Ayat Jihad
Yang saya maksud di sini ialah model bacaan yang melihat ayat-ayat al-Quran
secara kronologis. Seperti jamak diketahui, kaum Muslim umumnya memahami
bahwa sebagian ayat turun di Mekkah dan sebagian lain di Madinah. Dari cara
baca semacam itu, maka ambivalensi sikap al-Quran mulai terdeteksi.
Namun, ayat yang paling banyak dikutip para dai yang menggambarkan
dakwah persuasif tersebut ialah QS 16:125: Serulah [manusia] kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan
cara terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Perlu segera dicatat, ayat-ayat dalam kategori ini bersifat ristriktif dalam
pengertian bahwa walaupun peperangan diperbolehkan, tapi dilarang
melampaui batas. Simaklah, misalnya, ayat ini, Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (2:190).
Terakhir, ayat-ayat perang tanpa syarat. Dari lensa kronologi, fase terakhir
dalam misi kenabiannya Muhammad melancarkan perang tanpa syarat untuk
menundukkan Arabia di bawah kekuasaannya. QS 2:216 menegaskan bahwa
perang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim, walaupun mereka
membencinya.
Memang banyak ayat jihad ditujukan melawan kaum musyrik, tapi ahlul kitab
juga masuk dalam radar ayat-ayat kategori keempat ini. QS 9:29
memerintahkan agar kaum ahlul kitab diperangi kecuali apabila mereka
membayar jizyah dalam keadaan hina-dina.
Bacaan Alternatif
Problem pembacaan ayat-ayat jihad dari lensa kronologi segera muncul ke
permukaan. Dari empat sikap al-Quran tersebut, manakah yang sekarang
berlaku? Para ulama menggambarkan teori abrogasi (nasakh) untuk mengatasi
kemusykilan tersebut. Mengikuti logika kronologi, mudah dipahami jika para
ulama berpendapat bahwa ayat-ayat perang tanpa syarat dianggap telah
menghapus hukum tiga kelompok ayat sebelumnya.
Dari ayat-ayat tampak bahwa jumlah masyarakat yang enggan terlibat dalam
perang cukup signifikan. Al-Quran menyebut mereka membenci perang,
walaupun sudah diperintahkan. Sementara, sekelompok lain masih
memperlihatkan kesetiaan mereka pada tradisi pra-Islam, termasuk soal perang
pada bulan dan tempat tertentu yang dianggap suci (haram).
Semua faksi itu menyandarkan sikap mereka pada teks-teks otoritatif sebagai
wahyu Ilahi. Dalam konteks ini, keterkaitan (interplay) antara teks dan audiens
awalnya berlangsung secara dinamis. Artinya, apa yang terjadi sesungguhnya
bukan pengaruh satu arah dari teks kepada audiensnya, melainkan dua arah
sekaligus. Di satu sisi, teks mempengaruhi audiens, tapi di sisi lain audiens
menyebabkan teks merekam sikap faksi-faksi di zamannya.