Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Intususepsi sendiri adalah suatu kondisi anatomi yang ditandai oleh
invaginasi satu segmen saluran gastrointestinal ke dalam lumen segmen yang
berdekatan. Biasanya suatu segmen tersebut merupakan usus bagian proksimal
yang masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan
obstruksi usus dan dapat menjadi strangulasi kemudian mengalami komplikasi
yang berujung pada sepsis dan kematian. Segmen usus bagian proksimal disebut
sebagai intususeptum, masuk ke bagian segmen usus bagian distal yang disebut
sebagai intussussipien (Rogers, 2010).
Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang umum pada anak.
Kelainan ini harus dikenali dengan cepat dan tepat serta memerlukan penanganan
segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
angka morbiditas (Irish, 2011).
Trias klasik gejala dari intususepsi yaitu sakit pada perut, teraba massa
pada perut, serta buang air besar berdarah. Dari pengobatan konservatif seperti
barium, udara atau saline enema pada 81% kasus, terdapat beberapa yang
mengalami komplikasi namun hasil pengobatan umumnya menguntungkan,
kekambuhan hanya terjadi pada 1 dari 10 pasien, dan hanya 1 kematian yang
dilaporkan. Insiden intususepsi akut pada anak-anak di Eropa, berkisar 0,66-2,24
per 1.000 anak. Insiden di Inggris 1.64 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan
rasio laki : perempuan adalah 3:2. Insiden puncak ditemukan pada anak-anak
berusia 3-9 bulan (Irish, 2011).
Intususepsi sering menyebabkan obstruksi pada pasien berusia 5 bulan
hingga 3 tahun. Pada penelitian di Swiss di dapatkan insiden sebanyak 38, 31, dan
26 kasus per 100.000 kelahiran hidup pada tahun pertama, kedua, dan ketiga. Dua
dari tiga anak-anak dengan intususepsi berusia kurang dari satu tahun, sebagian
besar terjadi pada bayi usia 5-10 bulan (Laurence, 2013).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Usus

Gambar 2.1.1 Anatomi Saluran Pencernaan (Marianne, 2013).


a. Usus Halus
Usus halus terbentang dari pylorum sampai caecum dengan panjang 270
cm sampai 290 cm. Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum dan
ileum. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai
jejenum. Panjang jejenum 100-110 cm dan panjang ileum 150 -160 cm.
Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh Ligamentum Treitz.
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium. Kira-kira dua
per lima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga per lima bagian
terminalnya adalah ileum. Jejenum mempunyai vaskularisasi yang besar
dimana lebih tebal dari ileum. Apendiks vermiformis merupakan tabung
buntu berukuran sekitar jari kelingking yang terletak pada daerah
ileosekal, yaitu pada apeks sekum.
2

1. Duodenum
Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai
kepada jejenum. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh
ligamentum treitz, suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus
dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada
perbatasan duodenum dan jejenum. Ligamentum ini berperan sebagai
ligamentum suspensorium (penggantung).
2. Jejunum dan Ileum
Kira-kira dua perlima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga
perlima terminalnya adalah ileum. Jejenum terletak di regio
abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum cenderung terletak di
regio abdominalis bawah kanan. Jejunum mulai pada junctura
duodenojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis.
Lekukan-lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior
abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas
yang dikenal sebagai messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang
pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding
posterior abdomen sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kenan
dari kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca
kanan. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya
cabang-cabang arteri vena mesenterica superior antara kedua lapisan
peritoneum yang membentuk mesenterium.
b. Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis
ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Ratarata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus semakin
kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum
terdapat katup ileocaecal dan appendiks yang melekat pada ujung sekum.
Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileocaecal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon ascendens, transversum, descendens dan sigmoid. Kolon
ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan
3

hati, menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati,
kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura koli dekstra
(fleksura hepatik).
Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari
fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon transversum,
waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke bawah, membentuk
fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi kolon
descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid
merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke bawah dalam
rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan
rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga
pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun
di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Di
sini rektum melanjutkan diri sebagai anus dalam perineum.

Gambar 2.1.2

Anatomi
Usus (Santoso, 2011).

2.2 Fisiologi Usus


Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi
bahan-bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam
mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan
yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzimenzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zatzat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu
4

menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi


empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak
sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.

Gambar 2.2.1 Fisiologi Gastrointestinaltract (Marianne, 2013).


Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus
(sukus enterikus). Banyak di antara enzim enzim ini terdapat pada brush border
vili dan mencernakan zat zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental
usus halus akan mencampur zat zat yang dimakan dengan sekret pankreas,
hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah
satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal
dan suplai kontinu isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir
pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah
dan limfe untuk digunakan oleh sel sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan
vitamin juga diabsorbsi.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang
terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot
yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan

adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding
usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen
usus halus sekitar 1 4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi
mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian
seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya
semula. Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan
enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan
selanjutnya terjadi absorbsi.

Gambar 2.2.2 Peristalsis dan Segmentasi (Marianne. 2013).


Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat
yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses
kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan
sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong
makanan menuju ke arah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana
pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian distal. Gerakan peristaltik ini
sangat lemah dan biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga
menimbulkan refleks peristaltik yang akan menyebar ke dinding usus halus.
Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan insulin juga meningkatkan

pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon menghambat pergerakan


usus halus.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi
sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang
sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada
caecum atau pada appendiks maka sfingter ileocaecal akan mengalami spasme,
dan ileum akan mengalami paralisis sehingga pengosongan ileum sangat
terhambat.

2.3 Definisi
Intususepsi berasal dari bahasa Latin intus (didalam) dan suscipere
(menerima). Yaitu masuknya satu segmen usus proksimal (intussusceptum) ke
segmen usus distal (intussuscipiens) yang menyebabkan terjadinya obstruksi dan
dapat menyebabkan iskemik pada usus (Laurence, 2013).

Gambar 2.3.1 Anatomi Traktus Gastrointestinal dan Intususepsi Ileum ke


dalam Colon (Laurence, 2013).
2.4 Epidemiologi
Intususepsi pada umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 3 tahun,
dengan 65% kasus terjadi sebelum usia 1 tahun, dan 80% hingga 90% terjadi
sebelum usia 2 tahun. Sebagian besar kasus adalah idiopatik, dengan jenis
kelamin laki-laki lebih dominan. Pada 25% kasus pada anak yang mengalami
intususepsi, faktor resiko seperti massa atau kelainan pada usus dapat
mencetuskan terjadinya intususepsi yaitu: polip, limfoma, divertikulum meckel,
dan immunoglobulin A-associated vasculitis. Segmen usus yang masuk ke segmen
usus yang lain tersebut menyebabkan obstruksi sehingga dapat menghambat aliran
darah pada segmen, kemudian menyebabkan iskemi, gangren, dan perforasi
(William J, 2016).
Intususepsi umumnya ditemukan pada anak-anak di bawah 1 tahun dan
frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia anak. Di Afrika, insiden puncak
intususepsi muncul antara usia 3-8 bulan. Di Asia, insiden puncak antara usia 4-8
8

bulan. Di Inggris ditemukan pada anak-anak berusia 3-9 bulan. Umumnya


intususepsi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki. Di Afrika, rasio laki-laki
dibandingkan perempuan adalah 8:1. Di Asia, rasio perbandingannya adalah 9:1.
Di Timur Tengah, perbandingan antara laki-laki dan perempuan berkisar antara
1,4:1 sampai 4:1.
Insiden kematian dari kasus intususepsi sangat langka, di Eropa hanya 1
kematian yang telah dilaporkan, dari jumlah 151 pasien. Data otopsi dari Australia
menunjukkan bahwa dari semua otopsi 0,05% penyebab kematian pada anak
adalah intususepsi. Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa 2,3 kematian
per 1.000.000 kelahiran hidup disebabkan oleh intususepsi. Di negara
berkembang, mortalitas dari intususepsi tetap tinggi (hingga 54% di Afrika)
(Rogers, 2010).
2.5 Etiologi
Intususepsi disebabkan oleh masuknya satu segmen usus ke bagian usus
lainnya. Tekanan yang terdapat pada dinding usus yang saling menekan secara
bersamaan dapat menyebabkan:
-

Menurunnya aliran darah


Iritasi
Bengkak

Intususepsi dapat menghambat pasase dari makanan yang melalui usus.


Apabila pasokan darah terhambat, segmen dari usus yang masuk kedalam akan
mati, perdarahan masif akan terjadi. Apabila terjadi perforasi, maka infeksi, syok,
dan dehidrasi dapat terjadi dengan cepat. Penyebab intususepsi belum diketahui.
Kondisi yang dapat mencetuskan terjadinya intususepsi antara lain:
-

Infeksi virus
Pembesaran kelenjar limfe pada usus
Polip atau tumor (Neil K, 2016).

Non-pathological lead points terjadinya intususepsi dengan prosentase sebanyak


lebih dari 90% antara lain.
-

Virus (50%) : rotavirus, adenovirus, dan human herpes virus 6 (HHV6)


Amoebomata, shigella, yersinia
Hipertrofi Peyers patch.

Sedangkan pathological lead points terjadinya intususepsi dengan prosentase


sebanyak kurang dari 10% antara lain.
-

Diverikulum meckel (75%)


Polip dan Peutz-Jeghers syndrome (16%)
Henoch-Schonlein purpura (3%)
Cystic Fibrosis.

Di Eropa, kejadian intususepsi yang dikaitkan dengan pathological lead


points terdapat dalam 1-11% dari kasus intususepsi yang ada. Etiologi tepat
intususepsi masih belum jelas di sebagian besar kasus (sekitar 60-100%) disebut
dengan istilah intususepsi idiopatik, di mana tidak ada lead points yang
berhubungan dengan kejadian yang ditemukan (Laurence, 2013).
2.6 Patofisiologi
Patogenesis intususepsi tidak diketahui secara pasti, tetapi diyakini akibat
sekunder dari ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding
intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang
bertindak sebagai pathological lead point atau oleh pola yang tidak teratur dari
peristaltik.

Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus

terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini terus-berjalan, dengan diikuti area


proximal dari intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang
lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena
mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium
masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum
menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan
dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus. Pembuluh darah mesenterium
dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi
kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah
yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu buang air
besar darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool (Laurence, 2013).

10

Gambar 2.6.1 Patofisiologi Intususepsi (Elsevier, 2010).


2.7 Jenis Intususepsi
Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana
yang terlibat, pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal. Pada kolon dikenal
dengan jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal, jenis-jenis
yang disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana dindingnya
terdiri dari tiga lapisan.

11

Gambar 2.7.1 Intususepsi Ileoileal (Donna, 2010).

Gambar 2.7.2 Intususepsi Ileocolica (Donna, 2010).

12

Gambar 2.7.3 Intususepsi Ileo-Caecal (Elsevier, 2010).


2.8 Gejala Klinis
Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan
adanya serangan rasa sakit/kolik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya,
dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa
sakit berhubungan dengan pasase dari intususepsi. Diantara satu serangan dengan
serangan berikutnya dapat sama sekali bebas dari gejala. Selain dari rasa sakit
gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah, keluarnya darah
melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut. Beratnya gejala
muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin tinggi letak obstruksi,
semakin berat gejala muntah.
Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi yang
baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas,
penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan nyeri perut
seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Di luar serangan, anak/bayi
kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses intususepsi.

13

Serangan nyeri perut datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit
dengan lama serangan 2-3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu
diikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung (William J,
2016).

Gambar 2.8.1 Gejala Klinis Intususepsi (Donna, 2010).


