Anda di halaman 1dari 20

Laporan Praktek Lapang

Perencanaan Pembangunan Peternakan

POTENSI DASAR PETERNAK

Oleh
Nama

: Nur Rahmi

Nim

: I11114516

Kelompok

: IV (Empat)

Asisten

: Multazam

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil
ternak yang sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, menciptakan lapangan
pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Berdasarkan dan
mengacu pada visi pembangunan peternakan, maka telah digariskan Misi
Pembangunan Peternakan yaitu memfasilitasi penyediaan pangan asal ternak yang
cukup baik secara kuantitas maupun kualitasnya, memberdayakan sumberdaya
manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi,
menciptakan

peluang

peternakan,membantu

ekonomi

menciptakan

untuk
lapangan

meningkatkan
kerja

di

bidang

pendapatan
agribisnis

peternakan dan melestarikan serta memanfaatkan sumberdaya alam pendukung


peternakan (Departemen Pertanian, 2003).
Pembangunan

peternakandi

sulawesi

selatan

dilaksanakanmelaluiusahapokokintensifikasidiversifikasipeternakansapi, babi, kambing,


itik,

danayamras.

pembinaanmakananternak,

Usaha

iniakandidorongmelaluipengamananternak,

penyediaanbibitunggul

(IB)

danpenyuluhan.

sampingituakandiusahakanpeningkatankegiatanpenyidikanpenyakithewan

Di
di

kabupatendankarantinahewan di Makassaar. Dalamhubunganinitelahdibangunpusatpusatbalaipenyidikanpenyakithewan di Marosdanpengembanganhijauanmakananternak


di setiapkabupaten (Bappenas, 2005).
Berdasarkankriteriakawasanstrategis dan potensiwilayah, makakabupaten
barru termasuk Kawasan Strategis Peternakan Sapi, Berdasarkan sistem pusat

634

kegiatan yang ada maka Kabupaten Barru termasuk Pusat Kegiatan Lokal
Promosi (PKLp) Mallusetasi yaitu kawasan peternakan sapi,Pusat Kegiatan Lokal
Promosi (PKLp) Balusu yaitu kawasan peternakan sapi, Pusat Kegiatan Lokal
Promosi (PKLp) Tanete Riaja yaitu kawasan peternakan sapi,dan berdasarkan
pengembangannya maka kabupaten barru termasuk kawasan hasil peternakan
Mallusetasi. Hal inilah yang melatarbelakangi pembuatan laporan tentang potensi
dasar peternak di kabupaten Barru.
I.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dilaksanakannya praktik lapang perencanaan pembangunan
peternakan yaitu agar mahasiswa dapat melihat potensi dasar peternak yang ada di
Kabupaten Barru.
Tujuan dilaksanakannya praktik lapang perencanaan pembangunan
peternakan yaitu untuk mengetahui potensi dasar peternak yang ada di Kabupaten
Barru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tinjauan Umum Perencanaan Pembangunan Peternakan
Perencanaan pembangunan dapat dibedakan menjadi beberapa tingkatan,
yakni: rencana yangterkait dengan ekonomi sebagai suatu keseluruhan dibagi
dalam sector-sektor utama(perencanaan sektoral) dan dapat terjadi dalam wilayahwilayah (perencanaan regional); danprogram yang terkait dengan penentuan
secara lebih detail yaitu berupa tujuan-tujuan khususyang harus dicapai dalam
berbagai

sector

atau

wilayah;

dan

proyek

merupakan

komponen-

komponenindividual yang dapat bersama-sama menjadikan suatu program.


Perumusan setiap strategi pembangunan harus mempertimbangkan sejumlah
kondisi dasar.Tahapan pengembangan jelas sangat penting artinya. Di negaranegara yang sangat miskin yangsangat bergantung kepada pertanian untuk
mencukupi kebutuhan sendiri dengan ekonomi uangyang belum begitu
berkembang/dikembangkan dan sumber-sumber alam atau keuangannyaterbatas,
kecil kemungkinan untuk dapat merumuskan rencana multisektoral yang
kompleks.Sebaliknya bagi negara-negara yang kaya dan makmur dengan
perdagangan yang berkembangbaik ekonomi, pertanian dan pertambangan,
mungkin dapat diharapkan untuk memulaiperubahan pada industrialisasi dengan
mengembangakan ketrampilan-ketrampilan sertasumber-sumber yang diperlukan
untuk realisasinya (Dickenson, 1992).
Dari aspek substansi, perencanaan adalah penetapan tujuan dan penetapan
alternatif tindakan, seperti pernyataan Tjokroamidojo (2003), yang selengkapnya

