Jurnal Vol 2 No 2 Des 2010 PDF
Jurnal Vol 2 No 2 Des 2010 PDF
2, Desember 2010
ISSN Cetak
: 2087-9423
ISSN Electronik: 2085-6695
JURNAL
ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN TROPIS
Diterbitkan Oleh:
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
KATA SAMBUTAN
Saya sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) sangat senang
dan bangga atas terbitnya Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Volume 2
Nomor 2 Desember 2010 ini yang merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis yang sudah terbit semenjak Juni 2009.
Dengan
terlaksananya kerjasama antara ISOI dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor maka Jurnal ITKT
dapat diterbitkan dan menjadi jurnal cetak sekaligus jurnal elektronik serta diharapkan
menjadi jurnal andalan ISOI.
Seperti disepakati bersama, Jurnal ITKT akan terbit dua kali dalam setahun yaitu pada
bulan Juni dan Desember setiap tahun. Dengan manajemen yang baik, diharapkan
Jurnal ITKT ini dapat terbit tepat waktu. Melalui mitra bebestari yang professional dan
ahli dalam bidangnya diharapkan mutu artikel (paper) yang terbit dalam Jurnal ITKT ini
memiliki mutu ilmiah yang tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan.
Semoga dalam waktu dekat, Jurnal ITKT ini dapat memperoleh akreditasi dari
Kementerian Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
untuk menjaga dan meningkatkan mutu ilmiah dari jurnal ini.
Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Kementerian Pendidikan
Nasional yang telah bersedia menyediakan dana untuk penerbitan Jurnal ini.
Penghargaan sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Pemimpin Redaksi, Mitra
Bebestari, dan Penyunting Pelaksana yang telah bekerja keras untuk dapat
menyelesaikan proses penerbitan Jurnal ini. Akhir kata, saya sebagai Ketua Umum ISOI
mengucapkan selamat atas terbitnya Jurnal ITKT Volume 2 Nomor 2 Desember 2010
ini. Semoga Jurnal ITKT ini dapat menjadi rujukan utama dalam bidang ilmu dan
teknologi kelautan serta bidang perikanan tropis di Indonesia maupun di dunia.
KATA SAMBUTAN
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas bimbingan-Nya sehingga Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Volume 2 Nomor 2 Desember 2010 dapat
terbit. Jurnal ini merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis yang sudah terbit semenjak Juni 2009 melalui kerjasama antara Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia (ISOI) dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Seperti E-Jurnal ITKT, Jurnal ITKT akan terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan
Juni dan Desember setiap tahun dan diharapkan dapat terbit tepat waktu. Dengan mitra
bebestari yang professional dan ahli dalam bidangnya, diharapkan mutu paper dalam
Jurnal ITKT ini dapat ditingkatkan dan diharapkan dapat memperoleh akreditasi dari
Kementerian Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang
telah bersedia menyediakan dana untuk penerbitan Jurnal ini. Begitu juga kepada
Pemimpin Redaksi, Mitra Bebestari, dan Penyunting Pelaksana yang telah bekerja keras
untuk dapat menyelesaikan proses penerbitan Jurnal ini. Akhir kata, saya mengucapkan
selamat atas terbitnya Jurnal ITKT ini dan semoga Jurnal ini dapat digunakan sebagai
media diseminasi hasil-hasil penelitian dalam bidang ilmu dan teknologi kelautan serta
bidang perikanan tropis di Indonesia maupun di dunia.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Volume 2 Nomor 2 ini dapat terbit.
Melalui seleksi dan review oleh tim reviewer (mitra bebestari), dari sejumlah
paper yang masuk sebanyak 11 (sebelas) paper dapat diterima dengan perbaikan untuk
diterbitkan pada edisi ini dengan judul sebagai berikut: (1) Pengaruh calsium dan fosfor
terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, kandungan mineral dan komposisi tubuh juvenil
ikan kerapu macan (epinephelus fuscoguttatus); (2) Identifikasi jenis ikan anemon
(amphiprioninae) dan anemon simbionnya di kepulauan spermonde, sulawesi selatan;
(3) Keragaan reproduksi ikan kerapu bebek (cromileptes altivelis) dari alam (f-0), induk
generasi pertama (f-1), dan induk generasi ke dua (f-2); (4) Pemeliharaan gelondongan
kerapu sunu (plectropomus leopardus) dengan persentase pergantian air yang berbeda;
(5) Karakteristik senyawa bioaktif bakteri simbion moluska dengan gc-ms; (6)
Akumulasi logam berat pb, cu, dan zn di hutan mangrove muara angke, jakarta utara;
(7) Kajian stabilitas empat tipe kasko kapal pole and line; (8) Struktur komunitas ikan
pada padang lamun yang berbeda di pulau barrang lompo; (9) Distribusi foraminifera
bentik resen di laut Arafura; (10) Perencanaan waktu tetas telur ikan kerapu dengan
penggunaan suhu inkubasi yang berbeda; dan (11) Massa air subtropical di perairan
hamahera.
Semoga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis ini dapat meningkatkan
diseminasi dan ketersediaan informasi akan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan
teknologi kelautan serta perikanan tropis.
Pemimpin Redaksi
ISSN Cetak
: 2087-9423
ISSN Elektronik : 2085-6695
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Vol. 2, No. 2, Desember 2010
DAFTAR ISI
PENGARUH CALSIUM DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN, EFISIENSI PAKAN, KANDUNGAN
MINERAL DAN KOMPOSISI TUBUH JUVENIL IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
(THE EFFECT OF CALCIUM AND PHOSPHOROUS ON GROWTH, FEED EFFICIENCY, MINERAL CONTENT AND
BODY COMPOSITION OF BROWN MARBLED GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus) JUVENILE)
Zainuddin ............................................................................................................................................................................... 1
IDENTIFIKASI JENIS IKAN ANEMON (Amphiprioninae) DAN ANEMON SIMBIONNYA DI KEPULAUAN
SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
(IDENTIFICATION OF ANEMONEFISHES (Amphiprioninae) AND THEIR SIMBIONT IN
SPERMONDE
ARCHIPELAGO, SOUTH SULAWESI)
Inayah Yasir, Syafiuddin, dan Sumarjito ............................................................................................................................ 10
KERAGAAN REPRODUKSI IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) DARI ALAM (F-0), INDUK
GENERASI PERTAMA (F-1), DAN INDUK GENERASI KE DUA (F-2)
(REPRODUCTION PERFORMANCE OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes altivelis)
FROM WILD
BROODSTOCK (F-0), FIRST GENERATION BROODSTOCK (F-1), AND SECOND GENERATION BROODSTOCK (F2))
Tridjoko .................................................................................................................................................................................. 17
PEMELIHARAAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN PERSENTASE
PERGANTIAN AIR YANG BERBEDA
(DIFFERENT PERCENTAGE OF WATER EXCHANGE ON GROWTH OF CORAL TROUT GROUPER FINGERLING
(Plectropomus leopardus))
Titiek Aslianti ......................................................................................................................................................................... 26
KARAKTERISTIK SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI SIMBION MOLUSKA DENGAN GC-MS
(CHARACTERISTIC BIOACTIVE COMPOUND OF THE MOLLUSC SYMBIOTIC BACTERIA BY USING GC-MC)
Delianis Pringgenies ............................................................................................................................................................... 34
AKUMULASI LOGAM BERAT PB, CU, DAN ZN DI HUTAN MANGROVE MUARA ANGKE, JAKARTA
UTARA
(ACCUMULATION OF HEAVY METALS PB, CU, AND ZN IN THE MANGROVE FOREST OF MUARA ANGKE,
NORTH JAKARTA)
Faisal Hamzah dan Agus Setiawan ....................................................................................................................................... 41
KAJIAN STABILITAS EMPAT TIPE KASKO KAPAL POLE AND LINE
(STABILITY ANALYSIS OF FOUR TYPES OF POLE AND LINER)
St. Aisyah Farhum ................................................................................................................................................................. 53
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN PADA PADANG LAMUN YANG BERBEDA DI PULAU BARRANG LOMPO
(FISH COMMUNITY STRUCTURE IN DIFFERENT SEAGRASS BEDS OF BARRANG LOMPO ISLAND)
Rohani Ambo Rappe .............................................................................................................................................................. 62
DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA
(THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA)
Suhartati M. Natsir dan Rubiman ........................................................................................................................................ 74
PERENCANAAN WAKTU TETAS TELUR IKAN KERAPU DENGAN PENGGUNAAN SUHU INKUBASI
YANG BERBEDA
(PLANNING ON HATCHING TIME OF GROUPER EGGS THROUGH DIFFERENT INCUBATION TEMPERATURES)
Regina Melianawati, Philip Teguh Imanto, dan Made Suastika ..................................................................................... 83
MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HALMAHERA
(SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS)
Hadikusumah ......................................................................................................................................................................... 92
Pedoman Penulisan Naskah Artikel ..................................................................................................................................... 109
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 1-9, Desember 2010
ABSTRACT
The objectives of this study were to know concentration of calcium (Ca) and posphorus
(P) in feed for growth, feed efficiency, proximate composition of the body and mineral
content of brown marbled grouper juvenile. The study was conducted in the Center for
Brackiswater Aquaculture Development, Takalar with randomized completed design 6 x
3 with the treatment of Ca and P supplement in feed i.e., (A) the supplement of 0 g/kg
Ca and 0 g/kg P, (B) the supplement of 6 g/kg Ca and 0 g/kg P, (C) the supplement of 0
g/kg Ca and 6 g/kg P, (D) the supplement of 6 g/kg Ca and 6 g/kg P, (E) the supplement
of 12 g/kg Ca and 6 g/kg P, and (F) the supplement of 18 g/kg Ca and 6 g/kg P. The
result showed that P supplement with doses of 6 g/kg and Ca of 0 g/kg in feed are
significantly affects on relative growth, feed efficiency, proximate composition and
mineral content of brown marbled grouper juvenile.
Keywords: growth, feed efficiency, proximate composition, brown marbled grouper
juvenile
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi calcium (Ca) dan fosfor (P)
dalam pakan terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi proksimat dan
kandungan mineral tubuh juvenil ikan kerapu macan. Penelitian dilakukan di Balai
Budidaya Air Payau Takalar. Penelitian dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap 6
x 3 dengan perlakuan penambahan Ca dan P dalam pakan. Perlakuan A : penambahan
Ca 0 g/kg pakan dan P 0 g/kg pakan, perlakuan B : penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P
0 g/kg pakan, perlakuan C : penambahan Ca 0 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan,
perlakuan D : penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, perlakuan E :
penambahan Ca 12 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan dan perlakuan F : penambahan Ca 18
g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan P
sebesar 6 g/kg dan 0 g/kg ke dalam pakan secara nyata berpengaruh terhadap
pertumbuhan relatif, efisiensi pakan, kompisisi prosimat dan kandungan mineral tubuh
juvenil ikan kerapu macan.
Kata Kunci: pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi proksimat, juvenile ikan kerapu
macan
I. PENDAHULUAN
Calcium(Ca) dan phosphor (P)
merupakan makro mineral yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan pemeliharaan sistem skeleton
serta berpartisipasi dalam berbagai proses
fisiologis tubuh organisme. Kebutuhan
Ca pada ikan dipengaruhi oleh kimia air,
level P dalam pakan dan spesies (Lall,
2002). Hossain dan Furuichi (2000a, b,
c) melaporkan bahwa penambahan Ca
dalam pakan sangat diperlukan untuk
pertumbuhan ikan belanak merah,
Japanese flounder dan ikan scorpion.
Pada kebanyakan spesies ikan, defisiensi
P berakibat pada pertumbuhan yang
lambat, efisiensi pakan yang jelek,
mineralisasi
tulang
yang
buruk,
kandungan lipid tubuh yang tinggi serta
kadar abu yang rendah (Tacon, 1992;
Zainuddin et al., 2000; dan Lall, 2002).
Ca dan P merupakan mineral yang saling
sinergis (Zainuddin, 2001, 2004a) dan
dalam bentuk hydroxyapatite dalam
membentuk kristal-kristal tulang (Ye et
al., 2006).
Beberapa spesies ikan kerapu
sangat potensial dibudidayakan karena
pertumbuhannya cepat, konversi pakan
yang efisien dan nilai jualnya yang tinggi
(Millamena, 2002; Zainuddin et al.,
2004b). Sebagai contoh kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) merupakan
salah satu jenis yang umum dibudidayakan di Indonesia (Zainuddin et al.,
2008). Penelitian tentang aspek nutrisi
ikan kerapu yang dilaporkan umumnya
pada komponen utama pakan diantaranya
kebutuhan protein (Shiau dan Lan, 1996),
karbohidrat (Shiau dan Lin, 2001) dan
kebutuhan lipid (Lin dan Shiau, 2003).
Informasi tentang kebutuhan mineral
bagi ikan kerapu sangat terbatas.
Penelitian Zhou et al. (2004) melaporkan kebutuhan P dalam pakan kerapu E.
coioides sebesar 0,86% dari total pakan,
serta Ye et al. (2006) melaporkan
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
A
400
150
100
65
70
20
20
0
0
175
B
400
150
100
65
70
20
20
6
0
169
Semua bahan kering yang digunakan ditimbang dan dicampur dalam mixer
selama 15 menit, minyak ikan dan
minyak jagung ditambahkan ke dalam
mixer lalu diaduk selama 15 menit.
