Disusun oleh:
Kelompok 7/ Perikanan B
Erik Riksamunir
230110130119
Dehan Ahmadi
230110130130
Fauzi Rachmansyah
230110130165
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat,
taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat meyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Pembangunan Perikanan. Melalui penyusunan makalah ini diharapkan
kami sebagai mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pembangunan Perikanan
mempunyai bahan rujukan sebagai bahan acuan dalam perkuliahan dan
pembelajaran mata kuliah Pembangunan Perikanan yang sangat bermanfaat dalam
lingkungan perairan khususnya bidang perikanan.
Penulisan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan dikarenakan
pengetahuan yang kami miliki, maka dari itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun demi memperbaiki makalah ini di masa yang
akan datang. Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan yang luas, dengan luas
laut lebih kurang 5,8 juta km2, panjang garis pantai 81 ribu km (merupakan pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), dan potensi sumber daya ikan yang
diperkirakan sebesar 6,4 juta ton pertahun yang tersebar di perairan wilayah
Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Hal ini
membuat Indonesia memang pantas disebut sebagai negara maritim atau bahari.
Ini semua memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, tentunya
dalam konteks kepentingan rakyat (Dahuri 2002).
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan
taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam
(Bengen 2004). Peluang untuk peningkatan produksi melalui ekstensifikasi dan
intensifikasi tambak cukup besar, sehingga laju perubahan fungsi lahan ini akan
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan pesisir. Menurut Supriharyono
(2002) ada beberapa daerah yang sudah menunjukkan gejala eksploitasi yang
berlebihan (over exploited) seperti wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung, sedangkan di sebagian daerah masih
dibawah potensi yang ada.
Menurut Chairuddin (1977), Propinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh
perairan rawa dan sungai. Selain itu, kebijakan pembangunan perikanan terutama
di propinsi Kalimantan Selatan diarahkan untuk menitikberatkan pada strategi
pengelolaan dan pemanfaatan perairan rawa. Mengingat masyarakat Banjar sangat
menggemari beberapa jenis ikan lokal ekonomis yang berasal dari perairan rawa,
sehingga perlu eksplorasi lebih dalam terhadap potensi perikanan pada kawasan
perairan rawa khususnya di daerah propinsi Kalimantan Selatan. Salah satunya
diperlukan riset tentang kandungan gizi yang terkandung pada beberapa ikan
rawa.
Wilayah pesisir Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan
merupakan kawasan yang mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang cukup
besar. Wilayah ini menjadi andalan sektor perikanan dan kelautan Kabupaten
Tanah Bumbu, dibalik potensi yang besar ini terjadi kecenderungan penurunan
produksi, hal ini dapat dilihat dari Laporan Statistik Perikanan tahun 2007,
produksi perikanan tambak tahun 2004 sebesar 670,6 ton, tahun 2005 menurun
menjadi sebesar 390,9 ton dan pada tahun 2006 menjadi sebesar 370,4 ton.
Kondisi mangrove yang berfungsi sebagai sabuk hijau dikenal sebagai mangrove
green belt (MGB) juga dapat difungsikan sebagai penyaring (filter) dan penyerap
limbah, di Kabupaten Tanah Bumbu mangrove juga mengalami degradasi akibat
pembangunan tambak, hal ini diindikasikan oleh tingkat kerusakan mangrove.
Hasil inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS
Barito Kalimantan Selatan tahun 2006, di Kabupaten Tanah Bumbu terdapat hutan
mangrove yang tidak mengalami kerusakan seluas kurang lebih 215 ha (1%),
dengan kondisi rusak seluas kurang lebih 9.593 ha (66%) dan kondisi rusak berat
seluas kurang lebih 4.697 ha (32%).
Berdasarkan permasalahan lingkungan pesisir yang ada di Kabupaten
Tanah Bumbu ini maka diperlukan suatu strategi pengelolaan di wilayah pesisir
sehingga
dapat
tercapai
pengembangan
tambak
berkelanjutan,
melalui
Tujuan
Menganalisis matriks Peraturan Daerah mengenai Retribusi Izin Usaha
Perikanan.
1.3
Manfaat
Hasil analisis ini dapat memberikan informasi mengenai retribusi izin
2.1
adalah
Peraturan
Perundang-
undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah
materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan "organik"
daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau
bertolak belakang.
2.1.1
terkandung dalam suatu peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal
drafting atau teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh
Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda Dprd yang
muntahD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam
jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda
tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani
dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut
disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka
Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
2.2
tentang retribusi izin usaha perikanan dibentuk dalam rangka pengendalian dan
kelestarian sumber daya perikanan, memantau jumlah perusahaan dan armada
perikanan yang beroperasi di perairan Kalimantan Selatan serta untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Provinsi Kalimantan Selatan,
dipandang perlu mengelola dan menggali sumber pendapatan dari sektor
perikanan sera mengatur retribusi izin usaha Perikanan.
Retribusi izin usaha perikanan merupakan kontribusi atas jasa yang
diberikan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Selatan kepada pengguna jasa dan
Retribusi
Retribusi berdasarkan peraturan daerah provinsi Kalimantan Selatan
nomor 2 tahun 2004 menyatakan bahwa retribusi adalah izin usaha perikanan
dipungut retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan jasa perizinan usaha
perikanan dalam daerah provinsi Kalimantan Selatan. Objek retribusi adalah Surat
Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Kapal Perikanan (SIKP), Surat
Keterangan Asal (SKA), dan Rekomendasi Pengeluaran Labi labi. Subjek
retribusi adalah orang probadi atau badan usaha perikanan yang melakukan usaha
perikanan di wilayah perikanan provinsi Kalimantan Selatan yang menggunakan
Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Surat Izin Kapal Perikanan (SIKP), Surat
Keterangan Asal (SKA), dan Rekomendasi Pengeluaran Labi labi ke luar
daerah.
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi
daerah.Retribusi daerah lebih beragam dan bervariasi antara kabupaten/kota yang
satu dengan kabupaten/kota lainnya. Semakin berkembang suatu daerah, semakin
banyak fasilitas atau jasa pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah
setempat guna mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga
semakin banyak jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah tersebut.
Menurut Goedhart (1980) dalam Adisasmita (2011 : 109), retribusi daerah
diartikan sebagai penerimaan yang diperoleh dari rumah tangga swasta
berdasarkan norma-norma umum yang ditetapkan, berhubungan dengan prestasi
yang diselenggarakan dengan dan untuk kepentingan masyarakat secara khusus
yang dilaksanakan sendiri oleh penguasa publik. Sedangkan Soeparmoko (2002 :
85), retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertenru yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Selanjutnya Sudargo (1980) dalam
Adisasmita (2011 : 109) berpendapat, bahwa retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa usaha atau
milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh
daerah.
2.2.2
dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan. Semua hasil pungutan Retribusi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Bendaharawan Penerima
(Pemegang Kas) yang ditunjuk oleh Kepala Daerah, selanjutnya disetorkan ke kas
Daerah. (Pasal 8 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun 2004). Retribusi
yang tertutang dipungut di wilayah daerah tempat diterbitkannya Perizinan Usaha
Perikanan. (Pasal 9 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun 2004). Masa
retribusi adalah jangka waktu diterbitkannya pemberian Surat Izin Usaha
Perikanan dan Surat Izin Kapal Perikanan baik yang baru atau perpanjangan,
Surat Rekomendasi Pengeluaran labi labi dan Surat Keterangan Asal (Pasal 10
PERDA nomor 2 Tahun 2004). Keterlambatan dalam pembayaran retribusi atau
kurang membayar sesuai jumlah yang diteteapkan akan dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya dari retribusi
yang terutang atau kurang bayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. (Pasal
16 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun 2004). Wajib Retribusi yang tidak
melaksanakan kewajiban sehinggan merugikan Keuangan Daerah diancam pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali
jumlah Retribusi terhutang. (Pasal 26 PERDA Kalimantan Selatan nomor 2 Tahun
2004).
2.2.4
Kota
(Pemkot)
Pelaksana Teknis (UPT) pendaratan ikan air tawar Dinas Pertanian dan Perikanan
Haji Syamsul Bahri ketika dikonfirmasikan di Banjarmasin, Senin mengakui
pihaknya akan meningkatkan pendapatan dari pendaratan kapal ikan air tawar.
Peningkatan retribusi tersebut setelah dibangunkan Tempat pelelangan Ikan (TPI)
ikan air tawar di bilangan Jalan RK Ilir Banjarmasin yang menelan dana miliaran
rupiah. Tersedia tempat jual beli, tempat sandar kapal nelayan, serta lapangan
parkir kendaraan bermotor,maka memudahkan transaksi ikan air tawar yang
didatangkan dari berbagai daerah di Kalsel, Kalteng, dan Kaltim. Adanya dermaga
tersebut maka kapal sandar akan dikenal retribusi dan dermaga tersebut bisa
menampung sekitar 50 kapal nelayan, katanya. Penarikan retribusi tersebut sesuai
dengan Peraturan Daerah (Perda)Nomor 3 tahun 2012 tentang retribusi TPI setiap
kapal sandar. Nilai retribusi kapal sandar untuk jenis perahu kecil Rp5.000,- kapal
motor sedang Rp10.000,- kapal motor besar Rp15.000,- dan kapal motor sampai
dengan 7 GT retribusinya Rp20.000.Retribusi masuk ke area TPI per hari untuk agen Rp50.000,- dan
pengecer, pembeli, atau pengunjung Rp1.000,- per orang per hari, kata Syamsul
Bahri. Kendaraan bermotor truk masuk ke area TPI dengan tarif Rp10.000,- pick
up Rp5.000,- sepeda motor Rp1.000 dan sepeda Rp500.-. Tahun ini ditargetkan
Rp30 juta retribusinya, tetapi jika sudah difungsikan dengan penjualan es batu
pengawetan ikan pada tahun 2014 nanti semoga bisa mencapai Rp100 juta per
tahun retribusinya. Telah dijelaskan dermaga yang dilengkapi dengan stasiun
pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) solar bersubsidi dengan tarif Rp5.500 per
liter tersebut akan dipakai sebagai lokasi hari maritim nusantara.
Berdasarkan pasal 7 PERDA provinsi Kalimantan Selatan nomor 4 tahun
2003. Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 7
(1). Struktur tarif dibedakan dalam golongan tarif retribusi berdasarkan jenis dan
ukuran kapal.
(2). Struktur dan besarnya tarif retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
sebagai berikut :
1. Izin Trayek Angkutan Orang :
a. Izin Trayek Baru atau pertama kali:
1). Kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 65.000,00,-
b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 95.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 110.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 125.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 150.000,00,2). Motor Tempel, Sebesar Rp. 75.000,00,b. Perpanjangan izin trayek angkutan orang :
1). Kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 15.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 25.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 35.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 40.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 50.000,00,2). Motor Tempel, Sebesar Rp. 30.000,00,c. Perubahan Izin Trayek :
1). Kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 50.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 65.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 90.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 115.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 125.000,00,2). Motor Tempel, Sebesar Rp. 65.000,00,2. Izin Trayek Angkutan Barang untuk kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 15.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 20.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 25.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 30.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 35.000,00,3. Izin Trayek Angkutan Barang untuk kapal dengan isi kotor :
a). GT. 01 s/d GT. 06, Sebesar Rp. 15.000,00,b). GT. 07 s/d GT. 15, Sebesar Rp. 20.000,00,c). GT. 16 s/d GT. 25, Sebesar Rp. 30.000,00,d). GT. 26 s/d GT. 50, Sebesar Rp. 35.000,00,e). GT. 51 atau lebih, Sebesar Rp. 40.000,00,-
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Subjek
Ekonomi
Politik
Teknologi
Sosial
Indikator
Pendapatan asli daerah
Investasi
Biaya produksi
Harga pasar untuk ikan
Permintaan ikan
Hasil produksi perikanan
Pungutan berganda
Pelanggaran
Tindak pidana
Kebijakan terhadap perikanan
Penegakan aturan-aturan pemerintah
Stakeholder
Penyidikan
Penagihan
3.2
ekstrim, bisnis tidak mampu menanggung biaya produksi yang ada, dan akibatnya
akan dihadapkan kepada dua pilihan ekstrim, yaitu menutup usahanya atau
berpindah lokasi ke daerah lain bahkan negara lain.
Perda yang berdampak terhadap kegiatan usaha umumnya adalah perda
yang terkait perizinan dan pungutan (retribusi dan pajak). Pengaruh pungutan
yang dikenakan pada suatu produk akan menaikkan harga produk tersebut. Di
dalam suatu pasar, kenaikan ataupun penurunan harga merupakan suatu
mekanisme dalam mencapai titik keseimbangan antara penawaran dan
permintaan.
Potensi masalah yang bisa muncul di lapangan karena pelanggaran adalah
adanya ketidakpastian bagi masyarakat maupun pelaku usaha, sehingga dapat
membuka peluang terjadinya penyimpangan misalnya pungutan ilegal. Dengan
ketidakjelasan standar biaya, maka yang terjadi adalah pegawai pemerintah yang
bertugas melakukan pemungutan dapat menarik pungutan yang besarannya tidak
wajar, bahkan menguntungkan petugas pemungut. Padahal seharusnya, suatu
perda harus mengandung kejelasan standar biaya, waktu dan prosedur. Karena
dengan adanya kepastian dari hal-hal tersebut, maka masyarakat sebagai pelaku
usaha mendapatkan kepastian atas besaran biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan pelayanan dari pemda.
Pengaturan dalam perda berpotensi menimbulkan pungutan berganda bagi
pelaku usaha. Dari segi perizinan, telah terjadi overregulated pada kegiatan usaha
perikanan tangkap. Terdapat izin- izin yang harus dimiliki oleh nelayan di tingkat
kabupaten/kota untuk memulai usaha perikanan tangkap. Sementara itu, di tingkat
pusat ada juga izin usaha sektor perikanan tangkap yang bersifat sama yaitu surat
izin kapal perikanan (SIKP), pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan alokasi
penangkapan ikan penanaman modal (APIPM) untuk penanaman modal.
Potensi pungutan ganda juga terdapat pada PPP dan pungutan hasil
perikanan (PHP) yang merupakan PNBP sektor perikanan dan menjadi sumber
dana bagi hasil sektor periknan (DBH). Pada prinsipnya, PPP sama dengan
pungutan untuk SIUP, SIPI dan SIKPI yang dikenakan kepada pengusaha
perikanan tangkap. Dua jenis pungutan yang ditetapkan di tingkat pusat dan
daerah dengan sifat yang sama tentunya akan membebani pengusaha perikanan.
Potensi masalah yang ditimbulkan dari pemberlakuan perda perikanan di
Kalimantan Selatan adalah adanya retribusi yang dibebankan kepada nelayan
terkait izin-izin untuk usaha perikanan tangkap. Retribusi ini masih diberlakukan
di Kalimantan Selatan dan sedikit banyak membebani nelayan di Kalimantan
Selatan. Dengan adanya retribusi, nelayan harus mengeluarkan biaya selain biaya
operasional. Selain itu, nelayan tidak bisa memasukkan beban retribusi izin
tersebut sebagai komponen di dalam harga ikan. Hal ini dikarenakan nelayan tidak
memiliki kekuatan di dalam pasar dan lebih bersifat penerima harga (price take).
Meskipun harga perikanan bisa dikatakan elastis karena tergantung pasokan.
Sehingga beban retribusi tersebut harus ditanggung sendiri oleh nelayan sebagai
biaya tersendiri. Sedangkan bagi pembeli, retribusi ini relatif tidak berdampak
karena yang menanggung retribusi penjualan tersebut adalah nelayan.
Identifikasi stakeholder yang terkena dampak langsung maupun tak
langsung dari perda yang bersangkutan. Stakeholder utama dari yang menerima
manfaat ataupun yang akan terkena dampak dari perda tersebut, yakni antara lain:
1. Nelayan, sebagai pelaku utama dari sektor perikanan di masing-masing
daerah. Nelayan berperan dalam mengambil atau memproduksi perikanan
tangkap
2. Dinas Kelautan dan Perikanan, sebagai pengendali pemanfaatan dan
penataan sumberdaya perikanan di suatu daerah
3. Konsumen atau Industri Pengolahan Ikan, sebagai pengguna hasil produksi
perikanan
4. Badan Pelayanan Perizinan, sebagai salah satu tempat untuk penerimaan
daerah
3.4 Alternatif Tindakan terhadap Perda yang Ada
Alternatif tindakan yang dikembangkan terhadap keberadaan perda ini ada
tiga, yaitu:
1. Tidak melakukan intervensi apapun terhadap perda yang diimplementasikan
2. Penyederhanaan izin-izin terkait usaha perikanan tangkap
3. Pembebasan biaya-biaya retribusi izin perikanan tangkap termasuk izin
peralatan perikanan
memiliki izin untuk mengurus perizinan dan masuk ke sektor formal. Bagi pemda,
akan kehilangan sumber retribusi, namun manfaat yang didapatkan adalah
peningkatan jumlah nelayan yang memiliki izin sehingga pengawasan dan
pembinaan bagi nelayan dapat lebih baik.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang didapatkan 4 subjek dan beberapa indikator dari
DAFTAR PUSTAKA
Darham, H.M. Sjachriel. 2002. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
nomor 4 tahun 2003 tentang Retribusi Izin Trayekan dan Izin Angkutan
Khusus Di Perairan Daratan Lintas Kabupaten/Kota. Banjarmasin.
Kalimantan Selatan
Darham, H.M. Sjachriel. 2004. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
nomor 2 tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan. Banjarmasin.
Kalimantan Selatan
Pasal 1 angka 7, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 1 angka 8, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Daerah_(Indonesia) diakses pada 16
Desember 2016 pukul 16.14 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_ (Indonesia) diakses pada 16 Desember
2016 pukul 16.30 WIB
http://kalsel.antaranews.com/berita/14968/banjarmasin-tingkatkan-retribusi-ikan
diakses pada 16 Desember 2016 pukul 20.11 WIB