Resume Persatuan Dalam Kebhinekaan Indonesia
Resume Persatuan Dalam Kebhinekaan Indonesia
Di tengah-tengah sebaran kepulauan yang luas itu, alam Indonesia beraneka ragam;
dari dataran aluvial seperti pantai utara pulau Jawa hingga ke pegunungan yang
ditutupi salju abadi dan ratusan puncak gunung berapi dengan ketinggian beribu meter.
Di antara lautan dan daratan itu, secara kultural, konsep kewilayahan Indonesia tidak
membedakan penguasaan antara laut dan darat, oleh karenanya, bangsa Indonesia
merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanahair.
Di luar dimensi keluasannya, letak strategis Indonesia, di titik persilangan antar benua
dan antar samudera, membuat kepulauan ini sejak lama menjadi kuala penyerbukan
silang budaya dan peradaban dunia. Tak heran, Indonesia menampilkan senyawa
arkeologi peradaban yang berlapis, tempat unsur-unsur peradaban purba, tua, modern,
dan pasca-modern bisa hadir secara simultan.
Singkat kata, Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna (par excellence). Sungguh
menakjubkan, bagaimana kemajemukan sosial, kultural dan teritorial ini bisa menyatu
ke dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia? Apa pula prasyarat yang
diperlukan untuk mempertahankan persatuan di tengah tekanan pluralitas nilai dan
kepentingan? Tulisan ini akan membahas bagaimana membumikan persatuan dalam
kerangka Pancasila.
Indonesia
itu
mestinya
tidak
hanya
berdasarkan
hokum
Indonesia,yang
didalamnya
tidak
mengenal
encloves
(tanah
kepungan kekuasaan asing) dan harus dijaga agar nasionalisme tidak menjadi
imprealisme (tidak memberikan sejengkal daerah tumpah darah kita kepada
kekuasaan lain,tetapi kita juga tidak menghendaki sejengkal tumpah darah
yang bukan tanah air kita)
Berdasarkan argument-argumen historis dan geopolitis,yamin meyimpulkan bahwa
yang dimaksud daerah tumpah darah Indonesia itu ialah daerah kepulauan delapan
dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya,yaitu,
1. Sumatera,dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
2. Melayu dan pulau-pulau kecil sekelilingnya.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Meskipun begitu,
Hatta megajukan beberapa tentang malaka ,dia lebih suka melihatnya menjadi Negara
yang merdeka sendiri dalam lingkugan asia timur raya,namun, sekiranya rakyat malaka
sendiri ingin bersatu dengan Indonesia,ia pun tidak melarang.
Tentang papua, Hatta justru lebih senang melepaskanya.bagian papua saya serahkan
kepada yang lain akan tetapi apabila pemerintah Nippon memberikan papua dulu di
bawah pemerintah belanda kepada Indonesia saya tidak keberatan.meskipun Hatta
tidak menuntut,ia meyatakan bersyukur kiranya bagian papua ditukar dengan borneo
utara,karna hal itu bias membuat suatu kebulatan.
Pada akhirnya,seperti telah diantisipasi oleh Hatta,persoalan batas territorial Negara
Indonesia itu tidak bias merupakan kelain sepihak, melainkan harus megikuti hokum
internasional.ketika kedaulatan republic Indonesia di capai pada tanggal 1949, wilayah
Negara
adalah
tingalan
hindia-belanda,
dan
belum
menjadi
Negara
Indonesia.padahal,secara
kultur,konsep
kewilayahan
kita
tidak
sebagai Negara kepulauan, dimana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan
pemisah.klaim ini bersamaan dengan upaya memper panjang batas laut territorial
menjadi 12 mil dari pantai,ke,udian di perjuangkan oleh Indonesia untuk mendapatkan
pegakuan internasional di PBB.
Sehingga pada tahun 1982 baru diakui oleh PBB dalam konvensi hukum laut.
Alhasil, kebangsaan Indonesia adalah satu tubuh dengan banyak kaki. Setiap
kaki ini tidak ingin diringkus dan ditebas, melainkan tetap dipertahankan untuk
memperkokoh rumah kebangsaan Indonesia. Jangan pula antarkaki saling menendang
yang bisa menimbulkan keretakan dan akhirnya bisa membawa roboh bangunan
keindonesiaan.
Mengupayakan persatuan dari masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah
perkara yang mudah. Sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri bangsa menyadari
sepenuhnya bahwa proses nation building merupakan agenda penting yang harus terus
dibina dan ditumbuhkan. Bung Karno, misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan
membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu
keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.
Dengan mengacu pada pendapat Ernest Renan, Bung Karno mengatakan
bahwa bangsa adalah satu jiwa (une nation est un me). Satu bangsa adalah satu
solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarit). Kebangsaan tidak
tergantung pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan bisa
lebih memperkuat rasa kebangsaan. Kalau begitu, apakah gerangan yang mengikat
manusia menjadi satu jiwa? Dengan mengutip Renan, Soekarno mengatakan bahwa
yang menjadi pengikat itu adalah kehendak untuk hidup bersama (le dsir d tre
ensemble). Jadi gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam,
meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacammacam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu
adalah bangsa.
Dengan mengacu pada pendapat Otto Bauer, Soekarno juga menekankan
perwujudan bangsa sebagai ekspresi persamaan karakter yang tumbuh karena
persatuan pengalaman. Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter,
watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan
pengalaman. Dari pendapat Bauer ini, Soekarno menyimpulkan bahwa meskipun
agamanya berlain-lainan, meskipun warna kulitnya berlain-lainan, meskipun bahasanya
berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan manusia itu, mengalami bertahuntahun, berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun mungkin mengalami nasib yang sama,
maka karena mengalami nasib yang sama itu akan tumbuh persatuan watak dan
persatuan watak inilah yang menentukan sifat bangsa.
Dengan pernyataan ini, Soekarno memiliki alasan untuk menyanggah keberatan
kalangan Islam dan kaum internasionalis Marxis yang menolak faham kebangsaan.
Menurutnya, meskipun Islam hanya mengenal umat manusia atas dasar kesamaan
hamba Tuhan dan internasionalis Marxis hanya mengenal ide persaudaraan umat
manusia atas dasar cita-cita sosialis sedunia, keduanya tak bisa menolak fakta objektif.
Bahwa manusia itu terbagi dalam golongan-golongan: Ada golongan besar yang
berkulit putih, ada golongan besar yang berkulit hitam, ada golongan besar yang
berkulit kuning, ada golongan besar yang berkulit merah-sawo dan lain sebagainya.
Juga tak bisa dimungkiri, Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabadabad mengalami persamaan penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia
yang demikian itu, in casu yaitu rakyat kita, rasa kebangsaan bukan lagi satu cita-cita,
tetapi satu fakta objektif. Akhirnya dia simpulkan bahwa, Di atas dasar fact ini kita
tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan kebangsaan (Soekarno, 1958c).
Secara singkat dapat dikatakan, keberadaan bangsa Indonesia terjadi karena ia
memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya
yang menjalani suatu kesatuan riwayat, yang membangkitkan persatuan karakter dan
kehendak untuk hidup bersama dalam suatu wilayah geopolitik yang nyata. Sebagai
persenyawaan dari ragam perbedaan, suatu bangsa mestinya memiliki katakternya
tersendiri yang bisa dibedakan dari karakter unsur-unsurnya.
Usaha untuk merajut karakter bersama, kehendak bersama, dan komitmen
bersama dari suatu kebangsaan yang majemuk pertama-tama mensyaratkan hadirnya
suatu negara persatuan. Dalam bagian akhir dari pidatonya pada 1 Juni 1945,
Soekarno menyatakan:
Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua
harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck
buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat
Indonesiasemua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang
tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan Gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara
gotong-royong!
Bahasa daerah serta penyerapan bahasa antardaerah bisa menjadi sumber pengayaan
bahasa nasional.
Keluar,
nasionalisme
Indonesia
juga
nasionalisme
yang
memuliakan
dengan
dinamika
perkembangan
masyarakat
semesta,
tradisi-tradisi
kebudayaan Indonesia juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemodernan. Tradisi
yang dinamis menghendaki adanya pembaruan, yang dengan tekun dikembangkan.
Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus
berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan falsafah bangsa. Tidaklah banyak
artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan
warisan kultural yang ditinggalkannya dalam status dialog yang dinamis dan lestari,
nasionalisme
ngelamun,
sosio-nasionalisme
ialah
memperbaiki
keadan-keadaan
di
dalam
masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang
sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum
yang papa-sengsara.
(demokrasi
Jerman, dll.,--tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasipolitik dan demokrasi-ekonomi (Soekarno, 1965: 174-175).
Selain perlu adanya basis kesetaraan dalam ekonomi, penguatan nasionalisme politik
juga memerlukan kesetaraan kesempatan dan interaksi sosial. Sekolah-sekolah publik
dan ruang publik lainnya harus bisa diakses oleh orang dari latar agama dan etnis apa
pun, dan menjadi wahana peyerbukan silang budaya (cross-culture fertilization) yang
dapat memperkuat budaya kewargaan (civic culture).
Dengan adanya kesetaraan dan keleluasaan dalam partisipasi publik, obsesi pada
perbedaan akan beralih menjadi tendensi untuk mencari titik temu (persamaan). Dalam
pada itu, warga juga bisa menemukan suasana saling pengertian, pada titik mana
mereka bisa berbeda, dan pada titik mana pula mereka harus bersama. Dalam konteks
kebersamaan dalam perbedaan itu, ada baiknya menyimak pandangan Fuad Hassan:
Ke-Kita-an kebangsaan tidak mengurangi kebersamaan-hak kebersamaan lain para
konstituennya, yaitu bentuk-bentuk kebersamaan yang berdasarkan pada kenyataankenyataan lain. Misalnya kenyataan etnis, kenyataan religius, kenyataan partai, dll.
Kalau kenyataan-kenyataan ini bisa tampil sebagai ke-Kami-an, maka ke-Kami-an
seharusnya dapat melakukan transendensi menuju ke-Kita-an Indonesia. Dengan kata
lain, ke-Kita-an Indonesia tidak mengeliminasi ke-Kami-an sebagai kenyataan hidup
(living reality) yang menggejala di Indonesia. Tepat sebagaimana diwakili dalam motto
Bhineka Tunggal Ika. Demikianlah Kita dan Kami tampil selang-seling (oscillation).
Dengan demikian, kebangsaan Indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain
sunatullah (hukum Tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi
kesetaraan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap
kemajemukan
bangsa,
melalui
perwujudan
demokrasi
permusyawaratan
yang
berorientasi keadilan sosial. Alhasil, seperti dinyatakan oleh Notonagoro (1974), Sila
Ketiga: Persatuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila ke-Tuhanan Yang Maha
Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila-sila
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
Penutup
Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban
Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari tersebesar di muka bumi. Jika di tanah dan air
yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta
keemasannya, tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat
mengukir kegemilangan. Bila mampu membangun bangsa yang sesuai dengan
jatidirinya, harkat bangsa ini di pentas dunia bisa sepadan dengan keluasan wilayah
dan kuantitas penduduknya.
Secara konsepsional, Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat,
yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan
komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman
komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing.
Konsepsi kebangsaan seperti itu setidaknya pernah berhasil mengantarkan Indonesia
ke pintu kemerdekaannya. Namun demikian, jika kemerdekaan itu sekadar jembatas
emas menuju perwujudan cita-cita dan tujuan nasional, maka yang diperlukan bukan
hanya suatu nasionalisme negatif--yang cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan,
tetapi yang lebih penting lagi adalah mengembangkan nasionalisme progresif, yang
menekankan pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historis nasionalisme progresif
bukan hanya mempertahankan melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.
Kemajuan dan kemaslahatan merupakan produk terpenting dari nasionalisme dan
patriotisme. Dalam kesadaran nasionalisme dan patriotisme progresif, Indonesia bukan
hanya suatu nation (bangsa), melainkan juga suatu notion (pengertian); bahwa ia,
seperti kata Bung Hatta, menyatakan suatu tujuan politik. Karena dia melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
kehidupan
bangsa,
dan
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antarbangsa
dan masyarakat.
Pada ranah negara-bangsa (nation state), globalisasi menarik (pull away) sebagian dari
kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal untuk mengikuti tuntutan global. Saat
yang sama, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa ke bawah,
melahirkan tuntutan bagi otonomi lokal dan kepentingan untuk mengekspresikan
perbedaan identitas.
Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi bisa menguat.
Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh
dunia, politik identitas (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas
kolektifetnis, agama, bahasa dan bangsamengalami gelombang pasang.
Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan dengan yang lain,
maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang
harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari
identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik
bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi
perbedaan dan keberlainan (otherness), yang dapat membawa bentrokan antaridentitas
dalam rumah tangga kebangsaan.
Dalam situasi seperti itu, eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri
kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa
proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari
masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Oleh karena itu, tantangan
demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political
recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu
maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup
berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.
Dalam konteks ini, di satu sisi, negara harus menjamin kebebasan berekspresi pelbagai
identitas, terutama golongan-golongan minoritas yang cenderung terpinggirkan. Dalam
jangka pendek model pluralis (yang menekankan perbedaan) bisa diadopsi demi