Anda di halaman 1dari 15

PERSATUAN DALAM KEBHINEKAAN INDONESIA

Oleh: Yudi Latif


Perspektif Historis
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan
dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), Indonesia ibarat anggur tua
dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Nama Indonesia
sebagai proyek nasionalisme politik (political nationalism) memang baru diperkenalkan
sekitar 1920-an. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakar
pada tanah-air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan
tahun lamanya hadir di Nusantara.
Sebagai proyek nasionalisme politik, Mohammad Hatta pernah mengatakan, Bagi
kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap
orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya (Hatta,
1928/1998: 1).
Memang diperlukan pengerahan kemauan dan kemampuan yang luar bisa untuk bisa
menyatukan keluasan teritorial dan kebhinekaan sosio-kultural Indonesia ke dalam
kesatuan entitas negara-bangsa. Sebuah negeri untaian zamrud khatulistiwa, yang
mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa, ragam agama dan budaya di
sepanjang rangkaian tanah-air yang membentang dari 608 LU hingga 1115 LS, dan
dari 9445 BT hingga 14105 BT.
Secara geopolitik, Negara Republik Indonesia, seperti pernah dikatakan oleh Soekarno,
adalah negara lautan (archipelago) yang ditaburi oleh pulau-pulau, atau dalam
sebutan umum dikenal sebagai negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau (citra satelit terakhir

menunjukkan 18.108 pulau)sekitar 6000 diantaranya berpenduduk (United Nations


Environment Program, UNEP, 2003). Lautan menjadi faktor dominan. Dari 7,9 juta km2
total luas wilayah Indonesia, 3,2 juta km2 merupakan wilayah laut teritorial dan 2.9 juta
km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan sisanya sebanyak 1,8 juta km2
merupakan daratan. Dengan demikian, luas lautan Indonesia meliputi 2/3 dari total luas
wilayah Indonesia.

Di tengah-tengah sebaran kepulauan yang luas itu, alam Indonesia beraneka ragam;
dari dataran aluvial seperti pantai utara pulau Jawa hingga ke pegunungan yang
ditutupi salju abadi dan ratusan puncak gunung berapi dengan ketinggian beribu meter.
Di antara lautan dan daratan itu, secara kultural, konsep kewilayahan Indonesia tidak
membedakan penguasaan antara laut dan darat, oleh karenanya, bangsa Indonesia
merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanahair.
Di luar dimensi keluasannya, letak strategis Indonesia, di titik persilangan antar benua
dan antar samudera, membuat kepulauan ini sejak lama menjadi kuala penyerbukan
silang budaya dan peradaban dunia. Tak heran, Indonesia menampilkan senyawa
arkeologi peradaban yang berlapis, tempat unsur-unsur peradaban purba, tua, modern,
dan pasca-modern bisa hadir secara simultan.
Singkat kata, Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna (par excellence). Sungguh
menakjubkan, bagaimana kemajemukan sosial, kultural dan teritorial ini bisa menyatu
ke dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia? Apa pula prasyarat yang
diperlukan untuk mempertahankan persatuan di tengah tekanan pluralitas nilai dan
kepentingan? Tulisan ini akan membahas bagaimana membumikan persatuan dalam
kerangka Pancasila.

Batas wilayah persatuan indonesia


Pandangan menarik terjadi menyangkut batas wilayah Negara.perdebatan terjadi
antara mereka yang mendukung perluasan wilayah Negara Indonesia dari wilayah
hindia belanda dahulu dengan yang ingin meguranginya. Pada rapat besar tanggal 10
juli 1945.
,A.K.moezakir megajukan usul untuk mempertautkan batas wilayah Negara
Indonesia dengan batas-batas wilayah kerajaan sriwijaya dan majapahit.dalam
kaitan ini,moezakir meyatakan atas kerelaannya sendiri bangsa melayu yang
tinggal di semenanjung melayu dapat menjadi bagian dari Negara
Indonesia.begitupun orang yang tinggal di papua,walaupun,menuntutnya
berlainan sedikit dari segi warna kulit dengan bangsa melayu pada
umumnya.ia pun yakinpada tekad perjuangan angkatan muda untuk
mencapainya melebihi angkatan yang dikerahkan oleh prabu-prabu sriwijaya
dan majapahit di masa lalu.
Pada hari yang sama,
muhamat yamin juga menyampaikan pandagan nya bahwa penentuaan batas
Negara

Indonesia

itu

mestinya

tidak

hanya

berdasarkan

hokum

internasional,melaikan juga menuntut dasar kemanusiaan dan kemauan


ilahi.menurutdasar ini seluruh tumpah darah Indonesia menjadi daerah Negara
republic

Indonesia,yang

didalamnya

tidak

mengenal

encloves

(tanah

kepungan kekuasaan asing) dan harus dijaga agar nasionalisme tidak menjadi
imprealisme (tidak memberikan sejengkal daerah tumpah darah kita kepada
kekuasaan lain,tetapi kita juga tidak menghendaki sejengkal tumpah darah
yang bukan tanah air kita)
Berdasarkan argument-argumen historis dan geopolitis,yamin meyimpulkan bahwa
yang dimaksud daerah tumpah darah Indonesia itu ialah daerah kepulauan delapan
dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya,yaitu,
1. Sumatera,dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
2. Melayu dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.

3.
4.
5.
6.
7.
8.

Borneo dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.


Jawa dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
Sunda dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
Maluku dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
Papua dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.

Meskipun begitu,
Hatta megajukan beberapa tentang malaka ,dia lebih suka melihatnya menjadi Negara
yang merdeka sendiri dalam lingkugan asia timur raya,namun, sekiranya rakyat malaka
sendiri ingin bersatu dengan Indonesia,ia pun tidak melarang.
Tentang papua, Hatta justru lebih senang melepaskanya.bagian papua saya serahkan
kepada yang lain akan tetapi apabila pemerintah Nippon memberikan papua dulu di
bawah pemerintah belanda kepada Indonesia saya tidak keberatan.meskipun Hatta
tidak menuntut,ia meyatakan bersyukur kiranya bagian papua ditukar dengan borneo
utara,karna hal itu bias membuat suatu kebulatan.
Pada akhirnya,seperti telah diantisipasi oleh Hatta,persoalan batas territorial Negara
Indonesia itu tidak bias merupakan kelain sepihak, melainkan harus megikuti hokum
internasional.ketika kedaulatan republic Indonesia di capai pada tanggal 1949, wilayah
Negara

adalah

tingalan

hindia-belanda,

dan

belum

menjadi

Negara

kepulauan.berdasarkan territorial Zee en maritieme kringen ordonantie (TZMKO)


1939,batas laut Indonesia hanya 3 mil dari garis pantai pulau. Artinya,perairan diantara
pulau-pulau yang jaraknya lebih dari 3 mil adalah laut internasional.wilayah laut
territorial Indonesia berdasarkan TZMKO,sangat kecil,dan banyaknya perairan laut
Indonesia menjadi milik banyak Negara.itu bearti,secara fisik lautan menjadi pemisah
pulau-pulau

Indonesia.padahal,secara

kultur,konsep

kewilayahan

kita

tidak

membedakan peguasaan antara laut dan darat.bangsa Indonesia adalah satu-satunya


bangsa didunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air titik.
Pada tanggal 13 desember 1957, pemerintah RI, melalui deklarasi perdana mentri
Ir.juanda mengklain seluruh perairan antar pulau diindonesia sebagai wilayah
nasional.dengan deklarasi djuanda ini, Indonesia hendak memproklamasikan jati dirinya

sebagai Negara kepulauan, dimana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan
pemisah.klaim ini bersamaan dengan upaya memper panjang batas laut territorial
menjadi 12 mil dari pantai,ke,udian di perjuangkan oleh Indonesia untuk mendapatkan
pegakuan internasional di PBB.
Sehingga pada tahun 1982 baru diakui oleh PBB dalam konvensi hukum laut.

