Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pada

umumnya

setiap

perusahaan

memiliki

berbagai

alternatif sumber pendanaan untuk mengembangkan usahanya


dan

sejalan

perusahaan

dengan

perkembangan

dalam

rangka

perekonomian,

mengembangkan

banyak

usahanya

melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan modal,


diantaranya adalah dengan cara utang atau dengan menambah
jumlah kepemilikan saham dengan penerbitan saham baru.
Untuk menambah jumlah kepemilikan saham perusahaan dapat
dilakukan dengan menjual kepada pemegang saham yang sudah
ada, menambah saham yang tidak dapat dibagi, menjual
langsung kepada pemilik tunggal atau dengan melakukan
penawaran sahamnya ke masyarakat umum. Proses penawaran
sebagian saham perusahaan kepada masyarakat melalui bursa
efek disebut Go Public. Perusahaan yang melakukan atau
menjual Efek seperti saham misalnya disebut Emiten. Sedangkan
pembeli saham disebut Investor.
Transaksi penawaran umum penjualan saham perdana atau
disebut IPO (Initial Public Offering) untuk pertama kalinya terjadi
di pasar perdana (primary market) kemudian saham dapat

diperjualbelikan di bursa Efek, yang disebut sebagai pasar


sekunder (secondary market). Harga saham pada penawaran
perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara
perusahaan emiten dengan underwriter (penjamin emisi efek)
yang ditunjuk oleh perusahaan emiten, sedangkan harga saham
di

pasar

sekunder

ditentukan

oleh

mekanisme

pasar

(berdasarkan permintaan & penawaran). Underwriter dalam hal


ini memperoleh informasi lebih baik mengenai permintaaan
saham-saham emiten, dibanding emiten itu sendiri. Oleh karena
itu underwriter akan memanfaatkan informasi yang dimilikinya
untuk memperoleh kesepakatan optimal dengan emiten, yaitu
dengan memperkecil resiko keharusan membeli saham yang
tidak laku terjual dengan harga murah. Sehingga emiten harus
menerima harga yang murah bagi saham perdananya. Dengan
demikian

akan

terjadi

underpricing,

yang

berarti

bahwa

penentuan harga saham di pasar perdana lebih rendah dibanding


harga saham di pasar sekunder pada saham yang sama.
Pihak investor memiliki kesempatan untuk memperoleh
keuntungan

dari

kelebihan

antara

harga

saham

di

pasar

sekunder dengan harga perdananya. Sebaliknya bila harga


saham perdana lebih tinggi dibandingkan harga saham yang
sama,maka akan terjadi overpricing, kondisi ini merugikan
investor karena tidak menerima initial return (keuntungan yang
2

diperoleh pemegang saham saat IPO dengan penjualan saham


hari pertama). Laporan keuangan merupakan salah satu sumber
informasi yang digunakan oleh investor atau calon investor dan
underwriter untuk menilai perusahaan yang akan go public. Agar
laporan keuangan lebih dapat dipercaya, maka laporan keuangan
harus diaudit. Laporan keuangan yang telah diaudit akan
mengurangi
keuangan

ketidakpastian
yang

telah

di

diaudit

masa
akan

mendatang.
memberikan

Laporan
tingkat

kepercayaan yang lebih besar kepada pemakainya dan bagi


investor yang membutuhkan laporan keuangan yang yang telah
diaudit oleh Auditor yang berkualifikasi.
Fenomena underpricing terjadi di pasar modal berbagai
negara diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Australia, Afrika
Selatan, China, Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) dan situs
www.idx.co.id. fenomena underpricing yang terjadi di Indonesia,
dapat diketahui dari 226 IPO dari tahun 1997 sampai dengan
2010, sebanyak 186 IPO atau sebesar 82,30% memberikan
return awal (initial return) yang positif. Banyaknya fenomena
underpricing yang terjadi menunjukkan bahwa harga saham
pada saat penawaran perdana secara merata dapat dikatakan
murah (Jogiyanto, 2007).

Asimetri informasi menjadi suatu penjelasan mengenai


fenomena underpricing. Apabila tidak terjadi asimetri informasi
antara emiten dan investor, maka harga penawaran saham akan
sama dengan harga pasar sehingga tidak terjadi underpricing
(Cook dan Officer, 1996). De Lorenzo dan Fabrizio (2001)
menyatakan hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan
terjadinya underpricing sebagai akibat dari adanya asimetri
dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu perusahaan,
underwriter, dan investor. Menurut Beatty (1989), asimetri
informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten dengan
underwriter (Model Baron) atau antara informed investor dengan
uninformed investor (Model Rock).
Prospektus perusahaan, yang merupakan salah satu sumber
informasi yang relevan dan dapat digunakan untuk menilai
perusahaan

yang

akan

go

public,

dimaksudkan

untuk

mengurangi adanya kesenjangan informasi. Dalam prospektus


terdapat banyak informasi yang berhubungan dengan keadaan
perusahaan yang melakukan penawaran umum, baik informasi
akuntansi maupun non akuntansi.
Perusahaan yang akan melakukakan IPO akan memilih
Kantor

Akuntan

Publik

yang

memiliki

reputasi

yang

baik

mengungkapkan bahwa invesement banker (underwriter) yang

memiliki reputasi yang tinggi, akan menggunakan auditor yang


mempunyai reputasi pula (Nurhidayati dan Indriantoro,1998).
Untuk menciptakan harga saham yang ideal, terlebih dahulu
perlu dipelajari faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing.
Mengetahui faktor yang mempengaruhi underpricing akan dapat
menghindarkan perusahaan yang akan go public terhadap
kerugian karena penaksiran harga yang lebih rendah atas pasar
sahamnya.

Mengenai

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

underpricing telah dilakukan penelitian sebelumnya oleh (Siti


Nurhidayati & Nur Indriantoro, 1998) antara lain faktor-faktor
reputasi underwriter, umur perusahaan,sementara itu faktor
reputasi auditor, dan variabel market (kondisi pasar) tidak
menunjukkan pengaruh terhadap tingkat underpricing saham.
Underpricing

merupakan

suatu

fenomena

di

mana

penentuan harga saham di pasar perdana lebih rendah dibanding


harga saham di pasar sekunder pada saham yang sama. Hasil
penelitian (Chastina Yolana dan Dwi Martani, 2005) bahwa di
Indonesia,

terdapat

variabel

variabel

yang

mempengaruhi

fenomena Underpricing pada penawaran Saham Perdana di BEJ


tahun 1994 2001. (Trisnaningsih, 2005) melakukan penelitian
terhadap

faktor

faktor

yang

mempengaruhi

tingkat

underpricing pada perusahaan yang go public yang di proksikan


ke dalam reputasi underwriter, financial leverage, dan return on
5

assets, yang hasilnya dari ketiga faktor tersebut berpengaruh


signifikan terhadap underpricing.
Penelitian yang dilakukan (Fatmawati, 2009) menyimpulkan
bahwa reputasi underwriter dan financial leverage berpengaruh
terhadap

underpricing.

Sedangkan

return

on

assets

tidak

berpengaruh signifikan terhadap underpricing.


