Ika Nursanti
sa3_44_ikanursanti@yahoo.com
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the effect of partially and simultaneously of variable registered PKP,
SPT Masa PPN reported, SSP PPN (means and concrete manifestation of the self assessment system) and STP
PPN on PPN revenue, as well as to determine which variables that have the most dominant influences on the
acceptance of Value Added Tax in KPP Surabaya Gubeng period from 2009 to 2011. Results of this research
showed that: (1) variables PKP, SPT Masa PPN, SSP PPN and STP PPN (X1 to X4) simultaneously have a
significant effect on the dependent variable PPN (Y); (2) variables PKP, SSP PPN and PPN (X1, X3, and X4)
which have an influence on the dependent variable PPN (Y), except for variable SPT Masa PPN (X2); and (3)
variable that has the most dominant influence on PPN revenues are variable PKP (X1).
Keywords: PKP registered, SPT Masa PPN, SSP PPN, STP PPN, PPN Receipt.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh secara simultan maupun secara parsial variabel
jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, SSP PPN (sarana dan wujud nyata dari self
assessment system) dan STP PPN terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai, serta untuk
mengetahui variabel manakah yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap penerimaan
Pajak Pertambahan Nilai di KPP Pratama Surabaya Gubeng periode tahun 2009 sampai dengan tahun
2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) variabel PKP, SPT Masa PPN, SSP PPN dan STP
PPN (X1 sampai dengan X4) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel PPN (Y); (2)
variabel PKP, SSP PPN dan STP PPN (X1, X3, dan X4) yang memiliki pengaruh terhadap variabel
dependen PPN (Y), kecuali varibel SPT Masa PPN (X2); (3) variabel yang memiliki pengaruh paling
dominan terhadap penerimaan PPN adalah variabel PKP (X1).
Kata kunci: PKP terdaftar, SPT Masa PPN, SSP PPN, STP PPN, Penerimaan PPN.
PENDAHULUAN
Indonesia menganut tiga sistem dalam pemungutan pajak yaitu Official Assessment
System, Self Assessment System dan Withholding System. Sistem pengenaan pajak Self
Assessment System memiliki peranan yang lebih dominan karena dapat diterapkan pada
sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan.
Sistem self assessment umumnya diterapkan pada jenis pajak yang dimana wajib pajak
tersebut cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan
utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini dikenal sebagai 5 M, yakni mendaftarkan diri di KPP
(Kantor Pelayanan Pajak) untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak),
menghitung dan memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak
122
tersebut ke Bank Presepsi / Kantor Giro Pos dan melaporkan penyetoran tersebut kepada
Direktur Jendral Pajak, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang
melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. Peranan fiskus dalam
hal ini yakni mengamati dan mengawasi pelaksanaannya dan melakukan pemeriksaan dan
mengenakan sanksi perpajakan sesuai peraturan perundangan perpajakan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip perpajakan di Indonesia yang menganut self assessment system,
maka setiap wajib pajak harus menghitung dan menyetor pajaknya sendiri tanpa menunggu
Surat Ketetapan Pajak dari Direktur Jenderal Pajak. Prinsip tentang membayar pajak sendiri
tanpa menguntungkan adanya ketetapan pajak ini sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakn sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 dan berdasarkan UU RI No. 28 Tahun 2007 pasal 2
ayat 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan, disebutkan bahwa setiap wajib pajak
yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktoral Jendral
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak
dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Lalu pada ayat 2 juga disebutkan
bahwa setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Prayogo (2011) yang berjudul
Pengaruh Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak yang bertujuan melakukan kajian
terhadap penerapan Self Assessment System pada KPP Batu Malang, sehingga yang berbeda
dalam penelitian ini adalah objek penelitian yang digunakan. Sedangkan menurut Ginting
(2006:11) dalam jurnalnya menggunakan variabel SPT/SKPKB/SKPKBT, Surat Paksa, dan
Surat Teguran untuk mengetahui tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar
tunggakan perpajakannya. Dan Uppal (2005:2) menggunakan variabel wajib pajak terdaftar
dalam jurnalnya menjelaskan kriteria wajib pajak yang mendaftarkan diri sebagai wajib
pajak namun menjalankan kewajibanya tidak sesuai dengan sistem self assessment itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah PKP yang terdaftar, SPT masa PPN, SSP
PPN (sarana dan wujud nyata dari self assessment system) dan STP PPN berpengaruh
terhadap penerimaan PPN secara simultan dan parsial, serta variabel manakah yang
memiliki pengaruh paling dominan.
TINJAUAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
Pengertian Pajak
Penghasilan Negara berasal dari rakyatnya yang diperoleh melalui pemungutan pajak
dan atau berasal dari hasil kekayaan alam yang berada di Negara tersebut. Dua sumber
tersebut merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada Negara. Yang
dimana penghasilan tersebut untuk membiayai kepentingan umum yang mencakup
kepentingan pribadi individu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan, kesejahteraan, dan
sebagainya. Jadi, dimana ada kepentingan masyarakat, disana timbul pungutan pajak
sehingga pajak merupakan senyawa dengan kepentingan umum.
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum,
yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Suandy,
2011 : 9).
123
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi (Suandy, 2011:11) adalah sebagai
berikut: (a) pajak peralihan kekayaan dari orang / badan ke pemerintah; (b) pajak dipungut
berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta pelaksanaannya, sehingga dapat
dipaksakan; (c) dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan pemerintah; (e) pajak dipungut oleh Negara baik
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; (f) pajak diperuntukkan bagi
pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment; (g) pajak dapat digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah; dan (h) pajak dapat dipungut
secara langsung atau tidak langsung.
Karena pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang
secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari rakyat (melalui DPR). Hal ini sesuai dengan pasal 23 ayat (2) UUD 1945,
yaitu Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.
Fungsi Pajak
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgter dan fungsi regulerend (mengatur),
namun dalam perkembangannya, fungsi pajak tersebut dapat dikembangkan dan
ditambahkan dua fungsi lagi, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi (Ilyas dan
Burton, 2010:12), yaitu :
Fungsi budgeter. Pajak mempunyai fungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan
untuk memasukkan dana sebesar-besarnya kedalam kas Negara. Mengumpulkan uang
pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada
waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara, yaitu
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan
digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
Fungsi regurelend. Dalam hal ini pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan
masyarakat kearah yang di kehendaki pemerintah. Pajak-pajak tersebut akan digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diharapkan oleh Pemerintah.
Kebijakan pajak sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan yang
bersamaan sacara langsung, menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public
investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving kearah
sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk mencegah pengeluaranpengeluaran yang menghambat pembangunan. Misalnya, untuk mendorong kegiatan
ekspor, diberikan kemudahan dan keringanan pajak.
Fungsi redistribusi. Fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan
keadilan dalam masyarakat. Dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih
besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil
kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit
Fungsi demokrasi. Merupakan fungsi dari system gotong-royong, termasuk kegiatan
pemerintahan dan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Pajak berasal dari
masyarakat, yaitu dibayar masyarakat sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pajak yang dipungut tersebut digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat melalui
penyediaan barang dan jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Asas Pemungutan Pajak
Dalam buku An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations yang ditulis
oleh Adam Smith tentang asas-asas pemungutan pajak (Suandy, 2011:27), yaitu :
124
125
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
sistem ini adalah wewenang menentukan besarnya pajak terutang berada pada pihak ketiga
selain fiskus dan wajib pajak.
Sistem Self assessment
Self Assessment tercantum dalam pasal 12 UU KUP yang berbunyi : (1) setiap Wajib
Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak;
(2) jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undang
perpajakan; dan (3) apabila Direktur Jendral Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak
yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
benar, maka Direktur Jendral Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.
Dari bunyi Pasal 12 UU KUP tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penghitungan
pajak yang terutang (untuk Pajak Penghasilan {PPh}, PPNn danPPnBM), pembayarannya ke
Kas Negara, dan pelaporannya diserahkan sepenuhnya kepada Wajib Pajak serta tidak didasarkan
pada SKP yang diterbitkan administrasi pajak. Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang
dilakukan WP tersebut dianggap benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan) sepanjang Dirjen Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. SKP
hanya diterbitkan oleh fiskus apabila perhitungan wajib pajak tersebut tidak benar
berdasarkan pada suatu pembuktian oleh fiskus.
Sarana dalam perhitungan, pelaporan, serta penyetoran pajak antara lain adalah : (a)
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
(b) Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Meentri Keuangan; (c) Surat
Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda; (d) Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; (e) Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam menerapkan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak,
Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga; dan (f) Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap
surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
Penagihan pajak dalam sistem self assessment dilaksanakan sedini mungkin sejak
timbulnya utang pajak dan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak.
Penagihan Pasif. Penagihan pajak pasif lebih diarahkan untuk mengingatkan Wajib
Pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Penagihan pajak pasif bukan hanya
ditunjukkan untuk menagih pajak itu sendiri, melainkan juga untuk memberikan
126
127
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
sebesar 10% (sepuluh persen), sedangkan DPP dapat berupa nilai impor, harga beli (satuan
dengn harga jual bagi penjual), nilai penggantian, atau nilai lain.
Subyek PPN
Subyek Pajak disebut Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah: (a) yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dapat dikenakan PPN adalah
Pengusaha Kena Pajak; (b) yang mengekspor Barang Kena Pajak yang dapat dikenakan PPN
adalah Pengusaha Kena Pajak; (c) yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan (d) bentuk kerjasama
operasi yang apabila menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dapat
dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak.
Obyek PPN
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berujud, yang hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berujud yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau
fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan lain dan atas
petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang. Dikatakan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak apabila: (a) barang dan atau Jasa yang
diserahkan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; (b) penyerahan dilakukan
di dalam Daerah Pabean; dan (c) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
Pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan.
Tarif PPN
Tarif PPN menurut Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2009, Tarif PPN sebesar 10% (sepuluh
persen) dikenakan atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan
JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean
didalam daerah pabean.
Berdasarkan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk
pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah
5% (lima persen)dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap menggunakan tariff
tunggal. Perubahan tarif dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Tarif 0% (nol persen) dikenakan atas ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak
berwujud/ekspor jasa kena pajak. Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan
dari pengenaan PPN. Dengan demikian pajak yang telah dibayar untuk perolehan barang
kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan.
Saat terutang PPN
Menurut Valentina dan Suryo (2006) terutangnya pajak terjadi pada saat : (a)
Penyerahan Barang Kena Pajak; (b) Impor Barang Kena Pajak; (c) Penyerahan Jasa Kena
Pajak, (d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean: dalam hal orang pribadi
atau badan memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean didalam daerah
pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi dan badan tersebut mulai
129
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
memanfaatkan BKP tidak berwujud tersebut didalam daerah pabean. Hal itu dihubungkan
dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan BKP berwujudud dan JKP tersebut diluar
daerah pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebgai pengusaha kena pajak. Oleh karena
itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat pemanfaatan; (e) Pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan (f) Ekspor Barang Kena Pajak.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak, dan atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak dari luar daerah Pabean, maka saat terutangnya
pajak adalah pada saat pembayaran diterima.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan jumlah tertentu sebagai dasar untuk
menghitung PPN. Dasar Pengenaan Pajak terdiri atas harga jual, nilai penggantian, nilai
ekspor, nilai impor, dan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (Resmi, 2012:25).
Harga Jual. Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut berdasarkan Undang-Undang PPN dari potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak. Harga jual merupakan DPP untuk penyerahan BKP. Harga jual dapat diperoleh
dengan menjumlahkan harga pembelian bahan baku, bahan pembantu, alat-alat pelengkap
lainnya ditambah dengan biaya-biaya seperti penyusutan barang modal, berupa pinjaman
dari bank, gaji dan upah tenaga kerja, manajemen, serta laba usaha yang diharapkan.
Termasuk biaya dalam harga jual adal biaya pengangkutan, biaya pengiriman, biaya
pemeliharaan, biaya asuransi, biaya garansi biaya, bantuan teknik, biaya pemasangan dan
instalasi, dan biaya lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha menghasilkan
sampai dengan penyerahan BKP. Apabila PKP selain menerbitkan faktur Pajak juga
menerbitkan Faktur Penjualan, potongan harga atau diskon yang tercantum dalam Faktur
Pajak harus tercantum sebagai potongan harga atau diskon dalam Faktur Penjualan.
Penggantian. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk PPN
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai penggantian merupakan
taksiran biaya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan guna mendapatkan profesi,
ketrampilan, dan pengalaman yang memberikan kegiatan pelayanan dalam arti jasa
tersebut. Jika harga jual atau nilai penggantian menggunakan mata uang asing, maka harus
dikonversi ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan Keputusan Mentri Keuangan
Mengenai kurs yang berlaku saat itu.
Nilai Impor. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut berdasarkan undang-undang PPN. Penentuan nilai impor BKP, tidak termasuk
PPN yang dipungut berdasarkan undang-undang PPN. Penentuan nilai impor BKP
didasarkan pada undang-undang Pabean yang menggunakan Dasar Pengenaan Bea MAsuk,
yaitu cost (harga faktur), insurance (biaya asuransi antar-Daerah Pabean). Dan freight (ongkos
angkut dan pengapalan antar-Daerah Pabean) atau disingkat dengan CIF.
Nilai Ekspor. Nilai ekspor adalah nilai berupa, uang termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai ekspor tercantum dalam dokumen
tertentu yang dapat dijasikan sebagai Faktur Pajak untuk ekspor, yaitu Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB), yang tidak di fiat muat oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Berapa
pun nilai ekspor yang tercantum dalam dokumen ekspor (PEB), tidak ada perhitungan PPN
130
karena tarif PPN untuk barang ekspor adalah 0% (nol persen). Dengan tarif 0% (nol persen)
maka PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi)
PPN dalam rangka ekspor BKP.
Nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Nilai lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai
Dasar Pengenaan Pajak. Nilai lain tersebut ditetapkan sebagai berikut: (a) untuk pemakaian
sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
(b) untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP atau penggantian setelah dikurangi laba
kotor; (c) untuk penyerahan media rekaman media rekaman suara atau gambar adalah
perkiraan harga jual rata-rata; (d) untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil ratarata perjudul film; (e) untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual
eceran; (f) untuk barang kena pajak berupa persediaan dan/atau asetyang menurut tujuan
semula tidak diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah
harga wajar; (g) untuk penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan barang kena pajak antarcabang adalah harga pokok penjualan atau
harga perolehan; (h) untuk penyerahan barang kena pajak melalui pedagang perantara
adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dan pembeli; (i) untuk penyerahan
barang kena pajak melalui juru lelang adalah harga lelang; (j) untuk penyerahan jasa
pengiriman paket adalh 10% (sepuluh persen)dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang
seharusnya ditagih; dan (k) untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata
adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa oleh pengusaha jasa
pengiriman paket dan pengusaha jasa biro perjalanan/pariwisata sebagai mana dimaksud
dalam huruf j dan k jasa tidak dapat dikreditkan.
Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat tagihan pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi
administrasi berupa bunga dan atau denda. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar, dan dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat dari salah tulis atau salah hitung, dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 bulan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (Pasal 14 ayat (3) UU KUP).
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak sebagaimana diatur dalam UU KUP pasal 14 ayat (2). Jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan tidak atau kurang dibayar, dan dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat dari salah tulis atau salah hitung, dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (Pasal 14 ayat (3) UU KUP).
Pengembangan Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H1 : Variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, SSP PPN (sarana dan
wujud nyata dari self assessment system) dan STP PPN secara simultan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
131
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
H2 : Variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, SSP PPN (sarana dan
wujud nyata dari self assessment system) dan STP PPN secara parsial mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
H3 : PKP terdaftar mempunyai pengaruh dominan terhadap penerimaan Pajak Pertambahan
Nilai.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Gubeng.
Adapun arsip data yang dijadikan sampel adalah data dari Januari 2009 sampai dengan
Desember 2011. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.
Kriteria yang digunakan untuk memilih sampel adalah sebagai berikut: (a) PKP terdaftar di
KPP Pratama Surabaya Gubeng selama periode 2009-2011; dan (b) dokumen-dokumen resmi
berupa jumlah penerimaan Pajak Pertambahan Nilai perbulan, PKP Terdaftar perbulan, SPT
Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN perbulan yang disetorkan dan STP PPN yang
dikeluarkan selama periode 2009-2011.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel Independen
a. Pengusaha Kena Pajak terdaftar per bulan (X1)
Pengusaha Kena Pajak terdaftar merupakan wujud nyata dari penerapan self assessment
pada PPN yaitu kewajiban Wajib Pajak untuk aktif mendaftarkan dirinya untuk menjadi
PKP. Dengan menggunakan perhitungan indeks pendeflasian data deret waktu (Awat,
1995:547) tiap bulan dari jumlah PKP yang terdaftar tiap bulannya, dimana perhitungan
dimulai dari bulan Januari 2009 hingga Desember 2011:
Indeks Pendeflasian Data Deret Waktu PKP (X1) =
PKP bulan saat ini - PKP bulan lalu x 100 %
PKP bulan lalu
b. Surat Pemberitahuan Masa PPN per bulan (X2)
Surat Pemberitahuan Masa PPN merupakan salah satu wujud nyata dari self assessment
system yaitu sarana bagi Pengusaha Kena Pajak untuk menghitung dan melaporkan
sendiri kewajiban PPN-nya. Dengan menggunakan perhitungan indeks pendeflasian data
deret waktu (Awat, 1995:547) tiap bulan dari jumlah SPT masa PPN yang dilaporkan oleh
PKP tiap bulannya, dimana perhitungan dimulai dari bulan Januari 2009 hingga
Desember 2011:
Indeks Pendeflasian Data Deret Waktu SPTmasaPPN =
SPTmasaPPN bulan saat ini - SPTmasPPN bulan lalu x 100 %
SPTmasaPPN bulan lalu
c. Surat Setoran Pajak PPN per bulan (X3)
Surat setoran Pajak PPN adalah salah satu sarana bagi Pengusaha Kena Pajak untuk
menyetorkan sendiri kewajiban PPN-nya. Dengan menggunakan perhitungan indeks
pendeflasian data deret waktu (Awat, 1995:547) tiap bulan dari SSP PPN yang disetorkan
oleh PKP tiap bulannya, dimana perhitungan dimulai dari bulan Januari 2009 hingga
Desember 2011:
Indeks Pendeflasian Data Deret Waktu SSP PPN =
132
SSP PPN bulan saat ini SSP PPN bulan lalu x 100 %
SSP PPN bulan lalu
d. Surat Tagihan Pajak PPN per bulan (X4)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi
administrasi berupa bunga dan atau denda. Dengan menggunakan perhitungan indeks
pendeflasian data deret waktu (Awat, 1995:547) tiap bulan dari STP PPN yang
dikeluarkan oleh fiskus tiap bulannya, dimana perhitungan dimulai dari bulan Januari
2009 hingga Desember 2011 dengan rumus sebagai berikut :
Indeks Pendeflasian Data Deret Waktu STP PPN =
STP PPN bulan saat ini STP PPN bulan lalu x 100 %
STP PPN bulan lalu
Variabel Dependen
Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai per bulan (Y)
Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai perbulan merupakan jumlah penerimaan
perbulan dari PPN, dengan menggunakan perhitungan indeks pendeflasian data deret
waktu (Awat, 1995:547) tiap bulan dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai, dimana
perhitungan dimulai dari bulan Januari 2009 hingga Desember 2011:
Indeks Pendeflasian Data Deret Waktu PPN (Y) =
PPN bulan saat ini - PPN bulan lalu x 100 %
PPN bulan lalu
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas. Hasil uji pada grafik Normal P-P Plot Regression Standardized
terlihat titik-titik menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti garis, memberikan pola
distribusi yang normal sehingga dapat dikatakan bahwa persyaratan normalitas terpenuhi.
b. Uji Multikolinearitas. Nilai tolerance semua variabel bebas memiliki nilai VIF
kurang dari 10, maka pada model regresi yang terbentuk tidak terjadi gejala
multikolinieritas.
c. Uji Heteroskedastisitas. Berdasarkan tampilan pada scatterplot terlihat bahwa plot
menyebar secara acak di atas maupun di bawah angka nol pada sumbu Regression
Studentized Residual. Jika scatterplot menyebar secara acak maka hal tersebut menunjukkan
tidak terjadinya masalah heterokedastisitas pada model regresi yang dibentuk.
d. Uji Autokorelasi. Berdasarkan dari hasil pengolahan analisis SPSS telah diperoleh
nilai Durbin-Watson sebesar 1,999. Dalam hal ini berarti dapat disimpulkan tidak adanya
autokorelasi, karena 1,999 < 2 maka tidak terjadi autokorelasi.
Uji Hipotesis
Pengujian Hipotesis 1, 2, dan 3
Persamaan regresi yang digunakan untuk menjawab hipotesis 1, 2, dan 3, serta untuk
mengetahui apakah variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen PPN
secara parsial maupun simultan.
133
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
Tabel 1
Regresi Linier Berganda
PPN = a + b1PKP + b2SPT + b3SSP +
Unstandardized Standardized
Coefficients
Coefficients
Model
(Constant)
Std. Error
b4STP + e
Beta
18.559
5.076
3.656
.001
-.235
.091
-.394 -2.583
.015
-.366
.075
.170
.443
.661
-.110
SSPPPN
.155
.076
.304 2.048
.049
.386
STPPPN
-.049
.022
-.336 -2.178
.037
-.360
PKP
SPTmasaPPN
Collinearity
Statistics
Correlations
.070
-.426 -.373
.897 1.115
.081
.064
.836 1.197
.350
.296
.944 1.060
-.369 -.314
.875 1.142
Sum of Squares
df
Mean Square
Sig.
Regression
11683.451
2920.863
4.496
.006a
Residual
19490.720
30
649.691
Total
31174.171
34
Nilai koefisien determinasi R2 secara simultan menunjukan nilai sebesar 0,375 dimana
yang artinya kontribusi dari masing-masing variabel independen PKP (X1), SPT Masa PPN
(X2), SSP PPN (X3) dan STP PPN (X4) terhadap variabel dependen PPN (Y) adalah sebesar
37,5% dimana sisanya dipengaruhi oleh variabel lain sebesar 62,5%.
Berdasarkan hasil SPSS dapat diketahui bahwa hasil signifikansi uji-F adalah 0,006 <
0,05 yang berarti variabel independen PKP (X1), SPT Masa PPN (X2), SSP PPN (X3) dan STP
PPN (X4) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen PPN (Y).
Berdasarkan hasil perhitungan SPSS dapat diketahui bahwa hasil tingkat signifikansi
uji-t untuk PKP (X1) sebesar 0,015 < 0,05 maka ada pengaruh yang signifikan antara variabel
PKP (X1) dengan variabel Y (PPN). Berdasarkan penelitian pada KPP Surabaya Gubeng
menunjukkan bahwa masuknya PKP baru tidak selalu memberikan kontribusi terhadap
perimaan PPN, hal ini disebabkan karena hubungan negatif (tidak searah) antara PKP
dengan PPN, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayogo (2011) yang
dimana pertumbuhan PKP di KPP Surabaya Gubeng didominasi oleh PKP jasa yang dimana
PKP jasa hanya aktif menjalankan perpajakannya pada saat mereka dalam kontrak kerja, dan
bila kontrak kerja mereka telah habis mereka tidak menjalankan perpajakannya, misalnya
para kontraktor kerja. Selain itu Uppal (2005) dalam jurnalnya menjelaskan karena
kurangnya tingkat kepatuhan PKP terhadap tata cara perpajakan yang benar, seperti
mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak namun tidak melaporkan dengan keadaan yang
sebenarnya, yang dimana hal tersebut dapat mengakibatkan turunnya penerimaan PPN.
Hasil tingkat signifikansi uji-t untuk SPT Masa PPN (X2) sebesar 0,661 > 0,05 maka
tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel X2 (SPT Masa PPN) dengan variabel PPN
(Y). Dari hasil penelitian di KPP Pratama Surabaya Gubeng menunjukkan bahwa
134
kecenderungan dari SPT yang di laporkan tiap bulannya belum sesuai dengan fungsi dari
SPT itu sendiri sehingga tidak berpengaruh terhadap penerimaan PPN. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya SPT masa PPN dari PKP yang disampaikan bisa saja tidak
lengkap, nihil, lebih bayar, kurang bayar, serta tidak sesuai dengan keadaan PKP yang
sebenarnya.
Hasil tingkat signifikansi untuk X3 (SSP PPN) sebesar 0,049 < 0,05 maka ada pengaruh
yang signifikan antara variabel X3 (SSP PPN) dengan variabel PPN (Y). Berdasarkan hasil
penelitan menunjukkan bahwa SSP PPN yang telah disetorkan oleh PKP yang terdaftar di
KPP Pratama Surabaya Gubeng telah dijalankan sesuai dengan fungsinya. Hal tersebut
menunjukkan SSP PPN merupakan bukti nyata dari bentuk penyetoran yang telah
dibayarkan oleh PKP, bahwa PKP tersebut telah membayar pajak terutangnya. Sehingga SSP
PPN yang telah disetorkan oleh PKP dapat berpengaruh terhadap penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai.
Dan hasil tingkat signifikansi uji-t untuk STP PPN (X4) sebesar 0,037 < 0,05 maka ada
pengaruh yang signifikan antara variabel X4 (STP PPN) dengan variabel Y (PPN). Semakin
banyak STP PPN yang diterbitkan oleh fiskus belum tentu menambah penerimaan PPN, hal
ini disebabkan karena hubungan negatif (tidak searah) antara STP PPN dengan PPN.
Apabila Dirjen Pajak telah menerbitkan STP PPN kepada PKP, maka PKP tersebut wajib
membayar atau melunasi pajak terutangnya dalam batas waktu dan denda yang telah
ditetapkan, tetapi jika PKP tersebut tidak dapat membayar pajak terutangnya dan denda
yang harus ditanggung disebabkan karena PKP tersebut tidak memiliki harta kekayan lagi,
maka piutang pajak yang tidak dapat ditagih tersebut dapat dihapuskan sebagaimana
dijelaskan dalam jurnal Iswahyudi (2005), dimana hal tersebut akan mengakibatkan
penerimaan PPN menurun.
SIMPULAN DAN KETERBATASAN
Simpulan
Simpulan hasil penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut : (1) berdasarkan
hasil secara simultan dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel (X1), SPT Masa PPN (X2),
SSP PPN (X3) dan STP PPN (X4) memiliki pengaruh 37,5 % terhadap Penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai dan pengaruh tersebut signifikan; (2) Dari hasil uji-t menunjukkan
variabel PKP (X1), SSP PPN (X3) dan STP PPN (X4) secara parsial memiliki pengaruh
signifikan terhadap variabel PPN (Y) kecuali variabel SPT Masa PPN; (3) variabel yang
memiliki pengaruh paling dominan terhadap penerimaan PPN adalah variabel PKP (X1)
karena memiliki nilai koefisien determinasi partial (r2) yang paling besar diantara variabel
lainnya yaitu sebesar 18,15 %.
Keterbatasan
Keterbatasan terdapat dalam penelitian ini adalah hanya menggunakan data hanya
pada satu KPP saja. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menambah jumlah variabel
dan jumlah KPP.
DAFTAR PUSTAKA
Awat, N. J. 1995. Metode Statistik dan Ekonometri. Edisi Pertama. Penerbit Liberty Yogyakarta.
Ginting, R. 2006. Pengaruh Pemberian Surat Penagihan Terhadap Pembayaran Tunggakan
Pajak Penghasilan di Tiga Kantor Pelayanan Pajak Pajak. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
(1):11-20.
135
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 1 Nomor 1, Januari 2013: 122-136
Ilyas, W. B. dan R. Burton. 2010. Hukum Pajak. Edisi 5. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Iswahyudi, T. 2005. Seputar Penagihan dan Pembayaran Utang Pajak. Jurnal Perpajakan
Indonesia (1): 12-18.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nurmantu, S. 2003. Pengantar Perpajakan. Edisi 2. Penerbit Granit. Jakarta.
Prastowo, Y. 2009. Panduan Lengkap Pajak. Penerbit Raih Asa Sukses. Jakarta.
Prayogo, K.W. 2011. Pengaruh Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak Terhadap
Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Pada Pengusaha Kena Pajak. Skripsi tak diterbitkan.
Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Surabaya.
Pudyatmoko, S. 2009. Pengantar Hukum Pajak (Edisi Revisi). Edisi 4. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Resmi, S. 2012. Perpajakan : Teori dan Kasus. Edisi 6 Buku 2. Salemba Empat. Jakarta.
Rusdji, M. 2007. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Edisi Keempat. Penerbit PT.
Indeks. Jakarta.
Santoso, S. 2002. Latihan SPSS : Statistik Parametrik. Penerbit PT. Elexmedia Komputindo.
Jakarta.
Suandy, E. 2011. Hukum Pajak. Edisi 5. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Sudjana. 2001. Metode Statisitika. Cetakan 4. Tarsito. Bandung.
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan : Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Supranto, J. 2009. Statistik : Teori dan Aplikasi. Edisi Ketujuh. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Uppal, J.S. 2005. Kasus Penghindaran Pajak di Indonesia. Economic Review Journal (201). Http:
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/pkop4315/isi_pengayaan.htm. Diakses tanggal 24 Juni
2012
Valentina, S. dan A. Suryo. 2006. Perpajakan Indonesia. Penerbit UPP AMP YKPN.
Yogyakarta.
136