Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, yang tumbuh
dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah
intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk
sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik

pada konjungtiva, lapisan

bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Keadaan ini diduga
merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,daerah yang kering dan
lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian
besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari,
berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat
bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. (Voughan, 2010)
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi
juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator,yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada
pasien dengan rentang umur 20 49tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang
terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda
dibandingkan dengan pasien usia tua. Jika pterigium membesar dan meluas
sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil
kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva
dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan. (Miller, 2009)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pterigium
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap.
Pterigium didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat invasif dan degenaritif (Ilyas, 2004). Pterigium ini tumbuh
menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya
berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap kesentral kornea dan basis
menghadap lipatan semilunar pada cantus. Demikian pula menurut Ivan R.
Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General Ophthalmology,
pterigium merupakan suatu pertumbuhan berbentuk segitiga berdaging ke kornea,
umumnya di sisi nasal, secara bilateral.
2.2 Faktor Risiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium, terutama adalah lingkungan
meliputi radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di
udara dan faktor herediter. (Skuta, 2008)
2.2.1

Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan
faktor penting.

2.2.2

Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom
dominan.

2.2.3

Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
2

limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Yang juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis
factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium. (Skuta,
2008).
2.3 Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis. (Tasman, 2009)
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah
epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia. (Kanski, 2008)
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
3

yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen


abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet. (Tasman, 2009)
2.4 Klasifikasi Pterigium
2.4.1

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum

mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.


Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal

(diameter pupil sekitar 3-4 mm).


Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

Stadium 1

Stadium 2

Stadium 3

Stadium 4

Gambar 1. Pembagian Stadium Pterigium (Subramanian, 2008)


2.4.2

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


4

Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)


Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

2.4.3 Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:

T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat


T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

2.5 Gambaran Klinis Pterigium


Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun (Miller,
2009)

collum

Gambar 2. Bagian-Bagian Pterigium (Detorakis, 2009)


corpus

Pterigium memiliki
apeks tiga bagian :

Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi
dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini

juga merupakan area kornea yang kering.


Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah

lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.


Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi
dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang
5

paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan (Ardalan,


2010)
2.6 Kriteria Diagnosis Pterigium
2.6.1

Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya (Voughan, 2010)

2.6.2

Pemeriksaaan fisik
Pada pemeriksaan segmen anterior, didapatkan pterigium yang terlihat
sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium
dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterigium yang avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi kr kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal.

2.6.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
pemeriksaan slit lamp dan topografi kornea untuk menilai seberapa besar
komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
2.7 Diagnosis Banding
2.7.1

Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan

dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang


terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim
sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguekula. (Tasman, 2009)

Gambar 3. Mata dengan pinguekula


2.7.2

Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring

atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterygium, pseudopterigium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada
limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterigium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda
dengan pterigium. (Voughan, 2010)

Gambar 4. Mata dengan pseudopterigium (Edward, 2009)


2.8 Penatalaksanaan
2.8.1

Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann

konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun


paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air
mata buatan/topical lubricating drops. (Ardalan, 2010)

2.8.2

Tindakan operatif
7

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:


Menurut Ziegler :

Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suatu operasi intraokuler
Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

Progresif, resiko rekurensi > luas


Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Masalah kosmetik
Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
Terjadi kongesti (klinis) secara periodik (Skuta, 2008)

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi.


Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium
di antaranya adalah:

Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva


dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya

tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.


Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,

diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.


Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas
eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang

kemudian diletakkan pada bekas eksisi.


Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran
luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan
perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,
Illionis). (Ardalan, 2010)

Gambar 5.

Teknik Operasi

Pterigium

(Subramanian,
2008)

2.9 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan

sentral berkurang
Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat

menyebabkan diplopia
Dry Eye sindrom
Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.


Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini
bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplan membran amnion pada saat eksisi. (Detorakis, 2009)
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan
memakai kacamata pelindung sinar matahari. Pterigium adalah suatu neoplasma

yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan


kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti
riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan
memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari
(Miller, 2009).