Proses intususepsi pada mulanya belum terjadi gangguan pasase isi usus
secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa, kemudian feses
bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah segar

14

bercampur lendir tanpa feses. Buang air besar darah dan lendir (red currant jelly
stool) baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadangkadang sesudah 12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus per
kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur. Karena
sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian
mudah teraba gumpalan usus yang terlibat intususepsi sebagai suatu massa tumor
berbentuk curved sausage di dalam perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas
tengah atau kiri bawah. Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik,
sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut dances
sign. Hal ini akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses intususepsi.
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat
partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin
bertambah, sehingga pada pasien dijumpai tanda-tanda obstruksi, seperti perut
kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan
dehidrasi. Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi
dan defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus
akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan
terganggunya aliran pembuluh darah arteri. Pada segmen yang terlibat
menyebabkan nekrosis usus, gangren, perforasi, peritonitis umum, shock dan
kematian.Pada pemeriksaan colok dubur didapati:

Tonus sphincter melemah, mungkin invaginasi dapat diraba berupa

massa seperti portio


Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir (Laurence, 2013).

15

Gambar 2.8.2 Red Current Jelly Stools (Donna, 2010).

Gambar 2.8.3 Buang air besar darah dan lendir (Donna, 2010).

16

2.9 Diagnosis
Untuk menegakkan

diagnosis

intususepsi

didasarkan

pada

anamnesis,

pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi.


TRIAS INVAGINASI :

Anak mendadak kesakitan episodik, menangis dan mengangkat kaki


(Cramping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu

Muntah warna hijau (cairan lambung)

Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan


dalam) = currant jelly stool

Pemeriksaan Fisik :

Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.

Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan


(Sousage Like Sign )

Nyeri tekan (+)

Dances sign (+) Sensasi kekosongan pada kuadran kanan bawah


karena masuknya sekum pada kolon ascenden

RT : pseudoportio(+), lendir darah (+) Sensasi seperti portio vagina


akibat invaginasi usus yang lama.

Muntah reflektif menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai
pada 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai
gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah reflektif terjadi tanpa
penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan
sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya
sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain

17

berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu
sumbatan didapatkan pada 90% kasus.
Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan Sousage
Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta
tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dances Sign dan
Sousage Like Sign dijumpai pada 60% kasus, tanda ini patognomonik pada
invaginasi. Masa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering
ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan intususeptum
akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dances Sign.
Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur
lendir dan darah pada sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di
kuadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi
(Laurence, 2013).
2.10 Pemeriksaan Penunjang
2.10.1 Pemeriksaan Radiologis
Kebanyakan bayi dan anak-anak yang mengalami keluhan nyeri perut akut
akan menjalani pemeriksaan radiografi berupa foto polos abdomen, yang mungkin
menunjukkan beberapa temuan yang dapat membantu dalam mendiagnosis anak
dengan intususepsi. Kehadiran jaringan lunak / massa di kuadran kanan atas atau
epigastrum pada dasarnya patognomonik untuk intususepsi pada bayi dengan
gejala klinis yang mengacu pada diagnosis, terdapat pada 25-60% kasus. Hal ini
terutama berlaku jika massa jaringan lunak menunjukkan penampilan karakteristik
dua lingkaran konsentris kepadatan jaringan lunak yang mewakili intususeptum
dan intussuscipiens. Tanda-tanda tidak langsung lainnya seperti kekurangan gas di
fossa iliaka kanan tidak cukup dapat diandalkan untuk banyak membantu dalam
mengarahkan diagnosis lebih lanjut. Kadang-kadang, satu-satunya temuan
radiografi foto polos abdomen adalah pola gas pada usus (air fluid level) yang
menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada usus kecil (William J, 2016).
2.10.1 .1 Foto Polos Abdomen
18

Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke


kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran
air fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi (Santoso, 2011).
Gambar 2.10.1.1.1

Usus terdesak ke

atas (Santoso, 2011).


Gambar 2.10.1.1.2

(a) Posisi supinasi

memperlihatkan

gambaran gas usus

non obstruktif. (b).

Posisi decubitus

memperlihatkan

colon ascendens

lebih jelas, terdapat

intususepsi caecal.

(Santoso, 2011).

2.10.1.2

Barium
Dikerjakan

Enema
untuk

tujuan

diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila gejala-gejala klinik


meragukan. Pada barium enema akan tampak gambaran cupping, coiled spring
appearance (Santoso, 2011).

19

Gambar 2.10.1.2 Tampak gambaran cupping, coiled spring appearance (Santoso,


2011).
2.10.1.3 Ultrasonografi Abdomen
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk
target atau donat yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang
dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut dan
ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm
menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal tampak
pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik dan
hiperekoik (William J, 2016).
USG

membantu

menegakkan

diagnosis

invaginasi

dengan

gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign
pada potongan longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras barium enema
dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai
diagnostik maupun terapetik (Laurence, 2013).

20

Gambar 2.10.1.3.1 Target sign (Ignacio, 2010).

Gambar 2.10.1.3.2 Pseudokidney Sign (Santoso, 2011).


2.10.1.4 Computed Tomography (CT Scan)

21

Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik


seperti pada USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari usus halus dapat
terlihat pada CT maupun USG (Santoso, 2011).

Gambar 2.10.1.4.1 Target Sign (Ignacio, 2010).


2.10.1.5 Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis
intususepsi, sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan abnormalitas
elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan
jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm3) (Ignacio, 2010).
2.11 Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
2. Divertikulum Meckel
3.

Disentri amoeba

4.

Enterokolitis

5.

Prolapsus recti (Santoso, 2011).

2.12 Penatalaksanaan

22

Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,


penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut.
Dasar pengobatan adalah :
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan
diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan
memberikan prognosa yang lebih baik.
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak
dahulu mencakup dua tindakan :
2.12.1 Tindakan Non Operatif
2.12.1.1 Reduksi Hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan
kateter dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh
Ladd tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.
Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:
1. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi
kuat diantara pertengahan bokong.
2. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para
radiologis sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop
tertutup.
3. Pelaksanaannya memperhatikan Rule of three yang terdiri atas:
(1) reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2)
tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap percobaan masingmasing tidak boleh lebih dari 3 menit.
4. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan
hidrostatik konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
23

5. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas


melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada
rentang 45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.

Gambar 2.12.1.1.1 Reduksi Hidrostatik (Donna, 2010).


Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal
reduksi menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan
perbandingan 9:1) dengan panduan USG. Teknik non pembedahan ini memiliki
beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi secara operatif. Diantaranya
yaitu : penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit.
2.12.1.2 Reduksi Pneumatik
Reduksi udara pada intususepsi pertama kali diperkenalkan pada tahun
1897 dan cara tersebut telah diadopsi secara luas hingga akhir tahun 1980.
Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam
rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi
dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini
bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan
dari radiasi. Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat
reduksi lebih tinggi daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah

24

langkah-langkah pemeriksaannya:
1. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan
direkatkan dengan kuat.
2. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan
kateter, dan udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80
mmHg (maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum
udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan sebuah foto
polos.
3. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan
teramati melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat
pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.
4. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan
decubitus/upright views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan
udara bebas.

Gambar 2.12.1.2.1 Persiapan Alat (Selvaraj, 2014).

25

Gambar 2.12.1.2.2 Sebuah manometer dan manset tekanan darah


dihubungkan dengan kateter, dan udara dinaikkan perlahan hingga
mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg) (Selvaraj, 2014).

Gambar 2.12.1.2.3 Reduksi Pneumatik (Selvaraj, 2014).

26

Gambar 2.12.1.2..4 Reduksi Pneumatik (Selvaraj, 2014).

2.12.2 Tindakan Operatif


Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray,
mengalami kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik,
ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus
segera dilakukan.
Prosedur operatif.
1. Insisi
Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30
menit sebelum insisi kulit. Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit
sisi kanan perut melintang dibuat sedikit lebih rendah daripada umbilicus.
Sayatan bisa dibuat sejajar, di bawah atau di atas umbilikus, tergantung
pada derajat intususepsi.

27

1
2
Gambar 2.12.2.1 Sayatan di inferior umbilikus (Chung, 2010).
2. Diseksi
Teknik pemisahan otot dimulai dari eksternal, obliqus internus, dan
fascia transversalis. Usus yang mengalami intususepsi secara hati-hati
dijangkau dari luka operasi dan reduksi dilakukan dengan lembut,
meremas usus distal ke apex bersamaan dengan tarikan lembut dari usus
proksimal untuk membantu reduksi.

Gambar 2.12.2.2 Teknik Reduksi Manual (Chung, 2010).

28

Setelah reduksi, kondisi umum ileum terminal yang mengalami intususepsi harus
dinilai dengan hati-hati.

Gambar 2.12.2.3 Evaluasi ileum terminal untuk menilai


viabilitas usus (Chung, 2010).
Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan jika reduksi tidak dapat
dicapai atau usus nekrotik diidentifikasi setelah reduksi. Umumnya, ileum
terminal yang direduksi muncul kehitaman dan menebal pada palpasi.
Penempatan spons yang hangat dan lembab selama beberapa menit dapat
meningkatkan perfusi jaringan lokal, sehingga, berpotensi menghindari reseksi
bedah yang tidak perlu. Appendektomi standar dilakukan jika dinding cecal
berdekatan adalah normal.

29

Gambar 2.12.2.4 Appendektomi incidental pada irisan infra umbilikal


(Chung, 2010).
3. Menutup
Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan) dan
hemostasis

dipastikan,

penutupan

fasia

perut

dilakukan

di

lapisan

menggunakan benang absorbable 3-0. Kulit reapproximated dengan jahitan


subcuticular 5-0 yang diserap.
2.13 Komplikasi
-

Missed diagnosis
Iskemia
Nekrosis
Perdarahan
Perforasi
Infeksi dan peritonitis
Kegagalan pada reduksi enema (Laurence, 2013).

2.14 Prognosis

30

Hasil membaik apabila diagnosis dikenali dengan cepat dan dengan penanganan
sesegera mungkin. Ketika terdapat lubang pada usus, penanganan harus segera
dilakukan, karena apabila tidak ditangani intususepsi akan berakibat fatal baik
pada bayi maupun anak-anak (Neil K, 2016).

31

BAB III
PENUTUP

Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus dikenali


dengan cepat dan tepat serta penanganan segera karena misdiagnosis atau
keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Proses intususepsi pada mulanya belum terjadi gangguan pasase isi usus
secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa, kemudian feses
bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah segar
bercampur lendir tanpa feses.
Trias klasik gejala dari intususepsi yaitu sakit pada perut, teraba massa
pada perut, serta buang air besar berdarah. Intususepsi sering menyebabkan
obstruksi pada pasien berusia 5 bulan hingga 3 tahun. Gejala lain yang dijumpai
berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan Sousage Like Sign, terdapat darah
samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis
dijumpai bila telah terjadi perforasi.
Muntah reflektif menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini
dijumpai pada 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai
sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien.
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,
penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut, seperti koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,
menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik,
antibiotika.
Apabila pada intususepsi mengalami kegagalan dengan terapi reduksi
hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa,
maka penanganan operatif harus segera dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
32

Chung DH. 2010. Intussusception. In: Atlas of General Surgical Techniques.


Elsevier, Townsend CM & Evers. Philadelphia, Accesed at 24 August
2016.
Ignacio R, Fallat ME. 2010. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM,
eds. Ashcrafts Pediatric Surgery. Elsevier Ltd Hal.508. Philadelphia.
Accessed at 26 August 2016.
Irish MS. 2011. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference.
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com. Accessed at 25
August 2016.
Laurence.

2013.

Intussusception

In

Children.

Available

from:

www.patient.info/doctor/intusscuception.com. Access at 24 August


2016.
Neil K. 2016. Intussusception. Available from:
www.medlineplus.gov.com access at: 25 August 2016
Rogers N.T. & Robb A. 2010. Surgery : Intussusception in infants and young
children. Edisi II. Elsevier Ltd. Hal 402-405. Accessed at 23 August
2016.
Santoso, Yosodiharjo A dkk. 2011. Hubungan antara lama timbulnya gejala
klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita
invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas
Sumatera Utara: Medan. Accessed at 26 August 2016.
Selvaraj, 2014. Pediatric Intussusception. Melaka Manipal Medical College.
Malaysia. Accessed at 28 August 2016.
William J. 2016. Intussusception. Available from:
www.merckmanuals.com. Access at 23 August 2016.

33

34

Anda mungkin juga menyukai