Dalam perkembangannya, penelitian tentang faktor faktor yang
mempengaruhi tingkat underpricing telah banyak dilakukan.
Uniknya, beberapa penelitian dengan topik yang sama justru
menemukan hasil yang tidak sama. Dengan kata lain , konflik
temuan antara penelitian dengan objek yang sama masih belum
ditemukan.
Menurut (Fuller et al, 1987) dalam (Setianingrum dan
Suwito, 2008) menyebutkan bahwa penentuan harga saham
perdana

ditentukan

oleh

kesepakatan

antara

emiten

dan

underwriter karena tidak ada ukuran yang dapat dijadikan dasar


pertimbangan,

selain

itu

saham

tersebut

belum

pernah

diperdagangkan di pasar. Menurut (Ediningsih, 2007) fenomena


underpricing

yang

terjadi

pada

hampir

setiap

pasar

modal,

menguntungkan investor karena mereka mendapatkan abnormal


return tetapi tidak menguntungkan bagi emiten karena emiten
kemudian tidak mendapatkan dana dalam jumlah yang optimal.

Padahal

disisi

lain,

salah

satu

tujuan

menjual

saham

adalah

meningkatkan atau menambah kas perusahaan.

Underpricing disebabkan oleh adanya asimetri informasi


(Beatty, 1989; Beatty dan Ritter, 1986; dalam Yasa, 2008). Di
dalam

menentukan

harga,

pihak

penentu

harga

sangat

memperhatikan informasi perusahaan. Apabila di antara mereka


tidak memiliki informasi yang lengkap tentang perusahaan, maka
akan terjadi perbedaan harga. Perbedaan harga di kedua pasar
tersebut mestinya dapat dihindarkan apabila penentu harga di
kedua pasar tersebut memiliki informasi yang sama terhadap
perusahaan yang go public. Pemilik lama dan manajemen
merupakan pihak yang memiliki informasi secara lengkap
tentang perusahaannya, sedangkan investor tidak memiliki
informasi secara lengkap.
Damayanti (2007) melakukan kajian lebih lanjut tentang
faktor faktor yang mempengaruhi underpricing yaitu reputasi
undewriter, financial leverage, dan return on assets. Hasil
penelitiannya
underwriter

menunjukkan
dan

return

on

bahwa
assets

secara

parsial

berpengaruh

reputasi
terhadap

underpricing, sedangkan financial leverage tidak berpengaruh


terhadap underpricing. Artinya reputasi underwriter dan return
on

assets

dapat

dipertimbangkan

untuk

menilai

tingkat

underpricing saham perdana, sedangkan financial leverage tidak

dapat

dipertimbangkan

untuk

menilai

tingkat

underpricing

saham perdana.
Motivasi bagi perusahaan yang melakukan go public, di
antaranya yang umum adalah untuk pendanaan pertumbuhan
perusahaan. Menurut Kim dalam (Daljono, 2000) terdapat dua
alasan perusahaan melakukan IPO, yakni: karena pemilik lama
ingin mendiversifikasikan portofolionya, karena perusahaan tidak
memiliki alternatif sumber dana yang lain untuk membiayai
proyek investasinya. Apapun motivasi go public, perusahaan
menginginkan dana yang terkumpul dari IPO dapat maksimum
maka

perusahaan

tersebut

menyerahkan

masalah

yang

berkaitan dengan IPO kepada underwriter.


Menurut (Jogiyanto, 2000:14) ada dua metode pokok dalam
melakukan IPO yaitu: Full Commitment atau firm commitment
underwriting adalah suatu perjanjian penjamin emisi efek dimana
penjamin emisi mengikatkan diri untuk menawarkan efek kepada
masyarakat dan membeli sisa efek yang tidak laku terjual, Best
Efforts;

dalam

komitmen

ini,

underwriter

akan

berusaha

semaksimal mungkin menjual efek-efek emiten. Apabila ada efek


yang belum habis terjual underwriter tidak wajib membelinya.
Oleh karena itu mereka hanya membayar semua efek yang
berhasil terjual dan mengembalikan sisanya kepada emiten.

Sementara

(Jogiyanto,

2000:16)

menyatakan

bahwa

beberapa cara yang ditempuh untuk melakukan penawaran


saham di pasar modal yaitu: dijual kepada pemilik saham yang
sudah ada, dijual kepada karyawan lewat ESOP (employee stock
ownership plan), menambah saham melalui deviden yang tidak
dibagi (dividend reinvestment plan), dijual langsung kepada
pembeli tunggal (biasanya investor institusi) secara privat
(private

placement),

ditawarkan

kepada

publik.

Jika

keputusannya adalah untuk ditawarkan kepada publik, maka


faktor untung dan rugi harus dipertimbangkan.
Permasalahan

menarik

dapat

ditemui

dalam

industri

keuangan yang digunakan dalam penelitian. Karena perusahanperusahaan keuangan merupakan perusahaan yang banyak
menghadapi berbagai regulasi yang diterbitkan oleh berbagai
lembaga yang mengatur sektor keuangan, tentu hal ini akan
mengakibatkan minimnya tingkat resiko atas underpricing. Di
indonesia

lembaga

yang

mengatur

adalah

Departemen

Keuangan dan Bank indonesia. Monitoring tersebut diharapkan


memperkecil ketidakpastian perusahaan keuangan dibandingkan
dengan perusahaan non-keuangan (Ernyan dan Husnan, 2002)
sehingga

diharapkan

tingkat

underpricing

pada

industri

keuangan akan lebih kecil dibandingkan sektor yang lain. Namun


selama periode amatan, hasil di lapangan menemukan masih

tingginya

tingkat

underpricing

dalam

sektor

perusahaan

keuangan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Permasalahan dalam penelitian underpricing ini adalah untuk
mengetahui
underpricing,

faktor
yang

faktor

yang

dinyatakan

mempengaruhi

dalam

pertanyaan

tingkat
sebagai

berikut:
1. Apakah reputasi underwriter berpengaruh terhadap tingkat
underpricing pada perusahaan yang go public di Bursa Efek
Indonesia ?
2. Apakah financial leverage berpengaruh terhadap tingkat
underpricing pada perusahaan yang go public di Bursa Efek
Indonesia ?
3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tingkat
underpricing pada perusahaan yang go public di Bursa Efek
Indonesia ?
4. Apakah reputasi auditor berpengaruh terhadap tingkat
underpricing pada perusahaan yang go public di Bursa Efek
Indonesia ?
5. Apakah Profitabilitas

Perusahaan

(ROA)

berpengaruh

terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang go


public di Bursa Efek Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian

10

1. Untuk

menganalisis

pengaruh

reputasi

underwriter

terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang go


public di Bursa Efek Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh financial leverage terhadap
tingkat underpricing pada perusahaan yang go public di
Bursa Efek Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh ukuran perusahaan terhadap
tingkat underpricing pada perusahaan yang go public

di

Bursa Efek Indonesia.


4. Untuk menganalisis pengaruh reputasi auditor perusahaan
terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang akan
go public di Bursa Efek Indonesia.
5. Untuk menganalisis pengaruh profitabilitas perusahaan
terhadap terhadap tingkat underpricing pada perusahaan
yang akan go public di Bursa Efek Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini mencoba membuktikan masalah-masalah
yang timbul khususnya yang terjadi di pasar modal indonesia.
Hasil akhir dari analisis empiris ini diharapkan:
1. Bagi

emiten

dan

calon

emiten,

untuk

mendapatkan

pengetahuan yang bermanfaat dalam menentukan harga


yang tepat dalam penawaran saham perdana, sehingga

11

perusahaan akan memperoleh modal dengan biaya yang


relatif murah.
2. Bagi investor dan calon investor, dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam mengambil keputusan berinvestasi
dengan membeli saham perdana.
3. Bagi kalangan akademis, diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan dijadikan acuan untuk penelitian serupa
di masa yang akan datang. Bagi peneliti, diharapkan dapat
membantu

untuk

menambah

ilmu

pengetahuan

baik

secara teori maupun praktek khususnya mengenai faktor


faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing pada
perusahaan yang go public di Bursa Efek Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Pengertian Pasar Modal
Istilah pasar modal sudah lama dan banyak dikenal oleh
umum dan saat ini orang-orang terutama di kota-kota besar
mengenal dan mengetahui tempat

dilakukannya pasar modal

tersebut. Namun, apa dan bagaimana jalannya kegiatan yang


dilakukan di dalam tempat tersebut, mungkin masih belum
dikenal dan

dipahami oleh umum. Pasar modal sama seperti


12

pasar pada umumnya, yaitu tempat bertemunya antara penjual


dan pembeli. Di pasar modal, yang diperjualbelikan adalah modal
berupa hak pemilikan perusahaan dan surat pernyataan hutang
perusahaan.
Pembeli modal adalah individu atau organisasi/lembaga
yang bersedia menyisihkan kelebihan dananya untuk melakukan
kegiatan yang menghasilkan pendapatan melalui pasar modal,
sedangkan penjual modal adalah perusahaan yang memerlukan
modal atau tambahan modal untuk keperluan usahanya. Pasar
modal adalah pelengkap di sektor keuangan terhadap dua
lembaga

lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan. Pasar

modal memberikan jasanya yaitu menjembatani hubungan


antara pemilik modal dalam hal ini disebut investor dengan
peminjam dana yang dalam hal ini disebut emiten (perusahaan
yang go public).
Pengertian pasar modal berdasarkan Keputusan Presiden No.
52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa Pasar
Modal adalah Bursa Efek seperti yang dimaksud dalam UU No. 15
Tahun 1952 (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67). Menurut
UU tersebut, bursa adalah gedung atau ruangan yang ditetapkan
sebagai

kantor

sedangkan

dan

tempat

suratberharga

yang

kegiatan

perdagangan

dikategorikan

sebagai

efek,
efek

adalah saham, obligasi, serta surat bukti lainnya yang lazim

13

dikenal sebagai efek. Secara umum pengertian pasar modal


adalah pasar yang mempertemukan pihak yang mempunyai
kelebihan dana (pemodal) atau pihak yang memberi pinjaman
(lender) dan pihak yang membutuhkan dana sebagai peminjam
(borrower).
Pasar modal mengemban dua fungsi yaitu fungsi ekonomi
dan fungsi keuangan (Darmadji, 2001). Dalam melaksanakan
fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk
memindahkan

dana

menginvestasikan

dari

lender

kelebihan

dana

ke
yang

borrower.

Dengan

dimiliki,

lenders

mengharapkan akan memperoleh keuntungan dari penyerahan


dana tersebut. Bagi para borrowers, tersedianya dana dari pihak
luar memungkinkan mereka untuk melakukan investasi tanpa
harus menunggu tesedianya dana hasil operasi perusahaan.
Pada

pasar modal Indonesia diperdagangkan dana jangka

panjang,

yang

berbeda

dengan

perbankan

yang

juga

melaksanakan fungsi ekonomi. Fungsi yang kedua adalah fungsi


keuangan yang dilakukan dengan menyediakan dana yang
diperlukan oleh para borrowers dan para lenders menyediakan
dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil
untuk keperluan investasi tersebut.
2.1.2 Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)

14

Perusahaan yang membutuhkan dana dapat melakukan


penerbitan surat berharga seperti saham (stock), obligasi (bond),
dan sekuritas lainnya. Surat berharga yang baru dijual dapat
berupa penawaran perdana ke publik (initial public offering atau
IPO) atau tambahan surat berharga baru jika perusahaan sudah
go public. Initial Public Offering (IPO) merupakan kegiatan yang
dilakukan perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan
saham perdana (Ang, 1997). Setelah saham dijual di pasar
perdana kemudian saham tersebut didaftarkan di pasar sekunder
(listing). Dengan mendaftarkan saham tersebut di bursa, saham
tersebut mulai dapat diperdagangkan di bursa efek bersama
dengan efek yang lain.
Perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana
sering juga dikenal dengan go public. Menurut Jogiyanto (2007),
manfaat

dari

kemudahan

melakukan

meningkatkan

go

public

modal

di

diantaranya
masa

adalah:

mendatang,

meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham dan nilai pasar


perusahaan

diketahui.

Disamping

manfaat

yang

diperoleh

perusahaan melalui go public, terdapat beberapa kerugian go


public,

diantaranya

adalah:

biaya

laporan

meningkat,

pengungkapan (disclosure) informasi kepada publik maupun


pesaing, dan ketakutan untuk diambil alih.
2.1.3 Underpricing

15

Istilah

underpricing

digunakan

untuk

menggambarkan

perbedaan harga antara harga penawaran saham di pasar primer


dan harga saham di pasar sekunder pada hari pertama (Beatty,
1989).

Menurut

Hanafi

(2004),

underpricing

merupakan

fenomena yang sering dijumpai dalam IPO. Ada kecenderungan


bahwa harga penawaran di pasar perdana selalu lebih rendah
dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama
diperdagangkan di pasar sekunder. Sedangkan overpricing yang
disebut juga underpricing negatif, merupakan kondisi dimana
harga penawaran perdana lebih tinggi daripada harga penutupan
hari pertama di pasar sekunder.
Suatu penjelasan mengenai fenomena underpricing adalah
adanya asimetri informasi. (De Lorenzo dan Fabrizio, 2001)
menyatakan hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan
terjadinya underpricing sebagai akibat dari adanya asimetri
dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu perusahaan,
underwriter,

dan

investor.

Bagi

perusahaan

underpricing

dapat

merugikan

emiten

dikumpulkan

tidak

maksimal.

Namun,

karena

(emiten),
dana

underpricing

yang
dapat

dijadikan strategi pemasaran untuk meningkatkan minat investor


berinvestasi dalam saham IPO dengan memberikan initial return
yang

tinggi.

kemungkinan

(Kim

dan

terjadinya

Shin,

2001)

underpricing

16

menyatakan

bahwa

disebabkan

karena

kesengajaan underwriter untuk menetapkan harga penawaran


jauh dibawah harga pasar untuk meminimalkan kerugian yang
harus ditanggung atas saham yang tidak terjual.
Menurut (Beatty, 1989) asimetri informasi dapat terjadi
antara perusahaan emiten dengan underwriter (Model Baron)
atau antara informed investor dengan uninformed investor
(Model

Rock).

mempunyai

Reese

(1998)

pengetahuan

merumuskan

yang

tidak

bahwa

sempurna

investor
mengenai

perusahaan yang melakukan IPO. Bila investor mendapatkan


lebih banyak berita positif dibandingkan dengan berita negatif
mengenai

perusahaan

maka

tingkat

minat

investor

akan

meningkat. Kenaikan minat investor akan menimbulkan penilaian


yang overvalued atas perusahaan sehingga terjadi kenaikan
volume permintaan. Kenaikan volume permintaan ini akan
menyebabkan

kenaikan

harga

saham

sehingga

terjadi

underpricing.
2.1.4 Saham
Saham berwujud lembaran kertas yang menerangkan bahwa
pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan
surat berharga tersebut (Darmadji, 2001). Dengan memiliki
saham, ada dua keuntungan yang didapat yaitu deviden dan
capital gain. Deviden didapatkan secara periodik dari perusahaan
apabila perusahaan memperoleh laba, sedangkan capital gain

17

adalah keuntungan yang didapat oleh pemegang saham apabila


harga ketika menjual saham lebih tinggi dari harga belinya.
2.1.5 Teori Asimetri Informasi dan Signaling
Model

Baron

(1982)

menawarkan

hipotesis

asimetri

informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki


oleh pihak pihak yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu
emiten, penjamin emisi, dan masyarakat pemodal. Penjamin
emisi (underwriter) memiliki informasi tentang pasar yang lebih
lengkap daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor,
penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang
kondisi emiten. Semakin besar asimetri informasi yang terjadi
maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan
semakin tinggi initial return yang diharapkan dari harga saham.
Model Rock (1986) menyatakan bahwa asimetri informasi
terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed
investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak
mengenai perusahaan emiten akan membeli saham-saham IPO
jika harga pasar yang diharapkan melebihi harga perdana.
Sementara

kelompok

uninformed

karena

kurang

memiliki

informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan


penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO
yang underpriced maupun overpriced.

18

Signal yang baik menurut Kim (1999) dalam Yoga (2010)


harus dapat memenuhi dua syarat, yakni: 1) signal tersebut
harus dapat ditangkap oleh investor sehingga biaya yang
dikeluarkan tidak sia sia, 2) signal tersebut sulit atau terlalu
mahal untuk dapat ditiru oleh perusahaan yang berkualitas
rendah. Penggunaan signal positif secara efektif oleh emiten dan
underwriter

dapat mengurangi tingkat ketidakpastian yang

dihadapi oleh investor, sehingga investor dapat membedakan


kualitas dari perusahaan yang baik dan buruk.

2.2 Penelitian Terdahulu


Beberapa

penelitian

mengenai

faktor

faktor

yang

mempengaruhi tingkat underpricing telah banyak dilakukan baik


dengan menggunakan variabelvariabel keuangan, variabel
variabel

nonkeuangan

dan

variabelvariabel

yang

mencerminkan kondisi perekonomian secara makro terhadap


tingkat underpricingpada sebagian besar saham yang melakukan
IPO.
Nurhidayati dan Indriantoro (1998) membatasi periode
penelitian yaitu mulai tanggal 1 Januari 1995 sampai dengan 31
Desember

1996

perusahaanyang

yang

diperoleh

listing,menguji

19

data

pengaruh

sebanyak
variabel

38

auditor,

reputasi underwriter presentase saham yang ditawarkan ke


masyarakat, umur perusahaan, ukuran perusahaan terhadap
tingkat underprice. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa variabel reputasi auditor terbukti tidak signifikan dengan
arah positif berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Jika
dilihat besarnya koefisien determinasi R2 hanya sebesar 16,508
persen

dari

variabel

dependen

underpricing

yang

dapat

dijelaskan oleh variabel independen tersebut.


Daljono (2000) berdasarkan data tahun 1990 sampai dengan
1997 di BEJ

menemukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan positif dari variabel reputasi penjamin emisi dan


finacial

leverage

dengan

initial

return.

Sedangkan

umur

perusahaan, ROA dan solvability ratio terbukti tidak signifikan


secara negatif mempengaruhi initial return. Sedangkan variabel
jumlah saham yang ditawarkan kepada publik dan reputasi
auditor berpengaruh tidak signifikan positif terhadap tingkat
underpricing.
Ghozali dan Mansyur (2002) berdasarkan data perusahaan
yang IPO di BEI pada tahun 1997 sampai dengan 2000, mencoba
menguji pengaruh variabel reputasi penjamin emisi, presentase
saham yang ditahan founder, skala perusahaan (total aktiva),
umur perusahaan,financial leverage(debt to asset ratio), dan
ROA

terhadap

tingkat

underpricing.

20

Mereka

berhasil

membuktikan bahwa reputasi penjamin emisi, financial leverage


signifikan pada level 10 persen
dengan

arah

negatif

mempengaruhi

underpricing.

ROA

mempengaruhi underpricing denganlevel signifikansi 5 persen


dengan

arah

perusahaan

negatif.

terbukti

Sedangkan
tidak

umur

signifikan

perusahaan,

dengan

arah

skala
negatif

terhadap underpricing. Dan persentase saham yang ditahan,


tidak

terbukti

secara

signifikan

positif

mempengaruhi

underpricing. Akan tetapi, model yang digunakan hanya mampu


menjelaskan besarnya variasi dalam variabel terikat

sebesar

31,2 persen. Kecilnya sumbangan variabel independen dalam


menjelaskan

fenomena

underpricing

menunjukkan

bahwa

investor dalam melakukan investasi kurang memperhatika aspek


aspek fundamental perusahaan dan signal signal yang ada.
Dalam

hal

ini

pihak

pemodal

masih

bertindak

irrasional,

spekulatif dan hanya ikut ikutan, tanpa mempertimbangkan


faktor yang rasional.
Rosyati dan Sabeni (2002) meneliti pengaruh underpricing
dengan menggunakan variabel independen yaitu:

market,

reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan dengan


sampel sebanyak 52 perusahaan dari mulai tahun 1997 2000.
Suyatmin dan Sujadi (2006) berdasarkan data perusahaan yang
IPO di BEI pada tahun 1999 sampai dengan 2003 terdapat 89

21

perusahaan yang melakukan IPO dan pengambilan sampel


dengan menggunakan metode purposive sampling menguji
pengaruh

variabel

umur

perusahaan,

besaran

perusahaan,

reputasi auditor, reputasi underwriter, jenis underwriter, laba per


saham (EPS), ukuran penawaran (proceed), current ratio(CR),
rate of return on investment(ROI), dan financial leverageterhadap
tingkat

underpricing.

Mereka

berhasil

membuktikan

bahwa

variabel current ratio berpengaruh terhadap underpricing.


Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikan variabel current ratio
yaitu

sebesar

0,002

dengan

arah

negatif

mempengaruhi

underpricing. Semakin tinggi current ratio suatu perusahaan,


berarti

semakin

kecil

risiko

kegagalan

perusahaan

dalam

memenuhi kewajiban jangka pendeknya sehingga resiko yang


akan ditanggung oleh investor pun semakin kecil. Variabel
auditor berpengaruh dengan arah negatif terhadap underpricing.
Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai signifikan yaitu variabel
reputasi auditor sebesar 0,0000. Semakin baik reputasi auditor,
tingkat underpricing semakin rendah. Sedangkan variabel umur
perusahaan, reputasi underwriter, jenis industri dan ROI tidak
signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen berpengaruh positif
terhadap underpricing. Sedangkan variabel besaran perusahaan,
EPS, ukuran penawaran dan financial leveragetidak signifikan
berpengaruh terhadap tingkat underpricing.

22

2.3 Hipotesis
Fenomena underpricing tentu dipengaruhi beberapa faktor dan
berikut akan dibahas beberapa faktor

yang menjadi variabel

dalam penelitian ini yakni underwriter, financial laverage dan


ukuran perusahaan (size).
Pengaruh Reputasi Underwriter terhadap underpricing
Underwriter merupakan perusahaan swasta atau BUMN
(pihak

luar)

yang

menjembatani

kepentingan

emiten

dan

investor yakni menjadi penanggung jawab atas terjualnya efek


emiten kepada investor. Underwritermembuat kontrak dengan
emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan
emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek
yang tidak terjual. Peranan underwriter diduga berpengaruh
terhadap tinggi rendahnya tingkat underpricing karena tinggi
rendahnya harga perdana saham yang akan dibeli investor
tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten.
Emiten yang menggunakan penjamin emisi yang berkualitas
atau bereputasi baik akan mengurangi tingkat ketidakpastian
yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi yang terdapat
dalam prospektus dan menandai bahwa informasi privat dari
emiten mengenai prospek perusahaan di masa mendatang tidak

23

menyesatkan. Berikut adalah empat jenis penjaminan sekuritas


yang dilakukan oleh penjamin emisi efek menurut Anwar (2005) :
1. Full Commitment (kesanggupan penuh)
Penjamin emisi efek bertanggung jawab mengambil alih
risiko penawaran efek dengan cara memberikan jaminan
kepada emiten bahwa setiap bagian surat berharga yang
tidak terjual akan dibeli oleh penjamin emisi dengan harga
perdana yang ditawarkan kepada publik.
2. Best Effort (kesanggupan terbaik)
Penjamin efek hanya bertanggung jawab untuk melakukan
usaha usaha terbaiknya agar surat berharga dapat terjual
dengan harga perdana yang ditetapkan. Oleh karena itu,
bila ada bagian efek yang tidak terjual akan dikembalikan
kepada emiten.
3. Standby Commitment
Penjamin emisi efek akan membeli bagian efek yang tidak
terjual sampai jangka waktu bersama. Namun, pembelian
yang dilakukan oleh penjamin emisi ini adalah pada
tingkatan harga yang telah diperjanjikan sebelumnya, yang
biasanya berada di bawah harga perdana yang ditawarkan
kepada publik.
4. All or None Commitment
Dalam hal ini, seluruh efek yang ditawarkan harus terjual
semuanya. Apabila tidak, bagian yang sempat terjual akan
dikembalikan bersamasama dengan yang belum terjual
kepada perusahaan / emiten. Jadi pada prinsipnya adalah

24

terjual seluruhnya atau tidak sama sekali. Apabila minat


masyarakat terhadap saham yang di IPO kan tidak
memenuhi target yang telah ditetapkan, maka underwriter
tidak melanjutkan proses emisi.
Best effort umumnya digunakan oleh IPO yang kecil dan Full
Commitment pada IPO yang lebih besar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin besar hasil kotor (gross proceed)
dari penerbitan suatu sekuritas atau saham baru, maka semakin
sedikit emiten yang memilih kesepakatan dengan underwriter
yang berbentuk Best Effort.
Pelaksanaan penjamin emisi efek, umumnya dilakukan
dalam suatu sindikasi yang terdiri atas kalangan penjamin emisi.
Dilihat dari masing masing fungsi dan tanggung jawab dalam
sindikasi penjamin emisi maka underwriter dapat digolongkan
sebagai berikut (Anwar, 2005) :
1. Penjamin Emisi (Lead Underwriter)
Penjamin utama emisi dengan emiten membuat suatu
perikatan dalam suatu perjanjian penjaminan emisi efek. Dalam
perjanjian tersebut penjamin emisi menjamin menjual efek dan
pembayaran seluruh nilai efek.
2. Penjamin Pelaksana Emisi (Managing Underwriter)

25

Mengelola

penyelenggaraan

emisi

efek

serta

mengkoordinasikan seluruh penjamin emisi dalam pelaksanaan


penjaminan efek, serta kegiatan lain yang sesuai dengan
kewajiban para penjamin emisi efek.
3. Penjamin Peserta Emisi (Co Underwriter)
Ikut serta menjamin penjualan dan pembayaran nilai efek
pada penjaminan utama emisi sesuai bagian yang diambilnya.
Penjaminan emisi efek selalu dihadapkan pada kemungkinan
risiko.
Risiko maksimum yang akan dihadapi oleh underwriter
adalah kemungkinan tidak lakunya efek sehingga menyebabkan
underwriter merugi karena menanggung penuh atas tidak
lakunya efek yang disebabkan karena penggunaan penjaminan
Full Commitment di Indonesia. Masalah penetapan harga saham
yang ditawarkan kepada calon pembeli merupakan pekerjaan
yang tidak mudah karena rentannya kesalahan kecil yang terjadi
saat IPO dapat menyebabkan kegagalan IPO. Harga jual yang
terlalu

mahal

akan

menyebabkan

sekuritas

tidak

laku.

Sebaliknya, harga yang terlalu murah akan menyebabkan


perusahaan mengalami opportunity loss.
Teori yang berkaitan dengan variabel ini adalah teori
asimetri informasi (Baron, 1982) dimana adanya perbedaan
informasi yang dimiliki antara emiten,underwriter, dan investor.

26

Perbedaan informasi yang terjadi ialah bahwa Underwriter


memiliki informasi lebih banyak tentang keadaan pasar daripada
emiten. Sedangkan terhadap investor, underwriter juga memiliki
informasi mengenai emiten lebih banyak daripada investor.
Sehingga penentuan harga pun menjadi sangat penting di posisi
underwriter.

Dalam

dua

mekanisme

penentuan

harga

(penawaran dan permintaan) sering terjadi perbedaan harga


terhadap saham yang sama antara di pasar perdana dan di pasar
sekunder.
Emiten dan underwriter bersama-sama dalam penentuan
harga perdana saham, namun sebenarnya masing-masing pihak
mempunyai kepentingan yang berbeda. Emiten dalam hal ini
menginginkan harga perdana yang tinggi karena dengan harga
yang

tinggi

maka

semakin

tinggi

pula

emiten

dapat

merealisasikan proyek yang akan dilakukan. Sedangkan bagi


underwriter sebagai penjamin emisi menginginkan harga yang
rendah untuk meminimalkan resiko yang ditanggungnya. Karena
dalam hal ini apabila harga saham yang ditawarkan tinggi maka
akan adanya kecenderungan sisa saham, sedangkan underwriter
bertanggung jawab atas terjualnya saham, apabila saham masih
tersisa

maka

underwriter

berkewajiban untuk

membelinya.

Namun dalam hal ini underwriter yang memiliki reputasi yang

27

tinggi akan berani untuk menjual saham dengan harga yang


tinggi sebagai konsekuensi dari kualitas penjaminannya.
Banyaknya saham yang dijamin oleh underwriter secara
tidak langsung menunjukkan aset yang dimiliki oleh underwriter.
Semakin banyak saham yang dapat dijamin berarti semakin
besar kemampuan aset underwriter. Besar aset yang dimiliki
underwriter untuk mengukur seberapa besar kemampuannya
untuk

melakukan

penjaminan.

Semakin

baik

kemampuan

underwriter untuk melakukan penjaminan emisi, maka tingkat


underpricing akan semakin rendah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ghozali dan Mansyur
(2002) variabel reputasi underwriter berpengaruh signifikan
dengan

arah

negatif

terhadap

underpricing.

Berdasarkan

paparan diatas serta mengacu pada teori asimetri informasi


(Baron, 1982) yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat
diajukan hipotesis sebagai berikut :
H1: Reputasi Underwriter berpengaruh negatif terhadap
underpricing

Pengaruh financial leverage terhadap underpricing


Leverage Rasio biasanya digunakan untuk menggambarkan
suatu keadaan atau kemampuan suatu perusahaan dalam
menggunakan aktiva atau dana yang mempunyai beban tetap

28

untuk

memperbesar

tingkat

penghasilan

bagi

pemilik

perusahaan. Financial aktiva dapat diukur dengan melihat


besarnya aktiva perusahaan yang dibiayai oleh belanjai oleh
hutang. Menurut Weston dan Brigham (1991:175) tentang
financial leverage adalah leverage perusahaan dapat diartikan
sebagai rasio jumlah hutang terhadap seluruh aktiva ataupun
modal

perusahaan

menurut

Lukman

atau

jumlah

(1992)

seluruh

didalam

nilai

perusahaan.

manajemen

keuangan

perusahaan pada umumnya di kenal tiga macam leverage yaitu :


1. Operating Leverage
Operating Leverage timbul karena adanya fixed operating cost
yang digunakan dalam perusahaan untuk menghasilkan income.
Menurut batasnya fixed operating cost tidak berubah dengan
adanya perubahan valume penjualan.
2. Financial leverage
Financial yang tetap ini tidak berubah dengan adanya perubahan
EBIT yang dicapai perusahaan.
3. Total leverage
Total

leverage

adalah

pengaruh

gabungan

dari

operating

leverage dan financial leverage. Dengan kata lain total leverage


adalah kombinasi dari operating leverage dan financial leverage.
Financial

leverage

terjadi

pada

saat

perusahaan

menggunakan sumber dana yang menimbulkan beban tetap.

29

Apabila perusahaan menggunakan hutang maka perusahaan


harus membayar bunga. Bagi perusahaan yang menggunakan
hutang, mereka tentu berharap untuk bisa memperoleh laba
operasi dari penggunaan hutang tersebut yang lebih besar dari
biaya

bunganya,

karena

itu

analisis

financial

leverage

memusatkan perhatian perusahaan pada perubahan laba setelah


pajak sebagai akibat perubahan laba operasi.
Financial leverage adalah penggunaan sumber dana yang
memiliki beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan
tambahan keuntungan yang besar daripada beban tetapnya
sehingga akan meningkatkan keuntungan pemegang saham,
dengan demikian alasan yang kuat untuk menggunakan dana
dengan beban tetap adalah untuk meningkatkan pendapatan
yang tersedia bagi pemegang saham.
Penggunaan financial leverage yang tinggi mengakibatkan
biaya modal tetapnya tinggi dan perusahaan harus berusaha
agar mmperoleh tambahan EBIT yang lebih tinggi daripada biaya
tetapnya. Penggunaan financial leverage yang semakin tinggi
mengakibatkan resiko financial juga meningkat.
Perusahaan menggunakan operating leverage dan financial
leverage dengan tujuan agar keuntungan yang di peroleh lebih
besar daripada biaya aset dan sumber dananya, dengan
demikian akan meningkatkan keuntungan pemegang saham.

30

Sebaliknya leverage juga meningkatkan variabilitas (resiko)


keuntungan, karena jika perusahaan ternyata mendapatkan
keuntungan yang lebih rendah dari biaya tetapnya maka
penggunaan leverage akan menurunkan keuntungan pemegang
saham. Financial leverage menunjukkan resiko suatu perusahaan
sehingga berdampak pada ketidakpastian harga (Kim Dkk :1993).
Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam membayar hutang dengan equity yang dimiliki. Seorang
investor yang menginvestasikan dananya pada surat berharga
tidak bisa hanya melihat kecendrungan harga saham saja.
Performa perusahaan akan tetap sebagai dasar dan sekaligus
titik awal penilaian. Apabila tingkat financial leverage tinggi
menunjukkan resiko financial atau resiko kegagalan perusahaan
untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan
sebaliknya. Oleh karena itu semakin tinggi financial leverage
perusahaan, maka initial return-nya semakin besar.
H2 : Financial Leverage berpengaruh positif terhadap
Underpricing.

Pengaruh

Ukuran

perusahaan

underpricing

31

(size)

terhadap

Ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai proxy tingkat


ketidakpastian
cenderung

saham.

lebih

Perusahaan

dikenal

yang

masyarakat

berskala

sehingga

besar

informasi

mengenai prospek perusahaan berskala besar lebih mudah


diperoleh investor daripada perusahaan berskala kecil.
Karena lebih dikenal dan informasi mengenai perusahaan besar
lebih banyak dan lebih mudah diperoleh investor, maka akan
meminimkan tingkat ketidakpastian. Tingkat ketidakpastian yang
akan dihadapi oleh calon investor mengenai masa depan
perusahaan emiten dapat diperkecil apabila informasi yang
diperolehnya banyak (Ardiansyah, 2004).
Berdasar pada teori signaling (Kim, 1999) yakni untuk
mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga
saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan
signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut memiliki kualitas yang baik. Tingkat ketidakpastian
perusahaan berskala besar pada umumnya rendah karena
dengan

skala

dipengaruhi

yang
pasar,

tinggi

perusahaan

sebaliknya

dapat

cenderung

tidak

mewarnai

dan

mempengaruhi keadaan pasarsecara keseluruhan. Keadaan ini


dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investasi
perusahaan berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan
pada perusahaan berskala kecil tingkat ketidakpastian di masa

32

yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko investasinya


lebih besar dalam jangka panjang (Nurhidayati dan Indriantoro,
1998).
Dengan

rendahnya

tingkat

ketidakpastian

perusahaan

berskala besar maka akan mengurangi asimetri informasi pada


perusahaan

yang

besar

sehinggaakan

menurunkan

tingkat

underpricing dan kemungkinan initial return yang akan diterima


investor akan semakin rendah. Yolana dan Martani (2005)
membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan
dan negatif pada tingkat underpricing. Berdasakan paparan
diatas serta mengacu pada teori signaling (Kim, 1999) yang
sudah dijelaskan di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai
berikut :
H3: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap
Underpricing.

Kerangka Analisis
Adapun kerangka analisis yang mempengaruhi underpricing
adalah sebagai berikut :

Reputasi underwriter

33

underpricing

Financial leverage

size

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini tergolong penelitian kausatif (causative). Penelitian
kausatif merupakan tipe penelitian untuk menganalisis pengaruh

34

beberapa variabel terhadap variabel lainnya. Menurut tingkat


eksplanasinya (kejelasan) penelitian ini dikategorikan penelitian
asosiatif dengan hubungan kausal. Karena dilakukan atas dasar
peristiwa yang telah terjadi dan hanya mengungkapkan fakta
tanpa melakukan manipulasi variabel ataupun menciptakan
kondisi tertentu, sehingga digunakan pendekatan ex post facto,
yaitu penelitian yang dilakukan untuk meneliti peristiwa yang
telah

terjadi

dan

kemudian

merunut

ke

belakang

untuk

mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian


tersebut.

3.2 Definisi Operasional


Untuk memperjelas pengertian yang terkandung dalam variabelvariabel penelitian, agar terjadi persepsi yang sama, maka
berikut

ini

akan

dijelasklan

definisi

operasional

yang

berhubungan dengan variabel penelitian, yaitu:


1. Underpricing merupakan suatu keadaan dimana harga saham
perdana

ditetapkan

terlalu

rendah

dibandingkan

ketika

diperdagangkan untuk pertama kalinya di pasar sekunder


sehingga investor yang membeli saham di pasar perdana dan
menjualnya

kembali

di

pasar

abnormal return / keuntungan.

35

sekunder

akan

memperoleh

2. Underwriter merupakan perantara antara perusahaan yang


menjual

saham

dengan

investor

yang

melakukan

proses

pembelian sekuritas yang nantinya akan dijual kembali ke publik.


3.

Ukuran

perusahaan

diproksikan

dengan

menggunakan

logaritma natural dari total aktiva perusahaan (Titman dan


Wessels, 1988) pada periode terakhir sebelum perusahaan
melakukan penawaran perdana.
4. Financial Leverage variabel ini diukur dengan DER (Debt to
Equity Ratio), yaitu rasio total hutang terhadap equity yang
dimiliki oleh perusahaan. Pengukuran variabel ini juga telah
dipergunakan oleh Kim et al. (1993), Trisnawati (1998), Daljono
(2000). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.
DER = Total Debt
Equity

Variabel Penelitian
Variabel

dependen

adalah

tingkat

underpricing.

Tingkat

underpricing ini diproxy dengan penghitungan initial return dari


perusahaan perusahaan yang melakukan Initial Public Offering,
yaitu selisih antara penutupan harga saham pada hari pertama di
pasar sekunder dengan harga saham penawaran perdana dibagi
dengan harga saham penawaran perdana (Ardiansyah, 2004).

36

Variabel reputasi underwriter ini diukur dengan memeringkat


reputasi underwriter berdasarkan nilai penawaran saham pada
saat melakukan IPO. Nilai penawaran saham dapat dihitung
dengan harga penawaran (offering price) dikalikan dengan
jumlah lembar saham yang diterbitkan. Kemudian dilakukan
peringkat sesuai dengan ukuran underwriter Carter Manaster
(1990) Sesuai dengan prosedur ukuran CM membagi data
peringkatan

tersebut

menjadi

10

kategori

(9-0).

Untuk

underwriter yang mempunyai reputasi paling tinggi diberi skala 9


dan untuk underwriter yang mempunyai reputasi rendah diberi
skala 0 (Nasirwan, 2002).
Ukuran perusahaan diukur dengan menghitung logaritma natural
total aktiva tahun terakhir sebelum perusahaan tersebut listing
(Ardiansyah, 2004) atau total aktiva emiten setahun sebelum IPO
(Yolana dan Martani, 2005).

3.3 Metode Pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dilihat dari
sumbernya, peneliti
menggunakan jenis data sekunder dengan metode dokumen dan
metode studi pustaka.
1. Metode dokumentasi adalah pengumpulan data yang diambil
dari kejadian-kejadianyang berisi pandangan serta pemikiran-

37

pemikiran manusia dimasa lalu yang ditulis secara sadar untuk


tujuan komunikasi dan keterangan.
2. Metode studi pustaka yaitu penulisan yang dilakukan dengan
membaca literature, referensi, buku-buku acuan dan materi yang
didapat selama kuliah serta sumbersumber lain yang relevan
dalam penelitian ini.

3.4 Populasi dan Sampel


Penelitian ini mengambil populasi dan sampel perusahaanperusahaan Go-Public yang terdaftar di BEJ. Dengan kriteria
perusahaan yang mengalami underpriced, yaitu perusahaan
yang harga penawaran pada saat IPO lebih rendah dibandingkan
dengan harganya pada saat penutupan di pasar sekunder hari
pertama.

3.5 Metode Analisis Data


Untuk

melihat

hubungan

antara

underpricing

dengan

variabel yang telah ditetapkan di atas dilakukan uji asumsi klasik


sebagai prasyarat yang kemudian dilakukan analisis regresi
tunggal yang dilanjutkan dengan regresi berganda. Analisis ini
dipakai untuk mempermudah melihat sejauh mana hubungan
antara independent variabel dan dependent variabel. Analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing dilakukan dengan

38

regresi berganda. Dari sini akan diperoleh variabel-variabel yang


signifikan mempengaruhi underpricing. Untuk melihat hubungan
antara underpricing dengan variabel yang telah ditetapkan di
atas

dilakukan

uji

asumsi

klasik

sebagai

prasyarat

yang

kemudian dilakukan analisis regresi tunggal yang dilanjutkan


dengan

regresi

mempermudah

berganda.
melihat

Analisis

sejauh

ini

mana

dipakai

untuk

hubungan

antara

independent variabel dan dependent variabel. Analisis faktorfaktor

yang

mempengaruhi

underpricing

dilakukan

dengan

regresi berganda. Dari sini akan diperoleh variabel-variabel yang


signifikan mempengaruhi underpricing.
a. Uji Asumsi Klasik
Untuk

membuktikan

bahwa

model

representatif

dilakukan

pengujian asumsi klasik yang meliputi; uji autokorelasi, uji


heteroskedastisitas,

uji

multikolinieritas,

dan

uji

normalitas

terhadap persamaan yang dihasilkan.


1. Uji autokorelasi
Suatu asumsi penting dari model linear klasik adalah tidak
adanya autokorelasi atau kondisi berurutan diantara gangguan
yang

masuk

dalam

fungsi

regresi.

Faktor-faktor

menyebabkan autokorelasi menurut Singgih Santoso (2001):

39

yang

1) Data obsevasi dimulai dari situasi kelesuan sehingga dat


observasi selanjutnya yang menarik jelas dipengaruhi oleh data
sebelumnya.
2) Tidak memasukkan variabel bebas tertentu yang sebetulnya
turut mempengaruhi dependent variabel.
3) Bentuk model yang tidak tepat.
4) Penentuan data secara mudah dalam situasi data untuk
periode yang diinginkan tidak diperoleh.
Akibat yang ditimbulkan dari adanya autokorelasi:
1) Varian residual (error term) akan diperoleh lebih rendah
daripada semestinya, sehingga mengakibatkan R2 menjadi lebih
tinggi daripada seharusnya.
2) Pengujian hipotesis dengan menggunakan t-statistik dan Fstatistik akan menyesatkan.
Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan metode
D-W (Durbin-Watson) statistik (Singgih Santoso, 2001:219).
a) Angka D-W dibawah 2, berarti ada autokorelasi positif.
b)

Angka

D-W

antara

sampai

+2,

berarti

tidak

ada

autokorelasi.
xv ,c) Angka D-W diatas +2, berarti ada autokorelasi negatif.? b
2. Uji Heteroskedastisitas
Pengertian heteroskedastisitas adalah salah satu asumsi pokok
model

regresi

linear

klasik

adalah

40

bahwa

varian

setiap

disturbance term yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai


variabel-variabel bebas adalah berbentuk suatu nilai konstanta
yang sama (Sritua Arief, 1993: 31).
Heteroskedastisitas adalah situasi bila varian berbeda. Situasi
heteroscedasticity akan menyebabkan penaksiran koefisienkoefisien regresi menjadi tidak efisien. Hasil taksiran menjadi
kurang

dari

semestinya,

melebihi

dari

semestinya

atau

menyesatkan (Sritua Arief, 1993: 33). Dengan menggunakan


program

SPSS

pada

scatterplot,

cara

mendeteksi

adanya

heteroskedastisitas menurut Singgih Santoso (2001:210) adalah


sebagai berikut:
1) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik (point-point) yang ada
membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang,
melebar

kemudian

menyempit),

maka

telah

terjadi

heteroskedastisitas.
2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas
dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas.
3. Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas berarti terdapat hubungan sempurna diantara
beberapa atau semua variabel dari model yang ada (Algifari,
2001:

84).

Akibat

dari

multikolinieritas

adalah

koefisien

regresinya tidak tentu atau standarnya tidak terhingga. Hal ini

41

akan mengakibatkan bias dalam spesifikasi. Pengujian gejala


multikolinieritas bisa dilakukan dengan uji VIF (Variance Inflation
Factor). Menurut Singgih Santoso (2001: 206), bila nilai VIF di
sekitar angka 1 dan mempunyai angka tolerance mendekati 1
serta koefisien regresi diantara variabel bebas lemah (dibawah
0,5) maka kecil kemungkinan terjadi multikolinieritas.
4. Uji Normalitas
Pengujian hipotesis penelitian ini menguji apakah dalam sebuah
model regresi, variabel dependent dan independent atau keduaduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi
yang baik adalah distribusi normal atau mendekati normal
(Singgih,

2001:

212).

Pengujian

tersebut

memerlukan

terpenuhinya banyak asumsi. Asumsi yang utama adalah data


yang dianalisis harus berdistribusi normal. Uji normalitas dalam
penelitian

ini

dihasilkan

dari

akan

dideteksi

perhitungan

melalui
regresi

analisis
dengan

grafik
SPSS.

yang
Dasar

pengambilan keputusan menurut Singgih Santoso (2001:214)


adalah sebagai berikut:
a) Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti
arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas.

42

b) Jika data menyebar jauh dari garis normal dan atau tidak
mengikuti

arah

garis

normal,

maka

model

regresi

tidak

memenuhi asumsi normalitas.


b. Analisis Regresi Sederhana
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel independen pada variabel dependen. Untuk menguji
hipotesis-hipotesis dalam penelitian ini, maka akan digunakan
model persamaan regresi sebagai berikut.
Y = + 1X1 + 2X2 + 3X3 +
Keterangan :
Y : tingkat underpricing
: konstanta
1X1 : reputasi underwriter
2X2 : financial leverage
3X3 : size
: Error

43

DAFTAR PUSTAKA
Algifari. 1997. Analisis Regresi, Teori, Kasus dan Solusi. Edisi
Pertama. Yogyakarta: BPFE Universitas Gajah Mada.
Ang, Robert. 1997. Pintar Pasar Modal Indonesia. Jakarta:
Mediasoft Indonesia.
Anonim. IDX Fact Book 1997 2010. Jakarta: Research Division
Bursa Efek Indonesia.
Anonim. 2011. Indonesian Capital Market Directory 2010. Jakarta:
Institute for Economics and Financial Research.
Beatty, R.P. 1989. Auditor Reputation and The Pricing of IPO. The
Accounting Review. Vol LXIV No 4. p 693-707.
Brown, Stephen J. and Warner, Jerold B. 1980. Measuring Security
Price Performance. Journal of Financial Economics 8. p. 205-258.

44

. 1985. Using Daily Stock Returns (The Case of Event Studies).


Journal of Financial Economics 14. p. 3-31.
Carter, Richard and Manaster, Steven. 1990. Initial Public
Offering and Underwriter Reputation. Journal of Financial. Vol 45.
p 1045-1067.
Cook, John P. and Officer, Dennis T. 1996. Is Underpricing a Signal
of Quality in Second Initial Public Offerings?. Quarterly Journal of
Business and Economics. Vol. 35 No.1. pp 67-78.
Daljono. 2000. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Initial
Return Saham yang Listing di BEJ Tahun 1990-1997. Makalah
Seminar, Seminar Nasional Akuntansi III. Depok.

45

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnalipi 274119
    Jurnalipi 274119
    Dokumen14 halaman
    Jurnalipi 274119
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Peta Kelurahan
    Peta Kelurahan
    Dokumen1 halaman
    Peta Kelurahan
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen45 halaman
    Bab 1
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Dui
    Dui
    Dokumen3 halaman
    Dui
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • ZAT ADITIF
    ZAT ADITIF
    Dokumen55 halaman
    ZAT ADITIF
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKA
    DAFTAR PUSTAKA
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR PUSTAKA
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Alkohol Organik 2
    Alkohol Organik 2
    Dokumen13 halaman
    Alkohol Organik 2
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pegesahan
    Halaman Pegesahan
    Dokumen1 halaman
    Halaman Pegesahan
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Makalah Seminar Fix
    Makalah Seminar Fix
    Dokumen36 halaman
    Makalah Seminar Fix
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Akhir
    Laporan Akhir
    Dokumen25 halaman
    Laporan Akhir
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Individu 11
    Laporan Individu 11
    Dokumen17 halaman
    Laporan Individu 11
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Tabel Penelitian Terdahulu
    Tabel Penelitian Terdahulu
    Dokumen5 halaman
    Tabel Penelitian Terdahulu
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Revisi 4
    Revisi 4
    Dokumen51 halaman
    Revisi 4
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Termokimia SMF New
    Termokimia SMF New
    Dokumen13 halaman
    Termokimia SMF New
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Termokimia SMF New
    Termokimia SMF New
    Dokumen13 halaman
    Termokimia SMF New
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • RPP KIMIA K-13 Termokimia
    RPP KIMIA K-13 Termokimia
    Dokumen15 halaman
    RPP KIMIA K-13 Termokimia
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Minggu Lalu
    Minggu Lalu
    Dokumen1 halaman
    Minggu Lalu
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • JAMBU
    JAMBU
    Dokumen10 halaman
    JAMBU
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Rencana Pelaksanaan Pembelajaran K 13
    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran K 13
    Dokumen9 halaman
    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran K 13
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Minggu Lalu
    Minggu Lalu
    Dokumen1 halaman
    Minggu Lalu
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Lembar Kerja Siswa
    Lembar Kerja Siswa
    Dokumen1 halaman
    Lembar Kerja Siswa
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Fix Seminar
    Fix Seminar
    Dokumen18 halaman
    Fix Seminar
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Translate Fix Jurnal
    Translate Fix Jurnal
    Dokumen11 halaman
    Translate Fix Jurnal
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Fix Seminar
    Fix Seminar
    Dokumen18 halaman
    Fix Seminar
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Minggu Lalu
    Minggu Lalu
    Dokumen1 halaman
    Minggu Lalu
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Makalah Seminar Fix
    Makalah Seminar Fix
    Dokumen36 halaman
    Makalah Seminar Fix
    genesis nababan
    Belum ada peringkat
  • Makalah Kapita Selekta Kimia
    Makalah Kapita Selekta Kimia
    Dokumen13 halaman
    Makalah Kapita Selekta Kimia
    genesis nababan
    Belum ada peringkat