Anda di halaman 1dari 3

Suwarni dan Suwarno

Monolog Whani Darmawan

SESEORANG PEREMPUAN, BERNAMA SUWARNI. KULITNYA HITAM LEGAM,


NYARIS YANG TERLIHAT. DALAM KEGELAPAN ORANG TAK AKAN MENYANGKA
KALAU IA ADA JIKA TAK MENGERJAPKAN MATA ATAU MEMPERLIHATKAN
GIGINYA.

Saya Suwarni, isteri dari Suwarno. Dulu. sekarang kami telah bercerai. Kenapa kami
bercerai? Mungkin karena saya Suwarni dan dia Suwarno. (JEDA. MEMANDANG
PENONTON DAN SEOLAH INGIN MENGKLARIFIKASI TERTENTU. SEOLAH IA INGIN
MENGATAKAN ‘apakah kamu mengerti?’ DAN IA MELANJUTKAN KALIMATNYA
DENGAN KIKUK)...............mm...... Maksud sayaa...............karena dia.....Suwarno .....dan
saya.........oh, bukan. (JEDA, MENUNDUK SEPERTI PUTUS ASA KECIL) Mm, baiklah.
Bukankah setiap orang memang berbeda, bukan? Maaf, saya ingin mengatakan – semacam –
yang begini ; seseorang tidak bisa karena ia tidak bisa. Tidak ada hubungannya dengan
salah dan benar atau baik dan buruk. Ia tidak bisa menjadi isteri saya karena ia memang
tidak bisa. Sudah itu. Habis perkara. (JEDA) Oh, salahkah saya? Ada yang salah dalam
pernyataan saya?

Memang kan, setiap orang ditakdirkan berbeda. Maksud saya, kita satu sama lain beda.
Sama-sama manusia tapi beda. Kan? Ah, ini gila. Kenapa saya terus menerus mengatakan
beda tapi sama, sama tapi beda. Kenapa saya takut mengatakan ‘bahwa ini memang hal
yang berbeda.’ Dan setiap orang memang berbeda. Habis perkara! (JEDA) kenapa saya jadi
paranoid!

Awalnya, sebagai pasangan pengantin baru kebanyakan, kami memang kompak. Kami
sama-sama berjualan perabotan dapur, barang pecah belah. Kemudian timbul masalah
ketika kami punya pandangan yang berbeda soal cara-cara penjualan. Saya ingin menjual
barang pecah belah secara berpasangan, karena itu akan lebih menguntungkan. Tetapi ia
ingin menjual barang dagangan itu secara eceran. Menurut dia ini lebih menguntungkan.
Ahh, baiklah. Kami berdebat panjang soal itu. Mulai dari ekonomi mikro sampai ekonomi
makro --- aah istilah apa pula itu. Kami ini cuma pedagang kecil, dengan toko kecil. Bukan
pengamat ekonomi, apa gunanya sih istilah-istilah itu dalam kehidupan kecil kami? Tapi dia
sangat ngotot. (JEDA) saya curiga, pangkal masalah sebenarnya bukan itu. Tapi ..........ah
mungkin saya salah. Saya tidak boleh berpikir seperti itu. Saya musti jernih. (JEDA.
IRAMANYA LAIN, SEOLAH IA INGIN MENGALIHKAN MASALAH) yaaaaa....soal cara
menjual itulah pangkal masalahnya. Coba bayangkan, bagaimana sebuah gelas berjodoh
dengan tutup cangkir? Bagaimanapun itu dua hal yang berbeda. Sama tapi berbeda! Ya,
kan? Ah, itu lagi! kok jadi seperti main tebak gambar! Masalahnya, dia melayani penjualan
eceran. Ada orang beli tutup cangkir ia layani, gelas saja satu buah ia layani, sendok teh satu
sendok makan satu ia layani. Sementara saya ingin menjualnya per paket. Sendok makan
dan garpunya. Cangkir teh dengan tatakan dan tutupnya. Meskipun tidak perlu pembelian
selusin, tetapi satu paket. Bukankah satu paket itu sesuatu yang indah. Bagaimana mungkin
dijual eceran? Bukankah itu akan mengurangi perjodohan gelas dan tutupnya, atau apapun
tentang perabotan itu? Jadinya, ketika orang ingin membeli paketan kami kehabisan stock.
Dan akhirnya tidak laku. Tapi suami saya, Suwarno, selalu membantah. Bahkan dengan
keras bahwa kita tetap beruntung karena penjualan itu. (JEDA) Yang terpikirkan dalam
kepala saya kemudian adalah bukan soal – sekali lagi – soal cara penjualan ini, tetapi,
mengapa isteri saya begitu keras kepala! Bahkan hanya untuk sebuah tutup gelas saja
seolah-olah ia rela mati! Saya pusing memikirkan sifat suami saya itu. Dan ketika sifatnya
yang penyerang itu mulai mengganggu bawah sadar saya, terbawa dalam mimpi, igauan,
bahkan kewaspadaan yang berlebih dalam hati saya, saya merasa perkawinan ini tidak
sehat! Dan ketika segala sesuatunya menyebabkan salah tingkah, mulailah perkawinan itu
menjadi benang kusut.

LELAH. TERDUDUK. MERENUNG

Bukan itu. Sungguh. Bukan soal itu. Bukan soal gelas dan tutupnya yang serasi, tak juga
soal.........................................aaah, (RAGU) atau memang soal itu?

GELISAH. MONDAR-MANDIR. MENARIK NAPAS PANJANG.

Baiklah. Mungkin saya harus membahasnya. Bukankah ini sudah lewat dan – sudah bagus
semua ini menjadi persahabatan. (GALAU) ah, saya tak percaya ini, tetapi memang terjadi.
Setiap kali ia marah ujungnya ia selalu meneriaki saya sebagai Warni Gosong. Dia selalu
mengata-ngatai saya dengan kata-kata yang menyakitkan sampai pada yang hak. Mana
yang mengatakan saya anak hasil hubungan gelap, anak gondoruwo, anak pedagang arang,
afrika tersesat, papua kw, turunan monyet, atau apapunlah yang membuat saya tersengat.
Bukankah itu sudah keluar dari perkara yang sesungguhnya? Bagaimana mungkin saya
tidak tersengat! Tetapi sebagai isteri yang mencita-citakan keharmonisan rumah tangga,
menyatukan perbedaan, mereka buka lagi dua melainkan satu, yang sudah dipersatukan
Allah tak dapat dipisahkan oleh manusia, oooo....rupanya itu memang omong kosong! Tak
ada persatuan! Tak ada persatuan harga matiiii! Dua orang tetaplah dua! Tak ada dua, tiga,
empat, lima, sepuluh bahkan seratus bisa menjadi satu! Seratus tetaplah seratus! Ideologi
apa itu!

JEDA. MENGATUR NAPASNYA.

Saya sudah mencoba mengalah, dengan alasan bawa persatuan itu penting! Tetapi kalapnya
bahkan tak bisa dikendalikan! Bahkan ia yang menantang untuk pertama kali
“Ceraaaiiiiiii!!” oh, Gustialaaaah....bukan ini yang saya inginkan. Berulangkali saya katakan
padanya, meskipun kamu dilahirkan dengan kulit bule, albino, kamu tak perlu minder.
Kamu tetap lelakiku! Kamu tetap kepala rumah tangga, nahkoda, iman buatku! Kamu
pemimpin, sayangku! Aku mencintaimu bukan karena warna kulitmu! Demi Tuhan!
Sebaliknya, malah ia menantang, “Jangan merendahkan aku sebagai lelaki, ya, meskipun
kulitku albino, londo lokal, genjik anak babi, kebo buleeeeee! Kamu mau apa!!?? Kecewa ya,
menyesal ya?? Kamu menyesal ya, hai Warni Gosong anak gondoruwoooo!!!!”

Oh, jadi ini soal apa sebenarnya? Soal suami isteri, gelas dengan tutup cangkir atau bahkan
tutup panci? Warna kulit? Atau apa? Saya sungguh mencintainya, meskipun kami
dilahirkan berbeda. Warni Gosong dengan kulit legamnya, Warno dengan kulit putih
albinonya. Kami jelas berbeda, memang. Tapi demi Tuhan bukan itu! Perangainya! Dan
ketika hubungan menjadi rusuh, kami bahkan tak mengenal lagi apa yang disebut
kebenaran. Atau mungkin itu tak penting lagi ketika tumpukan jerami dalam diri kami
sudah menyala. Perkawinan Suwarni dan Suwarno, ternyata hanya sampai di sini. Warna
warni ternyata tak seindah kekayaannya.

TERTUNDUK LESU. LAMPU PADAM

Omahkebon, Kamis, 4 Agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai