Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

THALASEMIA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Diajukan Kepada Yth:


dr. Dwi Ambarwati, Sp.A

Disusun Oleh:
Sari Murnani
20050310091/31-050-05-1-2009

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SALATIGA
2010

Telah dipresentasikan dan Disetujui pada


Tanggal

Halaman Pengesahan

THALASEMIA

Disusun Oleh :

SARI MURNANI
31-050-05-1-2009

Dokter Pembimbing,

dr. Dwi Ambarwati, Sp.A

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. H

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 5 tahun

Alamat

: krajan Suruh

Agama

: Islam

Tanggal Masuk

: 20 Juli 2010

Masuk Melalui

: Instalasi Gawat Darurat

Nama ayah

: Tn. S

Umur

: 35 tahun

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Swasta

Nama Ibu

: Ny. R

Umur

: 25 tahun

Pendidikan

: SLTP

Pekerjaan

: IRT

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : pucat
b. Riwayat Penyakit Sekarang :

2 bulan sebelum masuk rumah sakit anak mondok tampak pucat, lemas, dan demam.
pasien dirawat selama tujuh hari dan mendapat tranfusi darah 2 kantong. Kemudian
pasien kontrol ke poli anak dan dokter meminta untuk melakukan pemeriksaan
laboraturium lebih lanjut dengan hasil terlampir.
2 hari sebelum masuk rumah sakit tampak pucat dan lemas, mudah letih, anak malas
untuk beraktifitas/ bermain bersama teman , badan anak terasa nglemeng terus menerus,
kejang (-), , pusing, dada berdebar debar (+), sakit kepala (-), perut terasa penuh dan
membesar, nafsu makan kurang, makan dan minum sulit terutama sayuran dan berat
badan tidak naik- naik, BB turun (-), nyeri pada tulang (-), pilek (-), batuk (-), sesak napas
(-), diare (-), mual (-), muntah (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), keluar cairan dari
telinga (-), BAB dbn, tidak ditemukan cacing, darah (-),BAK dbn, tidak berwarna merah
atau coklat, anak gampang sekali sakit, anak terlihat kurang bergairah serta tidak selincah
anak seusianya yang normal.
Hari masuk rumah sakit keluhan anak masih menetap, anak tampak pucat dan semakin
lemas, badan panas tapi kedua kaki dingin, riwayat trauma (-),
Riwayat Penyakit Dahulu:
-

Riwayat sakit serupa 2 bulan yang lalu


Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat penyakit TB (-)
Anak mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat penyakit serupa disangkal


Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat TB disangkal
Riwayat keganasan disangkal
Riwayat penyakit kelainan darah disangkal

Ikhtisar Keluarga
55

37

36

70

34

45

40

26

Kesan: tidak ada riwayat penyakit yang diturunkan dalam keluarga


Riwayat Pribadi
Riwayat kehamilan dan persalinan
ANC : kontrol teratur di bidan sejak usia kehamilan 3 bulan, muntah muntah berlebih
(-), sakit kepala berat (-), riwayat trauma (-), minum tablet penambah darah dan vitamin
(-), minum obat obatan bebas (-), riwayat terkena raddiasi (-).
NC

: anak lahir spontan, cukup bulan ditolong oleh bidan presentasi kepala, menangis,

BBL: 3000 gram, PB: 50 cm. Tidak ada tanda tanda ikterik, sianosis pada anak
PNC

: rutn kontrol di bidan untuk timbang badan dan imunisasi.

Riwayat Makanan
0-4 bulan : ASI saja, semau bayi
4-6 bulan : ASI dan susu formula
6-9 bulan : ASI, tim saring, susu formula, buah
9-12 bulan: ASI, bubur, susu formula, buah
1 th- sekarang: ASI sampai usia 2 tahun, nasi, sayur, lauk pauk, buah
Perkembangan dan Kepandaian
Motorik Kasar
-

Tangan mengepal 1 bulan


Miring 3 bulan
Tengkurap 4 bln
Duduk 6 bln
Berdiri 12 bln
Jalan15 bln
Naik sepeda roda 3 3 tahun

Motorik Halus
-

Pegang benda 3 bln


Menjimpit 9 bln
Menggambar garis1,5 th
Menggambar lingkaran2 thn

Menggambar orang4 thn

Bicara
-

Mengoceh 3 bln
Berteriak 4 bln
Bicara 1 kata 10 bln
Bicara jelas 3 thn
Bicara lancar 4 tahun

Sosial
-

Melihat orang 1 bulan


Mengenal orang 4 bulan
Bermain 7 bulan
Bermain bersama 4 tahun
Sekolah 5 tahun

Vaksinasi
BCG: 1x usia 0 bulan
DPT: 3x usia 2,3,4 bulan
Polio: 4x usia 0,2,3,4 bulan
Campak: 1x usia 9 bulan
Hepatitis B: 3 x usia 1, 2, 6 bulan
Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur / istirahat, karena
bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat badan
anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya
Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Anak tinggal bersama kedua orang tua dirumah sendiri, dinding rumah dari beton, atap
genteng, lantai ubin, WC ada, listrik ada, air sumur dan PAM, ventilasi cukup.
Pendapatan keluarga tidak tentu, 800ribu/bulan
Anamnesis Sistem
Sistem cerebrospinal: mual (-), muntah (-), kejang (-), demam (+)

Sistem cardiovaskuler: sesak napas (-),


Sistem respiratorius: sesak napas (-), batuk (-), pilek (-)
Sistem gastrointestinal: mual (-), muntah (-), BAB cair (-), nafsu makan turun, perut
semakin membesar dan sebah.
Sistem urogenital: BAK dalam batas normal
Sistem muskuloskeletal: nyeri pada tulang (-),otot mengecil (-).
Sistem integumentum: UKK (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum

: tampak pucat

Kesadaran

: Composmentis

Keadaan Umum

: lemah

Vital Sign

: RR

Status Gizi

Kesan

: 40x/menit ; tidak dalam ; teratur, tipe costoabdominal

: 110x/menit ; isi dan tegangan cukup ; teratur

: 38,2 C

: BB

: 13 kg

TB

: 95 cm

LK: 48 cm
LD: 49 cm

: Gizi kurang

Status Generalis
Kulit

: turgor kulit baik, terlihat pucat

Kepala

: bentuk simetris, distribusi rambut merata

Wajah

: bentuk wajah simetris dan pucat, mongoloid face (-), penonjolan


dahi (-), pipi menonjol (-)

Mata

: conjunctiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)


jarak ke dua mata jauh (-)

Hidung

: tidak ditemukan adanya epistaksis, discharge (-/-), deformitas (-)


Nasal bridge (-),

Mulut

: sianosis (-), mukosa bibir basah, karies (+),

Tenggorokan

: faring hiperemis (-), tonsil membesar (-)

Telinga
Leher

: deformitas (-/-), secret (-/-), perdarahan (-/-)


: tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid maupun
limfonodi

Ekstrimitas

: tidak ditemukan adanya luka, ujung-ujung jari tampak pucat,


akral teraba dingin

Thoraks
Inspeksi

: tidak tampak adanya kelainan

Palpasi

: ketinggalan gerak saat bernapas (-), vokal fremitus (+) normal


kanan dan kiri

Perkusi

: Cor pekak
Pulmo sonor

Auskultasi

: Cor S 1 tunggal, S2 split tak konstan, ditemukan adanya bising


sistolik derajat I-II/SIC III-IV LPS kiri.
Pulmo vesikuler normal, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: dinding dada < dinding perut, sikatrik (-), buncit (+)

Auskultasi

: Bising Usus (+) normal

Perkusi

: timpani (+), redup pada kuadran kiri atas

Palpasi

: supel, hepar teraba membesar 2 cm bwh arcus costa dan 2 cm


bwh procesus xipoideus, lien membesar (S1), nyeri tekan (-)

Ekstrimitas

: spoon nail (-),


tungkai

lengan

Kanan

kiri

kanan

kiri

Gerakan

bebas

bebas

bebas

bebaas

Tonus

normal

normal

normal

normal

Trofi

eutrofi

eutrofi

eutrofi

eutrofi

Refleks fisiologis

(+)N

(+)N

(+)N

(+)N

Refleks patologis

(-)

(-)

(-)

(-)

Sensibilitas

normal

normal

normal

normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, untuk
memonitor tanda-tanda adanya infeksi, memonitor kadar Hb untuk indikasi transfusi darah.

Angka Leukosit
Angka Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Angka Trombosit

Gambaran Darah Tepi

18/05
9,38
4,19
9,5
26,8
68,7
22,7
33,0
263

22/07
6,6
2,17
4,7
14,7
67,6
21,8
31,7
166

Eritrosit

: Mikrositik hipokromik, anisopoikilositosis, ditemukan sel target,


fragmentosit

Leukosit

: kesan jumlah dan morfologi dalam batas normal

Trombosit

: kesan jumlah dan morfologi dalam batas normal

Kesan

: Anemia mikrositik hipokromik

Analisa Hb (HPLC)
Hasil
>13,0 + HbE
15,0

HbA2
HbF

Nilai rujukan
2,1- 3,1
Tidak terdeteksi

Keterangan
Usia 5-6 thn
Beta thalasemia short
program
Usia

Fraksi lain

>2

thn-usia

dewasa
-

Kadar ferritin : 2,730 nilai rujukan 7-140


Kesimpulan : dari indeks dan morfologi eritrosit HPLC(beta thalassemia short program Hbh
inklusi dan ferritin didapatkan kesan hasil analisa hemoglobin mengarah kepada pembawa sifat
thalasemia beta /HbE
V. DIAGNOSIS KERJA
Thalasemia
Problem lain: gizi kurang
DD:

Anemia heart disease


Leukemia
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi asam folat

Anemia penyakit kronis


Anemia hemolitik
Anemia aplastik
Anemia karena perdarahan
VI. PENATALAKSANAAN
Diet: tinggi kalori tinggi protein
Infuse D5% 10 tpm
Medikamentosa: paracetamol 3x 1cth
Tranfusi PRC 150 cc
Observasi TTV, tanda tanda reaksi transfusi

Follow up
Hari 2
S: nampak pucat, lemes, makan minum sulit, mimisan (-), sesak napas(-), gatal(-),
demam (-), sakit kepala (-).
O: KU: CM, lemah
CA+/+, SI-/t: 37oC
HR: 110x/min regular isi dan tekanan cukup
Thorax: simetris, ketinggalan gerak (-), sonor, SD: vesikuler, bising sistolik (+/-)

Abdomen: BU (+),hepatomegali(+), splenomegali (+) S1, NT (-)


A: thalasemia
Gizi buruk
P: Cek darah rutin,
inf D5% 10 tpm
Observasi KU dan TTV

Hari ke 3
S: demam (-), lemes (+), makan dan minum mau sedikit2, sesak napas(-), gatal(-),
sakit kepala (-), mimisan (-)
KU: CM, lemah
CA+/+, SI-/t: 37oC
HR: 110x/min regular isi dan tekanan cukup
Thorax: simetris, ketinggalan gerak (-), sonor, SD: vesikuler, bising sistolik (+/-)
Abdomen: BU (+),hepatomegali(+), splenomegali (+) S1, NT (-)
A: thalasemia
Gizi buruk
P: tranfusi PRC 150 cc
Observasi TTV, tanda tanda reaksi transfusi

Angka Leukosit
Angka Eritrosit

24/07
4,8
2,28

Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Angka Trombosit
Hari ke 4

5,9
18,2
69
21,8
32,5
193

S: demam (-), lemes (-), makan dan minum mau


KU: CM, baik
CA-/-, SI-/t: 37oC
HR: 110x/min regular isi dan tekanan cukup
Thorax: simetris, ketinggalan gerak (-), sonor, SD: vesikuler, bising sistolik (-/-)
Abdomen: BU (+),hepatomegali(+), splenomegali (+) S1, NT (-)
A: thalasemia
Gizi buruk
P: Observasi TTV, tanda tanda reaksi transfusi
Hari 5
S: demam (-), lemes (-), makan dan minum mau,
KU: CM, baik
CA-/-, SI-/t: 37oC
HR: 110x/min regular isi dan tekanan cukup
Thorax: simetris, ketinggalan gerak (-), sonor, SD: vesikuler, bising sistolik (-/-)

Abdomen: BU (+),hepatomegali(+), splenomegali (+) S1, NT (-)


A: thalasemia
Gizi buruk
P: cek Darah rutin

Angka Leukosit
Angka Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Angka Trombosit

26/07
5,0
3,77
9,1
27,9
74,0
24,1
32,6
226

Hari ke 6
S: demam (-), lemes (-), makan dan minum mau,
KU: CM, baik
CA-/-, SI-/t: 37oC
HR: 110x/min regular isi dan tekanan cukup
Thorax: simetris, ketinggalan gerak (-), sonor, SD: vesikuler, bising sistolik (-/-)
Abdomen: BU (+),hepatomegali(+), splenomegali (+) S1, NT (-)
A: thalasemia
Gizi buruk
P: BLPL

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan akibat menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Penyakit ini akan menyebabkan
perbandingan rantai globin yang jumlahnya abnormal sehingga mempengaruhi bentuk
eritrosit. Morfologi eritrosit yang abnormal akan merangsang destruksi eritrosit
(hemolisis) berlebihan yang menyebabkan eritropoesis berlebihan pada sumsum tulang.
Hal ini akan menyebabkan keluarnya normoblast-normoblast ke darah tepi dari sumsum
tulang.
B. Epidemiologi
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini,
diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia
C. Etiologi

Faktor penyebab thalasemia berupa faktor genetik (keturunan) yang berarti


diturunkan dari sifat yang dibawa orang tuanya, pada thalasemia terjadi kerusakan pada
sel darah merah yang disebabkan karena hemoglinopati yang diakibatkan oleh gangguan
produksi hemoglobin. Gangguan ini dapat berupa :
1. Gangguan pada strukur pembentukan hemoglotan (terbentuk hemoglotan
abnormal, misalnya Hb S, Hb F O.
2. Gangguan jumlah rantai hemoglobin terutama rantai Beta yang dapat juga
mempengaruhi rantai Alpha.
D. Klasifikasi.
Secara klinis thalasemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Thalasemia mayor, yang memberikan gambaran klinis yang jelas.
2. Thalasemia Minor, yang biasanya tidak memberikan gambaran klinik.
Berdasarkan kelainan struktur Hb yang terjadi, thalasemia terbagi menjadi :
1. Thalasemia Alpha
Diakibatkan oleh karena gangguan pada sintesis alpha hemoglobin.
Keadaan heterozygot dari thalasemia dapat hidup dengan normal tanpa memiliki
kelainan klinis dan hematologi normal (karier tersembunyi). Sedangkan keadaan
homozygote berakibat hidrops fetalis dan tidak dapat bertahan hidup. Namun
pada keadaan heterozygote ganda, ditemukan mikrositosis, hipokromia dan
jumlah retikuloendothel yang meninggi.
2. Thalasemia Beta
Merupakan anemia yang relatif paling sering ditemukan. Diakibatkan oleh
defek yang diturunkan dalam sintesa rantai beta hemoglobin. Thalasemia beta
terbagi atas 2 jenis :

Thalasemia Beta Mayor (Anemia Cooley)

Bentuk homozygote berupa anemia hipokrom mikrositik yang berat


dengan hemolisis di dalam sum-sum tulang, dimulai pada tahun pertama
kehidupan.

Thalasemia Beta Minor (Thalasemia Trait)


Pada bentuk heterozygote, dijumpai anemia ringan dan splenomegali.

Umumnya penderita memiliki jangka waktu hidup yang lebih lama dibandingkan
thalasemia beta mayor.
E. Patofisiologi
Secara normal Hb terdiri dari Hb A dengan 2 polipeptida rantai Alpha dan
2 rantai Beta. Sedangkan pada thalasemia ditemukan kelebihan, kekurangan, dan
tidak adanya rantai beta dalam Hb. Keadaan tersebut menyebabkan kerusakan
pada eritrosit, hemolisis, hemosiderosis dan gangguan pada organ lain seperti
jantung, limpa, dan liver.
Pada thalasemia, penurunan jumlah Hb menstimulasi sum-sum tulang
untuk memproduksi sel darah merah yang lebih banyak, kompensani
pembentukan sel-sel darah merah yang berlebihan scara kronik serta cepatnya
destruksi sel darah merah yang akan menyebabkan ketidak adekutan sirkulasi Hb.
Dan sum-sum yang telah bekerja scara berlebihan akan menjadi tipis, mudah
pecah dan rapuh.
Keadan kulit pucat dan kekuningan, jika anak telah sering mendapatkan
transfusi darah maka kulit akan menjadi kelabu atau kecoklatan serupa dengan
besi akibat penimbunan besi (hemosiderosis) dalam tubuh. Selain itu, juga akan
menyebabkan gangguan fungsi alat-alat tersebut (hemakromatosis), pada limpa
dan hati akan terjadi pembesaran.
F. Tanda dan Gejala
1. Anemia yang ditandai dengan pucat lemah
2. Letargie

3. Anorexia
4. Cyanosis
5. Penebalan tulang kranial, menipisnya tulang kartilago
6. Splenomegali, kadang juga ditemukan hepatomegali
7. Kadang ditemukan wajah mongoloid seperti katak
8. Perkembangan fisik anak tidak sesuai dengan umur
9. Berat badan kurang dari batas normal
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah

Eritrocyt

; mikroskopis, hipokromia, anisitosis, poliklositosis, bentuk

erotrocyt yang immature, sel target

Gambar 1: darah tepi thalasemia menunjukan adanya sel target

Besi serum meningkat

Penurunan Hb dan Hk

Trombosit normal/tinggi

2. Elektroforesis hemoglobin

: ditemukan peningkatan Hb 1 dan HB A2

3. Foto Rontgen pada tulang ditemukan hiperplasia sum-sum tulang yang


berlebihan.
G. Penatalaksanaan
I.

Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan
minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah. Iron chelating
agent (desferoksamin) mengatasi kelebihan Fe dalam jaringan tubuh

Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk


meningkatkan efek kelasi besi.

Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.

Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang


umur sel darah merah.

II.

Bedah

Splenektomi, dengan indikasi:

limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan


peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur

hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau


kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.

III.Suportif

Transfusi darah :
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15g/dl.
Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tualang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red
cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl atau
PRC = (Hb yang diinginkan (12) Hb sekarang) x 4 x Berat Badan (kg).
Maksimal pemberian PRC 10-15 ml/kgBB/hr
Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung atau Hb < 5 gr/dl,
maka dosis untuk satu kali pemberian tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB dengan
kecepatan tidak lebih dari 2 ml/kgBB/jam. Sambil menunggu transfusi darah,
diberikan O2 dengan kecepatan 2-3 L/mt.
Umum :
Makanan gizi seimbang
Dietetik : makanan, obat yang banyak mengandung zat besi sebaiknya
dihindarkan..
Pemantauan
I.

Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi
sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.

Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar
bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.

II.Tumbuh Kembang

Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, karenanya diperlukan
perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita.
III. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung
(gagal

jantung),

hepar

(gagal

hepar),

gangguan

endokrin

(diabetes

melitus,

hipoparatiroid) dan fraktur patologis.


H. Komplikasi
1. Fraktur patologi
2. Gagal jantung
3. Sirosis Hepatis
4. Splenomegali dan Hepatomegali
5. Diabetes Melitus
6. Kolelitiasis
7. Disfungsi organ
8. Gangguan tumbuh kembang
I. Transfusi pada Thalassemia
Pasien thalassemia bergantung pada transfusi untuk mempertahankan kadar
hemoglobin (Hb) yang cukup bagi oksigenasi jaringan.6 Terapi diberikan secara teratur
untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 gr/dL.8 Regimen ini mempunyai keuntungan
klinis yang nyata, sebab memungkinkan pasien beraktifitas normal dengan nyaman,
mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan
perubahan tulang-tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis.8

Meskipun begitu, tindakan menaikkan kadar Hb hingga melebihi 15 gr/dL tidak


dianjurkan.6
Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada kadar Hb < 6 gr/dL
dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa, dan atau ekspansi sumsum tulang.
Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin
hepatitis B diberikan, dan fenotip sel darah merah secara lengkap ditentukan, sehingga
alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi.7 Transfusi dengan dosis 15-20 mL/kgBB
Packed Red Cells (PRC) biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu.8
Pada pasien thalassemia juga diberikan vitamin C, vitamin E, dan asam folat.
Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari bertujuan untuk meningkatkan ekskresi besi dan
hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Asam folat 2-5 mg/hari diberikan untuk
memenuhi kebutuhan yang meningkat, dan vitamin E 200-400 IU/hari bertujuan untuk
memperpanjang umur sel darah merah. Pemeriksaan kadar feritin juga perlu dilakukan
setiap 1-3 bulan untuk memantau kadar besi dalam darah.
J. Dampak Transfusi
a. Reaksi Tipe Cepat
Hemolisis Intravaskular Akut. Terjadi karena transfusi sel darah merah yang tidak
kompatibel, sehingga terjadi hemolisis. Hemolisis tersebut disebabkan oleh antibodi yang
terdapat di dalam plasma darah pasien. Hal ini sering terjadi karena kesalahan penulisan
formulir permintaan darah, pemberian label yang salah pada tabung sampel yang dikirim
ke bank darah, dan pengecekan darah yang kurang memadai terhadap identitas pasien
sebelum transfusi dimulai.
Pasien thalassemia memiliki risiko lebih besar untuk menerima darah yang salah
jika sering berganti rumah sakit.Pada pasien yang sadar, tanda dan gejala biasanya
muncul dalam beberapa menit sesudah transfusi dimulai. Kadang-kadang tanda dan
gejala tersebut timbul pada pemberian < 10 mL darah. Pada pasien yang tidak sadar,
keadaan hipotensi dan perdarahan yang tidak terkendali akibat
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) mungkin merupakan satu-satunya
tanda yang menunjukkan transfusi yang tidak kompatibel.

Kontaminasi Bakteri dan Syok Septik. Tanda-tandanya biasanya muncul dengan


cepat sesudah transfusi dimulai, meskipun kemunculannya bisa saja tertunda selama
beberapa jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi yang onsetnya
mendadak, menggigil, dan hipotensi. Tindakan suportif yang segera dan pemberian
antibiotik dosis tinggi intravena sangat diperlukan.
Overload Cairan. Dapat menimbulkan gagal jantung dan edema paru. Overload
cairan dapat terjadi karena terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, pemberian transfusi
(infus) terlalu cepat, atau fungsi ginjal terganggu. Keadaan ini terutama terjadi pada
pasien dengan anemia kronis berat atau pasien dengan penyakit kardiovaskular.6
Reaksi Anafilaksis. Terjadi beberapa menit sesudah transfusi dimulai dan ditandai
oleh kolaps kardiovaskular, gawat nafas, dan tanpa febris. Risiko terjadinya reaksi
anafilaksis akan meningkat pada pemberian transfusi yang cepat, khususnya bila
digunakan Fresh Frozen Plasma (FFP) sebagai cairan penukar dalam terapi pertukaran
plasma. Sitokin plasma dapat menjadi salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada beberapa resipien tertentu. Defisiensi IgA pada resipien merupakan
kelainan langka yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis yang sangat berat. Keadaan
ini dapat ditimbulkan oleh setiap produk darah.
Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI). Biasanya disebabkan oleh
antinetrofil spesifik atau anti-HLA antibodi dalam plasma donor. Kegagalan faal paru
yang terjadi dengan cepat biasanya muncul dalam waktu 1-4 jam sesudah transfuse
dimulai, terlihat gambaran opasitas yang difus pada rontgen toraks. Gejala TRALI berupa
dispnoe, takikardia, febris, dan hipotensi. Penatalaksanaannya meliputi pemberian
oksigen, kortikosteroid, diuretik, dan jika perlu digunakan ventilator.6,10 Pedoman untuk
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi transfusi akut (tipe cepat) dapat dilihat
dalam tabel 2 dan 3 berikut ini.

Tabel 2. Penegakan Diagnosis Reaksi Transfusi Tipe Cepat


KATEGORI I : REAKSI RINGAN
Tanda

Urtikaria

Ruam

Gejala

Hipersensitifitas

Pruritus

Kemungkinan Penyebab

KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT


Tanda

Gejala

Kemungkinan Penyebab

Flushing

Kecemasan

Hipersensitifitas

Urtikaria

Pruritus

berat

Menggigil

Palpitasi

Reaksi

Febris

Dispnoe ringan

nonhemolitik:

Gelisah

Sakit kepala

Takikardia

transfusi

Antibodi

sedangfebris
terhadap

leukosit, trombosit
- Antibodi terhadap protein
(IgA)
Kemungkinan kontaminasi
dgn bakteri

KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA


Tanda

Gejala

Kemungkinan Penyebab

Menggigil

Kecemasan

Hemolisis

Febris

Nyeri dada

intravascular

Gelisah

Nyeri di tempat transfusi

Kontaminasi bakteri / syok

Hipotensi (TD

Sesak nafas

septik

20%)

Nyeri pinggang / punggung

Overload cairan

Hemoglobinuria

Sakit kepala

Anafilaksis

DIC

Dispnoe

TRALI

akut

Tabel 3. Penatalaksanaan Reaksi Transfusi Tipe Cepat


KATEGORI I : REAKSI RINGAN
Perlambat transfusi.
Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Jika dalam 30 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda/gejalanya
memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 2.
KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT
Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus tetap terbuka
dengan pemberian salin normal.
Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Antipiretik oral/rektal (misalnya parasetamol 10 mg/kgBB). Hindari aspirin pada
pasien dengan trombositopenia.
Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala anafilaksis (misalnya stridor,
bronkospasme).
Kumpulkan urin 24 jam untuk pemeriksaan hemolisis.
Jika terjadi perbaikan klinis, mulai lagi transfusi secara perlahan dengan unit darah
yang baru.
Jika dalam 15 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda/gejalanya
memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 3.
KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA
Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus tetap terbuka
dengan pemberian salin normal.
Infus salin normal (20-30 mL/kgBB) untuk mempertahankan TD sistolik. Jika ada
hipotensi, berikan infus tersebut selama 5 menit dan tinggikan kedua tungkai pasien.
Pertahankan saluran nafas, beri oksigen aliran tinggi lewat masker oksigen.
Adrenalin (larutan 1:1000) IM 0.01 mg/kgBB.
Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala anafilaksis (misalnya stridor,
bronkospasme).
Diuretik IV (misalnya furosemid 1 mg/kgBB).
Periksa urin untuk menemukan tanda hemoglobinuria.
Kumpulkan urin 24 jam untuk memantau keseimbangan cairan.

Perhatikan perdarahan/luka di tempat tusukan. Jika terdapat bukti klinis/laboratorium


yang menunjukkan adanya DIC, berikan:
_ Konsentrat trombosit (dosis dewasa 5-6 unit), dan
_ Kriopresipitat (dosis dewasa 12 unit) atau FFP (dosis dewasa 3 unit)
Jika masih hipotensi, ulang pemberian infus salin normal (20-30 mL/kgBB) dalam 5
menit. Berikan preparat inotropik jika tersedia.
Jika terjadi gagal ginjal akut (K+, ureum, kreatinin ):
_ Pertahankan keseimbangan cairan secara akurat.
_ Ulangi suntikan diuretik.
_ Berikan dopamin jika tersedia.
_ Rujuk ke dokter spesialis jika diperlukan dialisis renal.
Jika curiga bakteremia (menggigil, febris, kolaps tanda ada bukti reaksi hemolitik),
berikan antibiotik broad spectrum IV.
b. Reaksi Tipe Lambat
Delayed Haemolytic Transfusion Reactions. Gejala timbul 5-10 hari sesudah
transfusi berupa febris, anemia, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya
tidak dilakukan terapi. Reaksi transfusi hemolitik lambat yang berat disertai dengan
gejala syok, gagal ginjal, serta DIC yang mengancam jiwa pasien merupakan kejadian
yang langka. Jika terjadi hipotensi dan oligouria, maka dilakukan terapi seperti keadaan
hemolisis intravaskular akut.
Purpura Pasca Transfusi. Komplikasi yang jarang terjadi, tetapi berakibat fatal
pada tindakan transfusi sel darah merah atau konsentrat trombosit. Penyebabnya adalah
adanya antibodi terhadap antigen spesifik-trombosit dalam darah resipien. Paling banyak
dijumpai pada pasien wanita. Gejala berupa adanya tanda perdarahan, dan
trombositopenia akut berat (< 100.000/mm3) yang terjadi 5-10 hari sesudah transfusi.8
Penatalaksanaan:
1.

Kortikosteroid dosis tinggi.

2.

Imunoglobulin intravena 2 gr/kgBB atau 0.4 gr/kgBB selama 5 hari.

3.

Terapi pertukaran plasma.

4.

Pantau jumlah trombosit resipien (N: 150.000-440.000/mm3).

5.

Sebaiknya diberikan konsentrat trombosit dengan golongan ABO yang


sama seperti golongan darah pasien. Berikanlah konsentrat trombosit yang
tidak

mengandung

antigen

spesifik-trombosit.

Pemulihan

jumlah

trombosit biasanya terjadi sesudah 2-4 minggu.


Graft vs Host Disease (GVHD). Terjadi pada resipien cangkokan sumsum
tulang yang mengalami imunodefisiensi, dan pada pasien imunokompeten yang mendapat
transfusi darah dari donor yang tipe jaringannya kompatibel dengan pasien tersebut dan
biasanya memiliki hubungan darah. Secara tipikal terjadi 10- 12 hari sesudah transfusi,
ditandai dengan adanya febris, ruam dan deskuamasi kulit, diare, hepatitis, serta
pansitopenia. Terapi bersifat suportif dan tidak ada yang spesifik. Sebagai pencegahan,
dilakukan terapi sinar pada komponen sel darah untuk menghentikan proliferasi
limfosit.
K. Dampak Transfusi Berulang pada Thalassemia
a. Hemosiderosis
Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang yang tidak dapat
dihindari, karena dalam setiap 500 mL darah dibawa 200 mg besi ke jaringan.8 Pada
individu normal, semua besi plasma terikat pada transferin. Kapasitas transferin untuk
mengikat besi terbatas sehingga bila terjadi kelebihan besi seperti pada pasien
thalassemia, seluruh transferin akan berada dalam keadaan tersaturasi. Akibatnya besi
akan berada dalam plasma dalam bentuk tidak terikat, atau disebut juga Non-Transferrin
Bound Plasma Iron (NTBI). NTBI akan menyebabkan pembentukan radikal bebas
hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membrane in vitro.
Besi yang berlebihan dalam tubuh terbanyak berakumulasi dalam hati, namun
efek paling fatal disebabkan oleh akumulasi di jantung.3 Siderosis miokardium
merupakan faktor penting yang ikut berperan pada kematian awal penderita.7 Gejala
kelainan jantung lain yang ditemui adalah perikarditis dan gagal jantung kongestif. Gagal
jantung yang berkelanjutan akan menyebabkan blok atrioventrikular sehingga dapat
menyebabkan blok jantung total atau kanan atau kiri. Juga ditemukan aritmia atrial pada

setengah pasien thalassemia yang mendapat transfusi teratur tanpa terapi pengikatan besi.
Pada pasien-pasien yang lebih tua, penyakit hati adalah penyebab kematian yang umum,
dan sering diperberat dengan infeksi virus hepatitis C. Kelainan fungsi endokrin juga
ditemukan, dimana kelebihan besi di hipofisis anterior dapat menyebabkan gangguan
maturasi seksual. Di RSCM, Batubara dkk menemukan sebanyak 56% pasien thalassemia
mengalami hambatan pubertas. Lebih jauh lagi, dapat terjadi amenore sekunder pada
seperempat pasien yang berusia > 15 tahun, diabetes mellitus pada 5-10% pasien dewasa,
serta kerusakan kelenjar tiroid, paratiroid, dan adrenal. Selain itu, kelebihan besi juga
telah dihubungkan dengan penurunan densitas tulang, hipertensi pulmonal, dan
penurunan fungsi paru. Kadar kelebihan besi dalam tubuh dapat diukur dengan
melakukan berbagai pemeriksaan penunjang, baik pengukuran secara langsung maupun
tidak langsung.
1. TIDAK LANGSUNG
Konsentrasi feritin serum/plasma
Saturasi transferin serum
Tes deferoksamin 24 jam
Pencitraan (CT scan hati, MRI hati, MRI jantung, MRI hipofisis anterior)
Evaluasi fungsi organ
2. LANGSUNG
Biopsi jumlah besi di hati dan jantung
Terapi kelasi besi secara umum harus dimulai setelah kadar feritin serum
mencapai 1000 g/L, yaitu kira-kira 10-20 kali transfusi ( 1 tahun). Olivieri dkk
menyarankan pemeriksaan kadar besi hati dengan biopsi hati sebelum memulai
terapi kelasi besi. Terapi hanya dimulai bila konsentrasi besi hati minimal 11mg/g
berat kering hati. Apabila biopsi tidak mungkin dilakukan, terapi kelasi besi dapat
dimulai pada pasien usia < 3 tahun yang sudah mendapat transfusi teratur selama
1 tahun.3 Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan dicegah dengan pemberian
parenteral obat pengkelasi esi (iron chelating drugs).8 Obat pengkelasi besi yang
dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan deferasirox.3

1. Deferoksamin (DFO). Dosis standar adalah 40 mg/kgBB melalui infuse


subkutan dalam 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil selama 5
atau 6 malam/minggu. Lokasi infus yang umum adalah di abdomen, daerah
deltoid, maupun paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini dapat
mempertahankan kadar feritin serum < 1000 g/L. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah toksisitas retina, pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan,
reaksi lokal dan infeksi.3,7,8
2. Deferipron (L1). Terapi standar biasanya menggunakan dosis 75 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Kelebihan deferipron disbanding deferoksamin adalah efek
proteksinya terhadap jantung. Anderson dkk menemukan bahwa pasien
thalassemia yang menggunakan deferipron memiliki insiden penyakit jantung dan
kandungan besi jantung yang lebih rendah daripada mereka yang menggunakan
deferoksamin. Meskipun begitu, masih terdapat kontroversi mengenai keamanan
dan toksisitas deferipron sebab deferipron dilaporkan dapat menyebabkan
agranulositosis, artralgia, kelainan imunologi, dan fibrosis hati. Saat ini deferipron
tidak tersedia lagi di Amerika Serikat.3,7
3. Deferasirox (ICL-670). Deferasirox adalah obat kelasi besi oral yang baru saja
mendapatkan izin pemasaran di Amerika Serikat pada bulan November 2005.
Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-30 mg/kgBB/hari dosis tunggal.
Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali lebih besar dibanding deferoksamin
dalam memobilisasi besi jaringan hepatoseluler, dan efektif dalam mengatasi
hepatotoksisitas. Efek samping yang mungkin terjadi adalah sakit kepala, mual,
diare, dan ruam kulit.
4. Terapi Kombinasi. Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan maupun
sekuensial. Terapi kombinasi secara simultan adalah pemberian deferoksamin 2-6
hari seminggu dan deferipron setiap hari selama 6-12 bulan. Terapi kombinasi
sekuensial adalah pemberian deferipron oral 75 mg/kgBB selama 4 hari diikuti
deferoksamin subkutan 40 mg/kgBB selama 2 hari setiap minggunya. Terapi
kombinasi diharapkan dapat menurunkan dosis masing-masing obat, sehingga
menurunkan toksisitas obat namun tetap menjaga efektifitas kelasi.3

b. Infeksi Virus Hepatitis


Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab kematian tersering pada pasien
thalassemia di atas 15 tahun. Kerusakan hepar yang disebabkan besi, yang berhubungan
dengan komplikasi sekunder dari transfusi dan infeksi virus hepatitis C merupakan
penyebab tersering hepatitis pada anak dengan thalassemia.7
c. Infeksi Yersinia
Infeksi Yersinia enterocolitica pertama kali ditemukan pada 2 pasien thalassemia
pada tahun 1970. Infeksi harus dicurigai pada pasien dengan kelebihan besi yang
menderita panas tinggi dan fokus infeksi tidak ditemukan, seringkali disertai dengan
diare. Tanda-tanda kontaminasi bakteri dan syok septik biasanya muncul dengan cepat
sesudah transfusi dimulai, kendati kemunculannya bisa saja tertunda selama beberapa
jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi yang onsetnya mendadak,
menggigil, dan hipotensi. Meskipun pada kultur darah tidak ditemukan adanya kuman
Yersinia enterocolitica, terapi Gentamisin intravena dan Trimetoprim + Sulfametoksazol
oral sebaiknya diberikan segera dan diteruskan sedikitnya 8 hari.6,7
d. Hipersplenisme
Sebagian besar pasien thalassemia mayor akan mengalami pembesaran limpa
yang

bermakna

yang

disebabkan

oleh

eritropoeisis

ekstramedular. Meskipun

hipersplenisme kadang-kadang dapat dihindari dengan transfusi lebih awal dan teratur,
namun banyak pasien yang memerlukan splenektomi. Indikasi terpenting untuk
splenektomi adalah meningkatnya kebutuhan transfusi, yang menunjukkan unsur
hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 mL/kg PRC/tahun biasanya
merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk mempertimbangkan
splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%
pada pasien yang indeks transfusinya melebihi 200 mL/kgBB/tahun. Karena adanya
risiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu
sebelum

dilakukan

splenektomi,

pasien

sebaiknya

divaksinasi

dengan

vaksin

pneumococcal dan Haemophilus influenzae tipe B dan sehari setelah operasi diberi
penisilin profilaksis.

BAB III
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis pada pasien ini didapatkan dari anamnesis yang menunjukan
adanya tanda- tanda anemia yaitu tampak pucat dan lemas, mudah letih, anak malas
untuk beraktifitas/ bermain bersama teman , badan anak terasa nglemeng terus menerus,
pusing, dada berdebar debar, perut terasa penuh dan membesar, nafsu makan kurang,
makan dan minum sulit terutama sayuran dan berat badan tidak naik- naik, anak gampang
sekali sakit Anak terlihat kurang bergairah serta tidak selincah anak seusianya yang
normal. Pada pemeriksaan fisik didapatka anak tampak kurus, pertumbuhan fisiknya terlalu
kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari normal, ukuran fisik anak terlihat lebih
kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, anemis, lemas, adanya bising
sistolik, splenomegali sebesar 1 shuffner, hepatomegali sebesar 2 ibu jari di bawah arcus
costarum. Diangnosis thalasemia juga didukung dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan
yaitu pemeriksaan darah rutin dan gambaran darah tepi.Dari darah rutin didapatkan anemia yang
berat dan dari gambaran darah tepi didapatkan adanya sel target, anemia mikrositik hipokromik,
dengan jumlah leukosit dan trombosit normal yang merupakan gambaran darah tepi dari
thalasemia. Dilakukan pemeriksaan analisis Hb (HPLC) pemeriksaan uji saring thalasemia untuk
menentukan jenis thalasemia yang diderita pasien ini dan didapatkan hasil thalasemia pembawa
sifat. Pemeriksaan kadar feritin juga harus dilakukan untuk menentukan perlu tidaknya pasien
mendapatkan terapi kelasi besi. Pada pasien ini belum didapatkan peningkatan kadar feritin
sehingga pasien belum mendapatkan terapi kelasi besi.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah penatalaksanaan suportif yaitu dengan


tranfusi darah 150cc/hari sebanyak 2 kali untuk mencapai Hb 9,1. Bising jantung yang
terjadi merupakan bising yang fisiologis yang disebabkan oleh kondisi anemia itu sendiri
sehingga terjadi peningkatan pompa jantung untuk memenuhi sirkulasi diseluruh tubuh.
Bising ini akan hilang seiring dengan perbaikan anemia.hal ini terbukti dari hasil
pemeriksaan auskultasi setelah dilakukan tansfusi dan anemia membaik. Perlu
diperhatikan dalam memberikan transfuse pada pasien ini apakah ada reaksi transfuse
yang terjadi. Perlu dilakukan pemeriksaan kadar feritin untuk menentukan apakah pasien
memerlukan terapi kelasi besi.

Prognosis pasien thalasemia bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari
thalassemia. pada pasien ini perlu dilakukan transfusi untuk mempertahankan Hb antara 8
g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15g/dl. Transfusi biasanya dilakukan tiap 3 5
minggu untuk mempertahankan kadar hadar Hb yang optimal. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi,
dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Edisi
ke-15. Jakarta : EGC ; 1996 Erythropoesis. November 4, 2009 (cited
December 6, 2009) Available at http://en.wikipedia.org/wiki/
2. Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
3. Erythropoiesis Hemoglobine. December 9, 2009 (cited December 12, 2009).
Available at http://en.wikipedia.org/wiki/
4. Hay WW, Levin MJ. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th
Edition. New York : Lange Medical Books/ McGraw Hill Publishing
Division ; 2007
5. Permono B, Sutaryo, dkk. Buku Ajar Hemotologi-Onkologi Anak Cetakan
Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2006
6. Sacher, Ronald A; Richard A.M. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: EGC.
7. Yaish HM. Thalassemia. July 29, 2009 (cited December 5, 2009). Available
at : http://emedicine.medscape.com/article/958850-followup

Anda mungkin juga menyukai