Anda di halaman 1dari 10

Konsep Pendidikan Ibnu Sina dan Penerapannya dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Bintana Cahya Kamila,1 Dr. Hj. Arba’iyah YS., MA,2 Denia Septi Dwi Lestari,3 Divani Raniadi4

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

1bintanacahya02@gmail.com, 2arba.gusti@gmail.com

3denia.septi21@gmail.com, 4divaniraniadikiwkiw@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini mengkaji konsep pendidikan menurut pemikiran Ibnu Sina dan implementasinya dalam
konteks perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Tujuan utama adalah mengeksplorasi konsep
pendidikan yang terkandung dalam pemikiran Ibnu Sina dan mengidentifikasi relevansinya dengan
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
pustaka dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan melalui referensi dari berbagai
sumber, termasuk buku, jurnal, majalah, dan internet, yang membahas konsep pendidikan Islam,
konsep guru, konsep kurikulum, dan metode pendidikan Islam menurut Ibnu Sina, serta penelitian
terdahulu yang relevan. Konsep-konsep Ibnu Sina dianalisis untuk menyimpulkan temuan yang dapat
disesuaikan dengan tema konsep pendidikan Islam di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa gagasan Ibnu Sina dapat menjadi landasan yang berharga untuk mengembangkan generasi
terdidik dengan pemahaman agama yang mendalam, menciptakan proses pembelajaran yang
terkoordinasi, dan mempersiapkan generasi untuk menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.

Kata Kunci; Pendidikan, Pendidikan Islam, Ibnu Sina

Pendahuluan

Pendidikan adalah tindakan yang disadari dan diatur untuk menciptakan iklim belajar dan
pengalaman pendidikan dengan tujuan agar para siswa dapat secara efektif dan penuh semangat
mengembangkan kapasitas mereka yang sebenarnya. Pekerjaan pendidikan sangat penting untuk
koherensi kehidupan di planet ini. Dengan pendidikan, standar setiap orang dan negara akan
tercapai. Pendidikan Islam adalah studi tentang pengajaran dalam pandangan Islam. Oleh karena itu,
pendidikan Islam harus diperoleh dari Al-Qur'an dan hadis Nabi. Dengan asumsi bahwa hal itu harus
dikoordinasikan menuju pengembangan sesuai dengan pendidikan Islam, maka harus dilanjutkan
melalui sistem pendidikan Islam, baik melalui kerangka kerja kelembagaan dan kurikuler. Substansi
dari potensi yang kuat dalam diri setiap orang terletak pada kepercayaan atau keyakinan, ilmu
pengetahuan, kualitas etika dan pengalaman. Keempat kemungkinan mendasar ini menjadi tujuan
utilitarian dari pendidikan Islam.

Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina atau yang secara umum dikenal dengan nama Ibnu Sina atau
Avicenna (bahasa latin yang terdistorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ahli
ensiklopedi, ahli logika, ahli fisiologi, dokter, matematikawan, pengamat bintang, dan penulis.
Faktanya, dalam beberapa hal, ia lebih dikenal sebagai penulis esai daripada ahli logika. Dia adalah
seorang peneliti dan pemikir Muslim yang sangat terkenal dan sangat mungkin merupakan peneliti
dan pemikir terbaik yang pernah ada. Ibnu Sina memberikan banyak kontribusi dalam membangun
dasar-dasar pendidikan Islam, yang benar-benar penting dan memiliki pengaruh yang tidak kecil
pada pendidikan Islam saat ini.

Ibnu Sina melihat bahwa alasan untuk bersekolah, terdiri dari dua bagian termasuk: pertama,
pengenalan insan kamil, yaitu orang-orang yang dibina semua yang diharapkan dengan cara yang
layak dan ekstensif; kedua, rencana pendidikan yang memungkinkan peningkatan semua potensi
manusia, termasuk aspek fisik, keilmuan, dan mental. Ibnu Sina berpendapat bahwa sekolah adalah
sebuah tindakan yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan individu untuk berpikir sesuai
dengan standar moral dan akhlak yang menyeluruh. Di sekolah, terlepas dari contoh-contoh fisik
atau olahraga, seorang siswa harus dibekali dengan kebajikan dan kebiasaan. Kebajikan ini harus ada
dan ditanamkan dalam diri manusia secara konsisten. Perspektif ini menggabungkan sudut pandang
individu, sudut pandang sosial, dan sudut pandang dunia lain. Ketiga perspektif ini harus bekerja
secara ekstensif, untuk pengakuan etika terhormat yang harus ditanamkan oleh setiap Muslim.
Untuk memahami tujuan dari etika yang terhormat, para siswa di ranah sekolah Islam harus
mendapatkan fokus penuh dan diperlihatkan ilmu moral. Seperti yang dilaksanakan oleh Dinas
Usaha Tegas di bidang agama bahwa pelatihan etika merupakan mata pelajaran yang harus ada di
sekolah-sekolah baik di tingkat MI, MTs, maupun Mama. Alasan adanya pelatihan etika ini adalah
untuk menambah rasa kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT yang telah diciptakan sebagai
seseorang yang memiliki kepercayaan diri dan pribadi yang terhormat.

Literature Review

1. Pendidikan

Pendidikan adalah tindakan yang disadari dan diatur untuk menciptakan suasana belajar dan
pengalaman pendidikan dengan tujuan agar para pengganti dapat secara efektif dan bersemangat
mengembangkan kapasitas mereka yang sebenarnya. Pekerjaan pendidikan sangat penting bagi
perkembangan kehidupan di planet ini. Dengan sekolah, tujuan setiap orang dan negara akan
tercapai. Pengajaran telah ada sejak manusia ada di planet ini. Sesuai dengan kenyamanannya,
secara khusus mengawasi kehidupan yang juga diciptakan sesekali.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengajar memiliki arti sebagai cara yang paling umum untuk
mendukung dan memberikan bimbingan dalam hal moral dan pengetahuan ilmiah. Seiring
berjalannya waktu, pendidikan memiliki berbagai implikasi. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan
adalah suatu ketertarikan terhadap eksistensi anak muda. Hal ini menyiratkan bahwa sekolah
digunakan untuk menjadi kursus bagi mereka sehingga sebagai manusia mereka memiliki sudut
pandang yang luas, namun di samping itu mereka juga mendapatkan rasa aman dan puas dengan
pendidikan yang mereka miliki. Ki Hajar Dewantara membagi cakupan pendidikan menjadi tiga,
lebih spesifiknya 1) pendidikan dalam keluarga, 2) pendidikan di sekolah, 3) pendidikan secara lokal.
Dengan adanya pembagian ini, tidak membatasi suatu kemampuan untuk adanya pendidikan.
Semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk membina diri dan menghindari perilaku kriminal.

Aristoteles mengusulkan bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan aman, maka
seseorang harus dididik. Sekolah di sini bukan hanya tentang persiapan kecerdikan, namun juga
siklus yang menggabungkan arahan yang mendalam dan mendalam sehingga orang yang diberi tahu
dapat mempersiapkan ketajaman mereka dalam mengendalikan kepentingan.

Pendidikan mendorong orang ke kemungkinan-kemungkinan yang tidak sepenuhnya menetap.


Tanpa pendidikan, manusia tidak akan bisa berkreasi, mengetahui arti penting dan hakikat hidup
mereka sebagaimana diatur oleh Allah SWT. Selanjutnya, setiap orang berkewajiban untuk mencari
pendidikan selama sisa hidupnya untuk mendapatkan arah yang positif dalam hidupnya.

2. Pendidikan Islam

Sebagai aturan umum, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah studi tentang instruksi dalam
pandangan Islam. Oleh karena itu, instruksi Islam harus diperoleh dari Al Qur'an dan hadis Nabi.
Pendidikan Islam adalah "pendidikan bagi seluruh individu, jiwa dan hatinya, jiwa dan raganya, etika
dan kemampuannya. Berikut adalah beberapa pengertian pendidikan Islam yang disepakati oleh
para ahli;

a) Menurut Ahmad D. Marimba (dalam Umi Uhbiyat), pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani
dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.

b) Arifin mencirikan pendidikan Islam sebagai proses sistem persekolahan yang mencakup seluruh
bagian kehidupan yang diperlukan oleh peserta didik dalam terang pendidikan Islam.

c) Soejoeti berpendapat, pertama, pendidikan Islam adalah semacam persekolahan yang dasar dan
pelaksanaannya didorong oleh kerinduan dan jiwa cita-cita untuk menjelmakan sifat-sifat Islam, baik
yang tercermin pada pendiriannya maupun pada latihan-latihan yang diselenggarakannya. Kedua,
pendidikan Islam adalah jenis sekolah yang memfokuskan dan sekaligus menjadikan pelajaran Islam
sebagai bahan kajian untuk program kajian yang akan diselenggarakan. Terlebih lagi, yang ketiga,
pendidikan Islam adalah semacam pengajaran yang menggabungkan dua definisi di atas.

Pendidikan Islam adalah pekerjaan orang dewasa Muslim yang taat yang dengan sengaja segera dan
membimbing perkembangan dan kemajuan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui pelajaran-
pelajaran Islam menuju tempat yang paling tinggi dalam perkembangan dan peningkatan.
Pendidikan secara hipotetis menunjukkan "menjaga" (opvoeding) terhadap semangat para siswa
sehingga mereka mendapatkan pemenuhan yang mendalam, hal ini juga sering diartikan sebagai
"mengembangkan" kapasitas manusia yang esensial. Dengan asumsi bahwa hal tersebut harus
dikoordinasikan menuju pengembangan seimbang atas pendidikan Islam, hingga hal tersebut wajib
ditangani dengan struktur sekolah Islam, maka dengan kerangka kerja institusional meskipun
kegiatan pendidikan. Inti mengenai kemampuan unik pada diri masing-masing orang terletak pada
kepercayaan diri atau keyakinan, ilmu pengetahuan, kualitas etika, dan pengalaman. Empat
kemungkinan mendasar ini menjadi tujuan praktis dari pendidikan Islam.

3. Ibnu Sina

Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina atau yang secara umum dikenal dengan nama Ibnu Sina atau
Avicenna (bahasa latin yang terdistorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ahli
ensiklopedis, cerdik pandai, ahli fisiologi, dokter, ahli matematika, ahli astronomi, dan penulis esai.
Faktanya, dalam beberapa hal, ia lebih dikenal sebagai penulis esai daripada seorang sarjana. Dia
adalah seorang peneliti dan pemikir Muslim yang sangat terkenal dan sangat mungkin merupakan
peneliti dan pemikir terbaik yang pernah ada. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain bin Abdullah
bin Hasan bin Ali bin Sina. Ibnu Sina dilahirkan ke dunia pada bulan Safar 370 H atau Agustus-
September 980 M di Afshanah, sebuah komunitas sederhana di wilayah yang sekarang bernama
Uzbekistan. Di dunia Barat, ia dikenal sebagai Ibnu Sina dan dijuluki sebagai penguasa para ahli.

Ibnu Sina lahir ke dunia di kota Afshanah, kota ibunya, dekat dengan kota Kharmaitsan, dari daerah
Balh (distrik Afganistan), yang dikenal sebagai wilayah Bukhara (yang saat ini berada di Rusia).
Ayahnya berasal dari Bahl, sebuah kota yang dikenal sebagai Bakhtra. Nama ini menandakan "indah"
seperti yang ditunjukkan oleh perpustakaan Persia pada Abad Pertengahan. Kota ini merupakan
komunitas pertukaran politik metropolitan, kota yang cendekia dan ketat, dan titik fokus kehidupan
yang ketat dan ilmiah. Ibnu Sina bersekolah dan bertamasya, serta keberadaan tokoh-tokoh lainnya.
Di masa mudanya, beliau mulai berkonsentrasi pada Al-Qur'an pada usia sekitar 5 tahun dan karena
pengetahuannya yang lebih baik dari yang diharapkan, sebelum mencapai usia 10 tahun, beliau telah
menghafal berbagai macam informasi termasuk Al-Qur'an, tafsir, fikih, dan lainnya. Beliau, pada
akhirnya, memiliki seorang pendidik bernama "Abu 'Abd Allah al-Natili dan Abi Muhammad Isma'il
ibn al-Husyain".

Sejak awal, Ibnu Sina menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti sains, rasio, ilmu fisika, pengobatan,
pengamatan bintang, peraturan, dan lain-lain. Pada saat anak muda yang ahli ini berusia 17 tahun,
dengan pengetahuannya yang luar biasa, ia telah melihat semua ilmu klinis yang ada pada saat itu
dan lebih banyak dari individu lainnya. Karena wawasannya ini, ia dinobatkan sebagai seorang ahli
untuk melatih para spesialis. Hal ini terjadi ketika beliau secara efektif mengobati pangeran Nuh bin
Mashur, yang sebelumnya tidak ada dokter spesialis yang mampu mengobatinya (Deswita, 2013).
Selain itu, beliau juga berkonsentrasi pada pengobatan dan secara bersamaan melatih
kemampuannya. Pada usia 16 tahun, ia dipanggil untuk mengobati seorang pangeran (Nuh bin
Mansur) setelah banyak dokter spesialis yang berbeda gagal. Akhirnya, setelah Ibnu Sina
mengobatinya, dia (pangeran) sembuh. Sejak saat itu, Ibnu Sina secara umum disambut dengan baik
dan dapat mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang menantang untuk
didapatkan, kemudian membacanya dengan penuh semangat. Karena alasan yang tidak diketahui,
perpustakaan tersebut dibakar habis, sehingga beberapa orang menuduhnya sengaja membakarnya
dengan tujuan supaya penduduk tidak bisa memetik kegunaan pada taman bacaan tertera (A.
Hanafi, 2017).

