Anda di halaman 1dari 5

Pendekatan Baru terhadap Ayat-

Ayat Jihad

Omar Mateen, Muslim AS keturunan Afghanistan, yang diduga kepolisian


sebagai pelaku penembakan di Orlando, Florida. REUTERS
Setiap kali terjadi tindakan terorisme yang dilakukan oleh seorang atau
kelompok Muslim, seperti penembakan di Orlando, Florida, AS, yang
menewaskan 49 orang, perhatian kembali tertuju pada ayat-ayat jihad dalam
al-Quran. Tentu saja anggapan ini menyesatkan karena teks kekerasan tidak
dengan sendirinya menyebabkan perilaku kekerasan.

Namun demikian, perlu diakui, pembacaan kita tentang ayat-ayat jihad


memang kerap memberi ruang bagi pikiran berorientasi kekerasan. Apakah kita
mendukung atau menolak peran kitab suci memicu kekerasan, sebenarnya cara
kita membaca ayat-ayat jihad memungkinkan teks keagamaan menjustifikasi
perilaku terkutuk itu.

Yang saya maksud di sini ialah model bacaan yang melihat ayat-ayat al-Quran
secara kronologis. Seperti jamak diketahui, kaum Muslim umumnya memahami
bahwa sebagian ayat turun di Mekkah dan sebagian lain di Madinah. Dari cara
baca semacam itu, maka ambivalensi sikap al-Quran mulai terdeteksi.

Ambivalensi yang dimaksud ialah kontradiksi posisi etis al-Quran tentang


bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan yang lain, yang
solusinya kerap membenarkan kekerasan.

Tipologi Ayat Jihad


Ditilik dari kronologi al-Quran, para ulama mengembangkan empat tipologi
ayat-ayat jihad yang merefleksikan perkembangan gradual sikap al-Quran
terhadap kelompok agama lain. Pertama, ayat-ayat yang tidak konfrontatif.
Ayat-ayat al-Quran yang termasuk kategori ini mengajak kaum Muslim supaya
menahan diri dari sikap konfrontatif dan sebaliknya menekankan pentingnya
dialog.

Misalnya, QS 15:94 menjelaskan strategi dakwah persuasif dengan cara


menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan perseteruan dengan kaum
musyrikun. Ayat selanjutnya dari surat yang sama bahkan memerintahkan
kaum Muslim untuk tidak melayani atau melawan saat diolok-olok.

Namun, ayat yang paling banyak dikutip para dai yang menggambarkan
dakwah persuasif tersebut ialah QS 16:125: Serulah [manusia] kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan
cara terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.

Kedua, ayat-ayat yang mengizinkan dilakukan perlawanan sebatas pembelaan


diri. Banyak ayat yang secara eksplisit, misalnya, mengatakan, Telah diizinkan
[berperang] bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
telah dianiaya. (QS 22:39). Perang sebagai bentuk bela-diri ini boleh juga
dilakukan karena terjadi pengusiran dari kampung halaman (22:40).

Perlu segera dicatat, ayat-ayat dalam kategori ini bersifat ristriktif dalam
pengertian bahwa walaupun peperangan diperbolehkan, tapi dilarang
melampaui batas. Simaklah, misalnya, ayat ini, Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (2:190).

Ketiga, kelompok ayat-ayat ini membolehkan perang bilamana dianggap perlu,


bukan sekadar karena pembelaan diri. Banyak ayat jihad dalam al-Quran bisa
digolongkan ke dalam tipe ini, yang mengizinkan kaum Muslim memulai
peperangan dengan alasan tertentu.
Menarik dicatat, walaupun inisiatif perang bisa datang dari kaum Muslim, toh
mereka harus mengikuti aturan yang berlaku yang diwariskan dari masa pra-
Islam. Sejak sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab mengenal waktu-
waktu dan tempat-tempat tertentu yang dianggap begitu sakral sehingga
disepakati tidak boleh terjadi pertumpahan darah. Ketentuan tersebut dapat
dibaca, misalnya, dalam ayat berikut: 2:191 dan 217.

Terakhir, ayat-ayat perang tanpa syarat. Dari lensa kronologi, fase terakhir
dalam misi kenabiannya Muhammad melancarkan perang tanpa syarat untuk
menundukkan Arabia di bawah kekuasaannya. QS 2:216 menegaskan bahwa
perang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim, walaupun mereka
membencinya.

Memang banyak ayat jihad ditujukan melawan kaum musyrik, tapi ahlul kitab
juga masuk dalam radar ayat-ayat kategori keempat ini. QS 9:29
memerintahkan agar kaum ahlul kitab diperangi kecuali apabila mereka
membayar jizyah dalam keadaan hina-dina.

