Anda di halaman 1dari 23

PNGERTIAN

Berikut ini adalah pengertian tentang CKD menurut beberapa ahli dan sumber
diantaranya adalah :
1.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir.
CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan
sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001).
2.
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan
dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama
keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Sibuea,
Panggabean, dan Gultom, 2005)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah penyakit
ginjal yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti
sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat disebabakan oleh
berbagai hal. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia.
B.

TAHAPAN PENYAKIT CKD

Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat
ditunjukan dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
a.
Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90
ml/menit/1,73 m2.
b.
Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 6089 ml/menit/1,73 m2.
c.
Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 3059 ml/menit/1,73 m2.
d.
Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 1529 ml/menit/1,73 m2.
e.

Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunya. Di negaranegara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk pertahun. (2:1035)

C.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan Wilson
(2006) :
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal,
disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang pritonium. Kedudukan gijal dapat diperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan
ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.
Gambar 2.1
Anatomi ginjal tampak dari depan.
Sumber : digiboxnet.wordpress.com

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan


tebalnya antara 1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140
sampai 150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus
menghadap ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh
darah ginjal semuanya masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal
menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya,
dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktursetruktur ginjal. Setruktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian
kapiler disebelah luar, dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun
atas 15 sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid
ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir di kalies, kalies akan
menghubungkan dengan pelvis ginjal.
Gambar 2.2
Potongan vertikal ginjal.
Sumber : adamimage.com

Setruktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan


satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap
ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi /
Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus.
Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelokkelok dan kelokan pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat
sebuah simpai yang disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok
lagi yaitu kelokan kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan
tubulus penampung yang berjalan melintasi kortek dan medulla, dan berakhir
dipuncak salah satu piramid ginjal.
Gambar 2.3.
Bagian microscopic ginjal
Sumber : adamimage.com

Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
2. Fisiologi.
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin
menurut Syaeifudin (2006).
a.

Fungsi ginjal

Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem organ
tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain
dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagi organ ekresi dan
non ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam
bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.

Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja
sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi
hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon
eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan
eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron
(vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
b.

Peroses pembentukan urin.

Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah
ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah,
kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi
(Syaefudin, 2006) :
1. Proses filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan
sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang
disaring disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
2. Proses reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang
dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal.
Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3. Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan pada
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.

D.

ETIOLOGI

Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson (2006)
diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler
hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit
metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan
penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks
nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.

3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis


maligna, dan stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, dan seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan
asidosis tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme,
serta amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari
batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang
terdiri dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra.

E.

PATHOFISIOLOGI

Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan
urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus
atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar
kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD)
biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari
fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD
tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan
dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak
mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada
penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering
tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal
jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,

mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare


menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status
uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium
bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun
dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang
tidak adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama
dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang.
Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki
hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun.
Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya
penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang
menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit
tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang
secara normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya
CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal.
Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan
gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien
yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka
yang tidak mengalimi kondisi ini.
F.

MANIFESTASI KLINIS

Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain
yang mendasari. Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada
sistem kardio vaskuler, dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner,
muskuloskletal dan psiko-sosial menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya
adalah :
1. Kardiovaskuler :
a.
Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron.

b.

Gagal jantung kongestif.

c.

Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.

2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.


3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual
sampai dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal,
kusmol, sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi
feron.
7. Psiko sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai
pada harga diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.
G.

KOMPLIKASI

Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4.

Anemia akibat penurunan eritropoitin.

5.
Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6.

Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.

7.

Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.

8.

Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

9.

Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

H.

PENATALAKSANAAN

Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai


dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum.
Menurut Suwitra (2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam
tabel berikut :
Tabel 2.1
Derajat CKD
Sumber : Suwitra 2006.

Derajat

LFG
(ml/mnt/1,873 m2)

Perencanaan penatalaksanaan terpi

> 90
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progresion) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.
2
60-89
Menghambat pemburukan (progresion) fungsi ginjal.
3
0-59
Mengevaluasi dan melakukan terapi pada komplikasi.

4
15-29
Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis).
5
< 15
Dialysis dan mempersiapkan terapi penggantian ginjal (transplantasi ginjal).

Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap
terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal
terapi dari penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radio kontras,
atau peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit
pada penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang
antara masukan dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan
asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang
harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium
dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal.
Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang mengandung kalium
(sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-5,5 mEg/lt. sedangkan pada
natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya hipertensi dan edema. Jumlah
garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal
adalah hiperventilasi glomerulus yaitu :
a)
Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt,
sedangkan diatas batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein
yang dibatasi antara 0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein
nilai biologis tinggi. Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam
pemberian diit. Protein perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein
akan dipecah dan diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun
saat terjadi malnutrisi masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu

makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion
anorganik lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein
bertujuan untuk membatasi asupan fosfat karena fosfat dan protein berasal dari
sumber yang sama, agar tidak terjadi hiperfosfatemia.
b)
Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko
komplikasi pada kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat
enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE inhibitor)
dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme
kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting,
karena 40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit
komplikasinya pada kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan
terapi penyakit vaskuler adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia,
anemia, hiperfosvatemia, dan terapi pada kelebian cairan dan elektrolit. Semua
ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara
keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan
derajat penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi
eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun
dalam pemakaiannya harus dipertimbangkan karena dapat meningkatkan
absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5.
Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.
I.

PENGKAJIAN FOKUS

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat
terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan
penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk /
berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air
minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan
traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.

3. Pengkajian pola fungsional Gordon


a.

Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien

Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit
parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter.
Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung
kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b.

Pola nutrisi dan metabolik.

Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun


waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air
naik atau turun.
c.

Pola eliminasi

Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d.

Aktifitas dan latian.

Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien
tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e.

Pola istirahat dan tidur.

Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f.

Pola persepsi dan koknitif.

Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan


kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan
jelas.
g.

Pola hubungan dengan orang lain.

Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai


terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
h.

Pola reproduksi

Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan


dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat
berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
i.

Pola persepsi diri.

Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema,
citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan
percaya diri.
j.

Pola mekanisme koping.

Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan


dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k.

Pola kepercayaan.

Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah


meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan
agama seperti biasanya.
5.
a.

Pengkajian fisik

Penampilan / keadaan umum.

Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien


dari compos mentis sampai coma.
b.

Tanda-tanda vital.

Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c.

Antropometri.

Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d.

Kepala.

Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e.

Leher dan tenggorok.

Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.


f.

Dada

Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot


bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada
paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan
pada jantung.
g.

Abdomen.

Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.


h.

Genital.

Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat


ulkus.
i.

Ekstremitas.

Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang,


dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j.

Kulit.

Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.
6.
a.

Pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Laboratorium :
1.

Urin

a)
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada
(anuria).
b)
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c)
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d)
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
2.

Kliren kreatinin mungkin agak menurun.

3.
Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal
tidak mampu mereabsorbsi natrium.
4.
Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara
kuat menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan
fregmen juga ada.
5.

Darah

a)
Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b)
Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
c)
SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia.

d)
GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari
7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2
menurun.
e)
Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau
normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f)
Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada
tahap akhir , perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau
lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein
(khuusnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih
besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b.

Pemeriksaan Radiologi

1.
Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2.
Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
3.

Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.

4.
EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
5.
KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung
kemih dan adanya obtruksi (batu).
6.
Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
7.

Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.

8.
Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung
kemih, refluk kedalam ureter, dan retensi.
9.
Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan
diit tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang
sangat ketat pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti
hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada
penyakit DM, sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
I.

PHATWAYS KEPERAWATAN

J.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan pada masalah CKD menurut Doenges (2001), dan


Carpenito (2006) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia mual muntah.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus
sekunder terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
8. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit atau uremia.
9. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, akumulasi
toksik, asidosis metabolik, hipoksia, ketidak seimbangan elektrolit, klasifikasi
metastatik pada otak.
K.

FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL

Intervensi keperawatan pada CKD menurut Doenges (2001), Carpenito (2006)


dan, Smeltzer dan Bare (2001) adalah.
1. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pola napas
efektif.
Kriteria hasil : Gas Darah Analisa (GDA) dalam rentang normal, tidak ada tanda
sianosis maupun dispnea, bunyi napas tidak mengalami penurunan, tanda-tanda
vital dalam batas normal (RR 16-24 x/menit).
Intervensi :
a)
Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada,
dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.

Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tada vital dapat terjadi sebagai
akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b)

Catat pengembangan dada dan posisi trakea

Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun apabila


terjadi ansietas atau edema pulmonal.
c)

Kaji klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau napas dalam.