Ibnu Sina menghabiskan sebagian besar waktunya di dunia untuk mengurusi isu-isu politik, sehingga
ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengarang. Meskipun demikian, Ibnu Sina sebenarnya
telah menghasilkan banyak sekali karya tulis, sekitar 279 karya (Rasyid, 2019, hlm. 783), mengingat
fakta bahwa ia sangat pandai mengatur waktu, ia menggunakan siang hari untuk bekerja di
pemerintahan, dan malam hari untuk berkarya dan mendidik. Ibnu Sina menyusun artikelnya dengan
sisa waktu yang ada, meskipun faktanya dengan memperpanjang penyusunan eksposisinya dengan
cara yang sulit. Ibnu Sina menderita penyakit yang membingungkan hingga penyakitnya mencapai
titik puncaknya dengan adanya gelembung-gelembung yang membusuk di dalam perutnya.
Bagaimanapun, Ibnu Sina berbagi dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak memerlukan orang yang
menangani tubuhnya lagi, karena dia tidak memerlukan perawatan, dengan cara ini Ibnu Sina
memberikan semua kelimpahannya kepada para budak yang melarat, menghindari demonstrasi
yang keji, dan meminta maaf kepada Allah SWT. Kemudian, pada saat itu, pada akhirnya, ia biasanya
membaca ayat-ayat suci Alquran menjelang akhir waktu yang sangat panjang, sehingga ia bisa
khatam tiga kali setiap hari. Gerakan ini terus berlanjut hingga Rasulullah SAW wafat di Hamadan
ketika beliau berusia 58 tahun pada bulan Ramadhan yang panjang, yaitu pada hari Jumat tahun
1037 Masehi/328 H (Rasyid, 2019, hlm. 784).

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian pustaka (library
research) yang bersifat kualiatif deskriptif. Adapun teknik penulis dalam mengumpulkan data-data
yakni dengan cara mengumpulkan beberapa referensi dari buku, jurnal, majalah, dan internet yang
membahas mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang konsep pendidikan Islam, konsep guru, konsep
kurikulum, metode pendidikan Islam, atau penelitian terdahulu yang terkait dengan topik tersebut.
Kumpulan konsep Ibnu Sina kemudian dianalisis dan ditarik menjadi kesimpulan untuk menyusun
tulisan yang sesuai dengan tema yang berhubungan dengan konsep pendidikan Islam di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

1. Konsep Pemikiran Menurut Ibnu Sina

Ibnu Sina telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendirian pendidikan Islam,
yang sangat bermanfaat dan Selanjutnya, hal ini memiliki konsekuensi yang sangat besar dalam
pendidikan Islam. Sudut pandang pengajaran Ibnu Sina mencakup situasi-situasi yang disebutkan di
atas:

a. Tujuan Pendidikan

Motivasi dari sistem pendidikan, menurut Ibnu Sina, adalah untuk mencerdaskan manusia. terdiri
dari membagi menjadi dua komponen yang terpisah: pertama, lahirnya insan kamil, atau manusia
yang telah menemukan semua kemampuan yang melekat pada dirinya dalam perilaku yang
terkoordinasi dan menyeluruh; dan kedua, kerangka kerja instruksional yang memungkinkan
pengembangan seluruh potensi manusia, termasuk masalah fisiologis, intelektual, dan dimensi
mental.

Tujuan pendidikan yang dimaksud, menurut Ibnu Sina, adalah untuk mencapai kedamaian (sa'adat).
Kebahagiaan itu datang secara perlahan tapi pasti sesuai dengan jumlah pendidikan yang ia dukung
dari individu yang meliputi kepuasan individu, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat,
segala bentuk kebahagiaan manusia, dan kebahagiaan keabadian (Jalaluddin, 1994). Setiap manusia
dapat mencapai kebahagiaan, yang merupakan tujuan pendidikan, secara bertahap. Masing-masing
dari kita sebelum yang lain, yang akan berhasil jika orang yang bersangkutan diberkati dengan nilai-
nilai yang mulia. Kebahagiaan rumah tangga akan terwujud jika individu memiliki akhlakul karimah.
Kemudian, jika setiap rumah tangga menerapkan prinsip-prinsip perilaku akhlak mulia, maka
kebahagiaan akan terwujud dalam masyarakat, yang akan berdampak pada kebahagiaan manusia
secara umum.

b. Kurikulum Pendidikan

Dalam istilah awam, frasa kurikulum berhubungan dengan serangkaian program studi yang harus
diselesaikan untuk mendapatkan gelar atau diploma. Menurut Crow and Crow, Program pendidikan
sekolah adalah kerangka kerja instruksional yang mencakup sejumlah mata pelajaran yang diajarkan
secara strategis yang harus dipelajari untuk menyelesaikan program sekolah dengan sukses.
Meskipun Ibnu Sina tidak secara tegas berargumen untuk sebuah kurikulum (bukti yang cukup)
dalam proses pembelajaran, segera terlihat berdasarkan proses pemikiran filosofisnya bahwa ia
tidak dapat menghilangkan dirinya dari pengetahuan tentang manusia yang bergantung secara
mental. Dengan kata lain, ketika memberikan mata pelajaran kepada siswa untuk belajar, mereka
harus disesuaikan dengan pertumbuhan psikologis mereka yang ada di kelas tanpa memandang
tingkat usia mereka.

1) Kurikulum untuk anak usianya 3 sampai 5 tahun

Tingkat usia yang disebutkan di atas, seperti yang dilaporkan oleh cendekiawan Muslim Ibnu Sina,
harus diajarkan aktivitas, etika, kebersihan diri, seni suara, dan seni. Pandangan Ibnu Sina tentang
olahraga sebagai pendidikan jasmani secara signifikan dipengaruhi oleh keyakinan psikologinya.
Menurutnya, ketentuan berolahraga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia dan
bakat siswa. Ia percaya bahwa olahraga harus disesuaikan dengan tahap perkembangan usia dan
kapasitas siswa untuk belajar.

2) Kurikulum untuk anak usianya 6 sampai 14 tahun

Pengembangan spiritual Islam untuk anak-anak berusia antara 6 hingga 14 tahun


berkisar dari pembacaan Al Qur'an dan hafalan, pelajaran spiritual, materi syi'ir, dan kelas
pendidikan jasmani, menurut Ibnu Sina, seorang cendekiawan Islam. Bahkan ketika posisinya masih
muda, cendekiawan Muslim, Ibnu Sina, berpendapat bahwa prinsip-prinsip hafalan yang diajarkan
dapat menemukan Anda diajarkan. Individu yang berbakat, pemikir besar dan ilmuwan peneliti ini
tidak muncul tanpa tujuan. Menurut dokumen dari masa lalu, cendekiawan Muslim Ibnu Sina
memiliki kemampuan untuk membaca Al-Qur'an pada saat ia berusia sepuluh tahun. Sebagai salah
satu konsekuensinya, anak-anak kecil berusia 6 hingga 14 tahun dapat diberikan sumber informasi
atau materi hafalan Al-Qur'an. untuk melatih kemampuan hafalan dan kognitif mereka.

3) Kurikulum untuk anak usianya 14 tahun ke atas

Ibnu Sina mengarahkan para profesional di bidang pendidikan agar mereka menyesuaikan
pengalaman pendidikan mereka untuk mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang mereka ajar.
bidang kompetensi siswa agar mereka dapat menguasai disiplin ilmu. Disiplin ilmu yang disebutkan
di atas diklasifikasikan sebagai teori atau praktik. Ibnu Sina dipengaruhi oleh gagasan Aristoteles,
seorang Seorang ahli teori Yunani kuno yang membuat perbedaan yang melibatkan penelitian
praktis dan teoritis: Ilmu-ilmu teoritis dibagi menjadi tiga kategori: (a) ilmu-ilmu alam tabi'i (yaitu
bidang-bidang seperti praktik medis, tanda-tanda astrologi, antisipasi, kekuatan supranatural
(tilsam), mimpi dan penafsirannya, niranjiyat, atau ilmu kimia), (b) matematika, dan (c) matematika,
dan (c) ilmu-ilmu ketuhanan (seperti ilmu yang menyelidiki teknik pewahyuan kebenaran, sifat-sifat
jiwa, hakikat orang yang menyampaikan wahyu, keajaiban-keajaiban, ilham, ilmu tentang eksistensi
jiwa yang tidak terukur, dan sebagainya).

c. Metode Pembelajaran

Pandangan Ibnu Sina tentang metode pembelajaran meliputi teknik talqin, penjelasan adaptasi
perilaku, termasuk diskusi, pengalaman kerja, serta komitmen teknik dera dan pendekatan disiplin.
Teknik talqin dalam mengajarkan peserta didik cara membaca Al-Qur'an harus diadopsi, dimulai
dengan peserta didik memperhatikan Al-Qur'an yang diucapkan ayat demi ayat. Salah satu anak
mengikuti dengan instruksi untuk mendengarkan penjelasan dan mengulanginya dengan hati-hati
dan sering sampai dia menghafalnya. Perencanaan strategis talqin semacam ini, menurut Ibnu Sina,
dapat juga dilakukan oleh seorang instruktur yang meminta kerja sama dari murid-murid yang telah
memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengarahkan rekan-rekan mereka yang masih jauh. Dalam
sistem pendidikan kontemporer, hal ini biasa disebut sebagai tutor sebaya, dan juga dikenal sebagai
pembelajaran modular. Selain teknik targhib, ketujuh metode pembelajaran, hal tersebut di atas
akan dibahas lebih lanjut dalam bagian berikutnya.

Pertama, Strategi Talqin dapat digunakan untuk mendemonstrasikan pembacaan Al Qur'an, dimulai
dengan menyimak, dimana para siswa berulang-ulang mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an per
bagian.

Kedua, Teknik Peragaan (komunikasi) sering digunakan untuk mendemonstrasikan pemerolehan


pengetahuan secara fungsional, misalnya, dalam konteks mengajarkan kemampuan untuk
menuliskan ide.
Ketiga, untuk meningkatkan dan memperbaiki proses, dengan menggabungkan pendekatan hasil
yang optimal, terutama yang berkaitan dengan etika mengajar.

Keempat, Metode Percakapan (diskusi) harus dapat dicapai dengan memberikan tugas-tugas di
mana siswa diberikan topik yang sulit untuk dipecahkan, yang kemudian diperdebatkan dan
ditangani bersama.

Kelima, Ada Strategi Pemagangan. Dalam metodologi instruksionalnya, Ibnu Sina telah menggunakan
metode pengajaran ini. Para siswa yang belajar kedokteran di bawah bimbingan Ibnu Sina dianjurkan
untuk memadukan antara teori dan praktik.

Keenam, Strategi Penugasan, adalah membeli beberapa bagian atau pola, setelah itu Anda
mempresentasikannya kepada siswa untuk ditinjau.

Ketujuh, Dalam pengajaran di kelas saat ini, biasanya disebut sebagai dorongan, yang menunjukkan
penghargaan, pemberian, hibah, atau penghargaan, dan Itu termasuk salah satu alat pembelajaran
yang tersedia dan juga penawaran.

d. Konsep guru

Pendidik haruslah orang yang memiliki pertimbangan, sistem kepercayaan, dan integritas yang baik.
sikap yang baik dalam mengajar, berwibawa, kepribadian yang teguh, luwes dan menarik tutur
katanya, bijaksana, terpelajar, cerdas, dan suci, demikian menurut Ibnu Sina. Jika berprofesi menjadi
guru, guru tersebut harus kompeten, memiliki pengetahuan agama yang komprehensif, dan beriman
kepada Allah SWT beserta rasul-Nya. Para pendidik harus merasa cemas dengan melakukan sesuatu
yang dimurkai oleh Allah SWT. Selain itu, Ibnu Sina berpendapat tentang seseorang yang berprofesi
sebagai guru yang memiliki pengetahuan yang luas dalam dunia anak-anak, karena instruksi
membutuhkan keterampilan, penelitian yang cermat, dan juga persiapan ekstra, mengesampingkan
satu sisi yang berasal dari moral atau sopan santun. Kunci utama untuk memperbaiki pendidikan
dan institusi sekolah kita adalah dengan mempersiapkan para guru dan pendidik secara profesional.
Ibnu Sina mendesak agar guru harus cerdas dan berpengetahuan luas. Guru yang cerdas dan
berpengetahuan luas harus dicintai dan dihargai oleh murid-muridnya; guru yang berpikiran sempit
dan stagnan harus dihindari dengan cara apa pun.

e. Konsep Hukuman dalam Pengajaran

Ibnu Sina dengan tegas menentang penggunaan hukuman sebagai bagian dari operasi pendidikan.
Hal ini dikarenakan mencerminkan sebuah sikap yang sangat menjunjung tinggi kehormatan insan.
Namun, jika hukuman benar-benar diperlukan, hukuman dapat diberikan dengan sangat perlahan
tanpa adanya kekerasan. Ibnu Sina menjelaskan jika setiap insan mempunyai kecenderungan untuk
dicintai, tidak suka diperlakukan dengan keras, dan senang menerima perlakuan dengan lembut.
Ibnu Sina sangat membatasi penerapan hukuman berdasarkan pemahaman kemanusiaan ini. Ibnu
Sina dengan tegas menentang penggunaan hukuman sebagai bagian dari operasi pendidikan. Hal ini
dikarenakan perilakunya yang amat menjunjung tinggi martabat manusia. Namun, jika hukuman
benar-benar diperlukan, hukuman dapat diberikan dengan sangat hati-hati. Ibnu Sina menjelaskan
bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk dicintai, tidak suka diperlakukan dengan keras, dan
sangat suka menerima perlakuan dengan lembut. Ibnu Sina sangat membatasi penerapan hukuman
berdasarkan pemahaman tentang kemanusiaan ini.

2. Penerapan Pemikiran Ibnu Sina Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia


Ibnu Sina merupakan seorang ilmuwan muslim yang sangat terkenal akan kecerdasannya. Selain
menyumbangkan banyak ilmu di dunia kedokteran, Ibnu Sina adalah seorang filsuf yang terkenal
akan pemikirannya. Baik di bidang politik, astrologi pendidikan, dan lain-lain. Pemikiran tersebut
kemudian dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang dimiliknya. Dalam bidang pendidikan, Ibnu
Sina telah menggagas beberapa konsep demi tercapainya pendidikan Islam dengan meletakkan
dasar-dasar ilmu Islam. Menurut Ibnu Sina, suatu pendidikan harus memiliki tujuan demi
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh suatu individu, baik kerohanian maupun
jasmani. Tujuan ini juga akan mengarahkan suatu individu untuk dapat hidup berdampingan di
masyarakat dengan bahagia dan dengan rasa syukur untuk mengerjakan pekerjaan maupun bidang
lainnya sesuai bakat dan minat yang dimilikinya.

Meskipun Ibnu Sina merupakan ilmuwan pada abad ke-10 dan ke-11 dan tidak secara langsung
memiliki dampak untuk pendidikan di Indonesia, pemikran-pemikirannya dapat dijadikan inspirasi
untuk pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Ibnu Sina merupakan seorang filsuf, namun
pemikirannya mengenai pendidikan tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga praktis dan kontekstual.
Ibnu Sina memiliki pemikiran terhadap pendidikan yang mengandung nilali-nilai holistik dan
multidisiplin sesuai untuk diterapkan dengan perkembangan zaman.

Ibnu Sina berpendapat bahwa pendidikan merupakan aktivitas yang digunakan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir yang dimiliki oleh seorang individu sesuai dengan prinsip akhlak dan etika yang
berlaku. Di sekolah, selain pelajaran jasmani atau olahraga, seorang peserta didik harus dibekali nilai
akhlak dan budi pekerti. Nilai akhlak ini harus ada dan ditanamkan pada kehidupan manusia setiap
saat. Aspek tersebut meliputi aspek pribadi, aspek sosial, dan aspek spiritual. Ketiga aspek tersebut
harus bekerja secara komprehensif, demi terwujudnya akhlak mulia yang wajib ditanamkan oleh
setiap muslim. Demi terwujudnya cia-cita akhlak mulia tersebut, peserta didik pada dunia
pendidikan Islam harus mendapati perhatian penuh dan diajarkan ilmu akhlak. Sebagaimana yang
diimplementasikan oleh Kementrian Agama Islam pada bidang keagamaan bahwa pendidikan akhlak
merupakan mata pelajaran yang wajib ada di sekolah jenjang MI, MTs, dan MA. Tujuan diadakannya
pendidikan akhlak ini dikatakan demi menambahkan rasa kesadaran manusia sebagai makhluk Allah
SWT yang memiliki berkembang sebagai seseorang yang beriman dan berakhlak mulia.

Pendidikan Islam di Indonesia berdasar dan berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan. Penting
bagi muslim untuk belajar dasar-dasar keagamaan ketika sedang menempuh pendidikan. Sumber
hukum agama Islam semuanya berasal dan kembali pada firman Allah yakni Al-Qur’an dan sabda
Nabi Muhammad SAW yakni hadits. Konsep metode belajar Al-Qur’an menurut Ibnu Sina adalah
dengan menggunakan metode talqin. Yakni metode yang dilakukan dengan membacakan ayat-ayat
Al-Qur’an kepada peserta didik, kemudian perlahan-lahan mengulangi bacaan tersebut secara
berulang-ulang hingga hafal. Metode ini dilakukan dengan bimbingan pendidik kepada peserta didik.
Metode ini disebut dengan tutor sebaya pada era pendidikan modern, seperti istilah lebih populer
yang kita kenal dengan pengajaran modul.

Perubahan telah banyak terjadi dalam pendidikan di Indonesia, perkembangan, dan perbaikan. Baik
ranah pendidikan umum ataupun Islam. Hal ini secara garis besar dipengaruhi oleh pergantian
kurikulum dari tahun 1947 hingga saat ini. KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka merupakan deretan contoh
kurikulum yang telah dan sedang berlaku di Indonesia. Namun, perubahan kurikulum ini didasari
dengan adanya intensi tidak lain untuk mengembangkan pemikiran kritis dan analitis peserta didik di
Indonesia, seperti halnya konsep pemikiran Ibnu Sina. Kurikulum bukan hanya pengetahuan
akademik tentang mata pelajaran semata, hal ini juga merupakan kegiatan dan pengalaman yang
penting untuk proses pembelajaran di sekolah. Muatan kurikulum disusun dalam suatu program
pendidikan, yang lalu diuraikan dan dijabarkan melalui pengajaran dan pengalaman peserta didik.
Pemikiran kritis dan analitis ini telah tercantum dalam tujuan pembelajaran peserta didik pada
kurikulum yang ada. Dibarengi dengan nilai-nilai keagamaan yang mendalam dan mengakar kuat,
kebebasan untuk berpikir kritis akan terus menghasilkan suatu perkembangan yang bersifat inovatif
dan kolaboratif.

Ibnu Sina merupakan seorang ilmuwan sekaligus dokter. Sebagai seorang dokter, Ibnu Sina
menggabungkan pengetahuan teoritis dengan keterampilan praktis. Dengan mengadopsi
pendekatan yang menggabungkan pengetahuan teoritis dan keterampilan praktis, pendidikan dapat
menjadi lebih relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini dapat membantu peserta didik dalam
mempersiapkan dirinya di jenjang yang lebih tinggi dan profesional untuk menekuni bidang yang
dipilihnya. Selain itu, ilmu teori dan praktek yang dilakukan di sekolah dapat dengan efektif
menambah pengetahuan peserta didik untuk menjalani hidup dalam konteks dunia nyata atau sama
seperti kegiatan magang.

Dari hasil penjelasan di atas mengenai penerapan-penerapan pemikiran Ibnu Sina mengenai
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran Ibnu Sina
mengarahkan potensi peserta didik didasarkan dengan strategi, proses, dan kurikulum yang baik.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pemikiran Ibnu Sina dapat dijadikan landasan untuk
menciptakan generasi yang terdidik, memiliki pemahaman mendalam tentang agama, dan siap
untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang.

Kesimpulan

Dari pemikiran Ibnu Sina yang mendalam mengenai pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa
kontribusinya memiliki dampak signifikan pada perkembangan pendidikan di Indonesia. Ibnu Sina
mengemukakan konsep pendidikan yang holistik, mencakup tujuan pendidikan, kurikulum, metode
pembelajaran, peran guru, dan konsep hukuman. Menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan adalah
mencapai kebahagiaan secara bertahap, dimulai dari tingkat individu hingga kebahagiaan akhirat.
Kurikulum disusun sesuai dengan tahap perkembangan usia, memperhatikan aspek fisik, intelektual,
dan mental.

Ibnu Sina menekankan metode pembelajaran yang beragam, seperti talqin, demonstrasi, diskusi,
magang, dan tanggung jawab proses dera, yang harus disesuaikan dengan karakteristik psikologis
siswa. Konsep guru yang diusungnya mencakup akal yang sehat, agama yang kuat, dan kepribadian
yang teguh. Guru harus cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki pemahaman mendalam tentang
anak-anak.

Penerapan pemikiran Ibnu Sina dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia menunjukkan
relevansinya dengan perkembangan zaman. Konsepnya tentang pendidikan holistik dan multidisiplin
dapat dijadikan inspirasi dalam mengembangkan kurikulum yang menekankan nilai-nilai keagamaan.
Selain itu, ide-ide Ibnu Sina juga dapat diterapkan dalam mempersiapkan generasi yang memiliki
pemahaman agama yang mendalam dan siap menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.

Dengan memahami dan mengaplikasikan konsep-konsep Ibnu Sina, pendidikan Islam di Indonesia
dapat terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, menciptakan generasi yang cerdas,
beriman, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi positif dalam masyarakat. Gagasannya menuntun
potensi peserta didik melalui proses strategi dan kurikulum yang efektif. Dalam konteks pendidikan
di Indonesia, pandangan Ibnu Sina dapat menjadi dasar untuk melahirkan generasi terdidik dengan
pemahaman agama yang mendalam dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai