Anda di halaman 1dari 24

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK PEREMPUAN 2 TAHUN DENGAN INVAGINASI

Oleh:
LES YASIN
G99161112

Periode:28 30 Agustus 2017

Pembimbing:
Suwardi dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017

BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
I. Identitas pasien
Nama : An. SA
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 01387xxx
Alamat : Semarang,Jawa Tengah
Agama : Islam
Berat Badan : 10 Kg

Tinggi Badan: 90 cm

Tanggal Periksa : 28 Agustus 2017

1
II. Keluhan Utama
Benjolan di perut kanan

III. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)


Pasien dibawah oleh orang tuanya ke RSDM dengan keluhan
munculnya benjolan di perut sebelah kanan dan menangis karena
kesakitan. Benjolannya semakin membesar sejak 3 bulan yang lalu.
Benjolan terasa keras , konsisten padat dan tidak mobil dengan ukuran -/
+ 9cm x 7cm dan disertai rasa nyeri semakin memberat seminggu SMRS.
Ibu pasien mengatakan akhir-akhir ini anaknya sulit buang air besar dan
sering menangis tiba-tiba. Sehari SMRS anak tersebut diare berlendir
campur sedikit darah sebanyak 4 kali dalam sehari. Pasien adalah
rujukkan dari RS Pandan Arang Boyolali.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit liver : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

VI. Riwayat Kelahiran


Pasien lahir pada tanggal 20 April 2015 adalah anak kedua dar ibu
usia 38 tahun dengan persalinan normal. Bayi menangis kuat (+), nafas
spontan (+), ketuban jernih, tidak berbau, berat badan lahir 3000 gram.

VII. Riwayat Kehamilan dan ANC


Riwayat ANC : rutin periksa di bidan
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal

2
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. KeadaanUmum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, BB: 10 Kg, TB: 90 cm
b. Kesadaran : kesan cemas
c. Vital sign :
N : 95x/menit, regular
RR : 20 x/menit
T : 36.6oC
SiO2 : 99%

B. General Survey
a. Kulit : warna sawo matang, kuning (-)
b. Kepala : mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+)
d. Telinga : sekret (-/-)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung(-), sekret (-/-), darah
(-/-)
f. Mulut : mukosa basah(+), sianosis (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : normochest, retraksi (-)
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : tampak massa di regio hipokondriaka dextra,
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani di seluruh dinding perut kecuali , terdengar suara
pekak di regio hipokondriaka kanan,
Palpasi :supel, nyeri tekan (+) epigastrik dan kuadran kanan atas
dan bawah, teraba massa di regio hipokondriaka keras,
padat konsistensi kenyal tidak mobil dengan ukuran -/+
9cm x 7cm , defans muscular (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar

3
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)
Akral dingin

- -
- -

Oedema

- -
- -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


I. Laboratorium Darah (28 Agustus 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.9 g/dL 11.3 13.5
Hematokrit 34 % 34-40
Leukosit 6.3 ribu/l 5.5-17.0
Trombosit 431 ribu/l 150 450
Eritrosit 4.43 juta/l 3.90-5.30

Creatinine 1.1 mm/dl 0.3-0.7


Uream 64 mm/dl <48
GDS 110 mg/dl 60-100
Albumin 3.7 g/dl 3.8-5.4
ELEKTROLIT
Natrium darah 125 mmol/l 132-145
Kalium darah 4.8 mmol/l 3.1-5.1
Chlorid darah 102 mmol/l 98-106

HBsAg Nonreactive Nonreactive

II. MSCT kontras Abdomen (28 Agustus 2017)


Kesimpulan:
1. Massa mixed intensitas terdiri dari komponen solid dan kistik di
hipokondriaka sampai suprapubic dextra menyokong gambaran
intraperitoneal teratoma
2. Invagina di regio illiaca sinistra

4
Gambar1. Massa komponen solid, kistik di region hipokondriaka dextra

IV. ASSESSMENT
Tumor intraabdomen ec Invaginasi dd Teratoma

V. PLANNING
1. Daftar OK
2. Informed consent
3. Konsul jantung anak
4. Konsul anesthesia
5. Puasa 6jam sebelum operasi
6. Cefotaxime 250mg dalam 100cc NaCl 0,9%
7. Pro Laparotomi eksisi tumor ( selasa, 29. 08.2017)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
INVAGINASI

A. Definisi

Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus proksimal


( intususeptum ) berinvaginasi kedalam segmen distal ( intususipien ) serta
kemudian di dorong ke distal oleh peristaltik usus.

B. Anatomi usus halus

Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum, yejunum dan


ileum. Panjang duodenum 26 cm, sedangkan yejunum + ileum : 6 m . Dimana 2/5
bagian adalah yejunum (Snel, 89). Sedangkan menurut schrock 1988 panjang usus
halus manusia dewasa adalah 5-6 m5 . Batas antara duodenum dan yejunum
adalah ligamentum treits.

Yejunum dan ileum dapat dibedakan dari :


1. Lekukan - lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga atas
peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum ; ileum terletak
pada bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih
merah daripada ileum Dinding jejunum terasa lebih tebal karena
lipatan mukosa yang lebih permanen yaitu plica circularis, lebih

6
besar, lebih banyak dan pada yejunum lebih berdekatan ; sedangkan
pada bagian atas ileum lebar, dan pada bagian bawah lipatan ini tidak
ada.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas
dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan
kanan aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya membentuk satu atau
dua arkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang
berjalan ke dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh
darah yang pendek, yang beraal dari 3 atau 4 atau malahan lebih
arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan
dan lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung
mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak
ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa
ileum bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.

Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi adalah :


Perbedaan eksterna
1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedang kan colon
asenden dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus
besar yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang
berjalan ke bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus.
Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam
tiga pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appandices epiploideae.

7
6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar
sakular.

Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang
dinamakan plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar
tidak mempunyai.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer) ditemukan pada mukosa
usus halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.

C. Klasifikasi

Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :

1. Enterik : usus halus ke usus halus


2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke
sekum dan menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex
dari intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi
mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi
untuk masing-masing jenis intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan
gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan
sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas (Tumen 1964).

D. Etiologi

Ada perbedaan yang mencolok pada etiologi invaginasi, antara anak anak
dan dewasa. Pada anak anak penyebab atau etiologi terbanyak adalah idiopatik
yang mana lead pointnya tidak ditemukan. Penyebab terjadinya invaginasi
bervariasi, diduga tindakan masyarakat tradisional berupa pijat perut serta
tindakan medis pemberian obat anti diare juga berperan pada timbulnya

8
invaginasi sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik
intra lumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat
operasi lead pointnya dapat ditemukan. Keadaan patologik ini terjadi pada lumen
usus, yaitu suatu neoplasma baik yang bersifat jinak dan ganas, seperti apa yang
pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus halus dan kolon. Ataupun
akibat hyperplasia kelenjar limfe usus halus ( Peyers patches / Kelenjar limfe
mesenterika ). Di Eropa , pembengkakan` kelenjar limfe mesenterika ditemukan
1950% pada pasien yang di operasi atau di investigasi dengan USG. Invaginasi
yang terbanyak pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak ( diverticle
meckels, polip ). Etiologi lainnya yang frekuensinya lebih rendah seperti tumor
extra lumen seperti lymphoma, diaarhea, riwayat pembedahan abdomen
sebelumya, inflamasi pada appendiks, dan trauma tumpul abdomen.

E. Patofisiologi

Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus ( obstruksi ) baik partiil


maupun total dan stranggulasi ( Boyd, 1956 ). Proses terjadinya invaginasi
dimulai dengan hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil
menyebabakan usus masuk ke dalam lumen usus distal kemudian
berkontraksi terjadi edema mengakibatkan terjadinya perlekatan yang tidak
dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi. Sedangkan pada orang dewasa
biasanya di awali adanya gangguan motilitas usus lainnya yang terfiksir/ atau
kurang bebas dibandingkan bagian lainnya,karena arah peristaltik adalah dari oral
ke anal sehingga bagian yang masuk ke lumen usus adalah yang arah oral atau
proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus. Akibat adanya
segmen usus yang masuk ke segmen usus lainnya akan menyebabkan dinding
usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran darah menurun dan
keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus.

F. Gejala klinis

Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan
adanya serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai
puncaknya, dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat

9
ditegakkan. Rasa sakit berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara
satu serangan dengan serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama
sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah,
keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut.
Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin tinggi
letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan oleh
kembalinya aliran darah dari usus yang mengalami intususepsi.

Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi


usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah terjadinya
intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua
disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti intususepsi
pada anak-anak. Pada orang dewaasa sering ditemukan perjalanan penyakit yang
jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha menegakkan
diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan lain .
Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan kemungkinan
intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan
radiologis seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis. Pemeriksaan
radiologis sering tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena tidak
terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi
beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis
intussusepsi harus dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi
usus yang berulang, meskipun pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-
pemeriksaan laim tidak memberikan hasil yang positif.

Pada kasus intususepsi kronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas dan
membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri dari
serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan kadang-
kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir
melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala
lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa
abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan.

10
G. Diagnosis

Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang
ditandai dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan
oleh iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada
mukosa usus bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan
keluarnya mucus bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli
darah. Terdapatnya darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah
makroskopis pada tinja dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan
hanya ditemukan mucus pada + 20% kasus. Diare merupakan suatu gejala awal
disebabkan oleh perubahan faal saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi.
Diare yang disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85%
kasus. Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada
waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian obat-obatan. Hal yang sulit
untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu
spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi.
Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan
terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan.

Muntah reflektif menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai
pada 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai
gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah reflektif terjadi tanpa
penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan
sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya
sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain
berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu
sumbatan didapatkan pada 90%. Gejala lain yang dijumpai berupa distensi,
pireksia, Dances Sign dan Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan
darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah
terjadi perforasi. Dances Sign dan Sousage Like Sign dijumpai pada + 60%
kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan teraba

11
seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah
yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai
Dances Sign.

Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir
dan darah pada sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di
kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG
membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada
potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan
longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien
ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.

TRIAS INVAGINASI :

Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki


(Craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu

Muntah warna hijau (cairan lambung)

Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan


dalam) = currant jelly stool

Pemeriksaan Fisik :

Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.

Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan (


Sousage Like Sign )

Nyeri tekan (+)

Dancen sign (+) Sensasi kekosongan padakuadran kanan bawah karena


masuknya sekum pada kolon ascenden

12
RT : pseudoportio(+), lender darah (+) Sensasi seperti portio vagina
akibat invaginasi usus yang lama

H. Radiologis
Foto abdomen 3 posisi :

Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika
circularis usus)

Foto abdomen 3 posisi


Colon In loop berfungsi sebagai :

Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi

Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi
dan kejadian < 24 jam

Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus
barium keluar bersama feses dan udara.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan


fisik. Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema
mungkin dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan
obstruksi aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped
appearance pada barium di tempat ini. Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau
keseluruhan intususepsi mungkin akan tereduksi. Jika barium dapat melewati
tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu coil spring appearance yang

13
merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda
ini ditemukan, dan suatu masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah
dapat ditegakkan (Cohn 1976).

Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian kasus intususepsi


mempunyai riwayat perjalanan penyakit yang khronis, bahkan kadang-kadang
mencapai waktu bertahun tahun. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada orng
dewasa daripada anak-anak (Tumen 1964). Biasanya ditemukan suatu kelainan
lokal pada usus namun Goodal (cit Tumen, 1964) telah mengumpulkan dari
literatur 122 kasus intususepssi khroni primeir pada orang dewasa. Beberapa
penulis tidak menyetujui konsep bahwa intususepsi tersebut berlangsung terus
menerus dalam waktu demikian lama. Stallman (cit Tumen 1964)
mempertanyakan tepatnya penggunaan istilah intususepsi kronis. Goldman dan
Elman (cit Tumen 1964) mengemukakan keyakinannya bahwa penderita tidak
mungkin dapat bertahan hidup dengan intususepsi yang berlangsung lebih dari 1
minggu. Para penulis ini berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada
kasus seperti ini adalah adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi
berganti-ganti. Adanya mesenterium yang panjang, yang memungkinkan
invaginasi terjadi tanpa gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat menyebabkan
terpeliharanya integritas striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu
yang lama dengan status kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya
terdapat suatu serangan yang demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi
spontan, dan tindakan bedah menjadi diperlukan.

14
Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya
yaitu melalui :

1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis


seperti diatas).

2. Pemeriksaan penunjang ( Ultrasonography, Barium Enema dan Computed


Tomography)

CT Scan Abdomen

15
USG ABDOMEN

USG DOPPLER

I. Penatalaksanaan

16
Dasar pengobatan adalah :

1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.

2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.

3. Antibiotika.

4. Laparotomi eksplorasi.

Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya


pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama,
maka akan memberikan prognosa yang lebih baik.

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak


sejak dahulu mencakup dua tindakan :

1. Reduksi manual (milking) dan reseksi usus


Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit,
mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai
dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat
sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu
operasi. Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang
diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada
penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan
dengan halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman
operator. Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi
dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan
patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan
anastomose end to end apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin
maka dilakukan exteriorisasi atau enterostomi.

17
Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada
saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat
besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli
bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah melakukan
usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi
dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak
perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-kasus
yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan
Machleder, 1975 cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi
jika ada keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.

Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:


1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat

Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi tepi segmen usus
yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi,
kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak
ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus
retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan,
keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak
tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa
riwayat pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi
anastosmose .

18
3. Pasca Operasi

Hindari Dehidrasi

Pertahankan stabilitas elektrolit

Pengawasan akan inflamasi dan infeksi

Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas


usus

19
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya
adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan
reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba
dengan hati-hati , tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema, reduksi
tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja (Elles , 90). Apabila akan
melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa hendaknya
dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk menghindari /
memperkecil timbulnya short bowel syndrom.

Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:


1. Adanya reseksi usus yang etensif

2. Diaarhea

3. Steatorhe

4. Malnutrisi

Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan
gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2
meter atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1
meter maka dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequat. (Schrock, 1989).

TERATOMA

A. DEFINISI

Teratoma adalah tumor sel germinal yang umumnya terdiri dari beberapa
jenis sel yang berasal dari satu atau lebih dari 3 lapisan germinal endoderm,

20
mesoderm, dan ekktoderm. Teratoma berasal dari bahasa yunani yaitu teras yang
berarti monster. Teratoma dibagi dalam tiga kategori yaitu teratoma matur (jinak),
teratoma imatur, dan teratoma monodermal dengan diferensiasi khusus. Teratoma
bervariasi dari bentuk yang jinak yaitu lesi kistik well differentiated (mature)
sampai bentuk yang solid dan maligna (immature). Umumnya teratoma kistik
adalah jinak dan yang padat adalah ganas.

Teratoma imatur merupakan keganasan tumor sel germinal ke tiga tersering


setelah disgerminoma dan tumor sinus endodermal. Selain itu, ada juga yang
memiliki komponen tertentu (umumnya squamous) yang mengalami transformasi
maligna, namun jarang ditemukan.

B. ETIOLOGI

Keberadaan teratoma telah diakui selama berabad-abad, selama itu pula


asal penyebabnya masih berupa spekulasi dan perdebatan. Dahulu masyarakat
mempercayai penyebabnya adalah karena menelan gigi dan rambut, kutukan dari
penyihir, mimpi buruk, atau berhubungan dengan setan. Teori yang paling banyak
dipakai saat ini adalah parthenogenik yang mengatakan teratoma berasal dari sel
germinal primordial. Teori ini didukung oleh distribusi anatomi dari tumor yaitu
sepanjang jalur migrasi sel germinal primordial dari kantung yolk pada gonad
primitif. Linder dan rekan melakukan penelitian dari teratoma kistik matur dari
ovarium . Mereka menggunakan teknik sitogenetik canggih untuk menunjukkan
bahwa tumor ini berasal dari sel germinal dan timbul dari sel germinal tunggal
setelah pembelahan meiosis pertama.

C. PATOFISIOLOGI

Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal lebih dari
satu lapisan germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan. Tumor ini berasal dari
sel-sel totipoten, umumnya pada garis tengah atau paraxial. Lokasi yang paling
sering adalah sacrococcygeal (57%). Karena berasal dari sel totipoten, sehingga
sering ditemukan di kelenjar gonad (29%). Sejauh ini, lokasi gonad yang paling
sering terjadi adalah pada ovarium, disusul pada testis. Kista teratoma kadang
muncul pada sequestered midline embryonic cell rests dan bisa pada mediastinum
(7%), retroperitonial (4%), cervical (3%) dan intrakranial (3%) . Sel-sel
berdiferensiasi sesuai lapisan germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada
tubuh, seperti rambut, gigi, lemak, kulit, otot, dan jaringan endokrin.

D. STADIUM

Secara mikroskopis dipakai sistem diferensiasi dari Norris yang


dimodifikasi oleh Robboy dan Scully:
Derajat 0 : Jaringan seluruh tumor

21
Derajat 1 : Sebagian besar jaringan imatur, terutama ganglia. Mitosis dapat
ditemukan, tetapi epitel neural tidak ditemukan atau terbatas
pada 1 lapangan pandang per slaid
Derajat 2 : Sebagian besar imatur dengan epitel neural 1-3 per slaid
Derajat 3: Jaringan imatur berat dengan epitel neural > 4 per slaid dan sering
menyerupai koriokarsinoma.

Departemen Bedah dari American Academy of Pediatrics, Altman dan rekan


melaporkan sistem penggolongan tipe teratoma Sacrococcygeal sebagai berikut:

Tipe I : Sebagian besar adalah tumor eksternal, melekat pada tulang ekor,
dan mungkin memiliki komponen presacral kecil (45,8%).Tidak
ada metastasis dikaitkan dengan kelompok ini.

Tipe II : Tumor memiliki massa baik eksternal dan ekstensi panggul


signifikan presacral (34%) dan memiliki tingkat metastasis 6%.

Tipe III: tumor terlihat dari luar, tetapi massa yang dominan adalah panggul
dan intraabdominal (8,6%). Tingkat 20% dari metastase ditemukan dalam
kelompok ini.

Tipe IV: lesi tidak terlihat dari luar tetapi sepenuhnya presacral (9,6%) dan
memiliki tingkat metastasis 8%.

E. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dari teratoma sebagian besar terapi bedah.

1. Teratoma Sacrococcygeal

Teratoma Sacrococcygeal yang didiagnosis sebelum lahir harus dipantau


ketat.
Pada janin dengan tumor yang lebih besar, operasi Sectio caesarea harus
dipertimbangkan untuk mencegah distosia atau pecahnya tumor. Karena
prognosisnya yang buruk berhubungan dengan perkembangan hidropfetalis
sebelum usia kehamilan 30 minggu, menguntungkan bagi janin apabila dilakukan
operasi uterus. Dalam kebanyakan kasus, teratoma sacrococcygeal harus
dilakukan reseksi electif pada minggu pertama kehidupan, karena semakin lama
dituda dapat meningkatkan tingkat keganasan.

2. Teratoma Ovarium

22
Teratoma kistik matur dari ovarium dapat dihilangkan dengan kistektomi
sederhana daripada salpingo-ooforektomi.

Meskipun degenerasi ganas sangat langka, kista harus dihilangkan secara


keseluruhan, dan jika elemen-elemen imatur ditemukan, pasien harus menjalani
prosedur penggolongan stadium standar.

3. Teratoma testis

Teratoma testis diobati dengan orchiectomy sederhana atau radikal. Baru-


baru ini, eksisi konservatif dengan enukleasi juga telah direkomendasikan pada
masa prepubertas pada testis. Resiko keganasan meningkat seiring pematangan
testis.

4. Teratoma mediastinum

Teratoma matur dari mediastinum harus direseksi. Tumor mungkin melekat


dengan struktur sekitarnya, yang memerlukan reseksi dari perikardium, pleura,
atau paru-paru. Bila reseksi lengkap dapat menurunkan resiko kekambuhan.

KESIMPULAN

Teratoma adalah tumor sel germinal yang umumnya terdiri dari beberapa
jenis sel yang berasal dari satu atau lebih dari 3 lapisan germinal endoderm,
mesoderm dan ektoderm.
Pada teratoma Sacrococcygeal dapat didiagnosis antenatal selama
pemeriksaan USG rutin atau saat ibu muncul dengan gejala klinis seperti ukuran
kehamilan lebih besar daripada usia kehamilan atau polihidramnion. Pada
teratoma ovarium dan testis sering asimptomatik kecuali apabila tumor tertorsi
atau ruptur dapat menimbulkan nyeri. Sedangkan pada teratoma mediastinum
gejala yang muncul, berhubungan dengan efek mekanik termasuk nyeri dada,
batuk, dyspnea, atau gejala yang berkaitan dengan pneumonitis berulang.

Penatalaksanaan dari teratoma sebagian besar terapi bedah. Pengangkatan


tumor yang lengkap dan baik dapat menurunkan resiko kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hanz-Iko Huppertz Prof. Dr , Montse Soriano-Gabarro MD, MSc , Elisabetta


Franco Prof , Urlich Desselberger MD, Judith Wolleswinkel-van den Bosch

23
PhD , Carlo Giaquinto MD ,et all. Intussusception Among Young Children in
Europe. The PeSdiatric Infectious Disease Journal , 2006 January 25 (1) 22-
27.
2. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. 2010. p270-272
3. Gabriel Conder , John Rendre, et all. Abdominal Radiology Intussusception ,
Cambrige University Press.
4. J Holder , G.K Von Schulthess et all. Disease of the abdomen and pelvis ,
2006 . Springer science , Italy. p218-223 .
5. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. 2005. p627-629

6. Sjamsuhidajat R., Wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta :

EGC, 2004.
7. Mitchell R, Kumar Vinay. Et.al. Buku saku Dasar Patologis Penyakit, Edisi 7.

Jkarta
8. Chad A Hamilton, MD. Cystic teratoma. Januari 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/281850-overview
9. Robert A Schwartz, MD, MPH. Dermoid Cyst. Febuari 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/1112963-overview
10. Adkins E Stanton, MD. Pediatric Teratomas and Other Germ Cell
Tumors Follow-up. Desember 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/939938-followup
11. Dr. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B MHKes FinaCS. Case Report and
Literature Review: Fetus in Fetu Laki-laki Hamil Selama 4 tahun. November
2011. http://www.herryyudha.com/2011/11/case-report-and-literatur-review-
fetus.html

24

Anda mungkin juga menyukai