Disusun Oleh:
Nama
: SUTARJO
NIM
: 2083271
PROGRAM S.1/PAI/VI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa ibnu sina yang berhasil
mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah
seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia
misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain alArudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu. Setelah ia menulis buku alHasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy
al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia,
dan kemudian terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan
Abd Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik.
Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula
serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah
kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina
memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke karkang
yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina berkenalan dengan
sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl Isa bin yahya AlMasity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- Iraqi. Setelah itu
ibnu sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke
Jurjan. Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya
seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi AlThibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi
Asam al-alum al-aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan
Al-Arab. Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
1. Ilmu Akhlak
2. Ilmu cara mengatur rumah tangga
3. Ilmu tata Negara
4. Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu
pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan
kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
Pemikiran Ibnu sina dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan
dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, guru dan pelaksanaan
hukuman dalam pendidikan. Kelima aspek yang dikemukakan Ibnu Sina ini dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan
budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan
pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya
sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan
hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala
sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan
menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk mencapai kebahagiaan (saadat).
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan
kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat,
memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran
hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan,
sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui
mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak
yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu
Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-quran, pelajaran
agama, pelajaran syair dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di
samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan
ayat-ayat al-quran, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari
agama islam seperti pelajaran fasi Al-Quran, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan
pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-quran. Selain itu pelajara
membaca dan menghafal Al-Quran juga mendukung keberhasilan dalam
mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Quran berarti ia telah
menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-quran.dengan demikian
penetapan pelajaran membaca Al-quran tampak bersifat startegis dan
mendasar, baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun
dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan
Ibnu Sina sendiri.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina
mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran
tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan
perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara
demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut
dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan
jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu
Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional,
yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang
dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing
oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap
difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat
dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman
pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia
coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia
menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan
menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
3. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada
setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina
selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik.
Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu
materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacammacam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan
berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus
disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara
4. Konsep Guru.
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang
guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang
baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak,
cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok
dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan
suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu
sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya,
cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat dalam
penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah
mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah
membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan
sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak,
oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik,
contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk
dalam jiwa anak yang menirunya.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam
kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat
menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm
dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari
sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak
suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar
pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan
hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling
diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control
secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan
sesuai dengan tujuan pendidikan.
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang
ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa
atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh
dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang
menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
C. Analisis
Konsep pendidikan Ibnu Sina ini masih sangat relevan sekali untuk
diaplikasikan di zaman sekarang, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu
Sina ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di sekolah-sekolah
Unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan seperti yang
diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan pendidikannya sampai kriteria
seorang guru yang diharapkan dalam pendidikan Islam. Hal ini nampak bahwa
konsep pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina benar-benar
mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.
10
pendidikan pada waktu itu, secara keseluruhannya adalah jauh dari kaku.
Rahman, mengatakan seorang pemikir abad kedelapanbelas, Syah Waliyullah
(w.1174 H/1761 M) telah meninggalkan warisan kurikulumnya sendiri dalam
sketsa otobiografinya? Kurikulum tersebut meliputi matematika, astronomi
dan kedokteran. Karena itu, sistem madrasah tidak mewakili keseluruhan
pendidikan Islam. Karena Syah Waliyullah tidak pernah belajar di madrasah,
tetapi hanya belajar privat di rumah dengan ayahnya.
3. Pemikiran "Rahman" Tentang Pendidikan Tinggi Islam
Esensi "Pendidikan Islam", menurut Rahman tidaklah memaksdukan
perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti
buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah
apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam", karena bagi
Rahman inilah esensi pendidikan tinggi Islam. Ia adalah pertumbuhan suatu
pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria
untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam.
Perumusan pemikiran pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan kepada
metoda penafsiran yang benar terhadap al-Qur'an. Mengapa masalah al-Qur'an
harus ditempatkan sebagai titik pusat intelektualisme Islam.
Jawabannya karena bagi Muslim al-Qur'an adalah kalam Allah yang
diwahyukan secara harfiah kepada Nabi Muhammad, dan barangkali tidak ada
dokumen keagamaan lain yang dipegang seperti itu (Fazlur Rahman, 1982: 1).
Proses penafsiran yang diusulkan terdiri dari suatu gerakan ganda, dari situasi
sekarang ke masa al-Qur'an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini.
Karena al-Qur'an adalah respons ilahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi,
kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi.
Gerakan ganda yang dikemukakan "Rahman" terdiri dari dua langkah.
Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan
dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur'an
tersebut merupakan jawabannya. "Kedua", menggeneralisasikan jawabanjawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan
yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayatayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio kultural dan rationes legis
yang sering dinyatakan. Sedangkan Intelektualisme Islam yang dimaksud
yaitu suatu sisi bertolak dari ajaran Islam yaitu Qur'an dan Hadits oriented,
dan sisilain dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu pengetahuan
kontemporer.
Rahman, menawarkan perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi
Islam haruslah didasarkan dan berangkat dari pemahaman yang benar dan
pendalaman terhadap al-Qur'an, yang berfungsi sebagai petunjuk atau
inspirasi bagi generasi muda Islam. Disertasi DR. 'Abdul Rahman Salih,
tentang pendidikan berdasarkan al-Qur'an, karena "cara hidup Islami
ditentukan dalam al-Qur'an; mengikuti ini, maka fondasi-fondasi teori
pendidikan Islam pada dasarnya diambil dari al-Qur'an. Pendekatan apa pun
yang mengabaikan fakta fundamental ini pasti akan meng-hasilkan persepsipersepsi yang tidak akurat".
Rahman, terdapat kesadaran yang luas dan kadang-kadang mendalam
akan adanya dikotomi dalam pendidikan, namum semua upaya ke arah
integrasi yang asli sejauh ini, pada umumnya tidak membuahkan hasil.
Rahman, mengatakan perlu mencermati ciri-ciri pokok upaya-upaya yang
dilakukan untuk memperbahrui pendidikan Islam. Pada dasarnya ada dua segi
orientasi pembaharuan. Salah satu pendekatannya menerima pendidikan
sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di Barat dan
mencoba untuk "mengislamkan"nya yakni mengisi dengan konsep kunci
11
tertentu dari Islam. Pendekatan ini memiliki dua tujuan: Pertama, membentuk
watak pelajar-pelajar/mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam
kehidupan dan masyarakat, dan kedua, untuk memungkinkan para ahli yang
berpendidikan modern untuk menamai bidang kajian masing-masing dengan
nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi; menggunakan
perspektif Islam, untuk mengubah di mana perlu baik kandungan maupun
orientasi kajian-kajian mereka.
Menurut Ahmad Syafii Maarif (1997: 1), jika proposisi ini atau
pendapat "Rahman" dapat diterima, maka paradigma baru pendidikan tinggi
Islam haruslah tetap berangkat dari pemahaman yang benar dan cerdas
terhadap Kitab Suci itu, yang berfungsi sebagai petunjuk, pencerahan,
penawar, sekalipun kemungkinan resikonya adalah bahwa beberapa bangunan
pemikiran Islam klasik harus ditolak atau diperkarakan. Cara ini terpaksa
ditempuh karena semua bangunan pemikiran tentang: filsafat, teologi,
sufisme, sistem hukum, moral, pendidikan, sosial budaya, dan politik, pasti
dipengaruhi oleh suasana ruang dan waktu. Analog dengan ini, maka hasil
pemikiran kitapun juga akan diperkarakan oleh generasi sesudah kita kalau
ternyata hasil pemikiran itu dinilai telah kehilangan kesegaran dan elan vital
untuk menjawab persoalan-persoalan zaman yang salalu berubah.
Lebih lanjut, Ahmad Syafii Maarif (1997 : 3) mengatakan bahwa salah
satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang
diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang
sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk "bernyanyi" di bawah payung
kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti otoriter.
Proses penyadaran kembali terhadap tanggung-jawab global umat
ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang
diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan
segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap
samasekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya
di seluruh negeri Muslim. Rahman, melihat ada dua arah upaya-upaya
pembaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan. Dalam satu arah,
pembaharuan ini telah terjadi hampir seluruhnya dalam kerangka pendidikan
tradisional sendiri. Perubahan ini sebagian besar digerakkan oleh fenomena
pembahruan
pra-modernis,....pembaharuan
ini
telah
cenderung
"menyederhanakan" sillabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya sarat
dengan materi-materi "tambahan yang tak perlu" seperti theologi zaman
pertengahan, cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika). Pada arah kedua,
suatu keragaman perkembangan telah terjadi, yang bisa diringkas dengan
mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut semuanya
mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang
pengetahuan modern dengan cabang-cabang pengetahuan lama. Dalam kasus
seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang
lingkup kurikulum. Rahman, melihat atau catatan percobaan di Indonesia,
ditunjang dengan pelajaran-pelajaran sore hari yang diselenggarakan menurut
cara pendidikan rendah modern dari sekolah-sekolah masa kini dengan
demikian memperpanjang jam belajar dan bukannya menambah jumlah tahun
belajar. Sedangkan pada tingkat akademi, dalam percobaan di Indonesia,
upaya-upaya ditujukan pada penggabungan ilmu-ilmu modern dengan ilmuilmu tradisional. Banyak lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah
menekankan pelajaran bahasa Arab, dan banyak mahasiswa dan sarjana
Indonesia bisa berbicara secara lancar dengan bahasa Arab klasik. Banyak
lembaga pendidikan Islam Indonesia mengadakan hubungan dengan al-Azhar
melalui guru-guru besar tamu yang datang dari al-Azhar. Selain itu sejumlah
12
13
14
KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Konsep pemikiran pendidikan Ibnu Sina yaitu:
a. Pendidikan berbasis mutu: telaah atas pemikiran Ibnu Sina adalah pendidikan
yang berupaya untuk membentuk insan kamil (manusia sempurna) yaitu
mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Adapun
konsep pendidikan Islam menurut Ibnu Sina adalah:
1) Tujuan pendidikan ini lebih diarahkan pada pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki oleh peserta didik menuju ke arah perkembangan
yang sempurna yakni perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti
serta pendidikan keterampilan dengan upaya untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat hidup di masyarakat
2) Dalam pembuatan kurikulum Ibnu Sina mendasarkan pada tingkat
perkembangan usia anak didik. Sehingga konsep kurikulum yang
ditawarkan oleh Ibnu Sina terdiri dari tiga ciri.
3) Dalam penggunaan metode pengajaran Ibnu Sina menyesuaikan dengas
sifat materi tersebut, sehingga antara materi dan metode akan terintegrasi.
Adapun metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina terdiri dari; metode
talqin, metode demonstrasi, metode pembiasaan dan teladan, metode
diskusi, metode magang serta metode penugasan.
4) Menurut Ibnu Sina seorang guru harus memiliki wawasan keagamaan dan
etika. Berkepribadian yang kokoh, memiliki kecerdasan dan retorika yang
baik, dapat menggunakan metode, media dan strategi yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik serta berkompetensi profesional dalam
pembentukan kepribadian anak.
2. Sementara Rahman, (1) menawarkan perumusan pemikiran konsep pendidikan
tinggi Islam yang hendak dikembangkan haruslah dibangun di atas sebuah
paradigma yang kokoh spritual, intelektual, dan moral dengan al-Qur'an sebagai
acuan pertama dan utama. Karena dengan paradigma model inilah akan
membangun peradaban akan datang yang unggul secara intelektual, anggun
secara moral yang berdasarkan al-Qur'an. (2) Tawaran kurikulum yang sifatnya
terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Karena itu, Rahman sangat
menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan
gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alatalat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "mem-bangun suatu
pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an". Maka, Rahman memandang penting
keterlibatan sains-sains sosial dalam khasanah pendidikan Islam.
15
DARTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam
Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.
--------, Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia,
Pustaka, Bandung, 1984.
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sain (sebuah Pengantar),
Pengantar dalam buku; Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,
Terj. H.Afandi dan Hasan Asari, Logos Publishing House, Jakarta, 1994.
Dikir.wordpress.com, konsep-pendidikan-ibnu-sina. /2009/07/30/
Digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/152/hubptain-gdl-wahyunido1-7574-6-babv.
Ghufron A.Mas'adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. II
2001)
16