Anda di halaman 1dari 8

Efek penggunaan mitomycin-c subkonjungtiva mengurangi

kekambuhan pterigium primer progresif sebelum dilakukan operasi Mc


Reynold dibanding triamcinolone acetonide subkonjungtiva
ABSTRAK
Donny W Chandra, Agus Supartoto, Angela Nurini Agni : Perbandingan hasil
guna mitomycin C subkonyungtiva
dengan triamcinolon subkonyungtiva terhadap kekambuhan pterigium primer
progresif yang dioperasi dengan
metoda Reynolds
Latar belakang: Masalah utama dalam penanganan pterigium adalah bagaimana
mengurangi kejadian kekambuhan setelah operasi. Mitomycin-C bersifat
antineoplastik dan antifibrotik telah diketahui dapat menghambat kejadian
kekambuhan, tetapi berkaitan dengan terjadinya beberapa komplikasi. Pemberian
obat secara subkonjungtiva sebelum operasi diharapkan dapat mengurangi
kekambuhan tersebut.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil guna mitomycin-c
subkonjungtiva dalam mengurangi kekambuhan pterigium primer progresif
sebelum dilakukan operasi Mc Reynold dibanding triamcinolone acetonide
subkonjungtiva.
Bahan dan cara: Dilakukan uji klinis acak dilakukan terhadap 41 pasien rawat
jalan pterigium primer progresif di RS Dr Sardjito dan RS Mata Dr Yap. Setelah
alokasi acak, dilakukan perlakuan injeksi 0,1 ml
mitomycin-C atau triamcinolon asetonid subkonjungtiva dan setelah 1 minggu
dilakukan eksisi dengan metode Mc Reynold. Pengamatan dilakukan selama 6
bulan untuk mendeteksi kekambuhan dan komplikasi obat.
Hasil: Kekambuhan pterigium pada kelompok perlakuan mitomycin-C dan
triamcinolon asetonid sukonjungtiva masing-masing adalah 4,7% dan 25% tetapi
tidak bermakna secara statistik (p=0,67). Tidak didapatkan perbedaan bermakna
pada hiperemia konjungtiva, lakrimasi, dan pembentukan jaringan granulasi.
Blefarospasme berbeda secara bermakna dalam tujuh hari. Rasa nyeri setelah
injeksi dan setelsh operasi
pada kedua kelompok berbeda secara bermakna.

Simpulan: Angka kekambuhan pterigium primer progresif pada kelompok


triamcinolon asetonid lebih tinggi daripada kelompok mitomycin-C meskipun
tidak bermakna secara statistik.
Pterygium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular dari konjungtiva
dan subkonjungtiva bulbi memperluas dan infiltrat permukaan kornea dengan
puncaknya tumbuh menuju pupil. Pertumbuhan pterygium adalah rata-rata di
daerah canthal bagian nasal dan kadang di temporal dalam bentuk segitiga dan
dibagi menjadi apex, collum, dan corpus. Secara geografis, pterygium adalah
paling ditemukan di iklim tropis. Indonesia memiliki memiliki risiko tinggi untuk
mengembangkan pterygium. Pterigium masih merupakan masalah yang sulit untuk
diatasi karena pasca tingkat kekambuhan tinggi. Tingkat kekambuhan di Indonesia
adalah sekitar 35-52% . Penelitian di rumah sakit Cipto Mangunkusumo
menemukan tingkat kekambuhan 65% pada usia berusia di bawah 40 tahun dan
12,5% pada usia lebih dari 40 tahun old. Alasan kekambuhan pterigium dapat
dijelaskan dengan (1) teori neoplastik, (2) teori degenerasi, (3) teori peradangan,
dan (4) teori immunologi. Pembedahan adalah pengobatan utama untuk pterygium.
Ada banyak variasi dari metode operasi pterygium. Metode yang paling umum
digunakan untuk menghapus pterygium adalah metode Mc Reynold. Dalam teknik
ini puncak dari pterygium dipotong dan dimakamkan ke konjungtiva kantung
sebelah limbus dan dijahit, menyusul pengangkatan jaringan subkonjunctiva yang
menutupi kornea. Diharapkan jika pterygium tumbuh kembali tidak dapat
dihindari akan menuju konjungtiva kantung.
Peran steroid dalam menekan aktivitas
leukosit dan penurunan
permeabilitas pembuluh darah akan menurunkan gangguan ke jaringan,
menurunkan mitogen dan faktor pertumbuhan dan juga mengganggu proses
pembekuan dan produksi fibrin. Hal ini akan mengganggu aktivitas fibroblast.
Mitomycin C adalah agen antiproliferatif dan penekan proliferasi fibroblast
berperan menekan sintesis DNA dan fungsinya. Juga bertindak sebagai
antineoplastik, antibiotik, dan antimetabolik agen. Donnenfeld dkk menyatakan
bahwa penggunaan mitomicin subkonjunctival pra operasi aman dan efektif
sebagai terapi tambahan. Ini bisa menekan tingkat kekambuhan dengan komplikasi
minimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas dari pra
operasi subkonjuntival mitomicin C dibandingkan dengan subkonjunctival pra
operasi tramcinolon asetonid dalam menurunkan kekambuhan tingkat pterygium
primer progresif dihapus oleh Metode mc Reynold.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini adalah uji coba klinis secara acak. Subyek yang diambl adalah
pasien yang datang ke Ophthalmology yang departemen Oftalmologi, Rumah sakit
Dr. Sardjito dan Dr Yap, Yogyakarta, pada bulan Agustus 2005 -April 2007 yang
kriteria inklusi terpenuhi. Kriteria inklusi adalah pasien yang memiliki pterygium
primer progresif baik unilateral atau bilateral, usia kurang dari 50 tahun, Youngson
klinis grade 2 atau lebih, tidak ada riwayat mata operasi sebelumnya, tidak ada
riwayat menggunakan steroid topikal atau penggunaan injeksi steroid dalam 4
minggu terakhir, tidak ada riwayat penyakit sindrom mata kering, bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani informed persetujuan.
Subjek didiskualifikasi atau putus dari Penelitian ini jika subjek tidak pernah
disajikan untuk mengontrol setelah operasi atau mereka tidak mematuhi instruksi
obat selama penelitian. Consecutive sampling dilakukan dalam penelitian ini.
Ukuran sampel dihitung berdasarkan Lameshow formula dengan proporsi tingkat
kekambuhan untuk pra operasi subkonjunctival triamsinolon acetonide kelompok
45% dan proporsi tingkat kekambuhan untuk Kelompok subkonjunctival
mitomycin C preoperative 6% dengan asumsi adalah 0,05 dan adalah 0,20.
Ukuran sampel untuk setiap kelompok adalah 22. Mata yang terpenuhi kriteria
inklusi diminta untuk menandatangani informed consent setelah diberikan
penjelasan. Riwayat pengambilan dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin,
pekerjaan, riwayat penyakit, riwayat pengobatan, riwayat penggunaan sunblock
sebelum dan selama paparan sinar matahari. pemeriksaan mata terdiri dari
pemeriksaan
oftamologi secara rutin, pemeriksaan biomikroskopi stadium
pterygium berdasarkan Youngson, uji Schirmer 1 fungsi sekresi untuk air mata.
Kedua kelompok diberi tetracain hidroklorida 2% tetes mata pada mata yang
whould menjadi disuntikkan. Lidocain 0,1% dari 0,2 mL diinjeksikan ke
konjungtiva sampai buncit dengan perbatasan apex pterygium pada daerah limbus
dan menunggu selama lima menit. Konjungtiva kemudian disuntik dengan
mitomycin C atau triamsinolon acetonide dengan 0,1 mL insulin jarum suntik.
Ofloxacin 0,3% tetes mata diberikan 4 kali harian. Setelah seminggu, pterygium
akan dipotong, dari kornea melebar ke arah limbus atas dan bawah. corpus itu ,
dipotong oleh pisau berang-berang. Pterygium apex dimasukkan subconjunctivally
kalah dengan limbus dan itu dijahit dengan sutra 4.0. Folow up operasi, setiap
subjek menerima ofloksasin tetes mata 4 kali sehari dan kloramfenikol salep mata
2 kali sehari selama satu minggu. Asam mefenamat 500 mg diberikan secara oral 3
kali sehari selama satu hari. Pasien dianjurkan menggunakan pelindung mata
seperti kacamata, dan topi. Jahitan akan dirilis pada hari ke-7. Kekambuhan yang
dievaluasi pada hari ke-14, dan setelah satu, dua, tiga, dan enam bulan. Data

demografi yang terdiri dari usia, sek, paparan faktor eksternal dianalisis dengan
Statistik deskriptif. Tingkat kekambuhan dianalisis dengan uji chi-square.

HASIL DAN DISKUSI


Ada 44 subyek berpartisipasi dalam studi. Tiga subjek telah dikeluarkan (2
dari kelompok triamsinolon acetonide dan 1 pada kelompok mitomycin C). Oleh
karena itu, hanya 41 subyek yang terlibat dalam penelitian ini. Karakteristik subjek
dalam penelitian ini terdiri sek, gradasi dari pterygium, durasi paparan sinar
matahari dan penggunaan pelindung mata yang C kelompok mitomycin serupa
(35,52 4,4) secara signifikan lebih muda dari kelompok acetonide triamsinolon
(44,2 6,7 tahun).

REFERENSI
1. Holland EJ, Mannis MJ. Pterygium in Ocular Surface Disease Medical and
Surgical Management. New York: Springer-Verslag, 2002:65-91.
2. Buratto L, Phillips RL, Carito G. Pterygium Surgery.Italy: Slack Incorporated,
2000.
3. Adamis AP, Struck I, Kenyon KR. The Management of Pterygium. Ophthalmol
Clin of North American 1990;3(4):611-15.
4. Rivhaard LA. Surgical Intervention in Corneal and External Diseases. Orlando :
Grune&Sratton Inc, 1987.
5. Duke ES. System of Ophthalmology. London : Henry Kimpton, 1965;VII(1).
6. Bhatti SM. Pterygium Removal : Knife excision versus modified evolution
technique.Ophthalmic Surg 1994;25:383-85.
7 Barraquer JL. Etiology, Pathogenesis and Treatment of the Pterygium.Proceeding
of the Medical and Surgical Disease of the Cornea symposium. St. Louise Missouri
: CV Mosby Co, 1980:167-78.
8. Prakoso H, Darmayanti, Syamsurizal. Kekambuhan Pterigium pada berbagai
Operasi.Proceeding of the Konas Perdami, Semarang: Prakoso, 1988.
9. Haik GM. The Management of Pterygia : a Third Report on a Combined
Surgical Irradiation Technique. Am J Ophthalmol 1996;61.
10. Abraham EP. Text Book of General Pathology .4th ed. Loyd WKC, 1990.
11. Oka PN, Liman. Pterigium dan Kekambuhannya. MKI 1973;11-12 :199-203.
12. Widagdi S. Umur dan Jenis Gambaran Patologi Anatomi sebagai Resiko
Kekambuhan Pterigium. Karya Akhir PPDS I FK-UGM, Yogyakarta 1994
(not publeshed, Perpustakaan Bagian Mata FKUGM) .

13. Kamel S. The Pterygium, Its Etiology and Treatment. Am J Ophthalmol


1984:38.
14. Pinkerton OD, Hokama Y, Shigemura LA. Immunologic Basic for the
Pathogenesis of Pterygium.Am J Ophthalmol 1984;98:225-28.
15. Junaedi M. Perbandingan Pengaruh Operasi Pterigium dengan Metode Bare
Sklera dan Mc. Reynolds terhadap Astigmat Kornea. Karya Akhir PPDS I
Ilmu Penyakit Mata FK UGM 1992 (not publeshed, Perpustakaan Bagian
Mata FKUGM) .
16. Cliova B, Atanosova.Pathogenesis of Pterygium. Folia Medica 1971; XII: 67
73
17. Donnenfeld ED, Perry HD, Fromer S, Doshi S, Solomon R, Biser S.
Subconjunctival Mitomycin C as Adjunctive Therapy before Pterygium
Excision. Ophthalmology 2003;110:1012-26.
18. Asfani S, Agus Supartoto, Angela Nurini Agni, Suhardjo. Daya guna
triamsinolon asetonid subkonjungtiva dibanding mitomisin-C terhadap
kekambuhan pterigium primer. Berkala Kesehatan Klinik 2002;VII(2);43
47.
19. Lam DS, Wong AK, Fan DS. Intraoperative MMC to Prevent Recurrence of
Pterygium After excision, a 30 mo Follow up Study, Ophthalmology
1998:901-7.
20. American Academy of Opthalmology, Basic and Clinical Science.sect. 8., San
Fransisco: American Academy of Opthalmology, 2000-2001.
21. Soedarmanto M., Perbandingan Efektivitas antara Metode Transplantasi
Autograft Limbus Konjungtiva dan Mc Reynolds . Karya akhir PPDS I FKUGM. Yogyakarta 2003 (not publeshed, Perpustakaan Bagian Mata
FKUGM) ..

22. Cheng HC, Tseng SH, Kao PL. Low Dose Intraoperative Mitomycin C as
Chemoadjuvant for Pterygium Surgery .Cornea 2001;20(1):24-29.
23. Prayitnaningsih P. Perbandingan Efektivitas antara
Metode Transplantasi Membran Amnion Kering dengan Metode Bare Sklera
dan Mitomycin C Intraoperatif. Karya akhir PPDS I FK-UGM.Yogyakarta
2002 (not
publeshed, Perpustakaan Bagian Mata FKUGM) .
24. Avisar R, Gaton DD, Loya N. Intraoperative Mitomycin C 0,02% for
Pterygium : Effect of Duration of Application on Recurrence Rate.Cornea
2003;22(2):102- 4.
25. Jaros PA, Luise VP. Pingueculae and Pterygia .Eye Surv Ophthalmol
1998;33:41-47.
26. Sharma JL, Pimas IP, Singh M. Hereditery Pterygium. Philipine J Ophthalmol
1988;33:9327. Hill JC, Maske R. Pathogenesis of Pterygium.Eye
1989;3:218-26.
28. Oldenburg JB, Garbus J, Donnell PJ. Conjunctival Pterygium : Mechanism of
Corneal Topographic Changes Cornea 1990;3:200-2004.
29. Friedenwald JS.Text Book of Ophthalmic Pathology.3rd ed. Philadelphia: WB
Saunders Company,1952.
30. Gondowihardjo TD, Characterization of Human Corneal Aldehyde
Dehidrogenase. Amsterdam:University of Amsterdam, 1992.
31. Grayson M. Disease of the Cornea. London : CV Mosby Company, 1983.
32. Gerundo M. The Etiology and Pathology of Pterygium. Am J Ophthalmol
1988;34:851-6.
33. Hogan MJ, Alvredo J. Pterygium and Pingueculae : Microscopic Study. Arch
Ophthalmol 1987;97(80):174- 86.

34. Berman ER. Biochemistry of the Eye. New York:Plenum Press,1991:36-41.


35. Brutus ST, Ashraf MF, Laby DM.Increased Number of Mast Cell in Pterygia.
Am J Ophthal mol 1995:236-37.
36. Yuko K. Morphological Study on the Pathogenesis of Pterygium. Acta Soc
Ophthalmol
37. Ratnakar KS. Mast Cells and Pterygium. Acta Ophthalmol 1976;54:363.
38. Helal M, Messiha N, Amayem A. Intraoperative Mitomycin C vs Postoperative
Topical Mitomycin Drops for the Treatment of Pterygia. Ophthalmic Surgery and
Lasers 1996;27(8); 674-78.
39. Verma N, Garap JA, Maris R. Intraoperative Use ofcMitomycin C in the
Treatment of Recurrent Pterygium.cPNG Med J 1998:37-42.
40. Hirst LW, Sebban A, Chant D. Pterygium Recurrencectime. Ophthalmology
1994; 101: 755 58.

Anda mungkin juga menyukai