Anda di halaman 1dari 15

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AL- QABISI dan IBNU

MASKAWAIH TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Oleh :

Al ANSARI

000303512022

PROGRAM PASCARASJANA

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam telah berlangsung 15 abad, yakni sejak Nabi Muhammad

Saw diutus sebagai Rasul. Pada awalnya pendidikan berlangsung secara

sederhana, dengan masjid sebagai pusat pembelajaran. Al-Qur'an dan hadis

sebagai kurikulum utama dan Rasulullah sendiri berperan sebagai guru dalam

proses pendidikan tersebut. Setelah Rasulullah Saw wafat Islam terus

berkembang. Kurikulum pendidikan yang awalnya terbatas pada al-Qur'an dan

hadis berkembang dengan dimasukkannya ilmu-ilmu baru yang berasal dari luar

Jazirah Arab yang telah mengalami kontak dengan Islam baik dalam bentuk

peperangan maupun dalam bentuk hubungan damai.

Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan kegiatan kependidikan pada

masa klasik Islam telah membawa Islam sebagai jembatan pengembangan

keilmuan dari keilmuan klasik ke keilmuan modern. Akan tetapi generasi umat

Islam seterusnya tidak mewarisi semangat ilmiah yang dimiliki para

pendahulunya. Akibatnya prestasi yang telah diraih berpindah tangan ke Barat,

karena ternyata mereka mau mempelajari dan meniru tradisi keilmuan yang

dimiliki oleh umat Islam masa klasik dan mampu mengembangkannya lebih

lanjut.

Dalam kaitan itulah penelusuran kembali terhadap konsep atau pemikiran

kependidikan yang berkembang di kalangan umat Islam sejak masa 1 2 klasik

2
sampai dengan masa kontemporer atau modern menjadi sesuatu yang sangat

penting dan bermanfaat.

Untuk itu sangat penting dilakukan penelitian terhadap konsep pendidikan

Al Qabisi dan Ibnu Maskawaih dan agar diketahui umat Islam pada umumnya dan

dunia pendidikan pada khususnya sehingga menambah khazanah keilmuan dalam

bidang pendidikan.

B. Rumusan Masalah

1. Biografi Al-Qabisi dan Ibnu Maskawaih

2. Apa saja bentuk pemikiran Al-Qabisi dan Ibnu Maskawaih tentang

Pendidikan Islam ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Qabisi

1. Riwayat Hidupnya

Nama Lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf al-

Qabisi, lahir pada bulan Rajab 324 H/13 Mei 936 Untuk itu sangat penting

dilakukan penelitian terhadap konsep pendidikan Ibn Qayyim agar diketahui umat

Islam pada umumnya dan dunia pendidikan pada khususnya sehingga menambah

khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan. Di Kota Qaeruan, Tunisia. Ia

pernah merantau ke negara – negara Timur Tengah pada tahun 353 H/936 M

selama 5 tahun, kemudian ke negeri asalnya dan meninggal tanggal 3 Rabi’ul 403

H/23 Oktober 1012 M. Menurut al-Qadhi’iyah. Abu Hasan bukan berasal dari

kabiah al-Qabisi, maa ia diberi gelar al-Qabisi, demikian pula pendapat al-Shafdi.

Sewaktu berada di Mesir, ia berguru kepada salah seorang ulama

Iskandariyah, dia juga pernah berguru kepada ulama – ulama terkenal di Afrika.

Ulama seperti Abul Abbas al-Ibyani, Abul Hasan bin Masrur al-Abul Hasan bin

Masrur al-Dibaghi dan Abu Abdillah bin Masrur al-‘Assaali, memperdalam Ilmu

Agama dan al-Hadits.

Selanjutnya ketika berada di Qaeruan, ia belajar ilmu fiqh kepada ulama mazhab

Maliki yang berkembang di daerah itu, sehingga disamping sebagai ulama hadits,

ia juga dikenal sebagai ulama fiqh pada zamannya. Keahliannya normatif, dan

corak pemikiran ini juga nampak pada konsep pendidikan yang dirumuskannya

4
adalam salah satu karyanya, yaitu Abwal al-Muta’alliumin wa Ahkam Al

Muta’allimin wa Muta’allimin.