Persatuan dalam keberagam kebudayaan


Menurut undang-undang 1945 pasal 33 dan 36 yang megatur tentang kebudayaan
nasional dan bahasa Indonesia ,kebudayaan nasional Indonesia mereflesikan
persamaan dan kesatuan dalam keragaman,suatu usaha untuk memperhatikan tradisi
luhur supaya megupayakan inovasi dengan megadaptasi unsur-unsur baru untuk
mencapai persamaan (kosmopolitanisme) dengan tetap menghargai perbedaan
(pluralism dan Bisa di sebut sebagai slogan Negara BHINEKA TUNGGAL IKA.

Membumikan Persatuan dalam Kerangka Pancasila


Prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan
Indonesia. Suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam
keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity; diversity in unity); yang
dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan bhineka tunggal ika.
Dengan kelahiran negara nasional Indonesia, satuan-satuan komunitas politik
pra-Indonesia yang dalam perspektif primordialis dan perenialis bisa dilukiskan telah
membentuk aneka bangsa tersendiri diturunkan posisinya menjadi suku bangsa.
Dalam ungkapan Soekarno, Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi
bangsa Indonesia banyak kakinya. ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki
Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa kaki daripada satu
tubuh, tubuh bangsa Indonesia!

Alhasil, kebangsaan Indonesia adalah satu tubuh dengan banyak kaki. Setiap
kaki ini tidak ingin diringkus dan ditebas, melainkan tetap dipertahankan untuk
memperkokoh rumah kebangsaan Indonesia. Jangan pula antarkaki saling menendang
yang bisa menimbulkan keretakan dan akhirnya bisa membawa roboh bangunan
keindonesiaan.
Mengupayakan persatuan dari masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah
perkara yang mudah. Sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri bangsa menyadari
sepenuhnya bahwa proses nation building merupakan agenda penting yang harus terus
dibina dan ditumbuhkan. Bung Karno, misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan
membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu
keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.
Dengan mengacu pada pendapat Ernest Renan, Bung Karno mengatakan
bahwa bangsa adalah satu jiwa (une nation est un me). Satu bangsa adalah satu
solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarit). Kebangsaan tidak
tergantung pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan bisa
lebih memperkuat rasa kebangsaan. Kalau begitu, apakah gerangan yang mengikat
manusia menjadi satu jiwa? Dengan mengutip Renan, Soekarno mengatakan bahwa
yang menjadi pengikat itu adalah kehendak untuk hidup bersama (le dsir d tre
ensemble). Jadi gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam,
meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacammacam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu
adalah bangsa.
Dengan mengacu pada pendapat Otto Bauer, Soekarno juga menekankan
perwujudan bangsa sebagai ekspresi persamaan karakter yang tumbuh karena
persatuan pengalaman. Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter,
watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan
pengalaman. Dari pendapat Bauer ini, Soekarno menyimpulkan bahwa meskipun
agamanya berlain-lainan, meskipun warna kulitnya berlain-lainan, meskipun bahasanya
berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan manusia itu, mengalami bertahuntahun, berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun mungkin mengalami nasib yang sama,

maka karena mengalami nasib yang sama itu akan tumbuh persatuan watak dan
persatuan watak inilah yang menentukan sifat bangsa.
Dengan pernyataan ini, Soekarno memiliki alasan untuk menyanggah keberatan
kalangan Islam dan kaum internasionalis Marxis yang menolak faham kebangsaan.
Menurutnya, meskipun Islam hanya mengenal umat manusia atas dasar kesamaan
hamba Tuhan dan internasionalis Marxis hanya mengenal ide persaudaraan umat
manusia atas dasar cita-cita sosialis sedunia, keduanya tak bisa menolak fakta objektif.
Bahwa manusia itu terbagi dalam golongan-golongan: Ada golongan besar yang
berkulit putih, ada golongan besar yang berkulit hitam, ada golongan besar yang
berkulit kuning, ada golongan besar yang berkulit merah-sawo dan lain sebagainya.
Juga tak bisa dimungkiri, Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabadabad mengalami persamaan penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia
yang demikian itu, in casu yaitu rakyat kita, rasa kebangsaan bukan lagi satu cita-cita,
tetapi satu fakta objektif. Akhirnya dia simpulkan bahwa, Di atas dasar fact ini kita
tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan kebangsaan (Soekarno, 1958c).
Secara singkat dapat dikatakan, keberadaan bangsa Indonesia terjadi karena ia
memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya
yang menjalani suatu kesatuan riwayat, yang membangkitkan persatuan karakter dan
kehendak untuk hidup bersama dalam suatu wilayah geopolitik yang nyata. Sebagai
persenyawaan dari ragam perbedaan, suatu bangsa mestinya memiliki katakternya
tersendiri yang bisa dibedakan dari karakter unsur-unsurnya.
Usaha untuk merajut karakter bersama, kehendak bersama, dan komitmen
bersama dari suatu kebangsaan yang majemuk pertama-tama mensyaratkan hadirnya
suatu negara persatuan. Dalam bagian akhir dari pidatonya pada 1 Juni 1945,
Soekarno menyatakan:
Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua
harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck
buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat

Indonesiasemua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang
tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan Gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara
gotong-royong!

Selanjutnya, Soekarno menjelaskan bahwa gotong royong adalah faham


yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong-royong adalah pembantingantulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama.
Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama.
Negara persatuan Indonesia, sebagai ekspresi dan pendorong semangat kegotongroyongan, harus mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, bukan membela atau mendiamkan suatu unsur masyarakat atau bagin
tertentu dari teritorial Indonesia. Negara juga diharapkan mampu memberikan kebaikan
bersama bagi warganya, tanpa memandang siapa dan dari golongan, etnis, atau
agama apa mereka. Usaha mewujudkan negara persatuan itu dapat diperkuat dengan
budaya gotong-royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik dengan terus
mengembangkan pendidikan kewargaan dan multikulturalisme yang dapat membangun
rasa keadilan dan kebersamaan, dengan dilandasi prinsip-prinsip kehidupan publik
yang lebih partisipatif dan non-diskriminatif.
Dalam memperkuat daya gotong-royong itu, keinginan hidup menjadi satu
bangsa tidak akan mengarah pada nasionalisme yang sempit dan tertutup. Kedalam,
kemajemukan dan aneka perbedaan yang mewarnai kebangsaan Indonesia tidak boleh
dipandang secara negatif sebagai ancaman yang bisa saling menegasikan. Sebaliknya,
hal itu perlu disikapi secara positif sebagai limpahan karunia yang bisa saling
mempekaya khazanah budaya dan pengetahuan lewat proses penyerbukan silang
budaya. Puncak-puncak kebudayaan daerah dan hasil persilangan antarbudaya daerah
terhitung sebagai kebudayaan bangsa yang dapat memperkuat kepribadian nasional.

Bahasa daerah serta penyerapan bahasa antardaerah bisa menjadi sumber pengayaan
bahasa nasional.
Keluar,

nasionalisme

Indonesia

juga

nasionalisme

yang

memuliakan

kemanusiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian dan


keadilan antarumat manusia. Dengan mengutip ucapan Karamchand Gandhi, Soekarno
menyatakan, Buat saya, maka cinta saya pada Tanah Air itu, masuklah dalam cinta
pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan
berbicara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga. Dengan demikian
nasionalisme Indoneia tidaklah bersifat chauvinis atau provinsialis yang memecah
belah. Nasionalisme yang semacam ini, ia anggap sebagai bentuk assyabiyah yang
dikutuk Allah.
Sepadan dengan keterbukaan nasionalisme Indonesia terhadap khazanah
kemanusiaan universal, klaim universal pelbagai peradaban juga harus didialogkan
dengan realitas setempat. Dalam kaitan ini, seperti pernah diingatkan oleh Nurcholish
Madjid (1995), orang-orang beragama diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap
hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keagamaan dan
keindonesiaan. Bahkan lebih mendasar lagi, umat beragama di Indonesia harus dapat
menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi
kesenjangan antara etika universal agama-agama dan Pancasila. Sebagai pendukung
dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, komunitas agama semakin diharapkan
untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya
dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka penguatan persatuan
Indonesia.
Seiring

dengan

dinamika

perkembangan

masyarakat

semesta,

tradisi-tradisi

kebudayaan Indonesia juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemodernan. Tradisi
yang dinamis menghendaki adanya pembaruan, yang dengan tekun dikembangkan.
Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus
berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan falsafah bangsa. Tidaklah banyak
artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan
warisan kultural yang ditinggalkannya dalam status dialog yang dinamis dan lestari,

yang menyatakan dirinya dalam gagasan-gagasan kreatif zaman sekarang. Sesuai


dengan penjelasan konstitusi, Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan
adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta
mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia.
Akhirnya, persatuan Indonesia dalam kerangka civic-political nationalism mensyaratkan
loyalitas warga pada seperangkat cita-cita politik dan kelembagaan yang dianggap adil
dan efektif. Untuk itu, formasi kebangsaan dalam kerangka menghadapi musuh
bersama harus ditranformasikan menjadi usaha merealisasikan keadilan dan
kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan apa yang disebut
Bung Karno sebagai sosio-nasionalisme (nasionalisme masyarakat ) dan sosiodemokrasi (demokrasi masyarakat).
Dalam penjelasan Soekarno:
Nasionalisme-masyarakat,--sosio-nasionalisme--,bukanlah

nasionalisme

ngelamun,

bukanlah nasionalisme kemenyan, bukanlah nasionalisme melayang, tetapi ialah


nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri dalam masyarakat. Memang,
maksudnya

sosio-nasionalisme

ialah

memperbaiki

keadan-keadaan

di

dalam

masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang
sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum
yang papa-sengsara.

Pembumian sosio-nasionalisme harus diikuti oleh sosio-demokrasi

(demokrasi

masyarakat). Soekarno menjelaskan:


Demokrasi masyarakat, sosio-demokrasi, adalah timbul karena sosio-nasionalisme.
Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam
masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan
kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala
Revolusi Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggeris, ala Nederland, ala

Jerman, dll.,--tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasipolitik dan demokrasi-ekonomi (Soekarno, 1965: 174-175).
Selain perlu adanya basis kesetaraan dalam ekonomi, penguatan nasionalisme politik
juga memerlukan kesetaraan kesempatan dan interaksi sosial. Sekolah-sekolah publik
dan ruang publik lainnya harus bisa diakses oleh orang dari latar agama dan etnis apa
pun, dan menjadi wahana peyerbukan silang budaya (cross-culture fertilization) yang
dapat memperkuat budaya kewargaan (civic culture).
Dengan adanya kesetaraan dan keleluasaan dalam partisipasi publik, obsesi pada
perbedaan akan beralih menjadi tendensi untuk mencari titik temu (persamaan). Dalam
pada itu, warga juga bisa menemukan suasana saling pengertian, pada titik mana
mereka bisa berbeda, dan pada titik mana pula mereka harus bersama. Dalam konteks
kebersamaan dalam perbedaan itu, ada baiknya menyimak pandangan Fuad Hassan:
Ke-Kita-an kebangsaan tidak mengurangi kebersamaan-hak kebersamaan lain para
konstituennya, yaitu bentuk-bentuk kebersamaan yang berdasarkan pada kenyataankenyataan lain. Misalnya kenyataan etnis, kenyataan religius, kenyataan partai, dll.
Kalau kenyataan-kenyataan ini bisa tampil sebagai ke-Kami-an, maka ke-Kami-an
seharusnya dapat melakukan transendensi menuju ke-Kita-an Indonesia. Dengan kata
lain, ke-Kita-an Indonesia tidak mengeliminasi ke-Kami-an sebagai kenyataan hidup
(living reality) yang menggejala di Indonesia. Tepat sebagaimana diwakili dalam motto
Bhineka Tunggal Ika. Demikianlah Kita dan Kami tampil selang-seling (oscillation).

Dalam mentransformasikan ke-Kami-an menuju ke-Kita-an, diperlukan sikap positif dan


prasangka baik. Kerjasama dan sikap saling mempercayai serta iktikad baik masingmasing komunitas, yang diperkuat oleh jalinan gotong-royong secara fungsional antara
berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada merupakan segi penunjang
efisiensi demokrasi dalam suatu masyarakat multikultur. Seperti dinyatakan Nurcholish
Madjid (1995: 67):

Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada satu


sama lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tapi
juga dapat menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilainilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience),
persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianisme), dan tingkah laku penuh
percaya kepada iktikad baik kepada orang dan kelompok lain mengharuskan adanya
landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis.

