Tatas Transinata
T811908017
Beberapa saat yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim
mengeluarkan kebijakan mengenai penggantian UN dengan system yang baru. Hal ini
tentunya menimbulkan pro-kontra dari berbagai pihak. Pada artikel kali ini, penulis akan
mencoba untuk melihat dari beberapa sisi mengenai kebijakan tersebut, namun sebelumnya
kita akan bersama membaca sebuah berita yang dilangsir oleh BBC News, sebagai berikut:
Nadiem menjelaskan, tiga dari empat kebijakan baru tersebut bertujuan memberi
keleluasaan kepada guru untuk menilai siswa didiknya. "Karena tidak mungkin kita
bisa meningkatkan kapasitas guru kalau guru masih terbelenggu dengan hal-hal yang
sifatnya administratif atau hal-hal yang sebenarnya tidak berdampak riil terhadap
pembelajaran siswa," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR di Senayan,
Kamis (12/12).
Keputusan Nadiem untuk menghapus ujian nasional mendapat dukungan dari banyak
anggota DPR dan pemerhati pendidikan. Namun sebagian orang khawatir tidak ada
lagi standar nasional untuk menilai siswa. Ada juga yang mempertanyakan kesiapan
guru dan sekolah untuk membuat sistem penilaian sendiri.
Nadiem memaparkan, program yang disebut "Merdeka Belajar" terdiri dari empat
kebijakan.
Dalam asesmen ini ada tiga kemampuan yang dinilai yaitu literasi (nalar dan
bahasa), numerasi (matematika), dan karakter. Penilaiannya mengacu pada standar
internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS). Kebijakan ini
mulai berlaku pada 2021.
JIka setiap sekolah memiliki karakter, alat, instrument, lokasi, dan juga system
yang berbeda, pasti akan membuahkan hasil yang berbeda. Hasil yang berbeda
inilah yang akan menjadi boomerang bagi pendidikan Indonesia, karena
pemerintah tidak dapat melakukan pengukuran kualitas pendidikan dengan tepat.
Karena nilai 90 di suatu daerah akan berbeda dengan daerah yang lainnya.
Namun lagi – lagi karena Menteri Nadiem yang memiliki kuasa atas kebijakan
tersebut, maka Menteri Nadiem kembali menjawab mengenai kebijakannya, sebagai
berikut:
"Kenapa, karena hanya sekolahlah yang mengetahui kapabilitas dan level anak.
Hanya sekolah yang bisa mengadaptasi suatu pertanyaan dan kompetensi dalam
muatan kearifan lokal dengan konteks yang baik," tuturnya di hadapan para anggota
DPR.
Adapun perihal sekolah yang belum siap untuk membuat asesmen, Nadiem
mengatakan mereka bisa menggunakan soal-soal dari USBN atau UN. Pada
akhirnya, memberi kemerdekaan berarti tidak ada paksaan bagi sekolah untuk
menggunakan sistem asesmen.
"Tidak ada paksaan. Bagi yang belum siap, bagi yang masih mau belajar
menggunakan cara penilaian baru. Silakan. Itu haknya sekolah.
"Tapi bagi sekolah-sekolah bagi guru yang sudah siap, bisa maju duluan. Dan itu
tentunya tidak akan kita tinggalkan sendiri, kita akan selalu memberikan contoh-
contoh."