? Yang pertama pasti dalam Sarana prasarana,
sekolah yang memiliki kelengkapan Sarpras pasti akan lebih efektif dan
berpeluang besar dalam meningkatkan kompetensi siswanya. Di sisi lain
bagaimana dengan sekolah yang berada di kelas menengah kebawah ataupun di
pinggiran/pelosok. Minimnya sarana prasarana mereka akan menghambat
sebagian strategi dan upaya mereka untuk meningkatkan kompetensi siswa. Kita
sadari untuk meningkatkan kompetensi tidak bias hanya dengan teori, pasti
dibutuhkan perlengkapan, media, operasional, kegiatan-kegiatan tambahan hingga
honorarium pendidik.
Ketimpangan ini akan sangat mudah terlihat dengan indikasi seberapa banyak
perusahaan atau sekolah lanjut yang dapat menyerap lulusan pada sekolah
tersebut. Jika pemerintah ingin menyama ratakan sarana prasarana yang ada, ini
akan menjadi suatu PR besar yang akan melibatkan banyak pihak dan juga
kementrian.

3. Kompentensi dan Managerial Tenaga Pendidik dan Sekolah


Menjalankan sebuah kebijakan baru bukanlah sebuah hal yang mudah. Kebijakan
penghapusan UN itu merupakan hal besar, bukan hal kecil seperti kegiatan
ekstrakurikuler ataupun kegiatan kerja bakti sekolah. Karena mengingat
Penghapusan UN diganti dengan Uji Kompetensi Minimum akan melibatkan guru
yang kompeten dan paham dengan kebutuhan pasar. Guru tak hanya berbicara
mengenai teori terkait mata pelajarannya, namun juga harus mampu membuat
siswa benar-benar berkompetensi dan mengkolaborasikan antara teori yang
dimiliki dan praktik kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu andil guru yang
berkualitas sangat berpengaruh di kebijakan ini.
Selanjutnya adalah tugas managemen sekolah menjadi dua, selain membekali ilmu
pada siswa, namun juga mengatur bagaimana Kompetensi sekolah sesuai dengan
kebutuhan lapangan. Keadaan ini akan memungkinkan sekali di sekolah akan ada
banyak tenaga atau kegiatan-kegiatan operasional yang berhubungan dengan pihak
luar. Jika pihak sekolah tidak mampu mengatur ini, maka tujuan dari kebijakan ini
akan gagal ditengah jalan dan sekali lagi siswa dan sekolah akan menjadi
korbannya.

4. Bagaimana mengukur Kualitas Pendidikan Nasional?

JIka setiap sekolah memiliki karakter, alat, instrument, lokasi, dan juga system
yang berbeda, pasti akan membuahkan hasil yang berbeda. Hasil yang berbeda
inilah yang akan menjadi boomerang bagi pendidikan Indonesia, karena
pemerintah tidak dapat melakukan pengukuran kualitas pendidikan dengan tepat.
Karena nilai 90 di suatu daerah akan berbeda dengan daerah yang lainnya.

Namun lagi – lagi karena Menteri Nadiem yang memiliki kuasa atas kebijakan
tersebut, maka Menteri Nadiem kembali menjawab mengenai kebijakannya, sebagai
berikut:
"Kenapa, karena hanya sekolahlah yang mengetahui kapabilitas dan level anak.
Hanya sekolah yang bisa mengadaptasi suatu pertanyaan dan kompetensi dalam
muatan kearifan lokal dengan konteks yang baik," tuturnya di hadapan para anggota
DPR.

Adapun perihal sekolah yang belum siap untuk membuat asesmen, Nadiem
mengatakan mereka bisa menggunakan soal-soal dari USBN atau UN. Pada
akhirnya, memberi kemerdekaan berarti tidak ada paksaan bagi sekolah untuk
menggunakan sistem asesmen.

"Tidak ada paksaan. Bagi yang belum siap, bagi yang masih mau belajar
menggunakan cara penilaian baru. Silakan. Itu haknya sekolah.

"Tapi bagi sekolah-sekolah bagi guru yang sudah siap, bisa maju duluan. Dan itu
tentunya tidak akan kita tinggalkan sendiri, kita akan selalu memberikan contoh-
contoh."

Sehingga kesimpulan yang dapat dituangkan adalah jika memang pendidikan


Indonesia harus terus bangkit, maka yang perlu dilakukan adalah memiliki pola
jangka pendek dan panjang yang benar-benar konstan tidak berubah. Indonesia mau
tidak mau harus bisa mengadopsi dan melakukan adaptasi system pendidikan negara
yang telah maju dan memiliki karakter yang sama dengan Indonesia.

Ujian Nasional tetap harus dilakukan dengan memperbaiki system dan


operasionalnya, tanpa mengubah besar-besaran konsepnya. Ujian Nasional akan
mampu menjadi parameter pendidikan serta pendongkrak kondisi Pendidikan
Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai