Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS MATRIKS PERATURAN DAERAH

MENGENAI RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN

Disusun oleh:
Kelompok 7/ Perikanan B
Erik Riksamunir
230110130119
Dehan Ahmadi
230110130130
Fauzi Rachmansyah
230110130165

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat,
taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat meyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Pembangunan Perikanan. Melalui penyusunan makalah ini diharapkan
kami sebagai mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pembangunan Perikanan
mempunyai bahan rujukan sebagai bahan acuan dalam perkuliahan dan
pembelajaran mata kuliah Pembangunan Perikanan yang sangat bermanfaat dalam
lingkungan perairan khususnya bidang perikanan.
Penulisan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan dikarenakan
pengetahuan yang kami miliki, maka dari itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun demi memperbaiki makalah ini di masa yang
akan datang. Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Jatinangor, Desember 2016


Kelompok 7,

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan yang luas, dengan luas

laut lebih kurang 5,8 juta km2, panjang garis pantai 81 ribu km (merupakan pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), dan potensi sumber daya ikan yang
diperkirakan sebesar 6,4 juta ton pertahun yang tersebar di perairan wilayah
Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Hal ini
membuat Indonesia memang pantas disebut sebagai negara maritim atau bahari.
Ini semua memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, tentunya
dalam konteks kepentingan rakyat (Dahuri 2002).
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan
taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam
(Bengen 2004). Peluang untuk peningkatan produksi melalui ekstensifikasi dan
intensifikasi tambak cukup besar, sehingga laju perubahan fungsi lahan ini akan
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan pesisir. Menurut Supriharyono
(2002) ada beberapa daerah yang sudah menunjukkan gejala eksploitasi yang
berlebihan (over exploited) seperti wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung, sedangkan di sebagian daerah masih
dibawah potensi yang ada.
Menurut Chairuddin (1977), Propinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh
perairan rawa dan sungai. Selain itu, kebijakan pembangunan perikanan terutama
di propinsi Kalimantan Selatan diarahkan untuk menitikberatkan pada strategi
pengelolaan dan pemanfaatan perairan rawa. Mengingat masyarakat Banjar sangat
menggemari beberapa jenis ikan lokal ekonomis yang berasal dari perairan rawa,
sehingga perlu eksplorasi lebih dalam terhadap potensi perikanan pada kawasan
perairan rawa khususnya di daerah propinsi Kalimantan Selatan. Salah satunya
diperlukan riset tentang kandungan gizi yang terkandung pada beberapa ikan
rawa.
Wilayah pesisir Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan
merupakan kawasan yang mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang cukup

besar. Wilayah ini menjadi andalan sektor perikanan dan kelautan Kabupaten
Tanah Bumbu, dibalik potensi yang besar ini terjadi kecenderungan penurunan
produksi, hal ini dapat dilihat dari Laporan Statistik Perikanan tahun 2007,
produksi perikanan tambak tahun 2004 sebesar 670,6 ton, tahun 2005 menurun
menjadi sebesar 390,9 ton dan pada tahun 2006 menjadi sebesar 370,4 ton.
Kondisi mangrove yang berfungsi sebagai sabuk hijau dikenal sebagai mangrove
green belt (MGB) juga dapat difungsikan sebagai penyaring (filter) dan penyerap
limbah, di Kabupaten Tanah Bumbu mangrove juga mengalami degradasi akibat
pembangunan tambak, hal ini diindikasikan oleh tingkat kerusakan mangrove.
Hasil inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS
Barito Kalimantan Selatan tahun 2006, di Kabupaten Tanah Bumbu terdapat hutan
mangrove yang tidak mengalami kerusakan seluas kurang lebih 215 ha (1%),
dengan kondisi rusak seluas kurang lebih 9.593 ha (66%) dan kondisi rusak berat
seluas kurang lebih 4.697 ha (32%).
Berdasarkan permasalahan lingkungan pesisir yang ada di Kabupaten
Tanah Bumbu ini maka diperlukan suatu strategi pengelolaan di wilayah pesisir
sehingga

dapat

tercapai

pengembangan

tambak

berkelanjutan,

melalui

pengelolaan secara terintegrasi dengan pendekatan sistem, menghubungkan


informasi ekologi guna efesiensi dan efektifitas ekonomi manajemen kawasan
pesisir, dengan mengidentifikasi dan menilai barang dan jasa yang diproduksi oleh
sistem, dibawah rejim manajemen yang berbeda antara ekosistem mangrove dan
budidaya perikanan.
1.2

Tujuan
Menganalisis matriks Peraturan Daerah mengenai Retribusi Izin Usaha

Perikanan.
1.3

Manfaat
Hasil analisis ini dapat memberikan informasi mengenai retribusi izin

usaha perikanan dalam matriks peraturan daerah.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Peraturan Pemerintah Indonesia


Peraturan

Pemerintah (disingkat PP)

adalah

Peraturan

Perundang-

undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah
materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan "organik"
daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau
bertolak belakang.
2.1.1

Peraturan Daerah Indonesia


Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala


Daerah (gubernur atau bupati/wali kota). Peraturan Daerah terdiri atas: Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan daerah
kabupaten/kota disebutkan pula dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai
berikut yaitu :
1. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Materi Muatan Peraturan Daerah


Materi muatan peraturan daerah merupakan materi pengaturan yang

terkandung dalam suatu peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal
drafting atau teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.

Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan menjadi:


ketentuan umum; materi pokok yang diatur; ketentuan pidana (jika memang
diperlukan); ketentuan peralihan (jika memang diperlukan); dan ketentuan
penutup. Materi muatan peraturan daerah dapat mengatur adanya ketentuan
pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang
menjadi materi muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur
ketentuan pidana berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara
dan denda maksimal Rp. 50.000.000,00

Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah


Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau

kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh
Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda Dprd yang
muntahD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam
jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda
tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani
dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut
disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka
Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
2.2

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan


Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2004

tentang retribusi izin usaha perikanan dibentuk dalam rangka pengendalian dan
kelestarian sumber daya perikanan, memantau jumlah perusahaan dan armada
perikanan yang beroperasi di perairan Kalimantan Selatan serta untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Provinsi Kalimantan Selatan,
dipandang perlu mengelola dan menggali sumber pendapatan dari sektor
perikanan sera mengatur retribusi izin usaha Perikanan.
Retribusi izin usaha perikanan merupakan kontribusi atas jasa yang
diberikan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Selatan kepada pengguna jasa dan

pengusaha untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah provinsi Kalimantan


Selatan.
2.2.1

Retribusi
Retribusi berdasarkan peraturan daerah provinsi Kalimantan Selatan

nomor 2 tahun 2004 menyatakan bahwa retribusi adalah izin usaha perikanan
dipungut retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan jasa perizinan usaha
perikanan dalam daerah provinsi Kalimantan Selatan. Objek retribusi adalah Surat
Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Kapal Perikanan (SIKP), Surat
Keterangan Asal (SKA), dan Rekomendasi Pengeluaran Labi labi. Subjek
retribusi adalah orang probadi atau badan usaha perikanan yang melakukan usaha
perikanan di wilayah perikanan provinsi Kalimantan Selatan yang menggunakan
Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Surat Izin Kapal Perikanan (SIKP), Surat
Keterangan Asal (SKA), dan Rekomendasi Pengeluaran Labi labi ke luar
daerah.
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi
daerah.Retribusi daerah lebih beragam dan bervariasi antara kabupaten/kota yang
satu dengan kabupaten/kota lainnya. Semakin berkembang suatu daerah, semakin
banyak fasilitas atau jasa pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah
setempat guna mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga
semakin banyak jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah tersebut.
Menurut Goedhart (1980) dalam Adisasmita (2011 : 109), retribusi daerah
diartikan sebagai penerimaan yang diperoleh dari rumah tangga swasta
berdasarkan norma-norma umum yang ditetapkan, berhubungan dengan prestasi
yang diselenggarakan dengan dan untuk kepentingan masyarakat secara khusus
yang dilaksanakan sendiri oleh penguasa publik. Sedangkan Soeparmoko (2002 :
85), retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertenru yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Selanjutnya Sudargo (1980) dalam
Adisasmita (2011 : 109) berpendapat, bahwa retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa usaha atau
milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh
daerah.

2.2.2

Ekonomi Retribusi Provinsi Kalimantan Selatan


Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu parameter keberhasilan pemerintah daerah di refleksikan

melalui besar/kecilnya PAD yang dihasilkan. PAD merupakan penerimaan yang


bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, serta lain-lain pendapatan yang sah. Semakin tinggi kontribusi
PAD terhadap total penerimaan daerah, semakin tinggi pula kemampuan daerah
dalam pembiayaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya. Karena itu melalui
otonomi daerah, pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan diharapkan dapat
meningkatkan PAD-nya secara optimal, sehingga ketergantungan terhadap dana
perimbangan pemerintah pusat semakin berkurang.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan secara terus menerus berupaya
untuk meningkatkan PAD nya. Kecenderungan peningkatan PAD terlihat dari
perkembangan beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2007 kontribusi PAD terhadap
total penerimaan daerah sebesar 41,45 %, kemudian pada tahun 2008 naik
menjadi sebesar 50,24 %, pada tahun 2009 menjadi sebesar 51,31 %, pada tahun
2010 naik menjadi sebesar 50,42 % dan pada tahun 2011 sedikit menurun menjadi
45,89 %. Melalui otonomi daerah, telah memberikan kesempatan yang lebih besar
kepada pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Selatan untuk mengoptimalkan
potensi dan sumber-sumber PAD guna membiayai pembangunan di daerah ini.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tolok ukur yang penting untuk
menentukan tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah
secara nyata dan bertanggung jawab. Secara umum ini berarti bahwa semua
potensi pendapatan harus dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan. Sebagai contoh
pajak dan retribusi daerah merupakan sumber PAD yang cukup penting dalam
pembiayaan daerah. Terkait hal tersebut maka penggalian potensi PAD menjadi
penting dengan perlu memperhatikan prinsip keseimbangan antar peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak seluruhnya memiliki kesamaan,
dalam arti bahwa terdapat pula sumber-sumber pendapatan lainnya. Sumber
penerimaan daerah sangat tergantung pada potensi daerah itu sendiri. Lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah, menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ;
a). Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan,
b) Jasa giro,
c). Pendapatan bunga, d).Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing, dan
d). Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/jasa oleh daerah.
2.2.3

Politik Retribusi Provinsi Kalimantan Selatan


Pemungutan Retribusi
Pelaksanaan pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6,

dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan. Semua hasil pungutan Retribusi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Bendaharawan Penerima
(Pemegang Kas) yang ditunjuk oleh Kepala Daerah, selanjutnya disetorkan ke kas
Daerah. (Pasal 8 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun 2004). Retribusi
yang tertutang dipungut di wilayah daerah tempat diterbitkannya Perizinan Usaha
Perikanan. (Pasal 9 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun 2004). Masa
retribusi adalah jangka waktu diterbitkannya pemberian Surat Izin Usaha
Perikanan dan Surat Izin Kapal Perikanan baik yang baru atau perpanjangan,
Surat Rekomendasi Pengeluaran labi labi dan Surat Keterangan Asal (Pasal 10
PERDA nomor 2 Tahun 2004). Keterlambatan dalam pembayaran retribusi atau
kurang membayar sesuai jumlah yang diteteapkan akan dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya dari retribusi
yang terutang atau kurang bayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. (Pasal
16 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun 2004). Wajib Retribusi yang tidak
melaksanakan kewajiban sehinggan merugikan Keuangan Daerah diancam pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali
jumlah Retribusi terhutang. (Pasal 26 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun
2004).
2.2.4

Teknologi Retribusi Provinsi Kalimantan Selatan


Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Pemerintah

Kota

(Pemkot)

Banjarmasin, Kalimantan Selatan, melalui kantor Dinas Pertanian dan Perikanan


setempat akan meningkatkan retribusi penjualan ikan air tawar. Kepala Unit

Pelaksana Teknis (UPT) pendaratan ikan air tawar Dinas Pertanian dan Perikanan
Haji Syamsul Bahri ketika dikonfirmasikan di Banjarmasin, Senin mengakui
pihaknya akan meningkatkan pendapatan dari pendaratan kapal ikan air tawar.
Peningkatan retribusi tersebut setelah dibangunkan Tempat pelelangan Ikan (TPI)
ikan air tawar di bilangan Jalan RK Ilir Banjarmasin yang menelan dana miliaran
rupiah. Tersedia tempat jual beli, tempat sandar kapal nelayan, serta lapangan
parkir kendaraan bermotor,maka memudahkan transaksi ikan air tawar yang
didatangkan dari berbagai daerah di Kalsel, Kalteng, dan Kaltim. Adanya dermaga
tersebut maka kapal sandar akan dikenal retribusi dan dermaga tersebut bisa
menampung sekitar 50 kapal nelayan, katanya. Penarikan retribusi tersebut sesuai
dengan Peraturan Daerah (Perda)Nomor 3 tahun 2012 tentang retribusi TPI setiap
kapal sandar. Nilai retribusi kapal sandar untuk jenis perahu kecil Rp5.000,- kapal
motor sedang Rp10.000,- kapal motor besar Rp15.000,- dan kapal motor sampai
dengan 7 GT retribusinya Rp20.000.Retribusi masuk ke area TPI per hari untuk agen Rp50.000,- dan
pengecer, pembeli, atau pengunjung Rp1.000,- per orang per hari, kata Syamsul
Bahri. Kendaraan bermotor truk masuk ke area TPI dengan tarif Rp10.000,- pick
up Rp5.000,- sepeda motor Rp1.000 dan sepeda Rp500.-. Tahun ini ditargetkan
Rp30 juta retribusinya, tetapi jika sudah difungsikan dengan penjualan es batu
pengawetan ikan pada tahun 2014 nanti semoga bisa mencapai Rp100 juta per
tahun retribusinya. Telah dijelaskan dermaga yang dilengkapi dengan stasiun
pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) solar bersubsidi dengan tarif Rp5.500 per
liter tersebut akan dipakai sebagai lokasi hari maritim nusantara.
Berdasarkan pasal 7 PERDA provinsi Kalimantan Selatan nomor 4 tahun
2003. Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 7
(1). Struktur tarif dibedakan dalam golongan tarif retribusi berdasarkan jenis dan
ukuran kapal.
(2). Struktur dan besarnya tarif retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
sebagai berikut :
1. Izin Trayek Angkutan Orang :
a. Izin Trayek Baru atau pertama kali:
1). Kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 65.000,00,-

b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 95.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 110.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 125.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 150.000,00,2). Motor Tempel, Sebesar Rp. 75.000,00,b. Perpanjangan izin trayek angkutan orang :
1). Kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 15.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 25.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 35.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 40.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 50.000,00,2). Motor Tempel, Sebesar Rp. 30.000,00,c. Perubahan Izin Trayek :
1). Kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 50.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 65.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 90.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 115.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 125.000,00,2). Motor Tempel, Sebesar Rp. 65.000,00,2. Izin Trayek Angkutan Barang untuk kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 15.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 20.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 25.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 30.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 35.000,00,3. Izin Trayek Angkutan Barang untuk kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 15.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 20.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 30.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 35.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 40.000,00,-

(3). Pelaksanaan Pemungutan Retribusi sebagaimana ayat (2) dilaksanakan oleh


Dinas Perhubungan.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1

Matriks Peraturan Daerah Mengenai Retribusi Izin Usaha Perikanan

Subjek

Ekonomi

Politik

Teknologi
Sosial

Indikator
Pendapatan asli daerah
Investasi
Biaya produksi
Harga pasar untuk ikan
Permintaan ikan
Hasil produksi perikanan

Pungutan berganda
Pelanggaran
Tindak pidana
Kebijakan terhadap perikanan
Penegakan aturan-aturan pemerintah

Jenis kapal yang digunakan


Jenis alat tangkap yang digunakan

Stakeholder
Penyidikan
Penagihan

3.2

Subjek Ekonomi, Politik, Teknologi, dan Sosial


Subjek ekonomi akan dilihat bagaimana permintaan dan penawaran dari

budidaya dan penangkapan perikanan. Sehingga mempengaruhi upaya budidaya


dan penangkapan dalam hal peningkatan jumlah hasil produksi dan memainkan
harga pasar untuk ikan. Peningkatan jumlah hasil produksi akan berimplikasi
terhadap jumlah retribusi dan pajak dari aturan pemerintah yang dibebankan
kepada nelayan.
Subjek politik akan ditelusuri sejauh mana pemegang kebijakan yang
berkuasa saat ini dalam proses penetapan biaya retribusi dan pajak dalam
pengelolaan perikanan di Kalimantan Selatan. Hal ini akan terlihat dari instruksi
Gubernur, SK pemerintah daerah maupun undang-undang lain yang terkait dengan
penetapan retribusi dan pajak pada nelayan. Kebijakan ini pada akhirnya akan
terlihat apakah tumpang tindih dengan kebijakan yang ada atau tidak, sehingga
tidak membebankan para nelayan.
Subjek teknologi akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan yang di
produksi. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah retribusi dan pajak yang
harus dibayarkan. Apabila jumlah retribusi dan pajak yang harus dibayarkan
masih tertutupi dengan penjualan hasil tangkapan nelayan, kegiatan perikanan dan
budidaya perikanan akan terus berlanjut.
Subjek Sosial dapat memperlihatkan bagaimana interaksi antara berbagai
stakeholder dalam menjalankan tugasnya masing-masing baik sebagai nelayan
maupun petugas dinas dan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang sudah
diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setempat. Apabila ada
ketidaksinkronan antara kebutuhan nelayan dan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah, maka di lapangan akan banyak ditemui masalah-masalah yang akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
3.3 Analisis Matriks Kelembagaan
Usaha budidaya dan penangkapan perikanan begitu sangat menguntungkan
sehingga semakin banyak yang tertarik untuk menanamkan usahanya di bidang

perikanan. Selain menguntungkan trend permintaan terhadap komoditas ini relatif


meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari kenaikan rata-rata konsumsi
ikan perkapita dari tahun 2005 sebesar 25 kg/kapita/tahun menjadi 30,48
kg/kapita di tahun 2010. Walaupun kecenderungan permintaan ikan terus
meningkat, namun tidak berkorelasi positif dengan harga ikan. Harga jual ikan
diserahkan pada mekanisme pasar dimana jika permintaan tinggi maka harga akan
tinggi, dan saat stok ikan melimpah, harga akan turun.
Pendelegasian kewenangan khususnya kewenangan yang mengatur sektoral
menyebabkan terjadinya perubahan regulasi di daerah dan menyebabkan
ketidakpastian dalam berusaha. Selain itu, alasan yang melatarbelakangi
pemerintah daerah dalam menerapkan suatu perda yang memperburuk iklim
investasi adalah demi mengejar target pendapatan asli daerah (PAD) yang
utamanya berasal dari pajak dan retribusi daerah. Penerapan perda terkait pajak
dan retribusi inilah yang akhirnya memicu biaya tinggi bagi pelaku usaha, karena
terdapat ketidakpastian di dalam peraturan tersebut.
Di balik masalah tersebut tampak bahwa pemda belum sepenuhnya
memiliki pemahaman akan perilaku rasional investor dalam pemilihan lokasi
investasi mereka. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa setidaknya ada dua
hal yang perlu dicermati oleh para perumus kebijakan dalam kaitannya dengan
perilaku dunia usaha/investor (Mahi 2002). Pertama adalah perilaku pemegang
aset yang penuh resiko apabila hasil yang diperolehnya dari aset yang beresiko
(dikurangi berbagai pungutan, pajak dan retribusi) akan lebih besar dan
mencukupi untuk menutup resiko yang akan ditanggungnya. Dengan demikian,
bila pungutan makin besar, maka kesempatan bisnis untuk memperoleh
keuntungan dari pemegangan aset yang ditawarkan oleh pemda kemungkinan
makin kecil dan menjadi tidak menarik lagi.
Kedua adalah perilaku investasi. Salah satu permasalahan yang menjadi
perhatian pelaku usaha adalah pengaruh tambahan pungutan tersebut terhadap
peningkatan biaya produksi, baik pengaruh biaya untuk faktor produksi utama,
maupun bahan baku produksi. Adanya pajak maupun pungutan tambahan akan
berpengaruh terhadap kebijakan di sisi input perusahaan. Dalam kondisi yang

ekstrim, bisnis tidak mampu menanggung biaya produksi yang ada, dan akibatnya
akan dihadapkan kepada dua pilihan ekstrim, yaitu menutup usahanya atau
berpindah lokasi ke daerah lain bahkan negara lain.
Perda yang berdampak terhadap kegiatan usaha umumnya adalah perda
yang terkait perizinan dan pungutan (retribusi dan pajak). Pengaruh pungutan
yang dikenakan pada suatu produk akan menaikkan harga produk tersebut. Di
dalam suatu pasar, kenaikan ataupun penurunan harga merupakan suatu
mekanisme dalam mencapai titik keseimbangan antara penawaran dan
permintaan.
Potensi masalah yang bisa muncul di lapangan karena pelanggaran adalah
adanya ketidakpastian bagi masyarakat maupun pelaku usaha, sehingga dapat
membuka peluang terjadinya penyimpangan misalnya pungutan ilegal. Dengan
ketidakjelasan standar biaya, maka yang terjadi adalah pegawai pemerintah yang
bertugas melakukan pemungutan dapat menarik pungutan yang besarannya tidak
wajar, bahkan menguntungkan petugas pemungut. Padahal seharusnya, suatu
perda harus mengandung kejelasan standar biaya, waktu dan prosedur. Karena
dengan adanya kepastian dari hal-hal tersebut, maka masyarakat sebagai pelaku
usaha mendapatkan kepastian atas besaran biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan pelayanan dari pemda.
Pengaturan dalam perda berpotensi menimbulkan pungutan berganda bagi
pelaku usaha. Dari segi perizinan, telah terjadi overregulated pada kegiatan usaha
perikanan tangkap. Terdapat izin- izin yang harus dimiliki oleh nelayan di tingkat
kabupaten/kota untuk memulai usaha perikanan tangkap. Sementara itu, di tingkat
pusat ada juga izin usaha sektor perikanan tangkap yang bersifat sama yaitu surat
izin kapal perikanan (SIKP), pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan alokasi
penangkapan ikan penanaman modal (APIPM) untuk penanaman modal.
Potensi pungutan ganda juga terdapat pada PPP dan pungutan hasil
perikanan (PHP) yang merupakan PNBP sektor perikanan dan menjadi sumber
dana bagi hasil sektor periknan (DBH). Pada prinsipnya, PPP sama dengan
pungutan untuk SIUP, SIPI dan SIKPI yang dikenakan kepada pengusaha

perikanan tangkap. Dua jenis pungutan yang ditetapkan di tingkat pusat dan
daerah dengan sifat yang sama tentunya akan membebani pengusaha perikanan.
Potensi masalah yang ditimbulkan dari pemberlakuan perda perikanan di
Kalimantan Selatan adalah adanya retribusi yang dibebankan kepada nelayan
terkait izin-izin untuk usaha perikanan tangkap. Retribusi ini masih diberlakukan
di Kalimantan Selatan dan sedikit banyak membebani nelayan di Kalimantan
Selatan. Dengan adanya retribusi, nelayan harus mengeluarkan biaya selain biaya
operasional. Selain itu, nelayan tidak bisa memasukkan beban retribusi izin
tersebut sebagai komponen di dalam harga ikan. Hal ini dikarenakan nelayan tidak
memiliki kekuatan di dalam pasar dan lebih bersifat penerima harga (price take).
Meskipun harga perikanan bisa dikatakan elastis karena tergantung pasokan.
Sehingga beban retribusi tersebut harus ditanggung sendiri oleh nelayan sebagai
biaya tersendiri. Sedangkan bagi pembeli, retribusi ini relatif tidak berdampak
karena yang menanggung retribusi penjualan tersebut adalah nelayan.
Identifikasi stakeholder yang terkena dampak langsung maupun tak
langsung dari perda yang bersangkutan. Stakeholder utama dari yang menerima
manfaat ataupun yang akan terkena dampak dari perda tersebut, yakni antara lain:
1. Nelayan, sebagai pelaku utama dari sektor perikanan di masing-masing
daerah. Nelayan berperan dalam mengambil atau memproduksi perikanan
tangkap
2. Dinas Kelautan dan Perikanan, sebagai pengendali pemanfaatan dan
penataan sumberdaya perikanan di suatu daerah
3. Konsumen atau Industri Pengolahan Ikan, sebagai pengguna hasil produksi
perikanan
4. Badan Pelayanan Perizinan, sebagai salah satu tempat untuk penerimaan
daerah
3.4 Alternatif Tindakan terhadap Perda yang Ada
Alternatif tindakan yang dikembangkan terhadap keberadaan perda ini ada
tiga, yaitu:
1. Tidak melakukan intervensi apapun terhadap perda yang diimplementasikan
2. Penyederhanaan izin-izin terkait usaha perikanan tangkap
3. Pembebasan biaya-biaya retribusi izin perikanan tangkap termasuk izin
peralatan perikanan

Alternatif pertama, jika tidak dilakukan intervensi apapun terhadap perda,


maka total dampak manfaat yang diterima oleh keseluruhan stakeholder cukup
besar meskipun masih ada biaya-biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing
stakeholder. Nelayan menerima manfaat dari penerapan perda tersebut berupa
legalitas berusaha, kepastian jenis retribusi yang dibayarkan untuk memulai usaha.
Manfaat lain yang bisa didapat oleh nelayan adalah adanya pembinaan terhadap
nelayan. Meskipun masih ada retribusi yang harus ditanggung sendiri oleh
nelayan dan dapat berdampak pada harga ikan. Pembinaan ini bisa berbentuk
bantuan teknis, pelatihan maupun bantuan alat bagi nelayan yang memiliki izin.
Meskipun ada biaya yang dikeluarkan oleh nelayan untuk mendapatkan izin
tersebut. Bagi Dinas Kelautan sendiri, dengan diterapkannya perda ini, bisa
menjamin ketertiban administrasi dan ketersediaan data produksi perikanan.
Dengan begitu, Dinas Kelautan dapat melakukan pemetaan masalah dan
perencanaan sektor perikanan. Bagi konsumen, terdapat biaya dari harga ikan,
karena nelayan membebankan retribusi tersebut ke dalam komponen harga ikan.
Alternatif kedua, dengan penyederhanaan izin-izin untuk usaha perikanan
tangkap yaitu SIUP, SIKPI, dan SIPI ke dalam satu izin, maka manfaat yang
didapat oleh nelayan adalah nelayan hanya perlu untuk membuat satu izin untuk
ketiga izin tersebut. Manfaat bagi nelayan selain legalitas usaha dan kepastian
tarif retribusi adalah biaya yang dikeluarkan untuk perizinan menurun, tidak
hanya dari uang yang dikeluarkan untuk membayar retribusi izin, namun waktu
yang diperlukan untuk mengurus izin. Bagi pemda, terutama badan perizinan,
dengan penyederhanaan ini dampaknya adalah penurunan pendapatan dari
retribusi perizinan, karena dari tiga izin menjadi satu izin saja. Namun, manfaat
penyederhanaan perizinan tersebut, bagi badan perizinan dapat mempermudah
mekanisme pendataan izin yang dikeluarkan untuk usaha perikanan.
Alternatif ketiga, yaitu membebaskan retribusi untuk seluruh izin-izin usaha
perikanan tangkap. Dengan pembebasan retribusi ini, nelayan tidak lagi
mengeluarkan biaya untuk memperoleh perizinan. Sehingga nelayan tidak
terbebani lagi dengan biaya perizinan, utamanya jika nelayan tersebut baru akan
memulai usaha. Pembebasan retribusi ini bisa menarik nelayan yang belum

memiliki izin untuk mengurus perizinan dan masuk ke sektor formal. Bagi pemda,
akan kehilangan sumber retribusi, namun manfaat yang didapatkan adalah
peningkatan jumlah nelayan yang memiliki izin sehingga pengawasan dan
pembinaan bagi nelayan dapat lebih baik.

BAB IV
KESIMPULAN
4.1

Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang didapatkan 4 subjek dan beberapa indikator dari

masing-masing subjek dalam matriks peraturan daerah mengenai retribusi izin


usaha perikanan yaitu subjek ekonomi akan dilihat bagaimana permintaan dan
penawaran dari budidaya dan penangkapan perikanan, subjek politik akan
ditelusuri sejauh mana pemegang kebijakan yang berkuasa saat ini dalam proses
penetapan biaya retribusi dan pajak dalam pengelolaan perikanan di Kalimantan
Selatan, subjek teknologi akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan yang
di produksi dan subjek Sosial dapat memperlihatkan bagaimana interaksi antara
berbagai stakeholder dalam menjalankan tugasnya masing-masing baik sebagai
nelayan maupun petugas dinas dan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang
sudah diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setempat.

DAFTAR PUSTAKA
Darham, H.M. Sjachriel. 2002. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
nomor 4 tahun 2003 tentang Retribusi Izin Trayekan dan Izin Angkutan
Khusus Di Perairan Daratan Lintas Kabupaten/Kota. Banjarmasin.
Kalimantan Selatan
Darham, H.M. Sjachriel. 2004. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
nomor 2 tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan. Banjarmasin.
Kalimantan Selatan
Pasal 1 angka 7, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 1 angka 8, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Daerah_(Indonesia) diakses pada 16
Desember 2016 pukul 16.14 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_ (Indonesia) diakses pada 16 Desember
2016 pukul 16.30 WIB
http://kalsel.antaranews.com/berita/14968/banjarmasin-tingkatkan-retribusi-ikan
diakses pada 16 Desember 2016 pukul 20.11 WIB

Anda mungkin juga menyukai