Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini proses pendidikan lebih bertumpu pada program yang
meliputi tujuan, metode dan langkah-langkah evaluasi. Pendidikan dalam rangka
menerima suatu generasi sesuai dengan perkembangan fitrah yang dimiliki masing-
masing individu peserta didik/anak. Dalam strategi pelaksanaan pendidikan di
sekolah, terdapat tiga variabel utama yang menentukan proses pembelajaran. Yaitu
terdiri dari kurikulum, guru dan pengajaran1.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, akhir-akhir ini sering timbul bahwa salah
satu kelemahan dari sistem pendidikan sekarang ialah kurang mampunyai
pendidikan dalam memberikan pembinaan akhlaq kepada peserta didik. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut, perlu dikembangkan strategi pendidikan dengan
mengalai materi-materi akhlaq yang terdapat dalam agama-agama yang dipeluk
bangsa ini, sehingga sistem pendidikan tidak terlalu mengambang kepada
behaviorisme yang dangkal, yang tidak mampu menghidupkan motif-motif yang
dapat menggerakkan dan melahirkan pola tingkah laku yang inspiratif. Sistem
pendidikan yang bersifat inspiratif ini sendiri lebih banyak diperoleh dalam motif-
motif keagamaan dan humanitis 2
Konsepsi pendidikan, selama ini masih lebih diwarnai oleh pengertian
pendidikan sebagai bimbingan sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik/anak didik menuju terbentuknya manusia yang

1
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar-Mengajar, (Bandung; Sinar Baru Algesindo,
1998) hal.1
2
Zamakhsyari Dhofir, Lembaga Pendidikan Islam dalam Perspektif Nasional, PRISMA,9
September 1983, hal.13

1
sempurna.3 Menurut Imam Barnadib, pendidikan diartikan sebagai usaha untuk
membimbing atau mengarahkan anak-anak menjadi manusia dewasa.4
Dari kedua pengertian di atas ada dua kata kunci yang perlu menjadi titik
perhatian, yaitu orang dewasa (pendidik) dan anak-anak (peserta didik). Kedua
merupakan faktor utama terjadinya proses pendidikan, sementara faktor-faktor
pendidikan yang lain seperti tujuan, materi dan lingkungan dapat diciptakan oleh
keduanya.
Belum lagi persoalan mendasar yang menghinggapi masyarakat modern
dengan “kebebasanya” diberbagai wilayah kehidupan membawa dapak negatif,
yakni terjadinya kemerosotan moralitas masyarakat. Tak pelak dunia pendidikan
menjadi sorotan utama dan sekaligus tumpuan jawaban bagi masyarakat.
Selain pendidikan, Dr Abdullah Nashih Ulwan mengatakan manusia tidak
bisa hidup tanpa hukum.5 Karena hukum merupakan aturan tata tertib atau undang-
undang yang harus ditaati dan dijalankan untuk kemasalahatan manusia itu sendiri.
Dalam dunia anak perbuatan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang
salah, tetapi agar yang menyebabkan manusia/anak melanggar hukum sehingga dia
harus menerima sanksi atas perbuatanya dengan suatu hukuman, terlebih dahulu
kita harus memahami sifat anak dan manusia pada umumnya yang mempunyai dua
potensi dasar, pertama potensi positif (fitrah), kedua potensi negatif (nafsu).
Sehingga dalam menerapkan sanksi atau hukuman terhadap anak dapat
dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan.
Berangkat dari pengalaman dilapangan tentang penerapan sanksi
hukuman dalam dunia pendidikan yang kurang begitu diperhatikan kadang-kadang
mereka “pendidik” tidak hati-hati dan ceroboh dalam memberikan sanksi hukuman
bahkan menyamaratakan semua anak yang bersalah/melanggar aturan dengan
sanksi hukuman yang sama. Padahal maksud dan tujuan hukuman adalah untuk
3
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung; PT.Al Ma’arif,
1986),hal.
4
Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta; FIP IKIP I, 1987),
hal. 25

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul-Aulad Fil Islam (terj.) Saifullah Kamalie, et.al.
5

Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy Syifa’, 1993), hal. 147

2
perbaikan dan peningkatan moral dan harus dilakukan dengan penuh bijaksana
serta kasih sayang bukan balas dendam.
Begitu pentingnya pendidikan, tidak sedikit para ahli pendidikan yang
memberikan kontribusi pemikirannya. Termasuk Ibn Sina belum berpendapat
pendidikan agama merupakan landasan bagi terciptanya tujuan pendidikan
akhlak.6 Untuk itu, untuk menyiapkan manusia yang berakhlak dan mencapai
kebahagiaan, beliau juga merumuskan pendidikan anak, mulai dari pendidikan
kepribadian/pendidikan kerumahtanggaan, kemasyarakatan, pendidikan manusia
secara umum serta pendidikan keakhiratan. 7 Selain itu Ibn Sina memberikan
tawaran bila terpaksa seorang pendidik memberikan sanksi hukuman maka
hendaknya bertujuan untuk perbaikan dan tuntutan bukan hardikan dan balas
dendam. Dalam hal ini penulis hanya akan sedikit mengupas tentang kakekat
hukuman dalam dunia pendidikan awal dan bukan membahas hukum-hukum yang
lain seperti hudud, qisas dan fa’zir yang ada dalam syariat Islam.

B. SEKILAS TENTANG IBN SINA & KARYA-KARYANYA


1. Biografi Ibn Sina
Nama lengkapnya dan julukannya Syaikh Ar Rais Abu Ali Al Husaini
Bin Abdullah Ibn Sina. Beliau dilahirkan di desa Kharmailsan tahun 370 H
atau 989 M. Ayah Ibn Sina adalah seorang tokoh di desa Kharmailsan sebuah
desa dekat dengan kota Bukhara dan pernah menduduki pegawai tinggi pada
pemerintahan dinasti Samasu. Dalam Autobiografi Ibn Sina memulainya
dengan mengatakan :”Ayahku seorang penduduk Balakh”. Ia pindah ke
Bukhara pada zaman pangeran Nuh Bin Manshur. Sedangkan ibunya bernama
Safarah, beliau berasal dari desa Afsanah, menurut Autobiografinya yang
disusun oleh muridnya Al Jurjani.8

6
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam. Terj. M.
Arifin, (Jakarta: Renika Cipta, 1994) hal. 121
7
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996) hal. 137
8
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Pokok-Pokok Pikiran Ibn Sina Tentang Pendidikan,
(terj.) Syamsudin Asyrafi, et.al, (Yogyakarta, 1994), hal. 2

3
Pada umur 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran Al Qur’an sastra
dan bahasa arab, kemudian ia belajar ilmu fiqih pada seorang guru bernama
Ismail yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud. Disamping itu ia juga
belajar matematika dan ilmu ukur pada Ali Abu Abdullah an Natili. Setelah itu
ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku syarh
hingga ia menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari
buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu
kedokteran. Dalam usia 17 ada yang mengatakan 18 ia dikenal sebagai dokter,
ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh Sultan Nuh bin Mansyur untuk
mengobati penyakitnya dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian
ini merupakan awal mula hubungan dengan sultan tersebut, yang kemudian
memberi kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan dalam
perpustakaannya. Dengan kekuatan daya ingatnya yang luar biasa ia dapat
mengingat isi sebagian besar buku-buku tersebut.kemudian ia menulis bukunya
yang pertama untuk pangeran Nuh perihal psikologi menurut metode
Aristoteles yang berjudul Hadiyyatur Rois Ilal Amir (hadiah Ibn Sina kepada
Amir).9
Kebiasaan Ibn Sina bila menemukan masalah dan sulit dipecahkan maka
dia segera berwudu lalu menuju kemasjid untuk melakukan shalat dan berdo’a
kepada Allah dan mohon diberikan petunjuk terhadap persoalan yang
dihadapinya.10
Ibn Sina bukan orang yang hidup menjauhkan diri dari kesenangan
diniawi. Ia hidup di dalam menara gading sambil berkecimpung dalam
kehidupan politik. Ia pernah menjabat Wazir (setaraf dengan menteri) dan
pindah dari suatu negeri ke negeri lain untuk menyumbangkan pikirannya pada
beberapa pangeran yang berkuasa. Ia dingkat oleh Sultan Samsud-Daulah
sebagai Wazir di Hamdan dan di Isfahan ia diangkat pula jadi Wazir oleh
Sultan ‘Ala’udin Ad Daulah. Siang hari ia sibuk dengan urusan kenegaraan dan

9
Ahmad Fuad al-Ahwani, Fisafat Islam, (terj.) (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997,) hal. 87
10
Syamsudin Asyrafi, et.al., op-cit., hal. 6

4
malam hari ia sibuk menulis buku dan memberikan pelajaran kepada muridnya.
Beliau meninggal pada tahun 428 H/ 1036 M.11
2. Karya-Karya Ibn Sina
kehidupan Ibn Sina penuh dengan aktifitas dan kerja keras. Kendatipun
demikian sibuk dengan urusan negara. Ibn Sina termasuk seorang filsafat yang
sangat produktif menulis, karangannya tentang berbagai ilmu pengetahuan
sangat terkenal dan dijadikan sebagai rujukan atau pustaka sampai saat ini.
Diantara karya-karya Ibvnu Sina yang terkenal:
1. Al Qonun Fi Al- Thib (dasar-dasar ilmu kedokteran).
2. Isyarat .
3. Asy Syifa (pokok-pokok pikiran filsafat).
4. An Hayat.
5. Al falsefil Al Masyaraqiyyah (belum selesai beliau wafat).12
Ibn Sina merupakan tokok intelektual Islam abad kejayaan Islam yang
telah memberikan kontribusi ilmu pengetahuan yang tiada terhingga bagi
perkembangan umat Islam dari zamannya hingga berikutnya, baik bagi dunia
barat maupun dunia timur. Tidak sedikit karya monumental yakni tercacat tidak
kurang dari 250 bahkan ada yang menulis sekitar 276,13 judul buah karyanya
yang hingga masa Renaisance masih dipergunakan sebagai referensi utama
dalam dunia pendidikan, terutama didunia barat.14
Di dunia modern seperti sekarang, pendidikan anak juga dituntut untuk
dapat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Karena relevansi pendidikan
antar zaman dapat menjadi tolak ukur atau indikator laju perkembangan ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban manusia pada masa itu, kiranya
perlu diketahui kontribusi pemikiran yang menyangkut permasalahan
pendidikan zaman dulu untuk menemukan relevansi perkembangannya dengan
ilmu pengetahuan modern.

11
Ahmad Fuad al-Ahwani, op cit. hal. 88
12
Ahmad Fuad al-Ahwani, op cit. hal. 89
13
Charles Michel Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam dan Perannya dalam Kemajuan
Ilmu Pengetahuan, ed. Azyumardi Azra, (jakarta: Logos, 1994), hal. 108
14
Jalaluddin dan Usmad Said, op cit., hal.136

5
C. POKOK-POKOK MASALAH
Berdasar latar belakang diatas, berbagai hal yang perlu dibahas dalam
makalah ini :
1. Bagaimana pendidikan anak menurut Ibn Sina
2. Bagaimana hakekat hukuman pada anak dan terapinya menurut Ibn
Sina
3. Masih relenvasikah pendidikan dan hukuman pada anak dalan
pandangan Ibn Sina dengan pendidikan modern sekarang.

D. LANDASAN TEORI
Manusia telah dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi
dasar atau fitrah yang harus diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan dalam
kehidupanya di dunia ini yaitu melalui proses pendidikan.
Pendidikan merupakan sarana atau alat untuk merealisasikan tujuan hidup
orang secara universal walau disebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam lebih
meletakkan tekanan pada kemampuan manusia untuk mengelola dan
memanfaatkan potensi pribadi, sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup
di dunia sampai dengan di akhirat.
Pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan
melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya dan memperkaya diri dengan
khazanah ilmu pengetahuan tanpa mengenal batas, namun juga menyadari
bahwa hakikat kesetaraan hidup dari pemikiran ilmu pengetahuan dimaksud
tetap bersumber dan bermuara kepada Allah Swt.
Dalam hal ini, hakekat cita-cita pendidikan adalah melahirkan manusia-
manusia beriman dan berpengetahuan.

6
Menurut Harun Nasution manusia itu mempunyai bermacam-macam alat
potensial dengan kemampuannya yang sangat unik.15 Menurut dia bahwa diri
manusia itu terdapat tiga macam jiwa yaitu: (1) jiwa tumbuh-tumbuhan (al
Nafs al-Nabitiyah) yang terdiri dari tiga daya: daya makan, daya tumbuh dan
daya membiak.. (2) jiwa binatang (al Nafs al Hayawaniyah) yang memiliki dua
daya penggerak dan daya menserap. Daya penggerak bisa berwujud nafsu
sahwat & amarah, sedangkan daya menserap dapat berwujud menserap diri dari
luar melalui panca indra lahir seperti penglihatan, pendengaran,
penciuman,perasaan, lidah dan tubuh. (3) jiwa manusia (al Nafs al-Insaniyah)
yang mempunyai daya pikir (akal). Dan akal disini terbagi dua; yaitu akal
praktis, yang dapat menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra
pengingat yang ada pada jiwa, dan akal teoritis yang dapat menangkap arti-arti
mereka yang tak pernah ada dalam materi seperti roh, Tuhan dan Malaikat.
Demikian uniknya manusia dibeeri alat-alat potensial dengan berbagai daya
dan kemampuan yang dimilikinya dan merupakan karunia Allah yang harus
disyukuri. Pendidikan dalam Islam berusaha untuk mengembangkan alat-alat
potensial itu dengan seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai
sarana bagi pemecahan masalah kehidupan. Pengembangan ilmu pengetahuan
& teknologi serta menanamkan dalam mengembangkan sikap Iman.
Syeaikh Ahmad Musthofa Al Maraqhi dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa manusia itu telah diberi hidayah oleh Allah bertingkat-tingkat. 16
Pengertian hidayah ini menurut Muh. Rosyid Ridlo, dialah petunjuk halus yang
memudahkan seseorang untuk mencapai sesuatu yang dicari atau mencapai
tujuan. Adapun hidayah itu bermacam-macam, antara lain: (1) Hidayah al-
Ilhani (instinet) yaitu denyut hati yang terdapat dalam bakat manusia maupun
binatang, termasuk didalamnya doronmgan tersebut adalah berdasarkan
pikiran. (2) Hidayah al Hawasi (indra) yaitu alat badani yang peka terhadap
rangsangan dari luar, meliputi al Bashirah (penglihatan), As Sam’iyah
(pendengar), Hassa al Tha’mi (pengecap), Hassah al Syum (penciuman) dan

15
Harun nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: 1986), hal. 11
16
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir al- Maraghi, (Mesir: 1966), hal. 11

7
Hassah al Lams (perabaan). (3) Hidayah Agama atau Hidayah al Adyani, (4)
Hidayah Al Aql (hidayah akal) dan (5) Hidayah At Taufiq. Untuk hidayah
pertama & kedua dianugrahkan kepada manusia dan hewan. Sedangkan
hidayah ketiga sampai dengan kelima hanya diberikan khusus kepada
manusia.17
Selain itu dalam diri manusia ada aspek p[pinting yang harus
diperhatikan dalam pendidikan yaitu fitrah manusia. Pemahaman tentang fitrah
manusia bisa ditelaah dari ajaran Al Qur’an S. Rum ayat 30.

Bahwa agama Islam bersesuaian dengan benar dengan fitrah manusia.


Balikan segala perintah dan larangan dalam agama sangat erat berhubungan
dengan fitrah manusia. Dilihat dari aspek tersebut maka fitrah manusia banyak
ragamnya, antara lain: (1) fitrah beragama, fitrah merupakan potensi bawaan
yang mendorong manusia untuk selalu tunduk dan patuh pada penciptanya.
Fitrah ini merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan
fitrah-fitrah lainnya. (2) fitrah berakal budi, merupakan potensi bawaan yang
mendorong manusia untuk berfikir & berzikir dalam memahami kebesaran
sang pencipta. (3) fitrah kebersihan dan kesucian. (4) fitrah bermoral
(berakhlak) yang mendorong untuk komitmen terhadap moral, nilai-nilai dan
aturan serta hukum-hukum yang melalui. (5) fitrah kemerdekaan, mendorong
manusia untuk bersikap bebas dan tidak mau terbelenggu dan diperbudak oleh
yang lain. (6) fitrah keadilan. (7) fitrah individu yang mendorong untuk
bersikap mandiri, bertanggung jawab, mempertahankan harga diri &
kehormatannya serta harta bendanya. (8) fitrah sosial, mendorong manusia
untuk hidup bersama, slaing menolong & membantu. (9) fitrah seksual,
mendorong manusia untuk mengembangkan keturunan. (10) fitrah ekonomi &

17
Muhaimin, op-cit., hal. 13

8
politik, mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan berusaha
menyusun kekuasaan untuk melindungi kepentinganya.18
Dari beberapa potensi dasar yang dimiliki seperti alat-alat potensi dari
fitrah dasar, maka harus ditumbuhkembangkan secara maksimal & terpadu
melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Namu demikian dalam realitas
yang ada pertumbuhan & perkembangan manusia tidak bisa lepas dari adanya
hukum & aturan-aturan yang pasti.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan manusia mendapatkan hukuman
karena perbuatan manusia itu sendiri, yaitu:
1. Manusia itu amat bodoh dan dholim, seperti disinyalir dalam Q S. Al
Ahzab ayat 72. “Sesunguhnya manusia itu amat dholim & amat bodoh”.
Maksudnya manusia itu menganiaya dirinya sendiri, sifat membangkang,
tidak mau meletakkan sesuatu pada tempatnya/ tidak proporsional, tidak
taat dan tunduk kepada aturan dan ajaran Allah & Rosulnya. Sehingga
merugikan diri sendiri. Walaupun sudah dibekali berbagai alat potensi dan
fitrah untuk ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan dan
diaktualkan dalam kehidupan nyata, namun banyak pula yang acuh tak
acuh dan masa bodoh melakukannya. Pemberian amanat oleh Allah ia
khiyanati, tidak melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Yang berakibat
menimbulakan malapetaka membahayakan dirinya sendiri maupun
masyarakat lain dan lingkungan hidup.
2. Manusia adalah mahluk yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan
melaikan pemberian dari Allah. Karena itu tidak sepantasnya manusia
bersifat sombong dan takabur serta lupa diri.
3. Manusia adalah mahluk yang banyak membantah dan mementang ajaran
agama. Potensi panca indra dan akal pikiran digunakan untuk membantah
dan menentang kebenaran.
4. Manusia itu bersifat tergesa-gesa, mengambil jalan pintas dalam meraih
sesuatu atas dorongan hawa nafsu ddan menuntut suatu kebaikan dan
18
Muhaimin, et al., Belajar Sbagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1991), hal. 73

9
keuntungan apa saja dengan segera tanpa melalui proses yang harus
dikerjakan.
5. Manusia adalah banyak salah dan mudah lupa atau lalai.
6. Manusia sering mengingkari nikmat & mengingkari kebenaran.
7. Manusia itu mudah gelisah, banyak keluh kesah, mengerutu serta kikir.
Maksudnya mudah cemas dan tidak tabah dalam menghadapi ujian, cobaan
dan musibah. Sehingga keseimbangan mental hilang saat diberi musibah
dan saat di uji mendapat rizki melimpah menjadi serakah dan rakus.19
Dari berbagai sifat negatif dan kelemahan tersebut maka akan
menyadarkan diri untuk memperhatikan eksistensinya yang serba terbatas.
Oleh karena itu, pendidikan mempunyai tugas untuk membimbing, meluruskan
dan mengarahkan supaya menyadari atas kesalahan dan kealpaan serta
meningkatkan dan mengembalikan sifat- sifat positif, tentram kembali dalam
jiwa. Sanksi atau hukuman pada hakekatnya adalah untuk memperbaiki
perilaku dan memelihara segala bentuk kerusakan serta menghindari kesesatan.

19
Muhaimin, op cit., hal. 27

10
BAB II
PENDIDIKAN DAN HAKEKAT HUKUMAN ANAK
DALAM PANDANGAN IBN SINA

A. PENDIDIKAN ANAK
Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya
keterbatasan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang yang mampu dan
mau membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya, terutama dalam
mengajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang selalu berkembang dan
dituntut perkembangannya bagi kepentingan manusia.
Dengan demikian, berkenan dalam konsep pendidikan anak dalam
prespektif Ibn Sina, pendidikan anak harus mencapai akhlak yang mulia dan
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam pemikirannya mengenai pendidikan ia tulis dalam bukunya
Risalah as-Syiyasah. Dijelaskannya bagaimana orang tua mengasuh anaknya.
Banyak buah pikirannya yang berharga dan patut kita pegangi, antara lain:
1. Adalah memberi nama dengan nama yang baik, memilih murdhiah
(pembantu yang menyusui) yang baik, jangan yang bodoh, yang jahat
perangainya atau yang berpenyakitan karena air susu memberi gizi.
2. Apabila anak berhenti menyusui (kira-kira fase pendidikan kanak-
kanak) mulailah mendidiknya dan membina budi pekertinya, sebelum
anak itu memperoleh sifat-sifat yang tercela dan tabiat yang buruk,
bila tabiat yang buruk itu sudah terlanjur dimilikinya, maka amat
sukarlah menghilangkannya dari anak tersebut.
3. Dalam bukunya Risalah as-Syiyasah tersebut, Ibn Sina
menyampaikan pula pikirannya bila anak sudah besar (fase sekolah
dasar). Katanya “bila persendian-persendian anak /tubuh sudah mulai
kuat, percakapannya sudah lurus, sudah siap menerima pengajaraan

11
maka mulailah mengajarkan Al-Qur’an, pelajaran belajar menulis dan
pelajaran- pelajaran agama. Patut pula diajarkan puisi-puisi (syair-
syair) yang pendek, ringan dan mudah dihafal, sesudah itu barulah
puisi-puisi yang panjang. Kandungan-kandungan syair itu hendaklah
berisikan tentang adab kesopanan, pujian terhadap ilmu pengetahuan,
dan celaan terhadap kebodohan serta dorongan berbuat kebaikan
kepada orang tua, dan berbuat kebajikan, menghormati tamu dan lain
sebagainya yang maksudnya pembinaan mental dan budi pekerti yang
mulia. Bila anak sudah menyelesaikan pelajaran Al-Quran serta
hafalan kaidah-kaidah bahasa, mulailah diperhatikan
minatnya/kecondongannya kepada keterampilan/kepandaian dan
bimbinglah jalan kearah itu.
4. Alat-alat pendidikan budi pekerti diketemukannya pula beberapa
hadiah dan hukuman, kelembutan dan kekerasan, dia jelaskan waktu
yang tepat untuk mempergunakan hukuman badan dan bagaimana
menerapkannya. Ibn Sina sangat menekankan pembinaan anak,
dengan menganjurkan: “agar para pendidik menjauhkan anak
didiknya dari akhlak yang buruk, dan kebiasaan yang jelek dengan
jalan/cara taqrib atau targib” (pemberian ancaman dan harapan)
dengan lunak atau kasar, dengan jalan meperdulikan atau
membiarkan, sesekali memberikan pujian atau celaan. Cara-cara
tersebut dipergunakan bila dipandang sudah cukup. Namun
seandainya masih memerlukan pukulan tidaklah dilarang, asal
pukulan pertama itu sedikit menyakitkan sebagaimana pendapat
cendikiawan sebelumnya, jika pukulan pertama itu terlalu sakit, anak
berburuk sangka terhadap pukulan berikutnya, lalu bertambahlah
ketakutannya pada pukulan itu. Jika pukulan pertama itu ringan, anak
akan berbaik sangka kepada pukulan yang akan datang.
5. Pendidikan sekolah dipandang beliau punya banyak kelebihan dari
pada pendidikan keluarga. Seharusnya anak-anak di sekolah berteman
dengan teman-teman yang memilki adab kesopanan dan kebiasaan-

12
kebiasaan yang baik dan menyenangkan. Anak-anak itu satu sama
lain saling mempengaruhi, saling mengajar, saling memberi dan
menerima. Seorang anak yang menyendiri, hanya bergaul dengan
gurunya, suasana itu lekas membosankan bagi mereka berdua, maka
bilamana guru memberikan pelajaran dan suka komunikasi dengan
anak-anak dengan silih berganti, sekali dengan anak ini lain kali
dengan anak yang lain maka hal itu melenyapkan kelesuan dan
menciptakan kesegaran serta mendorong anak rajin belajar. Sekali-
kali gruru menyandung anak atau membesarkan harapan mereka atau
sekali-kali melecehkan ambisi mereka. Guru juga hendaknya
mengadakan percakapan-percakapan dengan anak-anak, karena
berbincang-bincang itu membuka pikiran mereka dan menghilangkan
belenggu pemahaman pada mereka.
6. Anak-anak suka bercakap-cakap tentang hal-hal yang menarik
perhatiannya, yang asing bagi mereka. Maka percakapan demikian itu
akan tertanam dalam ingatan dan akan meninggalkan kesan yang
berfaedah bagi perkembangan jiwa mereka. Demikian pula tabiat
anak seolah itu, suka berkawan saling mengunjungi antar mereka,
saling menghormati, saling tukar menukar milik mereka. Semuanya
itu menjadi motif untuk berlomba, tiru-meniru dan lain-lainya. Dalam
hal demikian itulah, akhlak mereka terdidik, cita-cita mereka akan
hidup dan adat kebiasaan mereka terlatih. Begitulah Ibn Sina
menggambarkan, kelebihan lingkungan sekolah dalam pembinaan
anak-anak.
7. Mengenai program pengajaran di sekolah kira-kira tingkat menengah,
atau sekarang tingkat diploma, Ibn Sina mengemukakan pendapatnya
dalam kitab “ar-Risalah” bila anak sudah menyelesaikan pelajaran
Al-Qur’an dan sudah menghafalkan kaedah-kaedah bahasa, maka
ketika ini mulailah diperhatikan kecondongannya kepada
kerajinan/keterampilan dan bimbinglah dia kejalan arah itu. Jika
kecondongannya kepada ke sekretaritan (tulis menulis), tambahlah

13
dalam pengajarannya, pelajaran bahasa, pelajaran koresponden,
pidato, diskusi, wawancara, dan semisalnya, serta pelajaran berhitung,
kesusastraan dan kaligrafi, perlu ditambah pelajaran-pelajaran
lainnya.
8. Masalah penyelurusan bakat dalam pendidikan sangat diperhatikan
oleh Ibn Sina. Kata beliau dalam ar-Risalah-nya, “ setiap pendidik
haruslah mengerti bahwa tidaklah tiap kepandaian yang disenangi
anak dapat dikembangkannya kecuali bila sesuai dengan pembawanya
atau taibatnya”. Sekiranya ilmu pengetahuan, kesusastraan ataupun
kepandaian itu dapat dicapai dengan keinginan atau dengan upaya
saja, tanpa mempedulikan bakat dan kemampuan, maka tidak ada
orang yang buta huruf tentang kesusastraan dan kelimuan, tak akan
ada orang yang nihil dalam kepandaian/keterampilan. Lagi pula bila
bakat tak dipedulikan, tiap orang akan memilih bidang ilmu sastra
yang paling disenangi atau bidang keterampilan/kerajianan yang
paling laku. Bukti dari apa yang kami katakan (pembawaan yang
berpengaruh dalam pendidikan) bahwa sebagian orang yang berhasil
dalam suatu bidang, sedang sebagian lainnya gagal dalam bidang
yang sama (karena bakat tiap orang berbeda) ada yang sukses
dibidang sejarah, ada orang yang sukses dibidang matematika, ada
juga yang sukses dibidang ilmu ukur, atau bidang kedokteran dan
sebagainya. Dalam penelitian dan penilaian bakat dan pembawaan ini.
Ada faktor-faktor yang masih kabur dan ruwet yang tak terjamah oleh
pemikiran manusia kecuali Allah SWT yang mengetahuinya. Ada
orang yang wataknya menolak semua macam ilmu pengetahuan dan
kesusastraan dan segala macam kepandaian, tidak sedikitpun ilmu dan
sastra serta kepandaian yang berkenaan dengan dirinya . Hal itu
dibuktikan adanya beberapa cendikiawan mendidik anak-anak mereka
dengan sungguh-sungguh dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,
namun mereka tidak memperoleh apa yang mereka upayakan itu.
Maka oleh karena itu, kata Ibn Sina hendaklah para pendidik bila

14
ingin memilihkan suatu kepandaian, agar mempertimbangkan
pertama-tama bakat anak, menelusuri pembawaannya, menyelidiki
kecerdasannya, lalu memilih kepandaiannya apa yang cocok bagi
anak itu sesuai dengan pembawaanya.20
Dengan demikian, berkenaan dengan konsep pendidikan anak dalam
perspektif Ibn Sina, dapat dipandang sebagai serangkaian pelajaran yang
harus dikuasai oleh anak dalam rangka mencapai akhlak yang mulia dan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, guru yang
menjadi penanggung jawab dalam proses pendidikan harus memberhatikan
tingkat usia, kemauan dan bakat anak, karena dengannya proses pendidikan
akan lebih berhasil,21 sebagaimana penjelasan Ibn Sina:
Sebaiknya diawali dengan mengajarkan Al Qur’an Al Karim, tetapi
dengan cara menghindarkan pengajaran yang bersifat memberatkan
jasmani dan akal pikirannya.22
Hal-hal yang harus diperhatikan seperti tersebut diatas, pada hakikatnya
merupakan prinsip utama yang harus diperhatikan seorang guru dalam
memberikan materi pelajaran.
Dengan demikian, sebelum melangkah pada proses pendidikan, terlebih
dahulu seorang guru harus membuat rencana pelajaran (lesson plan) yang
disesuaikan dengan kondisi serta kesiapan anak. Artinya juga seorang guru
harus menguasai konsep didaktik dan metodik pendidikan, sehingga proses
tersebut akan terarah dengan baik, terkelola dengan konduktif dan tercapai
tujuannya dengan baik.
Pada dasarnya Ibn Sina telah menerapkan konsep pendidikan yang
humanis, yang sesuai dengan gejala psikologi anak, dan realitanya konsep
pendidikan semacam ini di abad modern semakin dikembangkan, akan tetapi
pengembangan pendidikan modern lebih berimplikasi pada pemanjaan dan

20
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al-Amin
Press 1997), hal. 53-63
21
Nana Sudjan., op-cit., hal. 2-3
22
Ali al Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwanisi., op-cit., hal. 119

15
kasih sayang yang berlebihan sehingga tidak mengherankan jika terjadi
keterlambatan dalam proses pendewasaan, dan anak tidak memiliki
kemandirian yang mantap. Pendidik yang aspiratif terhadap kecenderungan
pertentangan fitrah anak didik senantiasa berikhtiar secara sistematis,
berencana untuk mengarahkan proses perkembengan itu dalam ruang
lingkupnya yang selaras dengan harkat kemanusiaan anak didik tidak hanya
sebagai sasaran (obyek) dari proses kependidikan melainkan juga mampu
menjadikan mereka pelaku (subyek) dalam proses tersebut. Dengan demikian
mak anak didik akan mampu melakukan self education disamping menerima
pendidikan dari orang lain (education by other). Kedua proses tersebut
berlangsung secara dialektis.23
Ibn Sina telah meletakkan dasar-dasar kependidikan yang hingga kini
masih relevan untuk digunakan, meskipun terlebih dahulu diperlukan
pengklasifikasian dan pengkajian yang akurat, disesuaikan dengan kondisi serta
tuntutan zaman. Karena bagaimanapun konsep pendidikan Ibn Sina telah
melewati banyak masa yang tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan
sebagaimana manusia lainnya.

B. HUKUMAN DAN TERAPINYA DALAM PANDANGAN IBN SINA


Hukuman dalam pendidikan Islam bertujuan untuk perbaikan dan
tuntutan, bukan hardikan dan balas dendam, maka dari itu para pendidik harus
mempelajari dahulu tabiat anak didik dan karakternya sebelum menjatuhkan
hukuman. Dan sebaliknya pendidik mengajak anak untuk turut serta dalam
memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Para tokoh pendidik muslim juga
sepakat bahwa pencegahan itu lebih baik dari pada perawatan. Mereka
mengajak supaya menggunakan segala macam cara untuk mendidik anak sejak
kecil dengan membiasakan adat istiadat yang baik, sopan, dan penuh kasih
sayang sehingga tidak lagi memerlukan hukuman. Dalam tulisan ini penulis

23
HM. Arifin, M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000)., hal.
178

16
akan menyampaikan pokok pikiran dan pandangan Ibn Sina tentang hukuman
dan terapinya.
Menurut Ibn Sina, pendidikan anak seharusnya dimulai sendini mungkin,
yaitu sejak anak masih menyusui ibunya sesudah dibiasakan dengan kebiasaan-
kebiasaanyang baik, sehingga kehidupan anak tidak terwarnai oleh kebiasaan-
kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan jika sudah meresap pada jiwa anak. 24
Ini memberikan peringatan kepada kita semua bahwa pendidikan yang pertama
dan paling utama adalah pendidikan keluarga. Dalam pendidikan keluarga yang
paling berpengaruh terhadap anak didik adalah seorang ibu. Sebab ibu yang
menyusui, memandikan dan mengajak bicara terhadap anaknya dengan penuh
cinta dan kasih sayang yang mendalam.
Ibn Sina memberikan tawaran bila terpaksa seorang pendidik
memberikan sanksi hukuman, maka hendaknya harus dijaga betul perasaan diri
seorang anak. Adapun terapi yang ditawarkan dalam memberikan sanksi
hukuman terhadap anak didik adalah sebagai berikut: pertama, jangan sekali-
kali anak diberi sanksi hukuman yang berat atau keras, tetapi hukuman itu
hendaknya dengan cara yang halus dan penuh kasih sayang kepada anak didik.
Kedua, hukuman itu hendaknya diselang seling, kadang hukuman itu ringan
dan tidak menyakitkan, kadang agak keras dan menakutkan. Ketiga, sekali
waktu hukuman itu dalam bentuk raut muka yang masam atau dengan
hardikan. Keempat, dalam waktu lain hukuman itu berupa sanjungan dan
motivasi itu justru akan lebih baik dan efektif daripada hardikan dan celaan.
Dari beberapa tahapan dalam pelaksanaan hukuman tersebut di atas, maka
pendidik yang meliputi orang tua, guru pengajar, ustad, kyai dan dosen harus
dapat menyesuaikan dengan kondisi anak tertentu. Bila suatu ketika hukuman
itu harus berupa cubitan, maka sebaiknya pendidik tidak mencubitnya
berulangkali atau memukulnya. Karena hal tersebut akan mengakibatkan anak
akan menjadi bandel dan meremehkan hukuman yang lain.

Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyah al-Islamiyah, (terj.) Bustami A.Gani et al.,


24

Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 153

17
Kemudian Ibn Sina berpendapat bila seorang pendidik terpaksa harus
menjatuhkan hukuman pada anak, maka hukuman tersebut dapat dilakukan bila
keadaan memaksa dan pukulan itu tidak digunakan kecuali sesudah mereka
deberi peringatan, ancaman dan mediator untuk menasehatinya. Sedangkan
hukuman pukulan ringanitupun dapat dilakukan setelah anak sudah tidak
mempan dan mau menerima lagi dengan cara peringatan yang keras atau cara
lain yang lebih baik. Semuanya itu dilaksanakan untuk menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik di dalam jiwa seorang anak.25
Dari beberapa strategi hukuman dalam pendidikan anak yang
disampaikan oleh Ibn Sina, tentu kita akan berpendapat bahwa ternyata Ibn
Sina telah meletakkan dasar-dasar pokok pikirannya yang sangat berharga
dalam pendidikan Islam. Di telah memperhatikan terhadap pendidikan anak
sedini mungkin mulai tahun pertama usia anak sejak ratusan tahun yang lalu
sebelum para tokok pendidikan modern seperti JJ Rousseau, Probel, Festalozi,
Herbert, Specer dan John Dewey pada abad 20 ini telah membicarakan masalah
yang sama.26
Pendidikan modern juga menempatkan anak dalam prioritas pertama dan
paling utama diantara hal-hal penting lain dalam pendidikan. Sebab kalau
seorang anak mendapatkan prinsip-prinsip pendidikan, dan memperoleh
bimbingan pendidikan yang terampil dan bijaksana, baik dirumah maupun di
sekolah sejah tahun-tahun pertama masa anak-anak, maka ia akan mudah sekali
menerima pendidikan pengajaran dengan baik. Memang anak memerlukan
sekali orang-orang seperti pendidik, orang tua yang megerti betul tabiat
maupun bakatnya. Disamping itu juga anak membutuhkan orang yang rela
menaruh perhatian terhadap keinginan, kemauan dan hati nuraninya menjaga
perasaan dan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya. Anak juga merindukan
orang-orang yang setia membimbing bakat dan minatnya serta memberi

25
Syamsuddin Asyrafi et al., op cit., hal. 37
26
Ibid.

18
kesempatan berkembang dan kebebasan dalam berfikir dan berkreatifitas untuk
hidupnya yang lebih baik .27
Pandangan Ibn Sina tentang model hukuman sanksi yang dijatuhkan
kepada anak menurut kalangan ahli pendidikan dinilai sangat logis dan tepat.
Ibn Sina memang orang uang bijaksana sekali di dalam menerapkan hokum
sanksi terhadap anak didik yang melakukan pelanggaran dan kesalahan. Beliau
tidak menerapkan hukuman yang sama kepada semua anak. Beliau juga
menganjurkan hukuman hendaknya selalu disesuaikan dengan kesalahan yang
dilakukan oleh anak. Beliau memberikan catatan kepada para pendidik, “bahwa
kita harus berhati-hati dan penuh pertimbangan di saat akan menerapkan sanksi
hukuman kepada anak, hendaknya hukuman yang bukan merupakan cercaan
dan cambukan yang keras, tetapi prilaku yang halus dan penuh kasih sayang
yang dalam. Karena hukuman berupa fisik banyak dikritik oleh p-ara pendidik
modern bahkan mereka mengharamkan dengan tegas. Kritikan tersebut
didasarkan bahwa hukuman jasmani atau fisik tidak akan menyelesaikan suatu
masalah baru.mereka menyatakan pelajaran, misalnya matematika, biasanya
menjadi gemetar apabila ia diberi sanksi hukuman fisik. Masalah ini telah
dilontarkan oleh Brophy dan Eferston, dan sebagian besar para pendidik Barat
sekarang ini menkritik dan menentang model penggunaan hukuman jasmani di
sekolah-sekolah28
Dari beberapa kecaman dan kritiknya yang dilontarkan oleh pakar
pendidikan muslim dan non muslim tentang hukuman jasmani (fisik) pada anak
didik maka akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita untuk
dicermati dan dipahami denganbaik. Ada beberapa hal yang seharusnya
diperhatikan dengan baik oleh seorang guru dan pendidik, yaitu pertama:
perangai, pergaulan, minat dan bakat serta budi pekerti anak itu berbeda-beda
satu sama lain, oleh karena itu guru hendaknya mengenal betul sifat dan sikap

Hasan Al-asymawi, Hakadza Nurabbi Auladana, (terj.) M.Ridwan, Kiat Mendidik Anak
27

Dengan Cinta, (Yogyakarta: Saujana Jogjakarta, 2004), hal. 35


28
Nur Hidayat, Memaknai Kembali hakikat Hukuman dalam Jurnal Ilmu Pendidikan
Islam, (Fak Tarbiyah UIN Yogyakarta, 2004), hal. 240

19
anak didik yang diajarnya, maka diharapkan guru dapat memperlakukan anak
didiknya dengan tepat. Karena ada anak didik ketika melakukan kesalahan
cukup hanya diperingatkan sekali atau isyarat saja. Tetapi ada anak yang harus
diperingatkan berulang kali. Dan ada anak yang bandel dan harus diberi
hukuman fisik, dan sebaliknya ada anak yang harus diberi hukuman non fisik,
disamping itu, ada anak yang penakut, minder karena pernah dikeluarkan dari
kelas. Ada anak yang merasa tertekan perasaannya apabila diberi hukuman
pulang paling akhir. Kedua, mendidik anak itu sebaiknya diselang seling.
Kadang-kadang di isi dengan hal-hal yang menyenagkan dan kadang-kadang
berupa hal-hal yang menakutkan. Berilah perhatian khusus pada anak yang
cerdas yang memiliki perasaan yang tajam, kaut ingatanya, apakah mereka
layak diberi sanksi hukuman seperti siswa lainnya yang bodoh dan pemalas,
tidak baik perangainya dan lamban daya ingatan. Maka mereka seharusnya
diperlakukan secara proporsional dan adil. Artinya masing-masing anak diberi
sanksi hukuman yang sesui dengan karakternya 29
Merupakan tidakan salah, kalau kita terbiasa memberikan sanksi
hukuman yang sesuai untuk semua anak, tanpa memperhatikan perbedaan
watak kebiasaan, akhlak dan pergaulan yang mendorong mereka melakukan
kesalahan. Seperti memberi hukuman yang sama kepada anak yang cukup
diberi peringatan sekali saja, sedangkan anak lain harus diberi hukuman
cambuk karena bandel. Maka seharusnya para pendidik selalu berfikir apa yang
terbaik untuk masing-masing anak, dan akan menjatuhkan hukuman apa yang
tepat dan sesuai. Apabila hukuman itu dimaksudkan untuk pembinaan anak,
maka hendaknya diterapkan sebijaksana mungkin yaitu sesuai dengan
kesalahan yang diperbuat anak, dan didasarkan sebab-sebab dia melakukan
kesalahan tersebut. Tindakan itu dilakukan setelah kita mempelajari secara
cermat tentang pembawaan, minat dan tingkah lakunya, sehingga kita
mengetahui betul anak itu melakukan kesalahan karena tidak tahu, dengan
demikian, anak dapat merasakan akibat perbuatannya sendiri dan menyadari
kesalahan serta bertambah kuat keyakinanya, bahwa hukuman yang mereka
29
Ibid., hal. 240

20
terima itu merupakan bentuk kasih sayang yang tulus dari guru kepada dirinya.
Hukuman itu memang sudah semestinya, maka dia merasa deperlakukan secara
adil dan penuh kasih sayang dan berjanji tidak akan mengulangi kembali
kesalahan yang akan datang.
Dengan cara seperti inilah yang dapat kita harapkan dapat melakukan
pembinaan di semua aspek pendidikan dan tercapai tujuan pokok maksud
diterapkannya hukuman dalam pendidikan. Yaitu memperbaiki anak yang
melakukan kesalahan dan menghilangkan kecenderungan anak berbuat yang
tidak baik serta membimbing mereka ke arah jalan hidup yang benar dan lurus
sesuai dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Langkah-langkah tersebut
juga sesuai dengan pendidikan modern dewasa ini.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Ibn Sina tentang metode hukuman
dalam pendidikan anak ada kesamaan dengan Hasal Al-Asymawi. Menurut
Hasan, hukuman merupakan salah satu unsur pendidikan yang positif sebagai
usaha preventif (pencegahan) dan kuratif (penyembuhan). Hukuman harus
dilakukan sekedarnya saja, sesuai dengan metode dan kondisi yang ada. Kadar
pemakaian hukuman harus benar-benar diperhatikan dengan penuh kesabaran
dalam menunjukkan kesalahan anak. Langkah yang harus ditempuh sebelum
menerapkan hukuman, pertama harus bersabar dalam waktu yang lama, kedua
harus menyelidiki dulu kondisi dan kesalahan anak, ketiga, tidak boleh
melakukan hukuman yang baru pertama kali terjadi, keempat, boleh
menjatuhkan hukuman apabila anak telah melakukan berkali-kali dalam
kesalahan yang sama30. Perlu diingat, hati-hati dalam menghadapi setiap
masalah akan dapat mengatasi tanpa harus menggunakan jalan hukuman.
Hukuman bias dilakukan pada saat-saat yang tepat, misalnya membentak itu
menyakitkan namun kadang-kadang diperlukan. Kita bias menggunakan
hukuman, jika langkah-langkah biasa diterapkan tidak manjur. Missal memukul
itu memang menyakitkan, tapi kadang sangat dibutuhkan. Kesimpulanya
adalah bahwa hukuman tidak menjadikan satu-satunya sarana untuk anak didik
kita terjatuh pada kesalahan yang berulang kali, dan agar anak kita bisa
30
Nur Hidayat, op cit., hal. 241

21
menjauhi kesalahan tertentu. Hukuman harus tetap memperhatikan perasaan
dan hak anak untuk memperoleh kasih sayang dari kita. Akhirnya dalam
melakukan hukuman kita tidak akan terjerumus ke dalam kemarahan dengan
emosi yang tidak terkendali. Disamping itu janganlah sekali-kali kita
melakukan hukuman diperlihatkan dan didengar orang lain, tetapi di rumah kita
yang orang lain tidak mengetahui.

22
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:


1. Pendidikan anak pada dasarnya adalah kewjiban orang tua sejak
kelahirannya dari memberi nama yang baik , memilih perawat anak,
sekolah serta pergaulan anak dengan memilih miliu yang kondusif.
2. Pendidik ataupun orang tua harus mengetahui dan memperhatikan tentang
kecondongan skill atau ketrampilan anak didik. Penyelusuran bakat dan
minat perlu dimengerti karena tidak setiap kepandaian yang disenangi anak
didik dapat dikembangkan kecuali bila sesuai dengan pembawaan atau
tabiatnya serta tingkat usianya. Oleh karena itu dalam praktek proses
pendidikan, peserta didik atau anak sebaiknya lebih banyak peran aktif
dalam segala tindakan pendidikan, sedangkan pendidik lebih berperan
sebagai pembimbing, organisator, dinamisator dan fasilitator serta
informan.
3. Setiap manusia dalam hal ini anak telah dibekali dengan potensi-potensi
bawaan yang telah ada sejak lahir. Potensi bawaan tersebut harus
dikembangkan dalam proses pendidikan untuk mencapai kesempurnaan
hidup, melahirkan manusia beriman dan berpengatahuan serta berakhlak
mulia.
4. Hukuman anak dalam pendidikan islam tidak semata-mata karena luapan
emosi dan balas dendam, akan tetapi untuk memperbaiki dan meluruskan
kembali tingkah laku, sikap dan perbuatan anak didik yang melanggar
hukum atau aturan agar tidak mengulangi kesalahan.
5. Pelaksanaan “vonis” hukuman dalam pendidikan adalah alternatif terakhir
yang harus ditempuh setelah melalui beberapa tahapan dengan pendekatan
preventif (pencegahan) dan kuratif (penyembuhan)sesuai dengan prosedur
(1) bersabar dalam waktu yang lama (2) penyelidikan kesalahan dan

23
kondisi anak ,(3) serta tidak melakukan hukuman yang baru pertama kali
terjadi.
6. Kelebihan metodologi hukuman anak menurut pandangan Ibn Sina adalah
bahwa tawaran dalam memberikan sanksi atau hukuman harus melalui
tahapan-tahapan; peringatan halus, sanjungan kasih sayang, motivasi,
kondisional, mediator dan ancaman, sedangkan kelemahannya dalam hal
hukuman fisik (pukulan atau cambukan) tidak dapat diterapkan di zona
pendidikan seperti sekolah atau madrasah karena hal tersebut termasuk
melanggar undang-undang perlindungan anak. Tetapi hukuman ini justru
dapat dilaksanakan atau diterapkan di rumah oleh orang tuanya sendiri
dengan tetap memperhatikan tujuan dan fungsi hukuman fisik dan
terapinya pada anak.

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah, Pokok-pokok Pikiran Ibn Tentang


Pendidikan, (Terj.) Syamsudin Asyrafi, et.al, Yogyakarta: 1994

Al - Ahwani, Ahmad Fuad, Ibn Sina, (Cairo: Dar al-Ma’arif, tt.)

Al – Jumbulati, Ali dan Al – Tuwanisi, Abdul Futuh, Perbandingan


Pendidikan Islam, terj. M. Aridin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)

Al-Asymawi, Hasan, Hakadza Nurrabi Auladana, (terj.) M. Ridwan, Kiat


Mendidik Anak dengan Cinta, Yogyakarta: Saujana Jogjkarta, 2004

Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: 1978

Dhofier, Zamakhsyari, Lembaga Pendidikan Islam dalam perspektif


Nasional, PRISMA 9, September 1983

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : 1996

Michael Stanton, Charles, Pendidikan Tinggi dalam Islam; Sejarah dan


Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Ed. Azyumardi Azra,
(Jakarta: Logos, 1994)

Muhaimin, et al., Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan


Pendidikan Agama Islam di Sekolah), Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2002.

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : 1996

Said, Jalaluddin dan Usman, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 1996).

Ulwan, Abdullah Nasyih , Tarbiyatul-Aulad fil-Islam, (Semarang: Asy


Syifa’, 1993)

25
PENDIDIKAN ANAK DALAM
PRESPEKTIF IBNU SINA

MAKALAH

26

Anda mungkin juga menyukai