Anda di halaman 1dari 8

PAPER

PEMIKIRAN PARA TOKOH PENDIDIKAN ISLAM


Diajukan untuk memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah Pemikiran Pendidikan
Islam yang dibina oleh Bapak Dr. H. Rasmianto, M.Ag

Disusun oleh:
M. Nurul Ardi Rosyidi
15110025

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak banyaknya orang yang tahu mengenai bagaimana pemikiran pendidikan yang
baik yang bisa diterapkan di masa sekarang membuat sebagian kaum intelektual berfikir
dan terus mencari sumber-sumber pemikran pendidikan. Salah satu yang menjadi sumber
yang mereka galih adalah sejarah, banyak sekali dari para tokoh terdahulu yang pernah
menggagas pemikirannya mengenai seluk beluk pendidikan, baik para tokoh yang berasal
dari barat maupun timur.
Apabila kita membahas mengenai pemikiran pendidikan islam, tentu saja yang
menggagas mengenai hal ini mayoritas adalah tokoh-tokoh dari wilayah timu yang
memang menjadi pusat peradaban islam dunia, seperti Al-Ghozaly, Ibnu Miskawaih, Ibnu
Kholdun, dan Az-Zarnuji.
Sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan untuk
mengetahui bagaimana pemikiran pendidikan islam yang digagas oleh para tokoh islam.
Karena dari pemikiran para tokoh tersebut dapat dijadikan modal dan bahan ketika telah
terjun di dunia pendidikan.

BAB II
A. Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghozali
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang
pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah
keutamaan dan melebihi segala-galanya, menguasai ilmu baginya termasuk tujuan
pendidikan. Dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu
merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai
alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu
menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan kepada Allah
sehingga menjadi manusia sempurna. Walaupun disisi lain Al-Ghazali juga menyebutkan
bahwasanya ada ilmu yang deketahui melalui ilham. Ilham disini adalah suatu cara untuk
menangkap ilmu secara langsung sebagai imbangan dari cara menangkap ilmu dengan

cara berpikir. Kata al-ilham mengandung makna mengajari secara rahasia dan langsung.
Al-Ghazali juga menyebutnya dengan istilah al-taalum al-rabbani, dan ilmu yang
diperoleh disebut sebagai al-ilm al-ladunni. Tidak diusahakan disini adalah tidak
diperoleh melalui perantara, seperti melalui relasi konsep-konsep. Untuk dapat
memperoleh ilmu dengan jalan ilham manusia harus berusaha membuat kondisi, sehingga
jiwanya memenuhi syarat untuk menerima ilham, yaitu dengan membersihkan jiwa secara
menyeluruh dari selain Tuhan dan memenuhi jiwa dengan mengingat Tuhan.
Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan
ilmu dan keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan
mengajar. Namun dalam penjelasan berikutnya akan disajikan sebagaimana unsur-unsur
dalam pendidikan yang ada saat ini.
Pada dasarnya Al-Ghazali sendiri belum memberikan definisi yang jelas mengenai
pendidikan. Namun, jika dilihat dari unsur-unsur pendidikan dapatlah diambil dari
beberapa pernyataan yang selanjutnya disusun menjadi pengertian dari pendidikan
berikut ini: sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan
semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan
malikat tinggi ..., Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang
melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.
Pada kutipan pertama, kata hasil menggambarkan proses, kata mendekatkan diri
kepada Allah menunjukkan tujuan, dan kata ilmu menunjukkan alat. Sedangkan pada
kutipan kedua dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu melalui pengajaran.
Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa batas
awal berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal
kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak ada karena
selama hayatnya manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga
menjadi insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai satusatunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat
manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada sejauhmana
keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu, pengajaran dan
pendidikan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan perkembangan psikis
dan fisik anak.

Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara


memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan
pendidikan.
B. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan
akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep
pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih
dasar pendidikan:
Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar
pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor
penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan
perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan
keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran
yang akurat.Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan
pendidikan yang merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat
harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
Kedua, Psikologi. Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan
tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui
perekayasaan (shinaah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang
sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu.
Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang
tertinggi dan mulia serta akhlak mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan
demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu
Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan
psikologi.
C. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Kholdun
Pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang pendidikan meliputi tentang manusia didik,
ilmu, metode pengajaran, dan spesialisasi. Dalam melihat manusia ia tidak terlalu
menekankan kepada kepribadiannya akan tetapi kepada hubungannya dan interaksinya

terhadap kelompok yang ada dalam masyarakat. Dalam konsep ini sering disebut sebagai
salah satu pendiri sosiolaogi dan antropologi
Ibn Khaldun berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh
karena itu mampu melahirkan ilmu dan teknologi, dan sifat-sifat ini tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya.
Selanjutnya ia berpaendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan
dipengaruhi oleh peradaban
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan Ibn Khaldun membagi menjadi tiga macam yaitu
ilmu lisan, ilmu naqlidan ilmu aqli
Dalam metode pengajaran Ibn Khaldun menggunakan metode berangsurangsur,setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Dan ia menganjurkan agar seorang
itu bersikap sopan dan halus pada muridnya, hal ini juga termasuk sikap orang tua
terhadap anaknya, karena orang tua adalah guru utama bagi anaknya.[2] Guru harus
mampu menarik perhatian muridnya , menjaga mereka hingga pikiran mereka terbuka dan
berkembang sendiri.Guru harus membiasakan perilaku yang baik kepada muridmuridnya, memberi contoh, dan tidak mengajari mereka dengan perkataan saja. Seorang
guru harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.[3] Menurut Ibn Khaldun keahlian
adalah sifat dan corak jiwa tidak dapat tumbuh serempak.
Dari beberapa uraian diatas, terlihat bahwa Ibn Khaldun adalah seorang tokoh filsuf,
dan juga sebagai tokoh sosiolog yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan, konsep pendidikannya sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap
manusia sebagai makhluk yang harus dididik dalam rangka melaksanakan fungsi
sosialnya ditengah-tengah masyarakat.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan bermula dari presentasi ensiklopedia ilmu
pengetahuannya. Hal ini merupakan jalan untuk membuka teori tentang pengetahuan dan
presentasi umum mengenai sejarah sosial dan epitomologi berdasarkan perkembangan
ilmu pengetahuan.Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan mengelompokkan ilmu
pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan
tradisional. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang
berasal dari pemikiran yang alami. Sedangkan pengetahuan tradisional merupakan
pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan hasilnya, serta perkembangan sejarahnya
dibangun oleh kekuasaan atau seseorang yang berkuasa.