Bacaan Alternatif
Problem pembacaan ayat-ayat jihad dari lensa kronologi segera muncul ke
permukaan. Dari empat sikap al-Quran tersebut, manakah yang sekarang
berlaku? Para ulama menggambarkan teori abrogasi (nasakh) untuk mengatasi
kemusykilan tersebut. Mengikuti logika kronologi, mudah dipahami jika para
ulama berpendapat bahwa ayat-ayat perang tanpa syarat dianggap telah
menghapus hukum tiga kelompok ayat sebelumnya.

Kini menjadi jelas bahwa pembacaan al-Quran secara kronologis membuka


ruang bagi berlakunya ayat-ayat jihad sebagai norma hubungan lintas agama.
Memang, sebagian kalangan menolak implikasi dari teori abrograsi, tapi mereka
lupa bahwa kesimpulan tersebut merupakan konsekuensi logis dari pembacaan
kronologis.
Beberapa sarjana Muslim mencoba menawarkan argumen apologetik menolak
teori abrograsi. Misalnya, mereka berargumen bahwa sejatinya ayat-ayat yang
tampaknya mengedepankan toleransi dan dakwah persuasif perlu diposisikan
sebagai norma, sementara ayat-ayat jihad hanya berlaku dalam situasi perang.
Dengan kata lain, ayat-ayat toleransi seharusnya menyinari pembacaan kita
terhadap ayat-ayat jihad.

Pandangan paling radikal dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Taha asal


Sudan yang menjungkir-balikkan teori abrogasi ulama klasik. Alih-alih
menjadikan wahyu yang turun belakangan sebagai menghapus yang terdahulu,
Taha justru menganggap ayat-ayat Mekkah-lah yang bersifat universal dan
berlaku umum.

Sementara itu, ayat-ayat Madinah dianggap partikularistik yang berlaku hanya


dalam konteks tertentu. Sungguh tragis bahwa Taha akhirnya mengembuskan
nafas terakhirnya di tiang gantungan!

Bahkan Taha pun masih terjebak dalam kerangkeng pembacaan kronologis.


Karena itu, diperlukan pembacaan baru sebagai alternatif dari kronologi yang
sudah kadung membentuk pemahaman kita terhadap ayat-ayat jihad. Kata
baru ditulis dalam tanda petik karena sebenarnya tidak sepenuhnya baru.

Dalam kesarjanaan mutakhir, pembacaan al-Quran secara kronologis telah


banyak dipersoalkan. Sebab, secara historis, sebenarnya kita tidak dapat
memastikan kronologi sejarah turunnya al-Quran itu.

Kolega saya, Reuven Firestone (Jihad: The Origin of Holy War in


Islam), mengusulkan supaya ambivalensi ayat-ayat jihad tidak dibaca sebagai
bentuk perkembangan gradual sikap al-Quran, melainkan merefleksikan posisi
faksi-faksi tertentu pada zaman Nabi Muhammad. Sikap etis al-Quran yang
cenderung bertentangan itu tak perlu lagi dibaca secara kronologis karena
beragam posisi tersebut boleh jadi ada secara bersamaan.
Dengan kata lain, sikap faksi-faksi masyarakat di zaman Nabi terhadap perang
terefleksi dalam al-Quran. Ada sebagian kelompok masyarakat yang
mengedepankan sikap damai dan toleransi, tetapi ada juga yang menggunakan
cara-cara kekerasan untuk mewujudkan aspirasinya.

Dari ayat-ayat tampak bahwa jumlah masyarakat yang enggan terlibat dalam
perang cukup signifikan. Al-Quran menyebut mereka membenci perang,
walaupun sudah diperintahkan. Sementara, sekelompok lain masih
memperlihatkan kesetiaan mereka pada tradisi pra-Islam, termasuk soal perang
pada bulan dan tempat tertentu yang dianggap suci (haram).

Semua faksi itu menyandarkan sikap mereka pada teks-teks otoritatif sebagai
wahyu Ilahi. Dalam konteks ini, keterkaitan (interplay) antara teks dan audiens
awalnya berlangsung secara dinamis. Artinya, apa yang terjadi sesungguhnya
bukan pengaruh satu arah dari teks kepada audiensnya, melainkan dua arah
sekaligus. Di satu sisi, teks mempengaruhi audiens, tapi di sisi lain audiens
menyebabkan teks merekam sikap faksi-faksi di zamannya.

Kita perlu menyelami kompleksitas hubungan al-Quran dengan audiensnya.


Agar kita juga paham bahwa kaitan ayat-ayat kekerasan dengan perilaku
kekerasan saat ini bukanlah hubungan linear yang sederhana.

Anda mungkin juga menyukai