Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan

Era revolusi industri 4.0 memiliki tantangan sekaligus peluang bagi lembaga pendidikan. Syarat
maju dan berkembang lembaga pendidikan harus memiliki daya inovasi, dan dapat berkolaborasi. Jika
tidak mampu berinovasi dan berkolaborasi, maka akan tertinggal jauh ke belakang. Namun jika
sebaliknya, lembaga pendidikan akan mampu menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat
memajukan, mengembangkan, dan mewujudkan cita- cita bangsa yaitu membelajarkan manusia.
Menjadikan manusia pembelajar bukan hal mudah seperti membalikkan telapak tangan. Lembaga
pendidikan harus mampu menyeimbangkan sistem pendidikan dengan perkembangan zaman.Di era
Revolusi Industri 4.0, sistem pendidikan diharapkan dapat mewujudkan perserta didik memiliki
keterampilan yang mampu berfikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan inovatif serta ketrampilan
komunikasi dan kolaborasi. Juga keterampilan mencari, mengelola dan menyampaikan informasi serta
trampil menggunakan informasi dan teknologi sangat dibutuhkan (Lihat, Eko Risdianto, 2019 : 4).

Selama ini proses belajar hanya bertumpu kepada pendidik sebagai sumber utama, sehingga
peserta didik kurang terlibat dalam pembelajaran, karena peserta didik dikatakan belajar apabila mereka
mampu mengingat dan menghafal informasi atau pelajaran yang telah disampaikan. Pembelajaran seperti
ini tidak akan membuat peserta didik menjadi aktif, mandiri dan mengembangkan pengetahuannya
berdasarkan pengalaman belajar yang telah mereka lakukan. Sedangkan seiring kemajuan zaman dan
teknologi, dibutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan karakteristik yang baik. Karakteristik
manusia masa depan yang dikehendaki adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian,
tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, dan mengembangkan segenap aspek
potensi melalui proses belajar untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Langkah strategis
bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya
guna tinggi, seperti student active learning. Penerapan ajaran tut wuri handayani juga merupakan wujud
nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk
melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis
pendekatan yang tepat ketika individu belajar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI melalui Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim meluncurkan sebuah kebijakan bertajuk Merdeka Belajar pada
pertengahan Desember 2019 yang lalu. Regulasi tersebut berisi empat program mengenai kebijakan Ujian
Nasional (UN), kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), penyederhanaan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), serta kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Terkait hal
pertama, Ujian Nasional akan disubstitusikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei
Karakter. Penekanan asesmen tersebut terletak pada kemampuan penalaran literasi dan numerik
berdasarkan pada tes PISA (Program for International Student Assessment) (Hawa & Putra, 2018).
Artinya, studi PISA digunakan untuk menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh
dunia sehingga mampu meningkatkan metode-metode pendidikan dan hasil-hasil pemerolehannya
(Hartini, Misri, & Nursuprianah, 2016). Asesmen kompetensi berbasis standar PISA bukan tanpa tujuan.
Pendidik sebagai aktor pembelajar utama diharapkan memiliki kemandirian dalam melakukan penilaian
terhadap hasil belajar para peserta didiknya (Darmadi, 2015).

Merdeka Belajar

Menurut Mendikbud R.I, Nadiem Makarim bahwa “merdeka belajar” adalah kemerdekaan
berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada pada guru dulu. Tanpa terjadi dengan
guru, tidak mungkin terjadi dengan muridnya. Dia mencontohkan banyak kritik dari kebijakan yang akan
ia terapkan.Misalnya, kebijakan mengembalikan penilaian Ujian Sekolah Berbasis Nasional ke
sekolah.Salah satu kritiknya, kata Nadiem, menyebutkan banyak guru dan kepala sekolah yang tak siap
dan belum memiliki kompetensi untuk menciptakan penilaian sendiri. Nadiem mengapresiasi kritik itu.
Seharusnya tak ada orang yang meremehkan kemampuan seorang guru. Kompetensi guru di level apapun,
tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah
ada pembelajaran yang terjadi.Tanpa guru melalui proses interpretasi, refleksi dan proses pemikiran
secara mandiri, bagaimana menilai kompetensinya, bagaimana menerjemahkan kompetensi dasar, ini
menjadi suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik. Menurutnya, bahwa pembelajaran
tidak akan terjadi jika hanya administrasi pendidikan yang akan terjadi. "Paradigma merdeka belajar
adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi diberbagai
macam sekolah."

Selama ini, sistem pengajaran masih mengandalkan guru yang berceramah di depan kelas,
sehingga sering menimbulkan kejenuhan. Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia masih mengandalkan
ranking, hal tersebut akan menimbulkan jarak antara siswa yang pandai dengan yang biasa saja. Tidak
sampai di situ saja, kadang orang tua juga merasa terbebani jika anaknya tidak mendapatkan rangking.
Adanya konsep gerakan merdeka belajar ini akan mendorong sistem pendidikan di Indonesia menjadi
lebih menyenangkan dan siswa tidak terbebani dengan sistem nilai ataupun rangking. Harapan dengan
diterapkannya merdeka belajar dapat membentuk pelajar yang berbudi luhur, kompeten, dan siap untuk
terjun di masyarakat sesuai dengan bidangnya.
Konsep merdeka belajar sangatlah berbeda dengan kurikulum yang pernah ada dan digunakan oleh
pendidikan formal di Indonesia. Konsep pendidikan baru ini sangat memperhitungkan kemampuan dan
keunikan kognitif individu para siswa. Berikut garis besar konsepnya:

 Asesmen kompetensi minimum

Perbedaan konsep pendidikan baru ini dengan kurikulum yang digunakan sebelumnya adalah, siswa
diharapkan mampu menunjukkan kemampuan minimum dalam hal “literasi” dan “numerik.”

Fokusnya bukanlah sebanyak apa siswa mampu mendapatkan nilai melalui penugasan dari guru, tetapi
bagaimana siswa mampu berpikir secara kritis menggunakan kemampuan kognitifnya.

Dalam bidang literasi misalnya, bila pada kurikulum sebelum-sebelumnya siswa lebih banyak diharapkan
menghafal dan menerapkan materi yang mereka baca, dalam konsep asesmen kompetensi, siswa
diharapkan bisa berpikir logis untuk mengabstraksi maksud dan tujuan dari materi.

Begitu juga dalam hal “numerik” atau pada pelajaran sains seperti fisika, kimia, khususnya matematika.
Siswa tidak boleh hanya menghafal formula atau rumus, tetapi juga menemukan konsep dasarnya,
sehingga mereka bisa menerapkannya untuk penyelesaian masalah yang lebih luas.

 Survei karakter

Cukup melegakan bahwa pada akhirnya pemerintah mengakui pendidikan di Indonesia adalah investasi
yang mahal. Sebab, setiap daerah memiliki keunikan manusia yang berbeda-beda dan tidak mungkin
dipaksa untuk menerapkan satu sistem dengan indikator tetap.

Pada konsep survei karakter, pemerintah akan menilai secara menyeluruh terkait kualitas pendidikan di
sekolah. Bukan hanya tentang hasil belajar, tetapi juga ekosistem dan infrastruktur pendidikan yang
tersedia.

Dengan kata lain, pengembangan kualitas pendidikan bukan lagi tentang penerapan indikator kualitas
tetap, tetapi berdasarkan data hasil survei terbaru terhadap sekolah.

 Perluasan penilaian hasil belajar

Satu hal paling menarik dalam konsep “merdeka belajar” ini adalah adanya perluasan penilaian hasil
belajar siswa yang tadinya hanya dari nilai ujian nasional, menjadi penugasan dan portofolio.

Kedepannya siswa akan diberikan ruang untuk bisa mengembangkan diri mereka sesuai minat dan bakat.
Dengan cara ini, stigma siswa pintar dan bodoh diharapkan bisa segera dihilangkan. Sebab, manusia
memiliki bakat alami yang berbeda-beda, dan tidak bisa ditentukan dengan tes formal.
 Pemerataan kualitas pendidikan hingga ke 3T

Merdeka belajar juga dapat diartikan keadilan terhadap akses pendidikan yang setara bagi seluruh siswa
di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan afirmasi dan pemberian kuota khusus bagi
siswa yang tinggal di daerah 3T.Industri 4.0 adalah momen penting dalam pemerataan kualitas
pendidikan di Indonesia. Sebab, pada tahun 2030 nanti akan menjadi puncak dari bonus demografi
Indonesia dengan 64% penduduk adalah angkatan kerja.Kesiapan sumber daya manusia (SDM) Indonesia
akan sangat menentukan keberhasilan kita dalam menghadapi persaingan di industri 4.0. Khususnya di
daerah 3T yang masih memiliki tingkat kelahiran yang sangat tinggi.

Daftar Pustaka
Darmadi, H. (2015). Tugas, peran, kompetensi, dan tanggung jawab menjadi guru profesional. Jurnal
Edukasi, 13(2), 161–174.
Hartini, T., Misri, M. A., & Nursuprianah, I. (2016). Pemetaan HOTS siswa berdasarkan standar PISA
dan TIMSS untuk meningkatkan mutu pendidikan. EduMa, 5(2), 83–92.
Hawa, A. M., & Putra, L. V. (2018). PISA untuk siswa Indonesia. Janacitta, 1(1), 1–8
https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/merdeka-belajar
https://pintek.id/blog/merdeka-belajar/
Kemendikbud. (2019). “Merdeka Belajar: Pokok-Pokok Kebijakan Merdeka Belajar”. Jakarta: Makalah
Rapat Koordinasi Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia.
Merdeka Belajar Menuju Pendidikan Ideal. (2019, Desember 18). Media Indonesia. Diakses dari
https://mediaindonesia.com/read/detail/278427-merdeka-belajar-menuju-pendidikanideal.
Risdianto, Eko. (2019). Kepemimpinan dalam Dunia Pendidikan di Indonesia di Era Revolusi Industri
4.0. This Publication at: https://www.researchgate.net/publica tion/332423142.

Anda mungkin juga menyukai