Mimesis Oleh Plato PDF
Mimesis Oleh Plato PDF
(Konsep Seni Plato dan Aristoteles dalam Ranah Kajian Seni Pertunjukan Teater)
memiliki bentuk dasar yang terukur sebagi rumusan atau formulasi geometris.
Contoh sebuah botol akan terdiri dari beberapa idea yang pada prinsipnya adalah
lingkaran dan silinder, sementara buku memiliki idea kotak persegi panjang.2
Jika dirujuk pada seni pertunjukan teater maka bentuk-bentuk seni
pertunjukan akan terdiri dari beberapa ide yang pada prinsipnya adalah
penampilan, pemain, dan penonton.
Kemurnian dan kejelasan idea inilah yang oleh Plato disebut baik dan
disetarakan dengan indah. Semetara hubungan yang proporsional dan terukur tepat
menciptakan sesuatu dirasakan sebagai harmoni.
Penampilan bagi Plato adalah ide yang mengikuti prinsip-prinsip hakiki
yang berangkat dari kesempurnaan. Kesempurnaan atau keutuhan akan mampu
merengkuh baik dan buruk ke dalam kesamaan. Sama bukan berarti kompromi
atau sepakat tetapi saling mengenal sebagai pasangan yang tak akan bisa saling
meniadakan.
Kecocokan dan keselarasan yang terukur bukan kebetulan. Karya-karya
yang berupa lirik atau seni pertunjukan dikatagorikan oleh Plato sebagai seni yang
bendawi dalam kaitannya dengan besaran proposional dan terukur.
Titik tolak penciptaan dan produksi karya-karya seni dikatagorikan seni
yang imitatif, imitatif bukan dalam artian sebagai tiruan saja. Seni pertunjukan
sebagai sesuatu yang menggambarkan kebajikan dan keburukan yang dimiliki oleh
alam.
Sementara menurut Aristoteles berkesenian dan berkarya adalah proses
pembelajaran yang dihasilkan oleh adanya daya kreasi dalam menanggapi realitas.
Menurut Aristoteles karya hanya akan menjadi suatu barang seni sejauh bukan
reproduksi sebab karya seni harus diciptakan sistemnya sebelum diproduksi.
Dalam seni pertunjukan teater kejelasan atau kemurnian ide yang oleh Plato
disetarakan dengan keindahan seni akan menjadi bahan dasar dalam proses
penciptaan teater. Seni pertunjukan khususnya teater, tanpa ide yang merupakan
gambaran kebajikan dan keburukan alam akan tidak terjadi proses kreatif seperti
2 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan.
Jakarta. Gramedia 2001
yang diungkap oleh Aristoteles. Tidak akan ada suatru proses pembelajaran dalam
menanggapi realita.
Pencipta/ seniman yang merespon realita kebajikan dan keburukan alam
dalam proses penciptaan seni pertunjukan juga tidak mendapatkan proses
pembelajaran bersama pemain/ aktor/ tokoh dan penonton dalam satu pertunjukan
tertentu. Ketepatan dan keproporsioanal dalam proses penciptaan yang dilakukan
oleh seniman tentunya akan menciptakan pula keharmonisan.
Sesuai dengan prinsip Plato bahwa penampilan berangkat dari
kesempurnaan maka seni pertunjukan haruslah berangkat dari kesempurnaan,
adanya keterukuran ide yang proporsional yang menjadi satu kesatuan dan tidak
saling bertentangan sehingga tercipta keindahan yang harmoni.
3 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan.
Jakarta. Gramedia 2001
Mimesis
Mimesis memandang karya seni sebagai tiruan atau pembayangan dunia
kehidupan nyata. Konsep tersebut dikemukakan oleh Plato. Seni hanyalah tiruan
alam. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya
dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni merupakan aktivitas
manusia dengan proses pembelajaran yang dihasilkan adanya daya kreasi delam
menanggapi realita.
Mimesis yang dimaksudkan adalah daya representasi dari keilahian yang
muncul sebagai kesempurnaan berkarya. Mimesis yang dimaksudkan bukan
wujudnya namun kondisi atau keadaan yang membawa keilahian hadir dan ikut
bermain. Mimesis memuat transformasi daya dan kekuatan di luar kendali manusia
ke dalam karya.4
Dengan daya keilahian akan muncul keterlibatan penonton, pemain dan
semua yang hadir dalam emosi yang tidak terkendali namun mengalir bersama.
Dalam seni pertunjukan khususnya teater konsep mimesis dalam pengertian adanya
daya keilahian atau kekuatan diluar kendali manusia dalam karya sangat menonjol.
Ada keterlibatan secara emosional ketika penonton menikmati pertunjukan.
Refensi atau pengalaman batin penonton akan diselaraskan atau disejajarkan
dengan kisahan-kisahan yang dihadirkan oleh pencipta melalui tokoh-tokoh/ peran
dalam sebuah pertunjukan. Dengan penekanan bahwa suara, syair, gerak dan
4 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan.
Jakarta. Gramedia 2001
suasana yang berasal dari para pemain dan pencipta/ seniman yang hadir dalam
seni pertunjukan hanya imitasi atau representasi dari daya dan kekautan-kekuatan
di luar kesadaran dan kendali manusia.
Aristoteles mengembangkan pengertian mimesis dari Plato, Aristoteles
mengutarakan pandangannya tentang seni tidak lagi sebagai suatu copy atau
jiplakan melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai
universalia (konsep-konsep umum) bukan seperti pandangan Plato, yakni dunia
ide.5
5 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan.
Jakarta. Gramedia 2001
6 Maryaeni Teori Drama Departeman Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang, 1992
Para pekerja yang bertanggung jawab dibagian pentas (stage crew), dibagian
perlengkapan pentas/ dekorasi (properti crew), tata lampu (light crew), tata
busana dan tata rias (costume crew),serta tata suara/musik (sound crew).
Staf produksi dalam melaksanakan tugasnya merupakan satu kesatuan.
Salah satu staf tidak berfungsi baik maka staf yang lain akan mengalami hambatan
dalam melaksanakan pementasan. Pekerjaan pertunjukan teater akan timpang dan
tidak sempurna pelaksanaannya meskipun kemungkinan tugas dan fungsi tersebut
bisa digantikan atau diwakili oleh staf yang lain.
Sebagai satu kesatuan, staf produksi adalah sebuah sistem. Setiap sistem
terdiri atas empat hal.7 Yang pertama adalah obyek: bagian-bagian, unsur-unsur,
atau variabel-variabel di dalam sistem. Obyek bersifat fisik atau abstrak atau
kedua-duanya, bergantung pada sifat sistem. Kedua, sistem terdiri atas atributatribut: kualitas atau sifat-sifat sistem dan obyek-obyeknya. Ketiga, sistem
memiliki hubungan-hubungan internal antara obyek-obyeknya. Keempat, sistem
ada dalam lingkungan.
Dengan demikian, sistem merupakan seperangkat hal/ benda yang saling
mempengaruhi satu sama lain dalam suatu lingkungan dan membentuk pola lebih
besar yang berbeda dari setiap bagian-bagiannya.8
Plato membuka pemahaman seni dalam ranah kajian sistematik yang
kemudian dikenal sebagai dialektika.9 Karya perlu didekati dan dipahami secara
metodis melalui dialektika.
Produksi karya seni pertunjukan teater berikut elemen pendukungnya
merupakan satu sistematika yang utuh dan menyatu. Jika mengikuti konsep
sistematika Plato bahwa segala sesuatu dapat dilihat hakikat, derajat, dan
katagorinya maka sistematika yang dimaksud Plato tersebut akan mampu
memaparkan, membedakan dan memilah-milah karya seni pertunjukan teater
dalam kaitannya dengan produksi karya.
7 A. D. Hall dan R. E. Fagen, Definition of a System, dalam Modern Systems Research for the
Behavioral Scientist, ed. W. Buckley (Chicago: Aldine, 1968) dalam Littlejohn, Stephen W. Teori
Komunikasi Manusia (terjemahan)
8 Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia terjemahan dari Theory of Human
Communication. Pasca Sajana UM Malang
9 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan.
Jakarta. Gramedia 2001
10 Rapoport, Foreword ; Hall and Fagen, Definition. dalam Littlejohn, Stephen W. Teori
Komunikasi Manusia (terjemahan)
10
17 Weaver 1949 dalam Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi, Suatu Ppengantar. Jakarta.
Indeks. Gramedia. 2005
18 George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934)
dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan)
19 Susane Langer dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan)
11
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana seorang actor memberi muatan
makna dialog agar dapat menumbuhkan pengertian bagi lawan bicara maupun
penonton sebagai penerima pesan. Ketepatan actor memberi muatan pada kalimatkalimat yang didialogkannya akan menciptakan komunikasi yang sempurna.
Contoh:
.
: Kenapa?
: Kamu lupa, gaji diperusahaan kita rata-rata setengah kali
lebih besar dibanding dengan perusahaan-perusahaan
lain?
Jumena
: Orang-orang disini rupa-rupanya hanya terdiri dari usus
dan kantong sperma saja. Sehingga tidak bisa berfikir,
sengaja saya beri mereka gaji lebih besar dengan harapan
mereka punya kebiasaan menabung sendiri. Tapi apa yang
terjadi justru makin lapar dan lagi dengan sistem upah
semacam itu saya kira bisa sedikit menyederhanakan
administrasi kita.
Juki
: Saya cuma mengajukan jalan tengah. Saya hanya kuatir
lama-lama perusahaan akan ambruk .
Jumena
: Lebih dulu mereka yang ambruk. Saya masih cukup
punya
uang simpanan sampai usia saya berlipat dua.
Waktu itu tiba-tiba semua lampu padam
Edan
: (Senang sekali) Kiamat.. ternyata kiamat lebih cepat
daripada perkiraan ahli meteorologi. Saya datang Tuan,
hallo, sahabatku (eksit)
Jumena
: (teriak-teriak, histeris) Lampu! Lampu!
Saya tidak mau kecurian
Lampu!
Muncul perempuan tua membawa lillin, segera Jumena mendekatinya
P Tua
: Lampu seluruh kota mati Gan
Jumena
: Kurang terang! Buka dan nyalakan semua petromak!
.
Jika dibaca dari kutipan dialog naskah Sumur Tanpa Dasar di atas perlu
Juki
Jumena
dipahami jika seorang actor akan memerankan tokoh Jumena maka harus
memahami bahwa Jumena merasa kuatir keadaan hartanya serta keadaan lain yang
tidak mendukungnya. Muatan emosi dan konsep tentang kekuatiran dan rasa
percaya diri harus dikuasai dahulu oleh actor. Hal ini dimaksudkan agar actor tepat
dalam menyampaikan pesan tentang kekuatiran dan rasa tidak percaya dan dapat
dipahami oleh penonton.
12
Techne
Salah satu konsep Plato tentang seni adalah: Techne. Techne terbatas pada
pengertian ketrampilan pengrajin yang membuat peralatan dan hiasan. Techne
adalah sistem pengetahuan dan ketrampilan manusia yang membawa segala
sesuatu dari gelap menjadi terang.20
Techne berarti teknik yang terukur dimana transformasi prinsip-prinsip
bilangan (numerik) dan perbandingan perbandingan terukur menjadi penting.
Techne dalam kaitannya dengan produk dan benda oleh Plato dikatakan sebagai
kuantitas yang terukur sehingga terjadi proporsi dan komposisi yang tepat, tidak
kurang, tidak lebih. Techne sebagi produk karya tangan manusia senantiasa
teramati sebagi wujud yang kualitasnya terukur oleh pengamatan.
Dialog-dialog yang diucapkan actor atau pemain harus selaras dengan
penggambaran lakuan di atas panggung. Ketepatan penyampaian pesan tentang
kehidupan akan berpengaruh terhadap kebermaknaan proses pertunjukan. Techne
yang diungkap Plato menjadi tidak tepat jika tetap dipahami terbatas pada
ketrampilan pengarajin yang membuat peralatan dan perhiasan.
Actor tidak sekedar trampil berdialog sesuai naskah namun actor perlu
memahami benar apa-apa yang ingin disampaikan oleh pengarang yang sarat
dengan pesan kehidupan.
Perlu dilakukan proses analisis dialog oleh actor utamanya sebelum
pemanggungan di mulai agar memperoleh gambaran yang nyata tentang apa yang
sebenarnya difokuskan dalam dialog tersebut.
Analisis dialog dapat dilakukan secara sederhana dalam bentuk yang mirip
dengan memenggal-menggal kalimat menjadi bagian-bagian yang sesuai dengan
maksud yang ingin disampaikan. Tekanan pada beberapa bagian kalimat perlu juga
diberikan agar lebih mengekspresikan muatan emosinya.21
Jika actor tidak mampu menerjemahkan dialog-dialog dan memperkuatnya
dengan lakuan-lakuan di atas panggung maka yang terjadi adalah kesalahpahaman
20 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan.
Jakarta. Gramedia 2001
21 Maryaeni Teori Drama Departeman Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang 1992
13
atau tidak munculnya keselarasan dan harmoni antar actor sebagai pembawa pesan
dengan penonton.
14
Kreatifitas
Plato melihat karya seni dalam dua arah yaitu kreatif dan akuisitif. Kreatif
adalah kondisi mental yang memungkinkan terjadinya proses produksi sesuatu
yang sebelumnya tak pernah ada. Sesuatu yang baru bukan hanya bentuknya saja
tetapi juga gagasan-gagasannya. Kreatif bukan berarti dipaksakan demi alasan
perdagangan, peningkatan jumlah, dan kapasitas atau dorongan hasrat manusia
yang cenderung menguasai kendali. Kreatif terdorong oleh kesempurnaan
mendengar dan membaca sehingga memperoleh pengetahuan sejati (eidos) tentang
sesuatu..
Imitasi yang tidak sejati biasanya tercampur aduk dan hidup bersam opini,
penilaian, dan penampilan yang mengulang yang pernah ada tanpa ada pemahaman
baru dari yang dilihat. Dorongan akuisitif dari berkarya umumnya menghasilkan
imitasi yang sumbernya bukan keilahian tetapi keakuan manusia yang diwakili
oleh keinginan dalam menguasai dan mengendalikan dunia.
Menurut Plato Karya seni tidak bisa dinilai atau dihargai jika bukan oleh
mereka yang tahu sesuatunya sehingga kebenaranlah yang terlihat. Orang yang
bisa melihat karya seni akan tahu mana yang mimesis sejati dari kebenaran atau
tiruan yang lahir dari hasrat dan keinginan manusia belaka. Orang yang bisa
melihat karya seni yang indah mengerti proses produksi dari karya. Hanya dengan
15
Penutup
Dari abad ke abad pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimesis
telah dioper oleh berbagai teori estetika (filsafat mengenai keindahan), entah
menurut bentuk yang asli, entah dalam bentuk yang sedikit diubah. Pada zaman
Renaissance kita berjumpa dengan suatu tafsiran mengenai konsep mimesis ala
Plato yang telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinus, seorang filsuf Yunani yang
hidup pada abad ke-3 M. Teori ini menafsirkan seni tidak sebagai suatu
pencerminan tentang kenyataan indrawi, melainkan sebagai suatu pencerminan
langsungmengenai ide-ide. Pandangan ini kemudian melahirkan pendapat, bahwa
susunan kata dalam sebuah karya sastra tidak menjiplak begitu saja secara dangkal
kenyataan indrawi, melainkan mencerminkan suatu kenyataan hakiki yang lebih
luhur. Lewat pencerminan kita dapat menyentuh sebuah dimensi lain yang lebih
mendalam. Pendapat ini dijabarkan secara tematik dalam motif cermin. Cermin
membuka kesempatan untuk memasuki sebuah dunia lain.
Konsep mimesis ala Aristoteles sering ditafsirkan secara sempit.
Menampilkan yang universal dalam perbuatan manusia lalu ditafsirkan seolah-olah
seorang pengarang menciptakan tipe-tipe sosial yang khas bagi suatu tempat atau
kurun waktu tetentu.
Semenjak zaman romantik teori mimemis yang klasik digeserkan. Aliran
Romantik memperhatikan yang aneh-aneh, yang tidak riil, yang tidak masuk akal.
Apakah dalam sebuah karya seni kenyataan indrawi ditampilkan sehingga kita
dapat mengenalnya kembali, tidak diutamakan lagi. Tekanan yang diberikan
kepada struktur sebuah karya sastra dapat dilacak kembali pada Aristoteles. Sambil
membahas drama Yunani, pujangga itu mengatakaban, bahwa plot atau alur drama
bukan suatu urutan peristiwa belaka yang tak ada hubungan yang satu dengan yang
lain, melainkan merupakan sebuah kesatuan organik; justru karena kebertautannya,
darma itu memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia.
16
DAFTAR BACAAN
17