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: NWS

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tanggal Lahir

: 18 Mei 1969

Umur

: 47 tahun

Alamat

: Br. Dinas Sarasidi

Agama

: Hindu

Suku

: Bali

Kewarganegaraan

: Indonesia

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga


10

Status

: Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 5 Januari 2016


3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Benjolan di bola mata
Autoanamnesa
Pasien datang ke poliklinik Mata RSUP Sanglah pada tanggal 5 Januari
2016 dengan keluhan adanya benjolan kecil di bola mata. Benjolan dikatakan
seperti daging tipis berwarna putih kemerahan dan terdapat pada kedua mata.
Benjolan muncul secara bersamaan kurang lebih 2 bulan yang lalu, disadari ketika
pasien bangun. Awalnya benjolan berukuran sangat kecil, hingga sekarang
bertambah besar dan terasa semakin mengganjal. Namun, keluhan ini tidak
sampai mengganggu penglihatan, sehingga pasien masih bisa beraktivitas seperti
biasa. Dikatakan pula jika melihat terlalu lama seperti menonton tv, kedua mata
sering menjadi merah dan perih.
Di keluarga dikatakan tidak ada yang memakai kacamata ataupun yang
pernah sakit mata. Pasien mempunyai riwayat penyakit kronis seperti kolesterol
dan hipertensi, namun saat ini sudah terkontrol dengan obat. Penyakit sistemik
lainnya seperti diabetes, asma, atau penyakit jantung disangkal.
Pada riwayat sosial pasien, pasien mengatakan dirinya merupakan seorang
ibu rumah tangga namun setiap hari bekerja serabutan mencari kelapa di hutan
dan sering berada diluar rumah terpapar sinar matahari dan udara luar dalam
waktu yang lama. Selama ini pasien tidak pernah sekali pun memakai pelindung
mata.
Riwayat jatuh dan terbentur sesuatu disangkal oleh pasien. Riwayat alergi
obat tidak ada, namun pasien mengatakan mempunyai alergi makanan yaitu
udang. Pasien tidak merokok. Riwayat mengkonsumsi alkohol dan penggunaan
NAPZA disangkal pasien.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
a. Kesan umum

: Baik
11

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kesadaran
GCS
Tekanan darah
Nadi
Laju respirasi
Suhu aksila

:
:
:
:
:
:

Compos mentis
E4V5M6
130/90 mmHg
80x/menit, regular, isi cukup
18x/menit, regular
36,70C

Status Generalis
a. Mata :
dijelaskan pada status ophthalmology
b. THT : kesan tenang
c. Mulut: sianosis (-)
d. Leher :
pembesaran kelenjar (-)
e. Thoraks
:
simetris (+)
Cor

: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

: vesicular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)


f. Abdomen

distensi (-), bising usus (+) normal

g. Ekstremitas
+ +

: hangat + +
- -

edema

Status Ophthalmology
OD
6/6
Normal
Jaringan fibrovaskuler

Visus
Palpebra

OS
6/6
Normal
Jaringan fibrovaskuler

melewati limbus, < 2 mm

Konjungtiva

melewati limbus, <2mm

melewati kornea
Jernih
Dalam
Bulat, regular
RP (+)
Jernih
Jernih

Kornea
Bilik mata depan
Iris
Pupil
Lensa
Vitreous

melewati kornea
Jernih
Dalam
Bulat, regular
RP (+)
Jernih
Jernih

Reflex Fundus (+)

Funduskopi

Reflex Fundus (+)

17,3

TIO
Schiotz

10,2

12

3.4 Pemeriksaan Laboratorium


Tidak ada indikasi sehingga tidak dilakukan.
3.5 Diagnosis Kerja
- ODS pterigium stadium 2
3.6 Penatalaksanaan
a) medikamentosa
tetes mata astringen 6 x 1 ODS
Vasacon A 6 x 1 ODS
Cendo xitrol 3 x 1 ODS
b) Monitoring
Kontrol 2 minggu lagi

13

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan ODS pterigium stadium II karena dari
anamnesis didapatkan benjolan seperti daging berwarna putih kemerahan pada
bola mata. Benjolan dirasakan seperti mengganjal dan tumbuh ukurannya.
Awalnya kecil menjadi semakin besar. Keluhan mata yang mengganjal ini bisa
diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa,ataupun segmen anterior.
Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebra dan adneksa, ataupun
peradangan pada konjungtiva. Tidak ditemukan adanya sekret yang berlebih.
Namun, pada pasien ditemukan adanya penebalan fibrovaskular pada konjungtiva
bulbi hingga kornea dimana hal ini dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada
mata terutama saat berkedip.
Dari pemeriksaan objektif mata, ditemukan jaringan fibrovaskular pada
bagian nasal di kedua mata. Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa
diakibatkan oleh suatu penyakit akibat pinguekula, pseudopterygium, dan
pterigium. Pinguekula dapat disingkirkan karena pinguekula tidak bisa tumbuh
hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan pertumbuhan jaringan hingga
kornea. Sedangkan pseudopterigium terjadi akibat adanya tukak kornea. Pterigium
merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini karena tampak penebalan pada
konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk segitiga dengan bagian puncak
pterygium hampir melewati pinggir pupil. Tampakan klinis ini merupakan
gambaran klinis yang khas dari Pterigium, yang pertumbuhannya biasanya dari

14

arah nasal (paling sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya
tumbuh ke arah sentral (ke arah kornea) dan berwarna kemerahan.
Menurut tinjauan pustakan,

stadium pertumbuhan pterigium dibagi

menjadi :

Stadium 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.


Stadium 2 : Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih 2

mm melewati kornea.
Stadium 3 : Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran

pupil.
Stadium 4 : Pertumbuhan pterygium melewati pupil sehinga
mengganggu penglihatan.

Pada pasien ini didapatkan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada kedua


mata yang sudah melewati limbus korrnea tetapi tidak lebih 2 mm melewati
kornea. Sehingga didiagnosis sebagai ODS pterigium stadium II.
Penanganan pada pasien ini diberikan tindakan konservatif, belum
tindakan pembedahan. Karena tindakan pembedahan biasanya dilakukan dengan
indikasi: Mengganggu visus, mengganggu pergerakan bola mata, berkembang
progresif, mendahului suatu operasi intraokuler, dan kosmetik. Pada pasien ini
visus masih normal. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya suatu gangguan dalam
penghilatan dan beraktivitas tetap normal seperti biasa. Pertumbuhan pterigium
belum mencapai pupil, sehingga tindakan pembedahan belum diperlukan.
Tindakan konservatif diharapkan dapat memberikan perbaikan, dan pasien
diminta untuk kontrol kembali untuk melihat perkembangan pterigium tersebut.

15

BAB V
SIMPULAN
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea
digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Faktor resiko yang mempengaruhi
pterigium, terutama adalah lingkungan meliputi radiasi ultraviolet sinar matahari,
iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter. Pterigium
merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang
tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak
geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh
sinar ultraviolet (Ilyas, 2004)
Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas lakilaki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun
karena faktor degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan
gejala apapun(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal,
merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari
stadiumnnya. (Skuta, 2008)
Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan
pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang
tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat
lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea
sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat
tidak diperlukan pembedahan. Dengan pengecualian pasien meminta pembedahan
dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang progresif pasien akan mengeluh tentang
irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat pertumbuhan pterigium tersebut.
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat
secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti
mengurangi resiko kekambuhan. (Ardalan, 2010)

16

DAFTAR PUSTAKA
Ardalan A, Ravi S, David L. 2010. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls
(2), hal: 131-5.
Detorakis ET, Spandidos DA. 2009. Pathogenetic mechanisms and treatment
options for ophthalmic pterygium: trends and perspectives (review). IJMM
(23), hal: 43947.
Edward, S. 2009. Curbside Consultation in Neuro-ophthalmology: 49 Clinical
Questions. USA: SlACK Incorporated.
Ilyas, S. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
hal. 116-7.
Kanski, JJ. 2008. Pterygium. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier (6) hal: 242-4.
Miller, SJH. 2009. Pterygium. Parsons Disease of The Eye. London : Churchill
Livingstone edisi ke-18, hal: 142-4.
Panduan Praktek Klinik Ilmu Kesehatan Mata. 2014. Pterigium. Denpasar :
Bagian I.K. Mata FK Unud/RSUP Sanglah, hal. 146-147
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. 2008. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology, hal: 8-13.
Subramanian,

R.

2008.

Pterygium.

Dikutip

dari:

http://www.eophtha.com/eophtha/ejo40.html
Tasman, W & Jaeger, EA. 2009. Pathology of Conjunctiva. Duanes
Ophtalmology. New York : Lippincott William and Wilkins.
Voughan & Asbury. 2010. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC, hal 119.

17

Anda mungkin juga menyukai