Selanjutnya ditambahkan air sebanyak
250 mL/kg pakan kering dan diaduk
selama 15 menit. Selanjutnya dibuat
pakan dalam bentuk semimoist. Pakan ini
disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 20oC sebelum digunakan.
Setelah analisis proksimat diperoleh komposisi nutrisi pakan uji seperti
yang disajikan pada Tabel 3.
2.3. Prosedur penelitian
Juvenil kerapu macan E. fuscoguttatus diperoleh dari pendederan Balai
Budidaya Air Payau Takalar. Jumlah
juvenil yang disiapkan sebanyak 300
ekor dengan panjang rata-rata 12 cm dan
F
400
150
100
65
70
20
20
18
6
151
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
1. Pertumbuhan bobot, WG =
100x
2. Efisiensi pakan, FE =
100%
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Tabel 4. Pertumbuhan bobot relatif dan efisiensi pakanjuvenil kerapu macan pada
semua perlakuan
Perlakuan Penambahan
Rerata Pertumbuhan
Efisiensi Pakan
Ca dan P dalam pakan
bobot relatif
(%)
(g/kg pakan)
(%)
A (0 Ca, 0 P)
42,255,303a
7.701,041a
b
B (6 Ca, 0 P)
65,004,419
11.300,352bc
C (0 Ca, 6 P)
66,251,767bc
12.300,288b
a
D (6 Ca, 6 P)
44,750,353
7.880,354a
E (12 Ca, 6 P)
52,009,899acd
8.881,346ac
bd
F (18 Ca, 6 P)
65,259,545
10.611,823bc
Ket. Huruf superscript yang berbeda dibelakang angka pada kolom yang sama
menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Tabel 5 Komposisi tubuh dan morfometri juvenil kerapu macan yang diberi pakan
dengan kandungan Ca dan P yang berbeda
Komposisi
(%)
Tubuh
Protein
Lemak
Sera kasar
BETN
Kadar Abu
Morfometri
CF (g/cm3)
VSI
Awal
76.02
8.04
5.51
1.98
8.45
79.75
7.44
1.95
2.16
8.71
79.27
6.65
1.27
2.60
10.21
78.21
6.90
2.75
2.69
9.46
78.06
6.56
2.30
2.88
10.21
79.63
6.42
1.79
2.22
9.95
77.73
6.42
3.32
3.32
10.06
2,30
3.18
2.34
4.09
2.29
3.21
2.27
4.23
2.55
4.22
2,42
3.93
2,57
4.65
Ket. Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05); CF = faktor kondisi; VSI = indeks
somatic organ dalam; BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Tabel 6. Kadar abu dan kandungan mineral pada tulang juvenil kerapu macan pada
semua perlakuan
Perlakuan Penambahan Ca dan P dalam pakan (g/kg pakan)
Konsentrasi
Awal
(%)
A
B
C
D
E
F
a
b
b
b
b
Kadar Abu 31.18 26.44
32.94
31.50
31.11
32.27
31.55b
a
b
b
b
b
Ca
10.39 8.96
10.96
10.92
10.67
11.17
11.04b
P
5.02
5.10a
6.44b
6.16b
6.23b
6.57b
6.43b
Ket. Huruf superscript yang berbeda dibelakang angka pada baris yang sama
menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
bahwa P sangat dibutuhkan dalam proses
mineralisasi tulang, karena 80 90%
tulang tersusun oleh P, selain Ca dan Mg.
Hasil yang sama pada penelitian Roy
dan Lall (2003) yang melaporkan
penggunaan pakan tanpa penambahan P
menyebabkan kadar abu, Ca dan P secara
nyata lebih rendah pada tulang dan
operculum ikan haddock.
Penambahan Ca dalam pakan
berpengaruh signifikan terhadap kadar
abu, Ca dan P tulang pada dua level P
yang berbeda.
Ketika pakan tidak
ditambahkan dengan P, penambahan Ca
pada pakan basal memberikan pengaruh
yang sama terhadap kadar abu, Ca dan P
tulang. Hal ini menunjukkan bahwa jika
P tidak tersedia maka penambahan Ca
juga tidak akan mampu memperbaiki
proses mineralisasi tulang atau deposit
Ca dan P. Ca dan P merupakan mineral
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 10-16, Desember 2010
ABSTRACT
The study was conducted in June 2009 around the waters of Samalona, Barranglompo,
Koedingareng Keke, Badi, Langkai and Kapoposang islands, representing four zones of
Spermonde Archipelago of South Sulawesi. Seven species of anemonefish from two
genera were found living symbiotically with 7 species of sea anemones. Those fishes
were Amphiprion clarkii, A. melanopus, A. ocellaris, A. sandaracinos, A. perideraion,
A. polymnus and Premnas biaculeatus. Three of these fishes were simbiotically found
with one species of anemone (specific symbiont), and one species of fish was
symbiotically found with five species of anemones.
Keywords: Amphiprioninae, Spermonde Archipelago, anemone symbiont
ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 di perairan pulau Samalona, P.
Barranglompo, P. Koedingareng Keke, P. Badi, P. Langkai dan P. Kapoposang yang
mewakili empat zona perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Pada penelitian
ini ditemukan 7 jenis ikan giru yang berasal dari 2 genera dan hidup bersimbiosis
dengan 7 jenis anemon laut. Ketujuh jenis ikan giru tersebut adalah Amphiprion clarkii,
A. melanopus, A. ocellaris, A. sandaracinos, A. perideraion, A. polymnus dan Premnas
biaculeatus. Tiga diantara ikan giru ini ditemukan bersimbiosis hanya dengan 1 jenis
anemon saja (simbion spesifik), sedangkan 1 jenis lainnya ditemukan bersimbiosis
dengan 5 jenis anemon.
Kata Kunci: Amphiprioninae, Kepulauan Spermode, anemon
I. PENDAHULUAN
Ikan merupakan organisme yang
jumlah biomassanya terbesar dan juga
organisme besar yang mencolok yang
dapat ditemui di ekosistem terumbu
karang. Banyaknya celah dan lubang
yang terdapat di daerah terumbu karang
memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan
invertebrata yang berada disekitarnya
(Nybakken dan Bertness, 2004). Lebih
dari 4000 species ikan (atau sekitar 18%
10
Yasir et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
11
12
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Yasir et al.
Pulau
Samalona
Kodingareng Keke
dan Barrang
Lompo
Pulau Badi
Kapoposang &
Langkai
Jenis Amphiprioninae
Amphiprion clarkii
Amphiprion melanopus
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Amphiprion sandaracinos
Premnas biaculeatus
Amphiprion clarkii
Amphiprion melanopus
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Amphiprion sandaracinos
Premnas biaculeatus
Amphiprion clarkii
Amphiprion melanopus
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Amphiprion sandaracinos
Premnas biaculeatus
Amphiprion clarkii
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Premnas biaculeatus
Kedalaman (m)
1-10
1-10
1- 10
1- 10
16
1- 2
1- 10
1- 19
6
1- 13
1- 12
23
2
1- 15
1-19
4-6
4- 11
1- 15
9
3- 9
2- 12
3-11
5 -15
4-29
4-14
5-11
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
13
14
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Yasir et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
15
16
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 17-25, Desember 2010
ABSTRACT
Grouper seeding technology still relies on the broodstock from the ocean, eventhough, the
existence of the broodstock is rare and difficult to obtain. The broodstock takes a long time to
mature and spawn. Therefore, to anticipate the scarcity humpback grouper from wild, it is
important to produce broodfish from aquaculture. This study was aimed to know the
reproduction performance of humpback grouper wild broodstock F-0, first generation
broodstock (F-1) and second generation broodstock (F-2). The cultured of humback grouper
broodstock used three tanks 75 m3 in volume (tank I, II and tank III). Tank I: reared 35 fishes
broodstock F-0. Tank II and tank III for reared each 50 fishes F-1 and F-2 broodstock. Food
for broodstock from the wild (F-0) was given from fresh trash fish, squid, and added vitamin
mixture, vitamin C and vitamin E. Meanwhhile, food given to F-1 and F-2 broodstock was a
commercial dry pellet (PG 9-10) that contains following nutrients: protein content of 43%, min.
fat of 9%, ash content of 13%, fiber levels of 2%, and moisture content of 12%. Mixture of
vitamin C and E were also added. The results showed that the humpback grouper F-0, F-1 and
F-2 were cultured in 75 m3 concrete tank was successfully spawn with the fertilization rate of
87%, 78% and 45% respectively. This result proves that the broodstock from F-0 gaved the best
results.
Keywords:
ABSTRAK
Teknologi pembenihan ikan kerapu bebek masih mengandalkan induk dari laut. Padahal induk
dari laut sudah sulit didapatkan dan hanya ada di perairan tertentu saja. Disamping itu induk dari
laut diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa matang gonad hingga memijah. Oleh karena
itu untuk mengantisipasi kelangkaan induk ikan kerapu bebek hasil tangkapan dari laut perlu
diupayakan produksi induk ikan kerapu yang berasal dari budidaya/generasi pertama (F-1)
maupun induk generasi ke dua (F-2). Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaan reproduksi
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-2. Bak pemeliharaan induk ikan kerapu bebek
menggunakan 3 tangki volume 75 m3 (tangki I, II dan III). Untuk tangki I diisi 35 ekor induk
kerapu bebek F-0, sedangkan pada tangki II dan III diisi induk F-1 dan F-2 masing-masing 50
ekor. Pakan induk F-0 yaitu ikan rucah segar, cumi-cumi dan juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Sedangkan pakan untuk induk F-1 dan induk F-2 adalah pellet kering
komersial (PG 9-10) dengan kandungan nutrisi sebagai berikut: kadar protein min. 43%, kadar
lemak min 9%, kadar abu max. 13%, kadar serat max. 2% dan kadar air max. 12%, juga
ditambahkan vitamin mix, vitamin C dan vitamin E. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-2 yang dipelihara pada tangki volume 75 m3 secara
terkontrol sudah berhasil memijah dengan tingkat fertilisasi tertinggi 87%, 78% dan 45%. Hal
ini membuktikan bahwa induk F-0 memperlihatkan hasil yang terbaik.
Kata Kunci:
reproduksi, induk kerapu alam (F-0), induk generasi pertama (F-1), induk
generasi ke dua (F-2)
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
17
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
I. PENDAHULUAN
Dari beberapa jenis ikan kerapu,
ikan
kerapu bebek
(Cromileptes
altvelis) adalah satu diantara jenis ikan
keluarga Serranidae yang bernilai
ekonomis tinggi, karena banyak diminati
oleh konsumen baik sebagai ikan hias
maupun sebagai ikan konsumsi. Upaya
untuk membudidayakan melalui pembenihan telah dilakukan oleh Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
dan telah berhasil memproduksi benih
kerapu bebek dengan kelangsungan
hidup yang relatif tinggi (Tridjoko et al.,
1999; Sugama et al., 2001).
Salah satu faktor yang menjadi
kendala dalam usaha pembenihan ikan
kerapu khususnya ikan kerapu bebek
adalah ketersediaan induk. Selama ini
induk ikan kerapu yang dipijahkan
berasal dari alam yang biasa ditangkap
oleh para nelayan. Untuk memperoleh
induk ikan kerapu bebek ini relatif sulit,
karena hanya ada pada perairan-perairan
tertentu saja. Untuk menanggulangi
tantangan tersebut, maka sebagai
alternatif sudah saatnya dilakukan kajian
dan usaha-usaha untuk menyediakan
calon induk untuk dijadikan induk dari
hasil budidaya.
Dengan tersedianya induk hasil
budidaya ini diharapkan dapat diproduksi
induk yang berkualitas baik dan tidak
terjadi penurunan genetik serta bebas
penyakit. Produksi benih di hatcheri
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (suhu, salinitas, variasi pakan,
kandungan nutrisi, kepadatan larva) dan
faktor genetik yang berbeda. Akhir-akhir
ini telah banyak dilakukan penelitian
mengenai pakan buatan terutama
kandungan nutrisinya pada ikan kerapu
bebek ( Giri et al., 1999 ; Suwirya et al.,
2001; Suwirya et al., 2002). Selanjutnya
keragaman genetik ikan perlu dipertahankan dalam proses penggunaan induk
dalam perbenihan, karena terjadinya
18
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
induk F-0 adalah ikan rucah segar, cumicumi dan juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Sedangkan
pakan untuk induk F-1 dan induk F-2
adalah pellet kering komersial (PG 9-10)
dengan kandungan nutrisi sebagai
berikut: kadar protein min. 43%, kadar
lemak min 9%, kadar abu max. 13%,
kadar serat max. 2% dan kadar air max.
12%, juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Bila pada bak
pemeliharaan induk ikan kerapu terlihat
adanya sisa makanan atau kotoran, maka
dilakukan penyiponan.
Selanjutnya antara 3 - 5 minggu
sekali induk direndam air tawar selama 5
- 10 menit untuk menghilangkan parasit
dan bak pemeliharaan induk dibersihkan
untuk menghindari dan menanggulangi
adanya berbagai kemungkinan serangan
penyakit. Pada pipa pembuangan air
dipasang jaring kecil berbentuk segi
empat dengan ukuran panjang 1 meter,
lebar 75 cm dan tinggi 60 cm sebagai
tempat penampungan telur yang terbuat
dari nylon monofilamen dengan ukuran
mata jaring 400 m.
Untuk mengetahui produksi telur
ikan kerapu bebek, maka setiap pagi jam
07:30 WITA dilakukan pengamatan pada
tempat penampungan telur . Selanjutnya
dilihat kualitas dan kuantitas telur
tersebut, yaitu jumlah telur yang
mengapung, jumlah telur yang tenggelam, jumlah total telur yang dihasilkan,
diameter telur, jumlah gelembung
minyak pada telur, diameter gelembung
minyak dan daya tetas telur.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan pemijahan induk
ikan kerapu bebek dari alam (F-0) yang
dipelihara pada tangki volume 75 m3
(tangki I) selama 1 tahun dari bulan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
19
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
Tabel 1. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek dari alam (F-0) selama
penelitian berlangsung.
______________________________________________________________________
Parameter
Hasil Pengamatan (Tangki I)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor)
35
Kisaran bobot tubuh (g)
1900-3800
Pemijahan (kali)
33
Jumlah total telur (butir)
15.349.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir)
8.350.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir)
6.995.000
Diameter telur (m)
820-915
Diameter gelembung minyak (m)
158-215
Daya tetas telur (%)
15-87
______________________________________________________________________
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Bulan
Gambar 1. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
dari alam (F-0).
Selanjutnya hasil pengamatan
pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi pertama (F-1) yang dipelihara
pada tangki volume 75 m3 (tangki II)
selama 8 bulan dari bulan Januari sampai
dengan Agustus, tertera pada Tabel (2).
Dari 50 ekor induk kerapu bebek dengan
bobot tubuh antara 1150 18500
gram/ekor telah berhasil memijah
sebanyak 27 kali. Jumlah total telur yang
dihasilkan mencapai 5.642.000 butir
telur. Dari jumlah total telur yang
didapatkan nampaknya telur yang
20
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
Tabel 2. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek generasi pertama (F-1)
selama penelitian berlangsung
______________________________________________________________________
Parameter
Hasil Pengamatan (Tangki II)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor)
50
Kisaran bobot tubuh (g)
1150-1850
Pemijahan (kali)
27
Jumlah total telur (butir)
5.642.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir)
1.154.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir)
4.488.000
Diameter telur (m)
799-818
Diameter gelembung minyak (m)
162-165
Daya tetas telur (%)
10-78
______________________________________________________________________
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul
Agt
Bulan pemijahan
Gambar 2. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi pertama (F-1)
Jumlah telur yang dihasilkan dari
pemijahan induk kerapu bebek generasi
pertama lebih sedikit jika dibandingkan
dengan induk ikan kerapu bebek
tangkapan di alam. Hal tersebut diduga
bahwa ukuran induk dari alam lebih
besar, disamping faktor lainnya seperti
umur ikan dan lain-lain (Tridjoko et al.,
1996). Dari bulan Januari sampai dengan
bulan April jumlah total telur yang
dihasilkan terus mengalami trend
kenaikan, dan turun lagi pada bulan Mei.
Pada bulan berikutnya Mei, naik lagi
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
21
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
Tabel 3. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek generasi pertama (F-2)
selama penelitian berlangsung
______________________________________________________________________
Parameter
Hasil Pengamatan (Tangki III)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor)
50
Kisaran bobot tubuh (g)
850-1200
Pemijahan (kali)
36
Jumlah total telur (butir)
12.800.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir)
1.497.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir)
11.303.000
Diameter telur (m)
710-861
Diameter gelembung minyak (m)
147-175
Daya tetas telur (%)
0-45
______________________________________________________________________
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Bulan pemijahan
Agt
Sep
Okt
Gambar 3. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
turunan ke-2 (F-2)
22
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
Umur (hari)
F-3
F-2
D-10
F-1
D-1
0
10
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
23
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
24
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
25
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 26-33, Desember 2010
ABSTRACT
26
Aslianti
I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu sunu (Plectropomus
leopardus) yang dikenal dengan kerapu
bintang termasuk satu diantara komoditas
ekspor unggulan Indonesia dari budidaya
laut (marine fin-fish culture). Warna
merah pada kerapu sunu merupakan daya
tarik tersendiri bagi beberapa negara
importir seperti Hongkong dan China,
yang sebagian besar masyarakatnya
masih meyakini bahwa warna merah
identik dengan keberuntungan, sehingga
pangsa pasar kerapu sunu di kedua
negara tersebut sangat tinggi dan
merupakan negara tujuan ekspor yang
potensial (Sidik, 2002; Nurjana, 2006).
Kerapu sunu dalam budidayanya
memiliki prospek pengembangan yang
sangat baik, karena tehnik produksi benih
secara masal telah dikuasai dan dapat
diterapkan di hatchery skala rumah
tangga (Aslianti et al., 2009a).
Permintaan pasar terhadap kerapu sunu
terutama dalam keadaan hidup sangat
tinggi (Sutarmat et al., 2007) dan terus
meningkat,
sementara
pemenuhan
melalui penangkapan di alam sangat
tidak disarankan, karena memiliki banyak
resiko yang merugikan diantaranya
adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran
tidak seragam, resiko cacat fisik saat
penangkapan dan dampak tertinggi
adalah berkurangnya populasi di alam.
Hal ini memberikan peluang cukup besar
bagi kegiatan budidaya sekaligus
meningkatkan pasok yuwana yang
kontinyu, namun faktor kualitas tetap
menjadi prioritas yang perlu diperhatikan
mengingat persaingan pasar yang
semakin ketat (Nurjana, 2010).
Dalam usaha pembesaran kerapu
sunu di Keramba Jaring Apung (KJA)
hingga mencapai ukuran konsumsi (300400gr) biasanya memerlukan waktu
pemeliharaan yang cukup lama dan
memiliki resiko kematian yang tinggi.
Oleh karenanya upaya penggelondongan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
27
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Aslianti
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konfersi
pakan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
Parameter
Panjang total awal/Initial length (cm)
Panjang total akhir/Final length (cm
Pertambahan panjang/TL gain (%)
Berat tubuh awal/Initial weight (g)
Berat tubuh akhir/Final weight (g)
Pertambahan berat/BW gain (%)
Kelangsungan hidup/SR (%)
Rasio konfersi pakan/FCR
A
B
C
(200%/day) (300%/day) (400%/day)
16.60
16.60
16.60
19.08
19.51
21.61
14.94
17.53
30.18
72.20
72.20
72.20
132.20
140.96
156.84
83.10
95.24
117.23
93
95.5
97
1.05
1.21
1.34
Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari dari
masing-masing perlakuan
Parameter
Suhu maximum/Temp. max (oC)
Suhu minimum/Temp. min (oC)
Salinitas/Salinity (ppt)
pH
DO/Disolve Oksigen (mg/L)
NO2/Nitrite (mg/L)
NH3/Amonium (mg/L)
A
B
C
(200%/day) (300%/day) (400%/day)
28.50 0.16 28.28 0.19 27.96 0.23
26.64 0.21 26.98 0.45 27.30 0.42
32.4 1.61 32.4 1.61 32.40 1.61
7.78 0.30 7.51 0.23 7.05 0.10
6.39 0.13
6.72 0.31
7.10 0.29
1.50 0.25 1.26 0.04 0.69 0.13
1.83 0.06 1.57 0.08 0.98 0.05
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
29
164.0
y = 1.6972x + 120.24
R2 = 0.9354
160.0
156.0
152.0
148.0
19.0
21.0
23.0
25.0
30
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
sunu
Aslianti
Gambar 2. Penyakit bakteri gram negatif yang menimbulkan luka pada permukaan
tubuh kerapu sunu (a), dan kerapu sunu yang mengalami deformity pada
mulut unsimetris (b)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
31
IV. KESIMPULAN
Pergantian air dalam pemeliharaan
gelondongan
kerapu
sunu
secara
terkontrol merupakan faktor penting yang
mendukung kelangsungan hidup maupun
pertumbuhannya.
Kelangsungan
hidup
dan
pertumbuhan ikan yang dipelihara
dengan pergantian air 400%/hari lebih
tinggi (SR 97%; TL 21.610,54 cm, BW
156.841.05g) dari pada pergantian air
300% (SR 95.5%; TL 19.510.52 cm;
BW 140.960.08 g) ataupun 200% (SR
93%; TL 19.080.30 cm; BW
132.22.65 g).
Pergantian air hingga 400%/hari
dapat menghindarkan ikan dari serangan
parasit sehingga ikan bertumbuh normal
dan memperkecil jumlah ikan yang cacat
tubuh (deformity).
DAFTAR PUSTAKA
Aslianti, T., K.M. Setiawati dan
Wardoyo.
1998.
Pengaruh
Peningkatan Pergantian Air terhdap
Pertumbuhan dan Sintasan Larva
Kerapu
Bebek,
Cromileptes
altivelis.
Prosiding
Seminar
Teknologi
Perikanan
Pantai.
Denpasar-Bali, 6-7 Agustus 1998.
hal 173-177.
Aslianti, T., P.T. Imanto, dan M.
Suastika. 2009a. Dampak Minyak
Buah Merah, Pandanus conoideus
Lam pada Performansi Yuwana
Kerapu
Sunu,
Plectropomus
leopardus.
Jurnal
Perikanan,
XI(1):1-8.
Aslianti T, Afifah dan M. Suastika.
2009b. Pemanfaatan Minyak Buah
Merah, Pandanus conoideus Lam
dan Carophyll Pink dalam Ransum
Pakan Yuwana Ikan Kakap Merah,
Lutjanus sebae. Jurnal Riset
Akuakultur, 4(2):191-200.
32
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Aslianti
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
33
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 34-40, Desember 2010
ABSTRACT
It has been discovered that mollusca produce a secondary metabolite and in the same time
bear its important role in its ecosystems so became a strategic target for the development of
noble bioactive substances for marine pharmacology. The current study of mollucs
symbiotic bacteria showed that from species of Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola vespertilo and from based on screening of symbiotic bacteria in the Mollusc
toward some bacteria , 3 isolates had been had good performance in inhibiting the grow
of bacteria and to be the best candidates for a new antibiotic based on result of screening
consistency. Size and character inhibiting zone resulted toward test bacteria were TCM,
TCAand TOV. The research aims to current study of characteritic of symbiotic bacteria
from mollucs that produce a new anti-pathogenic bacteria by using GC-MS method. GCMS result showed that fraction TCM-6.1 consist of some compounds, that are Nitrogen
oxide (N2O) (CAS) Nitrous oxide; Acetic acid (CAS) Ethylic acid; Propanoic acid,2methyl-(CAS) Isobutyric acid and fraction TOV12.16 consist of compound such as
Propanoic acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-methyl-(CAS) 2Methylbutanoid acid then fraction TSA8.7 consist of 1,2-Propadiene (CAS) Allene. The
research pointed towards the three active symbiotic bacteria seems to be promising since
this three candidates potential result for the development of a new antibiotic.
Keywords: Bacteria simbiont, mollusc, anti-bacteria, bioaktif compound
ABSTRAK
Keberadaan bakteri yang berasosiasi dengan moluska laut telah memungkinkan penggunaan
organisme tersebut sebagai sumber utama bakteri yang baru dan sumber senyawa bioaktif
termasuk senyawa antimikroba. Hasil penelitian sebelumnya dari isolasi bakteri simbion
jenis Conus miles, Stramonita armigera, Cymbiola vespertilo dan berdasarkan konsistensi
hasil skrining, besar kecilnya zona hambat yang dihasilkan dan sifat penghambatannya
terhadap beberapa jenis bakteri uji melalui uji sensitivitas maka dihasilkan 3 isolat bakteri
simbion yang memiliki senyawa bioaktif antibakteri yakni: TCM, TCA dan TOV. Tujuan
penelitian adalah mengetahui karakteristik senyawa bioaktif bakteri yang berasosiasi
dengan Moluska jenis Conus miles, Stramonita armigera, Cymbiola vespertilo dengan
metode GC-MS. Analisis GC-MS dilakukan menggunakan GCMS-QP2010S Shimadzu.
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa terdapat beberapa senyawa yang terdeteksi dari
fraksi isolat TCM6.1, yakni: Nitrogen oxide (N2O) (CAS) Nitrous oxide; Acetic acid
(CAS) Ethylic acid; Propanoic acid,2-methyl-(CAS) Isobutyric acid dan fraksi isolat
TOV12.16. : Propanoic acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-methyl(CAS) 2-Methylbutanoid acid sedang fraksi isolat TSA8.7: 1,2-Propadiene (CAS) Allene.
Hasil penelitian disimpulkan bahwa isolat bakteri aktif yang diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan.
Kata Kunci: Bakteri simbion, moluska, anti-bakteri, senyawa bioaktif
34
Pringgenies
I. PENDAHULUAN
Lautan merupakan sumber dari
kelompok besar kimia bahan hayati laut
dengan struktur yang unik, yang terutama
terakumulasi pada hewan-hewan avertebrata yang banyak terdapat pada
ekosistem terumbu karang, seperti,
sponge, tunikata, bryozoa, karang lunak
dan moluska. Beberapa metabolit
sekunder yang dimiliki avertebrata laut
tersebut menunjukkan adanya aktifitas
farmakologi dan merupakan kandidatkandidat baru untuk bahan obat-obatan.
Sejumlah senyawa bioaktif yang diperoleh dari hewan avertebrata diduga
dihasilkan juga oleh mikroorganisme
yang berasosiasi dengannya. Seperti
dinyatakan oleh Watermann, 1999;
Burgess et al. (2003) bahwa mikroorganisme yang berasosiasi dengan
organisme laut akan mensistesa metabolit
sekunder seperti organisme inangnya.
Keberadaan bakteri yang berasosiasi dengan moluska laut telah
memungkinkan penggunaan organisme
tersebut sebagai sumber utama bakteri
yang
baru.
Bukti-bukti
ilmiah
menunjukkan bahwa bakteri yang
berasosiasi dengan avertebrata filum
Moluska jenis Conus miles, Stramonita
armigera, Cymbiola vespertilo mempunyai peranan dalam produksi senyawa
bioaktif, sehingga menjadi pemacu dalam
pencarian senyawa antimikroba dari
bakteri yang berasosiasi dengan Moluska
(Pringgenies et al., 2008). Penanganan
bakteri patogen di dalam bidang
kesehatan serta pemanfaatan senyawa
antibiotik yang ramah lingkungan yang
dihasilkan oleh bakteri yang berasosiasi
dengan Moluska telah menjadi pekerjaan
rumah yang harus segera ditangani secara
multidisiplin (Hunt and Vincent, 2006).
Secara geografis perairan Ternate
merupakan pertemuan lempeng antara
benua Australia dan Indonesia dan biota
di tempat tersebut memiliki potensi yang
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
35
36
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Pringgenies
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
37
Gambar 1.
Gambar 2.
38
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Pringgenies
Gambar 3.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
39
40
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 41-52, Desember 2010
ABSTRACT
In this study, the concentrations of three kinds of heavy metals, namely Pb, Zn, and Cu from 3
species of mangrove that grow in Muara Angke were measured and analyzed. Our result
showed that substrate of mangrove ecosystem in Muara Angke was dominated by clay (30.5% 62.4%), silt (21.7% -35.6%), and sand (2% -39.5%). The heavy metals accumulation in roots is
higher than in sediment, water and leaves with concentration of Zn as the highest.
Bioconcentration Factor (BCF; content ratio of heavy metal concentrations in roots or leaves
and sediment) and Translocation Factor (TF; ratio of heavy metal concentrations in leaves and
roots) of non-essential heavy metals (Pb) is higher in leaves than in roots, but for essential
heavy metals (Zn and Cu), the BCF and TF was higher in roots than in leaves. TF values for
heavy metals Pb, Cu, and Zn were 0.98-2.59, 0.17-0.51, and 0.52-0.86, respectively. The values
of root BCF of those three heavy metals were 0.71-3.17, 0.27-0.74, and 0.95-1.53, while the
values of leaf BCF were 1.84-3.45, 0.07-0.34, and 0.72-1.19, respectively. Furthermore, by
calculating the phytoremediation (FTD), i.e. the difference between BCF and TF, it is obtained
that Sonneratia caseolaris and Avicennia marina can be used in phytoremidiation, with leaves
and roots FTD of 1.93 and 2.09, respectively for Sonneratia caseolaris and 1.93 and 1.98 for
Avicennia marina.
Keywords: heavy metals, mangroves, phytoremidiation, Muara Angke, bioconcentration factor,
translocation factor
ABSTRAK
Dalam penelitian ini, konsentrasi tiga jenis logam berat, yaitu Pb, Zn, dan Cu dari 3 spesies
mangrove yang tumbuh di Muara Angke diukur dan dianalisis. Hasil analisa menunjukkan
bahwa substrat yang mendominasi ekosistem mangrove di Muara Angke adalah liat (30,5% 62,4%), debu (21,7%-35,6%), dan pasir (2%-39,5%). Akumulasi logam berat di akar lebih
tinggi daripada di daun, dimana konsentrasi logam berat Zn adalah yang tertinggi. Nilai
Bioconcentration Factor (BCF; rasio kandungan konsentrasi logam berat dalam akar atau daun
dengan sedimen) dan Translocation Factor (TF; rasio konsentrasi logam berat dalam daun dan
akar) logam berat non esensial (Pb) lebih tinggi di daun daripada di akar, namun untuk logam
berat esensial (Zn dan Cu), BCF dan TF lebih tinggi di akar daripada di daun. Nilai TF untuk
logam berat Pb, Cu, dan Zn berturut-turut adalah 0,98-2,59; 0,17-0,51 dan 0,52-0,86. Sementara
itu, nilai BCF akar ketiga logam berat tersebut adalah 0,71-3,17; 0,27-0,74, dan 0,95-1,53. BCF
daun logam Pb, Cu, dan Zn adalah 1,84-3,45, 0,07-0,34, dan 0,72-1,19. Selanjutnya, dengan
menghitung fitoremediasi (FTD), yang merupakan selisih antara BCF dan TF, diperoleh bahwa
Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina merupakan spesies mangrove yang dapat
digunakan dalam fitoremidiasi di Muara Angke, dengan FTD daun dan akar sebesar 1,93 dan
2,09 untuk Sonneratia caseolaris dan 1,93 dan 1,98 untuk Avicennia marina.
Kata Kunci: logam berat, mangrove, fitoremidiasi, Muara Angke, bioconcentration faktor,
translocation faktor
41
I. PENDAHULUAN
Mangove merupakan salah satu
ekosistem pesisir yang mempunyai
peranan penting di daerah estuari.
Ekosistem mangrove memiliki tingkat
produktivitas paling tinggi dibandingkan
dengan ekosistem pesisir lainnya.
Mangrove juga merupakan tempat
mencari makan, memijah dan berkembang biak bagi udang dan ikan serta
kerang
dan
kepiting.
Ekosistem
mangrove bagi manusia juga bermanfaat
baik secara langsung dan tidak langsung
terhadap
sosio-ekonomi
penduduk
sekitar. Selain itu, ekosistem mangrove
juga berfungsi sebagai perangkap
sedimen dan mencegah erosi serta
penstabil bentuk daratan di daerah estuari
(Harty, 1997).
Disamping kegunaan mangrove
yang begitu banyak, adapula usaha dan
aktvitas lain yang menyebabkan luasan
mangrove berkurang. Kegiatan ini seperti
reklamasi pantai, pembukaan lahan untuk
pertanian dan perikanan budidaya,
industri serta pengembangan perumahan
didaerah pesisir (Eong, 1995). Dampak
dari aktivitas diatas dapat menyebabkan
secara langsung masuknya limbah
kedalam ekosistem estuari yang salah
satunya adalah logam berat (MacFarlane,
2002). Peningkatan kadar logam berat
pada ekosistem mangrove dapat juga
berasal dari perkapalan, wisata, tumpahan
minyak, pengolahan limbah tumbuhan
serta peningkatan sampah dan aktivitas
pertambangan (Peters et al., 1997).
Masukan dari aktivitas pertanian seperti
penggunaaan insektisida dan pupuk yang
berlebihan juga meningkatkan konsentrasi logam berat di estuari (Alloway,
1994). Konsentrasi logam berat yang
tinggi akan menyebabkan kerusakan
lingkungan dan meningkatkan daya
toksisitas, persistan dan bioakumulasi
logam itu sendiri (Lindsey et al., 2004).
42
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
43
44
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
45
Tabel 1. Parameter fisika kimia air dan sedimen di daerah Muara Angke
No
Parameter
Satuan
Stasiun
5
2A
2B
7,56
7,53
7,68
28,5
29
29
Air
1
pH (in-situ)
Suhu (in-situ)
Salinitas (in-situ)
10
19
Oksigen Terlarut
mg/L
1,77
5,68
6,39
13
12
25
H2O
5,2
7,5
7,5
CaCl2
5,1
7,4
7,4
Sedimen
5
Salinitas
pH
46
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 2. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu dan Zn pada air dan sedimen
Stasiun
No
Parameter
Satuan
5
2A
2B
Air
1
Cu Total
ppm
<0,006
<0,006
<0,006
Pb Total
ppm
<0,006
<0,006
<0,006
Zn Total
Sedimen
ppm
0,062
0,048
0,044
Cu Total
ppm
28,41
29,68
51,36
Zn Total
ppm
56,58
65,28
69,3
Pb Total
ppm
23,23
18,64
29,57
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
47
Tabel 3. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu dan Zn pada daun dan akar
Lokasi dan Spesies mangrove
No
Parameter
Satuan
5 - RM 3
5 - SC 4
2A - AM 3
2A - AM 4
2A - AM 5
Akar
1
Cu Total
ppm
12,17
15,36
37,68
13,88
22,04
Zn Total
ppm
55,38
83,05
95,61
66,18
99,88
Pb Total
Daun
ppm
53,89
68,78
20,98
57,52
59,16
4
5
Cu Total
Zn Total
ppm
ppm
2,07
47,86
2,57
67,45
8,45
50,15
7,08
51,76
10,07
54,22
6
Pb Total
ppm
85,48
67,71
54,31
61,93
64,32
Keterangan : 5 - RM 3 : Rhizophora mucronata St.5; 5 - SC 4: Sonneratia caseolaris St. 5; 2A - AM 3:
Avicennia marina St. 2; 2A - AM 4: Avicennia marina St. 2A; 2A - AM 5: Avicennia marina St. 2A
48
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 4. Akumulasi dan translokasi logam Cu, Zn dan Pb di daerah Muara Angke
Spesies
Stasiun
Rhizophora mucronata
Sonneratia caseolaris
Avicennia marina-3
Avicennia marina-4
Avicennia marina-5
5
5
2B
2B
2A
BCF Daun
BCF Akar
TF
Cu
Zn
Pb
Cu
Zn
Pb
Cu
Zn
Pb
0,07
0,09
0,16
0,14
0,34
0,85
1,19
0,72
0,75
0,83
3,68
2,91
1,84
2,09
3,45
0,43
0,54
0,73
0,27
0,74
0,98
1,47
1,38
0,95
1,53
2,32
2,96
0,71
1,95
3,17
0,17
0,17
0,22
0,51
0,46
0,86
0,81
0,52
0,78
0,54
1,59
0,98
2,59
1,08
1,09
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
49
50
Spesies
Stasiun
Rhizophora mucronata
Sonneratia caseolaris
Avicennia marina-3
Avicennia marina-4
Avicennia marina-5
5
5
2B
2B
2A
FTD Daun
Cu
Zn
-0,1
-0,02
-0,08
0,38
-0,06
0,2
-0,37
-0,04
-0,12
0,29
Pb
2,09
1,93
-0,8
1,02
2,36
Cu
0,26
0,37
0,51
-0,24
0,29
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
FTD Akar
Zn
Pb
0,11
0,73
0,66
1,98
0,86
-1,88
0,17
0,87
0,99
2,09
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
51
52
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 53-61, Desember 2010
ABSTRACT
This study was purposed to compare the stability of four types of pole and liner casco
(round bottom, round flat bottom, round sharp bottom and u-v bottom),. The stability
value was analyzed by calculating the stability on the curve with the heeling angle of 090. The stability results of each casco type were then compared with the criteria of
minimum standard value derived from IMO (International Maritime Organization).
Results showed that the four casco types had greater stability values than IMO
standard values. This study found that the stability value of the round sharp bottom
casco was better than the others.
53
LOA (m)
20.44
22.20
21.50
18.40
B (m)
4.06
5.04
3.84
3.52
D (m)
1.75
2.12
1.92
1.80
d (m)
1.40
1.70
1.20
1.44
Keterangan:
LOA: lenght over all (panjang keseluruhan kapal)
B: Breadth (lebar kapal)
D: Depth (dalam/tinggi kapal)
D: Draught (tinggi garis air)
Cb: Coefficient of block
GT: Gross tonnage
54
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Cb
0.46
0.54
0.57
0.43
GT
24.31
30.71
26.82
17.83
Farhum
K-A
KG GM
() dan
K-B
KG
GM
K-C
KG
GM
GM
K-D
KG
GM
66.0
1.90
0.68
78.2
1.87
0.46
44.0
1.45
0.50
32.5
1.35
0.42
87.3
1.95
0.63
101.9 1.92
0.41
59.6
1.50
0.45
47.0
1.37
0.40
87.5
1.97
0.61
99.2
1.94
0.40
58.7
1.51
0.44
45.2
1.40
0.37
87.2
1.96
0.62
96.4
1.93
0.41
57.4
1.52
0.43
44.2
1.39
0.38
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
55
56
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Farhum
GZ (m ) 0.35
K-A
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
KG-2
KG-3
KG-4
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
57
GZ (m ) 0.35
K-B
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
KG-2
KG-3
KG-4
GZ (m ) 0.35
K-C
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
KG-2
KG-3
KG-4
GZ(m ) 0.35
K-D
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
KG-1
20
30
KG-2
40
KG-3
50
60
70
80
Heel Angle (deg)
KG-4
58
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Farhum
Tabel 3. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-A dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
0B
A (0-30 )
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Standar IMO
(Nilai Minimum)
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
0.087
0.140
0.052
37
0.305
0.680
0.081
0.128
0.047
36
0.280
0.630
0.078
0.124
0.045
36
0.263
0.610
4
0.079
0.125
0.046
36
0.267
0.620
Tabel 4. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-B dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
2B
A (0-300)
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Standar IMO
(Nilai Minimum)
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
0.061
0.095
0.035
37
0.200
0.460
3B
0.054
0.083
0.029
36
0.170
0.410
0.052
0.079
0.028
35
0.160
0.400
0.053
0.082
0.029
35
0.170
0.410
Tabel 5. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-C dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
4B
A (0-300)
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Standar IMO
(Nilai Minimum)
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
5B
1
0.064
0.105
0.041
37
0.240
0.500
0.057
0.093
0.036
35
0.210
0.450
0.056
0.091
0.035
35
0.200
0.440
4
0.055
0.088
0.033
35
0.200
0.430
Tabel 6. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-D dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
6B
A (0-30 )
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Standar IMO
(Nilai Minimum)
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
Berdasarkan
kurva
stabilitas,
diperoleh nilai stabilitas maksimum dan
kisaran stabilitas yang diterakan pada
Tabel 7. Stabilitas maksimum adalah
nilai GZ maksimum yang dapat dicapai
oleh kapal pada kondisi tertentu dan
terjadi pada besar sudut tertentu. Kisaran
7B
1
0.049
0.073
0.023
30
0.140
0.420
0.047
0.069
0.022
30
0.130
0.400
0.043
0.061
0.019
30
0.120
0.370
0.044
0.064
0.019
30
0.120
0.380
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
59
Tabel 7. Nilai maksimum dan kisaran stabilitas kapal pole and line sampel
No.
Kapal
1.
K-A
2.
K-B
3.
K-C
4.
K-A
Kondisi
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Maksimum Stabilitas
Sudut ()
GZ (m)
37
0.305
36
0.280
36
0.263
36
0.267
37
0.200
36
0.170
35
0.160
35
0.267
37
0.240
35
0.210
35
0.200
35
0.200
30
0.140
30
0.130
30
0.120
30
0.120
60
Sudut Kisaran
Stabilitas ()
0 80
0 77
0 74
0 75
0 72
0 67
0 65
0 67
0 80
0 75
0 74
0 72
0 70
0 67
0 62
0 64
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Farhum
dibandingkan
lainnya.
ketiga
bentuk
kapal
DAFTAR PUSTAKA
Derret, D.R. 1990. Ship Stability for
Masters and Mates.
Fourth
Edition, Revised. Butler & Tanner
Ltd, Frome and London.
Farhum, S.A. 2006. Kajian Stabilitas
dan Keselamatan Pengoperasian
Kapal Pole and Line pada Kondisi
Gelombang Beam Seas. Disertasi
pada Program Pascasarjana IPB.
Bogor.
Farhum, S.A. 2007. Distribusi Statistik
Karakteristik Teknis Kapal Pole
and Line Sulawesi Selatan. Jurnal
Torani, 3(17):246-253
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing
Vessels. Fishing News (Books)
Ltd. England.
Gillmer, T.C and B. Johnson. 1982.
Introduction to Naval Architecture.
Naval Institute Press. Annapolis.
Maryland.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
61
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 62-73, Desember 2010
ABSTRACT
The importance of seagrass meadows as a habitat for fishes, including several of
economic importance, is widely acknowledged. The complexity of seagrass beds might
offer a different condition of habitat for fishes. The physical nature of the seagrass
canopy is thought to play a major role, potentially influencing available shelter, food,
and protection from predators. Structural complexity of seagrass such as shoot and leaf
density is also an important factor in determining ecological function of seagrass in the
marine environment. The objective of the research is to assess the ecological function of
different seagrass beds (in terms of spesies and density) in supporting fish community.
The study found 28 species of fish originating from 14 families and Pomacentridae were
dominantly found. Abundance of fish found to be higher in seagrass beds with high
densities both composed by one species of seagrass (monospesific) or by more than one
species of seagrass (multispesific), compared to the seagrass beds with low density and
bare areas. Fish community diversity index was found higher in dense seagrass beds
composed of many species of seagrass compared to the rare and consists of only one
species of seagrass. The presence of epiphytes as nutrients for the fish that live in
seagrass beds may contribute to the finding.
62
Rappe
I. PENDAHULUAN
Lamun (seagrass) adalah satusatunya tumbuh-tumbuhan berbunga
yang terdapat di lingkungan laut. Seperti
halnya rumput di darat, mereka
mempunyai tunas berdaun yang tegak
dan tangkai-tangkai yang merayap efektif
untuk berkembang-biak dan mempunyai
akar dan sistem internal untuk
mengangkut gas dan zat-zat hara
(Romimohtarto dan Juwana, 2001)
Lamun juga merupakan tumbuhan
yang telah menyesuaikan diri hidup
terbenam di laut dangkal. Lamun
mempunyai akar dan rimpang (rhizome)
yang mencengkeram dasar laut sehingga
dapat membantu pertahanan pantai dari
gerusan ombak dan gelombang. Padang
lamun dapat terdiri dari vegetasi lamun
jenis tunggal ataupun jenis campuran
(Hemminga and Duarte, 2000).
Padang
lamun
memiliki
produktivitas sekunder dan dukungan
yang besar terhadap kelimpahan dan
keragaman ikan (Gilanders, 2006).
Padang lamun merupakan tempat
berbagai jenis ikan berlindung, mencari
makan, bertelur, dan membesarkan
anaknya. Ikan baronang, misalnya,
adalah salah satu jenis ikan yang hidup di
padang lamun. Bell dan Pollard (1989)
mengidentifikasi 7 karakteristik utama
kumpulan ikan yang berasosiasi dengan
lamun yaitu: (1) Keanekaragaman dan
kelimpahan ikan di padang lamun
biasanya lebih tinggi daripada yang
berdekatan dengan substrat kosong, (2)
Lamanya asosiasi ikan-lamun berbedabeda diantara spesies dan tingkatan siklus
hidup, (3) Sebagian besar asosiasi ikan
dengan padang lamun didapatkan dari
plankton, jadi padang lamun adalah
daerah asuhan untuk banyak spesies yang
mempunyai nilai ekonomi penting, (4)
Zooplankton dan epifauna krustasean
adalah makanan utama ikan yang
berasosiasi dengan lamun, dengan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
63
64
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
ditemukan
berikut:
dengan
KJ =
formula
sebagai
ni
x 100%
N
dimana:
KJ = Komposisi jenis (%)
Ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Indeks keanekaragaman adalah
nilai
yang
dapat
menunjukkan
keseimbangan keanekaragaman dalam
suatu pembagian jumlah individu tiap
jenis.
Sedikit
atau
banyaknya
keanekaragaman spesies dapat dilihat
dengan menggunakan indeks keanekaragaman (H). Keanekaragaman (H')
mempunyai nilai terbesar jika semua
individu berasal dari genus atau spesies
yang berbeda-beda. Sedangkan nilai
terkecil didapat jika semua individu
berasal dari satu genus atau satu spesies
saja (Odum, 1983).
Adapun kategori Indeks Keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Adapun indeks keanekaragaman
Shannon (H) menurut Shannon and
Weaver (1949) dalam Odum (1983)
dihitung menggunakan formula sebagai
berikut:
H = - (ni/N)ln(ni/N)
dimana:
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Pengujian juga dilakukan dengan
pendugaan indeks keseragaman (E),
dimana
semakin
besar nilai
E
menunjukkan kelimpahan yang hampir
seragam dan merata antar jenis (Odum,
1983). Adapun kriteria komunitas
lingkungan berdasarkan nilai indeks
keseragaman disajikan pada Tabel 2.
Rumus dari indeks keseragaman
Pielou (E) menurut Pielou (1966) dalam
Odum (1983) yaitu:
H'
E=
ln S
dimana:
E = Indeks keseragaman
H = Indeks keanekaragaman
S = Jumlah jenis
Nilai dari indeks dominansi
Simpson memberikan gambaran tentang
dominansi organisme dalam suatu
komunitas ekologi. Indeks ini dapat
menerangkan bilamana suatu jenis lebih
banyak terdapat selama pengambilan
data.
Adapun kategori penilaiannya
disajikan pada Tabel 3.
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Kondisi Komunitas
Komunitas berada pada kondisi tertekan
Komunitas berada pada kondisi labil
Komunitas berada pada kondisi stabil
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
65
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
90
80
70
60
ab
50
40
30
20
10
0
LPU
LPO
LJU
LJO
LNV
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
67
Spesies
Gerreidae
Siganidae
Labridae
Pomacentridae
LPU
LPO
LJU
LJO
LNV
Gerres oyena
Siganus margaritiferus
Siganus canaliculatus
Siganus virgatus
Halichoeres chloropterus
Novaculichthys sp
Pomacentrus simsiang
Pomacentrus saksoni
Pomacentrus sp.
Dischistodus perspicillatus
Dischistodus fasciatus
Dischistodus sp.
Abudefduf vaigiensis
Amphiprion ocellaris
Pentapodus trivittatus
Pentapodus bifasciatus
Scolopsis sp.
Cryptocentrus cinctus
Cryptocentrus sp.
Apogon cyanosoma
Apogon males
Sphyraenidae
Sphyraena barracuda
Muraenidae
Gymnothorax sp.
Monachantidae
Acreichthys tomentosus
Tetraodontidae
Arothron manilensis
Hemiramphidae
Tylosurus sp.
Serranidae
Ephinephelus ongus
Acanthuridae
Acanthurus auranticafus
Jumlah Jenis
21
16
14
15
Nemipteridae
Gobiidae
Apogonidae
Keenam
jenis
lamun
ini
mempunyai bentuk morfologi yang
berbeda-beda dalam hal bentuk dan
ukuran
daun.
Hal
inilah
yang
meningkatkan kompleksitas padang
lamun multispesifik sehingga dapat
menawarkan
perlindungan
dan
penyediaan makanan yang lebih optimal
bagi ikan-ikan di padang lamun tersebut.
68
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
LPU
2,44
0,80
0,12
LPO
1,65
0,60
0,29
LJU
2,24
0,85
0,14
LJO
2,19
0,81
0,16
LNV
1,10
0,79
0,41
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
69
LPU
Abudefduf
vaigiensis
2%
Acanthurus
auranticafus
2%
Pentapodus
trivittatus
4%
Amphiprion
ocellaris
1%
Scolopsis sp.
2%
LPO
Halichoeres
chloropterus
7%
Tylosurus sp.
12%
Pomacentrus
saksoni
1%
Gerres oyena
7%
Siganus
margaritiferus
20%
Pentapodus
bifasciatus
14%
Apogon males
1%
Scolopsis sp.
1%
Tylosurus sp.
1%
Cryptocentrus sp.
4%
Siganus canalicatus
1%
Siganus
canaliculatus
46%
Cryptocentrus
cinctus
2%
Pentapodus
bifasciatus
3%
Pentapodus
trivittatus
1%
Gerres oyena
19%
Sphyraena
Acreichthys
Cryptocentrus
barracuda
tomentosus
cinctus
1%
1%
3%
Dischistodus
Gymnothorax sp.
fasciatus
1%
Pomacentrus
1%
Dischistodus
Pomacentrus simsiang Halichoeres
Cryptocentrus sp.
perspicillatus Novaculichthys sp saksoni
4%
chloropterus
4%
1%
1%
7%
4%
Siganus
margaritiferus
27%
LJU
Novaculichthys sp
2%
Pomacentrus sp.
1%
Pomacentrus
saksoni
3%
LJO
Tylosurus sp.
2%
Apogon
cyanosoma
12%
Apogon males
1%
Pentapodus
bifasciatus
12%
Novaculichthys sp
6%
Cryptocentrus
cinctus
5%
Cryptocentrus sp.
12%
Pomacentrus
simsiang
1%
Siganus virgatus
3%
Dischistodus
perspicillatus
Dischistodus
1%
fasciatus
Abudefduf
1%
vaigiensis Ephinephelus ongus
1%
1%
Siganus
canaliculatus
27%
Siganus
margaritiferus
1%
Gerres oyena
3%
Abudefduf
vaigiensis
Halichoeres 7%
Scolopsis sp.
10%
Siganus canalicatus
17%
Pentapodus
trivittatus
12%
Arothron
Pentapodus manilensis
Halichoeres
Dischistodus sp.
bifasciatus chloropterus
1%
3%
4%
3%
chloropterus
10%
Cryptocentrus
cinctus
6%
Cryptocentrus sp.
30%
Tylosurus sp.
2%
Pomacentrus
simsiang
2%
Dischistodus
perspicillatus
2%
LNV
Gerres oyena
13%
Cryptocentrus sp.
59%
Dischistodus
perspicillatus
20%
Pomacentrus
saksoni
8%
70
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
0,7000
0,6000
0,5000
0,4000
0,3000
0,2000
0,1000
0,0000
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
71
72
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
73
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 74-82, Desember 2010
ABSTRACT
Arafura Sea consists of shallow waters and located in the Southern of Papua to the north coast of
Australia. The waters is vegetated by shallow-water ecosytems such as mangrove, seagrass bed, and
coral reefs. The Arafura continental shelf is predominated by sediment from late Paleozoic,
Mesozoic to Cenozoic and underlain by granitic basement. Foraminifera is a single cell
microorgainsm, has pseudopodia with high level of diversity. Foraminifera dwells in every level of
sea depth, from estuary to the deep sea. However, a certain species commonly dwells in the specific
profundity. The aim of the study was to recognize the distribution of benthic foraminifera in the
waters of Arafura Sea and it relation with the environmental characteristics. As many as 11
sediment samples was collected in May 2010 from the water of Arafura Sea using a box core with
capcity of 0,3 m3. Laboratory analyses on the colleted samples were performed to determine the type
of sediments and identify the benthic foraminifera, and to determine the abundance of each samples.
The number of species found from the collected sediments were 37 species consisting of 29 genera of
which most of them were member of Suborder Rotaliina and many of them belong to Suborder
Miliolina and Textulariina. The most common species of the sampling sites were Ammonia beccarii
and Pseudorotalia schroeteriana. The Arafura Sea commonly recognized as shallow waters, open
seas, with current speed of midium to high. The predominant sediment type of the waters is sandy
mud and little of clay.
Keywords: distribution, benthic foraminifera, sediment and Arafura
ABSTRAK
Laut Arafura merupakan perairan dangkal yang terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai
bagian utara pantai Australia. Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem
penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Sedimen yang
mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum
sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah. Foraminifera merupakan
mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu yang mempunyai keragaman sangat tinggi. Habitat
foraminifera terdiri dari semua kedalaman laut dari tepi pantai sampai pada laut dalam. Secara
umum, suatu spesies bentik hidup pada kedalaman tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui distribusi foraminifera bentik yang terdapat pada sedimen di perairan Laut Arafura dan
kaitannya dengan karakteristik perairan tersebut. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei
2010 di Peraiaran Laut Arafura. Sebanyak 11 sampel sedimen diambil dari dasar perairan
menggunakan box core. Kemudian sampel yang diperoleh dianalisis jenis sedimennya dan
kandungan foraminifera bentik didalamnya. Jumlah spesies yang ditemukan mencapai 37 spesies
yang termasuk dalam 29 genus yang sebagian besar merupakan anggota dari subordo Rotaliina dan
beberapa spesies merupakan anggota Miliolina dan Textulariina. Spesies yang ditemukan merata
hampir di semua stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. Karakeristik
sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi
arus menengah sampai kuat. Jenis sedimen yang mendominasi perairan Laut Arafura adalah Lumpur
pasiran dengan sedikit lempung.
Kata Kunci: distribusi, foraminifera bentik, Sedimen, Arafura
74
I. PENDAHULUAN
Laut Arafura merupakan perairan
yang meliputi landas kontinen Arafura
Sahul dan terletak di wilayah Papua
bagian Selatan sampai perbatasan Benua
Australia. Batas bagian Utara perairan
tersebut merupakan Laut Seram dan
Pulau Irian Jaya (Papua), sedangkan
Pantai Utara Australia dari Semenanjung
York
sampai
Semenanjung
Don
merupakan batas di bagian Selatan. Di
bagian Barat, perairan tersebut dibatasi
oleh Laut Banda dan Laut Timor yang
melewati Kepulauan Aru dan Tanimbar.
Sedangkan di bagian Timur terdapat
Pulau Dolak dan Semenajung Don yang
membatasi perairan tersebut. Brdasarkan
tingkat kedalamannya, Laut Arafura
termasuk perairan dangkal dengan
kisaran kedalaman antara 30-90 m.
Ekosistem yang terdapat pada perairan
tersebut merupakan ekosistem penciri
perairan dangkal seperti hutan mangrove,
padang lamun dan terumbu karang
(Wagey dan Arifin, 2008). Menurut
Katili
(1986),
sedimen
yang
mendominasi landas kontinen perairan
Arafura berasal dari masa Paleozoikum
akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum
yang dilandasi oleh lapisan granit pada
bagian bawah.
Foraminifera merupakan mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu
yang mempunyai keragaman sangat
tinggi dan menempati hampir 2,5% dari
seluruh hewan yang dikenal sejak zaman
kambrium hingga resen. Sebanyak
38.000 spesies berupa fosil dan 10.000
12.000 spesies foraminifera resen
ditemukan
di
seluruh
lauatan
(Boltovskoy and Wright, 1976). Menurut
Murray (1973), distribusi dan kelimpahan
spesies mendapat perhatian yang cukup
besar, baik spesies yang masih hidup
maupun yang sudah mati. Foraminifera
merupakan kelompok hewan yang
sebagian besar hidup di laut.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
75
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
77
Tabel 1. Jumlah foraminifera bentik yang ditemukan pada sampel yang berasal dari
perairan Laut Arafura
Sampel
Foraminifera Benthic
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
104
21
46
121
69
14
116
131
111
14
Amphistegina lessonii
21
Asterorotalia trispinosa
82
26
16
41
12
40
48
18
Cibicides molis
14
Elphidium craticulatum
41
Elphidium crispum
29
12
Gyroidina neosoldanii
Nonion sp.
12
24
Operculina ammonoides
12
12
Pseudorotalia schroeteriana
40
28
30
24
21
64
Quinqueloculina cultrate
Quinqueloculina granulocostata
Quinqueloculina parkery
Quinqueloculina seminulum
Quinqueloculina sp.
Rosalina sp.
Spiroloculina communis
1
-
4
-
2
3
Textularia pseudogramen
Triloculina tricarinata
Young miliolidae
78
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Kedalaman (m)
Jenis sedimen
13
341
Lempung
14
19
Lempung
15
35
16
29
lanau lempung
17
35
18
38
19
48
20
60
Lumpur pasiran
21
35
22
38
23
59
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
79
80
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 3. Organisme selain foraminifera bentik yang ditemukan dari sampel yang
berasal dari perairan Laut Arafura
Keterangan
Stasiun
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Foraminifera planktonik
Moluska
Bryozoa
Gastropoda
Ostracoda
Fragmen karang
Fragmen moluska
Keterangan:
= terdapat dalam jumlah banyak; = terdapat dalam jumlah sedang; = terdapat dalam jumlah sedikit;
= tidak ada
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
81
DAFTAR PUSTAKA
Barker, R.W. 1960. Taxonomic Notes.
Society of Economic Paleontologist
and
Mineralogist.
Special
Publication
No.
9.
Tulsa.
Oklahoma, USA. 238 pp.
Boltovskoy, E. and R. Wright. 1976.
Recent Foraminifera. Dr. W. June,
B. V. Publisher, The Haque,
Netherland.
Graham, J.J. and Militante. 1959. Recent
Foraminifera from The Puerto
Galera Area Northern Mindoro,
Philippines. Stanford University,
California.
Hallock, P., B.H. Lidz, E.M. CockeyBurkhard, and K.B. Donnelly.
2003.
Foraminifera
as
bioindicators
in
coral
reef
assessment and monitoring: the
FORAM Index. Environmental
Monitoring and Assessment, 81(13):221-238.
Katili, J.A. 1986. Geology and
hydrocarbon potential of the
Arafura Sea. In: Future Petroleum
Provinces of the World. AAPG
Memoir 40, M.T. Halbouty (editor)
487-501.
Murray, J. W. 1973. Distribution and
Ecology of Living Foraminifera.
The
John
Hopkins
Press.
Baltimore.
Rositasari R. dan S. K. Rahayuningsih.
2000. Foraminifera Bentik: Dalam
Foraminifera sebagai bioindikator
pencemaran, hasil studi di perairan
estuarin
Sungai
Dadap,
Tangerang. Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Oseanografi.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia: 3-26.
Shepard, F. P. 1954, Nomenclature based
on sand-silt-clay ratios: Journal of
Sedimentari Petrology, 24:151-158.
82
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 83-91, Desember 2010
ABSTRACT
Groupers were known as a high economically marine commodity and in order to support groupers
production, the seed availability was the most important. Eggs are still as limited factor in hatchery
production, for this reason the success of eggs transportation is one as base of successful production
of seed. Planning on hatching time of eggs through different incubation temperature was an option
to solve that problem. This experiment was aimed to find out the optimum temperature for groupers
eggs and the minimum temperature to arrange incubation time and to plan the hatching time.
Fertilized eggs were incubated into three beaker glasses of 1 liter in volume with the density of
250 eggs/liter. The incubation was done under laboratory condition at controlled temperature, i.e.
(A) 21-22 C, (B) 24-25 C, (C) 27-28 C and (D) 30-31 C. The eggs that used were including
orange spotted grouper (Epinephelus coiodes), brown marbled grouper (E. microdon), tiger grouper
(E. fuscoguttatus) and humpback grouper (Cromileptes altivelis). Investigated variables were
embryonic development pattern, incubation time and hatching rate. The result showed that the eggs
incubated in temperature range of 24-31C had the normal sequence of embryonic development
pattern, but in temperature of 21-22C performed irregular sequence and the embryonic
development stopped at blastula or gastrula stage or even the eggs could still develop but the body
of hatched larvae were abnormal. In lower temperature incubation, the incubation time was longer
and the hatching rate of eggs was lower than those in higher temperature. Therefore the optimum
temperature for incubation of orange spotted grouper, marbled grouper, tiger grouper and
humpback grouper eggs ranged between 24-31 C, while the lowest possible temperature was 24 C.
Keywords: incubation temperature, embryonic development pattern, grouper eggs, hatching rate
ABSTRAK
Ikan kerapu merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi dan benihnya sangat diperlukan Pasok
telur masih menjadi faktor pembatas dalam produksi benih, dan transportasi telur menjadi salah satu
kunci keberhasilan produksinya. Transportasi telur jarak jauh dapat dilakukan dengan perencanaan
waktu tetas melalui manipulasi suhu media penetasan. Tujuan penelitian untuk mengetahui kisaran
suhu optimum dan batas toleransi suhu terendah untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan
waktu tetas telur ikan kerapu. Penelitian menggunakan telur fertil yang diinkubasikan dalam 3 buah
beaker glass volume 1 liter dengan kepadatan 250 butir/liter. Suhu inkubasi yang diujikan adalah
(A) 21-22 C ; (B) 24-25 C ; (C) 27-28 C dan (D) 30-31 C. Jenis telur ikan kerapu yang digunakan
dalam penelitian ini adalah telur kerapu lumpur (Epinephelus coiodes), kerapu batik (E. microdon),
kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Parameter pengamatan
meliputi pola perkembangan embrio, masa inkubasi dan tingkat penetasan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa telur yang diinkubasikan pada suhu 24-31C menghasilkan pola perkembangan
embrio yang teratur, sedang pada suhu 21-22C perkembangan embrio terhenti pada stadia blastula
atau gastrula atau terus berkembang tetapi menghasilkan larva yang cacat. Pada suhu rendah, masa
inkubasi berlangsung lebih lama dan tingkat penetasan telurnya lebih rendah dibandingkan pada
suhu yang lebih tinggi. Kisaran suhu optimum bagi penetasan telur kerapu lumpur, kerapu batik,
kerapu macan dan kerapu bebek adalah 24-31oC, dengan batas toleransi suhu terendah dalam
kaitannya untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan waktu tetas adalah 24oC.
Kata Kunci: suhu inkubasi, pola perkembangan embrio, telur ikan kerapu, tingkat penetasan
83
I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan komoditas
perikanan laut yang bernilai ekonomis
tinggi. Permintaan terhadap jenis ikan ini
tidak saja berasal dari dalam negeri tetapi
juga sebagai komoditas ekspor yang
banyak diminati, baik di Asia seperti
Taiwan,
Jepang,
Singapura
dan
Hongkong, maupun di Eropa, Australia
dan Amerika (Andamari et al., 2005).
Beberapa jenis ikan kerapu yang bernilai
ekonomis tinggi diantaranya adalah ikan
kerapu lumpur Epinephelus coiodes (Lau
dan Jones, 1999), kerapu batik E.
microdon (Slamet, et al., 1997), kerapu
macan E. fuscoguttatus (Kohno et al.,
1990; Sudjiharno et al., 2001) dan kerapu
bebek Cromileptes altivelis (Putro et al.,
1999; Sudaryanto et al., 1999).
Selama ini pemenuhan kebutuhan
pasar mayoritas diperoleh dari hasil
penangkapan di alam. Untuk memenuhi
permintaan pasar yang semakin tinggi
dan sekaligus menjaga kelestarian
populasi ikan kerapu di alam, maka
kegiatan budidaya mutlak diperlukan.
Hal ini menjadikan produksi benih yang
berasal dari hatchery (panti benih)
menjadi sangat penting peranannya.
Dalam usaha pembenihan, pasok
telur menjadi faktor pembatas produksi
karena tidak semua panti benih mampu
mencukupi sendiri kebutuhan telurnya.
Penanganan telur, termasuk transportasinya hingga sampai di lokasi pembenihan
merupakan tahap awal yang menentukan
keberhasilan usaha tersebut. Hambatan
yang sering dialami pada transportasi
telur ini adalah masa inkubasinya yang
singkat sehingga sering terjadi telur telah
menetas sebelum tiba di lokasi tujuan.
Apabila hal ini terjadi akan menyebabkan
kualitas air media menjadi buruk dan
mengakibatkan kematian pada telur atau
larva yang baru menetas dalam proses
transportasi (Slamet, 1993). Suhu
merupakan salah satu faktor yang penting
84
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
Deskripsi
Pembuahan hingga multisell
Blastula
Gastrula
6
7
Pergerakan embrio
Penetasan embrio
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
85
100%
80%
60%
40%
P 20%
e
0%
r
k 100%
80%
e
m 60%
b
40%
a
20%
n
0%
g
a 100%
n 80%
60%
E 40%
m
20%
b
0%
r
i 100%
o
80%
30-31oC
27-28oC
24-25oC
60%
40%
20%
0%
0:00
21-22oC
5:00
10:00
15:00
20:00
25:00
30:00
35:00
40:00
TIME (HOUR)
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Gambar 2. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu lumpur yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
86
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
100%
75%
30-31 oC
50%
P
e
r
k
e
m
b
a
n
g
a
n
25%
0%
100%
75%
27-28 oC
50%
25%
0%
100%
75%
E
m
b
r
i
o
24-25 oC
50%
25%
0%
100%
75%
21-22 oC
50%
25%
0%
0:00
2:05
4:45
7:45
10:45
13:45
16:45
19:45
22:45
25:45
28:45
Time (hour)
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Gambar 3. Perkembangan embrio telur kerapu batik yang diinkubasi pada suhu berbeda
(S: Stadia)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
87
P
e
r
k
e
m
b
a
n
g
a
n
E
m
b
r
i
o
100%
80%
60%
40%
20%
0%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
0:00
3:00
6:00
9:00
12:00
15:00
18:00
21:00
S6
S7
TIME (hour)
S1
S2
S3
S4
S5
Gambar 4. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu macan yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
88
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
Tabel 2. Masa inkubasi dan Tingkat penetasan telur ikan kerapu yang diinkubasi pada
beberapa tingkatan suhu
Jenis telur
Kerapu Lumpur
Suhu inkubasi
Masa Inkubasi
21-22oC
*
24-25oC
24 jam 30 menit
27-28oC
17 jam 30 menit
30-31oC
14 jam 30 menit
Kerapu batik
21-22oC
*
24-25oC
29 jam 45 menit
27-28oC
19 jam 45 menit
30-31oC
15 jam 45 menit
Kerapu macan
21-22oC
*
24-25oC
21-23 jam
27-28oC
18-22 jam
30-31oC
16-21 jam
Kerapu bebek
21-22oC
45 jam 45 menit
24-25oC
27 jam 45 menit
27-28oC
18 jam 45 menit
30-31oC
14 jam 45 menit
* Perkembangan embrio terhenti pada stadia 2 dan 3
Tingkat penetasan
0%
36%
50%
82%
0%
58%
100%
100%
0%
84%
100%
100%
3%
57%
100%
100%
100%
75%
50%
30-31 C
25%
0%
100%
75%
50%
27-28 C
25%
0%
100%
75%
24-25 C
50%
25%
0%
100%
75%
21-22 C
50%
25%
0%
1
13
19
25
31
37
43
WAKTU (jam)
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Gambar 5. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu bebek yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
89
90
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
91
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-108, Desember 2010
ABSTRACT
Research of water masses by using conductivity temperature depth (CTD), are conducted in the
eastern path of the Indonesia Throughflow (ITF) in the Halmahera, Seram and Banda seas during
March-April 2007 under the Expedition of Widya Nusantara (EWIN). The objective of this research
is to see maximum salinity spread of South Pacific Subtropical Water (SPSW) water masses enter
the eastern Indonesia Waters. The temperature and salinity profiles show the presence of the
presence of SPSW have been very much confined to the Halmahera Sea only. Little of this water
masses have been detected in the eastern Seram Sea, but none in Banda Sea. Early data of Arlindo
Mixing (ARMIX) experiment in southeast monsoon 1993 indicated that this water masses SPSW may
entered the southern most part of the Moluccas Sea. Type of South Pacific Subtropical Water
(SPSW) water masses appears in the Halmahera Sea at an average depth of 200m and the dominant
flows between Halmahera and Obi Islands (Moluccas Sea continues to the east). Type of South
Pacific Intermediate Water (SPIW) water mass appeared on average Halmahera Sea at a depth of
750m and the dominant flows between Halmahera and Obi Islands (Moluccas Sea continues to the
east). Type of North Pacific Subtropical Water (NPSW) water masses at an average depth of ~ 150m
found in the northern part of Halmahera, the dominant flow to the Celebes Sea, Makassar Strait,
Flores Sea and partly flows into Lombok Straits. Type of minimum salinity water mass of North
Pacific Intermediate Water (NPIW) obtained at an average depth of ~ 400m dominant flow towards
the Celebes Sea, Makassar Strait and Flores Sea.
Keywords: maximum salinity, SPSW, Halmahera, Seram, and Banda Seas
ABSTRAK
Penelitian massa air dengan menggunakan conductivity temperature depth (CTD), dilakukan di
bagian timur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO ITF) di Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut
Banda dari bulan Maret - April 2007 pada pelayaran Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN). Tujuan
penelitian ini untuk melihat penyebaran salinitas maksimum dari massa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW) masuk ke bagian timur Indonesia. Profil suhu dan salinitas menunjukkan adanya
kehadiran SPSW sudah sangat terbatas ke Laut Halmahera saja. Sebagian kecil massa air ini telah
terdeteksi di bagian timur Laut Seram, tapi tidak ke Laut Banda. Awal data Arlindo Mixing
(ARMIX) eksperimen di musim tenggara 1993 menunjukkan bahwa massa air SPSW ini dapat
masuk ke bagian paling selatan Laut Maluku. Jenis masa air South Pacific Subtropical Water
(SPSW) muncul di Laut Halmahera pada rata-rata kedalaman 200m serta dominan mengalir di
antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi (terus ke Laut Maluku bagian timur). Jenis massa air South
Pacific Intermediate Water (SPIW) muncul di Laut Halmahera rata-rata pada kedalaman 750m serta
dominan mengalir di antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi (terus ke Laut Maluku bagian
timur).Jenis massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) pada rata-rata kedalaman ~150m
didapatkan di bagian utara Halmahera, dominan mengalir menuju ke Laut Sulawesi, Selat Makassar,
Laut Flores dan sebagian mengalir ke Selat Lombok. Jenis massa air bersalinitas minimum North
Pacific Intermediate Water (NPIW) didapatkan pada rata-rata kedalaman ~400m dominan mengalir
ke arah Laut Sulawesi, Selat Makassar, dan Laut Flores.
Kata Kunci: salinitas maksimum, SPSW, Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda
92
Hadikusumah
I. PENDAHULUAN
Perairan Indonesia terletak diantara
Samudera Pasifik dan Hindia. Massa air
dari Pasifik masuk dan menyebar di
perairan Indonesia sebelum mengalir
keluar Indonesia (Wyrtki, 1956). Empat
jenis massa air telah diketahui dan
menyebar pada lapisan termoklin dan
lapisan dalam, yaitu massa air North
Pacific Subtropical Water (NPSW) dan
North Pacific Intermediate Water
(NPIW) yang merupakan massa air yang
dibawa oleh arus Mindanao Eddy dan
arus North Equatorial Current (NEQ),
massa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW) dan South Pacific
Intermediate Water (SPIW) yang
merupakan massa air yang dibawa oleh
arus New Guinea Coastal Current
(NGCC) dan arus South Equatorial
Current (SEQ) (Tomczak & Godfrey,
1994). NPSW adalah massa air dari
Pasifik utara yang bergerak ke arah
selatan dan masuk ke Laut Sulawesi pada
lapisan dangkal (lapisan termoklin);
SPSW yaitu massa air dari Pasifik
Selatan yang bergerak ke arah Laut
Halmahera lewat perairan pantai utara
Pulau Papua di lapisan dangkal (lapisan
termoklin). Keberadaan massa air
tersebut diindikasikan oleh salinitas
maksimum (Smaks). Di bawah lapisan
salinitas maksimum (NPSW) terdapat
lapisan massa air NPIW yaitu massa air
dari Pasifik utara yang bergerak ke arah
selatan dan masuk ke Laut Sulawesi pada
lapisan dalam; SPIW adalah massa air
dari Pasifik selatan yang bergerak ke arah
Laut Halmahera lewat utara Pulau Papua
terletak di lapisan dalam (Wyrtki, 1962)
dan (Ffield, 1994). Keberadaan massa air
tersebut diindikasikan oleh salinitas
minimum (Smin).
Pada lapisan pycnocline (100
sampai 300 m) ada lapisan salinitas
maksimum dari utara dan selatan
Samudera Pasifik. Massa air ini disebut
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
93
94
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
14
4
PACIFIC OCEAN
2
Latitude, N/S
27
0
Waigeo
37
38
39
Biak
1 2 3 4
4041
54243
6 Misol 7
8 44
9 10
Seram Sea
13 14
11 12 45
46
15
Seram
161718
Buru
192021
222324
252627
2829
30
Obi
-2
Mangole
-4
Yapen
105
PAPUA
BANDA SEA
-6
126
128
130
132
134
136
138
140
142
144
Longitude, E
Gambar 1. Peta dan stasiun oseanografi Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) pada
tahun 2007 di stasiun bertanda lingkaran hitam dan Arlindo mixing
(ARMIX) pada ekspedisi selama musim tenggara tahun 1993 di stasiun
bertanda lingkaran biru dan merah dan WOCE di stasiun bertanda hijau
PVD arus, Jam 21:10 s/d 13:00, 10 - 12 Maret 2007
Posisi: 2 4.063 S; 130 15.133 E, Kampung Lelintah - P. Misol
0
-5
-4
-3
-2
-1
22
-0.5
-1
18
-1.5
12
-2
0
-2.5
3
6
12
9
-3
-3.5
Pergeseran Komponen Arus, TB (km)
Gambar 2. Proressive Vector Diagram arus di stasiun MBIO-1, Jam 21:10 s/d 13:00, 10
- 12 Maret 200, Posisi: 2 4.063 S; 130 15.133 E, Kampung Lelintah - P.
Misol
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
95
2A,
MBIO-13
dan
MBIO-14
menandakan bahwa masa air tersebut
bergerak ke arah tenggara sampai barat
daya dan ini merupakan masa air
ARLINDO di bagian permukaan.
Berdasarkan data arus mooring
1993-1994 selama setahun pada stasiun
29;
dari Program Kerjasama antara
ASEAN dan Australia di Laut Halmahera
bahwa
kecepatan
arus
rata-rata
maksimum pada kedalaman 428m
didapatkan tertinggi (25,95cm/dt) pada
bulan Februari, jika dibandingakan
kecepatan arus pada kedalaman 720m
(19,42 cm/dt) pada bulan Desember dan
kecepatan arus paling rendah pada
kedalaman 912m (16,90cm/dt) bulan
Desember. Hasil analisis progressive
vector diagram (PVD) menunjukkan
bahwa pergeseran arus selama satu tahun
pada kedalaman 720 m didapatkan
terbesar (2875,6km) dengan arah arus
dominan bergerak ke selatan (188) atau
masuk
ke
perairan
Indonesia
(ARLINDO),
dibandingkan
dengan
kedalaman 428m, pergeseran arusnya
0.45
0.4
15
0.35
0.3
Pergeseran komponen arus, US (km)
12
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
-0.35
-0.3
-0.25
18
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0.05
-0.05
-0.1
Pergeseran komponen arus, TB (km)
96
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
0.1
Hadikusumah
October
August 93
-600
-500
-400
-300
-200
-100
100
December
January 94
-500
-1000
March
-1500
June
Gambar 4. Proressive Vector Diagram arus di stasiun mooring di Laut Halmahera pada
kedalaman 428m dari tahun 1993/1994
3.2. Karakteristik
dan
Distribusi
Tegak massa Air
Salinitas maksimum 34,988psu
(St.1) pada profil salinitas didapatkan
pada kedalaman 236m yaitu pada lapisan
termoklin. Dari perairan yang diobservasi
ternyata didapatkan ada dua massa air
yang berbeda dari permukaan sampai
kedalaman ~700 m, yaitu masa air
besalintas rendah di Laut Banda Seram
timur dan salinitas tinggi di Laut
Halmahera sampai Laut Seram bagian
barat. Sedangkan massa air permukaan
bersalinitas rendah (kedalaman <185m)
di St.15 didapatkan sama dengan salinitas
Laut Banda, sedangkan di kedalaman
>185m didapatkan masa air bersalinitas
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
97
98
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
St_30
27
24
21
18
15
13
depth (m)
-200
>
-400
-600
-800
Salinity (psu)
-1000
-4.5
-4.0
-3.5
-3.0
-2.5
-2.0
-1.5
Latitude, S
Gambar 5. Distribusi tegak salinitas antara St.1 sampai 30 dari Laut Halmahera, Laut
Seram dan Laut Banda.
Distribusi tegak salinitas antara
St.4 sampai 28 bahwa salinitas perairan
dangkal di lapisan permukaan (mixed
layer depth) bagian timur Pulau Misol
didapatkan salinitas (>34 psu) yaitu
antara St.4 sampai St.14. Sedangkan
salinitas makin ke arah selatan, salinitas
makin berkurang (<34psu). Demikian
juga bahwa core salinitas (>34,6psu)
masih muncul didapatkan di St.15 pada
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
99
St_28
25
22
19
17
15
14
10
Depth (m)
-200
-400
-600
Salinity (psu)
-800
-1000
-4.5
-4.0
-3.5
Latitude, S
-3.0
-2.5
-2.0
Gambar 6. Distribusi tegak salinitas antara St.4 sampai 28 di Laut Seram sampai Laut Banda
100
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
101
St.1
< 33.3
-100
Depth (m)
>34.54
>34.54
-200
>34.54
-300
< 34.5
-400
Salinity (psu)
>34.5
-500
-8.1
-8.0
-7.9
-7.8
-7.7
-7.6
-7.5
-7.4
-7.3
Latitude, S
-6
-6.5
Latitude, S
-7
-7.5
-8
-8.5
-9
120
7
6
5
4
3
2
1
FLORES SEA
FLORES
120.5
121
121.5
122
Longitude, E
102
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
0
WAIGEO
Halmahera Sea
HALMAHERA
-1
37
38
39
PAPUA
OBI
MISOL
Latitude, S
-2
Seram Sea
-3
SERAM
-4
Banda Sea
-5
127
128
129
130
131
132
Longitude, E
Gambar 8. Distribusi tegak salinitas antara St.37 sampai St.39 pada program ARMIX 93
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
103
T-S Diagram Misol, Seram dan Banda bulan Maret - April 2007
35
L. Banda, Seram
30
75 m
-t= 21
50 m
22
25
100
Temperature (C)
23
20
24
SPSW
200
15
25
300
L.Band
10
500
26
SPIW
1000
27
28
0
33
33,5
34
Salinity (psu)
34,5
35
35,5
Gambar 9. Diagram T-S Laut Halmahera, Laut Seram (merah dan kuning) dan Laut Banda
(biru) pada program EWIN 2007
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
105
35
30
30
Seram - Banda
Halmahera
50 m
14
38
Sigma_t = 21
22
39
30
45
25
Temperature (C)
100
Flores St_6
24
Flores St_8
Halmahera St_1
Seram St_8
Seram St_15
25
Banda St_21
Banda St_30
Armix St_37
26
+ Armix St_38
- Armix St_39
Armix St_45
Papua St_105
Halmahera St_27
Halmahera St_14
20
15
10
27
23
25
NPSW
21
20
SPSW
BANDA
FLORES
105
1
SERAM
15
150
SPSW
15
HALMAHERA
200
10
300
NPIW
500
700
27
SPIW
28
1000
4700
AAIW
0
0
33
33.2
33.4
33.6
33.8
34
34.2
34.4
34.6
34.8
35
35.2
35.4
35.6
35.8
36
Salinity (psu)
Gambar 10. Diagram T-S bagian selatan Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda (2007),
Laut Floras (2005), Selat Obi (ARMIX 1993). Bagian utara Pulau Halmahera dan
Pulau Papua pada Expedisi WOCE
IV. KESIMPULAN
Arus bagian permukaan dan bagian
dalam lebih dominan bergerak ke arah
selatan sampai barat daya, ini
menggambarkan bahwa arus tersebut
adalah arus ARLINDO yaitu dari massa
air Samudera Pasifik bagian selatan
melalui Laut Halmahera.
Kedalaman lapisan permukaan
perairan Halmahera, Seram dan Banda
didapatkan berkisar antara 18m s.d 74m.
Kedalaman lapisan batas atas termoklin
berkisar antara 25m s.d 96m dengan
rata-rata 70m, sedangkan kedalaman
termoklin batas bawah berkisar antara
75m - 267m dengan rata-rata kedalaman
180m.
Suhu di lapisan permukaan (mixed
layer) di Laut Halmahera didapatkan
lebih tinggi dibandingkan suhu Laut
Seram dan Laut Banda, demikian pula di
lapisan termoklin pada kedalaman antara
106
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
107
108
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris yang
diketik secara miring (italic).
Nama Penulis, nama dan alamat instansi, dan e-mail corresponding author.
Abstract dalam Bahasa Inggris (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode,
dan hasil penelitian serta tidak lebih dari 250 kata. Semua ditulis dalam Bahasa
Inggris dengan cetak miring)
Artikel dalam bahasa Indonesia (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode, dan
hasil penelitian serta tidak lebih dari 250 kata).
Keywords maximum 8 words (English)
Kata kunci maksimal 8 kata (Bahasa Indonesia)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang, masalah, rumusan
masalah, rangkuman kajian teoretik, ulasan ilmiah terkait judul berdasarkan rujukan
(pustaka) terkini, dan tujuan penelitian). Dalam pendahuluan ini juga disajikan
pertanyaan ilmiah (scientific question) yang akan dijawab dalam penelitian tersebut.
Metode Penelitian (ditulis dengan jelas waktu, lokasi, bahan, dan analisis data
penelitian sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi percobaan yang
109
Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan berbahasa Inggris yang
ditulis dalam bentuk miring (italic).
Nama penulis, nama dan alamat instansi, dan e-mail address corresponding author.
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat pengantar topik utama diakhiri dengan
rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas)
Pembahasan diikuti dengan Subjudul sesuai kebutuhan
Kesimpulan (bila perlu)
Daftar Pustaka
Lampiran (jika ada)
3. Teknik Penulisan
3.1. Judul
Judul ditulis dengan huruf kapital, dicetak tebal, di tengah (center), font Times
New Roman 12, hitam. Di bawah judul naskah dalam bahasa Indonesia, diberikan
terjemahan judul dalam bahasa Inggris dengan huruf miring (italic).
Contoh:
STUDI INTERAKSI PADA HUMIN UNTUK ADSORPSI Mg (II) DAN Cd (II)
DALAM MEDIUM AIR LAUT
110
Tuti Wahyuni
Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: tuti@dkp.go.id
Jika artikel ditulis lebih dari satu orang dan alamat instansinya berbeda maka
disetiap nama penulis diikuti dengan nomor yang ditulis secara superscript
Email address yang dicantumkan hanya utk corresponding author saja.
Contoh 1:
Contoh 2:
111
ABSTRAK
Penelitian tentang studi interkasi pada humin untuk absorpsi Mg(II) dan Cd(II) dalam
medium air laut .... dan seterusnya.
Kata kunci: Adsorpsi, Humin, Magnesium, Kadmium
3.6. Bab (Chapter) dan Sub-Bab (Sub-Chapter)
Bab (Chapter) ditulis dengan urutan angka romawi, huruf kapital, dicetak tebal,
rata tepi kiri, font Times New Roman 12, hitam sedangkan sub-bab (sub-chapter) ditulis
dengan urutan angka biasa, huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, rata tepi kiri, font
Times New Roman 12, hitam. Apabila di bagian sub-bab masih ada subnya lagi, maka
penulisannya diberi nomor paralel dengan sub-bab sebelumnya diikuti titik, judul
dengan huruf kapital di awal kata, cetak tebal, rata tepi kiri, font Times New Roman 12,
hitam.
Contohnya berikut ini:
--------------------------------------------------------------I. PENDAHULUAN
II.
2.1.
2.2.
2.3.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Data
Analisis Data
112
Tabel 1. Kandungan Humin dan Asam Humat Hasil Isolasi Tanah Gambut
ctional Group
Content (cmole/kg)
Humin (1)
Humin (2)
Total Acidity
677
543
-COOH
115
199
-OH Phenolic 562
344
1= Isolated Peat Soil from Siantan Hulu, West Kalimantan.
2= Isolated Peat Soil from Siantan Hulu, West Kalimantan (Saleh, 2004)
3.10. Gambar
Gambar dapat berupa diagram, grafik, peta, foto (yang mengemukakan data) dan
lain-lain. Judul gambar diletakkan di bawah gambar, ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan di tengah (center), font Times New Roman 12. Jarak dari judul
gambar terhadap gambar itu sendiri sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk gambar
tersebut maka jaraknya dari table dalah 1 spasi. Gambar diberi nomor diikuti titik,
kemudian judul gambar (misal Gambar 1. Judul..., Gambar 2. Judul ...). Bila judul lebih
dari dua baris menggunakan spasi 1.
Contoh penulisan sebagai berikut:
113
Berk and Romly (1984) meneliti .... atau ...... (Berk and Romly, 1984).
Ali et al. (2008) menjelaskan....atau...... (Ali et al., 2008).
Menulis Daftar Pustaka
Tulis nama keluarga diikuti koma, satu spasi jarak, singkatan nama pertama atau
kedua (bila ada) diikuti titik, dua spasi jarak, tahun terbit diikuti dengan titik, dua
spasi jarak, Judul artikel/paper, nama jurnal (ditulis dengan miring) diikuti titik,
volume(edisi), titik dua, nomor halaman paper/artikel dalam jurnal.
Bila lebih dari satu baris, maka baris selanjutnya masuk dengan 9 ketukan (1,25 cm
hanging left).
Contoh:
Kiswara, W. dan L. Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk
Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Jurnal Teknologi Kelautan
Nasional: 3(1):23-36.
Mardi, L.M., T.M. Nathan, R.A. Raman, and W.L. Joran. 2008. Fish stock
assessment in Java Sea. J. Marine Science, 3(2):123-145.
Buku dengan seorang penulis atau lebih
Anastasi, A. 1997. Psychological Testing. 4th ed. MacMillan Press. New York. 234p.
Berk, R.A., B.A. Romly, and N.N. Siogu. 1984. A Guide Criterion Referenced Test
Construction. The John Hopkins University Press. Baltimore. 389p.
Artikel dalam sebuah buku/prosiding
Artikel yang terdapat dalam sebuah buku atau prosiding, ditulis dengan menulis
artikel itu terlebih dahulu lalu diikuti dengan buku atau prosiding tersebut.
Contoh:
Berk, R.A.1988. Selecting index or realibility. In: R.A. Berk (ed.), A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore. 200-217pp.
Ramdi, N.S., B.K. Roland, and D. Torres. 2010. Variabilitas konsentrasi klorofil-a di
Laut Jawa. Dalam: Nababan et al. (ed.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan
VI ISOI 2009, International Convention Center, Botani Square, Bogor, 16-17
November 2009. Hal.: 223-247.
Dua artikel dalam sebuah buku
Ditulis dengan cara seperti yang telah diuraikan, dengan tambahan huruf a, b,
c, dan seterusnya, yang ditempatkan dibelakang tahun terbit.
Contoh:
Berk, R. A. 1984a. Selecting index or realibility. In: R.A. Berk (ed). A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore, 234-345p.
114
Berk, R. A 1984b. Conducting the item analysis. In: R.A. Berk (ed). A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore. 123-134p.
Terjemahan
Cara penulisannya sama dengan cara menulis pustaka lain, kecuali judul buku
diganti dengan judul yang sudah diterjemahkan.
Di belakang judul tersebut dituliskan nama penerjemah, yang diawali dengan
nama kecilnya, yang di belakang dituliskan kata penterjemah.
Contoh:
Gagne, R.M., L.J. Briggs, and W.W. Wage. 1988. Prinsip-prinsip Desain Instruksional,
(3rd Ed.). Soeparman, K. (penterjemah). Holt, Rineahart, and Winston press.
Chicago.
Artikel dari Internet
Artikel yang diambil dari internet (website) maka cara menulisakannya sebagai
berikut: nama pengarang artikel, tahun terbitan, judul artikel, nama majalah/
artikel/jurnal/yang lain, alamat website, tanggal akses.
Contoh:
Lynch, T. 1996. DS9 Trials and Tribble Actions Review. From Psi Phi:Bradleys
Science Fiction Club, http://www.bradley.edu/compusorg/psiphi/DS9/ep/SO3r.htm.
Retrieved on 23 March 2007.
Artikel pada surat kabar
Surat kabar atau artikel dalam surat kabar, pada umumnya dicantumkan dalam
daftar pustaka dengan menulis nama penulis, tahun terbit, judul artikel, nama
surat kabar dan tanggal terbit.
Contoh:
Nababan, B. 2009. Laut Bukan Lagi Penyerap Carbon. Antara, 12 Mei 2009.
Artikel yang tidak dipublikasikan
Skripsi, tesis, dan disertasi dapat digolongkan ke dalam materi yang tidak
dipublikasikan.
Contoh:
Nababan, B. 2005. Bio-optical Variability of Surface Waters in the Northeastern Gulf
of Mexico. Dissertation. College of Marine Science. University of South
Florida. 158p.
Buku/Laporan Hasil Penelitian Tanpa Pengarang
Buku atau laporan hasil penelitian yang merupakan hasil penelitian dari institusi
atau lembaga ditulis dengan menyebutkan nama institusi atau lembaga yang
menerbitkan buku atau laporan hasil penelitian tersebut, diikuti tahun penerbitan, judul
buku, penerbit (institusi penerbit), dan diikuti jumlah halaman.
115
Contoh:
Kementerian Pendidikan Nasional. 1985. Kurikulum Sekolah Menegah Pertama (SMP).
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 219hal.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). 2008.
Prospek Perikanan Indonesia. P2O-LIPI, Jakarta. 234hal.
116