SOSIAL EKONOMI:
PENGGUNAAN METODE
GEOGRAPHICALLY WEIGHTED
REGRESSION (GWR) UNTUK ANALISIS
DATA SOSIAL DAN EKONOMI
PENGEMBANGAN MODEL
SOSIAL EKONOMI:
Penggunaan Metode Geographically
Weighted Regression (GWR) untuk Analisis
Data Sosial dan Ekonomi
ISBN
: 978-979-064-651-3
No Publikasi
: 07340.1302
Katalog BPS
: 1306036
Ukuran Buku
: 17,5 cm x 25 cm
Jumlah Halaman
: viii + 140
Naskah :
Subdirektorat Pengembangan Model Statistik
Gambar Kulit :
Subdirektorat Pengembangan Model Statistik
Diterbitkan Oleh :
Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia
Dicetak oleh :
CV. Nario Sari
PENGEMBANGAN MODEL
SOSIAL EKONOMI:
Kata Pengantar
Masyarakat yang adil dan makmur merupakan tujuan yang ingin
dicapai oleh Pembangunan Nasional Indonesia. Terkait hal ini pemerintah telah mempertimbangkan pembangunan berbasis kewilayahan
dengan menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI mengutamakan
konektivitas spasial di Indonesia untuk mencapai visi Indonesia Yang
Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur.
Penulisan kajian ini merupakan sebuah upaya untuk mengenalkan
metode analisis yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi
hasil-hasil pembangunan dengan memperhatikan aspek keterkaitan
antar wilayah. Sebagai contoh analisis digunakan Angka Melek Huruf
dan Nilai Tambah Industri Besar Sedang sebagai salah satu indikator
yang merefleksikan hasil pembangunan. Diharapkan tulisan ini akan
melengkapi khazanah perstatistikan Indonesia dengan menampilkan
angka-angka menjadi sebuah informasi yang mudah dipahami oleh
masyarakat.
Ucapan terima kasih dan penghargaan ditujukan kepada tim
penyusun dan semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan
kajian ini. Tulisan ini merupakan sebuah kajian awal dan tentu masih
terdapat kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran perbaikan dari
berbagai pihak sangat diharapkan.
Jakarta, Desember 2013
Deputi Bidang Neraca dan
Analisis Statistik,
Dr. Suhariyanto
NIP: 196106151983121001
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................................................... iii
Daftar Gambar .......................................................................................................... vi
Daftar Tabel ............................................................................................................. viii
Bab 1. Pendahuluan ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 3
1.2 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 7
1.3 Ruang Lingkup.............................................................................................. 8
1.4 Sistematika Penulisan ................................................................................ 9
Bab 2. Pengaruh Spasial pada Model Regresi ............................................ 13
2.1 Model Regresi Linier Klasik dan Keterbatasannya ....................... 15
2.1.1 Model Regresi Linier Klasik ......................................................... 15
2.1.2 Keterbatasan Model Regresi Klasik .......................................... 22
2.2 Model Regresi Spasial............................................................................. 25
2.2.1 Keterkaitan Spasial.......................................................................... 26
2.2.2 Kriteria Ketetanggaan .................................................................... 29
2.2.3 Matriks Penimbang Spasial ......................................................... 33
2.2.4 Model Regresi Spasial ................................................................... 34
2.2.5 Keterbatasan Model Regresi Spasial........................................ 36
2.2.6 Diagnosis Residual Model Regresi ........................................... 38
Bab 3. Model Geographically Weighted Regression (GWR) .................... 41
3.1 Pengertian Model GWR ......................................................................... 43
3.2 Penimbang Spasial dalam Model GWR ........................................... 44
iii
iv
Daftar Gambar
Gambar 1. 1 Koridor Ekonomi Indonesia dalam MP3EI ................. 4
Gambar 1. 2 Ilustrasi Heterogenitas Spasial ....................................... 5
Gambar 1. 3 Ilustrasi Fenomena Paradoks Simpson7
Gambar 2. 1 Contoh Spasial dari Paradox Simpson ..................... 24
Gambar 2. 2 Moran Scatterplot ............................................................. 28
Gambar 2. 3 (i) Linear Contiguity, (ii) Rook Contiguity,
(iii) Bishop Contiguity, (iv) Double Linear
Contiguity, (v) Double Rook Contiguity,
(vi) Queen Contiguity..................................................... 30
Gambar 2. 4 Penentuan Wilayah Tetangga dengan
Kriteria (a) Nearest Neighbors, dan
(b) K-nearest Neighbors ................................................ 32
Gambar 3. 1 Ilustrasi Fungsi Kernel Spasial Tetap (Fixed) .......... 48
Gambar 3. 2 Ilustrasi Fungsi Kernel Spasial Adaptif ..................... 49
Gambar 3. 3 Ilustrasi Fungsi Penimbang dalam model GWR ... 50
Gambar 4. 1 Peta Sebaran Angka Melek Huruf Menurut
Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2010 ........... 69
Gambar 4. 2 Morans Scatter Plot Angka Melek Huruf
Kabupaten/Kota di Indonesia .................................... 71
Gambar 4. 3 Peta Persebaran Centroid ............................................. 77
Gambar 4. 4 Pengaruh Angka Partisipasi Murni SD
terhadap Angka Melek Huruf di Indonesia........... 85
Gambar 4. 5 Pengaruh Penyelenggaraan Program
Keaksaraan Fungsional terhadap Angka
Melek Huruf Indonesia ................................................. 87
vi
vii
Daftar Tabel
Tabel 4.1. Perbandingan Indeks Morans Angka Melek
Huruf dengan Tiga Jenis Penimbang ........................... 72
Tabel 4.2. Regresi Spasial Dengan Penimbang Queen ................ 73
Tabel 4.3. Pemilihan Model GWR Terbaik ........................................ 79
Tabel 4.4. Estimasi Parameter Model GWR dan RLB .................... 81
Tabel 4.5 Analysis of Variance (ANOVA) ........................................... 82
Tabel 4.6 Geographical Variability Test
83
viii
Bab 1.
Pendahuluan
1
2
Bab 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka mencapai visi Pembangunan Nasional
menuju Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur,
pemerintah telah menetapkan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20112025 yang mengutamakan konektivitas spasial (keterkaitan
antar wilayah) di Indonesia (Kemenko Perekonomian, 2011).
Konektivitas
spasial
tersebut
tertuang
dalam
strategi
Ekonomi
Indonesia,
yaitu:
Sumatera,
Jawa,
masing-masing
koridor
memiliki
peran
dalam
1
membangun perekonomian negara Indonesia. Dampak dari
penyusunan rencana pembangunan tersebut semestinya dapat
terlihat dalam proses pembangunan yang dilakukan, yakni
saling terkaitnya pembangunan di satu wilayah dengan pembangunan di wilayah lain. Dalam kacamata neraca perekonomian
(analisis input-output) keterkaitan tersebut dapat dianalogikan
dengan keterkaitan ke depan (forward linkage), yakni output
suatu komoditi/sektor yang dihasilkan dari suatu wilayah
dimanfaatkan oleh (menjadi input) komoditi/sektor lainnya (di
wilayah lain) atau keterkaitan ke belakang (backward linkage),
dimana suatu komoditi/sektor dari suatu wilayah membutuhkan input yang berasal dari komoditi/sektor di wilayah lain.
dalam
merespon
stimulus
pembangunan
yang
1
mengembangkan stimulus tersebut dan memberikan output
yang cukup besar bagi pembangunan di wilayahnya. Di lain
pihak, ada wilayah yang belum dapat memanfaatkan proses
forward
atau
backward
linkage
secara
optimal
hingga
Output Wilayah:
Input
Proses
MP3EI
1
mempertimbangkan pengaruh konektivitas spasial dalam
proses pembangunan dapat menghasilkan kesimpulan yang
keliru (yang kadangkala digunakan sebagai dasar pengambilan
kebijakan). Dengan mempertimbangkan pengaruh spasial, bisa
jadi indikator yang tengah diteliti memberikan kesimpulan
yang berbeda arah (berbanding terbalik). Sebagai contoh,
korelasi spasial yang positif menggambarkan bahwa disparitas antar wilayah secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Dengan demikian korelasi positif dapat
bermakna bahwa keberhasilan pembangunan dapat dirasakan
secara merata pada seluruh
1
spasial yang memungkinkan terjadinya heterogenitas spasial
pada hasil pembangunan. Sebagai dasar pengembangan
metode ini kaidah geografi dari Tobler (1970) sangat menginspirasi, yaitu:
Everything is related to everything else, but near things
are more related than distant things.
1
pengembangan dari metode analisis regresi klasik1 yang dapat
memberikan estimasi model regresi yang spesifik untuk setiap
unit wilayah yang diteliti. Model regresi yang telah dikembangkan ini dipopulerkan oleh Fotheringham, et al (2002) dengan
nama Model Geographically Weighted Regression
(GWR).
dipilih
Geographically
dalam
kajian
Weighted
ini
dikenal
Regression
dengan
(GWR).
Meski
nama
pada
Yang dimaksud model regresi klasik dalam tulisan ini adalah model regresi linier
berganda. Disebut demikian karena ia merupakan model dasar yang menginspirasi
banyak pengembangan model regresi lainnya.
2
Buku panduan pengolahan dipublikasikan secara terpisah dengan judul: Panduan
Pengolahan Data dengan Model GWR.
1
selanjutnya model GWR sudah mencakup juga pengembangan
model regresi logistik, model regresi poisson, dan beberapa
model analisis multivariat (Fotheringham, et al, 2002). Dalam
tulisan ini pembahasan hanya mencakup model GWR yang
merupakan pengembangan dari model regresi linier berganda.
Hal ini dilakukan dengan maksud memberikan pemahaman
yang mendasar kepada pembaca tentang bagaimana membangun model GWR dan melakukan analisis menggunakan model
ini.
Sebagai contoh aplikasi, tulisan ini menggunakan data
yang bersumber dari survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS)
dan survei industri besar sedang (IBS) yang pelaksanaannya
dilakukan oleh BPS. Kedua survey ini dilakukan di seluruh
wilayah Indonesia dan angka estimasi yang dihasilkan sampai
pada level kabupaten/kota. Menyesuaikan dengan kelengkapan
data yang tersedia, kajian ini menggunakan data dari kedua
survey tersebut untuk tahun 2010.
1
klasik kemudian dikembangkan menjadi model regresi spasial
untuk mengakomodasi adanya pengaruh spasial pada data
yang diteliti ke dalam model yang dibangun. Pembahasan
mengenai model regresi spasial diuraikan di dalam bagian
kedua dari bab ini.
Baik model regresi klasik maupun model regresi spasial
yang dibahas pada Bab 2 masih bersifat global. Artinya model
tersebut berlaku sama untuk setiap observasi di dalam data
yang diamati. Padahal seringkali analisis berbasis lokal sangat
diperlukan karena bisa jadi hasilnya akan bervariasi antara satu
wilayah dengan wilayah yang lain. Dengan kata lain, modelmodel tersebut belum mengakomodasi adanya heterogenitas
yang mungkin timbul secara spasial. Oleh karena itu, pada Bab
3 Model Geographically Weighted Regression (GWR) diuraikan
sebuah model yang dapat mengakomodasi heterogenitas
spasial di dalam data yang diamati. Analisis di dalam model ini
menjadi lebih luas karena dapat menggambarkan pengaruh
dari variabel-variabel yang diamati dalam bentuk peta tematik
yang akan dapat menjelaskan secara visual adanya pengaruh
spasial di dalam data yang diamati.
Pembahasan mengenai model GWR selanjutnya diperjelas
dalam Bab 4 Aplikasi Model GWR untuk Analisis Data Angka
Melek Huruf dan Bab 5 Aplikasi Model GWR untuk Analisis
Data Industri Besar Sedang. Pada kedua bab ini prosedur
pemakaian model GWR dijelaskan dengan menggunakan
contoh aplikatif untuk data sosial dan ekonomi. Harapannya
dengan memberikan contoh aplikatif, pembaca dapat menjadi
lebih mengerti bagaimana melakukan analisis data menggunakan model GWR.
10
1
Kajian ini ditutup dengan suatu kesimpulan yang
dituliskan dalam Bab 6 Penutup.
11
12
Bab 2. Pengaruh
Spasial pada
Model Regresi
2
Bab 2. Pengaruh Spasial pada Model
Regresi
2.1 Model Regresi Linier Klasik dan Keterbatasannya
2.1.1 Model Regresi Linier Klasik
Pada saat melakukan analisis data, seringkali ingin diketahui adanya hubungan antara satu variabel yang diteliti
dengan variabel lain yang mempengaruhinya. Tujuan yang
diharapkan antara lain untuk mengetahui determinan (faktorfaktor yang mempengaruhi) variabel yang tengah diteliti, atau
untuk melakukan prediksi terhadap variabel yang diteliti
dengan menggunakan informasi dari variabel yang mempengaruhinya. Sejauh ini, metode analisis yang umum dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan membangun
model regresi yang menggambarkan hubungan antara satu
atau lebih variabel bebas (independent variables) dengan
variabel tak bebasnya (dependent variable).
Secara umum, persamaan model regresi linier dinyatakan
sebagai berikut:
di mana
ke- ,
dan
15
2
kemiringan
(slope),
independen dan
menunjukkan
banyaknya
variabel
dengan:
[ ]
,
[
]
[ ]
dalam
model
regresi
klasik
dapat
16
2
Linear Unbiased Estimator/BLUE) jika memenuhi asumsi klasik
yang terbagi menjadi empat hal sebagai berikut:
1. Asumsi tentang bentuk model. Model yang menghubungkan variabel tak bebas dengan variabel bebas diasumsikan
linier dalam parameter. Asumsi ini dikenal dengan sebutan
asumsi linieritas. Pemeriksaan terhadap asumsi ini pada
regresi sederhana dengan mudah dapat dilakukan melalui
scatter plot antara Y (variabel tak bebas) dan X (variabel
bebas). Sedangkan, pada regresi berganda dapat digunakan
Residual Plus Component Plot, yaitu plot antara residual
) dengan
ditambah dengan komponen regresi (
variabel bebas
berdistribusi
Independen (
Normal
yang
Identik
dan
sama dengan 0
(nol).
Asumsi
homoskedastisitas,
atau
varians
residual
17
2
General Heteroscedasticity Test, Breusch-Pagan-Godfrey
Test, dan sebagainya). Pelanggaran terhadap asumsi ini,
atau biasa disebut sebagai heteroskedastisitas, berakibat
pada interval kepercayaan yang semakin lebar, uji
hipotesis
yang
tidak
akurat
dan
pada
akhirnya
Asumsi residual
Variabel bebas
, ,
18
2
han pengukuran dapat mempengaruhi varians residual,
korelasi antara variabel tak bebas dengan variabelvariabel bebasnya dan estimasi koefisien regresi.
diasumsikan bersifat
multicollinearity).
Untuk
dan Conditional
Index,
nilai VIF
dan
substansi
sehingga
menyesatkan
dalam
interpretasi hasil.
4. Asumsi tentang observasi. Asumsi ini mensyaratkan bahwa
seluruh
observasi
memiliki
tingkat
keterandalan
dan
19
2
Statistik ini berdistribusi t-Student dengan derajat bebas
(
nol)
akan ditolak
(p-
lain
yang
tidak
kalah
pentingnya
yaitu
, dengan
Nilai kritis adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk menerima atau menolak
.
Besarnya nilai ini pada dasarnya ditentukan oleh besarnya tingkat signifikansi yang
diinginkan dan distribusi yang digunakan. Selain nilai kritis, hasil uji hipotesis dapat
juga disajikan dalam bentuk nilai peluang (p-value, dinotasikan sebagai (| |)),
Untuk menyederhanakan interpretasi hasil uji hipotesis, beberapa software statistik
termasuk SPSS lebih sering menyajikan nilai (| |) atau p-value dibanding nilai
kritisnya.
5
Tingkat signifikansi dimaksudkan sebagai besarnya tingkat kesalahan yang dapat
ditolerir. Umumnya, untuk ilmu sosial, termasuk ekonomi dan keuangan, besarnya
adalah 5% (Nachrowi et.al, 2006).
6
Di dalam regresi dikenal tiga jenis jumlah kuadrat (sum of square) yang merupakan
sumber variasi data yaitu Sum of Square Total (SST), Sum of Square Error (SSE) dan
Sum of Square Regression (SSR). Untuk keperluan pengujian parameter secara
simultan (overall test), nilai SSR dan SSE masing-masing dibagi dengan derajat
bebasnya untuk memperoleh nilai rata-ratanya (yakni MSR dan MSE).
4
20
2
Statistik uji mengikuti distribusi
(
SST mengukur seberapa jauh data menyimpang dari rata-ratanya dan SSE
mengukur seberapa jauh data menyimpang dari nilai prediksi model. Selisih dari SST
dan SSE disebut sebagai SSR yang menjelaskan seberapa baik nilai prediksi model
dibandingkan dengan rata-rata sebenarnya.
21
2
Oleh karena itu , terdapat ukuran kesesuaian model regresi
yang lebih robust terhadap jumlah variabel bebas yang
digunakan,
dikenal
dinotasikan sebagai
dengan
sebutan
adjusted
yang
Nilai
22
2
wilayah paling tidak menghasilkan dua tipe efek spasial, yaitu
ketergantungan spasial (spatial dependence) dan heterogenitas
spasial (spatial heterogeneity).
Model
observasi
regresi
haruslah
klasik
mengasumsikan
bersifat
independen
bahwa
(tidak
antar
saling
diungkapkan
Tobler
(kejadian)
relatif
sesuatu
geografis).
Jika
(1970) mengenai
terhadap
karakteristik
ini
keterkaitan
posisinya (secara
diabaikan,
maka
akan
kuadrat
terkecil
(OLS),
model
regresi
klasik
23
2
(1951)8, yang menyoroti masalah perbedaan hasil ketika data
dianalisis
secara
parsial
dan
dianalisis
secara
agregat.
24
2
analisis secara agregat karena akan memberikan informasi yang
menyesatkan pada saat interpretasi.
autokorelasi
spasial
dan
pada
akhirnya
spasial
untuk
mengakomodir
terjadinya
spatial
25
2
2.2.1 Keterkaitan Spasial
Keterkaitan Spasial Global (Global Morans I)
Keterkaitan spasial global merupakan statistik yang
digunakan untuk mengukur keterkaitan wilayah secara umum.
Nilai statistik yang dihasilkan mewakili kondisi rata-rata dari
seluruh wilayah. Salah satu alat statistik yang digunakan untuk
mengukur keterkaitan spasial global adalah statistik Global
Morans I. Statistik Global Morans I diformulasikan sebagai
berikut
menunjukkan
terjadinya
pengelompokan
wilayah
26
2
secara rinci wilayah mana saja yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap keterkaitan spasial secara umum. Indeks
Local Morans I diformulasikan sebagai berikut
Besaran nilai
positif
scatterplot
merupakan
diagram
visualisasi
menyatakan
diinterpretasikan
bahwa
sebagai
indeks
koefisien
Morans
regresi
(slope)
dapat
dari
27
28
2
Kuadran III, merupakan kelompok yang terdiri atas
wilayah dengan nilai karakteristik rendah dan dikelilingi oleh
tetangga dengan karakteristik rendah (low-low clustering).
Kuadran ini terletak di bagian bawah sebelah kiri.
Kuadran IV, terletak di bagian bawah sebelah kanan.
Kuadran ini disebut dengan istilah high-low clustering karena
pada kuadran ini terdapat wilayah-wilayah dengan nilai
karakteristik tinggi yang dikelilingi oleh tetangga dengan nilai
karakteristik rendah.
dengan
istilah
hubungan ketetanggaan.
Kriteria
29
30
2
v. Double Rook Contiguity
Ketetanggaan diihat dari persinggungan batas suatu wilayah
lain dengan dua wilayah yang berada di sisi barat, timur,
utara, dan selatan
vi. Queen Contiguity
Ketetanggaan diihat dari persinggungan batas dan ujung
perbatasan yang berada di semua sisi.
Persinggungan jarak
Penentuan tetangga berdasarkan persinggungan jarak
dilakukan dengan cara mengukur jarak antara dua wilayah
dengan menarik garis lurus antara titik pusat kedua wilayah.
Titik pusat wilayah dapat berupa ibukota wilayah atau pusat
pemerintahan
dan
dinyatakan
dalam
bentuk
koordinat
31
2
2) Nearest Neighbors
Tetangga pada metode ini ditentukan berdasarkan jaraknya
pada radius tertentu. Jika jarak antara dua wilayah kurang
dari radius yang ditentukan, kedua wilayah tersebut
dikatakan bertetangga. Besarnya radius atau sering disebut
jarak maksimum ditentukan berdasarkan kebijakan peneliti.
dimana
adalah
jarak maksimum.
(a)
(b)
3) K-nearest Neighbors
Pada metode ini, jumlah tetangga terdekat ditentukan
sendiri berdasarkan asumsi tertentu. Misalkan
jumlah
32
2
dimana
adalah
pembentukan
matrik
penimbang
spasial.
Matriks
spasial
yang
penimbang/pembobot.
dikuantifikasikan
Elemen
pada
dalam
matriks
bentuk
penimbang
adalah penimbang
dan
33
2
Dari modifikasi tersebut dihasilkan matrik penimbang
terstandardisasi baris sebagai berikut
dimana
regresi
klasik
dengan
mempertimbangkan
efek
beberapa
jenis
efek
keterkaitan
spasial
yang
34
2
Dimana
,
,
adalah matrik
adalah perkalian
dengan matrik
adalah
yang
menunjukkan
efek
keterkaitan
spasial
pada
variabel
selain
direpresentasikan
direpresentasikan dengan
matrik penimbang spasial
dengan
juga
. Model
35
dimana
yang
36
2
2012). Kondisi ini juga dikenal dengan istilah spatial nonstationarity.
Berdasarkan penjelasan tersebut, keterkaitan spasial yang
terjadi
pada
analisis
kewilayahan
bukan
hanya
berupa
dalam
asumsi
klasik
yaitu
pada
asumsi
homoskedastisitas.
Oleh karena alasan tersebut, dibutuhkan adanya teknik
regresi spasial baru yang dapat menanggulangi permasalahan
pada analisis kewilayahan. Fotheringham, Brunsdon, dan
Charlton (2002) menyarankan sebuah model yang dinamakan
Geographically Weighted Regression (GWR) dimana model
tersebut merupakan model yang bersifat lokal dan dapat
mengakomodir keterkaitan spasial, baik dilihat dari sisi
dependensi spasial maupun heterogenitas spasial.
37
2
2.2.6 Diagnosis Residual Model Regresi
Uji Normalitas Error (Jarque-Bera)
Statistik uji Jarque-Bera digunakan untuk mengidentifikasi
apakah error pada model regresi berdistribusi normal. JarqueBera merupakan statistik uji yang menggabungkan skala
kemencengan (skewness) dan skala keruncingan (kurtosis). Skala
kemencengan (skewness) memberikan ukuran seberapa simetris
objek amatan terhadap mean, dinotasikan dengan S. Untuk
distribusi normal, nilai skala kemencengan adalah 0. Skala
keruncingan (kurtosis) memberikan ukuran ketebalan pada
fungsi
kepadatan
peluang
(probability
density
function),
38
2
Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam pemodelan
regresi klasik adalah asumsi homoskedastisitas. Homoskedastisitas adalah keadaan dimana error pada model memiliki ragam
yang konstan dan kovarian error sama dengan nol. Salah satu
alat statistik yang digunakan untuk menguji apakah sebuah
model bersifat homoskedastis adalah uji statistik BreuschPagan. Breusch-Pagan sebanding dengan distribusi chi-square
dengan degrees of freedom K-1, dimana K adalah banyaknya
parameter dalam model.
39
40
Bab 3. Model
Geographically
Weighted
Regression (GWR)
41
3
Bab 3. Model Geographically Weighted
Regression (GWR)
3.1 Pengertian Model GWR
Salah satu hal yang harus mendapat perhatian pada
penanganan data spasial adalah munculnya
heterogenitas
43
3
GWR mampu menghasilkan estimasi parameter untuk setiap
titik lokasi (wilayah) yang diteliti. Model GWR secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut:
(4.1)
Dimana,
= nilai variabel dependen pada wilayah ke-i
) pada wilayah
ke-i
= banyaknya variabel prediktor
= random
error
yang
diasumsikan
berdistribusi
akan
44
3
3.2.1 Fungsi Kebalikan Jarak
Salah satu cara untuk mendapatkan penimbang adalah
dengan mencari kebalikan dari jarak. Dengan cara ini maka
penimbang yang merepresentasikan keterkaitan antara wilayah
ke-i dan ke-j adalah 1/
, dimana
Dimana
nilai
dan
masing-masing
45
3
3.2.2 Fungsi Kernel
Untuk mengatasi masalah tersebut, penimbang
diubah menjadi sebuah fungsi dari jarak
dapat
yang bersifat
) ]
46
3
{[
) ]
McMillen
(1996)
sebagai
penimbang
dengan
) ]
47
3
(adaptive). Pada fungsi kernel spasial tetap, satu nilai
bandwidth optimum ditetapkan dan kemudian diberlakukan
di seluruh wilayah yang diteliti seperti ilustrasi pada gambar
dibawah ini.
Weighting function
d
d
6 tetangga
2 tetangga
Fixed Bandwidth
48
3
Untuk mengatasi masalah tersebut, fungsi kernel adaptif
dapat diterapkan pada model GWR. Nilai bandwidth pada
fungsi ini ditetapkan berdasarkan pada proporsi (persentase
dari total wilayah yang diteliti) atau banyaknya tetangga
wilayah terdekat. Dengan kata lain, penimbang spasial
adaptif menerapkan bandwidth yang relatif kecil di wilayahwilayah dengan lokasi yang relatif berdekatan (dense), dan
bandwidth yang relatif besar di wilayah-wilayah dengan
lokasi yang relatif berjauhan satu sama lain (sparse). Ilustrasi
fungsi kernel adaptif diperlihatkan dalam gambar dibawah
ini.
Weighting function
d1
3 tetangga
d2
3 tetangga
Adaptive Bandwidth
) ]
49
3
dimana bi merupakan nilai bandwidth yang berbeda-beda
untuk
setiap
wilayah
ke-i
sesuai
dengan
proporsi
x = titik regresi
= titik data
pengukuran
yang
bersifat
distance-decay
(yang
50
3
semakin jauhnya jarak antar wilayah). Nilai penimbang
mengikuti suatu fungsi (berbentuk kurva tertentu) yang bernilai
antara nol sampai dengan satu. Nilai penimbang akan semakin
besar jika posisi wilayah ke-i dan ke-j semakin dekat, sebaliknya
nilai penimbang akan semakin kecil dengan semakin jauhnya
jarak antar wilayah ke-i dan ke-j.
Salah satu contoh fungsi penimbang adalah yang
mengikuti fungsi Gaussian misalnya, dengan formula sebagai
berikut:
[
) ]
Validation
(GCV),
51
3
Metode Cross Validation (CV) disarankan oleh Cleveland
(1979) dan Bowman (1984) dalam Fotheringham, et al (2002).
Bandwidth optimum diperoleh jika nilai CV
yang dihasilkan
nilai
pengamatan
untuk
(fitted value)
wilayah
ke-i
tidak
dimana
model.
Selain itu, metode lain yang dapat digunakan untuk
menentukan
bandwidth
meminimumkan
nilai
yang
Akaike
optimum
Information
adalah
dengan
Criterion
(AIC).
Dimana
52
3
Kriteria AIC lebih umum digunakan dan mudah dalam
aplikasinya. Semakin kecil nilai AIC maka model prediksi yang
dilakukan model GWR akan semakin baik.
Kriteria lain yang dapat digunakan untuk memilih
badwidth optimal adalah dengan menggunakan Bayesian
Information Criterion (BIC) (Fotheringham, 2002). Formula BIC
dapat dituliskan sebagai berikut:
dengan
jumlah
derajat
bebasnya.
Untuk
dihitung
sebagaimana
model
regresi
tertimbang
pengamatan
berupa
fungsi
jarak
dari
titik
Dimana
53
3
dan
[
54
3
Pengujian terhadap hipotesis ini dapat dilakukan
dengan melakukan penghitungan tabel analisis varians
(ANOVA) untuk kemudian melakukan uji F (Chasco, et al,
2007). Tabel ANOVA digunakan untuk membandingkan
jumlah kuadrat residual yang dihasilkan oleh model GWR
dengan jumlah kuadrat residual yang dihasilkan oleh model
RLB. Model GWR akan memberikan jumlah kuadrat residual
yang relatif lebih baik (kecil nilainya) dibandingkan dengan
model RLB jika nilai statistik uji F (F ratio) yang dihasilkan
lebih besar dari nilai F teoretis.
Menguji koefisien variabel bebas secara keseluruhan:
Hipotesis: Koefisien variabel bebas berlaku lokal (spesifik)
untuk masing-masing wilayah penelitian
Pengujian terhadap hipotesis di atas dilakukan dengan
membandingkan 2 model (yang disebut original GWR dan
switched GWR) menggunakan kriteria tertentu (antara lain:
AICc, AIC, BIC, atau CV). Jika original GWR model adalah:
55
3
signifikan bervariasi secara spasial, dan sebaliknya.
Beberapa perangkat lunak seperti GWR4 menghitung
pengurangan nilai kriteria model original GWR dengan nilai
kriteria model Fixed Constant atau Fixed Slope dengan nama
Difference Criterion. Sehingga jika Difference Criterion
bernilai negatif maka Koefisien variabel bebas berlaku lokal
(spesifik) untuk masing-masing wilayah penelitian.
peningkatan
nilai
variabel
tak
bebasnya.
yang
diukur
oleh
parameter
tersebut,
akan
memberikan informasi
berniai nol,
sebesar 0,7.
56
3
masing lokasi penelitian memiliki persamaan regresi yang
parameternya berbeda-beda antar lokasi. Dengan demikian,
interpretasi parameter model GWR di masing-masing lokasi
penelitian sama dengan interpretasi prameter pada model
regresi global. Kelebihan dari model GWR ini adalah peneliti
bisa memetakan hasil dari estimasi parameter di masingmasing lokasi penelitian sehingga fenomena heterogenitas
spasial akan nampak terjelaskan.
57
58
Bab 4. Aplikasi
Model GWR untuk
Analisis Data
Angka Melek
Huruf
59
60
4
Bab 4. Aplikasi Model GWR untuk
Analisis Data Angka Melek Huruf
4. 1 Pengertian Angka Melek Huruf
61
4
mengindikasikan kemampuan penduduk untuk membaca dan
menulis. Bagaimanapun juga kemampuan dasar pertama kali
yang dimiliki seseorang untuk dapat menambah dan mengasah
ilmu pengetahuan adalah dengan membaca dan menulis (IPM
Provinsi Papua Barat, 2010).
Menurut Badan Pusat Statistik (2010), AMH didefinisikan
sebagai persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat
membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya.
Dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
AMH digunakan sebagai salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur tingkat pembangunan manusia di bidang
pendidikan bersama dengan indikator Rata-rata Lama Sekolah
(RLS). Indikator AMH ini mempunyai bobot dua kali lebih besar
dari indikator RLS.
AMH digunakan untuk melihat pencapaian indikator dasar
yang telah dicapai oleh suatu daerah, karena membaca
merupakan dasar utama dalam memperluas ilmu pengetahuan.
AMH merupakan indikator penting untuk melihat sejauh mana
penduduk suatu daerah terbuka terhadap pengetahuan.
Sebagai indikator tunggal, AMH dapat digunakan untuk:
a) menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah
dalam menyerap informasi dari berbagai media.
b) mengukur keberhasilan program-program pemberantasan
buta huruf, terutama di daerah pedesaan di Indonesia
dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah
bersekolah atau tidak tamat SD.
c) menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara
lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat
62
4
berdasarkan
kabupaten
mencerminkan
potensi
dimana:
= angka melek huruf (penduduk usia 15 tahun ke
atas) pada tahun t
= jumlah penduduk (usia 15 tahun ke atas) yang
bisa membaca dan menulis pada tahun t
= jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas
Data yang diperlukan dalam penghitungan AMH adalah
data jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bisa
membaca dan menulis dan jumlah penduduk umur 15 tahun ke
atas secara keseluruhan. Berdasarkan rumusan di atas, maka
batas maksimum untuk AMH, adalah 100 sedangkan batas
minimum 0 (sesuai dengan standar UNDP).
Menurut Kusnadi dalam Ahdinilla (2005), faktor-faktor
yang mempengaruhi buta huruf terdiri dari kemiskinan
penduduk; putus sekolah dasar (SD); drop out program
Pendidikan Luar Sekolah (PLS); kondisi sosial masyarakat yang
63
4
meliputi kesehatan dan gizi masyarakat, demografis dan
geografis, aspek sosiologis, issue gender, serta penyebab
struktural (baik dalam skala makro, mikro, maupun aspek
kebijakan).
Beberapa penelitian terkait diantaranya: Anindita dalam
Pradipta (2010), meneliti variabel-variabel yang mempengaruhi
AMH dan RLS dengan menggunakan Regresi Multivariat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persentase penduduk yang
tinggal di perkotaan, persentase penduduk yang berpendidikan
di atas SLTP, penduduk usia > 15 tahun yang belum atau tidak
sekolah, pendapatan per kapita, Angka Partisipasi Sekolah
(APS) SD, dan persentase penduduk miskin berpengaruh
terhadap AMH dan RLS.
Sementara itu, Firmansyah dan Sutikno (2010) menduga
kepadatan penduduk, rasio penduduk miskin per Jumlah
Penduduk, rasio anggaran pendidikan per APBD, rasio tenaga
pendidik SD per jumlah siswa SD, rasio tenaga pendidik SMP
per Jumlah siswa SMP, rasio fasilitas fisik pendidikan SD per
Jumlah siswa SD, rasio fasilitas fisik pendidikan SMP per jumlah
siswa SMP, angka partisipasi murni usia 7-12 tahun, dan angka
partisipasi murni Usia 13-15 tahun berpengaruh terhadap AMH.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa AMH dipengaruhi secara
signifikan oleh rasio penduduk miskin, rasio tenaga pendidik
SD, rasio tenaga pendidik SMP, dan angka partisipasi
murni 13-15 tahun.
Lailiyah
dan
Purhadi
(2012),
dalam
penelitiannya
64
4
partisipasi murni SD, menyatakan bahwa persentase daerah
berstatus kota dan angka partisipasi murni Sekolah Dasar merupakan
faktor yang mempengaruhi tingkat buta huruf tiap kabupaten/kota di
Jawa Timur. Kedua faktor tersebut berpengaruh secara positif
terhadap model.
4. 2 Sumber Data
2.
65
4
Tingkat
Pengangguran
persentase
jumlah
Terbuka
didefinisikan
pengangguran
terhadap
sebagai
jumlah
angkatan kerja.
3.
4.
5.
6.
66
4
7.
8.
Penduduk
persentase penduduk
Miskin
yang
didefinisikan
berada
sebagai
di bawah
garis
kemiskinan.
9.
Persentase
Desa
Menggalakkan
Program
Keaksaraan
Desa
Menggalakkan
Program
Keaksaraan
Fungsional
Persentase
dengan
jumlah
total
desa
dalam
satu
antara
jumlah
desa
yang
jarak
SMP
67
4
desa dalam satu kabupaten/kota yang dinyatakan dalam
bentuk persentase.
12. Angka Harapan Hidup (AHH)
Angka Harapan Hidup didefinisikan sebagai rata-rata tahun
hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah
berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu,
dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan
masyarakatnya.
terjadinya
kesenjangan
intelektual
yang
dapat
68
positif
bagi
daerah
untuk
berlomba-lomba
69
4
kesenjangan angka melek huruf yang masih sangat lebar di
level
kabupaten/kota,
perbaikan
mekanisme
kebijakan
efektif
jika
didasarkan
pada
hasil
analisis
yang
70
4
spasial pada data angka melek huruf. Hasil penghitungan
statistik ini secara umum memperlihatkan adanya keterkaitan
spasial dalam capaian angka melek huruf antar kabupaten/kota
di Indonesia. Hal ini ditunjukkan melalui nilai Morans I yang
signifikan mencapai 0.6463 seperti terlihat pada Gambar 4.2.
Morans I yang bernilai positif menandakan kemajuan suatu
wilayah atas capaian angka melek huruf memberikan andil
yang positif terhadap kemajuan wilayah di sekitarnya, dan
sebaliknya.
71
4
nilai autokorelasi spasial terbesar di antara yang lain, meski
perbedaan di antara ketiganya tidak terlalu jauh. Secara umum
nilai-nilai Morans I dengan berbagai jenis penimbang ini dapat
digunakan sebagai indikasi awal adanya keterkaitan spasial
pada angka melek huruf.
Tabel 4.1. Perbandingan Indeks Morans Angka Melek Huruf
dengan Tiga Jenis Penimbang
Penimbang
Moran's I
17-Nearest Neighbors
0,531939
Queen
0,646306
Rook
0,644525
- Seleksi Variabel
Sesuai dengan teori yang dikemukakan sebelumnya,
identifikasi awal terhadap keterkaitan spasial secara statistik
tidak cukup dengan hanya menganalisis nilai Morans I. Pada
kajian ini dilakukan pula analisis regresi spasial dengan
memperhitungkan variabel-variabel yang diduga berpengaruh
terhadap angka melek huruf kabupaten/kota. Seleksi terhadap
variabel yang berpengaruh terhadap angka melek huruf ini
dilakukan terhadap 12 variabel independen dengan metode
Stepwise Regresssion, yang sekaligus mencakup proses cleaning
data dari nilai outlier dan missing value. Pada tahapan ini
diperoleh sebanyak 476 dari 497 data kabupaten/kota di
Indonesia yang siap untuk dianalisis dan 7 variabel independen
terpilih yaitu:
72
RLB
1,28936
0.01485**
-0.00936**
0.43297**
-0.03986**
0.03531**
-0.02985**
0.05860**
12.02939**
36.4689**
0.533845**
5%
10%
Spatial lag
0,73966
0.01063**
-0.00778**
0.42364**
-0.03745**
0.03598**
-0.01625**
0.05604**
0.23414**
-
Spatial error
-0,67765
0.00791**
-0.00228**
0.42752**
-0,00451
0.02501**
-0.01079**
0.02482**
0.70653**
77.01694**
0.344261**
78.08625**
-0.0505233*
73
4
Keterkaitan antar wilayah dengan mempertimbangkan
variabel-variabel lain ditunjukkan secara berturut-turut melalui
signifikansi variabel LAG dan ERROR yang terlihat pada kolom 3
dan 4 baris LAG dan ERROR. Indikasi awal terjadinya korelasi
antar wilayah yang tinggi dan positif pada angka melek huruf
antar kabupaten/kota diperkuat dengan signifikasi pengaruh
variabel-variabel tambahan ini di dalam model. Dengan kata
lain, sebenarnya bukan hanya angka melek huruf yang terkena
dampak korelasi spasial, tetapi juga variabel-variabel lain yang
tidak dimasukkan di dalam model yang ditampung dalam
komponen error. Namun demikian, meski sudah diupayakan
untuk mengakomodir masalah ini dengan kedua bentuk model
di atas, model angka melek huruf ini tampaknya masih belum
terbebas dari pengaruh autokorelasi spasial, terlihat dari hasil
diagnosa residual yang menunjukkan Moran's I (error)10 yang
signifikan.
Sementara di sisi lain hasil uji Breusch-Pagan juga
menunjukkan hasil yang signifikan di ketiga model. Secara
umum, uji ini dilakukan untuk mendeteksi adanya varians
residual yang tidak konstan (heteroskedastisitas). Dalam
konteks analisis spasial, munculnya kasus varians residual yang
tidak konstan ini disinyalir akibat pengaruh heterogenitas
spasial dalam data. Meski masih perlu diuji lebih lanjut,
heterogenitas spasial dalam data dapat berakibat fatal jika
diabaikan. Karena jika memang masih mengandung efek
10
74
4
heterogenitas spasial, regresi global11 tidak lagi sesuai untuk
diterapkan pemodelan angka melek huruf.
Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa model regresi spasial biasa belum mampu
mengatasi permasalahan efek spasial dalam data, baik
permasalahan autokorelasi maupun heterogenitas spasial.
Diperlukan penyempurnaan model lebih lanjut agar hal ini
tidak berdampak pada masalah yang lebih serius dalam
analisis.
tinggi.
permodelan
Untuk
dengan
mengatasi
Geographically
masalah
Weighted
tersebut,
Regression
11
75
4
- Pembentukan Model GWR
Pembentukan model GWR dilakukan pada tujuh buah
variabel
hasil
seleksi
mempengaruhi
angka
memperhatikan
karakteristik
permodelan
GWR
yang
secara
melek
dilakukan
statistik
huruf.
dari
Dengan
tetap
melek
huruf,
angka
pada
signifikan
data
yang
telah
dua
hal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
76
4
fungsi penimbang. Pemilihan fungsi penimbang ini mencakup
lebarnya bandwidth dan formula yang akan digunakan dalam
proses permodelan.
kabupaten/kota
persebaran
di
centroid tersebut,
Indonesia.
Setelah
maka dalam
melihat
penelitian
ini
yang
kecil
penimbang
bi-square.
Pemilihan
kedua
fungsi
77
4
penimbang ini didasarkan pada kondisi data, lokasi penelitian,
dan kebijakan peneliti.
- Pemilihan Model Terbaik
Dalam memodelkan suatu fenomena, tentunya peneliti
mengharapkan hasil model yang terbaik, yakni model dengan
nilai dugaan yang memiliki kesalahan minimum dan nilai
keragaman yang kecil. Model terbaik hanya akan diperoleh dari
beberapa kali proses uji coba, yaitu dengan membandingkan
kriteria dari beberapa kemungkinan model yang dapat
dibentuk.
Kriteria
yang
dapat
dijadikan
ukuran
dalam
atau
Criterion (AIC).
Koefisien determinasi
dan
78
4
Namun pada prakteknya, pemilihan model terbaik tidak
harus selalu berpatokan pada model dengan kriteria statistik
terbaik. Pemilihan dapat pula dilakukan dengan mempertimbangkan apakah model tersebut logis, bermakna dan berguna
dalam menjelaskan suatu fenomena. Proses uji coba yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah mencari metode pemilihan bandwidth optimum dan fungsi penimbang dengan
atau
terkecil.
Proses
pemilihan
model
GWR
terbaik
dengan
Metode
BO
Adj_R
AIC
SSE
IS (1-38)
9
1
1 -9605,14
0
SB
38 0,9445 0,8918 502,20 35,655
IS (1-38)
9
1
1 -9605,14
0
SB
15 0,9913 0,9207
14,85
5,606
IS (1-38)
9
1
1 -9605,14
0
SB
10 0,9991 0,8337 -920,40
0,565
IS (1-38)
38 0,9445 0,8919 502,20 35,655
IS (1-50)
50 0,9259 0,8795 555,34 47,598
IS (1-38)
19 0,9002 0,8580 615,90 64,091
IS (1-38)
4
0,9860 0,9124 159,93
9,017
IS(1-38)
38 0,8466 0,8175 718,67 98,527
IS (1-50)
50 0,8236 0,7988 759,26 113,351
CV
IS (1-38)
9
0,9469 0,8873 500,14 34,090
Keterangan: BO = Bandwidth Optimum; IS = Interval Search;
SB = Single Bandwidth
79
4
kabupaten/kota terbanyak di salah satu provinsi di Indonesia
yang dianggap sebagai batas maksimal tetangga suatu wilayah.
Pada tabel diatas terlihat bahwa hasil uji coba model pada
fungsi penimbang adaptive bi-square dengan kriteria AICc, AIC,
dan BIC menghasilkan nilai R2 sebesar 1, AIC yang bernilai
negatif, dan Sum Square Error (SSE) bernilai 0. Angka tersebut
berarti bahwa model yang terbentuk sama sekali tidak
mengandung kesalahan atau dengan kata lain fenomena
dimodelkan secara tepat dengan yang sebenarnya. Hal tersebut
sangat tidak logis dan berdasarkan formulasinya nilai AIC
mestinya bernilai positif.
Selanjutnya, batas interval bandwidth diperlebar dengan
lebar interval sebesar 1 hingga 50. Penentuan batasan lebar
interval tersebut masih bersifat subjektif dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan kondisi yang ada.
Namun, jika ternyata masih saja yang terpilih adalah batas
maksimum, maka proses dapat dihentikan dan diasumsikan
bahwa tidak ada bandwidth optimum untuk kriteria tersebut.
Selain itu, dilakukan pula permodelan dengan memasukkan
suatu nilai bandwidth tertentu (single bandwidth) dengan
kriteria AICc dan AIC. Nilai bandwidth yang dimasukkan
merupakan nilai bandwidth dengan kriteria positif terkecil
sebelum nilai kriteria tersebut bernilai negatif (lihat Tabel 4.3).
Setelah melalui beberapa kali proses uji coba, terpilih
model terbaik dengan fungsi penimbang adaptive bi-square
dan kriteria AIC. Model terpilih tersebut cukup logis dan
memiliki nilai R2 terbesar, AIC terkecil, dan Sum Square Error
(SSE) terkecil dari berbagai kemungkinan model yang ada.
Proporsi keragaman variabel AMH dapat dijelaskan oleh
80
4
variabel bebas yang ada di dalam model sebesar 99,13%,
dimana sisanya dipengaruhi oleh variabel bebas lain di luar
model. Bandwidth
ringkas,
nilai
estimasi
parameter
pada
wilayah
Intersep
APMSD
Koefisien GWR
Nilai
Min
Max
Tengah
-0.3470
3.0119 11.0252
-4.3794
0.0726
5.6808
Koefisien
RLB
2.9690
0.1103
PROGRAM
-2.2834
-0.0693
6.6519
-0.2608
RLS
-0,6353
0.7000
3.1125
0.6717
AHH
-1,3991
-0.0215
2.3282
-0.1110
GIBUR
-5,8202
0.0225
16.2127
0.0868
PRSNMIS
-3,1032
-0.0928
3.8397
-0.2598
TPT
-1,9325
0.0766
1.7529
0.2149
Variabel
Tabel 4.4 menunjukkan hasil estimasi parameter menggunakan model GWR dan model RLB. Model GWR menghasilkan
etimasi parameter
yang
berbeda-beda di setiap
lokasi
81
4
GWR dapat menjelaskan lebih banyak fenomena dibandingkan
dengan model RLB yang hanya menghasilkan satu estimasi
parameter pada setiap variabel.
SS
173,905
168,299
5,606
DF
8,00
414,74
53,26
MS
0,406
0,105
3,855
p-value
0,0000
82
4
spasial jika nilai difference of criterion yang dihasilkan negatif.
Sebaliknya, nilai positif pada difference of criterion menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut bersifat global. Secara
lengkap, nilai difference of criterion dari masing-masing variabel
bebas disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.6 Geographical Variability Test
Variabel
Intersep
APMSD
PROGRAM
RLS
AHH
GIBUR
PRSNMIS
TPT
F
19.3871
4.5536
1.5174
13.0382
33.3323
1.3165
24.2049
14.3149
87.884
87.884
87.884
87.884
87.884
87.884
87.884
87.884
Difference
of Criterion
-874.3809
-393.3727
-125.3213
-736.1921
-1108.3111
-105.7790
-954.5614
-764.2479
83
4
lebih baik, ketika terjadi fenomena heterogenitas spasial.
Namun, tidak ada salahnya jika peneliti ingin melakukan
pengecekan koefisien regresi lokal pada masing-masing
wilayah (Charlton dan Foteringham, 2009).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
masalah heterogenitas spasial mampu diatasi oleh model GWR,
yaitu dengan menghasilkan persamaan regresi untuk setiap
wilayah
penelitian.
Pada
penelitian
ini,
dihasilkan
476
melek
huruf
masing-masing
kabupaten/kota
di
84
4
tepat waktu pada jenjang pendidikan yaitu SD untuk penduduk
usia 7-12 tahun. Angka partisipasi pendidikan, salah satunya
angka partisipasi murni SD merupakan salah satu indikator
yang dapat mengindikasikan tingkat keberhasilan pembangunan pendidikan. Itulah sebabnya, angka partisipasi murni SD
diduga memiliki pengaruh terhadap salah satu indikator
pembentuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di suatu
daerah, yaitu angka melek huruf. Seberapa besar pengaruh
yang diberikan angka partisipasi murni SD terhadap angka
melek huruf dapat dilihat pada sebaran peta pengaruh dibawah
ini.
85
4
kurang jelas. Sementara itu, pada Pulau Sumatera, terlihat jelas
bahwa sebagian besar daerahnya memiliki pengaruh angka
partisipasi murni SD yang kecil terhadap angka melek huruf,
seperti pada Provinsi Lampung, Aceh, dan Jambi yang memang
memiliki Angka Buta Huruf yang cukup tinggi. Kecilnya
pengaruh angka partisipasi murni SD pada wilayah-wilayah
tersebut bisa disebabkan banyaknya program pemberantasan
buta huruf yang diadakan baik formal maupun nonformal atau
dipengaruhi oleh faktor lainnya.
- Pengaruh Penyelenggaraan Program Keaksaraan Fungsional
Dewasa ini program pemberantasan buta huruf usia
dewasa umumnya dijalankan melalui kelompok-kelompok
belajar yang lebih dikenal dengan program Keaksaraan
Fungsional (KF). Program ini secara kelembagaan diusung oleh
Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas) dan Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (Ditjen PLS) dan dilaksanakan
oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kabupaten/kota
dan propinsi. Program dengan sasaran kelompok usia dewasa
(15-45 tahun) ini menekankan pada fungsi program secara
fungsional dengan strategi membaca, menulis, berhitung dan
aksi (Calistungdasi) serta diskusi yang proses belajarnya
disesuaikan oleh konteks warga belajar (Depdiknas, 2006).
Merujuk pada fungsi tersebut, keberhasilan program ini
tentunya sangat diharapkan demi terwujudnya pemberdayaan
masyarakat, khususnya bagi penduduk buta huruf. Namun
beberapa fakta menyebutkan bahwa dalam pelaksanaanya
program ini tidak berjalan secara efektif di beberapa daerah,
bahkan
86
ditemukan
pula
banyak
laporan
fiktif
atas
4
terselenggaranya
program
kelompok
belajar
Keaksaraan
4.5
secara
implisit
menunjukkan
tingkat
87
4
masalah buta huruf belum sepenuhnya tuntas diselesaikan dan
menjadi salah satu pemicu terjadinya masalah buta huruf
kembali (replaced illiterate).
- Pengaruh Masa Mengikuti Sekolah Formal
Rata-rata
lama
sekolah
(RLS)
merupakan
indikator
ukuran
komponen
pengetahuan
dalam
proses
dan
tulis.
Semakin
tinggi
seseorang
mengenyam
88
89
4
dan kalori, pemberantasan kemiskinan, dan pemberantasan
buta aksara.
90
4
gizi buruk. Kasus gizi buruk yang terjadi di suatu wilayah
mencerminkan kondisi kesehatan lingkungan yang kurang baik.
Kondisi kesehatan lingkungan suatu wilayah erat kaitannya
dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal di
dalamnya. Masyarakat yang berpendidikan (melek huruf) akan
lebih
sadar
tentang
kesehatan
dibandingkan
dengan
91
4
Papua Barat. Pengaruh yang besar juga terlihat pada Provinsi
Papua khususnya bagian selatan dan Sumatera bagian selatan,
seperti Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu.
Pengaruh gizi buruk terhadap angka melek huruf di Pulau Jawa
lebih besar di bagian timur dibandingkan dengan di bagian
barat. Selajutnya, pengaruh besar juga terlihat di Pulau Bali dan
Kepulauan Nusa Tenggara.
Utara,
Kalimantan
Timur,
Kepulauan
Nusa
92
terhadap
angka
melek
huruf
pada
setiap
kabupaten/kota di Indonesia.
93
4
Terlihat bahwa variabel tingkat pengangguran terbuka
memiliki pengaruh yang besar terhadap angka melek huruf di
sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Bali dan Papua. Pengaruh yang besar diberikan oleh
tingkat pengangguran terbuka di Pulau Jawa bagian barat,
sebagian Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya,
pengaruh yang kecil terlihat di Kalimantan bagian utara, dan
sebagian Nusa Tenggara Timur.
bahwa
GWR
mampu
mengakomodir
masalah
untuk
dikaji
lebih
lanjut.
Banyak
cara
untuk
94
4
difokuskan pada struktur model GWR yang dapat menjelaskan
secara umum pemicu kesenjangan capaian angka melek huruf
antar koridor. Mengingat level yang digunakan adalah koridor
yang terdiri dari 1 atau 2 pulau, maka digunakan nilai tengah
(median)
dari
masing-masing
estimasi
parameter
yang
diharapkan dapat merepresentasikan keseluruhan nilai kabupaten/kota di setiap koridor. Pemodelan angka melek huruf
dengan GWR dalam kajian ini dilakukan menggunakan
variabel-variabel independen terstandarisasi, sehingga dapat
dilakukan perbandingan secara langsung baik performa setiap
variabel dalam mempengaruhi angka melek huruf di dalam
suatu wilayah, maupun struktur model antar wilayah.
Gambar 4.11 memperlihatkan perbedaan struktur model
di setiap koridor ekonomi. Terlihat kesamaan di hampir seluruh
koridor ekonomi kecuali koridor Bali dan Nusa Tenggara dalam
hal variabel dengan kontribusi terbesar terhadap capaian angka
melek huruf suatu wilayah. Variabel tersebut adalah rata-rata
lama sekolah (RLS). Tingginya rata-rata lama sekolah memiliki
andil cukup besar terhadap capaian angka melek huruf yaitu
berkisar antara 60 hingga 70 persen. Dengan demikian, dalam
rangka mengurangi kesenjangan angka melek huruf antar
wilayah di Indonesia, kemajuan rata-rata lama sekolah
semestinya juga mendapat perhatian lebih, utamanya di
wilayah-wilayah dengan rata-rata lama sekolah yang masih
rendah.
Jika diamati lebih jauh, hasil kalibrasi model GWR di
koridor Jawa dan Sulawesi ternyata menunjukkan struktur
model yang hampir sama. Variabel rata-rata lama sekolah
memberikan kontribusi terbesar terhadap capaian AMH
95
4
kabupaten/kota, lalu diikuti oleh Angka Partispasi Murni SD,
persentase kemiskinan, angka gizi buruk, angka harapan hidup,
penyelenggaraan
program
keaksaraan
fungsional
dan
kontribusi terkecil diberikan oleh variabel tingkat pengangguran terbuka. Selain kedua koridor tersebut, kemiripan
struktur model lainnya juga ditunjukkan oleh koridor Sumatera,
Kalimantan serta Maluku dan Papua. Secara umum hal ini
menunjukkan adanya pengelompokan wilayah-wilayah berdasarkan struktur model yang dihasilkan.
Di samping itu, spasial outlier tampak terjadi di koridor
Bali dan Nusa Tenggara, di mana koridor ini memiliki struktur
model yang sangat berbeda dari koridor yang lain. Di koridor
Bali dan Nusa Tenggara, variabel angka gizi buruk memiliki
pengaruh terbesar terhadap pencapaian angka melek huruf
dibandingkan variabel lainnya, yaitu mencapai 80 persen.
Sumbangsih variabel rata-rata lama sekolah terhadap capaian
angka melek huruf dikalahkan oleh tingginya peran gizi buruk
di wilayah ini. Sementara di urutan terendah, angka partisipasi
murni SD hanya memberikan andil kurang dari 50 persen,
paling kecil dibandingkan variabel-variabel yang lain.
Gambaran di atas membuktikan bahwa variasi spasial
dalam data berperan dalam menentukan performa setiap
variabel di dalam model. Perbedaan struktur model yang terjadi
antar koridor mengindikasikan bahwa setiap wilayah memiliki
karateristik yang berbeda-beda sehingga kebutuhan masingmasing wilayah dan perbaikan yang harus dilakukan pun juga
berbeda-beda. Dengan model GWR, kebijakan yang lebih tepat
di setiap wilayah dapat dilakukan berdasarkan struktur model
yang dihasilkan.
96
97
4
dilihat dari nilai koefisien determinasi yang tinggi dan residual
yang minimum. Di samping itu dapat pula dilakukan pengujian
kesesuaian
model
GWR
dengan
melihat
pola
sebaran
98
4
tetapi juga pada wilayah baru yang tidak diteliti (wilayah non
sampel). Sesuai dengan konsep dasar regresi, prediksi pada
suatu wilayah kabupaten/kota, baik wilayah yang diteliti
maupun
wilayah
nonsampel
dapat
dilakukan
dengan
99
100
Bab 5. Aplikasi
Model GWR untuk
Analisis Data
Industri Besar
Sedang (IBS)
5
Bab 5. Aplikasi Model GWR untuk
Analisis Data Industri Besar Sedang
(IBS)
5.1 Pengertian Nilai Tambah IBS dan Produktivitas IBS
Sejak Revolusi Industri pada akhir abad ke-18, dunia
perindustrian mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pada masa tersebut, untuk pertama kalinya diperkenalkan
penggunaan mesin uap, mesin-mesin untuk produksi tekstil,
kapal tenaga uap, rel, pembangkit tenaga listrik, dan lain
sebagainya.
Penemuan
tersebut
sangat
mempermudah
103
5
pengklasifikasian industri pun harus di standarkan menurut
kriteria-kriteria tertentu. BPS berpedoman pada Klasifikasi Baku
Lapangan
Usaha
Indonesia
(KBLI)
yang
diadopsi
dari
misalnya,
membagi
industri
menjadi
empat.
digunakan
perusahaan
industri
tersebut
(BPS).
104
5
seluruh nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh semua
industri dalam suatu daerah.
Pengertian nilai tambah sendiri adalah pertambahan nilai
suatu produk atau komoditas karena mengalami proses
pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu
produksi. Dalam tiap satuan produksi, nilai tambah diukur
dengan perbedaan antara nilai output perusahaan dan nilai
seluruh input yang dibeli dari luar perusahaan.
konsumsi
modal
dan
pemakaian
modal.
Dengan
bruto
adalah
nilai
yang
tidak
memperhatikan
105
5
adalah harga output, upah kerja, harga bahan baku, dan nilai
input lain (selain bahan baku dan tenaga kerja).
diterapkan
terhadap
lebih
dari
satu
dimana:
Q
: variabel
output/nilai
perekonomian,
106
tambah
dalam
suatu
5
A
Cobb-Douglas
dan
menggambarkan
efisiensi
atau,
dimana:
Q
: konstanta,
yang
mempengaruhi
output/nilai tambah,
107
5
1, 2, . . . , n : parameter yang memperlihatkan elastisitas variabel-variabel yang mempengaruhi output/nilai tambah.
Interpretasi model di atas menggunakan suatu nilai yang
disebut Return to Scale. Nilai ini bisa untuk mengetahui
besarnya tambahan hasil produksi akibat bertambahnya faktor
produksi secara proporsional. Ada tiga jenis Return to Scale,
yaitu:
1. Constant
returns
penambahan
to
input
scale,
akan
yang
sama
berarti
persentase
dengan
persentase
input
akan
yang
berarti
persentase
menghasilkan
persentase
input
akan
yang
berarti
persentase
menghasilkan
persentase
108
5
1. Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah besarnya nilai output
dikurangi besarnya nilai input.
Output adalah nilai keluaran yang dihasilkan dari proses
kegiatan industri. Komposisi nilai output adalah persentase
dari masing-masing komponen nilai output terhadap nilai
output. Komponen nilai output terdiri dari:
sendiri
oleh
perusahaan
dan
109
5
Komposisi biaya input adalah merupakan persentase dari
masing-masing komponen biaya input terhadap biaya input.
Komponen biaya input terdiri dari:
itu,
termasuk
pekerja
yang
langsung
Pekerja
lainnya
adalah
pekerja
yang
tidak
110
5
5.4 Profil IBS di Pulau Jawa
Pembangunan ekonomi di Indonesia khususnya di Pulau
Jawa tidak terlepas dari dukungan sektor industri. Aktifitas
penyediaan
barang dan
jasa
bagi masyarakat
semakin
Survei
Tahunan
Perusahaan
Industri
12
111
5
yang tersebar di 117 Kabupaten/Kota13. Dari angka tersebut,
sekitar 77 persen merupakan industri sedang dan sisanya
adalah industri besar. Hal ini menunjukkan bahwa industri
sedang di Jawa jauh lebih berkembang dari pada industri besar
jika dilihat dari sisi jumlah perusahaan, kecuali di Kabupaten
Bekasi. Kabupaten Bekasi memiliki potensi yang cukup baik
untuk mengembangkan industri besarnya. Karena saat ini, 70
persen perusahaan IBS yang ada di daerah ini bergerak pada
industri berskala besar.
Jika dilihat secara umum, wilayah yang menjadi pusat
pembangunan IBS di Jawa adalah Provinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat (Gambar 5.1). Ketiga Provinsi ini
memiliki luas wilayah yang lebih besar dibandingkan dengan
yang lain. Hal ini cukup memberikan alasan yang tepat bagi
pengembangan
pembangunan
IBS.
Walaupun
demikian,
Setiap
(Kabupaten/Kota)
Provinsi
tertentu
memiliki
yang
menjadi
wilayah-wilayah
sentral
untuk
pengembangan industrinya.
13
Pulau Jawa memiliki 118 Kabupaten/Kota pada tahun 2010. Akan tetapi,
Kepulauan seribu tidak diikutsertakan dalam kajian GWR ini
112
5
Tangerang
7%
Jakarta
7%
Jawa Timur
32%
Yogyakarta
3%
Jawa Barat
23%
Jawa
Tengah
28%
113
5
100%
80%
60%
40%
Perempuan
Laki-laki
20%
0%
114
5
100%
80%
60%
Lainnya
40%
Produksi
20%
0%
penggajian
pegawai,
pengembangan
pegawai,
115
5
Salah satu indikator kinerja suatu usaha adalah dengan
melihat besarnya nilai tambah yang mampu dihasilkan selama
proses produksi. Nilai tambah merupakan besarnya output
produksi setelah dikurangi biaya input (faktor produksi). Selain
itu, nilai tambah juga dapat menunjukkan potensi industri
suatu wilayah, yaitu dengan melihat sektor yang memberikan
nilai
tambah
paling
besar.
Tabel
5.1
dibawah
ini
Pusat
Industri
Jakarta Utara
Jawa Barat
Karawang
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Kudus
Sleman
Kediri
Kab. Serang
Potensi Industri
Industri kendaraan bermotor,
trailer dan semi trailer
Industri kendaraan bermotor,
trailer dan semi trailer
Pengolahan tembakau
Pakaian jadi
Pengolahan tembakau
Industri bahan kimia dan
barang dari bahan kimia
pembuatan
kendaraan
bermotor
baik
untuk
aksesorisnya.
Pengolahan
tembakau
lebih
banyak
116
5
Pakaian Jadi khususnya pakaian batik masih menjadi komoditas
penting bagi Yogyakarta. Industri batik inilah yang banyak
memutar roda pekekonomian masyarakat Yogyakarta sampai
saat ini. Sementara Provinsi Banten, khususnya di Kabupaten
Serang lebih berfokus pada produksi bahan kimia maupun
barang-barang berasal dari bahan kimia.
Berbicara potensi industri wilayah, maka tidak akan
terlepas dari menyoroti produktifitas tenaga kerja sebagai
penggerak utama industri. Produktifitas tenaga kerja dikatakan
tinggi apabila dengan jumlah sumber daya manusia yang
terbatas mampu diciptakan suatu nilai tambah industri yang
besar. Artinya ada mekanisme modernisasi dalam proses
industri tersebut. Penggantian sebagian tenaga manusia
dengan mesin merupakan salah satu upaya modernisasi
industri. Melibatkan mesin dalam kegiatan ini tentunya akan
mampu menaikkan produktifitas dari pada penggunaan tenaga
manual saja.
Gambar
produktifitas
5.4
TK
berikut
di
setiap
ini
menunjukkan
Provinsi
sekaligus
besarnya
urutan
117
5
Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian bagi pihak
terkait, baik pengelola industri maupun pemerintah. Harus
dilihat lagi alasan-alasan mengapa di daerah pusat industri
justru tidak menunjukkan produktifitas pekerja yang lebih kuat
dibandingkan daerah lain. Perlu tidaknya tindakan evaluasi
guna penyeimbangan jumlah tenaga kerja dan mesin harus
dipikirkan. Terdapat kemungkinan tenaga mesin canggih yang
dapat dilibatkan dalam proses produksi memang berharga
mahal
sehingga
perusahaan
cenderung
mengoptimalkan
tenaga manusia.
Kota
Yogyakarta
Yogyakarta
Cilacap
Jawa Tengah
Tuban
Jawa Timur
Banten
Kab. Serang
Jawa Barat
Kab. Bogor
Jakarta Timur
DKI Jakarta
0
100000
200000
300000
400000
500000
Produktifitas (Ribu)
118
5
5.5
besar
sedang
walaupun
secara
statistik
tidak
global
yang
dibangun
menunjukan
nilai
0,925.
119
5
Dengan menggunakan nilai VIF, diperoleh hasil bahwa
tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas dalam model
regresi global. Hal ini ditunjukkan melalui VIF dari setiap
variabel bebas bernilai kurang dari 10.
Tabel 5. 2 Variabel yang Mem/pengaruhi NTB IBS
Variabel Independen
Intercept
Ln(Upah)
Ln(Input)
Ln(Modal)
Ln(TK)
Adj. R2
Goodness of fit (F-stat)
Koefisien
p-value
VIF
-0,472
0,405
0,563
-0,002
0,138
0,545
0,000
0,000
0,961
0,122
8,722
6,202
3,313
5,426
0,925
351,322
p-value
0,000
dan
identifikasi
asumsi
homoskedastisitas
120
5
menunjukkan bahwa indeks Global Morans I pada variabel
logaritma nilai tambah industri besar sedang bernilai positif
sebesar 0,3008 dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pada penelitian ini terjadi pengelompokan wilayah-wilayah
dengan karakteristik sama. Wilayah yang memiliki sektor
industri besar sedang dengan total nilai tambah yang tinggi
cenderung
mengelompok
dengan
wilayah-wilayah
yang
W. Ln(NTB)
Ln(NTB)
121
5
Tabel 5. 3 Diagnosa Residual
Statistik
Nilai
p-value
adj-R
SSE
Normality Test (Jarque-Bera)
Heteroskedasticity Test (Breusch-Pagan)
Moran's I (error)
0.925
0.232
4.474
9.359
0.144
.107
.053
.027
LM (Lag)
1.018
.313
Robust LM (Lag)
0.493
.483
LM (Error)
3.689
.055
Robust LM (Error)
3.165
.075
122
5
5.5.3 Pemilihan Model Terbaik
Berdasarkan hal tersebut di atas, penyusunan model GWR
dapat dilakukan dengan menentukan bandwith optimum.
Dengan menggunakan kernel adaptive Gaussian dan kriteria
statistik CV, diperoleh bandwith optimum sebanyak 14
tetangga terdekat.
Pemodelan data IBS menggunakan GWR ini pada awalnya
diasumsikan seluruh variabel independen yang terlibat dalam
model sebagai variabel lokal,
yaitu
Ln_Upah,
Ln_Input,
Nilai F
Derajat Bebas
DIFF of Criterion
Intercept
3.875728**
3.744, 87.628
-0.041781
Ln_Upah
7.897365**
3.449, 87.628
-0.061979
Ln_Input
4.101946**
4.023, 87.628
-0.005669
Ln_Modal
5.472559**
3.919, 87.628
-0.029141
Ln_Tk
3.149804**
3.845, 87.628
-0.016398
123
5
Tabel 5. 5 Nilai Estimasi Parameter Variabel Model
Variabel
Intercept
Ln_Upah
Ln_Input
Ln_Modal
Ln_Tk
Minimum
19.62305
-0.057021
0.312965
-0.322406
0.028773
Maksimum
20.228
0.9706
1.604
0.3374
0.7325
Standar Deviasi
0.229799
0.261661
0.295355
0.15685
0.14731
atau
yang
nilainya
bergantung
pada
posisi
geografis
124
5
Tabel 5. 6 ANOVA
Sumber
Global Residuals
GWR
Improvement
GWR Residuals
5.6
SS
25.253
10.302
DF
5
29.294
MS
0.352
14.951
79.706
0.188
1.874851**
Jakarta Timur14
Karawang
Kudus
Sleman
14
Pusat industri di Jakarta adalah Jakarta Utara. Namun dalam kajian ini,
Jakarta Utara menjadi pengamatan outlier sehingga tidak dimasukkan
dalam analisis. Oleh karena itu, wilayah yang dianggap menjadi pusat
industri di Jakarta adalah Jakarta Timur.
125
Kota Surabaya15
Kabupaten Serang
Residual Model
Pusat Industri di Jawa Timur adalah Kota Kediri. Namun dengan alasan
yang sama dengan di atas, wilayah yang dianggap pusat industry di Jawa
Timur adalah Kota Surabaya.
126
5
Berdasarkan gambar di atas, kita dapat mengetahui
bahwa residual model yang dihasilkan tersebar secara acak
antar wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh korelasi
dan heterogenitas spasial sudah terakomodasi dengan baik ke
dalam model sehingga pola spasial tidak nampak dalam
residual yang dihasilkannya.
-
127
5
Return to Scale
128
5
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa nilai elastisitas
upah tenaga kerja di seluruh wilayah bernilai kurang dari 1.
Artinya, pengeluaran untuk upah tenaga kerja masih belum
efisien karena peningkatan upah tenaga kerja tersebut belum
bisa meningkatkan nilai tambah yang sebanding. Bahkan di
sebagian wilayah provinsi Banten, peningkatan biaya untuk
upah tenaga kerja justru akan menurunkan nilai tambahnya.
-
Elastisitas modal
nilai
tambah
industrinya.
Sehingga
justru
129
5
-
Elastisitas input
mampu
meningkatkan
nilai
tambah,
tetapi
130
5
-
131
132
Bab 6. Penutup
6
Bab 6. Penutup
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) menghendaki seluruh wilayah NKRI
harus terkoneksi secara spasial dalam suatu koridor ekonomi.
Hal ini berdampak pada
ini
mengkaji
sebuah
metode
yang
dapat
tahapan-tahapan
yang
dilakukan
dalam
proses
135
6
membangun model GWR dan melakukan analisis menggunakan model ini.
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang model
GWR, disertakan juga contoh penerapan metode analisis
dengan menggunakan model GWR. Terdapat dua contoh
analisis yang diberikan yakni analisis pada data Angka Melek
Huruf (AMH) dan analisis pada data Industri Besar Sedang (IBS).
Pada kedua contoh tersebut diperlihatkan bahwa konektivitas
spasial memberikan pengaruh yang signifikan, dan oleh
karenanya model bagi kedua data tersebut bersifat lokal, yakni
bersifat spesifik untuk masing-masing wilayah yang diamati.
136
Daftar Pustaka
Akmal, Yori.2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil Sanjai di Kota
Bukittinggi. Bogor: IPB.
Anselin, Luc. 1993. The Moran Scatterplot as an ESDA Tool to
Assess Local Instability in Spatial Association. Research
Paper 9330. Netherland
Anselin, Luc. 1999. Spatial Econometrics. Dallas: University of
Texas
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007.Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional.
Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2012. Pengembangan Model Sosial:
Analisis
Spasial
Angka
Harapan
Hidup
Penduduk
Martin
dan
Fotheringham
Stewart.
2009.
137
Assessing
The
Fit
Of
Regression
Models.
www.theanalysisfactor.com/assessing-the-fit-ofregression-models/
Lloyd, Christopher D. 2007. Local Models for Spatial Analysis.
London: Taylor & Francis Group.
Merna Kumalasari. 2011. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Angka
Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-Rata Lama
Sekolah, Pengeluaran Perkapita Dan Jumlah Penduduk
Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Jawa Tengah. Undip
138
NACHROWI,
Nachrowi
D.
dan
USMAN,
Hardius.
2006.
Tomoki.
2012.
GWR4
User
Manual.
GWR4
Development Team.
Nur Lailiyah dan Purhadi. 2012.
Yang
Mempengaruhi
Tingkat
Buta
Huruf
Regression,
Spatial
Autoregression,
and
Modeling
Spatial
Variations
in
Household
139
Disposable
Income
with
Geographically
Weighted
140
141