D. Pemikiran Pemikiran Islam Az-Zarnuji

Konsep pendidikan al-Zarnuji, apabila dibandingkan dengan para pemikir pendidikan


Islam, menunjukkan bahwa pemikirannya tidak jauh berbeda dengan pemikiran para
pemikir pendidikan lain semisal al-Ghazali yang sama-sama menonjolkan aspek-aspek
etika belajar, tetapi apa yang dikonsepsikan al-Zarnuji juga mempunyai pengaruh yang
sangat besar pada pendidikan Islam tidak terkecuali Indonesia.
Dari konsep-konsepnya dalam kitab Talm al-Mutaallim tercermin paradigma
pendidikan zaman klasik yang menampakkan perbedaan agak mencolok dengan masa
sebelumnya, ini dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran al-Zarnuji yang terlihat
mengabaikan ilmu-ilmu rasional seperti mantik dan filsafat. Ini tidak berarti bahwa
paradigma pendidikan yang telah digagasnya tidak relevan untuk perkembangan jaman
sekarang ini. Apalagi bila melihat realita di lapangan, bahwa ternyata sekarang ini banyak
sekali anak didik yang notabene sedang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, tetapi
malakukan tindakan-tindakan yang mestinya tidak patut dilakukan oleh anak didik. Sebut
saja, misalnya, tawuran masal, pengkonsumsian obat-obat terlarang, pelacuran
terselubung dan lain sebagainya.
Walaupun begitu, tidak berarti bahwa semua yang telah dikonsepsikan oleh al-Zarnuji
sejalan dengan perkembangan zaman, ada juga yang perlu diadakan pengkajian ulang
terutama mengenai sistem sentralisme guru. Untuk mencapai pendidikan agama
khususnya akhlak dan tauhid, cara-cara seperti itu mungkin dapat diterapkan, tetapi bagi
pelajaran-pelajaran yang sulit dipahami, maka student centered tampaknya lebih cocok
untuk diterapkan. Atau kalaupun tidak, perlu diadakan kombinasi antara apa yang telah
digagaskan al-Zarnuji dengan pemikiran pendidikan kontemporer.
Bila komponen-komponen yang telah dikonsepsikan al-Zarnuji bisa dipenuhi,
ditambah lagi kombinasi dengan konsepsi para pemikir sekarang, maka pendidikan Islam
akan dapat menciptakan manusia ideal yang di satu sisi mempunyai kualitas iman yang
baik, dan di sisi lain juga mempunyai keilmuan yang mendalam. Jadi, akhirnya agama
akan tegak dengan ilmunya dan ilmunya akan dapat terang karena disinari agama,
sehingga akhirnya tidak terperosok pada dikotomi ilmu dan agama. Bukankah ada katakata hikmah yang mengatakan bahwa agama tanpa ilmu adalah pincang, ilmu tanpa
agama adalah buta.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Menjadi suatu keharusan bagi seorang mahasiswa fakultas ilmu tarbiah dan keguruan
untuk mengetahui pemikiran pendidikan islam yang digagas oleh tokoh-tokoh ulama
terdahulu, karena dari gagasan-gagasan tersebut mahasiswa dapat menerapkannya ketika
telah terjun di dunia pendidikan, seperti metodenya, managemennya, bagaimana cara
menjadi pendidik yang baik, dan masih banyak lagi yang dapat kita terapkan dari konsep
pendidikan islam yang di gagas oleh para ulama terdahulu.
Dari konsep pemikiran pendidikan islam yang digagas oleh empat tokoh diatas,
beliau-beliau memiliki perbedaan konsep yang berbeda, akan tetapi juga memiliki
kesamaan dalam aspek-aspek etika dalam belajar. Seperti Al-Ghozali yang menekankan
bagaimana proses pendidikannya, Ibnu Miskawaih yang membangun konsep pendidika
yang bertumpu pada pendidikan akhlak, kemudian Ibnu Kholdun yang memilki
pemikiran pendidikan yang menekankan pada interaksi sosial, serta Az-Zarnuji yang
menekankan etika dalam proses belajar mengajar seperti dalam kitab yang telah ia tulis,
yaitu Talimul Mutaallim.

DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Ziauddin, 2003, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan
Pertengahan, Bandung: Angkasa.
Ali Nadwi, Abul Hasan, 2008, Islam Dunia, diterjemahkan oleh Adang Affandi, Bandung:
Angkasa.
Amin, Masyhur, 2004, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesian Spirit Foundation.

Azra, Azyumardi, 2002, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ibnu Rusn, 1998, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.

Anda mungkin juga menyukai