2. Konsep Pendidikannya

Menurut al-Qabisi, pendidikan terhadap anak merupakan tanggung jawab

orang tua dan dimulai pertama kali dirumah. Sedangkan pendidikan anak di

Kuttab merupakan kelanjutan dari pendidikan di rumah. Di Kuttab, anak mula –

mula belajar menghafal al-Qur’ab, baik secara individual maupun kelompok,

kemudian diajar menulis, bahwu, bahasa Arab, ilmu hitung, bahwu, bahasa Arab,

Ilmu hitung, Syair dan kisah – kisah Arab yang berlangsung sejak pagi hingga

sore dari, dan diwaktu Zhuhur anak pulang untuk makan siang/istirahat. Proses ini

berlangsung sebagai berikut : guru terlebih dahulu membaca (menghafal) ayat –

ayat berulang kali, kemudian diikuti oleh anak secara berulang – ulang, kemudian

masing – masing anak diberi batu tulis untuk menuliskan apa yang telah dihafal

pada hari itu, dan keesokan harinya anak harus menunjukkan tulisan ayat tersebut

kepada guru, setelah itu, dihapus untuk ditulisi lagi ayat – ayat yang dihafal pada

hari berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca dan menulis

menjadi syarat mutlak dalam belajar al-Qur’an. Apabila anak telah lalai atau

melakukan kesalah atau tidak melaksanakan tugas sebagaimana hukuman.

Sebelum hukuman diberikan, anak terlebih dahulu diberi nasihat, kemudian

diberikan peringatan keras dan terakhir diberikan pukulan apabila masih berbuat

kesalahan, sebaikanya apabila anak sukses dalam belajar khatam al-Qur’an anak

diberikan pelajaran tambahan, yaitu pelajaran keterampilan seperti industri rumah

dan perdagangan, hal ini dimaksudkan sebagai bekal anak untum mencari nafkah

5
dari materi yang diberikan pada lembaga Kuttab di atas, tergambar kurikulum

versi al – Qabisi yang harus ditempuh anak, yang harus ditempuh anak, yang

dibagunya menjadi dua kelompok, yaitu kurikulum Ijabari (wajib), meliputi

kandungan ayat – ayat al-Qur’an seperti shalat dan do’a, dan kurikulum Ikhtiyari

(tidak wajib) yang meliputi ilmu hitung, ilmu nahwu, bahasa Arab, syair dan kisah

– kisah Arab. Kurikulum tersebut harus disusun berdasarkan tujuan pendidikan,

memenuhi tuntutan masyarakat sesuai dengan jenjang pendidikan dan mengikuti

politik pendidikan yang telah digariskan sesuai zamannya.

Dilembaha Kuttab menurut al-Qabisi, murid laki-laki tidak boleh

dicampur dengan murid perempuan, bahkan muri yang sejenis kelaminpun tidak

boleh bercampur antara anak yang belum dewasa dengan anak yang sudah dewasa

(baligh), kecuali diyakini bahwa anak yang sudah dewasa tidak akan merusak

moral anak yang belum dewasa.

B. Ibnu Miskawaih

1. Riwayat Hidupnya

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibnu Muhammad

Ibnu Ya’kub Ibnu Miskawaih, lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy, Persia, dan

meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 412 H/ 16 Februari 1030 M (Nata,

2000 :5), menurut Busyairi Madjidi, ia lahir tahun 330 H dan meninggal tahun

421 H. Ibnu Miskawaih hidup pada zaman daulal Bani Buwaihi, pernah belajar

sejarah, fulsafat dan kimia, akrab dengan para penguasa dan ilmuwan pada masa

itu, termasuk Ibnu Sina, dengan pengalaman bekerja sebagai bendaharawam,

sekertaris, pustakawan dan pendidikan anak para pemuka dinasti Buwaihi yang

6
sebagaian besar bermazhab Syi’ah. Disamping itu ia juga dikenal sebagai

sejarawan besar, sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahliannya dalam

berbagai bidang ilmu tersebut, terlihat dalam berbagai karya tulisnya, baik berupa

buka maupun artikel sebanyak 41 buah yang menurut Ahmad Amin tidak lepas

dari kepentingan filsafat akhlak, antara lain Tahzib al-Akhlak, al-Fauz al-

Ashgharm Risalah fi at-Thabi’at, Risalah fi Jauhar an-Nafs, Maqalat an-Nafs wa

al-Aql. Keahliannya dalam bidang akhlak ini, tergambar lebih lanjut dalam konsep

pendidikan yang dirumuskannya.

2. Konsep Pendidikannya

Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang

bertumpu pada pendidikan akhlak yang bertujuan untuk mewujudkan peribadi

susila, berwatak, berbudi pekerti mulia, sehingga diperoleh kebahagiaan sejati dan

sempurna. Peribadi susila, berwatak, berbudi pekerti mulia, dan perilaku luhu

lahir dari jiwa atau watak yang baik. Untuk memperoleh watak yang baik,

diperlukan pendidikan ia menolak pendapat bagaian ahli pada zaman dulu yang

menyatakan bahwa watak manusia itu tidak dapat dididik, karena watak itu

bersifat alami. Akhlak merupakan hal yang sangat esensi dalam kehidupan

manusia. Ibn Miskawaih mendefinisikan akhlak sebagai sebuah kondisi jiwa

manusia yang secara spontan mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan

tanpa berpikir dan ragu. Bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari

konsepnya dalam pendidikan. Konsep dasar pendidikan yang ditawarkan pertama

adalah syari'at sebagai faktor penentu sebagai penentu pendidikan karakter untuk

7
memperoleh sebuah kebahagiaan. Konsep kedua adalah psikologi sebagai

pengetahuan jiwa dalam membentuk karakter yang baik.

Pemikiran pendidikan akhlak dalam perspektif Ibn Miskawaih secara

aktual dilandasi dari pemikirannya terhadap manusia yang kondisi fitrahnya tidak

pernah mengalami perubahan, sehingga konsepnya selalu aktual dan mampu

memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan pendidikan. Ibn Miskawaih

Dalam mengaktualisasikan pendidikan akhlaknya membagi dua metode khusus.

Pertama, adanya motivasi untuk selalu berlatih membiasakan diri dan menahan

diri. Kedua, segala pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman orang lain sebagai

bentuk cermin bagi dirinya. Kedua metode ini menjadi prioritas dalam pandangan

ibn Miskawih untuk mencapai akhlaqul karimah. Pada periode klasik Ibnu

Maskawaih adalah salah satu pemikir Islam yang sangat terkenal dengan teori

etika/akhlaknya. Segenap pemikirannya tertuang dalam bukunya Tahzîb alAkhlāk

wa Thathhîr al-Arāq. Buku ini menjelaskan proses perkembangan etika manusia

yang terdiri dari dua kutub yang sangat ekstrim, yaitu kontradiksi berupa sebuah

kecenderungan berbuat sangat baik dan kecenderungan berbuat buruk/jahat yang

berlebihan. Manusia yang baik dalam pandangannya apabila mampu mengatur

dua kutub yang saling berlawanan menjadi sifat yang berada pada posisi tengah

atau moderat.1 Etika dalam pandangan Ibnu Maskawaih memiliki hubungan

dengan sifat kepribadian atau karakter Islam karena misi Nabi Muhammad SAW

diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan etika manusia. Bangunan teori ibnu

Miskawih terhadap keutamaan akhlak yaitu “pertengahan” (al-wasath) atau teori

1
Abidin, Z.. Konsep Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Tapis, 14(02), 2012,
270–290.

8
“jalan tengah”. Doktrin ini sudah sangat dikenal para filosof sebelum Ibnu

Maskawaih dengan istilah The Doctrine of the Mean atau The Golden Mean

seperti di daratan China yang dikenal dengan doktrin jalan tengah melalui filosof

China, Mencius (551-479SM). Begitu pula dilakalangan filosof Yunani Plato

(427-347SM), dan Aristoteles (384-322 SM) dan filosof Muslim seperti al-Kindi

dan Ibnu Sina juga memiliki pandangan tentang doktrin jalan tengah.2

Menurut Ibn Miskawaih dalam Jiwa manusia ada 3 macam yaitu jiwa

alBahamiyyat (jiwa bernafsu), jiwa alGhadabiyyat (jiwa pemarah), dan jiwa al-

Nathiqat (jiwa berpikir). Posisi “pertengahan” (al-wasath) dari jiwa albahimiyyah

yaitu menjaga kesucian diri (al-Iffat/temperance). Sedangkan posisi tengah dari

jiwa al-ghadabiyyat adalah keberanian (al-syaja’at/ courage), dan Al-nathiqat

adalah kebijaksanaan (alhikmat/ wisdom). Dan posisi tengah dari gabungan semua

jiwa itu adalah keadilan/ keseimbangan (al- ‘adalat/justice). 3 Dalam hal ini ia

berbeda pendapat dengan Ibnu Sina, tetapi setuju dengan Aristoteles. AlGhazali

sependapat dengan Ibnu Sina bahwa keadilan hanya mempunyai satu lawan

makna, yakni aniaya (al-jaur). Sehubungan dengan itu, keadilan menurut Ibnu

Sina dan al-Ghazali tidak pula memiliki cabang-cabang.4

Posisi tengah yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih adalah sebuah

standarisasi bagi kehidupan manusia. Posisi tengah yang sebenarnya (alwasath al-

haqiqi) adalah satu, yakni disebut keutamaan (al-fadilat). Yang satu ini disebut
2
Mahmud, Abdul Halim, al-Tafkir alFalsafi fi al-Islam, (Beirut: Dar al- KitabalUlbnani, 1982), h.
320; Nur, C. M.. Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Maskawaih (Interpretasi terhadap Makna al-
Wasath dalamal-Quran). Jurnal Al-Mu‘ashirah, 9(1), 2012, p 60–67.
3
Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlak wa That hir al-Araq, Beirut: Dar al- Maktabah 1398 H;
Maghfiroh, Muliatul,. Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahzib Al-Akhlaq Karya Ibnu
Miskawaih. Journal Tadris. 2016. 11 (2), 207- 218
4
Nur Hamim. Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih Dan Al-
Ghazali. Ulu Muna Jurnal Studi Keislaman, ........40

9
juga garis lurus (alkhathath al-mustaqim). Karena pokok keutamaan ada empat

yakni kebijaksanaan, keberanian, menahan diri, dan keadilan, sedangkan yang

tercela ada delapan yaitu nekad (altahawwur/recklessness), pengecut

(aljubn/cowardice), rakus (alsyarah/profligacy), dingin hati (alkhumud/frigidity),

kelancangan (alsafah/ impudence), kedunguan (albalah/stupidity), aniaya (al-

jaur/alzhulm/tyranny), dan teraniaya (almuhanat/al-inzhilam/servility)

Tahdzib Al-Akhlak oleh Ibn miskwaih berisi pemikiran dan ajaranajaran

moral berdasarkan nilai mulia, kolaborasi antara studi filsafat teoritis dan panduan

praktis, di mana bagian pendidikan dan pengajaran lebih menonjol. Dalam hal ini

Ibn Miskwaih lebih berpihak pada pendekatan solusi. Pertama, degradasi moral

yang terjadi ditengah masyarakat dapat dirubah melalui pendidikan. Kedua,

Urgensi pendidikan bagi bagi anak dan orang dewasa. Ketiga, dibutuhkannya

kehadiran pemimpin yang mampu besikap adil untuk mencegah degradasi

moraliltas bangsa. Keempat, adanya sebuah perhatian pemerintah terhadap rakyat

seperti hubungan orang tua dengan anaknya. Kelima, Dibutuhkan teman yang

baik dalam mencegah degradansi moral. Keenam, kebajikan sosial juga

merupakan langkah penting dalam solusi degradasi bangsa. Ketujuh, kesehatan

mental. Beberapa langkahlangkah ini cukup baik dalam rangka dalam

memecahkan degradasi bangsa. Harapannya secara internal ada sebuah upaya

untuk membangun jiwa menjadi sehat dan tidak mudanya terkontaminasi dengan

sikap degradansi moral. 5

5
Taufiq Harahap, M. (2017). Communication Ethics Ibn Miskawaih And Its Relevance To The
Solving Of Moral Problems In Indonesia. Ijlres -International Journal on Language, Research and
Education Studies. 2017, 1(1), 119-129

10
Berikut ini pokok-pokok pemikiran Ibnu Maskawaih dalam menanamkan

pendidikan akhlak antara lain:

a. Al-Hikmah/wisdom (Kebijaksanaan) Ibnu Maskawaih memandang sebuah

hikmah/kebijaksanaan adalah mengedepankan jiwa rasional untuk mengetahui

perbuatan yang dipilihnya bersifat baik atau salah. Implikasi dari paradigma

ini adalah kemampuan untuk memaksimalkan rasio mengambil keputusan

terhadap sesuatu yang harus atau wajib dilakukan mapun ditinggalkan.

AHikmah berada pada posisi posisi pertengahan atau golden mean yaitu

diantara al- safah (kelancangan) dan al-balah (kedunguan). Makna Al Safah

adalah menggunakan kemampuan berpikir yang keliru. Sedangkan Al-balah

adalah terjadi sebuah kejumudan terhadap kemampuan berpikir meskipun bisa

mengoptimalkan hasil dari daya pikir yang dimilikinya6.

b. Al-Syaja’at (Keberanian) Al-Syaja’at (keberanian) merupakan bagian dari

suatu keutamaan jiwa alghadabiyyah/al-sabuiyyat. Karakter ini akan muncul

pada diri manusia ketika nafsu di bimbing oleh jiwa alNathiqat sehingga

keadaan ini menjadi hilangnya rasa takut dalam menyampaikan sebuah

kebaikan dan kebenaran. Posisi keberanian (alSayaja’at) juga berada berada

ditengah diantara sifat al-Jubn (pengecut) dan tatthawwur (nekad).7

c. Al-Iffat/temperance (Menjaga Kesucian atau Menahan Diri) Menjaga

kesucian/menahan diri (alIffat) dalam Ibnu Maskawaih merupakan karakter

yang berasal dari al-syahwatiyyah-bahimiyyah. Munculnya karakter ini pada

saat bisa mengendalikan nafsu dengan mengedepankan rasio yang dimilikinya

6
Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlak wa That hir al-Araq, ...... 1398 H
7
Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlak wa That hir al-Araq, ..... 1398 H

11
untuk melakukan perbuatan yang benar.8 Sebagai langkah awal dalam

mencapai posisi tengah (moderat) yang harus dilakukan adalah proses

pembiasaan (conditioning) berupa banyak berlatih supaya terbentuk karakter.

Karakter al- Iffat itu bertujuan untuk mencapai membangun keselamatan

spiritual. Disamping Al Ghazali, Al-Iffat Banyak dibahas oleh Aristoteles dan

Ibnu Maskawaih.

d. Al-‘Adalat/Justice (Keadilan) Al-‘Adalat/Justice dalam pandangan Ibnu

Maskawaih akan muncul pada diri manusia pada saat mampu menggabungkan

secara baik karakter al-hikmah, al-syaja’at dan al-iffāt secara bersamaan.9

Para filsuf sepakat Konsep bahwa keadilan ini tidak merupakan sebuah

keutamaan tersendiri akan tetapi sebuah penggabungan dari beberapa keutamaan

yang lain. Pelaksaanaan pendidikan karakter sesungguhnya adalah sebuah upaya

pembiasaan/ conditioning untuk menghasilkan respon perilaku positif.

Kemampuan kognitif, hasil belajar, sikap dan pengalaman adalah manifestasi hasil

pelaksanaan pendidikan karakter. Pendidikan Akhlak harus dimulai dengan

motivasi penemuan konsep diri bagi peserta didik. Bagi Ibn Maskawaih agama

harus dijadikan dasar utama dalam pelaksanaan pendidikan etika dan moral pada

diri anak. Pemikiran ini didasarkan pada kecenderungan Ibn Miskawaih dalam

mengedepankan nalar spiritual dan filosofisnya dalam berpikir. Sehingga

pendidikan etika dimulai dari implementasi pendidikan agama pada usia dini.10

Dengan demikian disaat seseorang menempatkan agama sebagai pondasi awal

8
Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlak wa That hir al-Araq, ........ 1398 H
9
Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlak wa That hir al-Araq, ........ 1398 H
10
Rosif. Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam ( Analisis Pemikiran Ibnu Maskawaih ). Jurnal
Pendidikan Agama Islam, III(2), 2015, p 393–417.

12
dari pendidikan keluraga maka sesungguhnya orang tersebut sudah meletakkan

pondasi dasar dalam membangun etika dimasa yang akan datang.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran atau konsep

pendidikan Ibnu Maskawaih dan al-Qabisi masih/cukup relevan dengan sistem

pendidikan kontemporer dewasa ini setidaknya dalam konteks keindonesiaan,

kecuali pendapat al-Qabisi tentang pencampuran antara murid perempuan,

meskipn konsep yang dikemukakan tidak mencakup keseluruhan komponen yang

ada dalam sistem pendidikan kontemporer, terutama menyangkut scope

kurikulum dan manajemen penyelenggaraan pendidikan.

Walaupun demikian, di harapkan konsep – konsep pendidikan yang

dikemukakan oleh kedua tokoh di atas, dapat ditenungkan kembali oleh para

penyelenggara / pengelola pendidikan, lebih – lebih para guru yang berhadapan

langsung dengan anak didik, sehingga dapat merubah orientasi kegiatan

pendidikan yang terfokus pada “pengajaran” atau “transfer ilmu pengetahuan”

menjadi “pengajaran dan pendidikan” sekaligus, tidak hanya transfer ilmu ke

dalam otak anak didik (aspek kognitif) dan amal (aspek psikomotorik), dimana

kedua aspek yang terakhir ini dirasakan sangat kurang atau hampir terabaikan,

padahal budaya – budaya baru yang tidak mendidik bahkan merusak moral, telah

menerap anak didik kita dewasa ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z.. Konsep Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Tapis,
14(02), 2012, 270–290.

Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlak wa That hir al-Araq, Beirut: Dar al- Maktabah
1398 H; Maghfiroh, Muliatul,. Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahzib
Al-Akhlaq Karya Ibnu Miskawaih. Journal Tadris. 2016. 11 (2), 207- 218

Mahmud, Abdul Halim, al-Tafkir alFalsafi fi al-Islam, (Beirut: Dar al-


KitabalUlbnani, 1982), h. 320; Nur, C. M.. Pendidikan Akhlak Menurut
Ibnu Maskawaih (Interpretasi terhadap Makna al-Wasath dalamal-Quran).
Jurnal Al-Mu‘ashirah, 9(1), 2012, p 60–67.

Nur Hamim. Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih


Dan Al-Ghazali. Ulu Muna Jurnal Studi Keislaman,

Rosif. Dialektika Pendidikan Etika Dalam Islam ( Analisis Pemikiran Ibnu


Maskawaih ). Jurnal Pendidikan Agama Islam, III(2), 2015, p 393–417.

Taufiq Harahap, M. (2017). Communication Ethics Ibn Miskawaih And Its


Relevance To The Solving Of Moral Problems In Indonesia. Ijlres -
International Journal on Language, Research and Education Studies. 2017,
1(1), 119-129

15

Anda mungkin juga menyukai