Dengan demikian, kebangsaan Indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain
sunatullah (hukum Tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi
kesetaraan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap
kemajemukan

bangsa,

melalui

perwujudan

demokrasi

permusyawaratan

yang

berorientasi keadilan sosial. Alhasil, seperti dinyatakan oleh Notonagoro (1974), Sila
Ketiga: Persatuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha
Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila
kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penutup
Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban
Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari tersebesar di muka bumi. Jika di tanah dan air
yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta
keemasannya, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat
mengukir kegemilangan. Bila mampu membangun bangsa yang sesuai dengan
jatidirinya, harkat bangsa ini di pentas dunia bisa sepadan dengan keluasan wilayah
dan kuantitas penduduknya.
Secara konsepsional, Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat,
yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan

komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman
komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing.
Konsepsi kebangsaan seperti itu setidaknya pernah berhasil mengantarkan Indonesia
ke pintu kemerdekaannya. Namun demikian, jika kemerdekaan itu sekadar jembatas
emas menuju perwujudan cita-cita dan tujuan nasional, maka yang diperlukan bukan
hanya suatu nasionalisme negatif--yang cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan,
tetapi yang lebih penting lagi adalah mengembangkan nasionalisme progresif, yang
menekankan pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historis nasionalisme progresif
bukan hanya mempertahankan melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.
Kemajuan dan kemaslahatan merupakan produk terpenting dari nasionalisme dan
patriotisme. Dalam kesadaran nasionalisme dan patriotisme progresif, Indonesia bukan
hanya suatu nation (bangsa), melainkan juga suatu notion (pengertian); bahwa ia,
seperti kata Bung Hatta, menyatakan suatu tujuan politik. Karena dia melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.

Untuk keluar dari kubangan persoalan bangsa, patriotisme progresif dituntut


menghadirkan kemandirian bangsa tanpa terperosok pada kepicikan xenophobia.
Seturut dengan tujuan nasional, patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan

kehidupan

bangsa,

dan

ikut

melaksanakan

ketertiban

dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, setidaknya dalam


lingkungan kebangsaan Indonesia.
Konsekuensi dari konsepsi kebangsaan yang luas, Indonesia juga harus mampu
mengantisipasi tantangan yang dihadirkan oleh globalisasi. Dengan arus globalisasi
yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap
negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga
tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal milenium baru terjadi berbagai perubahan

yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antarbangsa
dan masyarakat.
Pada ranah negara-bangsa (nation state), globalisasi menarik (pull away) sebagian dari
kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal untuk mengikuti tuntutan global. Saat
yang sama, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa ke bawah,
melahirkan tuntutan bagi otonomi lokal dan kepentingan untuk mengekspresikan
perbedaan identitas.
Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi bisa menguat.
Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh
dunia, politik identitas (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas
kolektifetnis, agama, bahasa dan bangsamengalami gelombang pasang.
Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan dengan yang lain,
maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang
harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari
identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik
bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi
perbedaan dan keberlainan (otherness), yang dapat membawa bentrokan antaridentitas
dalam rumah tangga kebangsaan.
Dalam situasi seperti itu, eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri
kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa
proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari
masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Oleh karena itu, tantangan
demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political
recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu
maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup
berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.
Dalam konteks ini, di satu sisi, negara harus menjamin kebebasan berekspresi pelbagai
identitas, terutama golongan-golongan minoritas yang cenderung terpinggirkan. Dalam
jangka pendek model pluralis (yang menekankan perbedaan) bisa diadopsi demi

memungkinan golongan minoritas-marjinal untuk mengekspresikan identitas kulturalnya


di ruang publik. Ruang publik harus terbuka bagi partisipasi golongan minoritas dalam
pendidikan, politik dan jabatan publik. Dalam jangka panjang, model kosmopolitan
(yang menekankan persamaan) bisa didorong bersamaan dengan mencairnya sekatsekat etno-kultural.
Upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi
berbagai kelompok etnis, badaya dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos
yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut
untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional
seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur
pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai