Anda di halaman 1dari 9

SYEKH AWAD BIN ABDULLAH SYAHBAL

Kapiten Arab Nasionalis dari Solo

Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan nama kota Solo, merupakan salah
satu kota dengan populasi komunitas keturunan Arab yang cukup besar di
pulau Jawa setelah Jakarta, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan
Surabaya. Dan berdasarkan catatan yang tertulis dibuku Van den Berg,
bahwa di kota Solo ini pada tahun 1870 tercatat ada 42 orang Arab,
kemudian tahun 1885 meningkat menjadi 71 orang yang terdiri dari
golongan Wulaiti (Arab Totok yang lahir di Hadramaut) dan dari golongan
Muwallad (sebutan untuk Arab Keturunan yang lahir di Indonesia). Dan pada
tahun 1873, mulailah dipilih seorang Kepala Golongan Arab (Hoofd der
Arabieren) untuk memimpin golongan Arab yang ada pada saat itu.
Dalam sejarahnya, kota Solo ini memiliki 3 Kepala Golongan Arab yaitu :
1. Sayyid Muhammad bin Muhammad Mina : 15 Agustus 1873
2. Syekh Awad bin Muhammad bin Sungkar
3. Syekh Awadh bin Abdullah Syahbal : 25 Juli 1923
Di daerah Solo ini, golongan Arab dan keturunannya pada awalnya
terkonsentrasi hanya di tiga wilayah yaitu: Kelurahan Pasar Kliwon;
Kelurahan Semanggi dan Kelurahan Kedung Lumbu, yang konon ceritanya
diperkirakan sudah ada sejak abad ke 19. Dan jika kita lewat diwilayah
Kelurahan Kedung Lumbu itu, tepatnya pas dibelakang Pertokoan Tekstil
Beteng, ada sebuah rumah besar yang merupakan rumah salah satu Kepala
Golongan Arab Solo, yaitu rumah Syekh Awad bin Abdullah Syahbal,
Kepala Golongan Arab terakhir di Solo yang berpangkat Letnan.

Nama lengkap dari Letnan Arab Solo yang terakhir ini adalah Syekh Awad
bin Abdullah bin Salim bin Umar bin Mudhofar bin Syahbal yang biasa juga
disebut dengan panggilan Abah Besar. Ia merupakan seorang wulati (Arab
Totok) yang dilahirkan di Hadramaut, Yaman Selatan pada sekitar tahun
1891, dan pada umur 11 tahun ia melakukan perjalanan ke Indonesia
dimana kemudian ia besar di Indonesia. Dikarena jiwa kepemimpinannya
yang disegani oleh semua golongan keturunan Arab yang ada di Solo pada
masa itu, dan didukung oleh keilmuannya serta keberkahan rezeki harta
yang dimilikinya ia kemudian dipilih menjadi Kepala Golongan Arab atau
disebut dalam Bahasa Belanda Hoofd de Arabieren dengan gelar pangkat
Letnan untuk wilayah Solo, yang dijabatnya dari tahun 1923 sampai tahun
1940 ketika Jepang masuk.
Beberapa sarat yang harus dimiliki oleh seorang Arab pada masa
penjajahan kolonial untuk bisa dipilih atau menjadi kepala golongan Arab
antara lain adalah : Pertama, berasal dari golongan Wulaiti atau Arab totok
yang lahir di negeri asalnya, yaitu Hadramaut. Karena hal ini berhubungan
dengan rasa penghormatan dan disegani oleh komunitas Arab yang ada di
wilayah yang dipimpinnya, Wulaiti jauh lebih dihormati daripada Muwallad
atau Arab keturunan yang lahir di Indonesia. Dan faktor tersebut juga
berhubungan dengan kemampuan berbahasa Arab yang dikuasai yang
dibutuhkan untuk menjalin komunikasi dengan komunitas yang dipimpin
nya dan juga hubungan nya dengan faktor pemahaman agama lebih dalam.
Dan yang terakhir adalah kemampuan secara ekonomi, dicari dari mereka
yang secara ekonomi sangat mampu atau paling mampu di saat itu. Dan
Syekh Awad Shahbal ini memiliki segala sarat tersebut. Syekh Awad
Syahbal merupakan seorang pedagang besar pada masanya sebagai
pengusaha dan pemilik Pabrik Batik dan Tekstil, termasuk sarung yang
tergolong berhasil di kota Solo pada waktu itu.
Selain faktor kepemimpinannya sebagai seorang kepala golongan Arab di
Solo, banyak yang belum mengetahui bahwa Syekh Awad Syahbal ini juga
merupakan seorang Tokoh Perintis Pendidikan Modern bagi golongan Arab
dan juga seorang patriot-nasionalis, yang ikut serta aktif didalam upaya
diplomasi revolusi RI didalam mempertahankan kemerdekaan setelah
proklamasi Kemerdekaan Tahun 1945
Penganjur & Perintis Pendidikan Modern
Sebagai bentuk konsekuensi dari Politik Etis di ambil oleh Pemerintah
Belanda pada waktu itu, mulailah bermunculan pendirian sekolah dan

pendidikan di seluruh Indonesia, yang kemudian sampai juga di wilayah


Solo. Sebagai catatan; Sekolah Guru atau yang disebut dalam bahasa
Belanda sebagai Kweekschool-pun pertama kali didirikan di Solo pada
tahun 1852 jauh sebelum sebelum Politik Etis dikumandangkan di seantero
Hindia- Belanda. Dan kemudian muncullah sekolah-sekolah di bawah aturan
dan manajemen Pemerintah Kolonial Belanda seperti halnya ELS, HIS, HCS
dan MULO.
Hubungannya dengan pendidikan tersebut diatas, Syekh Awab Syahbal ini
tergolong dan terkenal sebagai seorang Kapitein yang sangat perhatian
terhadap pendidikan dan cukup maju dalam hal pemikiran dalam bidang
pendidikan. Sesuatu hal yang menimbulkan pertentangan cukup keras dari
beberapa kelompok keturunan Arab yang ada di Solo pada waktu itu, yang
memang belum siap akan perubahan dan takut akan segala perubahan.
Sehingga mengakibatkan ia mendapatkan cap sebagai seorang Tokoh
Kepala Golongan Arab yang modern untuk ukuran zamannya.
Ia merupakan penganjur sekaligus perintis sebuah metode pendidikan
Modern bagi golongan keturunan Arab yang dikenal dengan Hollandsch
Arabische School (HAS), sebuah sekolah modern yang menggabunggkan
antara pendidikan modern Belanda dan juga metode pendidikan Arab. Yang
di dirikan di daerah Pasar Kliwon, tepatnya di gedung yang sekarang
menjadi Rumah Sakit Islam Kustati di Pasar Kliwon. Disebutkan bahwa lahan
untuk sekolah tersebut didapatkan karena hubungan baik antara Syekh
Awad Syahbal dengan Keraton Kasusunan Surakarta, karena hubungan
tersebut, pihak Keraton memberikan lahan tersebut untuk digunakan untuk
kepentingan umat Islam dan keturunan
Arab, salah satunya adalah
digunakan untuk Bangunan Sekolah HAS ini dan sekaligus asrama bagi para
siswanya. . Nama Kustati merupakan nama salah seorang cucu dari Sultan
Paku Buwono ke X, puteri dari Pangeran Kanjeng Hadiwijoyo.
Ide awal mengapa Syekh Awad Syahbal menganjurkan berdirinya sekolah ini
adalah untuk menjawab tantangan pendidikan pada masa itu khususnya
bagi golongan Arab dan masyarakat Islam umumnya. Dimana pada waktu
itu banyak sekali dari golongan Arab dan keturunan Arab yang semuanya
Islam, tidak dapat diterima masuk dalam jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Dan banyak sekali dari golongan Arab-Islam yang hanya
mendapatkan pendidikan rendah dan setelah lulus tidak bisa mendapatkan
pekerjaan yang layak. Karena pada waktu itu hanya golongan Eropa dan
juga kelompok ningrat pribumi yang bisa mendapatkan kesempatan itu.

Dalam majalah Aliran Baroe tahun 1939, disebutkan oleh Gassim Shahab,
seorang tokoh pendiri HAS di Pekalongan bahwa : Sepandjang kejakinan
kami, hanya HAS-lah ada satoe-satoe-nja sekolahan Ibtidaijah yang dapat
bersamboeng langsoeng dengan sekolah menengah dan selandjoetnja
kesegala djoeroesan jang mana sadja daripada sekolah-sekolah tinggi jang
ada di Indonesia, maoepoen di loear Indonesia sebagai Amerika, Mesir,
Europa, bahkan hingga ke Jepan.
Di artikel lain dimajalah yang sama Aliran Baroe ditulis : Tangga masoek
ke dalam Kullijah Islam tjoema sekolahan sebagai HAS bagi bangsa Arab .
Jadi ide awal dari pendirian sekolah ini adalah untuk membuka jalan bagi
para golongan Arab untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi sehingga mereka bisa mendapatkan ilmu serta pekerjaaan yang
lebih baik di masa depannya dan Syekh Awad Syahbal lah yang menjadi
salah satu perintis dan penganjurnya.
Walaupun demikian pada awalnya banyak dari golongan Arab dan
keturunan Arab di Solo yang enggan bahkan menentang atas berdirinya
sekolah tersebut, terutama sekali dengan adanya nama Hollandcs diawal
nama sekolah, yang bagi mereka merupakan simbol anti Islam, sebagai
pintu bagi masuknya ide ide Belanda-Kristen yang bakal merusak pikiran,
agama dan budaya dari generasi muda yang akan datang. Mereka yang
menentang pada awalnya memiliki ketakutan bahwa system Belanda
tersebut akan menimbulkan perubahan mental dan bahkan menjadi sumber
bidah dalam agama Islam, terutama sekali dengan metode pendidikan
yang notabene baru pada zaman itu, seperti duduk di bangku, memakai
celana pendek oleh murid, belajar dengan membaca buku dan dari papan
tulis.
Dan juga ketakutan yang lebih besar dibelakang itu semua adalah anggapan
bahwa pendirian sekolah tersebut merupakan salah satu usaha dari
pemerintah Kolonial Belanda untuk masuk dan mengintervensi pengajaran
Islam dan membatasi dawah Islam.
Hingga akhirnya Syekh Awad Syahbal, sempat mengusulkan sebagai salah
satu cara agar menarik minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di
HAS, agar biaya sekolah bagi siswa siswa HAS tersebut di bebaskan atau
digratiskan, tetapi demikian masih sedikit juga golongan Keturunan Arab
yang mau mengirimkan anak anaknya sekolah disana. Hingga akhirnya lebih
banyak siswa dari golongan pribumi daripada dari golongan keturunan Arab
yang akhirnya sekolah di sekolahan HAS tersebut. Walaupun sekolah HAS

tersebut tidak sempat bertahan cukup lama, tetapi beberapa sekolah HAS
yang lain sempat dibuka di kota lain dan mendapatkan sambutan yang
cukup baik, yaitu di Pekalongan dan Surabaya.
Misi Haji Revolusi 1949
Selain sebagai seorang perintis dan penganjur pendidikan modern bagi
kalangan Arab, banyak yang tidak tahu bahwa Syekh Awad Syahbal ini juga
memiliki peran yang sangat penting dalam perjuangan paska kemerdekaan
RI khususnya dalam bidang diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan
RI. Syekh Awad Syahbal ini terpilih sebagai salah satu anggota rombongan
Duta Haji Kemerdekaan RI pada tahun 1949, yang ditetapkan oleh Wakil
Perdana Menteri RI Mr Syafruddin Prawiranegara melalui Surat Penetapan
Penunjukan Anggota Misi Haji RI 19491, yang terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Haji Abdulhamid Samalanga sebagai Ketua


Muhamamd Nur El Ibrahimy sebagai Sekretaris
S.R Haji Syamsir sebagai Bendahara
Prof Abdul Kahar Muzakkir sebagai anggota
Ali Hasjmi sebagai anggota
Syekh Awad Syahbal sebagai anggota

Rombongan Haji ini layak disebut sebagai Anggota Misi Haji Kemerdekaan
mengingat pesan dan amanat yang diemban oleh anggota tersebut
bukanlah hanya urusan haji saja melainkan sebagai salah satu bentuk
Diplomasi Kemerdekaan RI didalam mempertahankan kemerdekaan yang
sudah diraih. Bahkan A Hasjmi menyebutnya sebagai Misi Haji Revolusi.
Dalam surat Keputusan Pemerintah RI disebutkan bahwa tugas Misi Haji
tersebut adalah :
1. Mewakili umat Islam Indonesia menghadiri ibadat haji
2. Menyampaikan terima kasih Pemerintah RI kepada Raja Ibnu Saud
atas bantuannya bagi Republik dan Rakyat Indonesia yang bermukim
di Hijaz (Arab Saudi)
3. Memberi penerangan agar menarik perhatian dan simpati Dunia Arab
dan Umat Islam kepada RI
4. Mempererat hubungan dan kerjasama antara Negara Negara Islam
dan saling bantu nyata antara negara-negara Arab dan Islam dengan
RI dan Umat Islam Indonesia
1 Sekali Republiken Tetap Republiken, Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1949, T.A
Talsya, Lembaga Sejarah Aceh 1990 hal. 227

5. Mengadakan penyelidikan dengan seksama terhadap rupa-rupa hal


yang dapat menguntungkan RI2
Kelima anggota tim tersebut merupakan orang orang pilihan bangsa
Indonesia, sebagai pribadi pribadi yang dianggap memiliki jiwa nasionalisme
tinggi serta kealiman dalam bidang agama yang sangat dihormati. Misi Haji
tersebut memiliki sebuah misi perjuangan yang sangat mulia dan berat,
untuk mewakili umat Islam Indonesia selama Ibadah Haji dan yang lebih
penting lagi dan berat adalah untuk menarik simpati dan dukungan Negara
Negara Arab dan Umat Islam dunia kepada Indonesia, sebagai Duta Islam
bangsa Indonesia yang memberikan penjelasan dan informasi kepada dunia
Arab dan dunia Islam mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimana
tim ini, mengadakan beberapa pertemuan dengan beberapa perwakilan
umat Islam disana termasuk dengan Raja Abdul Aziz dan juga melakukan
wawancara dengan sejumlah wartawan dari seluruh penjuru dunia,
terutama dari dunia Islam, untuk menjelaskan sekitar perjuangan bangsa
Indonesia didalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah keberhasilan dari Tim Misi Haji Revolusi ini, Tim ini juga melanjutkan
perjalanan ke Mesir untuk melakukan hal yang sama, Diplomasi Revolusi
Islam didalam mempertahankan Kemerdekaan RI.

Gerakan Modern Islam di Indonesia


Selain kedua hal tersebut diatas, Syekh Awad Syahbal ini dikenal dengan
kiprahnya didalam kebangkitan Gerakan Modern Islam dan Pembaharuan
Islam di Indonesia, beliau dikenal sebagai salah seorang yang berhasil
memasukkan Majalah Al-Manaar yang terbit di Mesir 3, sebuah majalah yang
dilarang beredar di Indonesia oleh Belanda pada waktu itu. Majalah AlManar ini merupakan majalah Reformis Islam bulanan yang membahas
mengenai ide-ide pembaharuan dan tajdid Islam, yang dipelopori oleh Jamal
ludin al-Afghani; Muhammad Abduh dan Sayyid Ridha. Pemerintah KOlonial
Belanda pada saat itu, sangat takut jika Majalah tersebut sampai bisa
masuk di Indonesia dan dibaca oleh kaum Muslimin di Indonesia. Belanda
takut akan masuknya faham faham pembaharuan Islam yang masuk
bersama masuknya majalah tersebut, yang bisa menggerakan umat Islam di
2 70 Tahun Prof Rasjidi, Harian Umum Pelita, Juni 1985, hal 127
3 www.lintasgayo.com/.../asyiknya-jadi-wartawan-7-ikut-wisata-kerukunan- umat-kekalimantan.html

Indonesia untuk berfikir untuk kemerdekaannya dan berontak terhadap


pemerintah Belanda untuk mencapainya. Namun Syekh Awad Syahbal,
berhasil menyelundupkan majalah itu dalam Sebuah langkah yang sangat
berani mengingat resiko yang yang akan diterima jika pemerintah Belanda
mengetahuinya.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa Syekh Awad Syahbal ini menjadi salah
satu sumber referensi dan wawancara dari alm Deliar Noer didalam
penyusunan buku berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.
Sebagai bentuk pengakuan mengenai peran dan keterlibatan Syekh Awad
Syahbal didalam masa awal perjuangan pergerakan Modern Islam di
Nusantara.
Selain hal tersebut; Syekh Awad Syahbal ini dikenal sebagai seorang sosok
yang sangat dekat dengan Haji Samanhudi, pendiri Sarikat Dagang Islam
dan juga terlibat didalam pendirian organisasi tersebut. Sarikat Dagang
Islam (SDI) disebut sebagai organisasi yang pertama kali lahir di Indonesia,
didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi di Surakarta,
yang kemudian berubah namanya menjadi Sarikat Islam (disingkat SI). Pada
mulanya organisasi ini adalah organisasi perkumpulan pedagang-pedagang
Islam (khususnya pedagang Islam) yang menentang masuknya pedagang
asing non-muslim yang pada waktu itu memonopoli perekonomian rakyat
pada waktu itu. Sebelum akhirnya pada tahun 1912, organisasi tersebut
berubah nama menjadi SI dan berubah menjadi sebuah organisasi
pergerakan Islam. Menurut penuturan keluarga, kedekatan hubungan antara
Syekh Awad Syahbal dan Haji Samanhudi ini terlihat dari cerita bahwa ketika
Haji Samanhudi ini sakit berat, ia minta untuk bisa tinggal di rumah Syekh
Awad Syahbal dan hal itu berlangsung selama sekitar 1 bulan.
Selain aktif dalam SI bersama Haji Samanhudi, Syekh Awad juga tergolong
sebagai salah seorang tokoh Al-Irsyad dimana ia ikut didalam mendirikan
bangunan Sekolah Al-Irsyad di kota Solo. Dan secara pribadi ia memiliki
hubungan yang cukup erat dengan Tokoh Pendiri Al-Irsyad yaitu Syaikh
Ahmad Surkati. Menurut sebuah sumber disebutkan bahwa ketika tokoh
ulama besar pendiri dari Al-Irsyad; Syekh Ahmad Surkati sempat cuti dari
kegiatan memimpin Al-Irsyad untuk berdagang pada sekitar tahun 19201923, Syekh Surkati melakukan usaha perdagangan-nya tersebut dengan
Syekh Awad Syahbal ini. Salah seorang anak dari Syekh Awad Syahbal ini,
yaitu Abdullah Al-Irsyad menjadi salah satu tokoh Al-Irsyad di Solo.

Sampai akhir hayatnya, Sang Abah Besar ini tergolong sebagai seorang
tokoh Islam yang sangat peduli dengan masalah pendidikan kaum muda,
bukan hanya terlihat dari kiprahnya dalam pendirian Hollands Arabische
School (HAS), Al Irsyad dan yang lainnnya di Indonesia, tetapi juga di luar
Indonesia. Ia juga mendirikan sebuah sekolah di Wadi Rehyah di Hadramaut,
yang bernama Madrasah Al-Majd yang sampai sekarang masih berdiri.
Sekolah ini didirikan untuk menjawab tantangan pendidikan di daerah
tersebut, dimana sebelumnya belum ada satu sekolahpun yang ada di
daerah tersebut.
Syekh Awad Syahbal ini menikah dengan Aisyah Makawi asal Serang Banten
dan memiliki 2 orang anak yaitu : Abdullah dan Fatmah. Ia meninggal pada
tahun 1956 dan dimakamkan di Solo.
Sebagai catatan didalam beberapa referensi sejarah, nama Kapitein Arab
terakhir Solo ini sering kali ditulis dengan dua nama yang sedikit berlainan,
yaitu Awab dan Awad, tetapi dua duanya merujuk pada orang yang sama.
Tetapi nama yang aslinya adalah Awad bin Abdullah bin Salim bin Abdullah
bin Umar bin Mudzofar bin Syahbal At Tamimy Bani Thonnah Al Qahtan4.
Sayangnya sosok Abah Besar ini sudah mulai dilupakan oleh kaum muda
sekarang baik dari golongan Keturunan Arab Indonesia khususnya dan
masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Dan sayangnya menurut
penuturan keluarga, banyak dokumen dan koleksi almarhum yang rusak dan
hilang, sewaktu banjir besar melanda kota Solo pada tahun 1966. Semoga
dengan catatan kecil ini kita bisa menggali lebih banyak informasi mengenai
sosok almarhum dan juga tokoh tokoh Islam yang lain, sebagai sumber
inspirasi kita semua dan sebagai ibrah (pelajaran) bagi kita semua.

4 Data di dapat dari hasil wawancara dengan cucu Sang Kapitein, Ustadzah Ella bin
Said bin Abdullah bin Awad Syahbal di Bogor

Delegasi Haji Revolusi RI Ke 2 Tahun 1949 Duduk dari kiri ke kanan : Prof
HM Rasjidi (Menteri Agama RI Pertama); Haji Abdul Hamid Samalanga (Ketua
Delegasi); Syekh Awad Syahbal (Anggota); A. Hasjmi (Anggota) dan yang berdiri
dibelakang A Hasjmi adalah Prof Dr Abdul Kahar Muzakkir dengan jas warna putih
(Anggota) Foto Koleksi Keluarga

Anda mungkin juga menyukai