Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Peletakan dasar peradaban Islam yang dilandasi oleh wahyu
pertama yang diterima Rasulullah Saw berisi perintah membaca
Iqra pada abad ke tujuh, telah menjadi tolak ukur kemajuan
peradaban suatu bangsa, yang ditandai dengan masyarakatnya
yang gemar membaca. Semakin banyak orang yang membaca
maka peradaban akan semakin cepat tersebar dan berkembang
dalam suatu masyarakat, dan itu akan kita jumpai dengan
beredarnya berbagai macam buku dari berbagai macam disiplin
ilmu.
Kata iqra muncul ditengah-tengah masyarakat yang sejak
berabad-abad

menyembah

patung

berhala

(pagan),

hidup

mereka memperturutkan hawa nafsu,suka berpecah-belah dan


saling perang, sehingga keadaan ini disebut juga dengan zaman
jahiliyyah. Kebanggaan adat istiadat, nilai dan tradisi yang
diwariskan leluhur disampaikan secara lisan serta hafalan, tak
heran penduduk mekkah hanya memiliki 17 orang yang pandai
tulis baca pada saat itu. Namun keadaan ini telah dirubah oleh
Nabi Muhammad Saw sejalan dengan perkembangan Islam di
tanah Arab.
Pengembangan iqra dan Kuttab yang telah dirintis oleh
Rasulullah Saw untuk membesarkan umatnya telah menempati
loccusnya, saat menguasai imperium Bezantium, Iskadariya,
Antiokia, Harran, Yunde Sahpur. Buku-buku pengetahuan

yang

berbahasa Yunani, Sansekerta, Pahlevi dan Syiria diterjemahkan


dalam bahasa Arab dan dihimpun dalam perpustakaan. Maktab

[1]

kata

arab

ini

perpustakaan,

biasanya
tapi

pada

digunakan
masa

untuk

Islam

klasik

menunjuk
penyebutan

tersebut digunakan Perbendaharaan buku (khizanat al-kutub)


atau gedung kitab (dar al-kutub), suatu ungkapan yang sesuai
untuk perpustakaan nasional, seperti yang ada di kota kairo. Di
Iran dipakai istilah kitab khana dan di Turki modern disebut
ktphane yang mempunyai arti sama dengan perpustakaan.
Penggunaan istilah perpustakaan ini akan menyesuaikan dengan
pemerintahan kalifah dan dinasty yang memimpin.1
Sedangkan

secara

umum

istilah

Perpustakaan

(Library)

mempunyai kata dasar pustaka, berasal dari bahasa Latinl


Leber atau libri yang berarti buku. Dalam bahasa Inggris
dikenal dengan Library dalam bahasa Arab Maktabah Italia
biblioteca Perancis bibliotheque, Jerman, bibliothek dan
dalam

bahasa

Belanda

Bibliotheek.

Menurut

istilah

Perpustakaan dapat diartikan sebuah gedung atau ruangan


yang digunakan untuk menyimpan buku atau terbitan lainnya
yang disusun menurut tata susunan tertentu untuk digunakan
sipembaca.
Makalah ini hanya membatasi pembahasan permasalah
pada

perpustakaan

pada

masa

Islam

klasik

dan

masa

pertengahan, Perkembangan dan pengaruh yang muncul pada


masa-masa itu. Masa klasik ini dimulai dari kelahiran Nabi
Muhammad Saw sampai didudukinya Baghdad oleh Hulagu Khan,
sedangkan

masa

pertengahan

dimulai

dari

jatuhnya

kota

Baghdad sampai pada penghujung abad ke 17 yang ditandai


dengan pecahnya wilayah Islam menjadi tiga kekuasaan, yakni
kekuasaan yang berada di Andalusia yang dipimpin oleh Dinasti
1Josef W. Meri (ed.), Medieval Islamic Civilization An Encyclopedia, New
York, Routledge, 2006. h. 449

[2]

Usmaniyah, di Mesir yang dipimpin pimpin oleh dinasti Mamluk


dan di Persia yang dipimpin dinasti Ilkhan dari Mongolia.

BAB II
PEMIKIRAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI

I. Ibn Sahnun
A. Biografi Ibn Sahnun
Ibn Sahnun merupakan salah seorang tokoh pendidik
angkatan pertama dikalangan umat Islam, nama lengkapnya
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Abd Said Sahnun bin Said
bin Habib bin Hilal bin Bakkar bin Rabiah at-Tanukhi, lebih
terkenal dengan sebutan Ibnu Sahnun, Sahnun berarti seekor
burung yang memiliki pendangan tajam, dijuluki sahnun
karena ketajaman pemikirannya, yang dilahirkan dari keluarga
ilmiah pada tahun 202 H. di kota Gadat, pusat kebangkitan

[3]

Mazhab Maliki di Magrib di Kairawan Afrika, kurang lebih


setengah abad sebelum lahirnya al-Qabis.
Ayahnya, Abd Said Sahnun seorang ulama yang radikal (alMujadzdzir) dalam mazhab Maliki di Afrika dan seorang guru
besar para pendidik di Kairawan. Dibawah pengawasan ayahnya
kemudian beliau dimasukkan ke al-Kuttab sebagaimana yang
berlaku di masyarakat pada saat itu, agar dapat mempelajari alQuran

dan

dasar-dasar

membaca.

Orang

tuanya

sangat

memperhatikan pendidikan Ibnu Sahnun setelah melihat tandatanda

kecerdasan

dan

kesungguhan

anaknya.

Ayahnya

mendidiknya dengan pujian dan teguran yang lemah lembut,


tidak dengan pukulan dan kekerasan.
Kepada ayahnya Ibnu Sahnun belajar kemudian dilanjutkan
menimba ilmu dari beberapa ulama Ifriqiyah, antara lain : Ali bin
Ziyad (183 H), Musa bin Muawiyah as-Samadihi (225 H), Abd
Aziz bin Yahya al-Madani (420H), Abdullah bin Abi Hisan alYahsabi (226 H) dan mempelajari kitab Muwaththa karangan
Imam Malik bin Anas, kemudian berangkat menuju Mesir tahun
188 H dan belajar kepada sahabat-sahabat terkenal Imam Malik,
terutama Ali Abdur Rahman bin al-Qasim (191 H) dan Ibnu Abd
al-Hakam,

juga

kepada

ulama

Mesir

lainnya,

sampai

mencetaknya menjadi ulama besar ahli pendidikan. Termasuk


karya beliau adalah Adab al-Mu'allimin sebagai tanda beliau
sebagai seorang ahli pendidikan Islam, dipercaya memegang
jabatan pengadilan di Ifriqiyah sampai Ibnu Sahnun wafat pada
tahun 256 H atau 870 M setelah lebih kurang 63 tahun lamanya
beliau hidup.
B. Karya-Karyanya Ibnu Sahnun

[4]

Ibnu Sahnun menulis dalam berbagai bidang ilmu, hal ini


terbukti dari banyaknya jenis buku yang ditulis oleh Ibnu Sahnun.
Ibnu Sahnun telah menulis buku tidak kurang dari 200 buku,
diantaranya adalah:
1) adab al-Muallimin, berisi tentang pemikiran pendidikan,
mulai dari pentingnya kerja sama yang baik antara
orangtua murid dengan pendidik, kurikulum, badan
pengawas (supervisor), dan lain-lain.
2) ajwibah Ibnu Sahnun, berisi tentang jawaban-jawaban
Ibnu Sahnun seputar persoalan-persoalan yang muncul di
masyarakat pada waktu itu.
3) kitab al-Jami, merupakan karyanya yang paling besar,
tidak kurang dari 100 juz, terhimpun berbagai jenis ilmu
dan terutama ilmu fiqh.
4) kitab al-Musnad al-Hadits, Risalah fi as-Sunnah, Kitab alIbadah, Kitab al-Wara, Kitab al-Hujjah ala an-Nasara, dan
lain-lain.
Sebagian karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sahnun tersebut
menunjukkan

kepada

kita

bahwa

Ibnu

Sahnun

memiliki

pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu agama.2


C. Pemikiran tentang ilmu Pendidikan
1. Pendidikan Kejiwaan.
Pendidikan kejiwaan adalah sesuatu yang pendidikan yang
sangat

penting

untuk

menghubungkan

manusia

dengan

penciptanya. Pendidikan kejiwaan mulai ditanamkan semenjak


dini

untuk

membentuk

kepribadian

anak

agar

memiliki

kepribadian yang sempurna.

2 M. Said, Pendidikan Abad Keduapuluh dengan Latar Belakang


Kebudayaannya, (Jakarta: Mutiara, 2007), hlm. 49 h.78

[5]

Program pendidikan Ibnu Sahnun menjadikan al-Kuttab


sebagai gambaran mini dari suatu masyarakat, dimana anak
didik diharapkan dapat menyesuaikan dirinya untuk hidup di
masyarakat dengan didasari atas keserasian antara individu dan
kebutuhan masyarakat, selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.3
2. Kurikulum
Kurikulum merupakan suatu istilah yang menjelaskan tentang
kuantitas dan kualitas bahan yang diajarkan, dengan berbagai
kaedah yang menjelaskan tentang cara-cara penyampaian di
dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Ibnu Sahnun
membagi

kurikulum

pendidikan

kepada

dua

bagian,

yaitu

kurikulum wajib dan kurikulum pilihan. Kurikulum wajib meliputi


al-Quran hadits, dan fiqh. Sedangkan kurikulum pilihan berkisar
pada materi-materi: ilmu hitung, syair, al-Gahrib (kata-kata sulit),
bahasa Arab, dan ilmu nahwu.
Kurikulum yang dirancang oleh Ibnu Sahnun memiliki tujuan
untuk menanamkan sendi-sendi pendidikan yang berdasarkan
pada norma-norma pengetahuan Islam dan penerapan kurikulum
pendidikan sejalan dengan filsafat Islam yang mengajak manusia
memiliki pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai tauhid dan nilainilai Islam.
Ibnu Sahnun berusaha merancanang tujuan pendidikan yang
membekali anak didik dengan pengetahuan-pengetahuan yang
diperlukan untuk mengatasi situasi yang akan mereka hadapi
dalam kehidupan dan melatih berpikir logis. Hal ini terlihat dari
komposisi kurikulum yang diterapkan Ibnu Sahnun yang berupa
3 http://www.afdhalilahi.com/2015/05/pemikiran-pendidikan-ibnusahnun.html

[6]

jenis pengetahuan dasar yang diperlukan seperti membaca,


menulis, dan ilmu hitung.
3. Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang dimaksud oleh

Ibnu Sahnun

merupakan langkah-langkah tertentu pada situasi tertentu dalam


suatu pembelajaran. Adapun langkah-langkah yang dimaksud
oleh Ibnu Sahnun, yaitu tentang kaidah yang harus diperhatikan
para pendidik dalam pengajaran al-Quran, antara lain:
a) Tidak menyentuh al-quran kecuali dengan wudhu, dan tidak
ada salahnya bagi anak yang belum sampai usia tamyiz
membaca ayat-ayat al-Quran di papan tulis tanpa wudhu jika
ia sedang belajar, demikian juga pendidik.
b) Jika seorang pendidik membaca ayat sajadah sedangkan ia
membacanya

untuk

anak

didik

maka

tidak

menjadi

keharusan bagi anak untuk sujud tilawah karena seorang


anak tidak sebagai imam. Kecuali jika anak itu telah dewasa,
tidak ada salah baginya untuk sujud, Jika ia meninggalkan
sujud tilawah pun tidak ada hukuman atasnya, karena sujud
tilawah itu tidak wajib. Demikian juga jika seorang pendidik
membaca ayat sajadah, ia boleh melakukan sujud dan boleh
juga tidak.
Sedangkan metode pengajaran secara umum kepada anak
didik, yang harus diikuti oleh pendidik adalah sebagai berikut .
a) Seorang pendidik sepantasnya menyediakan waktu bagi anak
didik untuk mengajar mereka berbagai kitab.
b) Pendidik tidak boleh memindahkan mereka dari satu surat ke
surat lain hingga mereka hafal, menguasai tata bacaan, dan
tulisannya.
c) Pendidik hendaklah

menuyediakan

waktu

khusus

untuk

diskusi agar mereka belajar dasar-dasar diskusi dan tata

[7]

karma mendengar. Pendidik hendaknya memberikan mereka


kebebasan mengungkapkan pendapat.
d) Pendidik hendaknya menyediakan waktu pada akhir pekan
belajar

untuk

mendengarkan

(mengulang),

menegaskan

(mengetahui) penguasaan murid melalui hafalan.


e) Pendidik hendaklah bersifat adil di kalangan anak didik,
memperlakukan mereka dengan sama, baik bangsawan atau
orang biasa.4
Metode pendidikan yang dikemukakan Ibn Sahnun merupakan
integralisasi antara pendidikan dan adabiyah
3. Peranan pendidik
Ibnu Sahnun menekankan pentingnya pendidikan dalam
proses pendidikan. Menurutnya pendidik tidak hanya terbatas
pada pendidikan dan pengajaran, namun lebih dari itu seorang
pendidik hendaklah berperan sebagai orang tua bagi anak didik.
Oleh karena itu, Ibnu Sahnun memberikan penjelasan tentang
beberapa hal yang seyogianya dimiliki oleh seorang pendidik,
yaitu:
a) mencurahkan perhatiannya secara langsung terhadap anak
didik,
b) pada waktu seorang anak didik tidak hadir, pendidik harus
menghubungi keluarga anak didik,
c) pendidik senantiasa bersungguh-sungguh menyediakan waktu
untuk anak didik,
d) pendidik menguasai hafalan al-Quran, mengetahui ilmu fiqh,
mengetahui ilmu nahwu, kaligrafi, dan lain-lain.
Selain ketentuan-ketentuan di atas, Ibnu Sahnun juga
mempersyaratkan kepada pendidik tentang perilaku pendidik
yang harus dimiliki, yaitu perilaku mulia, dimana pendidik dapat
menerapkannnya

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Pendidik

4 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja


Grafindo Persada , 2001), hl. 189-191

[8]

hendaknya berperilaku yang dapat memberikan suri teladan


kepada anak didiknya, seperti ikhlas, takwa, mempunyai rasa
tanggungjawab, dan sopan santun.5
Dengan demikian peranan pendidik merupakan pelaksana utama
dalam pendidikan, sehingga maju mundurnya pendidikan dan
peserta didik tergantung kepadanya, pendapat ini dikenal
sebagai Teori Pemusatan Guru.
3. Konsep Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun.
Hukuman sebagai alat pendidikan sebenarnya tidak dapat
terlepas dari sistem kemasyarakatan dan ketatanegaraan yang
berlaku pada waktu itu.6 Sistem dan ketatanegaraan yang
dimaksud tentu bagi masyarakat khususnya di Qairawan yang
secara karakteristik penduduknya dikenal keras adalah peraturan
atau adat istiadat. Hukuman bukan hal yang asing jika ia
diterapkan dalam hal pengajaran. Masalah hukuman merupakan
masalah etis, yang menyangkut soal buruk dan baik, yaitu soal
norma-norma yang berlaku. Sebagai pangkal uraian selanjutnya
mengenai hukuman dalam proses pendidikan dapat definisikan
sebagai berikut: Hukuman ialah penderitaan yang diberikan
atau ditimbulkan dengan sengaja oleh orang tua, guru dan
sebagainya sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau
kesalahan pada setiap anak didik.
Ibnu Sahnun menjelaskan pengertian hukuman dalam dunia
pendidikan

merupakan

cara

terakhir

dilaksanakan

yang

bertujuan untuk meluruskan dan memperbaiki keadaan anak


5 Ibid,
6 Baisyuri Majdidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta:
Al-Amin Press, 2005), hlm.24

[9]

didik dan bukan untuk memuaskan hawa nafsu atau belas


dendam terhadap anak didik. Pendidik tidak boleh sewenangwenang menjatuhkan hukuman tanpa rasa kasih sayang .7 Ibnu
Sahnun

ketika

membahas

tentang

pelaksanaan

hukuman

sebagai alat paedagogis, menyatakan bahwa pelaksanaannya


tentu harus dibatasi sesuai dengan pelanggaran atau kesalahan
anak didik. Dalam hal ini Ibnu Sahnun nampaknya menyadari
betul terhadap dampak-dampak psikologis yang mundur dari
hukuman terhadap perkembangan jiwa anak.
Dalam

suatu

dialognya

bersama

Saad,

Ibnu

Sahnun

mengungkapkan pemikirannya tentang pemberian hukuman


terhadap anak. Suatu ketika Ibnu Sahnun duduk bersama Saad
datanglah seorang anak perempuan Saad yang menangis, dan
setelah diketahui penyebab tangisan tersebut yaitu karena ia
telah dipukul oleh gurunya, Ibnu Sahnun kemudian berkata;
Ketahuilah demi Allah aku akan beritahukan hari ini bahwa Nabi
SAW. Bersabda: Bahwa sejahat-jahat umatku adalah mereka
yang mengajar anak kecil dengan sedikit kasih sayangnya
kepada anak yatim dan keras (pemarah) terhadap orang miskin.
Masalah pemberian hukuman pada anak, pada dasarnya
tidak ada seorang ulama pun yang menghendaki digunakan
hukuman

sebagai

alat

untuk

mendidik

kecuali

bila

terpaksa. Kemudian Ibnu Sahnun menambahkan bahwa hukuman


yang didasarkan atas kemarahan yang tidak disertai dengan niat
mendidik dan membawa manfaat merupakan perbuatan buruk
yang akan mendapatkan balasan di akhirat.
Hukuman seperti memukul menurut Ibnu Sahnun dapat
diberikan kepada anak didik dalam rangka tujuan mendidik
7https://mrscd.wordpress.com/2008/03/23/ulasan-buku-ibnu-sahnunmutiara-pendidik-muslim-oleh-dr-gamal-zakaria/

[10]

asalkan tidak dilakukan secara berlebihan. Ibnu Sahnun bahkan


secara tegas menyatakan bahwa hukuman yang dibolehkan
harus dibatasi dalam pelaksanaannya seperti pukulan tidak boleh
diberikan lebih dari tiga kali kecuali atas izin orang tua dari si
anak didik yang membolehkan untuk lebih dari itu, dan itupun
jika si anak terbukti telah menyakiti orang lain.
Syarat-syarat Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun.
Secara lebih jelas persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh
Ibnu Sahnun apabila guru melaksanakan hukuman adalah
sebagai berikut:
a.

Hukuman hendaknya

diberikan dengan menggunakan

kasih sayang.
b.

Tidak memukul karena semata-mata marah.

c.

Pukulan itu diberikan untuk kemaslahatan anak.

d.

Tidak boleh memukul lebih dari tiga kali, kecuali atas izin
orang tua anak yang bersangkutan.

e.

Hendaknya

memukul

dengan

alat

yang

tidak

membahayakan, seperti tongkat kecil.


f.

Tidak sampai menyakiti fisik anak.


Ibnu

Sahnun

juga

memberikan

saran

untuk

mempertimbangkan pemberian hukuman fisik, antara lain:


a.

Memperhatikan akhlak murid.

b.

Menghormati hak asasi anak didik meskipun anak masih

kecil.
c.

Hendaknya

tidak

sembarangan

dalam

memberikan

hukuman.
Ibnu Sahnun memahami betul tentang bahaya memberikan
hukuman yang tidak terkendali terhadap perkembangan jiwa
anak sehingga ia memberi batasan-batasan atau persyaratan
bagi pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis, yang

[11]

dimaksudkan agar pendidik berhati-hati terhadap pemberian


hukuman.
Adapun akibat pemberian hukuman dalam analisis psikologis,
yaitu :
1.Berdampak Negatif bagi memori pikiran anak.
a) Menimbulkan perasaan dendam kepada si terhukum. Ini
adalah akibat dari hukuman yang sewenang-wenang dan
tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus
dihindari oleh pendidik.
b) Menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan
pelanggaran. Inipun akibat yang tidak baik, bukan yang
diharapkan oleh pendidik, Memang biarpun hukuman itu baik,
kadang-kadang bisa menibulkan akibat yang tidak disukai itu.
Hukuman menurut teori menakut-nakuti sering menimbulkan
akibat yang demikian itu.
c) Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan
salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar
dengan hukuman yang telah diterimanya.
d) Si terhukum juga dapat memancing balasan.
e) Apabila hukuman ini terlalu sering dilakukan

akan

menimbulkan ketakutan terhadap si penghukum.8


2. Berdampak Positif
a) Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka
berbicara

di

dalam

kelas,

karena

mendapat

hukuman,

mungkin pada akhirnya berubah memperhtikan pelajarannya.


b) Akibat yang lain adalah memperkuat kemauan si pelanggar
untuk menjalankan kebaikan itu. Biasanya ini adalah akibat
dari hukuman normatif. Serin hukuman yang demikian tidak
menunjukkan akibat yang kelihatan nyata.
Nampaknya hukuman memiliki pengaruh negatif yang lebih
banyak daripada positifnya. Lantas bagaimana menggunakan
8 http://hamdillahversache.blogspot.com/2012/01/ibnu-sahnun.html

[12]

penghukum

potensial

secara

efektif

dan

berkemanusiaan?

Psikolog cenderung tidak dapat menerima hukuman fisik karena


telah mengetahui akibat buruknya

yang luar biasa. Oleh

karenanya untuk menghindari hukuman fisik tersebut ada


beberapa langkah yang dapat dilakukan, hal ini berdasarkan
penelitian yang seringkali dianjurkan:
a. Ciptakan satu suasana yang bersahabat dan hangat dengan
si anak.
b.

Pilihlah hukuman yang sedang saja, yang secara fisik


maupun psikologis tidak membahayakan anak.

c. Anda harus yakin betul bahwa anda akan dapat menguasai/


mengendalikan diri ketika melakukan hukuman.
d.

Berikan hukuman ini secara konsisten bagi respon yang


muncul, di manapun.

e.

Arahkan hukuman ini hanya kepada tujuan sasaran perilaku


yang akan diperlemah, jangan sesudahnya baru dipikirkan.

f.

Buatlah hukuman sesingkat mungkin.

g.

Ajarkan anak sedemikian rupa sehingga berperilaku yang


baik

itu

dapat

menghilangkan

motivsi

yang

dapat

menimbulkan respon yang tidak dikehendaki.


h.

Buatlah pasangan yang terdiri dari penghukum potensial


dengan tanda

petunjuk

seperti misalnya

jangan dan

tidak.9

II. Al-Qabisi
A. Biografi Al-Qabisi

9 Linda L. Davidof, Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta: Erlangga, 2007,


h. 208-212

[13]

Ahmad Khalid dalam pendahuluan ar-Risalah al-Mufashshilah li


Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam Muta'allimina, yang mentakhqiq
buku al-Qabisi ini menjelaskan panjang-lebar riwayat perjalanan
hidup dan

risalah ilmiyah al-Qabisi. Nama lengkap al-Qabisi

adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin al-Mu'afiri al-Qabisi,


lebih populer dengan sebuatan al-Qabisi, kelahiran al-Qabisi di
Kairawan Tunisia Benua Afrika dibulan Rajab 224 H, bertepatan
dengan 13 Mei 936 M. mengenai gelar al-Qabisi, menurut AlQadhiiyah bahwa Abu Hasan (al-Qabisi) bukan berasal dari
kabilah

al-Qabisi,

akan

tetapi

karena

pamannya

selalu

mengenakan sorban rapat-rapat dikepalanya, dan perbuatan ini


dianggap bertentangan dengan kebiasaan orang Qabisi, maka ia
diberi gelar al-Qabisi.
Di Kairawan Afrika beliau belajar kepada sejumlah ulama
ternama di antaranya :
1.

Abul 'Abbas at-Tamimy (w.352 H) seorang ahli fiqih yang


bermazhab Syafi'i dari kota Tunisia. Darinyalah al-Qabisi
mendapat sejumlah nama-nama guru, baik dari Timur
maupun

dari

Barat

dunia

Islam

tempat

beliau

melanjutkan risalah ilmiah nantinya.


2.

Ibnu Masrur ad-Dibagh (w.359 H)

3.

Abu 'Abdillah bin Masrur al-'Assal (w.346 H), seorang faqih


yang bermazhab Maliki di Kairawan.

4.

Ibnu al-Hajjaj (w.346 H)

5.

Abul Hasan al-Kanisyi (w.347 H), seorang ulama yang


disegani karena kewara'an dan kemulian pribadinya.

6.

Durras bin Ismail al-Fasi (w.357 H), seorang faqih yang


berhaluan Asy'Ary dalam Theologi

[14]

7.

Ibnu Zakrun, seorang faqih yang zuhud dan seorang ulama


yang produktif dalam menulis berbagai kitab tentang ilmu
Tasawuf.(w.370 H)

8. Abu Ishak al-Jibinyani (w.369 H) seorang ulama yang


terkenal karena permohonannya.
Di Afrika kelihatannya al-Qabisi banyak belajar tentang
ilmu fiqih dan akhlak. Oleh karenanya, Beberapa pengamat
sepakat bahwa al-Qabisi adalah ulama yang terkemuka pada
zamannya dalam bidang fiqh dan hadits. Dengan demikian corak
pemikiran keislaman bersifat normative, dengan corak tersebut
maka acuan yang digunakan al-Qabisi dalam merumuskan
pemikirannya

dalam

bidang

pendidikan

berparadigma

fiqh

dengan berdasarkan Quran dan Hadits.


Pada tahun 352 H bertepatan dengan 963 M al-Qabisi
berangkat ke Timur tepatnya tanah Hijaz dan Mesir, tujuan
utama adalah menunaikan haji, di samping belajar mencari ilmu
pengetahuan. Disana beliau belajar kepada sejumlah guru,
diantaranya:
1. Abul Qasim Hamzah bin Muhammad al-Kinani, seorang
'alim dari Mesir, dari ulama ini al-Qabisi belajar kitab hadist
An-nasa'i
2. Abu Zaid Muhammad bin Ahmad al-Marwazi seorang ulama
Mekkah, darinya al-Qabisi mempelajar kitab Shahih alBukhory
3. Abul Fath bin Budhan (w.359) ulama Mesir ahli qiraah
4. Abu Bakar Muhamma bin Sulaiman al-Nu'ali, seorang
ulama terkenal di Mesir, dari beliau al-Qabisi banyak
mengambil teladan
5. Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad al-Jurjani salah seorang
ulama perawi Shahih Bukhary

[15]

6. Abu Dzar al-Harwi (w.434 H), seorang faqih Maliki yang


terkenal

dengan

karyanya Musnad

al-

Muwaththa' darinyalah al-Qabisi mempelajari hadist Imam


Maliki dengan kitabnya al- al-Muwaththa'
Pada tahun 357H/967M beliau pulang ke Kairawan untuk
menerapkan ilmu yang telah dikuasainya. Dari perjalanannya
mencari ilmu pengetahuan menghantarkannya menjadi seorang
alim dalam fiqih dan hadist. Di Kairawan beliau menjadi seorang
guru sekaligus kepala madrasah al-Malikiyah yaitu madrasah alFikriyah al-Aqa'idiyah menggantikan teman sepergurunnya Ibnu
Abi Zaid al-Kairawan (w.389 H). Banyak murid yng belajar kepada
beliau dan selanjutnya menjadi ulama besar, baik dari Afrika
maupun dari luar Afrika, terutama dari Andalusia.
Ada sesuatu yang menarik bagi al-Qabisi. Beliau yang
produktif dalam menulis dan beliau juga diceritakan adalah
seorang

yang

menceritakan
bahwa

beliau

buta,

meskipun

kebutaannya.
menglami

berbeda

Namun

kebutaan

ada

pendapat
yang

semenjak

dalam

mengatakan
kecil.

Tetapi

argumentative yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa


kebutaan dialaami menjelang wafat, ketika temannya Ibnu Abi
Zaid al-Kairawan meninggal dunia pada tahun 386 H, diceritakan
beliau menangis dengan kewafatan temannya ini, sehingga
membawa kepada kebutaan. Al-Qabisi meninggal dunia pada
tahun 403 H di Kairawan. Ahmad Fuad al-Ahwani mengutip
pendapat Ibnu Khilkan menjelaskan bahwa al-Qabisi meninggal
pada malam Rabu tanggal 3 Rabiul Akhir tahun 403 H.

[16]

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Tradisi iqra dan kuttab yang telah dibiasakan oleh Rasulullah
Saw membuahkan hasil dengan adanya kecintaan umatnya
untuk mendalami berbagai disiplin ilmu dan itu tertuang dalam
buku-buku yang dihasilkan oleh para cendikiawan muslim yang
tersimpan dalam perpustakaan.
Untuk
mempelajari

meningkatkan
dan

minat

mengulas

dan

berbagai

[17]

konsentrasi
disiplin

ilmu

dalam
maka

perpustakaan-perpustakan diatur sedemikian rupa dari bentuk


bangunan, ruangan dan penataan bukunya sangat diperhatikan
oleh umat Islam.
Dengan penataan yang proffesional maka orang yang
datang memanfaatkan perpustakan akan terasa nyaman dan
tenang, yang itu akan berakibat kepada tingkat intensitas dalam
mempelajari buku yang dipelajarinya.
Untuk menjaga eksistensi dari perpustakaan maka perlu
adanya etika dalam perpustakaan antara laian : tegur sapa yang
baik antara pengguna dan penjaga perpustakaan, menjaga
jangan sampai buku yang dipinjam menjadi rusak atau cacat
dan memahami bahwa orang lain juga membutuhkan buku yang
kita pinjam sehingga perlu adanya disiplin waktu peminjaman.

DAFTAR PUSTAKA

Nata Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,

Jakarta: Raja

Grafindo Persada Cet II, 2001


Said

M., Pendidikan

Abad

Keduapuluh

dengan

Latar

Belakang

Kebudayaannya, Jakarta: Mutiara,


al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1984.

[18]

al- Adawy, Ibrahim Ahmad. Rasyid Ridha al-Imamul Mujtahid, Kairo: AlMuassah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Talif wal Anfa wa al-Nasyr,
t.th
al-Numy, Abdullah al-Amin. Kaedah dan Tekhnik Pengajaran Menurut
Ibnu Khaldun dan Al-Qabisy. Jakarta: t.pt., 1995.
Amin, Qasim. Tahrir al-Marah. Kairo: Dar al-Maarif al-Islamiyyah, t,th
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan
dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996.
Echols, John, M.M., An English- Indonesia Dictionary, diterjemahkan
oleh Hasan Shadily dengan judul Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 1988.
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
al- Jumbulati, Ali. Dirasatun Muqaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, terj.
M. Arifin, dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta:
Rineka Cipta, 1994.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa
Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
Mursi, Muhammad Abdul Alim. Al-Targhib fi al-Talim fi Alamil alIslamy, diterjemahkan oleh Majid Khan dengan judul Westernisasi
dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Fikahati Aneska, 1992.
Susanto A., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009

[19]

MAKALAH

PERPUSTAKAAN DI DUNIA ISLAM


ZAMAN KLASIK DAN PERTENGAHAN
MATA KULIAH : SEJARAH SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM

Oleh :

Moch Hata
KELAS C

DOSEN PENGAMPU :

DR. E R A W A D I, M.Ag

[20]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN

2015

[21]

Anda mungkin juga menyukai