Rasional : Tekanan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih
efektif dan dapat mengurangi trauma.
d)

Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler

Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.


e)

Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).

Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indikator keadaan status cairan.


f)

Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.

Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi dari
implementasi, juga adanya kerusakan pada paru.
g)

Kolaborasikan pemberian oksigen pada ahli medis.

Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.


2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat, mual, muntah, anoreksia.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Pengukuran antropometri dalam batas normal, perlambatan atau
penurunan berat badan yang cepat tidak terjadi, pengukuran albumin dan kadar
elektrolit dalam batas normal, peneriksaan laboratorium klinis dalam batas
normal, pematuhan makanan dalam pembatasan diet dan medikasi sesuai
jadwal untuk mengatasi anoreksia.
Intervensi :
a)
Kaji status nutrisi, perubahan berat badan, pengukuran antropometri, nilai
laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, dan kadar besi).
Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
b)
Kaji pola diet dan nutrisi pasien, riwayat diet, makanan kesukaan, hitung
kalori.
Rasional : Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu.

c)
Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi misalnya adanya
anoreksia, mual dan muntah, diet yang tidak menyenangkan bagi pasien, kurang
memahami diet.
Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau
dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
d)

Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batasan diet.

Rasiomal : Mendorong peningkatan masukan diet.


e) Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara
waktu makan.
Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan
kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan penyembuhan
jaringan.
f)
Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit
ginjal dan peningkatan urea serta kadar kreatinin.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet,
urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
g)
Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan
untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif terhadap
pembatasan diet dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang
dapat digunakan dirumah.
h)

Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.

Rasional : Faktor yang tidak menyenagkan yang berperan dalam menimbulkan


anoreksia dihilangkan.
i)

Timbang berat badan harian.

Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.


j)
Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat, pembentukan
edema, penyembuhan yang lambat, penurunan kadar albumin.
Rasional : Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan
albumin dan protein lain, pembentukan edema dan perlambatan peyembuhan.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil : Membran mukosa warna merah muda, kesadaran pasien compos
mentis, pasien tidak ada keluhan sakit kepala, tidak ada tanda sianosis ataupun

hipoksia, capillary refill kurang dari 3 detik, nilai laboratorium dalam batas
normal (Hb 12-15 gr %), konjungtiva tidak anemis, tanda-tanda vital stabil: TD
120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit.
Intervensi :
a)

Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit dan dasar kuku.

Rasional : Memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan perfusi


jaringan dan membantu menentukan kebutuhan tubuh.
b)

Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.

Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk


kebutuhan seluler, vasokonstrisi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.
c)
Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat
sesuai dengan indikasi.
Rasional : Kenyamanan klien atau kebutuhan rasa hangat harus seimbang
dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi
(penurunan perfusi organ).
d) Kolaborasi untuk pemberian O2.
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
e)

Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin).

Rasional : Mengetahui status transport O2.


4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine dan
retensi cairan dan natrium.
Tujuan : Kelebihan cairan / edema tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tercipta kepatuhan pembatasan diet dan cairan, turgor kulit
normal tanpa edema, dan tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
a.
Monitor status cairan, timbang berat badan harian, keseimbangan input
dan output, turgor kulit dan adanya edema, tekanan darah, denyut dan irama
nadi.
Rasional : Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b.

Batasi masukan cairan

Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, keluaran urine
dan respons terhadap terapi.

c.
Identifikasi sumber potensial cairan, medikasi dan cairan yang digunakan
untuk pengobatan, oral dan intravena.
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
d.

Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.

Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam


pembatasan cairan.
e.
Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan
diet.
f.
Kolaborasi pada medis dalam pembatasan cairan intravena antara 5-10
tetes permenit, dan pembatasan obat-obatan cair.
Rasional : dengan pembatasan cairan intravena dapat membantu menurunkan
resiko kelebian cairan.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil : Berpartisipasi dalam aktivitas keluwarga sesuai kemampuan,
melaporkan peningkatan rasa segar dan bugar, melakukan istirahat dan aktivitas
secara bergantian, berpartisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih.
Intervensi :
a)
Kaji faktor yang menyebabkan keletihan, anemia, ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, retensi produk sampah, dan depresi.
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan.
b) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.
Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan / sedang dan memperbaiki harga diri.
c)

Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.

Rasional : Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat


ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
d)

Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.

Rasional : Dianjurkan setelah dialisis, yang bagi banyak pasien sangat


melelahkan.

6.
Resti gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru sekunder terhadap adanya edema pulmonal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pertukaran
gas efektif.
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan
pertukaran gas efektif, GDA dalam rentang normal, tidak ada tanda sianosis
maupun hipoksia, traktil fremitus positif kanan dan kiri, bunyi napas tidak
mengalami penurunan, auskultasi paru sonor, tanda-tanda vital dalam batas
normal : RR 16-24 x/menit.
Intervensi :
a)
Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada,
dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai
akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b)

Auskultasi bunyi napas.

Rasional : Untuk mengetahui keadaan paru yang menunjukkan adanya edema


paru.
c)

Catat pengembangan dada dan posisi trakea.

Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun apabila


terjadi ansietas atau udema pulmoner.
d)

Kaji traktil fremitus.

Rasional : Traktil fremitus dapat negative pada klien dengan edema pulmoner.
e)

Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler.

Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.


f)

Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).

Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indicator keadaan status cairan.


g)

Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.

Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi dari
implementasi.
h)

Kolaborasikan pemberian oksigen.

Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.


7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat


dipertahankan.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur, akral hangat, Capillary refil kurang dari
3 detik, nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 1539 mg/dl).
Intervensi :
a)
Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau
kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan postural
misalnya duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi dan
edema.
b)

Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi dan beratnya.

Rasional : Hipertensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan defisit cairan.


c)
Evaluasi bunyi jantung akan terjadi frictionrub, tekanan darah, nadi perifer,
pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
d)

Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.

Rasional : Kelelahan dapat menyertai gagal jantung kongestif juga anemia.


e)

Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.

Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi jantung.


f)

Berikan obat anti hipertensi sesuai dengan indikasi.

Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.


8. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit (uremia).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan
integritas kulit.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah
kerusakan atau cidera kulit, tidak terjadi kerusakan integritas kulit dan tidak
terjadi edema.

Intervensi :

a)
Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya
kemerahan, ekimosis.
Rasional : Menandakan adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.
b)

Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit serta membran mukosa.

Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang


mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
c)

Inspeksi area tubuh terhadap edema.

Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.


d) Ubah posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri
bantalan pada tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan peninggian aliran
balik statis vena sebagai pembentukan edema.
e)

Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal.

Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.


f)

Pertahankan kuku pendek.

Rasional : Menurunkan resiko cedera dermal.


Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan sosiologis, akumulasi
kultur, asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan lektrolit dan klasifikasi
metastatik pada otak.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi atau
mempertahankan proses pikir dan harga diri pasien tidak turun.
Kriteria hasil : tidak terjadi disorientasi orang, tempat dan waktu serta tidak
terjadi perubahan prilaku pada pasien.
Intervensi :
a.
Observasi luasnya gangguan kemampuan berpikir, mental, dan orientasi.
Perhatikan juga luas lapang pandang.
Rasional : Efek sindrom uremik dapat terjadi dengan kekacauan pikiran dan
berkembang pada perubahan prilaku sehingga tidak dapat menyerap informasi
sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam keperawatan.
b.
Validasi pada orang terdekat pasien tentang kondisi mental pasien dalam
sehari-hari.
Rasional : Perbandingan antara perburukan dan perbaikan gangguan.
c.

Berikan lingkungan yang tenang.

Rasional : Meminimalkan rangsang lingkungan untuk menurunkan keletian


sensori.
d.

Orientasikan kembali lingkungan, waktu, dan orang.

Rasional : Mempantu pasien mengingat dan mengenal kembali keadaan


sekitarnya.
e.
Berikan penjelasan pada pasien tentang penyakit, akibat, gejala, dan
penatalaksanaannya.
Rasional : Memberi informasi pada pasien dan menghilangkan kecemasan
pasien.
f.
Motivasi pasien untuk tetap semangat, tidak cemas, untuk berusaha
bergaul dengan orang sekitar tanpa rasa malu dan tetap percaya diri.
Rasional : Meningkatkan rasa percaya diri pasien, mencegah proses menarik diri
pada pasien dan meningkatkan keyakinan pasien.
g.

Meningkatkan istirahat yang adekuat.

Rasional : gangguan tidur dapat meningkatkan gangguan kemampuan koknitif


lebih lanjut.
h.

Beri O2 sesuai indikasi.

Rasional : Perbaikan hipoksia dapat memperbaiki kognitif.

Anda mungkin juga menyukai