sebagai berikut: Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal, yang
pertama, ialah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang
hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki
oleh masyarakat yang bersangkutan dan yang kedua ialah pilihan diantara caracara alternatif serta rasional guna mencapai tujuan tujuan tersebut.
DirektoratJenderalPeternakanmenekankanbahwapola
perencanaanpembangunanPeternakanmenganutprinsipsinergiantarapolatop
downpolicydengan

bottom

Denganpolainisangatdiharapkanbahwakegiatan
benarsesuaidengantujuannasional,

up
yang

planning.
dilakukanbenar-

potensidankebutuhandaerah

(Ditjennak,

2011).
Menurut Siagian (2008) mendefinisikan Pembangunan yaitu : Suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa negara dan pemerintah menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (natton building). Pembangunan
dapat pula diartikan sebagai proses tindakan untuk mengubah kehidupan dan
penghidupan penduduk, sehingga dapat memenuhi segala macam dan bentuk
kebutuhan secara layak, bahkan mampu memenuhi peningkatan kebutuhan
perkembangan penduduknya serta sesuai ilmu tekhnologi dan tekhnik yang
semakin maju.
Menurut Michael P. Todarodalam Rowland B. F. Pasaribu (2013), tujuan
pembangunan yang universal adalah sebagai berikut.

a. Menambah persediaan dan memperluas distribusi barang keperluan hidup yang


pokok seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan perlindungan bagi
semua anggota masyarakat.
b. Menaikkan taraf hidup, termasuk pendapatan yang lebih tinggi, penyediaan
lapangan kerja, pendidikan dan perhatian yang lebih banyak pada nilai-nilai
kebudayaan dan kemanusiaan. Semua ini tidak hanya akan menaikkan
kesejahteraan kebendaan saja, tetapi juga akan menimbulkan harga diri dan
kebanggaan nasional.
c. Memperluas lingkup pilihan ekonomi dan sosial bagi perseorangan dan negara
dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan, tidak
hanya dalam hubungannya dengan orang-orang dan negara-negara lain, tetapi
juga dengan kebodohan dan kemiskinan.
Pembangunan
agroindustri,

peternakanmencakupberbagaikegiatanagribisnis,
mulaidari

hulusampaihilir,

yang

memilikiomsetbesardanmemberikankontribusibesarterhadapkesejahteraanpeter
nak.Potensipeternakan

yang

sangatbesar

di

Indonesia

seharusnyadapatdijadikansebagaipemacuperekonomianuntukmensejahterakanb
angsa.Hal

itudapatmenjadikenyataanapabilapeternakandijadikanplatform

pembangunannasional.Untukiturevitalisasipeternakanmenjadisangatpenting.
Ada beberapakeywords untukmencapaikeberhasilanpembangunanpeternakan,
yaitu: keberpihakan, koordinasi, sumberdayamanusia, dan investasi (Ditjennak,
2011).
II.2. Peranan Peternak dalam Pembangunan Peternakan
Sumberdaya peternak merupakan faktor produksi yang penting dan
mempunyai dampak langsung pada peningkatan daya saing usaha. Semakin tinggi

kapasitas sumberdaya manusia maka output yang dihasilkan juga akan semakin
banyak. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat menurunkan biaya
produksi

(efisiensi

usaha),

menurunkan

biaya

produksi

marjinal,

dan

memungkinkan usaha menghasilkan produk yang berkualitas pada harga yang


lebih rendah (Kleynhans, 2006).
Individu yang mempunyai modal sumberdaya manusia lebih tinggi dapat
memiliki skil dan kompetensi mengelola proses produksi lebih efisien dan
meningkatkan produktifitas melalui kemampuan memiliki sumberdaya financial,
informasi pasar dan jaringan usaha (Isaksen, 2006)
Aspek penting dari potensi sumberdaya manusia adalah pengetahuan yang
dapat mengubah input/sumberdaya menjadi output produksi. Pengetahuan dapat
diperoleh melalui pendidikan. Sumberdaya manusia yang meliputi keterampilan,
keahlian dan intelektual seringkali lebih penting dari sumberdaya lainnya
(Grossman and Helpman, 1991).
Modal sumberdaya manusia memainkan peran penting pada pertumbuhan
ekonomi dikarenakan sumberdaya manusia memegang kendali rantai produksi,
distribusi dan konsumsi. Pada perspektif makroekonomi, akumulasi produktivitas
sumberdaya manusia dan inovasi teknologi mendorong pertumbuhan produksi
pertanian semakin berlanjut (Penda, 2012)
Potensi peternak merupakan ukuran kemampuan peternak yang didasarkan
pada potensi dasar, potensi penyelenggaraan input produksi, potensi penyediaan
tenaga kerja, dan potensi penguasaan teknologi. Potensi yang dimiliki oleh
peternak jika dikembangkan akan menuai dampak positif terhadap usaha ternak
local. Akan tetapi potensi dasar peternak belum diaplikasikan dengan baik. Cara

pemeliharaan ternak masih kurang memperhitungkan potensi dasar peternak yang


dimiliki, penyediaan input produksi, tenaga kerja dan penguasaan teknologi
sebagai bagian keberhasilan usaha ternak (Sugiarto dan Syarifudin, 2015).
II.3. Potensi Dasar Peternakan
Di Indonesia sumber produksi daging adalah dari ternak sapi potong,
ternak unggas, kambing, domba dan sebagian kecil dariternak kerbau, sapi perah
dan kuda afkiran. Pada tahun 2004 populasi sapi potong, kerbau dan kuda masing
masing sebanyak 10,4 juta ekor, 2,5 juta ekor dan 0,4 juta ekor. Perkembangan
populasi dari ternak-ternak penghasil daging tersebut pada tahun 2004 relatif tetap
kecuali untuk populasi sapi potongyang mengalami penurunan sekitar 1%
dibandingkan tahun 2003Sementara itu, populasi ternakkambing dan domba pada
tahun 2004 masing-masing meningkat 5,7% dan 5,6% dibanding tahun 2003.
Pada periode yang sama, ternak babi meningkat 6,8%,dan ternak ayam pedaging
meningkat sebesar 4,9%.Populasi dari masing-masing ternak ayam buras, ayam
petelur dan itik tersebut pada tahun 2003 mencapai 277,4 juta ekor; 79,2 juta ekor
dan 33,9 juta ekor. Sementara, produksi telur ayam ras dan itik meningkat,
produksi telur ayam buras menurun sebesar 2,0% (Bappenas, 2005)
Di Sulawesi Selatan pada subsektor Peternakan, populasi ternak besar
pada keadaan 1 mei 2013 mencapai 1,1 juta ekor yang didominasi oleh sapi
sebanyak 973.153 ekor. Jumlah ternak besar naik 71 persen dibandingkan tahun
2003 dan menduduki peringkat 3 secara nasional. Selain itu, sebanyak 11.274
rumah tangga memelihara ternak besar bukan untuk tujuan usaha. Jumlah
populasi ternak besar yang tidak digunakan untuk usaha adalah 18 ribu ekor.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Sulawesi Selatan Tahun

2008-2028 tersirat bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki sifat dasar


mandiri, yang diharapkan mampu memanfaatkan sumberdaya alam dengan
mengandalkan

ilmu

pengetahuan

dan

kearifan

lokal

sehingga

mampu

menghasilkan produk pertanian spesifik yang memiliki keunggulan lokal.


Kebijakan sektor pertanian ini pun terusdigulirkan oleh pemerintah setempat,
seperti bantuan berbagai paket bibit pertanian. Selain itu, pemberian modal juga
dilaksanakan untuk pengembangan usaha mikro kecil dan pengembangan
wirausaha perdesaan (BPS, 2015).
Kabupaten Barru memiliki potensi untuk pengembangan ternak besar
(Sapi Bali) dan ternak unggas (Ayam Ras, Ayam Buras dan Itik). Usaha
peternakan di Kabupaten Barru dikelola oleh kelompok tani dan masyarakat
dengan volume usaha yang kecil Usaha peternakan ini berfungsi sebagai pemasok
ternak bagi daerah sekitarnya dan antar pulau, antara lain ke Kalimantan.

Di

Kabupaten Barru masih tersedia lahan potensial untuk areal hijauan pakan ternak :
58.120 Ha dan padang pengembalaan 4.813 Ha dengan kapasitas tampung
200.000 ekor. Produksi peternakan saat ini terdiri dari : Sapi Bali : 45.083 ekor
Ayam Buras : 266.163 ekor Ayam Ras Petelur : 44.170 ekor Ayam Pedaging :
901.000 ekor Itik : 87.017 ekor Potensi dan peluang investasi yang terbuka luas
bagi investor pada sektor ini adalah usaha pembibitan dan penggemukan sapi bali,
peternakan ayam dan itik (Barrukab, 2015)
II.4. Permasalahan Perencanaan Pembangunan pada Potensi Dasar
Peternakan
Berbagai kelemahan yang dihadapi dalam pembangunan peternakan dan
kesehatan hewan ditandai dengan belum dimilikinya perangkat hukum yang

terkait dengan pemberian insentif dan fasilitasi kelompok peternak dalam bentuk
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah atau Penetapan Presiden serta
peraturan perundangan lainnya. Belum optimalnya fungsi kelembagaan,
rendahnya dukungan institusi lain yang terkait dalam mendukung pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan, lemahnya koordinasi lintas sektor, rendahnya
penerapan standar mutu bibit, kurang terkendalinya persilangan ternak asli, lokal,
dan eksotik juga merupakan sisi kelemahan (Ditjennak, 2011).
Struktur industri peternakan untuk semua komoditas ternak domestik
sebagian besar (60-80 persen) tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Usaha
rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan peternak rendah,
pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi
ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil serta pengadaan
input utama yakni HMT yang masih tergantung pada musim, ketersediaan tenaga
kerja keluarga, penguasaan lahan HMT yang terbatas, produksi butir-butiran
terbatas dan sebagian tergantung pada impor (Yusdja dan Nyak, 2006).
Dari aspek teknis, kelemahan yang menghambat pembangunan Peternakan
dan kesehatan hewan antara lain proses produksi yang sebagian besar masih
tergantung pada impor (misalnya sapi perah, ayam ras petelur dan pedaging) serta
belum mantapnya program perbibitan ternak sapi potong, sapi perah, kambing,
domba, ayam lokal, dan itik. Kelemahan lainnya adalah produksi dan
produktifitas ternak yang masih di bawah kinerja yang diharapkan. Selain itu,
pada umumnya wilayah perbibitan, budidaya dan pembesaran belum dipetakan
sehingga belum mampu membentuk satu kesatuan agribisnis yang terintegrasi
dalam satu kawasan. Masalah pemberantasan penyakit hewan juga masih belum

tertangani dengan baik terutama penyakit-penyakit yang bersifat sporadis dan


belum mampu dibebaskan (Ditjennak, 2011).

BAB III

METODE PRAKTEK
III.1. Waktu dan Tempat
Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan mengenai Potensi
Dasar Peternak dilaksanakan pada hari Jumat - Minggu pada Tanggal 28-30
Oktober2016 bertempat di Desa Lampoko Kecamatan Balusu Kabupaten Barru.
III.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada Praktek Lapang Perencanaa Pembangunan
Peternakan mengenai Potensi Dasar Peternak di Desa Lampoko

Kecamatan

Balusu Kabupaten Barru sebagai berikut:


a. Data Kualitatif,yakni data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka
secara langsung yang memerlukan proses penyelidikan dengan menggunakan
kata-kata dan tindakan. Data kualitatif merupakan data yang berbentuk kalimat,
tanggapan masyarakat terhadap Potensi Dasar Peternak di Desa Lampoko
Kecamatan Balusu Kabupaten Barru.
b. Data Kuantitatif adalah data yang diukur atau dinilai dengan angka yang
memerlukan perhitungan matematis yang kemudian memberikan gambaran
atas suatu fenomena kasus yang diajukan. Data kuantitatif merupakan data
yang berupa angka-angka berdasarkan hasil kuisioner dari masyarakat yang
meliputi umur, jenis kelamin, status pekerjaan, pengetahuan atau informasi
responden di Desa Lampoko Kecamatan Balusu Kabupaten Barru.
Sumber data yang digunakan pada Praktek Lapang Perencanaan
Pembangunan Peternakan mengenai Potensi Dasar Peternak di Desa Lampoko
Kecamatan Balusu Kabupaten Barru yaitu:

a. Data Primer, yakni data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli tanpa
melalui perantara. Data ini dapat berupa opini subyek secara individu atau
kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda, kejadian atau kegiatan dan
hasil pengujian. Data Primer merupakan data yang bersumber dari hasil
wawancara langsung dengan masyarakat di Desa Lampoko Kecamatan Balusu
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Data ini meliputi identitas responden dan
pengetahuan mereka tentang Potensi Dasar Peternak.
b. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh secara tidak langsung, tetapi melalui
perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data ini berupa bukti, catatan,
atau laporan arsip yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait, dan
pemerintah setempat, seperti aparat desa, BPS, Dinas Peternakan, dan lain-lain.
Data tersebut meliputi keadaan umum lokasi meliputi gambaran lokasi
kependudukan dan ketersediaan sarana dan prasarana.
III.3. Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan pada Praktek Lapang
Perencanaan Pembangunan Peternakan mengenai Potensi Dasar Peternak di Desa
Lampoko Kecamatan Balusu Kabupaten Barru yaitu:
a. Observasi adalah proses mendapatkan informasi-informasi terhadap suatu
proses atau objek dengan maksud

mengetahui dan memahami sebuah

pengetahuan, fenomena dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya.


Observasi yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap lokasi praktek
lapang dalam hal ini masyarakat di Desa Lampoko
Kabupaten Barru.

Kecamatan Balusu

b. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan melakukan wawancara langsung


kepada masyarakat yang menjadi sampel penelitian, meliputi identitas
responden dalam hal ini nama, umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan atau
informasi responden terhadap potensi dasar peternakan dengan menggunakan
kuisioner.
c. Kuisioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan
analisis mempelajari setiap sikap-sikap keyakinan perilaku dan karakteristik
beberapa orang terutama organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem yang
diajukan atau oleh sistem yang sudah ada.
III.4. Kegiatan yang dilakukan
Kegiatan yang dilakukan pada Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan
Peternakan mengenai Potensi Dasar Peternak di Desa Lampoko

Kecamatan

Balusu Kabupaten Barru yaitu :


a. FGD (Focused Group Discussion) adalah diskusi kelompok terfokus dari suatu
kelompok untuk membahas suatu masalah tertentu dalam suasana informal dan
santai. FGD merupakan bentuk penelitian kualitatif dimana sekelompok orang
yang bertanya tentang sikap mereka terhadap produk, ide atau kemasan,
pertanyaan diminta dalam dalam grup pengaturan interaktif dimana peserta
bebas untuk berbicara dengan anggota kelompok lainnya.
b. Kuisioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan
analisis mempelajari setiap sikap-sikap keyakinan perilaku dan karakteristik
beberapa orang terutama organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem yang
diajukan atau oleh sistem yang sudah ada.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Pofil Wilayah dan Gambaran Umum Kondisi Wilayah
IV.1.1. Administrasi Wilayah

IV.2. VariabelPotensiPeternak
IV.2.1. Potensi Dasar

Berdasarkan praktek lapang yang telah dilaksanakan di Desa Lampoko


Kecamatan Balusu Kabupaten Barru didapatkan hasil potensi dasar seperti pada
tabel 1.
Tabel 1. Potensi Dasar
No
Variabel
1. Lama Beternak
>10 tahun
2. Pendidikan Formal
Tamat SD
3. Pendidikan Non Formal
Tidak Ada
4.
Kemampuan Membaca dan Menghitung
Dapat
5.
Interaksi Berkomunikasi
<1 kali Perminggu
Tspd

Nilai

Pembobot

Skor

10

2,5

25

4,25

17

2,75

10

3,75

37,5

4
83,5

Berdasarkan Tabel. 1 mengenai potensi dasar diperoleh hasil bahwa lama


beternak responden adalah > 10 tahun dengan skor 25, capaian pendidikan formal
adalah tamat SD dengan skor 17, pendidikan non formal dengan skor 0, dan
intensitas berkomunikasi dengan skor 0. Total Tspd adalah 83,5 yang termasuk ke
dalam kategori sedang. Hal ini karena peternak sudah lama dalam beternak dan
bisa membaca dan menghitung tetapi tingkat pendidikan formalnya hanya tamat
SD, tidak memiliki pendidikan non formal dan intensitas berkomunikasinya masih
kurang sehingga hal ini sangat mempengaruhi penilaian kinerja, pola pikir dan
sistem kerja peternak tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Suroto dan
Nurhasan (2014) yang menyatakan bahwa pengalaman beternak merupakan
penentu potensi peternak individu karena sangat menentukan kinerja produktivitas
yang dihasilkan peternak. Pendidikan formal sangat berpengaruh terhadap kinerja

peternak berkaitan dengan pola pemikiran dan sistem kerja. Korelasi antara
tingkat pendidikan formal sangat nyata dengan kemampuan beternak dalam
pengembangan usaha. Pendidikan non formal juga dapat meningkatkan kinerja,
yaitu dengan pelaksanaan sistem kerja yang menjadi lebih efisien. Intensitas
komunikasi peternak ini berdampak kepada peningkatan pengetahuan peternak
terhadap pengelolaan teknis maupun ekonomis usaha ternak.
IV.2.2. Potensi Dasar
Berdasarkan praktek lapang yang telah dilaksanakan di Desa Lampoko
Kecamatan Balusu Kabupaten Barru didapatkan hasil potensi tenaga kerja seperti
pada tabel 2.
Tabel 2. Potensi Tenaga Kerja
No
Jenis Tenaga Kerja
1. Dewasa Laki-Laki
Jumlah (total labor=TL)

No
Jenis Tenaga Kerja
1. Dewasa Laki-Laki
Jumlah (total labor = TL)

Jumlah
2

Jam Kerja Setara Pria (HKP)


1,0x8x2= 16 jam
16 jam

Jumlah
2

Jam Kerja Setara Pria (HKP)


1,0x8x2= 16 jam
16 jam

DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2005. Profil Pangan dan Pertanian. http://www.bappenas.go.id/files/
1313/5098/8840/bab-4.pdf.
Barrukab. 2015. Gambaran Umum Kabupaten Barru. http://barrukab.go.id/
investasi/peternakan/.
BPS. 2015. Statistik daerah provinsi sulawesi selatan. Badan pusat statistik
provinsi sulawesi selatan. Makassar.
Departemen Pertanian. 2001. Pedoman Analisis Potensi Peternak. Direktorat
Pengembangan Peternakan-Departemen Pertanian. Jakarta.
Dickenson, J. P. 1992. Geografi Negara Berkembang. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Direktorat Jenderal Peternakan 2011. Statistik Peternakan 2011. Jakarta;
Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
Grossman, G. M. dan E. Helpman. 1991. Quality Ladders in the Theory of
Growth. The Review of Economic Studies (58).
Isaksen, E.J. 2006. Early Business Performance: Initial Factors Effecting New
Business Outcomes, Phd Series, No.6, Bodo Graduate School of Business,
Norway
Kleynhans, E.P. J. 2006. The Role of Human Capital in the Competitive Platform
of South African Industries. Journal of Human Resource Management (4).

Penda, T.S. 2012. Human Capital Development for Agricultural Business in


Nigeria. International Food and Agribusiness Management Review. Volume
15 Special Issue.
Rowland B. F. Pasaribu. 2013. Perkembangan Strategi & Perencanaan
Pembangunan Indonesia. Universitas gunadarma. Yogyakarta.
Siagian, Sondang P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Bumi Aksara:
Jakarta
Sugiarto dan Syarifudin. 2015. Pengembangan Potensi Sumberdaya Peternak
Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Peternakan Kambing Skala Mikro
Di Kabupaten Banyumas. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman. Jakarta.
Suroto, K.S. dan Nurhasan. 2014. Pengaruh potensi peternak dalam
pengembangan sapi potong di kecamatan damsol kabupaten donggala.
Buana Sains. Vol.14. No. 1.
Tjokroamidojo. Handoko. 2003. Manajemen. Yogyakarta. BPFE.
Yusdja, Y dan Nyak I. 2006. Arah kebijakan pembangunan rakyat. Jurnal analisis
kebijakan pertanian. Vol. 4 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai